Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Minggu, 29 Juni 2014

Buku Otobiografi Madame Curie Penemu Radium Bagian Pertama



Einstein menggambarkan : "Dari semua orang-orang Ternama. Madame Curie saja-lah yan tidak dirusakkan oleh kemegahan".


“MADAME  CURIE”
Oleh : EVE CURIE
Penterjemah : Krishna  Maruli
Penerbit : N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, Bandung,’S-Gravenhage
Tahun : 1953.
Penyadur : Pujo Prayitno

DAFTAR  -  ISI

PENDAHULUAN
BAGIAN  PERTAMA
Bab. I : MANIA
Bab.II : MASA MEGA MENDUNG
Bab.III : MASA GADIS PERAWAN
Bab.IV : PANGGILAN SUKMA
Bab.V : GURU-RUMAH
Bab. VI : MASA TUNGGU YANG LAMA
Bab.VII : LARI

PENDAHULUAN
Riwayat hidup Marie Curie penuh kejayaan-kejayaan sehingga timbul keinginan hendak melukiskannya seperti menceritakan sesuatu hikayat.
Tetapi saya tidak berhak menambah-nambahi hikayat ini sedikit jua pun. Karena itu tak ada duraikan sesuatu kejadian yang kepastiannya masih ragu-ragu bagi saya. Tak ada stu kalimat yang penting saya ganti, bahkan warna bajunya pun tak ada yang saya karang-karang. Semuanya sesungguhnya terjadi seperti saya ceritakan dan perkataan-perkataan yang dituliskan di sini sesungguhnyalah terjadi seperti saya ceritakan dan perkataan-perkataan yang dituliskan di sini sesungguhnyalah telah diucapkannya juga.
Berkat keluarga saya di Polandia, teristimewa kakak sulung ibu saya, madame Dluska, saya memperoleh surat-surat yang penting dan hal-hal khusus yang disaksikan dengan mata sendiri semasa ibu saya masih muda remaja. Warkat-warkat dan catatan-catatan Marie Curie, laporan-laporan resmi yang jumlahnya tak terhingga, cerita-cerita dan surat-surat dari sahabat-sahabat di Prancis dan Polandia, ingatan-ingatan kakak saya, Irene Joliot Curie, begitu pula akenang-kenangan ipar saya, Frederic Joliot serta ingatan saya sendiri merupakan bantuan bagi saya untuk menggambarkan tahun-tahun kemudian. Perasaan terimakasih saya terhadap sahabat-sahabat saya di Prancis dan Polandia itu adalah tak terhingga.
Dalam Kitab ini saya berikhtiar menegaskan suatu hal yang dianatara sebanyak kejadian-kejadian dalam hidup Marie Curie barangkali lebih ajaib dari ciptaannya sendiri sekalipun, yaitu : ketetapan hatinya; kesucimurnaian semanagtanya yang tak dapat dikeruhkan oleh megah atau pun rintangan hidup.
Berkat semangatnya yang luar biasa ini segala nikmat kemegahan dapat ditolak Marie Curie dengan tidak menimbulkan perasaan pengorbanan baginya.
Berat di rasanya memikul beban gambaran yang selalu hendak diberikan khalayak ramai baginya; karena tetap teguhnya pribadinya, ia tak dapat dipengaruhi apa pun jua, sehingga sampai pada akhirnya ia tak sanggup mengambil sesuatu sikap yang biasanya bergandengan dengan kemegahan : Ramah tamah, pura-pura manis mulut, kebengisan yang dibuat-buat dan seolah-olah bersahaja.
Tak pernah ia pandai bertingkah laku sebagai seorang megah.
Ketika saya lahir, ibu saya berumur tiga puluh tujuh tahun. Sebelum saya cukup umur mengenalnya dengan baik, ia telah seorang wanita yang berusisa lanjut dan termasyhur. Walau pun demikian, “wanita termasyhur” itulah yang terasing bagi saya, mungkin karena dalam semanagat Marie Curie pikiran kemeghan tak pernah dapat bersarang. Sebaliknya, saya berperasaan seakan-akan saya senantiasa hidup di samping Marya Sklodowski, seorang Mahasiswa yang tak mampu, tetapi yang telah penuh cita-cita semenjak saya belum lahir.
Ketika Marie Curie meninggal dunia, ia masih menyerupai anak gadis yang muda remaja itu. Perjalanan hidupnya yang penuh kesulitan, gilang gemilang dan berjangka amat panjang, tak dapat menyebabkannya ia bertambah besar atau bertambah kecil, bertambah baik atau bertambah buruk. Pada hari akhirnya ia lemah-lembut, tegar hati, malu, penuh perhatian untuk segala-galanya seperti semasa ia masih hidup di bawah naungan keadaan seorang yang tak terkenal. Kepada almarhum ini tak dapat dipaksakan suatu pemakaman mewah seperti biasanya diberikan Negara kepada warganya yang ternama. Ia dikebumikan dengan diam-diam dan sederhana di suatu pekuburan di luar kota, seolah-olah hidup yang baru berakhir itu tak berbeda dari ribuan yang lain.
Moga-moga saja berkepandaian yang cukup untuk melukiskan “Mahasiswa Baka” – seperti digambarkan Einstein dengan mengatakan : “Dari semua orang-orang ternama, Madame Curie sajalah yang tidak dirusakkan oleh kemegahan.” – Beliau mengikuti jejak hidupnya sendiri dengan tak dipengaruhi jamak dan hampir tak sadar akan tujuan nasibnya, seolah-olah jalan itu kepunyaan orang lain!.
E.C.
BAGIAN  PERTAMA
BAB I. MANIA
Sebagai biasa pada tiap-tiap hari Ahad semuanya di sekitar sekolah Gymnasium di jalan Nowolipki keadaannya sunyi senyap. Di atas temboknya tertulis dalam huruf Rusia : “Gymnasium untuk anak laki-laki”. Gapuranya, di bawah tulisan itu, telah dikancing dan jajar tiang di situ menimbulkan ingatan kepada suatu candi yang telah ditinggalkan. Segala tanda hidup telah lenyap dari gedong yang panjang, rendah dan bertingkat satu itu dengan bilik-biliknya yang terang benderang dimana berderet bangku-bangku hitam, penuh irisan pisau lempit dan hruf-huruf permulaan nama.
Tak ada terdengar suara selain dari lonceng gereja Santa Perawan yang mengadzankan sembabyang Vesper dan waktu-waktu kedengaran dari jalan besar suara roda kereta atau suara ladam kuda yang menarik sebuah doroschka dengan pelahan-lahan.
Di belakang pagar yang membatasi pelataran sekolah itu di sebelah muka sedang berkembang empat batang bunga “Sering” yang kurus dan berdebu; kadang-kadang pelancong-pelancong hari Ahad menoleh ke belakang apabila mereka, ketika melewati Gymnasium itu, dihinggapi bau kembang “Sering” yang harusm itu. Hawa telah panas, walau pun baru akhir bulan Mei. Di Warsawa matahari dan hari dingin serupa bertingkah-tingkahnya dan pedihnya.
Tetapi walau pun demikian ada gangguan sunyi-senyap hari Ahad itu. Dari ujung kiri gedong itu, di mana setinggi dasarnya berkediaman Wladyslaw Sklodowski, guru Ilmu Alam yang merangkap jabatan pembantu Inspektur Gymnasium itu, berkumandang suara sesuatu kegiatan gaib. Seolah-olah orang sedang memukul dengan martil dengan tak berketentuan. Kemudian terdengapula gemuruh suaru jatuhan perancah bercampur baur dengan tepuk sorak . dan pukulan amrtil lagi ..... Perintah-perintah pendek dalam bahasa Polandia.
“Hai, peluruku telah habis!”
“Menara itu, Yosep – Bidikkanlah ke arah menara itu!”
“Jangan, baiklah aku bawakan engkau puntung-puntung kayu!”
“O-o-o-ooooo!”
 Maka terdengarlah rubuhan puntung-puntung kayu yang berjatuhan dengan gemuruh di atas lantai kayu : Tak ada lagi menara! Suara berlipat ganda, pelbagai benda beterbangan kian ke mari di awang-awang dan mengenai barang-barang lain.
Medan pertempuran itu adalah sebuah bilik empat persegi yang luas, sedang jendela-jendelanya memandang ke luar kepada pelataran dalam Gymnasium itu. Di setiap sudut kamar itu ada sebuah tempat tidur kanak-kanak. Empat orang kanak-kanak dari umur lima sampai sembilan tahun bermain perang di sana dengan teriak-jerit yang mengerikan. Paman mereka, seorang penggemar damai dan permainan whist dan patience, pada Hari Natal memberikan sebuah kotak permainan membangun kepada anak-anak. Sklodowski itu, tetapi pasti tak ada dugaannya bagaimana kelak hadiahnya itu akan dipergunakan mereka. Beberapa hari lamanya Yosep, Bronia, Hela dan Manaia dengan manisnya mendirikan kota-kota, jembatan-jembatan dan gereja-gereja dengan meniru contoh-contoh yang ada dalam kotak kayu tempat permainan itu. Tetapi tak berapa lama berselang maka puntung-puntung dan balok-balok kayu itu dipergunakan merekalah menurut kehendak mereka ; tiang-tiang gmerupakan artileri dan puntung-puntung kecil dipakai sebagai peluru, sedang arsitek-arsiteknya bertindak selaku jendral besar. Sambil bertiarap Yosep telah mendapat kemajuan di medan pertempuran dan dengan cara teratur disorongnya meriam-meriamnya ke depan ke arah musuh. Bagaimana pun sengitnya pertempuran itu, wajah anak yang sehat dan pintar itu tetap berseri-seri seperti yang layak bagi seorang panglima perang yang mengetahui kewajibannya. Dari empat serangkai itu ialah yang tertua dan tercerdik. Lagi pun hanya ia lah orang lelaki di antara mereka. Di sekelilingnya tak lain dari anak-anak perempuan, semuanya berpakaian seragam yang teristimewa teruntuk hari Ahad dengan berleher lipat dan kain celemek hitam yang disulam atas baju itu.
Tetapi sebenarnyalah : Anak-anak perempuan itu, bagaimana pun kecilnya, berjuang dengan beraninya. Mata Hela yang berjuang di samping Yosep, menunjukkan semangat perjuangan yang berapi-api. Hela merasa sangat kesal karena ia baru berumur enam tahun setengah; ia ingin melemparkan puntung-puntung kayu itu lebih jauh lagi, lebih bergaya, dan ia cemburu melihat Bronia yang telah berumur delapan tahun. Bronia montok perawakannya, penuh kegiatan, rambutnya putih-kuning yang bergelepar apabila ia dengan gagap-gempita melindungi pasukan-pasukannya yang disusunnya antara ke dua jendela dalam bilik itu.
Di pihak Bronia seorang aide-de-camp yang amat kecil dan berpakaian celemek yang disulam, sedang sibuk memungut mesiu dan peluru sambil berlari-lari dari batalyon yang satu ke batalyon yang lain dengan muka merah murup dan bibir yang kering karena banyaknya ia berteriak dan ketawa.
“Mania!!!”
Anak itu terkejut, dengan tiba-tiba ia tak bergerak dan melepaskan kain celemeknya yang baru diisinya penuh dengan puntung-puntung kayu. Maka berpelantinganlah sejumlah besar puntung-puntung balok-balok ke atas lantai.
“Mengapa?”
Zosia, anak sulung keluarga Sklodowski, amsuk ke dalam kamar itu. Meskipun ia belum berumur duabelas tahun, di samping anak-anak yang lebih muda itu nampaknya ia lebih tua. Rambutnya berwarna putih keabu-abuan dan disikat ke ebelakang terlepas di atas bahunya. Parasnya cantik dan berseri-seri, sedang matanya arip dengan warna kelabuan...
“Kata Ibu kau bermain terlampau lama. Berhentilah engkau!”
“Tapi Bronia memperlakukan aku – aku musti mengangkut puntung-puntung kayu baginya”.
“Ibu menghendaki kau datang sekarang.”
Setelah bergundah sebentar, Mania memegang tangan kakaknya itu dan meninggalkan medan perjuangan itu dengan segala kebesaran yang selayaknya.
Tak gampang berperang pada usia lima tahun dan anak kecil yang telah letih itu dalam hatinya tak berapa berkeberatan meninggalkan medan pertempuran itu.
Dari bilik yang di sebelah terdengar suara berturut-turut memanggil pelbagai nama mengulit : “Mania – Maniusia – Anciupecio .... Orang-orang Polandia menggemari benar memakai nama-nama timangan dengan mempergunakan kata-kata yang didpendekkan. Elah turun-temurun dalam keluarga Sklodowski dibiasakan menyebutkan “Zosia” untuk menggantikan Sophie, nama kecil anak perempuan mereka yang tertua; “Bronia” dipakai untuk Bronislawa, Helena dipendekkan menjadi “Hela” dan Yosep menjadi “Yosio”. Tetapi tak seorang pun mendapat nama timangan sebanyak Marya, anak bungsu Sklodowski. “Maniusia” adalah nama ringkasan yang biasa baginya. “”Maniusia” nama timangannya “Anciupecio” nama tambahan yang diberikan kepadanya sejak masih ayunannya.
“Anciupecio-ku, alangkah kusutnya rambutmu itu. Alangkah merahnya mukamu!”
Dua buah tangan yang terlampu pucat dan terlampau kurus menyimpulkan pita-pita kain celemek yang terlepas tadi dan mengelus-elus rambut keritingnya yang merupakan bingkai di keliling paras anaknya yang kelak akan menjadi seorang sarjana ternama. Dengan berangsur-angsur anak itu pun lega dalam pengulitan ibunya.
Tak terhingga saang Mani terhadap ibunya. Dalam perasaan Mania tak ada lagi di dunia ini orang semanis, sebaik dan sepintar ibunya itu.
Nyonya Sklodowski adalah anak sulung seorang tuan tanah. Bapaknya, Felix Boguski, termasuk golongan bangsawan pemilik tanah kecil-kecilan yang banyak terdapat di Polandia. Karena terlampau miskin untuk tinggal di atas tanahnya sendiri, ia terpaksa mengurus harta benda keluarga-keluarga yang lebih kaya. Pe pendingin dan pemalu serkawinannya penuh romantikL Ia mencintai gadis bangsawan yang tak mempunyai uang, tetapi turunannya lebih tinggi, dilarikannya perawan itu dan mereka nikah, walau pun orang tua tunangannya menentang perkawinan mereka itu. Bertahun-tahun berselang sejak itu dan penggoda dahulu telah menjadi orang tua penuh uban, pendingin dan pemalu sedang kekkasihnya telah merupakan seorang nenek yang cerewet.
Dari enam orang anak mereka sesungguhnyalah nonya sklodowski yang terpintar dengan pribadi yang sangat berimbangan. Sifat-sifat perangai bangsa Slavonia tak merusakkan budi pekertinya; ia tidak tau bertingkah-tingkah dan sifat gelisah atau gugup adalah asing baginya. Ia mendapat pendidikan yang utama di suatu sekolah di jalan Treta di kota Warsawa, dan kemudian diputuskannya mencurahkan tenaganya untuk perguruan. Mula-mula ia ditempatkan sebagai guru pada sekolah itu juga dan akhirnya ia diangkat di sana menjadi kepala sekolah. Ketika guru Wladyslaw Sklodowski memningnya dalam tahun 1860, ia mendapat seorang istri yang sempurna. Benar, uangnya tak ada, tetapi turunannya baik dan ia rubiah serta rajin. Di hadapannya terbentang suatu jabatan yang bagus. Lagipula ia pandai main piano sebagai penggemar musik dan dengan suara jelita dan penuh rindu dendam segala lagu-lagu romance yang digemari chalayak ramai pada masa itu dapat dinyanyikannya.
Selain dari itu ia amat cantik pula. “Orang” berpendapat bahwa sebenarnyalah mereka merupakan sepasang jodoh : keluarga Sklodowski termasuk golongan bangsawan pemilik tanah kecil-kecilan yang dihancurkan oleh bencana-bencana Polandia. Tempat asal mula turunan itu, Sklody, adalah sekumpulan tempat-tempat pertanian yang letaknya kira-kira seratus kilometer sebelah utara Warsawa. Beberapa keluarga yang satu sama lain mempunyai pertalian sanak saudara dan berasal dari Skloody memakai nama Sklodowski. Menurut kebiasaan yang banyak tersebar dahulu kala tuan tanah di sana memperkenankan penyewa-penyewanya memakai alamatnya. Tugas jamak mereka adalah pertanian, tetapi dalam zaman penuh kegelisahan ini harta-benda itu semuanya berpecah-pecahan karena kemiskinan pemiliknya. Sungguh pun nenek moyangnya turunan Wladyslaw Sklodowski adalah langsung dari dia – dalam abad ke delapan belas masih memiliki beberapa ratus hektare tanah dan biar pun nenek moyangnya tadi pada masa itu masih dapat hidup bermewahan; malah turunannya masih dapat hidup selayaknya sebagai tuan tanah, tapi lain halnya dengan Yosep, bapak guru yang masih muda remaja itu, Dengan pengharapan memperbaiki keadaan hidupnya yang sederhana itu dan didorong keinginan menyemarakan nama yang dibanggakannya itu, maka Sklodowski ini mencurahkan tenaga dan minatnya pada pelajaran. Sehabis perjalanan hidup yang terombang-ambing oleh pergolakan dan peperangan, ia diangkat menjadid direktur gymnasium untuk anak-anak lelaki di suatu kota yang penting, yaitu Lublin. Ialah orang terpelajar yang pertama dalam keluarganya.
Turunan-turunan Boguski dan Sklodowski biasanya mempunyai kelamin-kelamin yang besar jumlah anaknya: yang satu enam orang yang lain tujuh orang; di antara mereka ada petani-petani, guru-guru sorang notaris dan seorang suster biara.. Beberapa orang dari itu luar biasa akhlaknya : seorang abang Sklodowski, bernama Henryk Boguski, merupakan seorang dilettan yang berkeyakinan, bahwa ia sanggup menciptakan pekerjaan-pekerjaan budiman sekalipun penuh bahayanya. Dan Ladislaw Sklodowski, abang guru itu, seorang bon-vivant yang tak mau tau bersusah, berturut-turut menjadi mahasiswa di Petersburg, perwira semasa pemberontakan Polandia; penggubah syair Provence dan ahli hukum semasa pembuangannya ke Toulouse dan setelah kembali di tanah airnya, notaris di suatu propinsi. Dengan tak ada hentinya ia terapung-apung antara tenggelam dan timbul. Dalam ke dua-dua keluarga itu terdapat pribadi yang romantis di samping pribadi yang berimbang-imbangan, begitu pula orang-orang budiman di samping orang kelana gagah perkasa. Orang tua Marie Curie adalah termasuk golongan para budiman.
Bapak maupun nenek Marie Curie belajar di Niversitas di Petersburg; sehabis belajar di sana bapaknya itu kembali ke Warsawa memberi pelajaran ilmu pasti dan ilmu alam. Ibunya mempunyai sejarah baik sebuah sekolah teruntuk anak-anak gadis dari golongan orang baik-baik di kota itu. Delapan tahun lamanya suami istri tinggal pada tingkat pertama di jalan Freta. Rumah itu mempunyai tinjauan ke luar kepada suatu pelataran dalam, di mana langkah-langkah berliit laksanan buntal-buntal dari jendela yang satu ke jendela yang lain. Mannakala setiap pagi guru itu meninggalkan rumahnya, di ruang pelajaran sebelah muka telah berkumandang suara pemuda-pemuda yang menantikan pelajaran pertama.
Tetapi apabila dalam tahun 1868 Wladyslaw Sklodowski meninggalkan sekolah itu, di mana ia selama ini mengajar, karena ia diangkat menjadi guru dan pembantu isnpektur di gymnasium di jalan Nowolipki, maka istrinya terpaksa menyesuaikan dirinya pada suatu cara hidup yang baru. Tak mungkin baginya mengurus rumah yang diserahkan kepada suaminya berhubung dengan pekerjaannya yang baru itu. Jika di samping itu diteruskannya memimpin sekolahnya sendiri. Dengan perasaan sayang ditinggalkannya sekolahnya itu dan ia pindah dari Jalan Freta , di mana beberapa bulan sebelum itu, pada tanggal 7 Nopember 1967 lahir Marie Curie – Mania ....
“ He, tidurkan engkau, Anciupecio-ku?”
Mania yang duduk berjongkok di atas ebuah dingklik dekat kaki ibunya menggelengkan kepalanya.
“Tidak Ibu .. senang aku duduk di begini.”
Nyonya Sklodowski mengelus-elus dahi anak bungsunya itu dengan jari-jarinya yang kurus itu. Tak ada yang lebih senang dirasa anak itu selain dari gerak tangan yang dikenalnya itu. Sepanjang ingatannya tak pernah ia dicium ibunya. Tak ada diketahuinya perasaan suka cita yang lebih sedap selain dari mendekati perempuan juita ini, apabila ia dengan termenung dan dengan tanda-tanda yang hampir tak kenyataan, suatu perkataan, suatu senyuman, suatu pandangan manis, menimbulkan perasaan baginya bahwa ibunya menjaga hidupnya yang muda dengan kasih sayang tak terhingga. Ia belum menerti kekejaman apakah yang menyebabkan kebiasaan-kebiasaan ibunya itu dan mengapa terpaksa mencari kesunyian dan kesenyatapan. Ibunya itu sakit parah. Tanda-tanda pertama yang menunjukkan penyakit Tuberculose menjelma setelah Mania lahir dan sejak lima tahun penyakit itu bertambah berat, walau pun dokter-dokter menjalankan segala daya-upaya untuk mencegahnya. Tetapi perempuan yang berani dan rubiah itu menghendaki supaya di rumahnya jangan ada yang melhat penglihatannya itu. Senantiasa gagah, tetap berpakaian cermat, ia selalu sibuk menjalankan kewajibannya dalam rumah tangganya. Seolah-olah ia seorang-orang yang segar bugar. Menurut kemauannya sendiri ia menaati beberapa peraturan yang dipegangnya teguh : ia memakai piring mangkok yang teristimewa teruntuk dia dan anak-anaknya tak pernah diciuminya. Dari penyakitnya yang kejam itu tak banyak kentara bagi anak-anaknya ... sewaktu-waktu batuknya mendadak didengar merek dari biliknya, bayangan duka cita diwajah bapak mereka dan kalimat : “Sembuhkanlah Ibu kami, ooh Tuhanku” yang sejak beberapa lama digabungkan pada doa sembahyang malam.
Perempuan muda itu telah berdiri dan ia menyuruh anaknya yang memegangnya itu pergi ke luar.
“Biarkanlah aku sendirian, Maniusia .. :Ada perlu.”
“Bolehkah aku tinggal di sini?” Bolehkan aku membaca?”
“Lebih suka ibu kalau kau pergi ke taman kita. Lihatlah, alangkah bagusnya hari ini!”
Perasaan malu kentara pada pipi Mania, apabila ia menyebutkan soal “membaca”; ketika pada tahun yang lampau Bronia yang tak merasa senang, karena ia saja yang belajar Alif Bata, memutuskan memakai adiknya itu sebagai, “kelinci percobaan” maka diajaknyalah Mania bermain-main “Sekolah”. Beberapa minggu lamanya ke dua-dua anak itu menyusun huruf-huruf kertas tebal berdamping-dampingan, kadang-kadang dalam susunan yang tak karuan. Tetapi pada suatu hari Bronia diminta orang tuanya membaca di hadapan mereka dan ia gagap dalam satu kalimat yang sangat bersahaja. Mania tak sabar lagi dan ditarinya buku itu dari tangan Bronia. Dengan lancar dibacanyalah kalimat pertama dari buku itu. Mula-mula ia merasa bangga, karena sekelilingnya sunyi-senyap dalam ia meneruskan “Permainan” yang mangasyikkan itu. Tetapi tiba-tiba ia terkejut dengan sangatnya. Dipandangnya orang tuanya yang terperanjat, dilihatnya pula Bronia yang merajuk; dengan gagap ia mengeluarkan perkataan yang hampir tak terdengar. Air matanya tak tertahankannya lagi dan ia tersedu-sedu : Bukan lagi seorang anak ajaib, tetapi seorang anak berumur empat tahun yang menangis dengan air mata bercucuran sambil mengatakan dengan suara meratap : Tak aku perbuat lagi itu! Tak dengan sengaja aku perbuat itu .... bukan salah ku itu!! Salah Bronia itu!! Karena amat gampangnya itu.. !
Dengan putus asa tiba-tiba Mania berpikir bahwa orang tuanya tak akan dapat memaafkannya karena ia belajar membaca!.
Sejak peristiwa yang mengagumkan ini anak itu pun semakin biasa melihat huruf-huruf besar dan tanda-tanda baca dan kalau pun ia tak mencapai kemajuan-kemajuan yang lebih menakjubkan adalah itu disebabkan orang tuanya menjaga dengan hati-hati supaya jangan diberikan kitab-kitab ke padanya. Sebagai pendidik-pendidik yang bijaksana mereka takut klau-kalau anak itu menjadi dewasa terlampau lekas dan setiap kali tangannnya hendak mengambil buku kanak-kanak yang banyak bersebaran di rumah itu, maka terdengarlah : Lebih baik engkau main-main dengan puntungan-puntungan kayu ... Di manakah bonekamu itu?... Nyanyikanlah dulu lagu itu !.... Atau seperti hari ini : -- Lebih suka aku kau main-main di taman kita.
Mania menoleh ke arah pintu yang dilaluinya tadi sebelum masuk ke dalam kamar ibunya itu. Suara puntung-puntung yang berpelanting-guling, jerit teriakan yang menembus sekat bilik itu, semuanya menunjukkan baginya bahwa tak akan ada temannya melancong di taman. Juga dari sebelah dapur tak ada harapannya, karena dengung suara yang tak ada hentinya, serta kegiatan riuh : babu-babu sedang menjalankan proses di sana, menandakan bahwa mereka sedang sibuk memasak makanan siang.
“Baiklah, aku cari Zosia.”
“Carilah Zosia”.
“Zoisa....! Zosia....!.
Sambil berpegangan tangan dua kaka beradik itu melintasi tempat bermain, di mana setiap hari anak-anak berkejar-kejaran dan berlompat-lompatan; mereka melewati gedong-gedong gymnasium itu dan tiba dalam sebuah taman besar dan agak datar yang berpintu kayu lapuk. Rumput yang jarang tumbuhnya, pohon-pohon yang tertgun antara dewala-dewala, semuanya menghamburkan bau tanah, bau alam.
“Zosia, apakah kita segera pergi ke Zwola?”
“Belum lagi – nanti bulan Juli. Kau masih ingat Zwola?”
Mania yang ingatannya luar biasa terangnya, masih belum lupa segala-galanya: hujan lebat pada musim panas yang lampau ketika mereka berkecimpung dalam air hujan..., boneka-boneka yang dibuat mereka dengan diam-diam dari tanah liat sehingga baju-baju dan kain-kain celemek mereka penuh kotoran lumpur; tepat penjemuran pakaian mereka yang hanya mereka lah yang mengetahui letaknya papan penjemuran itu; pohon linde tua yang kadang-kadang dipanjat oleh tujuh atau delapan orang gmenurut permufakatan antara misan-misan dan teman-teman bermain; pernah juga diangkat mereka si “kecil” itu ke atas pohon itu, karena tangannya masih terlampau lemah, dan kakinya terlampau pendek, untuk memanjatnya sendiri. Dahan-dahan besar yang dilingkungi daun-daun teduh berkerisikan. Kadang-kadang mereka pergunakan itu untuk menyimpan buah-buahan kruisbes yang mereka kumpulkan dan bortol mentah atau kers yang mereka petik.
Dan loteng di rumah Marki di mana panasnya tak tertahan tempat Yosep menghafalkan daftar kali-kaliannya dan dimana Mania pernah mereka timbuni dengan gandum. Dan Bapak Skrzypowski yang mempergunakan cambuknya dengan berdas-das kalau ia mengemudikan kendaraannya. Dan kuda-kuda paman Xavier!”
Dari keluarga mereka yang besar itu selalu ada orang yang menjadi tani, sehingga anak-anak dari kota itu senantiasa mendapat kesempatan berlibur secara meriah; di tiap-tiap propinsi ada beberapa Sklodowski, beberapa Baguski yang mengusahakan tanah bumi Polandia dan sekali pun rumah mereka tak berapa mewah perabotannya, tetapi tempat penginaan untuk guru dan keluarganya pada musim panas senantiasa tersedia. Kendatipun kemiskinan hidup mereka, tak akan pernah Mania terpaksa menginap  di tempta penumpangan umum yang biasanya dibanjiri penduduk Warsawa. Pada musim panas anak orang cerdik pandai ini bertukar menjadi seorang anak petani yang sehat dan kuat, atau lebih tepat mengatakan : Ia kembali menjadi anak petani yang selaras dengan tabiat bangsanya.
“Ayo, kita lari ... Aku mau bertaruh bahwa aku lebih lekas tiba dalam taman itu! Panggil Zosia yang menjalankan kewajibannya sebagai ibu dengan segala kebaktian.
“Aku tak mau berlari, aku suka kau cerita......”
Tak seorang pun, sekalipun guru atau istrinya, sepandai Zosia bercerita. Angan-angannya membumbui cerita-cerita dan dongeng-dongeng dengan rupawan waarna ajaib yang serupa dengan keindahan gubahan-gubahan oleh seorang ahli musik. Juga lakon-lakon pendek dikarangnya dan dipertunjukkannya dengan bersemangat untuk saudara-saudarinya yang hatinya tertawa oleh permainannya itu. Berkat kepandaiannya sebagai penulis dan keahliannya dalam membaca, dapatlah ia seluruhnya memikat hati Mania yang saling berganti ketawa terbahak-bahak dan gemetar sambil mendengarkan cerita-cerita penuh angan-angan yang kadang-kadang pertaliannya susah dipahami seorang anak kecil berumur lima tahun.
Tak berapa lama maka anak-anak itu pun kembali ke rumah dan semakin didekati mereka ggedong gymnasium itu, semakin perlahan-lahan berbicara anak tertua dari yang dua itu. Meskipun cerita (yang dikarang karangnya sambil menceritakannya) belum habis, dengan sekonyong-konyong  dihentikan Zosia ceritanya itu. Dengan tiba-tiba mendiam mereka melewati jendela anjung kanan gymnasium itu. Di belakang jendela-jendela yang semuanya memakai kain jendela dari renda yang serupa, sehingga seorang tuan yang didbenci dan ditakuti keluarga  Sklodowski dengan sangatnya : Iwanow, direktur Gymnasium itu, yang merupakan wakil pemerintah Tsar di antara dinding sekolah itu.
Pada tahun 1872 berbangsa Polandia “Warga Rusia”, adalah berarti bernasib malang, apabila seorang Polandia termasuk golongan intelligentzia yang bersemangat perlawanan, suatu golongan yang did antara lapisan-lapisan lain menderita lebih banyak karena perbudakan yang ditimpakan atas mereka.
Justru satu abad berselang sejak raja-raja yang loba (yaitu tetangga Polandia yang telah dilemahkan dan menakut-nakutinya), memutuskan keruntuhan negara itu. Tiga pembagian berturut-turut telah menoreh negeri yang malang itu dalam pecahan-pecahan yang dengan resmi menjadi daerah-daerah Jerman, Rusia dan Austria. Bangsa Polandia telah berontak terhadap penjajahnya. Dengan sia-sia belaka : belenggu-belenggu yang mengikat mereka hanya menjadi lebih kencang lagi. Setelah refolusi 1821 yang perkasa itu digagalkan, maka Tsar Nikolaas mengeluarkan peraturan-peraturan hukuman yang berat untk bagian Polandia yang menjadi daerah Rusia. Para pemuda yang setia kepada tanah air mereka, ditangkap secara besar-besaran dan di kirim ke dalam pembbuangan. Harta benda mereka di sita....
Pada tahun 1863 daya upaua diusahakan sekali lagi, tetapi gagal pula : kaum pemberontak hanya bersenjata tombak, arit dan pentung dalam menghadapi bedil-bedil pasukan-pasukan Tsar. Setelah berjuang delapan belas bulan lamanya denegan berputus asa, maka didirikanlah di atas kubu-kubu Warsawa lima buah tiang penggantungan di mana tergantung-gantung mayit pemimpin-pemimpin pemberontakan itu.
Sehabis peristiwa yang menyedihkan itu, segala ikhtiar dijalankan untuk menaklukan Polandia yang tak mau dibunuh itu. Rombongan-rombongan pemberontak yang dibelenggu diangkut ke medan-medan es dan salju di Siberia; sebaliknya agen-agen, guru-giri dan pegawai-pegawai Rusia membanjiri Polandia tak terkira-kira banyaknya. Tugas mereka? Mengamat-amati bangsa Polandia, melarang buku-buku dan surat-surat kabar yang dicurigai dan sedikit demi sedikit menghapuskan pemakaian bahasa sendiri. Dalam satu perkataan : membunuh jiwa rakyat. Tetapi sebaliknya di pihak seberang segera diatur dan disusun perlawanan. Pengalaman-pengalaman yang pahit memberikan keyakinan kepada bangsa Polandia, bahwa pada masa itu tak ada sedikit pun kemungkinan bagi mereka untuk merebut kemerdekaan kembali dengan jalan kekerasan. Karena itu, mereka harus menunggu-nunggu dan menentang akibat-akibat tunggu menunggu itu : Kelembikan dan putus asa.
Sekarang gperjuangan dipindahkan ke lapangan yang lain. Pahlawan-pahlawan rakyat Polandia tak berjuang lagi melawan kaum Kozak dengan bersenjatakan arit seperti Louis Narbutt yang ternama itu yang ketika ia tewas menyerukan : “Alangkah berbahagianya tewas untuk tanah air!” Pahlawan-pahlawan itu sekarang merupakan cerdik pandai, para seniman, pendita-pendita dan guru-guru sekolah; kepada mereka lah bergantung semangat turunan-turunan yang akan datang. Keberanian mereka terletak dalam kerelaan mereka memaksakan diri bermuka dua, lebih baik menderita penghinaan daripada kehilangan jabatan yang masih dibenarkan Tsar dipangku mereka dan dari mana mereka secara tersembunyi dapat membina pemuda dan pemimpjn rakyat mereka.
Itulah sebabnya maka ditiap-tiap sekolah di Negeri Polandia dalam selubung hormat tersembunyi permusuhan oleh yang dialahkan terhadap golongan yang menang; karena itulah para guru yang terusik bertentangan dengan direktur-direktur yang mengintip-intip; pihak Sklodoski terhadap pihak Iwanow.
Iwanow, yang tinggal di jalan Nowolipki, sangta dibenci. Kadang-kadang dengan tak merasa belas kasihan terhadap nasib orang bawahannya (yang terpaksa memberikan pelajaran dalam bahasa Rusia kepada anak-anak kebangsaan mereka sendiri), ia beralih dengan sekonyong-konyong dari perkataan-perkataan manis kepada tuduhan-tuduhan sekasar-kasarnya. Dengan rajin Iwanow (yang sangat kurang pula terpelajarnya) mengintai dalam kerja anak-anak yang tinggal dalam sekolah itu kalau-kalau ada, “Sifat-sifat polonisme” yang kadang-kadang  terselip dalam karangan-karangan murid-murid itu. Pergaulannya dengan guru Sklowski amat renggangnya, setelah pada suatu hari Sklodowski, dalam memeprtahankan seorang muridnya , dengan tenang menyerukan kepada Iwanow : “Tuan Iwanow, kalau anak ini membuat salah, adalah itu pasti karena ia khilaf. Tuan juga pernah, bahkan kerap kali, khilaf menulis huruf Rusia. Saya yakin bahwa tuan, seperti juga anak ini, membuat salah itu tak dengan sengaja!”.
Tentang Iwanow itu jugalah Sklodowski berbicara dengan istrinya dalam suara berbisik ketika Zosia dan Mania sehabis pulang dari pelancongan mereka, masuk ke dalam kamar kerja bapak mereka.
Nyonya Skloodowski membungkuk di hadapan pekerjaannya, suatu pekerjaan yang berat juga. Dengan pisau belati dan sebuah pusut ia membikin sepatu. Telah menjadi tabiatnya bahwa pada perasaannya tak ada pekerjaan yang terlampau rendah baginya. Setelah beban kewajiban ibu dan penyakitnya memaksanya tinggal di rumah, maka dipelajarinyalah pekerjaan tukang sepatu dan sekarang gharga sepasang sepatu yang dibikinnya bagi anaknya yang banyak menghabiskan sepatu itu, adalah hanya semahal harga kulit sepatu itu.
Sepatu yang sepasang ini buta kau. Maniusia! Lihatlah bagaimana senangnya kakimu di dalamnya!.
Mania melihat-lihat bagaimana tangan ibunya menggunting sebuah tapak sepatu dan mempergunakan tali rami. Bapaknya duduk dengan malasnya di kursi yang sangat disukainya. Alangkah senangnya memnajat ke atas lututnya itu. Ah, jangan! Ia bosan mendengar percakapan orang-orang dewasa itu! “Iwanow – polisi – Tsar pembuangan komplotan Siberia ....” Sejak lahirnya mania telah mendengar perkataan-perkataan itu setiap hari dan walau pun kurang  terng baginya makna perkataan-perkataan itu, diberikannya suatu arti yang menakutinya pada ke lima kalimat itu. Oleh bisikan intuisinya ia menarik diri dan menjauhkan saat manakala ia kelak dapat mengertinya. Sambil menguncikan dirinya dalam impian kanak-kanak, ia berpaling  dari orang tuannya dan suara-suara yang mengaisihinya yang kadang-kadang terganggu kalau gunting bergerak pada kult atau martil memukul paku.
Dengan angkuh ia berjalan-jalan dalam bilik itu dan kadang-kadang ia berhenti sambil menghadapi benda-benda yang disayanginya. Kamar kerja itu lah bilik yang sebagus-bagusnya dalam rumah orang tuanya itu, setidak-tidaknya itu lah yang terbanyak menarik perhatian Mania. Meja tulis besar dari kayu mahoni bermodel Perancis dan kursi bertangan dalam bangunan Restauratie bersalut kain Pluche yang tak dapat lusuh itu, mengagumkannya. Alangkah baiknya terpelihara perabot rumah itu! Alangkah berkilatnya! Kelak, apabila ia telah lebih tua dan bersekolah, ia akan mendapat tempat pada salah satuujung meja tulis yang banyak lacinya itu, di mana setiap malam anak-anak Sklodowski datang berkumpul mengerjakan pelajaran di rumah mereka.
Sebuah gambar besar dengan bingkai emas-emasan yang menghias dinding, rumah itu melukiskan seorang biskop, tetapi tak ada perhatian Mania untuk itu, walau pun menurut pendapat tersendiri dalam keluarga Sklodowski gambar itu adalah ciptaan Titian. Ia hanya mempunyai perhatian untuk sebuah jam besar berwarna hijau yang terletak di atas meja itu dan untuk sebuah menja bundar yang dibawa seorang misannya pada tahun yang lamapu dari Palermo : atasan meja itu merupakan papan catur dan tiap-tiap persegian empat di dalamnya dibuat dari semacam jubin batu marmer.
Dengan melewati sebuah lemari kaca yang terletak di atasnya sebuah cangkir porselin Sevre (dihiasi dengan sebuah peripih Lodewijk XVIII, yang selalu dilarang kepda Mania mendekatinya sehingga ia setakut-takutnya melihat cangkir itu), tibalah anak itu di depan benda-benda yang digemarinya benar. Yan g sebuah tergantung di dinding dan merupakan sebuah barometer yang jarum panjangnya berkilat di atas pelatnya dan dibersihkan guru itu pada waktu-waktu tertentu dengan teliti, sedang anak-anaknya memperhatikannya sepenuhnya; benda yang lain ialah sebuah lemari kaca dengan beberapa papan di mana tersimpan pelbagai alat-alat yang bagus dan mengagumkannya; saluran-saluran diperbuat dari kaca, timbangan-timbangan kecil, contoh-contoh barang galian, bahkan sebuah electroscop dari emas.
Dulunya Sklodowski biasanya pada waktu pelajaran membawa itu semuanya ke tampat pelajaran, tetapi sejak pihak atasan memerintahkan menguranginya pelajaran ilmu pasti, lemari itu selalu tinggal tertutup. Mania tak dapat mengerti untuk apakah dipergunakan barang-barang yang indah itu semuanya. Pada suatu hari, ketika ia dengan berjingkat melihat-lihat itu semuanya dengan mata yang tertawan oleh keherannya, dengan sepintas lalu bapaknya menyebutkan nama barang-barang itu : alat-alat untuk kegunaan ilmu alam. Nama yang ganjil. Tak lupa ia nama itu – tak pernah ia lupa sesuatu apap pun jua – dan dengan girangnya diulanginya nama itu sambil bernyanyi.


BAB. II. MASA MEGA MENDUNG
“Marya Sklodowski!”
“Saya encik!”
“Ceritakanlah serba sedikit tentang Stanislas Augustus!”
“Stanislas Augustus dinobatkan menjadi raja Polandia pada tahun 1764. Ia cerdik, sangat terpelajar dan sahabat apra seniman dan para penulis. Ia menginsafi kekurangan-kekurangan yang melemahkan kerajaannya dan ia berikhtiar mencari salah satu cara mencegah kekacauan negara. Sayang sekali tak ada keberaniannya....”
Murid yang berdiri dalam bangkunya dan melafalkan pelajarannya dengan suara yang tegas dan nyaring itu tak banyak bedanya dari teman-temannya se sekolahan. Pakaian seragam kains erasi berwarna biru muda dengan kancing baja serta leher putih yang di kanji, menyebabkan anak yang berumur sepuluh tahun itu lebih kecil nampaknya. Tetapi di manakah kerang rambutnya yang berkeriting, pendek, berwarna putih kuning, selalu kusut itu yang biasanya menghiasi kepada Anciupecio? Dan rambutnya terlampau kencang diikat dengan sebuha pita kecil, sehingga rambut keritingnya tertarik ke belakang telinganya yang bagus potongannya itu, dan mukanya hampir kasar nampaknya. Hela, yang duduk di bangku sebelah Mania, sekarang rambut berjalinan yang lebih tebal menggantikan kerolnya yang panjang.
Pakaian cermat, hiasan rambut yang rapi, itulah peraturan perguruan encik Sikorska.
Gurunya yang duduk di belakang meja tulisnya, juga berpakaian cermat. Bajunya sutera hitam yang lehernya diperlengkapi dengan balin, tak pernah bersifat model baru dan lagi ecik Antonine Tupolska bukan seorang perempuan berparas cantik. Parasnya itu jelek dan kasar. Encik Tupolska yang baisanya dinamakan “Tupoia”, adalah guru ilmu hitung dan sejarah merangkap opseter pula : dalam jabatan inilah ia kerap kali terpaksa bertindak secara keras taerhadap mania yang bersemangat kemerdekaan dan bertegar hati sebagai turunan “Sklodowska”. Tetapi walau pun demikian, dalam pandangannya terhadap Mania tersimpul dengan nyata perasaan kasih sayang. Ia bangga karena keutamaan muridnya yang berumur dua tahun lebih muda dari teman-teman sekelasnya dan tak pernah ia susah belajar, bahkan senantiasa ia nomor wahid dalam pelajaran-pelajaran berhitung, sejarah, kesustraan, Bahasa Jerman, Prancis dan Katekismus.
Dalam kelas itu sunyi-senyap, bahkan ada lagi yang melebihi kesenyapan itu. Pelajaran sejarah selalu menimbulkan suasana kerajinan yang bersemangat. Mata dua puluh dua orang anak gadis yang seolah-olah dibakar api cinta tanah air, dan paras kasar Tupoia menggambarkan semangat yang bergelora. Apabila Mania sambil membicarakan raja yang telah lama wafat itu menerangkan dengan suara merdu : sayangsekali tak ada keberaniannya, maka adalah diucapkannya itu dengan suatu gairah  yang ajaib.
Guru yang tak berparas cantik itu dan anak-anak gadis penuh khidmat mendengarkan pelajaran sejarah Polandia dalam bahasa Polandia seakan-akan bersekutu dalam suatu komplotan.
Dengan sekonyong-konyong mereka semuanya terkejut seolah-olah sesungguhnyalah mereka bersekutu dalam suatu komplotan; dalam serambi muka terdengar dengan perlahan-lahan suara lonceng listrik.
Tanda ini segera meninggalkan kesibukan luar biasa, walau pun dalam pada itu, segala-galanya dilakukan dengan tenang. Tupoia berdiri dengan cepat dan mengumpulkan selekas-lekasnya segala bukunya yang tersebar di sana-sini. Tangan-tanagn gesit mengambil buku-buku tulis dan kitab-kitab pelajaran dalam bahasa Polandia dari meja-meja tlis dan menghimpunkannya dalam kain celemek lima orang murid yang dengan cepat menghilang ke bilik tidur anak-anak yang tinggal di sana. Beberapa kursi di geser, meja tulis di buka dan di tutup kembali dengan perlahan-lahan. Murid yang lima orang itu dengan bersesak nafas duduk kembali pada tempatnya masing-masing. Maka dibukalah pintu sebelah gang bilik itu ....
Di muka pintu berdiri, berpakaian seragam yang bagus guntingannya dan ukurannya sesak sempit, celana kuning, baju pendek berwarna biru dengan kancing berkilat : Inspektur sekolah-sekolah partikelir dalam kota Warsawa : Tuan hornberg. Badannya tegap dan rambutnya dipangkas menurut potongan Jerman. Mukanya gemuk, matanya tajam dan kaca matanya bergagang emas. Dengan tak mengatakan sesuatu apa, inspektur itu memandang murid-murid dalam kelas itu. Di sisinya kepala sekolah itu, encik Sikorska, juga memandang anak-anak gadis itu, pada lahirnya dengan tenang tetapi apda batinnya penuh ketakutan yang disembunyikan! Hari ini tak banyak waktu berlebihan .... segera sesudah jaga pintu sekolah itu memberikan tanda seperti telah dimafakatkan, maka Hornberg telah mendahului encik yang mengiringnya, naik ke atas dan masuk ke dalam kelas. Apakah semuanya telah ddibereskan?
Semuanya telah beres. Dua puluh lima orang anak gadis smembungkuk di atas pekerjaan mereka mempergunakan bidal jari-jari sambil sibuk membuat rumah kancing dengan rapi dalam potongan-potongan kain bertiras .... Gunting-gunting dan gelendong-gelendong benang besebaran sana-sini di atas meja tulis yang telah dikosongkan. Tupoia dengan muka merah dan pembuluh darahnya melembung, sengaja mengembangkan sebuah kitab tulisan huruf Rusia di atas meja tulisnya.
“Anak-anak gadis ini setiap minggu mendapat pelajaran menjahit selama dua jam, tuan Inspektur!” kata kepala sekolah itu dengan tenang dalam bahasa Rusia. Hornberg mendekati guru Topia.
“Tadi encik membaca dengan bersuara. Buku apakah itu?”
“Cerita-cerita Krylow. Baru hari ini kami mulai.”
Tupoia menjawab dengan segala ketenangan. Lambat laun warna pipinya telh kembali seperti biasa. Dengan suatu gerak tangan yang pura-pura tak disengaja, Hornberg mengangkat tutup meja tulis yang terdekat letaknya. Tak ada sesuatu apa. Tak ada buku tulis, kitab pun tak ada.
Setelah memilin benang dengan teliti dan mencucukkan jarum masing-masing ke dalam kain tirasnya, maka murid-murid itu menghentikan pekerjaan mereka. Dengan tak bergerak mereka duduk dengan tangan bersedakap, semuanya serupa dalam pakaian hitam berleher putih. Sekonyong-konyong paras anak gadis yang dua puluh lima orang itu seolah-olah lebih tua nampaknya. Air muka mereka tan menunjukkannsuatu apa, tetapi di belakangnya tersembunyi ketakutan berbaur dengan kelicikan dan dendam.
Hornberg menerima kursi yang disuguhkan encik Tupolska kepadanya dan ia pun duduk dengan malasnya.
“Panggillah salah seorang dari anak-anak gadis itu ke sini!”.
“Di barisan ke tiga dengan sendirinya Mania berpaling muka ke arah jendela. Ddalam hatinya ia mendoa : “Oh Tuhanku, izinkanlah jangan aku dipanggilnya. Jangan aku ..... jangan aku!”.
Tetapi ia tau juga, baha ia lah yang akan dipanggil. Ia tahu bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan inspektur kerajaan, ialah yang selalu ditunjuk gurunya, karena ia lah yang terpintar dan ia pandai bicara bahasa Rusia dengan lancar.
Apabila didengarnya namanya di panggil, maka ia pun berdiri. Perasaannya seolah-olah ia menjadi panas, bukan, seolah-olah ia menjadi dingin. Perasaan malu yang haiban mencekik lehernya.
“Mendoalah engkau, diperintahkan Hornberg dengan muka malas dan kesal.
Dengan suara merata Mania mengucapkan doa “Bapa kami”, dengan tak ada khilafnya. Salah satu dari penghinaan yang dirancang oleh Tsar ialah memaksa anak-anak bangsa Polandia setiap hari mengucapkan doa katolik dalam bahasa Rusia. Dengan cara demikian disuruhnya dengan kedok menghormatinya anak-anak itu merendahkan agama mereka sendiri.
Kembali sunyi.
“raja-raja Tsar manakah sejak Catharina II memerintah Rusia kita yang suci itu?”
Catharina II, Paul I, Alexander I, Nikolas I, Alexander II.
Inspektur itu senang hatinya. Ingatan anak ini kuat benar. Dan sebutan-sebutan perkataannya! Tak ada bedanya seolah-olah ia lahir di Sint Petersburg.
“Sebutkana nama-nama dan gelaran-gelaran anggota-anggota keluarga kerajaan.
“Seri Baginda Ratu Tsarina, Seri Baginda Raja Tsarewitch Alexander, Seri Paduka Mangkubumi..........
Setelah Mania selesai menyebutkannya semuanya, maka Hornberg tersenyum. Sungguh bagus ini! Tuan itu tak melihat atau tak mau melihat bagaimana Mania dengan gugup dan muka tak berseri berikhtiar menyembunyikan perasaannya hendak berontak.
“Di antara pemangku-pemangku jabatan, gelaran manakah dipakai untu Tsar?”
“Wielczestwo.”
“Dan bagaimanakah gelran saya?”
“Wysokorodie.”
Inspektur itu suka benar menanyakan hal ikhwal remehan tentang tingkat-tingkat kederajatan semacam itu yang dianggapnya lebih penting dari mengeja atau berhitung. Semata-mata untuk kesenangannya sendiri ia bertanya lagi :
“Siapakah yang memerintah kita?”
Untuk menyembunyikan amta mereka yang berapi-api itu, kepala sekolah dan gurunya merenung melihat buku-buku di hadapan mereka. Karena jawabnya kurang cepat datangnya, maka Hornberg mengulangi pertanyaan itu dengan suara bengis sambil menggertak.
“Siapakah yang memerintah kita?”
“Seri Baginda Raja Alexander II, Tsar segala rakyat Rusia, jawab Mania dengan lesu dan muka pucat.
Pemeriksaan telah selesai. Pegawai itu bangun dari kursinya dan setelah memberi salam secara ringkas, maka ia pun pergi ke kelas yang lain. Diiringi oleh ecik Sikorska.
Maka Tupoia mengangkat kepalanya.
“Datanglah sini, jantung hatiku!”
Mania keluar dari bangkunya dan pergi menuju gurunya yang dengan tak berkata apa-apa menciuminya di dahinya. Maka, sedang kelasnya seolah-olah hidup kembali, air matanya pun bercucuran dengan bersedu-sedu memberikan kelegaan baginya.
Tadi Inspektur datang! --- Tadi Inspektur datang!.
Dengan gelisah anak-anak sekolah itu menceritakan berita ini kepada ibu mereka yang menjemput mereka dari sekolah dan menunggu di muka gedong sekolah itu. Murid-murid yang berpakaian panas dan orang-orang dewasa yang kelihatannya gemuk karena pakaian musim dingin, beserak dengan cepat di kaki lima yang diliputi oleh salju pertama dalam tahun itu. Mereka berbicara dengan berbisik; tiap orang yang melancong di sana atau tiap-tiap orang yang mengembara atau pun berdiri melihat-lihat di muka kaca toko-toko, mungkin merupakan mata-mata polisi yang menyamar.
Kepada bibi Michlowska – bibi Lucia – yang datang menjemput kakak-beradik itu, diberikan Hela laporan yang bersemangat tentang kejadian hari itu.
“Hornberg memajukan pertanyaan-pertanyaan tadi kepada Mania .... dan mania menjawabnya dengan baik sekali ... sesudah itu ia menangis .. Rupa-rupanya Isnpektur itu tak ada memberikan celaan apa-apa di kelas mana pun.
Hela, pengobrol itu, bercerita dengan berbisik. Mania berjalan di samping bibinya dengan tak mengatakan sesuatu apa. Walau pun telah beberapa jam beselang sejak pertanyaan-pertanyaan itu dimajukan ke padanya, ia masih merasa gugup. Ia tk menyuai kegelisahan-kegelisahan yang timbul dengan mendadak itu; ia membenci pertunjukan penghinaan yang selalu memaksanya berdusta-dusta.
Karena perkunjungan Hornberg ini kesedihan-kesedihan dalam hidup Mania bertambah berat lagi dirasanya. Adakah lagi baginya ingatan masa kecilnya sebagai orang yang tak mengetahui kesusahan? Bencana yang berturut-turut datangnya menimpa rumah Sklodowski itu sehingga keempat tahun belakangan bagi Mania merupakan suatu masa impian dalam gelap gulita.
Mula-mula ibunya berangkat ke Nice dengan Zosia. Kepada Mania dikatakan bahwa manakala ibunya kembali dari perawatannya di sana, ia akan segar bugar kembali seperti sedia kala. Akan tetapi setelah aak itu bertemu lagi dengan ibunya sehabis perpisahan salam satu tahun, hampir tak dikenalnya alagi ibunya yang telah merupakan seorang perempuan tua karena dirundung nasib malang.
Dalam musim rontok tahun 1873 mereka kembali dari liburan. Ketika Sklodowski pada permulaan tahun pelajaran yang baru datang kembali dengan keluarganya di Jalan Nowolipki untuk mengulangi menunaikan kewajibannya, maka didapatnyalah sepucuk surat resmi di atas meja tulisnya: Atas perintah yang berwajib pembayaran gajinya dihentikan, rumahnya dicabut dari dia dan begitu pula gelarannya sebagai pembantu Inspektur. Ia telah menjadi seorang-orang yang dikeluarkan dari masyarakat.
Secara kejam direktur sekolah itu telah membalas dendamnya terhadp seorang bawahan yang kurang takluk kepadanya. Ia lah yang menang. Setelah beberapa kali berpindah-pindah, maka keluarga Sklodowski memasuki sebuah rumah di simpang Jalan Nowolipki dan Carmelita.
Dengan tak kentara kehidupan mereka telah mengalami perubahan berhubung dengan kesukaran dalam kauangan mereka. Mula-mula guru itu mengambil dua tiga orang murid yang membayar makan di rumahnya, kemudian lima, delapan, bahkan sampai sepuluh orang. Kepada anak-anak yang dipilihnya iu dari bekas muridnya, diberikannya pemondokan, makanan dan pelajaran-pelajaran istimewa. Rumah itu menjadi korat-karit seperti rumah penginapan umum dam ketulusan dalam hidup keluarga telah hilang lenyap.
Tindakan-tindakan ini terpaksa diambilnya bukan saja karena penghasilan Sklodowski berkurang atau berhubung dengan pengorbanan-pengorbanan yang harus didberikannya untuk membayar perawatan istrinya di Riviera.
Terseret-seret oleh seorang iparnya dalam suatu spekulasi berahaya, Sklodowski, yang biasanya selalu berhati-hati, kehilangan dalam waktu yang singkat tiga puluh ribu rubel yang merupakan uang simpanannya. Diusik oleh perasaan menyesal dan takut akan hari kemudian, ia berputus asa sejak itu dan didorong oleh iman hati yang terlampau memberatinya, ia selalu menuduh dirinya bahwa ia memiskinkan keluarganya dan menghilangkan mas kawin untuk anak-anaknya.
Tetapi dalam Bulan Januari 1876, tepat dua tahun yang lampau, barulah Mania secara kejam mengethaui bencana yang sebenarnya.
Seorang anak yang bayar makan di sana, dihinggapi penyakit demam kepialu dan penyakit itu menular kepada Bronia dan Zosia. Alangkah sengsaranya masa itu! Dalam bilik yang satunya ibunya tak berdaya menahan-nahan batuknya bangkit dan dalam bilik yang lain dua orang anak gadis mengerang menggigil karena padana demamnya. Pada suatu hari Rabu datanglah dengan mata bengkak karena tangisnya bapak mereka menjemput Yosep, Hela dan Mania serta membawa mereka ke tampat kakak mereka yang tertua, Zosia, berpakaian putih, dengan tangan berkatup dalam sebuah keranda dengan muka tak berdarah yang seolah-olah mengandung senyuman. Alangkah cantiknya ia, sekalipun rambutnya telah digunting pendek sekali.
Buat Mania itu aalah pertama kalinya ia berdekatan dengan malakalmaut. Itulah penguburan yang pertama kalinya dihadirinya dengan berpakaian hitam sedang Bronia yang mulai sembuh itu duduk tersedu-sedu dalam tempat tidurnya dan ibunya yang terlampau lemah untuk pergi ke luar rumah menyeret-nyeret badannya dari jendela yang satu ke jendela yang lain agar, dengan pandangannya dapat diikutinya sejauh mungkin kereta mayit anaknya yang dengan perlahan-lahan menju melalui jalan Carmelita.
“Kita ambil jalan memutar,” nak! Saya mau beli apel sebelum datang hari dingin pertama.
Bibi Lucia, yang pintar yang baik budi itu, melangkah dengan cepat sambil mengiring keponakan-keponakannya ke arah taman Saksia yang pada hari petang di bulan Nopember itu sunyi senyap nampaknya. Tiap-tiap kesempatan dipergunakannya untuk membawa anak-anak itu keluar mengambil hawa yang sehat, jauh dari rumah yang selalu tertutup, di mana ibu mereka menjadi layu karena batuk keringnya. Asal jangan mereka juga dihinggapi penyakit itu! Hela nampaknya sehat benar tetapi Mania pucat dan murung.
Setelah mereka melalui taman Saksia itu, maka bibi dan keponakan-keponakannya menuju bagian lama kota Warsawa, tempat lahir Mania. Di sini jalan-lajan lebih bagus daripada di bagian baru kota itu. Di bawah atap-atapnya yang besar, berwarna putih dan miring, rumah-rumah di medan Stare Miasto bertembok ab-abuan warnanya karena tuanya, dihiasi dengan ukir-ukiran yang tak terhitung banyaknya. Pigura-pigura orang keramat, birai-birai merupakan mahkota , dan gambar-gambar binatang yang dipakai sebagai papan alamat rumah makan dan toko-toko.
Suara lonceng-lonceng dengan pelbagai bunyi-bunyian kedengaaran bersilang-siur di udara yang sedang mendingin itu. Gereja-gereja di sana mengingatkan Mania pada masa mudanya. Ia mendapat permandian suci dalam Gereja Santa Maria; komuninya yang pertama dibuatnya dalam gereja Dominikana pada suatu hari yang tak dapat dilupakannya, ketika ia dan misannya Henriette bersumpah tak kan mengenai hosti itu dengan gigi mereka. Dalam gereja Santo paulus kerap kali anak-anak gadis itu datang mendengarkan khutbah hari Minggu yang diucapkan dalam bahasa Jerman. Juga amedan Nowe Miasto tak asing bagi Mania. Di sini keluarga Sklodowski berdiam setahun lamanya, ketika mereka masih baru tamat dari gymnasium. Seasa itu tiap-tiap pagi anak ini ergi ke gereja Ibu suci yang menaranya ajauh meningkat di atas sungai yang mengalir di sana.
Bibi menandakan mereka msuk ke dalam tempat sebhayang itu. Setelah Mania melalui pintu Gothik yang sempit dan melangkah beberapa jauh dalam silam hari, maka Mania berlutut dengan gemetar. Alangkah sedihnya datang kemari dengan tak ikut Zosia yang telah meninggal dunia itu dan dengan tak hadirnya ibunya yang rupa-rupanya tak mendapat perlindungan lagi dari Tuhan.
Mania dmenunjukan doanya kepada Tuhan yang dipercayainya. Ia mendoakan dengan segenap hatinya dan dengan putus asa untuk ibunya yang disayanginya lebih dari segala-galanya di dunia ini.
Sebagai tukarnya ditawarkannya hidupnya sendiril guna melepaskan ibunya dari bahaya maut ia bersedia mengorbankan jiwanya sendiri.
Sehabis embahyang mereka keluar dari gereja itu dan menurun ke tepi sungai dengan melalui sebuah tangga yang tak rata. Air kuning sungai Weichsel mengalir mengelilingi beting-beting yang di tengah-tenegahnya merupakan pulau-pulau dan berkelocak ke pinggir kali itu yang penuh tempat berenang yang terapung-apung dan tempat pencucian. Tamabangan-tambangan yang panjang dan berwarna abu-abuan yang di musim pana dipergunakan rombongan-rombongan bersuka ria untuk bermain-main di air; sekarang kosong dan tinggal. Segala yang merupakan hidup dekat sungai itu, terhimpun sekeliling perahu-perahu penjual buah appel. Ada dua buah perahu semacam itu di sana. Dua perahu besar, sempit dan lancip terbenam dalam air hampir sampai kepada bibirnya. Pemilik perahu itu juga berpakaian kulit domba, menyingkapkan merang buat mengunjukkan  barang perniagaannya. Buah-buah appel yang merah, keras dan berkilat itu merupakan muatan yang indah di bawah lapisan merang sebagai pelindungnya terhadap dingin es. Ratusan, bahkan ribuan buah appel bertimbun dalam perahu. Buah-buahan itu didatangkan dari sebuah udik sungai Weichsel, yaitu Kazmierz, sebuah kota yang indah; beberapa hari berselang sebelum buah-buahan itu tiba di sini.
“Aku memilihnya, buah appel kita!” Memanggil Hela sambil di tanggalkannya sarung tangannya dan tas sekolahnya di letakkan di sampingnya. Mania pun dengan segera mengikutinya. Tak ada yang dapat menghiburkan anak-anak gadis itu sebaik pekerjaan ini, karena setiap bahagiannya diketahui dan disukai mereka. Buah appel itu dipungut satu persatu, dibolak-balik dan sesudah itu dilemparkan dalam sebuah keranjang rantingan. Kalau terdpat di antaranya busuk, maka dibuanglah itu dengan melengkung ke dalm air dan dilihat bagaimana buah yang merah bundar itu terbenam. Apabila keranjang itu telah penuh, maka mereka naik ke darat dengan appel yang sebagus-bagusnya dalam tangan mereka. Appel itu dingin dan bergeretak di antara gigi, tetapi enak mengeratnya sampai habis, sedang bibi Lucia membicarakan harganya dan mengunjuk salah seorang dari anak-anak yang berkeliaran di sana untuk menyandang persediaan buah yang berharga itu ke rumah.
Jam lima. Setelah habis minum teh, babu-babu membersihkan meja besar dan memasang lampu minyak tanah yang tergantung dalam kamar itu.. Inilah saat belajar. Anak-anak yang bayar makan di sana, tinggal dalam kamar mereka berdua atau bertiga. Anank-anak guru itu berkumpul semuanya dalam kamar makan yang didjadikan kamar kerja. Buku-buku tulis dan kitab mereka dibuka dan segera terdengarlah dari segala sudut suara bergumam komat-kamit yang sama bunyinya dan bertahun-tahun lamanya suara semacam itu yang menjadi suara utama dalam rumah itu.
Yang seorang tak dapat menghafal syair-syair bahasa Latin, kalau suaranya tak terdengar; yagn seorang lagi tak dapat menghafal bilangan-bilangan tahun atau pelajaran-pelajarannya. Jika tak diperdengarkan suaranya. Di setiap sudut tempat bekerja rohani itu ada yang mengeluh sambil belajar bersungguh-sungguh. Semuanya susah sulit pula! Beberapa kali guru itu terpaksa menghiburkan hati seorang muridnya, jika anak itu berputus asa, apabila ia, walau pun ia mengerti benar apa yang diterangkan kepadanya dalam bahasa Polandia, tak dapat memahaminya, apalagi mengulanginya dalam bahasa Rusia, bahasa resmi itu, sekali pun ia berikhtiar bersungguh –sungguh mengerti dan mengulanginya!
Mania tak pernah mengalami kesulitan-kesulitan semacam itu. Ingatannya luar biasa sehingga, apa bila ia dengan tak ada sifat melafalkan sebuah syair yang hanya dua akali dibacanya, teman-teman sekolahnya menuduhnya bahwa Mania memperolok-olok mereka dengan jalan terlebih dahulu menghafal pantun itu dengan tersembunyi. Jauh lebih dulu dari yang lain-lain Mania siap mempelajari pelajarannya dan kerap kali ia membantu seorang temannya yang berkeluh kesah, biar pun aar ada pekerjaannya maupun didorong oleh perasaan persahabatan yang jamak baginya.
Tetapi lebih suka seperti pada malam ini, duduk di meja besar membaca buku dengan sikunya di atas meja, tangannya menumpu kepalanya dan ibu jarinya menutupi telinganya sebagai perlindungan terhadap Hela yang tak dapat menghafal pelajarannya dengan tak berteriak. Penangkal itu sebenarnya tak perlu : karena sibuknya membaca bukunya itu dengan sekejap mata saja Mania tak mengetahui lagi apa yang terjadi di sekelilingnya.
Kurnia kesangupannya mencurahkan seluruh perhatiannya dalam suatu hal, inilah sifat yang luar biasa pada Mania yang selainnya adalah merupakan anak yang biasa dan sehat; tetapi sifat Mania ini sangat menggelikan kakak dan teman-temannya. Tak terhitung berapa kali sudah Bronia dan Hela bersama-sama dengan murid-murid yang bayar makan di rumah mereka mengaduh seribut-ributnya sambil mendekati adik mereka itu, tetapi tak sedikitpun mereka berhasil mengganggunya, sehingga sekejap mata pun Mania tak menoleh dari bukunya. Hari ini mereka berikhtiar merekakan cara yang lebih tepat dan Henriette Michlowski, anak bibi Lucia mengajak mereka berbuat nakal.Dengan menjingkat mereka mendekati Mania dan mendirikan semacam perancah di sekitar Mania yang sedikit pun tak bergerak. Di sisinya kiri-kanan dua buah kursi, di belakangnya sebuah lagi, di atasnya dua buah pula dan sebuah lagi di puncaknya merupakan mahkota usaha mereka. Sesudah itu mereka menyelimpat dengan diam-diam dan pura-pura mereka belajar sambil menunggu-nunggu. Lama mereka menunggu-nunggu itu; anak yang asyik membaca itu tak melihat apa pun jua. Tak didengarny berbisik-bisik, maupun tertawa yang ditahan-tahan, maupun bayangan-bayangan kursi di atas kepalanya tak dilihatnya. Ada setengah jam ia duduk dalam keadaan semacam itu dengan tak mengetahui tentang limasan yang ujung-ujungngya di belakangnya. Sehabisnya ia membaca satu bab, maka ditutupnyalah bukunya  dan ia menganggkat kepalanya. Dengan suara gemuruh segala-galanya runtuh. Kursi-kursi berpelantingan di lantai. Hela meraung-raung kegirangan. Bronia dan henriette berjaga-jaga kaerna takut akan pembalasan dendam. Tetapi Mania sedikit pun tak mengacuhkannya. Tak dapat ia marah atau girang karena jenaka yang mengejutkannya. Matanya yang abu-abuan warnanya itu memandang secara linglung-engak sebagai seorang melindur berjalan yang dibangunkan dengan kejam dari impiannya. Dihapusnya bahunya yang agak keras dikenai kursi tadi, diambilnya bukunya dan ia pergi dengan buku itu ke bilik yang di sebelah. Ketika ia melampaui “orang-orang besar” itu ia hanya mengucapkan dua perkataan : “Gelo’ni!”
Itulah suatu pernyatan tenang yang sekali-kali tak disukai “orang-orang besar itu”.
Saat-saat syor  semacam itu yang seolah-olah menelannya, itulah yang mengingatkan rawanan hari Mania semasa mudanya. Maka dibacanyalah saling berganti buku-buku sekolah, syair-syair, cerita-ceirta perwira dan kitab-kitab lapangan tehnik yang dipinjamnya dari perpustakaan bapaknya. Dengan cara demikianlah ia buat beberapa waktu menghalau pikiran-pikiran muram yang mengejar-ngejarnya seperti hantu. Lupalah ia mata-mata Eusia, perkunjungan-perkunjungan Hornberg, tak diingatnya lagi muka lesu bapaknya yang lemas lurus dalam pekerjaannya yang tak memberikan penghasilan yang cukup baginya dan dilupakannyalah juga kegaduhan yang menetap dalam rumahnya itu. Begitu pula ia tak menghiraukan kewajibannya bangun pagi-pagi, apabila ia, sedang masih setengah tidur, terpaksa meninggalkan bangku tidurnya beralas kain pluche yang kasurnya selalu meluncur; karena kamar tidur anak-anak Sklowdowski itu jualah dipergunakan sebagai kamar makan, di mana pagi-pagi murid-murid yang bayar makan bersarapan.
Dilupakanyalah hal-hal yang menuktinya : takut akan penyiksaan oleh pihak penindas, takut akan agama dan takut akan penyakit dan mati. Bisikan sukamanya menyebebkan ia berikhtiar melarikan diri dari suasana yang terlalu memberatinya.
Tetapi hanya sebentar sajalah ia dapat melepaskan diri dari genggaman ketakutan itu. Serta ia kembali kenyataan, lalu dengan sekonyong-konyong segala-galanya telah meulih pula; terlebih-lebih kekuatirannya berkenaan dengan kesehtan ibunya. Si sakit yang dulunya cantik molek itu, sekarang hanya merupakan bayangan saja lagi. Dan sekali pun semua orang menghiburkan dan membesarkan hatinya. Mania merasa bahwa pengabdiannya dan doanya itu semuanya tak dapat lagi mengelakkan kejadian yang telah mendekat itu.
Juga si sakit sendiri memikirkan saat yang mengandung bencana itu. Di dorong prasaan yang menjadi tabiat baginya, ia ingin bersiap untuk yang akan datang dan ia tak suka perjalanan rumah tangganya murat-marit karena itu. Pada tanggal sembilan bulan Mei 1878, atas permintaannya sendiri dokternya digantikan oleh seorang pendita. Hanya paderi itulah yang dapat mengetahui serba sedikit tentang penderitaan perempuan ini; tentang kesedihn hatinya karena ia terpaksa menyerahkan pemeliharaan anak-anaknya yang empat orang itu kepada suaminya yang dicintainya itu, tenetang ingatannya kepada pikiran-pikiran yang mengusiknya berhubung dengan hari kemudian anak-anaknya yang masih muda remaja dan sekarang harus ditinggalkannya;ntentang Maniusia yang baru saja berumur sepuluh tahun...
Kepada keluarganya hanya diunjukkannya muka yang sentosa yang pada saat-saat akhirnya mendapat kemurnian yang menakjubkan. Ia meninggal seperti dikehendakinya sendiri : dengan tak meracau, dengan tak ada belarakan. Suaminya, anak-anaknya semuanya berjaga di samping tempat tempat tidurnya dalam sebuah bilik yang rapi dan teratur. Dan matanya yang besar dan merawan hati itu dimana maut telah berselubung, berpaling saling berganti kepada lima orang yang mukanya bergerising, seolah-olah perempuan yang menghadapi ajalnya itu meminta ampun karena ialah menjadi sebab-musabab duka-cita sebanyak itu.
Masih cukkup kekuatannya meminta diri dari seorang demi seorang. Lambat-laun kelemahannya mengalahkannya berangsur-angsur. Bara api yang terakhir dalam hidupnya memberikan kesempatan lagi baginya menggerakkan tangannya, mengucapkan suatu perkataan, memberikan Tandasalib – dengan sangat gemetaran – guna memberikan berahnya untuk segenap keluarganya; dan perkataan terakhir dibisikkannya dengan hela nafasnya yang penghabisan sambil ia memandang suami dan anak-anaknya : “Kekasihku!”
Dengan berpakaian perkabungan untuk ke dua kalinya Mania menjalani rumahnya dengan perasaan sedih. Belum dapat ia menyesuaikan dirinya kepada keadaan yang baru itu, yaitu Bronia tidur sekarang dalam kamar yang dahulu di tempati ibunya; hanya ia dan Hela lagi yang tidur di atas bangku beralas kain pluche itu. Saben pagi datang seorang suster, yang dipanggil bapaknya dengan tergopoh-gopoh, memberikan perintah kepada babu-babu, mengatur makanan orang-orang yang bayar makan di sana dan sambil lalu menongak anak-anak itu berpakaian. Sklowski memberikan segala waktu yang tak dibutuhinya untuk pekerjaannya, kepada anak-anaknya. Tetapi ia hanyapat memberikan pemeliharaan seorang lelaki yang canggung.
Di masa kecilnya Mania telah mengenal kekejaman hidup. Kekejaman untuk bangsa-bangsa, kekejaman untuk seorang manusisa.
Zosia telah meninggal, ia telah kehilangan ibu. Dalam kehilangan kasih sayang ibunya itu dan dalam kehilangan perlindungan seorang gkakak, Mania yang pantang mengeluh itu, bertambah besar dalam keadaan seolah-olah ia ditinggalkan.
Hatinya besar tetapi ia tak tawakal. Apabila ia berlutut di Gereja Rum-Katholik yang dahulu di kunjunginya dengan ibunya, ia merasa suatu perlawanan yang tak tertentu dalam hatinya. Tak lagi dengan cinta kasih seperti sedia kala ia menyebutkan nama Tuhan yang menimpakan bencana atas dirinya, yang menhancurkan kegembiraan, impian dan kasih sayang di sekitarnya, padahal ia tak mengetahui apakah kesalahannya.
BAB. III. MASA GADIS PERAWAN
Dalam sejarah tiap-tiap keluarga ada masa perkembang biak. Berdasarkan sebab musabab yang tak dikenal, dapatlah suatu keluarga berkat tenaganya yang berlebih-lebihan, kemurniannya dan kebahagiannya, dibedakan dari turunan-turunan yang mendahuluinya ata yang menggantikannya.
Masa itu tiba juga bagi keluarga Sklowski yang telah banyak berkorban kepada nasib sengsara. Ketika Zosia meninggal dunia,ia seolah diambil jadi seorang sandera di antara lima orang anak-anak yang bersemangat dan cerdik pandai. Dalam empat orang yang lain itu (yang lahir dari seorang ibu berpenyakit tering dan seorang bapak cerdik pandai yang membanting tulang), terkandung kesakitan yang tak dapat dikatakan, Meraka mematahkan segala tantangan, menyingkirkan segala yang menghalang-halangi agar dapat dicapai tujuan mereka dan keempat-empatnya mereka akan menjadi orang-orang yang pelik.
Begitulah mereka dudu sekeliling meja sarapan pada suatu hari bercuaca dalam musim semi 1882.
Hela : Besar dan molek; dalam umur enambelas tahun ia merupakan lambang “kecantikan” dalam keluarganya. Bronia : paras muda remaja, kulit halus dan rambut emas-emasan, Yosep anak sulung, berpakaian mahasiswa, berawak tegap.
Mania....? Sebenarnya Mania nampaknya amat sehat, bahkan ia bertambah gemuk dan pinggangnya dalam pakaian yang sempit potongannya itu jauh dari ramping. Karena ia anak bungsu, pada masa ini ialah yang terkurang juitanya. Tetepai seperti juga kaka-kakaknya, mukanya berseri-seri dan memikat hati, sedang matanya bercahaya, rambutnya putih kuning dan kulitnya halus sebagai yang lazim bagi wanita bangsa Polandia.
Hanya anak-anak yang termuda masih berpakaian seragam; Hela warna biru, murid yang rajin pada perguruan Sikorska;  Mania berwarna merah tua, umur empat belas tahun dan terpinta di sekolah gymnasium kerajaan. Di Gymnasium juga lah Bronia menamatkan pelajarannya pada tahun yang lampau dan ketika itu ia mendapat bintang emas yang menyemarakan namanya pula.
Bronia bukanlah seorang anak sekolah lagi, melainkan seroang perawan muda. Ia lah yang mengendalikan rumah tangga meraka menggantikan suster yang pekerjaanya semuanya tak memuaskan. Ia lah yang memegang buku rumah tangga dan ia juga yang menjaga orang-orang yang bayar makan di sana – yang bayar makan senantiasa ada, hanya muka dan namanya yang bertukar-tukar; menurut kebiasaan kaum wanita yang telah dewasa rambut Bronia disanggulnya dan bajunya yang panjangnya sampai ke tanah memakai tournuire dan punca serta berkancing yang tak terhitung banyaknya. Yosep juga dianugerahi bitang emas seperti Bronia, ketika ia tamat dari Gymnasium untuk anak laki-laki. Adik-adiknya iri hati, tetapi juga bangga kerana Yosep mengunjungi kliah-kuliah fakultas kedokteran. Alangkah baiknya nasib anak itu!.
Di dorong keinginan hendak belajar juba, anakanak Sklodowski yang tiga lagi telah terlebih dahulu mengutuki peraturan-peraturan Unipersitet kota warsawa yang tak boleh dikunjungi kaum wanita. Tetapi dengan gembira mereka mendengarkan cerita-cerita abang mereka tentang “Universitet Tsar”, di mana orang-orang bangsa Rusia yang himmahnya tinggi dan orang-orang bangsa Polandia yang ditindas memberikan kuliah-kuliah yang tak berapa tinggi mutunya.
Sambil mengobrol mereka meneruskan sarapannya. Roti, mentega, kepala susu, selai, semuanya menghilang seolah-olah disebabkan sesuatu mukjizat...
“Yosep, malam ini kami belajar berdansa dan kami menghndaki engkau mengawal kami, “ Kata Hela.
“Apakah kau pikir, Bronia, masih dapat aku pakai bajuku itu, kalau telah diseterika dengan baik-baik?”
“Tak ada bajumu yang lain, karena itu terpaksa juga kaupakai itu.” Jawab Bronia aberfilsafat.
“Lewat jam tiga nanti kita bereskan itu, kalau kau telah pulang ke rumah.”
“Baju kalian amat bagusnya!” kata Mania dengan tegas.
“Ah, tak ada pengertianmu tentang itu. Kau masih terlampau kecil untuk itu.”
Kumpulan anak-anak itu bubar dan Bronia membersihkan meja makan, Yosep pergi ke luar dengan buku-bukunya, Hela dan Mania berlari-lari ke dapur sambil bertolak-tolakan.
“Roti saya!” Serdelki saya ... Di mana mentega?”
Walau pun telah makan dengan secukupnya, mereka masih memikirkan perut mereka! Pekrbekalan makan di sekolah, seketika mengaso pada jam sebelas, ditaruh mereka dalam kertas pembungkus : roti, beberapa potong sosis yang dibumbui secara Polandia yang terkenal itu, Serdelki, sebuah Appael....
Mania menutup tempat perbekalannya dan menyandang sebuah tas sekolah di bahunya.
“Lekaslah!” nanti tak dapat kau menepati janjimu!” kata Hela dengan berolok-olok dan ia bersiap juga untuk berangkat.
“Ah... tidak. Baru setengah sembilan. Sampai nanti sore!”
Di tangga rumah dijumpainya dua orang anak-anak yang bayar makan di sana. Mereka pun pergi ke sekolah Gymnasium, tetapi mereka tak tergesa-gesa.
Sekolah Gymnasium, asrama sekolah-sekolah lain ...., masa-masa muda remaja Mania penuh perkatan-perkataan semacam itu. Sklodowski mengajar di Gymnasium, Bronia baru tamat Gymnasium, Mania sekarang masuk ke sekolah itu,Yosep di Universitas. Hela di sekolah Sikorska ... Bahkan rumah mereka itu pun merupakan sekolah! Dalam pandangan Mania seluruh dunia ini adalah satu perguruan besar dengan tak ada lain dari guru-guru dan murid-murid di sekelilingnya, yang hanya diperintah oleh satu cita-cita ; BELAJAR!”
Sejak mereka pindah dari Jalan Carmelita yang muram di jalan Leschen, mereka tak berapa lagi terganggu oleh anak-anak yang bayar makan di sana. Di jalan Leschen rumah mereka itu bagus sekali; bangunan temboknya yang bersemangat dengan langkan-langkan yang ditumbuhi oleh tanaman menjajar. Dan karena luasnya tingakt pertama rumah itu, dapatlah dipergunakan oleh keluarga Sklodowski empat bilik dari tingkat pertama, terpisah dari anak-anak, yang bayar makan di sana.
Dengan membawa tasnya, di belakangnya, Mania tergopoh-gopoh pergi ke rumah keluarga Zamoyski yang dinamakan “Istana Biru”. Gapura rumah itu disingkirkannya melaluinya dan dari samping ia masuk pelataran dalam yang dijaga oleh sebuah singa gangsa. Tiba-tiba ia berhenti dengan kecewa : tempa itu kosong.
Terdengar lah suara memanggilnya dengan ramahnya :
“Janganlah kau pergi lagi, Maniusia .... Kazia datang segera.
“Oh, terima kasih Nyonya... Selamat pagi Nyonya!”
Dari salah satu jendela sebelah bawahan nyonya Przyborowski, istri pengurus perpustakaan keluarga Zamoyski, yang berambut kehitaman yang ditarik dengan kencang menjadi dandan permakotaan, memandang dengan perasaan kasih sayang kepada anak gadis berpipi montok dan berpandangan berseri-seri itu yang sejak dua tahun menjadi sahabat karib anaknya.
“Datanglah nanti soere minum teh di sini. Saya masak Pacski nanti untuk kalian dan saya sediakan es coklat yang kau sukai itu!”
“Tentu kau datang!”, panggil Kazia yang datang lari-lari dari tangga dan memegang tangana temannya itu.”
“Marilah kita buru-buru, Mania, sudah terlambat kita...”
“Ya, hampir aku balikkan cincin singa itu!.”
Setiap hari Mania datang menjemput Kazia yang menunggunya di muka pintu rumah mereka. Jika tak ada dilihatnya orang di tempat yang ditentukan itu, maka diangkatnyalah cincin yang berat dan tersimpan dalam cungur singa itu., lalu di letakkannya di atas hidung singa itu serta melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Jika Kazia melihat cincin itu, maka ia mengerti bahwa Mania telah melewati tempat itu dan bahwa ia harus bergopoh-gopoh kalau ia mau menyusulnya....
Kazia ini sangat baik hatinya. Ia lincah, matanya nyalang dan riang, orang tuanya warga biasa yan g memanjakannya. Tetapi Mania juga dimanjakan dan diperlakukan mereka sebagai anak kandung mereka sendiri; mereka beikhtiar, agar Mania dapat melupakan bahwa ia tak beribu lagi. Tetapi dari pelbagai hal-hal kecil dalam rupa anak-anak gadis yang berpakaian merah tua itu dapat diterka dengan gampang bahwa yang seorang mendapat pemeliharaan ibunya yang setiap pagi menghiasi rambutnya dengan cermat, sedang yang seorang lagi, yang baru berumur empatbelas tahun setengah,berangkat besar dalam rumah di mana seorang pun tak mengacuhkannya.
Dengan bergandeng-tangan anak-anak gadis itu melalu jalan Zabia yang sempit itu. Sejak petang kemarin mereka tak berjumpa lagi dan banyak lah yang hendak mereka bicarakan satu sama lain!” Percakapan mereka hampir melulu mengenai soal gymnasium di sbeelah kota Krakow.
Pindah dari sekolah Sikorska yang semata-mata bersifat polandia dan menjadi murid sekolah resmi di mana semangat kerusiaan yang diutamakan, adalah merupakan suatu peralihan besar, Perubahan itu adalah perlu, karena hanya sekolah-sekolah gymnasium kerajaan yang dibenarkan memberikan ijazah yang syah, tetapi Mania dan Kazia membalas dendam mereka dengan mengucapkan pelbagai perkataan berisi kebencian terhadap para guru dari Ruisa, sambil tak melupakan guru bangsa Jerman, mending, yang bosen mereka melihatnya dan terlebih-lebih terhadap encik Mayer yang dibenci mereka berhubung dengan sindiran-sindirannya sebagai opseter Sekolah itu.
“Mayer” yang kecil perawakannya, rambutnya merah tua dengan penuh minyak rambut dan bercenela yang tak bergerisik untuk keperluan mengintip-intip, adalah musuh istimewa bagi Mania. Segala-galanya didpersalahkannya Mania : tabiat tegar dan senyuman yang menghinakan apabila Mania—menurut Mayer – mendengarkan celaan-celaannya yang melukai hati Mania itu.
“Saya larang kau memandang saya secara demikian....” dengan merendah, pernah Mayer berkata dengan menggagap kemarahan.
“Tai tak aku dapat  berbuat lain!” jawab Mania dengan lancang, karena lebih tinggi perawakannya dari anak-anak yang lain itu.
Dari hari ke hari perang terus menerus antara encik yang malis dan murid yang terlampau meredeka itu. Penempuhan yang sehebat-hebatnya meletup pada tahun yang lampau : Encik Mayer mendapati Mania dan Kazia – ketika ia dengan tak disangka-sangka masuk ke dalam keas pelajaran  -- bertndak-tandak di antara bangku-bangku karena kegirangan dengan pembunuhan atas Tsar Alexande II yang kematiannya menenggelamkan kerajaannya ke dalam kencah perkabungan.
Salah satu akibat tersedih oleh penindasan politik adalah kekejaman yang ditimbulkannya antara yang ditindas. Mania dan Kazia penuh perasaan dendam, yang tak dapat dirasai oleh orang-orang yang hidup dalam kemerdekaan. Meskipun mereka sendiri lemah-lembut tabiatnya dan mereka bersifat kesatria, mereka menganut kesusilaan tersendiri – yait kesusilaan bangsa Slavia –-- yang meluhurkan dendam menjadi suatu kebajikan dan menyamakan ketaatan dengan tak ada keberanian.
Sebaliknya kebaktian mereka terhadap yang disayanginya, diberikan anak-anak gadis itu dengan perngorbanan secara lebih bersemangat. Mereka memuja-muja guru ilmu pasti mereka yang masih mudan dan gagah itu dan begitu pula guru ilmu alam, ke dua-duanya bangasa Polandia dan karena itu teman seperjuangan mereka . Bahkan terhadap beberapa orang Rusia mereka sangat sangsi-sangsi dalam perasaan mereka, umpamanya. Mikieszin yang untuk menganugerahi seorang murid, dengan diam-diam memberikan sebuah kitab syair oleh Nekrassoww, seorang pengarang syair yang berhauan fefolusioner! Murid-murid itu heran melihat bagaimana kadang-kadang tanda-tanda persetujuan datang dari pihak musuh sendiri. Tidaklah semuanya orang di negeri Rusia yang suci itu, termasuk rakyat yang setia kepada Tsar-nya.
Dalam kelas Mania duduk berdampingan murid-murid bangsa Polandia, Yahudi, Rusia dan Jermanl tak pernah ada percederaan yang sungguh-sungguh antara mereka. Karena mereka semuanya masih muda dan mengerjakan pekerjaan yang serupa, maka segala perbedaan kebangsaan dan agama terhapus. Apabila mereka kelihatan sedan sibuk bertolong-tolongan waktu bekerja atau bermain-main seketika mengaso, mungkin timbul sangkaan bahwa di antara mereka ada persatuan yang bulat.
Tetapi segera sesudah mereka meninggalkan sekolah, mereka masing-masing memiliki kembali bahasa sendiri, cinta tanah air sendiri, agama sendiri.
Lebih angkuh dari yang lain-lain, karena mereaka merasa di buru, maka anak-anak gadis bangsa Polandia itu memilih  jalan mereka dendiri dengan berkumpul-kumpul menjumpai satu sama lain pada waktu minum teh dimana tak dibenarkan mengundang bangsa Rusia atau Jerman.
Perasaan tak s! Segala-galanya mereka pandang salah, mulai dari perasaan kasih sayang terhadap orang asing sampai kepada suka cita yang tak disengaja dalam mendengarkan pelajaran-pelajatan dari mulut orang-orang yang menindas mereka dan suka cita yang dirasai mereka seketika menerima pendidikan “Resmi” ini, yang pada  hakikatnya mereka harus benci.
Di musim panas yang lampau Mania menulis dengan perasaan malu suatu pengakuan kepada Kazia, yang terharu membacanya.
“Tahukan engkau, Kazia, kendati segala-galanya, saya menyayangi gymnasium kita. Mungkin kau akan menertawakan aku, tetapi walau pun demikian, aku katakan bahwa aku menyayanginya benar. Baru sekaranglah aku insafi itu. Janganlah kau pikir kau rindu kepadanya!”
Bukan, sekali-kali tidak! Tetapi memikirkan bahwa tak berapa lama lagi aku akan pergi kembali ke sana tak berapa menyedihkan perasaanku lagi dan dua tahun yang aku perlu lagi mengunjunginya, tak berapa berat lagi rasanya, tak berapa pedih dan tak berapa lama seperti pendugaanku semula>”
Selain dari taman Lazienki, dimana mereka biasanya duduk-duduk waktu mengaso, hanya taman Saksia-lah yang disukai Mania. Setelah mereka melalui pagar besinya, maka Mania dan Kazia mengikuti suatu jalan yang berpohon-pohon di tepinya sampai ke istana itu. Mereka amelewati jajar tiang yang indah dalam istana Saksia itu dan menyeberang sebuah medan yang luas. Tiba-tiba Mania menjerit :
Kita telah leat patung itu. Marilah kita kembali dengan segera!.
Dengan tak membantah Kazia berpaling.
Kesalahan yang dilakukan ke dua orang anak kecil itu bagi mereka merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni. Di tengah-tengah medan Saksia (Sekarang medan Filsudski), itu ada sebuah tugu peringatan yang dikelilingi empat buah singa dengan tulisan “Ditahbiskan kepada orang-orang bangsa polandia yan tetap setia kepada Raja mereka.”
Tanda peringatan oleh Tsar terhadap penghianatan-penghianatan yang menjadi teman sekutu penindas itu menjemukan pecinta-pecinta tanah air yang setia; telah dibiasakan mereka meludah setiap kali melewati tanda “Penghormatan” itu. Apabila oleh akrena kelaian dilupakan itu maka haruslah orang itu kembali memperbaiki kesalahannya itu. Setelah menunaikan kewajiban mereka, maka Mania dan Kazia meneruskan percakapan mereka.
“Nanti malam orang berdansa di rumah, kata Mania. Datanglah melihatnya.”
“Ya. Oh, maniusia, kapankah kita juga boleh berdansa?” Kan kita telah pandai benar berdansa Wals, mengeluh Kazia yang tak sabar lagi.
Kapan? Manakala anak-anak gadis yang masih bersekolah itu telah “diterima” oleh “Dunia”. Sebelum itu mereka hanya dibolehkan memahirkannya antara dan dengan sesama mereka sendiri dan dari seorang ahli ballet Gymnasium itu mereka mendapat pelajaran berdansa Lanciers, Polka, mazurka dan oberek. Juga duduk mereka bersama-sama menonton pelajaran berdansa yang setiap minggu diberikan di rumah Sklodowski dimana berkumpul anggota-anggota muda dari keluarga-keluarga kenalan guru itu.
Sebelum tiba dimana mereka mendapat undangan dari para pemuda, mereka harus tinggal berbulan-bulan lagi di gymnasium yang gedongnya sekarang telah mereka dekati. Teman-teman mereka telah masuk ke dalam. Di sana berjalan Wulf, kecil, mata biru dan Ania Rottert, seorang anak bangsa Jerman, hidung pesek, terpintar nomor dua di kelas Mania; datang pula Leonie Kunicka.
Tetapi mengapakah Kunicka? Matanya bengkak karena menangis dan baju Leonie yang biasanya berpakaian cermat, hari ini seolah-olah tak diperdulikannya.
Mania dan Kazia tak ketawa lagi, mereka tergopoh-gopoh mendatangi sahabt mereka itu.
“Ada apa? Mengapakah engkau, Kunicka?”
Muka Kunicka yang halus itu tak berdarah lagi. Dengan susah payah ia mengeluarkan perkataannya.
“Abangku ..... turut dalam komplotan ... ia dituntut .... sejaka tiga hari kami tak tahu ia di mana ... Dengan tersedu-sedu disambungnya pula “Besok ia digantung>’
Anak-anak gadis itu dengan terkejut berkerumun mendekati Kunicka, hendak memajukan pertanyaan-pertanyaan ke padanya dalam keinginan menghiburkannya. Tetapi dengan suara bengis encik Mayer memerintahkan dengan pendek : “Ayo, cukuplah mengobrol itu. Lekas!”
Mania karena terperanjatnya tak dapat mengeluarkan perkataan sesuatu apa pun dan perlahan-lahan ia pergi ke tempatnya. Beberapa kejap berselang mereka masih bermimpikan musik dan pesta dansa. Sekarang sambil mendengarkan dengungan kalimat-kalimat pertama dalam pelajaran ilmu bumi yang tak diikhtiarkannya juga mengertinya, Mania melihat muka pemuda yang bersemangat dan terhukum itu – penggantungan. Algojo dan tali penggantungan....
Malam itu enam orang anak berumur limabelas tahun tak pergi belajar berdansa, tetapi mereka berjaga di kamar yang sempit di rumah Leonie Kunicka. Mania, Hela, Bronia datang bersama-sama dengan Kazia dan kakaknya Ula berjaga sampai parak siang. Bersama-sama mereka mengucapkan kemarahan hati mereka dengan air mata bercucuran. Dengan penuh kebaktian dan kasih-sayang mereka amengurus anak gadis yang untung malang itu, mereka menjaram kelopak matanya yang bengkak itu dan mendesaknya minum teh panas. Waktu berselang sangat lambat, tetapi juga sangat cepat bagi anak-anak gadis, yang empat orang di antaranya masih berpakaian sekolah seragam.
Ketika fajar menyingsing dan sat akhir tiba, maka anak-anak gadis itu berlutut dan mendoa dengan berbisik sambil menutup mukanya dengan tangannya.
Satu bintang emas, dua bintang emas, tiga bintang emas. Bintang ke tiga teruntuk Mania dan merupakan penutup pelajarannya di sekolah pada tanggal 12 Juni 1883.
Dalam hari terik panas diumumkan nama-nama mereka yang mendapat hadiah dan pujian, pidato-pidato diucapkan yang disambut dengan tepuk sorak. Sesudah itu para guru mengucapkan selamat. Dengan sekumpul bunga mawar tertusuk dibaju pestanya yang menurut kebiasaan warnanya serba hitam. Mania meminta diri, bersumpah kepada teman-temannya akan menulis surat setiap minggu dan ia meninggalkan gymnasium di Krakow itu untuk selama-lamanya dengan hadiah-hadiahnya berupa buku-buku Rusia yang terus terang disebutkannya “mengerikan” (apakah lagi bahayanya pada hari terakhir di sekolah?) sambil bergandengan tangan dengan bapaknya yang bangga karena hasil hasil yang dicapai Sklodowaki muda itu.
Mania telah kerja keras – dan belajar baik sekali. Sklodowski memutuskan supaya anaknya itu, sebelum ia memilih sesuatu jabatan, mengaso setahun di luar kota.
Cuti setahun lamanya! Mungkin orang menyangka bahwa anak yang luarbiasa pintarnya itu dihinggapi oleh semangat yang datang terlampau cepat yang menyebabkan Mania mempelajari buku-buku ilmu pengetahuan secara tersembunyi. Tetapi bukanlah begitu keadaannya .... dalam masa peralihan dari jaman kanak-kanak ke jaman perawanmanakala tubuhnya mengalami perubahan-perubahan, air mukanya bertambah halus, dengan tiba-tiba Mania menjadi kelesa. Buku-bukunya tak diperdulikannya dan untuk pertama kalinya ... tetapi juga untuk penghabisan kalinya --- ia mengecap nikmat hidup bermalas-malasan.
“Tak ada akau memikirkan adanya semacam ilmu ukur dan aljabar” ditulisnya kepada Zakia. “Telah lupa aku itu semuanya” Jauh dari Warsawa dan gymnasium ia menginap di rumah sanak saudaranya di luar kota berbulan-bulan lamanya dan sebagai tukarnya diberikannya pelajaran-pelajaran yang tak tertentu bagi anak-anak mereka atau pun dibayarnya uang pemondokan yang tak besar jumlahnya. Di sanalah ia menyerah diri kepada nikmat hidup.
Alangkah senangnya hidupnya di sana! Alangkah riangnya dan mudahnya dengan tiba-tiba jauh lebih muda daripada masa mendung disebabkan pancaroba ketika ia masih kanak-kanak! Di antara salah satu darmawisata dan waktu mengaso, hampiir tak didapatnya kekuatan mengambil pena dan menggambarkan nikmat kenyamanan itu dalam surat-surat yang dimulainya dengan : “Setanku!”
Mania kepada Kazia :
“Selaind ari memberikan pelajaran bahasa Perancis selama satu jam kepada seorang anak kecil, aku tak lakukan apa-apa, sedikitpun tidak – bahkan pekerjaan menyulam yang telah ku mulai tak kuteruskan lagi .... Sedikitpun tak aku atur pekerjaanku sehari-hari. Kadang-kadang aku bangun jam sepuluh dan kadang-kadang jam empat atau lima (pagi-pagi bukan petang). Tak ada ku baca buku-buku yang bersifat berat, hanya cerita-cerita cinta yang lucu dan tak karuan. Karena itu dalam perasaanku, aku seorang yang sangat bodoh, walau pun ijazahku memberikan aku derajat dan kedudukan seorang terpelajar. Kadang-kadang aku tertawa dalam diriku sendiri dan aku sangat puas memikirkan kebodohanku yang sebulat-bulatnya itu!
Kami berjalan-jalan di hutan dalam beberapa rombongan, kami bermain-main simpai dan bola tangkis (sedikit pun aku tak pandai main ini!), kami bermain kucing dan tikus dan permainan kanak-kanak yang lain. Karena banyaknya arbai di sini, dengan lima grozy dapat dibeli satu porsi bedar, artinya, sepiring dalam penuh dan ditambah lagi dengan semangkuk penuh di atasnya. Sayang, sekarang tak musimnya lagi, apabila saya pulang nanti, sehingga rakus saya tak terhingga.
Kerap kali kami berayun-ayun, amat derasnya dan amat tingginya, kami mandi, kami menangkap udang.... Setiap hari Minggu kuda di pasang dan kami pergi ke  misa. Sesudah itu kami pergi mengunjungi rumah paderi. Kedua-duanya paderi itu di sana amat cerdik dan jenaka dan kami sangat bergirang di rumah itu.
Beberapa hari kami menginap di Zwola. Di sana ada seorang pelakon, bernama Kotarbinski, yang menghiburkan kami. Banyak lag-lagu yang dinyanyikannya dan pantun-pantun dibacanya, banyak kami berjenaka dan banyak kami dipetiknya buah bes; karena itu pada hari perpisahan kami menganyam baginya, sebuah karangan bunga mawar beserta kembang lain dan seketika kendaraan kami melewatinya, kami lemparkan karangan bunga itu ke padanya sambil menyerukan : “Hiduplah Tuan Kotarbinski!” Dengan segera diletakkannya bunga itu di atas kepalanya dan rupanya sesudah itu dibawanya karangan bunga itu dalam kopornya sampai ke Warsawa! Alangkah senangnya waktu di Zwola itu! Orang selalu banyak di sana dan suasana kebebasan, persamaan dan kemerdekaan yang tak dapat disangka-sangka .. Sewaktu kami dalam perjalanan pulang. Loncet selalu menyalak-nyalak sehingga kami putus asa....
Loncet mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan keluarga Sklodowski. Sekira diajar dengan baik, dapatlah diajar pointer itu selaku anjing pemburu yang pintar. Tetapi Mania, kakaknya yang dua orang lagi dan Yosep telah memberikannya pendidikan yang tak baik. Diugung, dipeluk-peluk dan disuap dengan makanan-makanan enal. Lacet menjadi seekor binatang yang megerajai keluarga Sklodowski. Perabot rumah dirusaknya, jambangan-jambangan kembang ditumbangkannya, makanan yang bukan teruntuk dia dihabiskannya, dan tamu-tamu dilompatinya sebagai mengelu-elukannya tetapi dicobak-cabiknya topi-topi atau sarung-sarung yang mereka tinggalkan dalam gang rumah itu.Begitulah banyaknya kebajikan-kebajikan yang dipelajarinya oleh kasih sayang pengasuh-pengasuhnya yang setiba musim panas berebut-rebutan siapa yang mendapat kehormatan membawa “Maharaja” itu selama masa cuti.
Dalam setahun bermalas-malas itu, seketika nampakna seolah-olah hasrat rohani Mania tertidur, anak gadis itu diresapi oleh suatu nafsu yang akan terus menetap salam hidupnya padanya : Cinta terhadap alam. Apabila ia, sekali ini di propinsi ini dan lain kali di propinsi sana memperhatikan silih bergantinya musim tahun, senantiasa lah dijumpainya keindahan-keindahan baru dalam negeri Polandia di mana sanak saudaranya hidup berserak-serak.
Nyaman benar perbumian Zwola dimana tak ada yang mengalang-alangi pemadangan selain dari kaki langit yang di sini nampaknya lebih jauh letaknya dari ditempat-tempat lain di dunia ini.
Di Zswieryzyce dekat rumah paman Xavier ada sebidang tanah rumput dan pemiaraan kuda yang lengkap dengan limapuluh ekor kuda turunan baik. Dengan berpakaian celana pinjaman dari misan-misannya yang tak berapa bagus guntingannya, Mania belajar naik kuda.
Tetapi tak terhingga kegembiraannya seketika ia buat pertama kalinya melihat pegunungan Karphaten. Puncak-puncak gunung yang diselimuti salju, daru-daru tgap yang menghitam mengagumkan dan memanterai anak yang datang dari tanah datar itu! Tak dilupakannya lagi betapa ia melancong-lancong di pegunungan itu sepanjang jalanan kecil dengan permadani tanaman bes berwarna biru, gubug-gubu g orang gunung di mana setiap benda mengunjukkan keahlian si pembuatnya dalam ukiran kayu; dan di atas ekali, amat tingginya dan terdesak sebagai sebuah cebol di antara puncak-puncak gunung itu; sebuah danau kecil yang airnya jernih dan dingin serta biru warnanya serbiru mata, sehingga danu itu disebutkan “Mata Laut”.
Di sekitarnya itulah, dekat perbatasan Galicia, Mania menginap pada musim dingin di rumah pamannya, Zdzislaw, notaris di Skalbmierz. Tuan rumah itu seorang periang, istrinya amat cantik dan anak-anak perempuannya hanya memikirkan suka ria. Masakan Mania tak meraa betah di sana? Tiap-tiap minggu kedatangan seorang tamu atau akan tibanya saat sesuatu pesta, merupakan suatu tanda kegaduhan. Orang tua mereka mengurus daging dari perburuan, anak-anak gadis itu memasak juadah atau menjahit == dengan tergopoh-gopoh dalam kamar mereka == pita untuk pakaian berpancawarna yang akan dipergunakan untuk samaran pada kulig yang akan datang.
Kulig..... Dapatkah itu disamakan dengan pesta dansa biasa? Tidak, sekali-kali tidak! Kulis itu adalah campuran kegembiraan karnaval dengan perjalanan yang mengagumkan dan memanteraikan. Dengan melalui padang salju, berangkatlah pada suatu malam Mania beserta misan-misannya dalam samaran sebagai petani petani dari Krakau dengan dua buah pengeretan dan diselimuti dengan selimut-selimut yang tebal.
Anak-anak muda berkuda dan berpakaian petani yang amat indahnya mengiringi mereka dengan membawa obor-obor. Di antara pohon-pohon cemara berkilap-kilapan obor-obor yang lain dan malam yang dingin itu penuh musik; telah dekat pengeretan dengan empat orang pemain musik bangsa Yahudi dari sebuah kampung; selama dua hari dua malam mereka dengan biolanya melagukan wals, krakowiak dan mazurka yang akhirnya dinyanyikan oleh para hadirin bersama-sama. Orang-orang yahudi itu main terus sampai tiga, lima, sepuluh pengeretan yang lain yang mendengar nyanyian-nyanyian itu datang mendekatinya. Kendati segala bantingan dan lereng-lereng curam yang diliputi es serta memeningkan kepala itu, tak pernah pemain musik itu salah not dan dengan perasaan seorang yang menang perang di antarkanlah rentengan dengan malaman ii kepada tempat mengaso yang pertama.
Maka melompatlah serombongan pemuda dengan gemuruh dari pengeretan-pengeretan itu, pintu rumah orang diketok, penghuninya pura-pura heran ... beber apa kejap sesudah itu pemain-pemain musik itu diangkat ke atas sebuah meja dan pesta dansa pun dimulailah dalam kelap kelipan obor dan suluh, sedang minuman yang telah disediakan terlebih dahulu, dikeluarkan dari bufet. Sesudah itu diberikanlah suatu tanda mengosongkan rumah itu. Semuanya hilang : orang-oarng yang bertopeng, penghuni rumah, makanan, kuda, pengeratan segal agalnya! Orang-orang berdansa sekarang telah bertambah banyak; dengan melalui hutan mereka pergi ke rumah yangg lain dan dari sana ke rumah yang lain pula dan begitu seterusnya : Ada-ada saja rombongan baru yang ikut naik pengeretan. Matahari etrbit dan mata hari terbenam. Pemain biola hampir tak dapat mengaso dan tidur sebentar dalam sebuah lumbung di sini-sana bersama-sama dengan para pedansa yang telah letih lesu. Tetapi walau pun demikian, apabila pada malam ke dua rentengan pengeretan itu dengan ramai dan gemuruh gemerincing serta letupan cemeti berhenti di muka rumah yang terbesar di daerah itu dimana pesta dansa “yang sebenarnya” akan dirayakan, maka orang-orang Yahudi itu telah memulai krakowiak yang pertama dengan suatu fortissimo yang mendengungkan kemenangan, sedang orang-orang lain memilih tempat untuk dansa gambaran. Maka datanglah seorang pemuda, berpakaian rami putih yang disulam, dengan tergopoh-gopoh menjemput pedansa wanita yang terpintar : Seorang anak gadis, tegap, berumur enambelas tahun, bernama Mania yang dalam pakaian pestanya berupakan baju beludru berlengan bullet dari kain rami dan pita-pita panjang dalam segala warna yang dibuat dari mayang dan berkibaran di dandanan kepalanya itu merupakan seorang anak gadis dari pegunungan.
Mania menceritakan kegembiraannya kepada Kazia sebagai berikut :
“Aku turut dalam satu kulig.... Tak dapat aku menggambarkannya bagaimana lucu dan meriahnya itu, terlebih-lebih kalau pakaian-pakaiannya bagus dan pemuda-pemudanya perlente dandanannya. Pakaian saya amat bagus. Sehabis kulig pertama sya meghadiri kulig ke dua yang amat meriah juga. Banyak pemuda gagah dari Krakau ayng pandai benar bedansa! Pengawal-pengawal sebaik itu jarang didapati! Jam delapan pagi kami berdansa penghabisan kali ..... mazurka.....”
Kenikmatan-kenikmatan ini akan memuncak lagi. Sekembalinya Mania dalam bulan Juli 1884, datanglah seorang nyonya mengunjungi Sklodowski di rumahnya di Warsawa. Nyonya itu ialah Gravin de Fleury, seorang bangsa Polandia bekas murid nyonya Sklodowski yang kawin dengan seorang bangsa Perancis. Karena anak-anak guru itu belum mempunyai rancangan untuk waktu liburan mereka, maka diundangnyalah anak-anak yang dua itu menginap di rumahnya di luar kota.
“Ini terjadi pada suatu hari Minggu” ditulis Mania kepada Kazia, “Dan malam Selasa kami berangkat, Hela dan saya, kami menerima kawat, bahwa di stasiun kami akan dijemput dengan sebuah kendaraan. Sekrang kami telah berminggu-minggu di kempa dan seharusnya saya menceritakan kepada engkau bagaimana hidup kami di sini – tetapi akrena tak ada keberanian kami di sini penuh kenikmatan. Letaknya Kempa ialah di pertemuan sungai Narew dengan seungai Biebrza, dengan perkataan lain : Tak kekurangan air mandi dan perairan untuk berperahu-perahu yang sangat saya gemari. Saya sedang belajar mendayung  --- dan saya telah mendapat kemajuan untuk berenang pun amat semangatnya di sini. Kami perbuat apa yang timbul dalam pikiran kami, kadang-kadang kami tidur pada siang hari; kami berdansa, kami bersuka ria tak karuan, sehingga kadang-kadang sepantasnyalah kami dimasukkan dalam rumah orang gila.....”
Cerita Mania tak banyak dibesar-besarkan. Baju kegilaan yagn tak berbahaya bertiup di rumah besar yang dikelilingi kedua sungai yang lebar itu dengan airnya yang jernih dan merata itu. Dari jendela kamar mereka anak-anak gadis itu melihat sejauh mata memandang tak lain dari air dan tebing-tebing sungai yang ditumbuhi dengan tanaman-tanaman yang menghijau dan kerap kali digenangi sungai yang membanjir itu menjadi lapangan air di mana langit nampak berkilau-kilau.
Tak berapa lama maka Hela dan Mania keduanya lah yang menjadi pemimpin pemuda pemudi yang tinggal di Kempa itu. Tuan rumah dan istrinya memainkan peranan yang menarik hati : Apabila bersama-sama maka mereka memberikan petuah-petuah, memarahi dan seolah-olah mereka akan bertindak keras terhadap perbuatan-perbuatan gegabah yang dilakukan para pemuda dan pemudi itu. Tetapi jika mereka sendirian maka mereka turut secara tersembunyi bersekutu dengan pihak yang bersalah dengan memberikan bantuan seberapa perlu dan dengan mengunjukkan sikap bersabar terhadap para pemuda pemudi itu.
Apakah mereka akan perbuat hari ini? Naik kuda? Mencari jamur? Atau buah bes atau pun melancong di hutan? Ah, itu semuanya terlampau jinak! Mania hendak meminta Yan Moniuszko, adik Madame de Fleury, pergi kem kota yang berdekatan mengurus beberapa hal. Ketika Yan tak ada di rumah, maka Mania dengan bantuan teman-temannya menggantungkan segala yang ada di kamar anak muda itu pada balok-balok loteng kamarnya : tempat tidurnya, mejanya, kursi-kursinya, kopor-kopornya, pakaian-pakaiannya, segala-galanya! Dan apabila Moniuszko kembali di rumah, terpaksa ia dalam hari gelap berjuang dengan perabot-perabot “Dari langit”.
Dan alangkah lezatnya makanan-makanan yang disediakan untuk tamu-tamu agung anu! Makanan yang tidak teruntuk bagi “Anak-anak”? Mustahil! Seketika para tamu pergi melihat-lihat taman rumah itu, maka dipakai merekalah kesempatan itu buat menghabiskan dengan lekas segala makanan yang enak itu; mereka dudukkan di meja yang telah kosong itu sebuah boneka : Ini menggambarkan graaf de Fleury yang telah kekenyangan. Boneka ini diperbuat mereka dengan tergopoh-gopoh lalu mereka pun larilah. Di mana dicari yang bersalah itu? Hari itu dan hari-hari lainnya di musim panas itu? Setiap kali mereka berbuat salah mereka, menghilang seperti bayangan. Jika mereka disangka di kamar mereka, ternyata lah berguling-guling di rumput dalam taman; apabila timbul pikiran, bahwa mereka sedang melancong, maka kedapatan lah mereka di gudang di bawah tanah sedang menghabiskan sebuah keranjang penuh buah bes yang dicuri mereka dari dapur dan manakala akhirnya menjelang pergi jam lima nampaknya semuanya nyaman. Maka adalah itu semata-mata karena Mania dan Hela serta pengikut-pengikutnya memilih waktu matahari terbit untuk mandi di sungai. Hanya ada satu cara mendatangkan mereka dengan segera, yaitu menjanjikan kepada mereka salah satu keramian, charade atau malam dansa .... cara itu dipakai Gravin de Fleury seboleh-bolehnya. Dalam waktu delapan minggu diadakannya tiga kali pesta dansa, dua pesta taman, darmawisata dan pesta di air .... Suaminya dan ia sendiri mendapat penghargaan dari pada pemuda dan pemudi itu karena kemurahan hati mereka itu. Anak-anak muda itu menyayangi mereka benar-benar. Kadang-kadang mereka dengan mendadak mengikhtiarkan sesuatu untuk yang menyenangkan hati keluarga de Fleury. Seketika dirayakan hari mereka kawin empat puluh tahun yang lampau, maka datanglah dua orang utusan mereka mempersembahkan sebuah karangan sayur mayur yang besar dan indah yang beratnya lima puluh kilo dan mereka diundang duduk di bawah sebuah langit-langit yang permai buatannya. Dalam sunyi senyap yang bersemarak, maka anak gadis yang termuda membacakan sebuah pantun istimewa untuk pesta itu. Pantun itu adalah ciptaan Mania, yang dibuatnya ketika ia mendapat ilham di kamarnya sambil melangkah-langkah panjang. Akhirnya pantun itu adalah begini bunyinya :
Pada hari peringan Santo Lodewijk.
Kami mengharapkan darmawisata.
Undanglah, seorang satu, untuk kami, anakmuda
Agar kami mengambil teldan tuan dan nyonya
Dan secepat mungkin
Kami menghadapi penghulu nikah.
Permohonan itu segera dikabulkan. Tuan dan Nyonya de Fleury mengumumkan bahwa akan diadakan pesta dansa yang meriah. Nynya rumah memesan juadah, buntal-buntal kembang dan lilin. Mania dan Hela bermusyawarah tentang pakaian mereka untuk malam itu.
Tak gampang memikirkan cara berpakaian semanis-manisnya dengan keadaan tak mampu : setiap tahun tukang menjahit yang didatangkan di rumah, hanya membikin dua buah baju; sebuah untuk pesta dan sebuah lagi untuk sehari-hari.
Kakak adik itu menghitung uang mereka dan mengambil suatu keputusan. Walau pun tule alas penutup baju Mania tak berapa bagus lagi, tetapi pakaian bawahnya dari kainsatin biru masih baik keadaannya. Karena itu perlu dibeli semurah-murahnya kain tarlatan biru pengganti kain tule itu. Selain dari itu di sana-sini beberapa pita dan kembang pita untuk menghiasi baju itu. Perlu pula dibeli sepatu dansa dari kult yang emas-emasan; di tanam bunga perlu dipetik kembang sebagai korsase dan bunga mawar untuk dirambut.
Pada malam itu, ketika pemain musik telah sibuk menyetem dan menyelaraskan perkakas musik mereka dan Hela dengan cantiknya menggaya di rumah yang dihiasi itu, Mania bercermin untuk menghabiskan kalinya. Semuanya bagus nampaknya. Kain tarlatan yang halus dan kaku itu, kembang-kembang yang bari dipetik menghiasi parasnya yang muda itu dan sepatu baru yang indah itu --- sepeatu yang menjelang pagi akan dicampakkan Mania ke sudut kamarnya akrena kebanayakan berdansa sehingga tak ada lagi tapaknya!.
Beberapa tahun kemudian ibu saya menggambarkan masa gembira itu kepada saya dengan suara perlahan-lahan dan perasaan tawakal. Saya pandang mukanya yang letih lesu itu, laju karena setengah abad penuh kesusahan dan pekerjaannya. Dana saya merasa bersyukur kepada Tuhan yang mengijinkan perempuan ini – sebelum dipikulkan ke atas bahunya sebuah panggilan hidup yang tak mengenal belas kasihan --- mengikuti kulig-kulig yang meriah dalam sebuah pengeretan dan menghabiskan sepasang sepatu kulit emas-emasan dalam hanya satu malam berpesta.


BAB. IV : PANGGILAN  SUKMA
Telah saya ikhtiarkan melukiskan Mania semasa kanak-kanak dan semasa amenjelang gadis, ketika ia bekerja dan sedang bermain-main. Badannya sehat, hatinya jujur, lemah lembut dan periang. Selain dari itu ia seorang bersifat penyayang dan menurut guru-gurunya, “Kecerdikannya mengagumkan sehingga ia seorang murid yang utama.” Tetapi pada umumnya tidak da dalam tabiatnya.
Marilah sekarang saya tunjukkan suatu gambaran yang lain, yaitu lukisan seorang perawan remaja. Gambaran ini lebih berat pandangannya. Dalam hidup Mania segala bayangan-bayangan yang disayanginya telah terhapus dan sampai pada hari akhirnya hanya kenang-kenangannya sajalah yang tinggal apdanya. Juga dalam persahabatannya telah timbul perubahan-perubahan. Karena ia tak sekolah lagi, maka apertalian persahabatannya yang amat kukuh nampaknya itu telah renggang dengan cepat disebabkan tak ada lagi pergaulan sehari-hari yangg mengikatnya. Hidupnya sekarang dipengaruhi oleh dua orang penuh kebajikan, pengertian dan rasa penghormatan, yaitu bapaknya dan kakak sulungnya.
Berdampingan dengan dua jiwa-sekawan inilah saya ingin menggambarkan Mania membentuk hari kemudiannya dalam dunia pikirannya.
Tetapi jikau kebanyakan orang memasang angan-angan mereka setinggi langit, maka adalah impian Mania yang kelak akan menjadi Marie Curie yang termasyhur itu amat sederhananya, walau pun dahulu kala nampaknya ia terlampau berani.
Aapbila dlam bulan September Mania kembali ke Warsawa di rumah bapaknya yang baru dekat gedong gymnasium dari semasa kanak-kanaknya, ia masih kemabukan kenikmatan tak bekerja selama setahun itu.
Berkat suatu perubahan yang penting dalam keadaan hidup keluarga Sklodowski maka dapatlah ia menukar rumahnya di jalan Leszno dengan sebuah rumah di jalan Nowolipki. Guru yang usianya telah lanjut itu masih mendapat pekerjaannya di sekolah itu, tetapi ia tidak menerima anak-anak bayar makan lagi di rumahnya itu. Mania dan keluarganya sekarang menghuni sebuah rumah yang lebih kecil . lebih nyaman tetapi juga lebih papa keadaannya. Iklimnya dan orang-orangnya seolah-olah mengandung undangan untuk bertukar pikiran dan belajar.
Orang-orang yang bertemu untuk pertama kalinya dengan sklodowski berpendapat bahwa ia susah didekati. Pengaruh mengajar selama tiga puluh tahun di sekolah menengah itu seolah-olah diselubungi oleh semacam kebesaran, sedang dari kenyataan-kenyataan yang tak besar artinya dapat diterka bahwa ia seorang gpegawai yang sempurna : pakaian hitam, perkataan-perkataan yang ditimbang dengan seksama. Segala sesuatu dilakukannya denga suatu rancangan yang tertentu. Jika ia menulis surat maka kalimat-kalimatnya tersusun dengan sewajar dan tulisannya berupa buntak. Kalau di masa libur ia pergi berjalan-jalan dengan anak-anaknya tak ada yagn tidak diurusnya terlebih dahulu. Sebelum berangkat dipelajarinya sebuah pedoman penunjuk jalan bagi para pelancong ke tempat-tempat yang terpenting dan sambil berjalan-jalan ditarik guru itulah perhatian anak-anaknya itu dengan kata-kata yang terpilh untuk keindahan alam atau keutamaan sesuatu tugu peringatan.
Mania tak melihat kebiasaan-kebiasaan ahli pendidik itu. Tetapi baginya bapaknya yang sangat disayanginya itu merupakan tempatnya berlindung dan seorang yang dipertuankannya. Dalam pikirannya bapaknya itu dipandangnya sebagai seorang yang kealimannya tak terbatas.
Tetapi sebenarnya pula bahwa Sklodowski mengetahui segala-galanya, ata pun hampir segala-galanya. Di negeri manakah di Eropa didapat sekarang ini seorang guru yang belum kenamaan mempunyai pengetahuan umum macam itu?  Kepala rumah tangga ini yang yang selalu berusaha supaya anggaran rumah tangganya tetap dalam keseimbangan masih sempat lagi memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuannya dengan mempelajari kitab-kitab yang dibelinya dengan bersussah payah. Tetapi menurut pendapatnya sendiri adalah itu suatu keadaan jamak jika ia senantiasa mengikuti kemajuan kemajuan ilmu kimia dan ilmu alam. Begitu pula sudah sepantasnya lah menurut pikirannya ia pandai berbahasa Yunani, Latin dan selain dari bahasa Polandia dan Rusia – juga bahasa Perancis, Ingris dan Jerman. Kemahirannya menterjemahkan gubahan-gubahan gancaran dan tembang oleh pujangga-pujangga luar negeri ke dalam bahasa sendiri dipandangnya juga sebagai suatu keadaan yang biasa. Jika tak ada pekerjaannya maka dituliskannya lah pantun-pantun yang dicatetnya dengan cermat dalam sebuah kitab tulis sekolah seperti : Untuk sahabt-sahabat saya waktu hari tahunan. Pidaro sewaktu pesta kawin. Untuk bekas murid-murid saya.
Tiap-tiap malam minggu Sklodowski dan keempat anaknya itu berkumpul dan mereka membicarakan kesusastraan. Smabil minum teh panas yang beruap-uap di tengah-tengah sunyi senyap rumah itu maka orang tua mereka itu membaca syair atau sesuatu cerita, yang didengarkan mereka dengan gairah yang bukan dibuat-buat : Guru yang kepalanya telah botak itu dan mukanya gemuk tenang sehingga janggutnya yang memutih itu nampaknya lebih panjang, memang mempunyai kemahiran yang luar biasa dalam seni kalam. Demikianlah Mania tiap-tiap malam minggu mendengarkan gubahan-gubahan pujangga-pujangga dari jaman purbakala dengan perantaraan suatu suara yang tak asing lagi baginya. Dahulu suara itu menceritakan dongengan-dongengan dan hikayat-hikayat perjalanan kepadanya atau pun membimbingnya ke dalam hikayat David Copperfield yang diterjemahkan Sklodowski dengan langsugn dari kitab itu dalam bahasa Polandia. Dan sekarang suara itu juga lah – walau pun telah amoh karena banyaknya dipakai waktu mengajar di sekolah gymnasium – yag membacakan ciptaan-ciptaan pengarang-pengarang romantis yang di Polandia dipandang sebagai penyair-penyair dari kalangan-kalangan yang tertindas dand ari mereka yang mengadakan pertentangan. Slowacki, Krasinski dan Mickiewicz umpamanya!.
Tak akan dilupakan Mania pertemuan-pertemuan pada malam minggu itu. Berkat pimpinan bapaknya itu, maka hidup Mania diliputi suatu suasana yang lazim di kalangan cerdik pandai dan jarang di dapat oleh anak-anak gadis yang lain. Suatu pertalian yang erat mengikatnya dengan bapaknya yang dengan cara yang mengharukan berdaya upaya mempelikkan hidup anaknya itu. Perasaan kasih syangnya terhadap bapaknya membisikan kepada Mania suatu kekuatiran bahwa di belakang ketenangan jasmaninya itu ada tersimpan godaan rohani, yaitu duka cita seorang balu yang tak dapat diobati, duka cita seorang pegawai yang ditakdirkan Allah menjadi seorang pegawai bawahan dan usikan sesal berkabut yang masih tetap membangkit kesalahannya karena berspekulasi dahulu, sehingga hartanya yang tak banyak itu hilang lenyap. Kadang-kadang apabila ia lupa diri karena tak sabar lagi, maka terdengarlah ia mengeluh.
Bagaimanakah sampai aku kehilangan uang itu? Padahal maksud saya hendak memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anak-anakku dan saya ingin supaya mereka pergi bertamasya ke luar negeri ... Sekarang semuanya angan-anganku telah runtuh ! Uang saya tak ada lagi dan tak dapat lagi aku membantu anak-anakku, bahkan tak berapa lama lagi, maka aku sendirilah yang akan menjadi beban bagi anak-anakku itu! Bagaimanakah nanti nasibmu sekalian?
Dengan pedihnya guru itu mengeluh sambil berpaling ke jrusan anak-anaknya itun dengan pengharapan bahwa mereka akan membantah keluh kesahnya itu secara meriah untuk meghiburkannya. Mereka duduk di sekeliling lampu minyak tanah dalam kamar bekerja yang kecil dan dihiasi dengan tanaman-tanaman yang dipelihara dengan rapi. Empat wajah dengan penuh keteguhan hati, empat senyuman gagah berani dan dari semua mata yan bersinar-sinar itu oleh akrena cahayanya berwarna biru sampai ke abu-abuan memancarkan semangat yang serupa, harapan yang serupa : Kami masih muda , kami kuat dan pasti kami akan menang!.
Kekawatiran Sklodowski itu adalah pada tempatnya, kaerna keadannya dalam tahun yang penting ini untuk menentukan ansib anak-anak muda itu di kemudian hari sangat menegcewakan.
Tak sukar mengartikan masalahnya itu : dari gajinya yagn tak berapa lama lagi akan diganti dengan suatu pensiunan yang rendah sekali hampir tak dapat kepala rumah tangga itu membayar sewa rumahnya, belanja makanan dan upah seorang pelayan. Daji terpaksalah mulai sekarang Yosep Bronia, Hela dari Mania mencahari nafkah mereka sendiri.
Maka pikiran yang pertama-tama timbul dalam hati anak-anak ini yang sejak dari orang tua mereka berasal dari golongan perguruan tentulah pula : Memberikan pelajaran.
“Mahasisiwa ketbiban bersedia memberikan pelajaran-pelajaran” – “Pe;ajaran-pelajaran istimewa dalam berhitung, ilmu bumi dan bahasa perancis oleh seorang anak gadis yang berijazah.”
Anak-anak Sklodowski itu sekarang termasuk lapisan kamum muda cerdik pandai di Warsawa yang memberikan pelajaran-pelajaran di rumah.
Pekerjaan itu adalah suatu pekerjaan yang tak mengenal balas kasihan. Sebelum berumur tujuhbelas tahun Mania telah menemui kesulitan-kesulitan dan menderita penghinaan-penghinan yang biasa did alami oleh seorang guru istimewa. Berjalan melalui seluruh kota, walau pun hujan dan hari dingin. Murid-murid yang nakal atau malas dan orang tua mereka yang membiarkan guru-guru istimewa itu menunggu-nunggu berlama-lama dalam gang-gang peranginan )mintalah encik Sklodowski tunggu sebentar .... anak saya akan datang seperempat jam lagi), atau orang tua yang semata karena lalai lupa pada habis bulan membayar sejumlah uang rubel yang tak banyak kepadanya, padahal uang itu senga dibutuhkannya dan diharapkannya akan menerimanya hari itu juga!
Demikian berlalu musim dingin tahun itu.
Di jalan Nowolipki perjalanan hidup tak berbeda dari hari ke hari.
“Tak ada kabar yang dapat kuceritakan dari sini”, tulis Mania. “Tanam-tanaman bagus tumbuhnya, azalea sedang berbunga, Lancet baring di atas alas tidurnya dan Gucia, tukang jahit di rumah kami sedang sibuk mengubah potongan baju saya yang baru saja suruh celup : amat rapinya dan sangat bagusnya nanti baju saya itu. Baju Bronia telah siap dan bagus nampakna. Tak banyak saya menulis surat, karena tak ada waktu saya, apalagi uang. Seorang nyonya yang kami kenal dengan perantaraan teman-teman datang menanyakan pelajaran-pelajaran, tetapi ketika Bronia mengatakan bahwa bayarannya setengah rubel sejam maka ia pun lari, seolah-olah rumah kami terbakar!”
Apakah Mania hanya merupakan seorang gadis yang tak mempunyai mas kawin, tetapi rajin dan cerdik serta inginmendapat murid lebih banyak? Ukan ..... Keadaan memaksanya menerima pekerjaan guru istimewa yang dilaksanakannya dengan gagah berani, tetapi di samping itu ada lagi tersembunyi hidupnya yang lain dan bersemangat. Seperti tiap-tiap orang wanita Polandia dari kalangan dewasa itu maka Mania-pun penuh Cita-cita.
Tetapi ada suatu hasrat yang umum bagi semua orang-orang muda, yaitu cita-cita terhadap  tanah air sendiri.  Keinginan berbakti terhdap Polandia adalah mendahului segala keinginan perseorangan dalam rancangan hari kemudian mereka dan membelakangkan soal perkawinan dan percintaan. Yang seorang bermimpikan perjuangan yang dahsyat dan mempertaruhkan jiwanya dalam suatu komplotan sedang seorang lagi impiannya ialah berjuang denagn buah penanya. Seorang yang lagi mempunyai impian gaib, karena aliran katholicismepun juga merupakan suatu sewaka dan benteng pertahanan terhadap penindas yang berlainan agamanya itu.
Bagi Mania sendiri impian gaib itu telah menghilang, walau pun mengingat kebiasaannya di rumah dan berdasarkan sopan santun ia masih tetap menjalankan kewajibannya menurut agamanya; akan tetapi kepercayaan yang telah diguyahkan kematian ibunya itu lambat laun hilang lenyap. Setelah kehilangan pengaruh besar dari ibunya yang rubia itu maka anak gadis itu menerima pimpinan sejak enam tahun dari bapaknya, seorang Katholik yang tak saleh dan pada batinnya seorang yang tak ada agamanya. Dan dari imannya semasa kanak-kanak hanya tinggal suatu keinginan remang-remang suatu keinginan tak tertentu hendak memuja-muja yang jujur dan mulia.
Walaupun di antara teman-temannya banyak yang berhaluan refolusioner dan meskipun tak segan-segan ia meminjamkan paspornya kepada teman-temannya itu, akan tetapi Mania sendiri tak berhajat lagi turut melakukan pengarahan atau melemparkan bom ke arah kendaraan Tzar atau gubernur kota. Dalam kalangan inetelegensia telah timbul suatu gerakan yang hebat dengan tujuan hendak menghapuskan “Angan-angan belaka yang tak ada isinya”. Tak ada lagi pengaduan-pengaduan yang tak ada gunanya dan tak ada lagi tindakan-tindakan liar untuk memulihkan kemerdekaan bangsanya. Yang masih ada harganya ialah hanya berusaha dan mengumpulkan modal maknawi yang besar untuk Polandia dan memajukan rakyatnya yang dengan sengaja dibiarkan tinggal bodoh oleh pihak yang berkuasa dalam negeri itu. Dalil-dalil filsafat pada masa itu mengalirkan kecenderungan yang berhaluan maju ini ke arah suatu jurusan tertentu. Begitulah sejak beberapa tahun aliran “Positivme” yang dianut oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer telah membanguan semacam dunia pikiran yang baru di Eropa. Sebaliknya serempak dengan itu pekerjaan Pasteur Darwin dan Claude Bernard memperoleh pengaruh yang amat besardalam lapangan ilmu pasti. Mereka di Warsawa, seperti di tempat-tempat lain, tetapi terlebih-lebih di kota itu, telah ditinggalkan pendirian berhaluan Romatik. Buat sementara tak diacuhkan lagi perasan dan kesenian. Para pemuda yang biasanya cenderung kepada paling-palingan dengan tiba-tiba memeentingkan ilmu kimia dan ilmu hayat daripada kesusastraan dan menukar pemujaan pujangga-pijangga dengan pujaan terhadap sarjana-sarjana. Tetapi jikalau di nergara-negara merdeka pikiran baru ini dapat  berkembang biak dengan terang-terangan, maka di Polandia adalah berlainan halnya. Karena di sana tiap-tiap pertumbuhan kemerdekaan maknawi dicurigai, sehinggaa teori-teori yang baru itu di sana hanya dapat melangkah ke depan dengan melalui jalan di bawah tanah.
Tak lama setelah Mania kembali di Warsawa maka ia pun mengadakan perhubungan dengan kalangan “Positivis” yang bersemangat itu. Seorang wanita, yaitu encik Piasecka dapat mempengaruhinya. Guru sekolah gymnasium ini yang berambut putih kuning, kurus dan menarik hati, walau pun tak cantik, berumur kira-kira duapuluh enam tahun. Ia mencintai seorang mahasiswa, bernama Norblin yang baru diusir dari Univesitet karena kegiatannya dalam lapangan politik. Selaind ari itu encik Piasecka mempunyai minat besar terhadap dalil-dalil yang baru itu.
Mula-mula Mania agak mencurigai dan takut akan pikiran-pikiran temannya itu, karena terlampau modern menurut pendapatnya, tetapi segera ia dipengaruhi selurunya oleh encik Piasecka itu. Bersma-sama dengan kakanya Bronia dan temannya Bronia, bernama Marya Rakowska, ia diperkenankan turut menghadiri kuliah-kuliah “Univesitet kilat” untuk pelajaran-pelajaran ilmu urai, ilmu hayat , dan ilmu tumbuh-tumbuhan serta ilmu pengetahuan masyarakat yang diberikan dengan Cuma-Cuma dan suka rela oleh guru-guru kepada pemdua dan pemudi yang ingin memperluas pengetahuan mereka. Pelajaran-pelajaran itu diberikan dengan sembunyi di rumah encik Piasecka atau di rumah orang lain. Delapan sampai sepuluh orang murid datang berkumpul di sana dan membuat catetan-catetan. Mereka meminjamkan brosur-brosur dan karangan-karangan antara sesama mereka. Ingar sekcil-kecilnya pun mengejutkan mereka, karena jika mereka ditemui polisi maka berartilah itu penjara bagi mereka.
“Kenang-kenangan saya kepada masa dan suasana persahabatan rohani itu masih terang bagi saya”, tulis Marie Curie empat puluh tahun kemudian. “Tak banyak alat-alat kami dan hasil-hasil yang kami capai juga tak besar artinya, tetapi saya tetap percaya bahwa hanya saran-saran yang membimbing kami pada masa itu sajalah yang berdaya menuju kemajuan masyarakat yang sebenarnya. Tak dapat kita mengharapkan akan memperbaiki dunia ini kalau kita tidak perbaiki manusia itu. Untuk itu kita semuanya harus berikhtiar menyempurnakan diri kita sendiri dalam keyakinan bahwa kita masing-masing memikul pertanggungan jawab kita sebagai sebahagian dari Kemanusiaan. Adalah menjadi kewajiban seseorang bagi kita masing-masing membantu manusia yang harus dibantu.
Peranan Universitet Kilat bukanlah semata-mata menyempurnakan pendidikan mereka yang telah tammat dari gymnasium, karena murid-muridnya itu sebaliknya mendidik orang-orang lain pula. Berkat ajakan encik Piasicka maka Mania memberikan pelajaran-pelajaran kepada kaum wanita dari kalangan rakyat jelata. Ia mengadakan ceramah bagi buruh wanita di sesuatu perusahaan menjahit dan ia mengumpulkan kitab demi se kitab, sebuah perpustakaan kecil dalam bahasa Polandia untuk kegunaan kaum buruh wanita itu.
Maka dapatlah difahammkan bagaimana gadis yang berumur tujuh belas tahun itu kemabukan semangat yang bergelora. Semasa kanak-kanak ia telah hidup berdampingan dengan dewa-dewi yang gaib, yaitu alat-alat ilmu alam kepunyaan bapaknya dan sekalipun pada masa itu belum menjadi “kebiasaan” mencurahkan minat terhadap ilmu pengetahuan, tetapi bapaknya telah memindahkan hasrat untuk belajar yang berapi-api dalam dirinya itu kepada anaknya itu. Akan tetapi bagi Mania dunia ilmu alam itu belum lagi memuaskan gairahnya yang meluap-luap itu. Auguste Comte .... kemajuan sosial ... gadis remaja itu tidak memikirkan mempelajari ilmu pasti dan ilmu kimia saja. Ia hendak mengubah susunan masyarakat yang biasa dan ia ingin memberikan penerangan kepada rakyat pada umumnya...., dengan pikiran-pikirannyan yang berhaluan maju itu dan berkat tabiat ksatryanya itu adalah Mania merupakan seorang wanita sosialis dalam arti kata yang semurni-murninya. Tetapi walau pun demikian ia tak bersedia menjadi anggota perkumpulan mahasiswa sosialis yang ada di Warsawa; hasratnya untuk timbangan bebas, takut akan semangat kepartaian dan cintanya terhadsap Polandia menyebabkan ia berpaling dari marxismesebagai suatu ajaran internasionallisme. Pertama-tama dan di atas segala-galanya yang dikehendakinya ialah berbakti terhadap tanah airnya. Belum diinsyafinya bahwa pada suatu masa ia harus memilih antara angan-angannya itu. Karena semangat gairahnya itu dicampur-barukan-nyalah perasaan cintanya terhadap tanah airnya dan pikiran-pikirannya mengenai humanisme serta keinginan-keinginannya tentang ilmu pengetahuan.
Tetapi ditengah-tengah sistim-sistim ilmu pengetahuan dan kegaduhan-kegaduhan semasa itu Mania tetap tinggal seorang yang menawan hati, seolah-olah ia dipengaruhi sesuatu mukjizat. Pendidikan seksama dan luhur  yang diterimanya dari orang tuanya serta suri tauladan dari orang-orang terhormat yang melindungi masa remajanya menjaga supaya ia jangan terjerumus dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Tabiatnya didselubungi sesuatu kebesaran yang tak terlukiskan, suatu gaya kemuliaan dalam semangatnya, bahkan dalam gairahnya pun. Selama hidupnya tak pernah ia memainkan peranan sipemberontak dan tak pernah ia menunjukkan kelakuan yang tidak senonoh. Mania yang dalam pendiriannya bebas merdeka itu tak pernah mempergunakan sesuatu perkataan yang tak pantas. Tak pernah timbul keinginannya hendak menghisap sigaret sebatang pun.
Apabila ada waktu terluang baginya sehabis memberikan pelajaran-pelajaran di rumah-rumah muridnya atau kepada buruh wanita di luar kursus ilmu ilmu urai yang diikutinya dengan sembunyi, maka Mania mengupet membaca dan menulis dalam kamarnya. Tetai yang dibacanya sekarang bukanlah lagi “Cerita-cerita percintaan yang tak karuan”, melainkan Dostojewski dan Gontcharow dan buku “ Mereka yang dibebaskan” oleh Boleslaw Prus yang melukiskans esama pemudi Polandia yang haus akan pengetahuan. Buku peringatan sehari-hari Mania merupakan santiran hidup kebatinan seorang muda remaja yang karena lobanya kelam-kabut dalam kepandaian-kepandaiannya yang beraneka corak itu : sepuluh lembar halaman dengan gambaran-gambaran untuk menghiasi dongengan-dongengan oleh La Fontaine. Pantun-pantunYesus oleh Renan : Seorang pun tak pernah seperti dia mementingkan bahagia Kemanusiaan terhadap kebanggan duniawi .. dsb. Karangan-karangan dalam bahasa Rusia mengenai soal-soal filsafat suatu kutipan dari Louis Bland, selembar halaman dari Brandes. Sesudah itu gambar-gambar bunga dan binatang pula. Selanjutnya Heine dan de Musset, Sully Prudhomme dan Francois Coppee yang diterjemahkan Mania dalam bahasa Polandia sebagai syair.
Karen bagaimana pun, anak gadis “Emansipasi” yang memandang tiap-tiap kebanggaan sebagai perbuatan rendah dan telah memotong rambutnya yang permai putih kuning itu sampai hampir habis semuanya, dengan sembunyi mengeluh ketika membaca pantun-pantun yang indah tetapi rendah mutunya yang disalinnya seluruhnya:
“Jika ku katakan bahwa, bagaimana pun, kucintai ka”.
“Siapa mengetahui apa yang akan kau katakan, sekali pun matamu warna merah tua atau belau>”
Mania berhati-hati jangan mengakui terhadap teman-temannya yang tak bersabar bahwa digemarinya juga “Selamat tinggal Suzon” atau “Jambangan yang pecah”,. Pada dirinya sendiri pun ia hampir tak mau mengakuinya. Dengan berpakaian sederhana dan paras yang amat muda nampaknya karena rambutnya yang dipotong pendek itu, sehingga ia merupakan seorang gadis kecil berlari-lari Mania dari rapat ke ceramah, membantah-bantah dan bergelisah. Jika ia membacakan pantun-pantun bag teman-temannya maka dipilihnyalah petuah-petuah asnyk yang digubahnya dilahirkan dengan gairah yang memikat hati, sehingga bagi golongan ini syair-syairnya itu telah merupakan semacam Syahadat :
Carilah sinar kebenaran;
Carilah jalan-jalan baru yang belum di kenal.
“Sekali pun pandangan manusia berjarak lebih jauhan.
Tak akan luput ia dari kenikmatan-kenikmatan Allah.
Tiap-tiap masa mempunyai idam-idamannya sendiri,
Dan menyangkal impian-impian kemarin hari.
Angkatlah obor Pengetahuan.
Ninalah ciptaan baru dalam pekerjaan abad-abadan.
Dan dirikanlah istana Hari Kemudian....

 Apabila Mania memberikan sebuah gambaran besama-sama dengan Bronia di sampingnya kepada Marya Rakowska, maka diperlukannya lah menulis di bawah pemberian itu semacam syahadat pula; “Untuk seorang Positivis”, yang mempunyai cita-cita luhur dari dua orang idealis yang positif.”
Kedua-dua orang “Idialis positif” ini berjam-jam lamanya berikhtiar merancang suatu rancangan untuk hari kemudian mereka. Tetapi sayang, maupun Asnyk, mau pun Brandess tak dapat menunjukkan sesuatu jalan bagi mereka untuk belajar di kota Warsawa, karena di sana Universitas tidak terbuka untuk kaum wanita. Juga tak dapat mereka memberikan cara-cara yang ajaib sehingga Mania dan Bronia mendapat kemungkinan untuk mengumpulkan harta dengan cepat dengan memberikan pelajaran-pelajaran seharga setengah rubel se jam!.
Karena Mania bersifat Kasatria maka ia putus asa memikirkan keadaannya itu. Tabiat anak bungsu dalam keluarga Sklodowski itu merasa sebagai panggilan sukma baginya untuk memberikan pertolongan kepada siapa pun jua. I merasa bertanggung jawab untuk hari kemudian abang dan kakak-kakaknya itu. Untunglah Yosep dan Hela tidak menimbulkan kekuatiran baginya. Anak muda itu kelak akan menjadi tabib dan Hela yang cantik dan periah itu – walau pun bimbang antara kemungkinan meneruskan pelajarannya dan mencari penghidupannya sebagai penyanyi – bernyanyi sekehendaknya dan mendapat ijazah-ijazah dengan gampang sambil menolak beberapa lamaran kawin.
Tetapi Bronia! ... Cara bagaimanakah dapat dibantunya Bronia? Sejak tamat sekolahnya ialah yang memikul segala beban rumah tangga mereka > Mania mengetahui bahwa yang terutama mengusik pikiran kakaknya itu ialah keinginannya pergi belajar ke Parisuntuk menjadi dokter dan sesudah itu kembali ke Polandia membuka praktek sedniri di sesuatu tempat di luar kota. Anak gadis itu memang telah dapat berhasil juga mengadakan simpanan sedikit-sedikit, tetapi untuk tinggal di luar negeri adalah mahal belanjanya! Beberapa bulan, bahkan beberapa tahun lagikah ia harus menunggu-nunggu?
Karena tabiatnya itu tak dapat lagi Mania merasa senang melihat kaaknya itu gelisah dan berputus asa. Hasrat hidupnya sendiri tak diingatnya lagi karena itu. Ia lupa bahwa ia sendiri pun tertarik oleh sesuatu kekuatan ajaib ke “Negeri Idam-idamannya” itu dan bahwa kerap kali ia memimpikan hendak menjalani ribuan kilometer yang memisahkannya dari Paris, Sorbonne, untuk memuaskan kehausannya mencari pengetahuan yang baginya merupakan iti hidupnya dan kelak akan dismbangkannya dalam baktinya guna pekerjaan pendidikan di Warsawa di tengah-tengah Negeri Polandia yang dicintainya itu. Jika hari kemudian Bronia memberatkan hati Mania adalah itu karena, selaind ari persatuan darah, ada lagi pertalian yang lebih murni mengikatnya kepada anak gadis ini. Setelah ibu mereka meninggal dunia maka kakaknya itulah yang merupakan naungan ibu baginya. Dalam keluarga yang hidup dalam kerukunan persatuan itu dua kakak beradik ini merasa anguran pula satu sama lain. Waatak mereka satu sama lain bersilengkap-lengkapan : Yang tertua dengan sifatnya yang praktis dan pengalamannya itu menimbulkan perasaan penghormatan bagi mania sehingga dalam kesulitan-kesulitan hidupnya, bagaimana pun kecilnya, ia datang membentngkannya ke hadapan kakaknya itu. Yang termuda lebih galak dan isin serta merupakan sahabat karib bagi Bronia yang kasih sayangnya terhadap adiknya itu bercampur baur dengan suatu perasaan berterima kasih dalam keyakinan bahwa ada suatu hutang yang harus dilunasinya.
Pada suatu hari ketika Bronia menulis cakar angka-angka di atas secarik kertas dan untuk ke sekian kalinya menghitung-hitung yang ada padanya, atau lebih tepat lagi yang tak ada padanya, maka diambil – Mania-lah suatu keputusan yang tegas.
“Telah beberapa lama saya memikirkannya. Juga dengan bapak kita sudah saya bicarakan ini. Saya pikir saja telah mendapat suatu jalan!.
“Jalan?
Mania menarik tempat duduknya dekat kakaknya itu. Hadiah yang hendak ditawarkannya itu amar seninya. Karena itu ia harus menimbang perkataan-perkataanya dengan seksama.
“Dengarlah Bronia! Berapa bulankah lamanya kau dapat hidup di Paris dengan uang simpananmu itu?”
“Uang sayay cukup buat  membayar ongkos perjalanan ke sana dan untuk belajar setahun di Universitas” Jawab Bronia dengan cepat.
“Tetapi kau tahu juga, Bronia bahwa  pelajaran Tabib itu lima tahun lamanya.
“Ya, aku tahu”
“Kau mengerti juga, Bronia bahwa dengan pelajaran-pelajaran seharga setengah rubel sejam tak dapat kita mencapai suatu apa.”
“Mengapakah kau berkata demikian Mania?”
“Lebih baik kita bekerja bersama-sama. Jikalau kita berjuang terpisah-pisah tak akan pernah kita masing-masing dapat berangkat dari sini. Padahal dengan cara yang saya rancang ini pada musim gugur tahun ini kau dapat berangkat – beberapa bulan lagi....”
“Mania, kau gila!”
“Bukan. Mula kau mengumpulan uang simpananmu itu. Sesudah itu akan saya usahakan mengirim uang : bapak juga akan mengirim uang pula untuk pelajaranku sendiri kelak. Apabila engkau telah mendapat Ijazahmu maka tibalah gelarku dan kaulah yang membantu aku.”
Air mata Bronia becucuran. Telah diinsyafinya keluhuran tawaran ini, tetapi dalam usul yang baru disampaikan Mania itu masih ada soal yang belum terang baginya.
“Saya tak mengerti, Mania.... Apakah kau pikir kau dapat memperoleh sesuatu pencaharian yang cukup untuk belanja hidupmu serta membelanjai aku dan di samping itu mengadakan simpanan pula lagi.
“Denganrkanlah sekarang, “jalan besar” yang saya pikirkan itu. Saya hendak mencari pekerjaan sebagai guru rumah. Dengan cara demikian saya mendapat pemondokan dan makanan dengan Cuma-Cuma dan di samping itu saya menerima empatratus rubel setahun, barangkali lebih lagi dari itu .... Kau lhat semuanya akan terus dengan baik.
“Mania .... Maniusia .. sayang!”
Bukanlah soal pekerjaan rendah yang mengharukan Bronia, karena sebagai seorang “Idialis” yang sejati, seperti adiknya itu juga, ia membenci segala pandangan masyarakat yang bersifat memihak. Bukan .. yang mengharukan Bronia ialah memikirkan bahwa guna memberikan kemungkinan beginya memupai pelajarannya dengan segera, Mania telah menghukum dirinya sendiri menerima suatu jabatan yang tak menarik hati dan harus pula ia menunggu-nunggu lama. Karena itu dibantahnyalah Mania.
“Mengapakah aku yang harus pergi dahulu?” Lebih baik kita balikan! Kau sangat pintarnya dan cerdiknya ... barangkali lebih pintar lagi dari saya. Dengan segera kau akan mencapai hasil. Mengapa saya?”
“Bronia, janganlah kau mengigau! Kau telah berumur dua puluh tahun dan saya baru tujuhbelas. Kau telah  menunggu-nunggu begitu lama, sedang saya sendiri masih sabar menunggu. Begitu jugalah pendapat Bapak kita : Sepantasnyalah yang tertua pergi duluan. Manakala kau telah mempunyai praktek sendiri dapatlah aku berenang dalam lautan uangmu itu – memang saya harapkan itu! Dengan cara demikian kita bertindak dengan bijaksana dan secara praktis....
Pada suatu hari dalam bulan September 1885 seorang anak gadis pendiam menunggu gelerannya di ruangan mukka sebuah kantor perantara untuk buruh pengejaran. Dari dua buah bajunya yag menjadi kepunyaannya dipakainya yang tersopan. Sebuah topi hitam menutupi rambutnya yang sejak beberapa bulan telah dipanjangkannya kembali. Guru rumah sekali pun ia seorang “Positivis” tak dibenarkan berambut pendek : Guru rumah itu harus rapi, seperti orang-orang lain, ta ada bedanya dengan dari khalayak ramai.
Pintu dibuka dan Mania pun bangun dari tempat duduknya itu. Dengan sekonyong-konyong ia gugup. Dengan tak disengajanya tangannya memegang beberapa surat-surat. Dalam kamar di sebelah duduk seorang nyonya yang gemuk di belakang sebuah meja tulis yang amat kecil.
“Apakah yang encik ingini?”
“Saya mencari pekerjaan sebagai guru.”
“Adakah sesuatu hal yang merupakan pujian bagi encik?”
“Ya.... Telh pernah saya memberikan pelajaran-pelajaran. Inilah suarta-surat keterangan dari orang tua murid-murid saya dan inilah ijazah saya.
Kepala kantor itu mempersaksikan surat-surat Mania itu dengan teliri. Ada yang menarik perhatiannya. Maka diangkatnyalah kepalanya melihat ke arah Manaia dengan perhatian yang lebih banyak.
“Encik fasih berbahasa Jerman, Rusia, Perancis, Polandia dan Ingris?”
“Saya Nyonya, bahasa Ingris kurang dari yang lain-lain, tetapi pelajaran-pelajaran di sekolah dapat saya berikan, Saya tammat dari sekolah Gymnaisum dengan mendapat anugerah bintang Emas.
“Oh... dan berapakah gaji yang Encik kehendaki?”
“Empat ratus rubel setahun, di luar pemondokan dan makanan saya.”
“Empat ratus rubel,” Kata nyonya itu pula mengulanginya dengan tak menunjukkan bagaimana pendapatnya. Sipakah orang tua Encik?”
“Bapak saya guru di sekolah gymansium.
“Baiklah, saya akan memintakan keterangan-keterangan yang diperlukan. Tak berapa lama lagi saya akan dapat memberikan pekerjaan bagi encik. Tetapi berapatahunkah umur Encik?”
“Tujuhbelas tahun, kata Mania dan mukanya merah sambil ia tersenyum dengan senyuman yang seolah-olah hendak melemahkan keberatan yang mungkin timbul!.
“.... tak berapa lama lagi umur saya delapan belas tahun!”
BAB.V :  GURU  RUMAH
Mania menulis kepada misannya Henriette pada tnggal 10 Desember 1885.
“Henriette yang tercinta, sejak kita berpisah hidup saya sebagai seorang hukuman. Seperti kau ketahui saya bekerja di keluarga B., seorang pengacara. Sekali pun untuk musuh saya yang sebesar-besarnya saya tidak mengharapkan agar ia hidup dalam neraka semacam ini! Akhirnrya pergaulan saya dengan nyonya B., menjadi renggang benar sehingaa hati saya tak sabar lagi  dan saya nyatakan dengan terus terang kepadanya rasa hati kalbu saya. Karena perasaan kami terhadap satu sama lain tidak berbeda, maka tak ada lagi salah faham antara kami.
Rumah keluarga B., ini adalah salah satu dari rumah-rumah orang kaya yang berbahasa Perancis- alangkah buruknya bahasa mereka itu kala ada tamu dan yang menunggu enam bulan sebelum membayar hutang-hutang mereka, padahal mereka memboroskan uang mereka, akan tetapi berkikir memakai minyak lampu. Lima orang palayan meladeni keluarga yang nampaknya berhaluan liberal ini, tetapi sebenarnya mereka hidup dalam suasana kebodohan yang mengecewakan. Selin dari itu bersimaharajalela di sini penyakit memfitnah yang dilahirkan dengan kata-kata yang muluk-muluk, umpatan-umpatan yang tak mengetahui belas kasihan.
Yang menguntungkan bagi saya dalam hal ini ialah pengetahuan saya tentang kemnusiaan bertambah. Sekarang saya insyafi gambar-gambar dalam roman memang ada juga dalam kenyataan sehari-hari dan bahwa haruslah disingkirkan bergaul dengan orang-orang yang akhlaknya telah dirusakkan oleh godaan uang...”
Tetapi benarlah lukisan yang diberikan oleh Mania itu. Surat-surat dari guru rumah itu menunjukkan dengan lebih nyata lagi bagaimana sopan santun-nya kebathinan keluarga yang telah ditinggalkannya itu. Di antara kenalan-kenalannya dari kalangan cerdik pandai pernah Mania bertemu dengan orang-orang yang pengetahuannya bertingkat ugahari, tetapi hampir tak pernah dijumpainya di antaranya itu orang-orang durjana atau yang sifatnya mementingkan hitungan rugi laba atau pun yang tak mempunyai rasa hormat diri. Di rumahnya sendiri tak pernah didengarnya perkataan kasar, atau yang tak senonoh. Pertengkaran-pertengkaran antar sesama mereka dan kata-kata umpatan pasti akan mengerikan anak-anak Sklodowski itu. Setiap kebodohan, pendirian picik atau kata lancang mengherankan Mania dan menimbulkan keinginannya hendak menentangnya.
Walau pun merupakan suatu lawan asas yang aneh, akan tetapi mungkin berkat tabiat utama dan kecerdikan teman-teman Mania itulah tercapai suatu pemecahan dalam teka-teki ini : Apakah sebabnya tidak lebih dulu kepintaran luar biasa. Mania yang budiman itu mendapat perhatian? Apakah sebabnya tak di suruh ia pergi belajar ke Paris dan sebaliknya dibiarkan ia menjabat pekerjaan guru rumah? Dalam sesuatu lingkungan yang tingkat pengetahuannya bersifat ugahari saja memang dengan segera ternyata kecerdikan luar biasa yang mengagumkan orang banyak, tetapi di sini dalam rumah yang satu itu juga Yosep, Bronia, Hela dan Mania berlomba-lomba kepintarannya. Karena itu lah maupun dari yang melihat tanda-tanda kebesaran jiwa pada salah satu dari antara anak-anak itu. Tak seorang pun, mau pun Mania sendiri, menyangka, bahwa Mania berlainan kadarnya dari abang dan kakak-kakaknya itu.
Jika dibandingkan dirinya dengan keluarganya maka perasaan sederhana hampir menjadi perasaan dina, tetapi di tengah-tengah keluarga-keluarga kalangan rakyat biasa yang menjadi majikannyasekarang ia meningkat di atas segala-galanya. Maka diinsyafinya sendirilah keutamannya dan keinsyafan ini memberikan perasaan puas juga baginya. Tak pernah diperdulikannya sedikit pun hak-hak istimewa berdasarkan keturunan dan kekayaan dan tak pernah ia goncang hatinya karena perasaan cemburu, akan tetapi asal-usullnya dan pendidikan yang diterimanya membanggakan dirinya. Yang diperoleh Mania dari pengalaman-pengalamannya pertama bukanlah hanya hikmat filsfat tentang kemanusiaan dan tentang “Orang-orang yang akhlaknya dirusakkan godaan uang,” tetapi diinsyafinya pula bahwa rancangan yang diusulkannya dahulu kepada Bronia harus ditinjau kembali.
 Ketika diterimanya pekerjaannya itu di Warsawa ialah hrapannya akan dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan tak menghukum dirinya karena itu menjadi seorang buanagan. Karena aia tetap tinggal dalam kota itu maka besarlah manfaatnya baginya disebabkan keringanan-keringanan berhubung dengan kemungkinan mengunjungi bapaknya setiap hari dan mengadakan perhubungan denegan teman-temannya dari Universitas Kilat serta siapa tahu – menmbah pengetahuannya dengan menghadiri beberapa kuliah malam.
Tetapi pengorbanan yang satu penyeret pengorbanan yang lain. Belum cukup lagi pahitnya nasib gadis yang malang ini. Pencahariannya tak mencukupi dan selain dari itu terlampau banyak pula uangnya dipakainya. Gaji berceceran karena belanjaannya sehari-hari, sehingga habis bulan tak banyak lagi tersimpannya.
Akan tetapi walau pun demikian ia harus bersiap membantu Bronia yang telah berangkat dengan Marya Rakowska ke Paris dan hidup di sana secara sederhana di Quartier Latin. Dan segera bapaknya akan menerima pensiunnya pula sehingga dibutuhinya bantuan oleh Mania. Apakah lagi dayanya?
Maka Mania berfikir panjang! Kira-kira tiga minggu yang lampau diperolehnya kabar tentang kemungkinan pekerjaan sebagai guru rumah di luar kota deengan gaji yang lumayan juga ... Antara berpikir dan bertindak tak ada lagi jangkahnya!  Diterimanya lah kehidupan di salah ssatu profinsi yang terpencil, walau pun keputusannya itu merupakan suatu loncatan dalam gelap gulita. Ini berarti perpisahan beberapa tahun lamanya dari mereka yang disayanginya dan menemui sunyi sepi yang sebulat-bulatnya. Tetapi tak ada lagi jalan lain baginya! Gajinya di sana lebih besar dan di daerah terpencil itu tak ada kesempatan mengeluarkan uang yang banyak.
“alangkah bodohnya tak kupikirkan ini lebih dulu, padahal saya menggemari tinggal di lura kota,,” Katanya dalam dirinya sendiri.
Keputusannya ini diberitahukannya kepada misannya :
“Tak akan lama aku tinggal meredeka, karena walau pun mula-mula aku bimbang sebentar, mulai besok telah ku terima suatu pekerjaan di luar kota, yaitu di daerah Plock, dengan gaji lmaratus rubel setahun, mulai tanggal satu Januari. Pekerjaan ini jualah yang ditawarkan kepada saya beberapa waktu yang lampu, tetapi tak saya terima. Orang-orang itutak senang dengan guru rumah mereka yang sekarang, karena itu mereka ulangi lagi menawarkannya kepada saya. Selainnya mungkin saya juga tak akan memuaskan bagi mereka!”
1 Januari 1886, hari Mania berangkat untuk suatu perjalanan jauh di waktu hari dingin, akan tetap dalam ingatannya sebagi suatu tanggal yang berisi kesedihan hidup baginya. Dengan gagah berani ia memohon diri dari bapaknya yang diberikannyaa alamatnya yang baru : Keluraga Szcozuki, Przasnysz.
Ia telah naik dalam kereta api dan sejenak lamanya masih dilihatnya tokoh bapaknya yang kecil itu, ssambil memandangnya dengan senyuman sedih. Maka ia pun rebah di atas bangkunya dan suatu perasaan sepi memberatinya sebagai suatu beban, karena baru sekali inilah ia pernah seorang diri dalam hidupnya!
Dengan tiba-tiba suatu perasaan takut menggenggam anak gadis yang berumur delapan belas tahun ini. Mania gemetar keisinan dan ketakutan sambil ia meneruskan   perjalannya dalam kereta api yang membawanya ke suatu rumah yang asing baginya dan menuju orang-orang yang tak dikenalnya. Sekiranya orang-orang baru ini serupa pula tabiatnya dengan orang-orang yang beru ditinggalkannya itu! Sekiranya bapaknya jatuh sakit sepeninggalnya itu! Apakah ia akan bertemu lagi dengan baaknya itu! Apakah bukan perbuatan kegialan ini yang dilakukannya sekarang? Berbagai pertanyaan menggoda pikiran gadis yang duduk berdempet dekat kaca jendela kereta api itu sambil memandang padang sabana berliput salju yang disinari oleh matahari sedang menghilang. Berkali-kali disapunya air matanya yang mengaburi pandangannya, tetapi selalu bercucuran kembali.
Tiga jam dalam kereta api pengeretan sepanjang jalan-jalan yang lurus dan melalui sunyi senyap malam musim dingin. Nyonya dan tuan S. Yang menjabat pekerjaan tuan tanah mengurus sebahagian dari tanah-tanah kepunyaan keluarga pangeran Czatoryski, seratus kilometer dari Warsawa. Setibanya pada waktu malam sedingin es itu di muka pintu rumah majikannya yang baru itu maka dilihat Mania-lah dengan letih lesu karena perjalannya tadi, sebagai dalam impian, tuan rumah itu dengan perawakannya tegap tinggi, istrinya berwajah kelabuan dan anak-anak yang memandangnya dengan mata penuh pertanyaan.
Guru rumah yang gbaru datang itu disuguhkan nyonya S. Secangkir teh panas dengan perkataan-perkataan lemah lembut. Sesudah itu diunjukkan nyonya S. Kepada Mania kamarnya di tingkatan pertama dan segera tinggallah anak gadis itu seorang diri di tengah-tengah barang-barangnya yang tak banyak itu.
Mania menulis kepada misannya Henriette pada tanggal 3 Pebruari 1886.
... Sudah sebulan saya sekarang di sini. Karena itu telah cukup waktu bagi saya menyesuaikan diri saya kepada pekerjaan saya yang baru ini. Sampai sekarang saya merasa senang, keluarga S. Ini adalah orang-orang baik-baik. Saya telah bersahabat dengan puteri seulung mereka, Bronka, dan karena itu hidup saya di sini bertambah senang. Murid saya, Andzia yang ak berapa lama lagi berumur sepuluh tahun adalah seorang anak yang patuh, tetapi amat joroknya dan dimanjakan. Tetapi, tak ada bahagia yang sempurna di dunia ini!.
Di daerah ini tak banyak orang bekerja. Yang dipikirkan orang di sini tak lain dari bersuka ria dan karena kami di rurmah ini agak menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan semacam ini maka disebarkan oleh orang-orang lah berupa-rupa dongengan tentang kami. Cobalah pikirkan, sepekan setelah tiba di sini mereka sampai hati mencemarkan nama saya, karena saya yang belum berkenalan seorang pun di sini tak bersedia menghadiri pesta dansa di Karwacz, yang merupakan pusat tempat bersuka-tia di daerah ini. Selamanya saya tak merasa menyesal saya tak pergi ke sana, karena baru jam satu siang tuan dan nyonya S. Pulang dari pesta dansa itu : Saya merasa girang karena saya luput dari percobaan ini, terlebih-lebih sebab waktu itu badan saya tidak kuat.
Pada malam Tigaraja di sini diadakan pesta dansa. Geli hati saya melihat para undangan di pesta itu. Congkak benar mereka untuk digambar oleh pelukis sendiri : Anak-anak gadis merupakan itik gangsa yang tak berani membuka mulut mereka atau pun kelakuan mereka sangat mengecewakan. Memang ada juga nampaknya di antara mereka yang pandai berpikir tetapi pada hemat saya sampai sekarang Bronka –encik S. Dapatlah disamakan laksana mutiara nadir, berkat akal budinya dan tafsiran hidupnya.
Saya bekerja tujuh jam sehari : empat jam dengan Andzia dan tiga jam dengan Bronka. Memang agak banyak juga jumlah jam bekerja itu, tetapi apa boleh buat! Kamar saya di atas, nyaman dan sunyi.
Keluarga S. Ini banyak anaknya : tiga orang lelaki di Warsawa (seorang di universitet, dua orang di sekolah berpemondokan). Di rumah : Bronka (delapan belas tahun), Andzia (sepuluh tahun), Stas yang berumur tiga tahun dan Marychna, seorang anak perempuan kecil berumur enam bulan, Stas amat lucunya. Pengasuhnya menerangkan kepadanya bahwa Tuhan berada dimana-mana. Maka Stas-pun bertanya dengan muka penuh ketakutan : “Alan ditangka-Nyakah aku?” Akan digigit-Nya kah aku?”
Di sini Mania berhenti menulis suratnya itu dan meletakkan penanya di atas meja tulisnya yang ditempatkannya dekat pintu kamarnya itu dengan tak menghiraukan hawa dingin.
Pandangan yang disaksiskannya dari sana masih dapat menimbulkan tertawaannya! Bukankah menggelikan hati jika, setelah sampai dalam sebuah rumah di luar kota dengan keyakinan akan dapat melihat di sekelilingnya padang-padang rumput dan  hutan-hutan, kenyataan bahwa yang terlihat sesudah jendela di buka untuk pertama kalinya ialah sebuah corong asap suatu kilang yang meningkat dan menutup pandangan mata serta mengotori hawa dan meludahkan kepulan asap hitam tebal?
Berklio-kilo meter disekitanya tak ada sebatang pohon kecilpun, tak ada padang rumput : Tak ada selain dati tanah-tanah yang ditanami penuh dengan lobak-gula yang pada menjelang musim rontok dimuat di atas pedati lembu dan diangkut dengan perlahan-lahan ke kilang gula. Di depan kilang itu kaum petani sedang menabur, mencabut rumput dan mengetam. . Dekat gedong-gedong dari batu merah itu penuh pondok-pondok penduduk kampung Krasiniec. Malahan sungai yang mengalir di sana itu pun merupakan budak untuk kilang nitu : bersih ia sampai di sana, tetapi kotor penuh dengan busa ditinggalkannya kilang itu.
Tuan S. Seorang ahli pertanian yang faham dalam lapangan tehnik bertugas menjalankan penilikan atas pengusahaan duaratus hektare kebun lobak-tebu. Amat kayanya, karena sebagian besar dari sero-sero kilang itu dimilikinya. Di rumahnya itu, seperti juga di rumah yang lain-lain, adalah kilang itu merupakan pusat perhatian orang berbicara.
Tetapi tak ada yang mengagumkan dalam hal ini, karena walau pun kilang itu menguasai segala-galanya di daerah itu, adalah perusahaan itu sederhana saja besarnya seperti berpuluhan yang lain dalam propinsi itu. Tanah Szcozuki itu tak berapa luasnya, tetapi dalam negeri ini yang penuh dengan pertanahan-pertanahan luas tak berarti duaratus hektare. Memang keluarga Szcozuki itu kaya, tetapi bukan terlampau kayanya. Dan walau pun rumahnya nampaknya lebih bagus dari rumah-rumah kaum tani di sekitarnya tiu belum lah bagaimana pun juga, dapat didbandingkan itu dengan sebuah kota. Lebih banyak rumah itu menyerupai sebuah gedong tuan tanah yang dikerumuni tanaman tambat dan berserambi kaca penuh peranginan.
Yang memberikan keindahan alam di sana ialah hanya sebuah taman bunga yang pada musim panas amat permai nampaknya dengan tanah lapang rumputnya, semak-semaknya dan lapangannya untuk bermain Croquet yang dilindungi sebuah pagar “Esdorrn” yang ditebas pendek. Di sebelah lain rumahn itu ada sebuah kebun  buah-buahan dan berjauhan dari sana nampak empat buah atap berwarna merah, yaitu atap lumbung-lumbung dan kandang-kandangn kuda dan lembu untuk empat puluh ekor kuda dan enampuluh ekor sapi. Selainnya sampai ke kaki langit hanya tanah kelabuan dengan tanaman lobak-gula!.
“ Ah tak perlu aku berkeluh kesah!” kata Mania dalam dirinya sendiri sambil menutup jendelanya itu. Benarlah kilang itu tak bagus nampaknya, tetapi berkat kilang itu-lah daerah ini lebih ramai dari pada yang lain-lain. Senantiasa ada orang yang daang dari Warsawa atau yang pergi ke sana. Di kilang itu bekerja sekeumpulan insinyur-insinyur dan direktur-direktur yang peramah hati dan dapat dipinjam di sana buku-buku dan majalah-majalah. Nyonya S. Itu musykil tabiatnya, tetapi hatinya baik. Sebabnya ia tak selalu bertindak sopan santun terhadap saya mungkin karena dahulu ia sendiri pun bekerja sebagai guru-rumah, tetapi sekarang lebih beruntung dari saya. Suaminya amat baik hatinya, puterinya yang sulung laksana dewa dan anak-anaknya yang lain tak berapa menyusahkan saya. Saya merasa beruntung juga! Dan setelah berseduh-seduh tangannya di atas emanas yang karena tingginya dari lantai ke loteng mengisi sebuah sudut kamarnya itu, maka disambung Mani-lah suratnya itu, sambil menunggu seruan yang memerintahkan “Encik Marya!” di balik pintunya menandakan bahwa majikannya memerlukannya.
Guru-rumah yang mrasa sepi itu banyak mengirim surat sekalipun maksudnya ialah hanya agar dapat banyak balsan pula dan berita dari kota. Sedng pekan menjelang bulan diceritakan Mania-lah kepada keluarganya segala pengalamannya sebagai egawai rendahan yang pekerjaannya diseling-seling kewajiban, “menemani” atau lepasan lelah yang terpaksa.
Kepada misannya Henriette yang telah kawin di Lwoe, di suatu propinsi, dan tetap berhaluan positivis dengan penuh keyakinan dipercayakannya dengan tak ada hempangannya segala renungan-renungannya yang sedalam-dalamnya, perasaan muringnya dan harapannya :
Mania menulis kepada Henriette pada tanggal 5 April 1886 :
“... Sya hidup seperti yang lazim dalam kedudukan seorang sebagai saya ini. Saya memberikan pelajaran-pelajaran, saya baca buku-buku, tetapi janganlah kau pikir bahwa pekerjaan ini bukan sulit karena setiap kali datang tamu yang baru di sini terkacau-balau lah pembagian pekerjaan saya sehari-hari menurut aturan yang telah saya rancang terlebih dahulu. Kadang-kadang saya makan hati karena ini, sebab Andzia adalah seorang dari anak-anak yang dengan gembira mempergunakan segala perhatian pekerjaan dan tan mungkin lagi menggerakkannya bekerja kembali sesudah perhatian itu. Hari ini saya bertengkar pula karena tak mau ia bangun pada waktu yang biasa. Akhirnya terpakasa saya memegang tangannya dan menariknya dari tempat tidurnya. Dalam hati saya amat amarahnya perasaan saya. Tak dapat kau rasakan bagaimana ha-hal kecil semacam ini berjam-jam lamanya menyakiti hati saya, tetapi saya harus menjaga supaya saya tetap menang!.
“Kau bertanya apakah yang menjadi buah tutur orang banyak di sini? Tak lain dari omong kosong saja! Yang menjadi buah tutur di sini ialah hanya soal tetangga, pesta dansa dan jamuan malam. Kalau untuk bedansa memang jarang akan didapati anak-anak gadis yang lebih pandai berdansa. Semuanya mereka berdansa dengan rapinya. Sebenarnya mereka bukan tak baik, bahkan di antaranya ada yang pula yang pintar, tetapi pengetahuannya tak luas dan pesta-pesta gila-gilaan yang tak ada putusnya itu tidak memberikan kemajuan bagi mereka. Mau pun untuk anak-anak gadis, mau pun untuk kaum pemuda di sini perkataan-perkataan seperti “positivisme” dan “masalah buruh” dsb. Adalah merupakan pengartian-pengartian yang dibenci mereka, itu pun sekiranya mereka pernah mendengar perkataan-perkataan itu, tetapi jarang ini kejadian. Jikalau dengan keluarga-keluarga yangg lain memang keluarga S. Ini dpat dikatakan berpengetahuan. Tuan S. Kolot pendiriannya, tetapi akal budinya baik, sifat-sifatnya menawan hati dan tak banyak tingkah-tingkahnya. Istrinya agak susah dalam pergaulan, tetapi jika pandai orang mengambil hatinya, baik juga ia. Saya pikir ia suka juga melihat saya.
Sekiranya kau dapat melihat bagaimana baiknya tingkah laku saya di sini! Tiap-tiap hari Ahad dan hari besar saya pergi ke Gereja dan tak pernah saya mengatakan sakit kepala atau demam untuk tinggal di rumah. Hampir tak pernah saya menyinggung soal pelajarann untuk kaum wanita. Pada umumnya selalu saya berhati-jhati dalam segala ucapan saya selaraskan dengan kedudukan saya.....
Pada waktu hari paskah nanti saya pergi beberapa hari ke Warsawa. Kalau saya ingat ini seolah-olah hati saya akan pecah, sehingga dengan susah paya saya menekan perasaan sukaria saya itu ...
Walau pun Mania secara mengoceh melukiskan “Kelakuannya yang menjadi suri tauladan itu”, akan tetapi dalam dirinya tersimpan sesuatu pribadi yang gagah berani dan suci murni yang tak dapat hidup lama dalam suatu suasana biasa-biasa saja. Dalam jiwanya masih hidup “Idealis Posisitf” dari dahulu dan ia merasa terpaksa berbakti dan berjuang.
Karena setiap hari ia bertemu di jalan-jalan berlumpur dengan anak-anak kaum tani, lelaki dan perempuan, semuanya berpakaian papa, beruka bebal dan rambut merah, maka timbullah dalam hati Mania sesuatu pikiran.
Apakah salahnya jika dalam dunia Szcozuki yang kecil ini duwujudkan dalil-dalil mutakhir yang disayanginya itu? Setahun yang lampau dimimpikannya hendak “memberikan penerangan” bagi rakyat. Nah, inilah suatu kesempatan yang baik! Anak-anak di kampung ini pada umunya masih buta huruf sebagian besar. Mereka yang bersekolah belajar tulisan Rusia. Alangkah baiknya jika diberikannya peajaran-pelajaran bahasa dan sejarah nasional mereka !
Guru rumah itu bertukar pikiran dengan encik S. Yang dengan segera menyetujuinya dan berjanji akan membantunya.
“Pikirkanlah baik-baik,” kata Mania, untuk mengembangkan gairah anak gadis itu. “Jika kita diadukan pastilah kita akan dibuang ke Siberia!
Akan tetapi tak ada yang lebih menularnya pengaruhnya dari pada keberanian. Dalam mata Bronka dilihat Mania bersinar-sinar kegembiraan dan keteguhan hati. Karena itu hanya persetujuan tuan rumah sajalah yang diperlukan lagi dan sesudah itu dapatlah dimulai memberikan sarana dengan hati-hati di dalam pondo-pondok kaum tani itu.
Mania kepada Henriette pada tanggal 13 September 1886.
“.... Pada musim panas yang lampau sebenarnya ada kesempatan bagi saya pergi berlibur, tetapi saya tak tahu akan ke mana saja pergi, karena itu saya tinggal di Szcozuki saja. Tak mau saya mengeluarkan uang untuk pergi ke pegunungan Karpatia. Banyak pelajaran-pelajaran saya berikan kepada Andzia dan banyak buku saya baca dengan Bronka. Selaind ari itu saya memberiekan pelajaran se jam sehari bagi anak seorang buruh sebagai pendidikan untuk pergi sekolah. Di luar ini Bronka dan saya mengajarkan anak-anak kaum tani selama dua jam sehari. Hampir satu kelas banyaknya. Karena ada sepuluh orang murid dkami itu. Mereka belajar dengan rajin, akan tetapi kerap kali amat sukar pekerjaan kami itu. Yang menghiburkan hati saya ialah hasil-hasil yang kami capai itu lambat laun bertambah baik, bahkan dengan cepat pula. Karena itu tiap-tiap hari sibuk saja bekerja dan di samping itu saya belajar juga untuk saya sendiri buat memperluas pengetahuan saya ...
Mania kepada Henriette pada bulan Desember 1886.
.... Jumlah murid-murid saya dari kalangan petani sekarang telah berjumlah delapan belas orang. Tentu mereka tak semuanya datang bersama-sama, karena tak dapat saya laksanakan itu, tetapi sekarang pun mengajar mereka masih memakai waktu dua jam sehari. Setiap hari rabu dan sabtu lebih lama sedikit saya bersama-sama mereka, sampai jam lima. Ini dapat saya laksanakan karena kamr saya di tingkatan pertama dan berpintu sendiri ke luar sehingga pekerjaan saya tak mengganggu siapa pun juga selama saya menunaikan kewajiban saya. Anak-anak kecil itu menggembirakan dan menghibur hati saya...”
Bagi Mania cukup lagi mendengar Andzia membacakan pelajaran-pelajarannya, bebekerja dengan Bronka atau un menjaga supaya Yulk yang datang dari Warsawa dan dipersembahkan pula kepadanya jangan tertidur di hadapan buku-bukunya .... Apabila itu telah siap semuanya maka pergilah anak gadis itu ke kamarnya dan menunggu didengarnya suara bakiak kecil dan langkah kaki yang tak bersepatu yang menandakan bagi Mania bahwa murid-muridnya telah tiba. Supaya mereka lebih senang mencoret-coret garis sentak tulisan mereka, maka dipinjamnyalah sebuah meja dan beberapa kursi dari kayu. Dari uang simpanannya dikorbankannya uang pembeli buku-buku tulis yang tipis dan tangkai pena yang dipegang mereka dengan jari-jari yang kaku dan canggung. Apabila tujuh atau delapan orang dari anak-anak itu duduk dalam kamar yang besar dan ber cat putih itu maka cukuplah pekerjaan Mania dan Bronia untuk memelihara ketertiban dan membantu mereka yang sambil mengeluh mengeja kata-kata yang sulit.
Tak semuanya anak-anak itu besih dan berpakaian rapi; di antaranya ada anak-anak pesuruh wanita, penyewa tanah dan buruh kilang. Mereka berkerumun sekeliling baju hitam dan rambut putih Mania. Nampaknya tak berapa manis anak-anak itu dan sebagian dari mereka suka lalai dan keras kepala, tetapi pada kebanyakan dari anak-anak itu nampak dengan nyata dalam mata mereka yang berseri-seri itu suatu keinginan besar hendak mencapai hasil dalam pekerjaan yang berat itu : membaca dan menulis. Dan apabila tujuan yang hina dina itu telah tercapai dan apabila huruf-huruf hitam dan besar di atas kertas putih dengan tiba-tiba mengandung arti maka terharulah hati Mania karena gembiranya melihat kebanggan anak-anak itu dan kekaguman orang tua mereka yang kadang-kadang walau pun buta huruf, berdiri dalam kamar itu menghadiri pelajaran-pelajaran anak-anak mereka.
Direnungkannyalah berapa banyaknya kemauan baik yang tak dipergunakan, berapa banyaknya kepintaran terbuang di antara orang-orang yang parasnya telah dirusakkan hujan panas. Terhadap lautan kebodohan itu Mania meraa lemah dan tak berdaya!.


BAB. VI :  MASA  TUNGGU  YANG  LAMA
Anak-anak petani yang masih kecil itu tak ada menyangka bahwa “encik Marya” dengan pikiran muram merenungkan kekurangan pengetahuannya sendiri. Tak diketahui mereka bahwa angan-angan guru mereka itu ialah menjadi murid kembali, karena lebih suka ia belajar daripada mengajar.
Alangkah sedihnya bagi Mania memikirkan bahwa pada saat ia melihat pedati-pedati mengangkut lobak tebu keliling, pada saat itu jugalah di Berlin, Wien, di Petersburg dan London beribu-ribu pemuda dan pemudi sedang mendengarkan pelajaran-pelajaran dan ceramah-ceramah, sedang bekerja dalam balai penyelidikan, musium dan rumah sakit! Terlebih-lebih memikirkan bahwa padad universitet Sorbonne yang termasyhur itu dapat belajr ilmu pasti, ilmu masyarakat, ilmu kimia dan ilmu alam!
Lebih suka Mania belajar di Negra Perancis daripada negara yang lain manapun, karena akebesaran dan kemuliaan Perancis merawan hatinya sedang di Berlin da Petersburg pemerintahnya menindas Bangsa Polandia. Di Prancis kemerdekaan dijunjung-tinggi, segala perasaan dan semua agama dihormati dan semua orang yang sengsara dan diburu dari negeri manapun mendapat suaka di sana. Mungkinkah tiba lagi saatnya bagi Mania ia naik kereta api ke Paris? Mungkinkah masih ditakdirkan Allah kepadanya bahagia sebesar itu?
Mania sendiri telah putus harapannya. Telah duabelas bulan lamanya ia tinggal di suatu profinsi dalam keadaan yang menegcewakan, sehingga angan-angannya telah goyah dan runtuh. Walau pun keyakinannya dan impiannya penuh semangat akan tetapi bukanlah ia seorang yang mengejar-ngejar bayangan-bayangan saja. Apabila dipikirkannya dengan sadar bagaimana keadaannya maka dilihat ania-lah dengan terang bahwa kedudukannya itu nampaknya tak asa mengandung harapan lagi di hari kemudiannya. DI Warsawa bapaknya segerra akan memelukannya dan di Paris Bronia membutuhkan bantunnya beberapa tahun lagi sebelum ia mendapat mata pencaharian sendiri. Dan ia sendiri, Mania, sekarang tinggal di Szozuki sebagai guru rumah. Rancangannya untuk mengumpulkan suatu dana yang dahulu dipandangnya dapat terlaksana sekarang menyebabkannya tersenyum. Angan-angan kanak belaka, katanya! Tak akan mungkin lagi dapat ia melarikan diri dari tempat semacam Szcozuki itu!.
Tetapi biarpun demikian, seolah-olah ada suatu kekuatan batin yang deras mendorongnya sehingga tiap-tiap malam ia bekerja dan mempelajari ilmu masyarakat dan ilmu fisik dari buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan kilang itu. Di samping bekerja sampai larut malam itu diperluasnya pula pengetahuannya dalam ilmu pasti dengan perantaraan surat menyurat dengan bapaknya!.
Semuanya nampaknya seolah-olah tak ada lagi belas kasihan baginya. Sebagai seorang buangan ke daerah yang terpencil ini tak ada lagi yang memimpinnya atau yang memberikan nasihat bagi Mania. Dengan meraba-raba dan boleh dikata untung-untungan dicarinya jalannya sendiri dalam sesatan ilmu pengetahuan yang hendak dikumpulkannya itu tetapi harus terlebih dahulu dipungutnya dari buku-buku yang telah usang. Apabila sewaktu-waktu ia kehilangan semangat maka dicampakkannya lah buku-bukunya itu dengan amrahnya seperti anak-anak kaum tani itu membuangkan kitab pelajaran mereka kalau mereka putus asa dalam ikhtiar mereka dalam belajar membaca. Tetapi biarpun demikian diteruskannya usahanya itu dengan ketegaran hati seorang tani.
“Kesusasteraan dan ilmu masyarakat kedua-duanya menarik perhatian dan minat aya”, tulis Mania empat puluh tahun kemudian, “Tetapi dalam pekerjaan bertahun-tahun itu untuk mencari anguran saya yang sebenarnya, akhirnya saya berpaling ke lapangan ilmu pasti dan ilmu fisik.
Dalam pelajaran-pelajaran saya seorang diri itu banyak saya menemui kesulitan-kesulitan, karena pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan yang saya peroleh di sekolah jauh dari lengkap – jauh kurangnya dari pendidikan di Prancis. Saya coba mencukupi yang kurang itu menurut pendapat saya sendiri dari buku-buku yang sewaktu-waktu saya temukan di mana pun juga. Cara kerja serupa ini lah saya bisa bekerja sendiri dengan tak ada pimpinan, sehingga banyak soal-soal saya pelajari yang kelak membawa faedah bagi saya....”.
Semasa itu ditulisnya dari Szcozuki :
Mania kepada Henriette, bulan Desember 1886 :
“..... Kadang-kadang saya bekerja mulai dari jam delapan sampai pukul setengah duabelas dan dari jam dua sampai setengah delapan dengan tak ada putus-putusnya. Dari setengah duabelas hingga jam dua kami melancong dan makan siang. Sehabis minum teh petang saya membaca dengan Andzia – kalau ia tak nakal hari itu – dan sebaliknya kami bicara-bicara atau saya lanjutkan kerja tangan saya yang juga pada waktu mengajar tak tanggal dari dekat saya. Jam sembilan malam saya tumpahkan tenaga saya untuk buku-buku saya dan bekerjalah saya, kalau sekiranya tak ada terjadi sesuatu dengan sekonyong-konyoong yang menghalang-halanginya...”
Telah saya biasakan bangun jam enam setiap pagi supaya dapat belajar lebih banayk, tetapi tak senantiasa dapat saya laksanakan ini. Kami menginap di sini seorang tua yang sangat baik hatinya, yaitu Andzia punya bapak serani dan atas permintaan nynya S. Saya ajak dia mengajar saya main catur, agar ada kerjaannya. Kadang-kadang saya turut main kartu sebagai pemain yang keempat dan inilah semuanya menghambat saya dan buu-buku pelajaran saya itu.
Dewsa ini saya sedang membaca :
1. Physica, oleh Daniel, Jilid I telah tamat saya baca.
2. Sosiologi, oleh Spencer, dalam bahasa Perancis.
3. Pelajaran-pelajaran ilmu urai dalam Ilmu Fa’al, oleh Paul Bers, dalam bahasa Rusia.
Buku-buku ini saya berselang-seling karena klau saya telan terus menerus satu pelajaran saja, maka kepala saya yang telah penuh padat itu akan pecah! Kalau saya rasa tak berdaya lagi membaca dengan ada gunanya maka saya carilah soal-soal aljabar dan ilmu ukur yang selalu meminta perhatian sepenuhnya, sehigga dengan cara demikian saya kembali kepada jalan semula.
Bronia menulis dari Paris bahwa ia menemui kesulitan-kesulitan berhubung dengan ujian-ujiannya, bahwa ia kerja akeras dan bahwa kesehatannya terganggu.
“.... Rancangan saya untuk kemudian hari? Tak ada rencana saya, atau lebih tepat lagi saya katakan rancangan saya itu sembarangan dan sederhana saja, sehingga tak ada artinya menyebutkannya. Saya berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan ini dengan segala daya upaya yang ada pada saya dan kalau tak ada lagi kekuatan saya kelak, maka saya akan ucapkan selamat tinggal kepada dunia ini : Tak akan banyak kerugian karena daku, ratap tangis bagiku tak akan lama tak akan lebih lama dari pada untuk orang-orang lain.
Dewasaini hanya rancangan saya. Beberapa orang mengatakan bahwa, bagaimana pun juga, saya harus menderita penyakit yang dinamakan orang : Cinta. Ini lah yang tak sesuai dengan rancangan-rancangan saya itu. Kalau pun dahulu saya mempunyai rancangan-rancangan yang lain adalah itu sekarang telah hangus semuanya, telah sya kuburkan, telah saya kuncikan dan lupakan karena seperti kau ketahui juga : pagar-pagar tembok lebih kuat daripada kepala-kepala yang hendak meruntuhkannya.”
Pikiran-pikiran remang terhadap membunuh diri itu, kalimat berisi kecewa dan sindiran tentang cinta itu perlu diberikan keterangannya. Menerangkannya itu bukanlah pekerjaan yang sulit. Boleh disebutkan itu, “Hikayat roman seorang gadis miskin”. Telah banyak roman-roman bersifat sentimen yang menceritakan semacam ini.
Hikayat Mania ini mulai tatkala ia menjadi cantik-molek, walau pun pada masa itu ia belum mempunyai kehalusan yang terlihat dari gambaran-gambarannya di kemudian hari. Tetapi anak gadis yang dahulu kala agak terlmpau tegap perawakannya itu sekarang telah cantik manis. Warna mukanya dan rambutnya merawan hati, pergelangannya dan mata kakinya amat rampingnya. Dan walau pun air mukanya tidak rata dan semppurna, akan tetapi merawan hati juga, karena tanda ketegaran hati yang tersimpul dekat mulutnya, karena matanya berwarna kelabu yang besar nampaknya disebabkan tajamnya pandangannya.
Maka tatkala anak sulung keluarga S, itu Casimir namanya, datang dari warsawa, mula-mula untuk beberapa hari besar, kemudian semasa libur panjang, maka bertemulah di rumah orang tuanya itu seorang guru rumah yang pandai berdansa, mendayung, bersepatu es dan di samping itu jenaka dan berpenedidikan, yang pandai pula mengarang syair serta naik kuda atau mengendari kereta brik, tetapi dalam pada itu berbeda amat berbedanya – secara gaib dari anak-anak gadis yang dikenalnya sebelum itu. Maka ia pun jatuh cinta terhadap Mania, sedang Mania sendiri yang dibalik keyakinan-keyakinan refolusionernya itu menyimpan suatu hati yang lekas terharu, mencintai mahasiswa muda dan pintar dan gagah itu pula. Umur Mania belum ada sembilanbelas tahun dan Casimir lebih tua sedikit dari dia. Dirancang mrekalah hendak kawin.
Nampaknya tak ada yang menghalang-halangi perkawinan merek. Sebenarnya, di Szcozuki Mania hanya “encik Marya” guru rumah keluarg S., tetapi semuanya telah sayang kepadanya : Tuan S. Kerap kali melancong dengan Mania di padang-padang sedang nyoya S. Melindunginya dan Bronia menyayanginya dengan sangatnya. Banyak diunjukkan mereka perhatian mereka terhadap Mania dan beberapa kali diundang mereka bapaknya, abangnya dan kakak-kakaknya. Pada hari lahirnya diberikan mereka Mania hadiah-hadiah dan bunga. Karena itu tak ada syak wasangka Casimir bahkan hampir dengan penuh kepercayaan dan pengharapan dimintanyalah persetujuan orang tuanya untuk pertunangan mereka.
Tak perlu ia menunggu lama untuk jawabannya. Bapaknya gusar, ibunya hampir jatuh pingsan. Ia, Casimir jantung hati mereka, hendak kawin dengan seorang anak gadis yang tak mempunyai harta sehingga terpaksa ia mencari pekerjaan sama orang lain! Pada hal bila saja dikehendaki dapat ia meminang gadis jodoh yang sebaik-baiknya di seluruh daerah itu! Apakah ia telah menjadi gila?
Dengan sekejap mata telah didirikan kembali pagar tembok timbangan kemasyarakatan yang memihak dalam rumah keluarga S. Yang membanggakan diri memandang Mania sebagai seorang teman. Kenyataan bahwa anak gadis ini berketurunan baik, berpengetahuan, cerdik, dan mempunyai nama yang tak cemar oleh suatu apap pun, sedang bapaknya sendiri seorang yang dihormati di Warsawa, tak dapat meruntuhkan tembok itu dan tak berarti terhadap empat buah perkataan yang tak mengetahui belas kasihan : Mustahil menikahi seorang guru rumah!.
Kaena petuah-petuah dan sesalan-sesalan ini maka mahasiswa itu pun goncang mengambil keputusan. Ia bukan seorang berhati yang teguh dan ia takut berselisih dengan keluarganya. Mania berkecil hati karena penghinaan oleh orang-orang yang lebih rendah dari dia itu, san diambilnya sutu sikap yang tak pada tempatnya dengan menarik diri serta membungkam. Telah diputuskannya bahwa sedikit pun tak akan dipirkannya lagi tentang peristiwa ini.
Tetapi percintaan itu samalah jalannya dengan hasrat mencari nama : kedua-duanya dapat dihukum mati, tetapi belumlah cukup itu untuk mematikannya.
Tak sampai hati Mania mengambil keputusan yang berat tetapi yang setepat-tepatnya dalam hal ini, yaitu berangkat dari sana. Ia takut menguatirkan bapaknya. Selain dari itu tak mungkin baginya meninggalkan pekerjaan sebagus itu : Karena uang simpanan Bronia telah habis terpaksalah ia dengan bapaknya membelanjau pelajarannya di Paris. Iap-tiap bulan dikirimkannya kepada Bronia limabelas, kadang-kadang dua puluh rubel, yaitu hampir setengah dari gaji sebesar itu? Antara keluarga S. Dan Mania tak ada pembicaraan langsung dan tak ada percekcokan. Karena itu lebih baik menerima penghinaan itu dan pura-pura tak ada yang terjadi!
Hidupnya pun berlangsung lah seperti sedia kala. Mania memberikan pelajaran, merengut terhadapat Andzia dan dibangunkannya Julek yang selalu tertidur ketika bekerja rohani. Pekerjaannya di kalangan anak-anak kaum tani dilanjutkannya dan seperti sedia kala ddipelajarinya buku-buku ilmu kimia, walau pun dalam dirinya ia menertawakan ketegaran hatinya yang tak ada gunanya itu. Ia main catur, menghadiri pesta dansa dan melancong melaui hujan dan panas hari ...
“Pada musim dingin”, ditulisnya di kemudian hari “padang-padang salju yang meluas itu indah juga nampaknya dan kami mengadakan perjalanan dengan kereta pengeretan. Sewaktu-waktu hampir tak kami kenal lagi jalanan itu.
“Jaga lah jangan sampai tersessat, saya serukan kepada kusir kami itu. Maka ia pun menjawab : “Sudah lama kita sesat! Atau : jangan lah takut encik, akan tetapi pada saat itu terbaliklah kereta itu. Tetapi bencana-bencana semacam itu hanya menambah kegirangan kami dalam perjalanan serupa itu.
“.... Saya masih ingat juga lagi bahwa kami mendirikan sebuah pondok salju yang indah seketika salju berhimpun-himpun di apdang-padang itu. Kami dapat duduk di dalamnya dan memandang dari dalam ke laur melihat-lihat luasan yang memutih merah jambu...”
Tak beruntung dalam percintaan, kecewa dalam keinginan belajar dan selalu kekurangan uang disebabkan kehabisan gajinya setelah dibantunya yang lain-lain itu, berikhtiar lah Mania melupakan nasibnya dan kebiasaannya sehari-hari seolah-olah ia seorang yang terkandas di suatu pulau. Selalu ia berhubungan dengan keluarganya, bukan untuk meminta bantuan dari mereka, bahkan bukan untuk mengucapkan kata-kata sakit hatinya, tetapi di setiap suratnya itu ia memberikan nasihat dan ditawarkannya bantuannya kepada mereka. Yang diingininya ialah agar keluarganya mendapat hidup yang selayaknya.
Mania kepada Yosep pada tanggal 9 Maret 1887.
“,.... Pada hemat saya lebih baik kau pinjam uang seratus rubel untuk tinggal di Warawa daripada pergi mengumpet dalam suatu propinsi yang terpencil. Janganlah kau marah, abang sayang, kalau saya berkata bodoh sekarang, karena kau tahu bahwa saya dari dulu biasa menyatakan pikiran saya dengan terus terang.
Tetapi kau sendiri mengetahui bahwa menurut pendapat umum pun tak mungkin lagi ada kesempatan memperluas dan memperdalam pengetahuan atau membuat percobaan-percobaan, jikalau kau telah membuka praktek di sesuatu kota kecil. Srupalah itu dengan masuk kubur dengan tak ada kemungkinan untuk ke luar lagi dari sana, karena kalau tak ada di sana rumah sakit, rumah obat atau buku-buku maka kelalaian dan kealpaan lah akibatnya, sehingga akemauan baik yang cukup banyak  pun tak dapat memberikan kemajuan lagi. Saya akan bersedih hati sekiranya engkau sendiri mengalami sedemikian, karena saya sendiri telah putus harapan akan mendapat kesempatan lagi menjadi seorang yag ada artinya, sehingga engkau dan Bronia sajalah yang akan dapat memuaskan hemat tingggi saya. Engkau dan Bronia keduanya tentu akan dapat menyesuaikan hidupmu denga kurnia yang pasti ada tersembunyi dalam keluarg kita dan yang tak akan kunjung padam itu, malahan akan menyala-nyala keluar dengan perantaraan salah seorang dari kita! Semakin kusesali diriku sendiri semakin besarlah pengharapanku terhadap engkau dan Bronia....
Barangkali engkau menertawakan aku atau angkat bahu mendengar petuah-petuah sya ini, karena tak bisa aku menulis semacam ini, tetapi ini saya tumpahkan dari hati yang suci murni. Telah lama saya pikirkan ini, bahkan semenjak kau mullai belajar di Warsawa....
Di samping itu ingat jugalah bagaimana girangnya bapak kita nanti kalau kau berdekatan dengan dia! Kau disayanginya benar, lebih dari pada salah seorang dari kita semuanya! Pikirkanlah sekiranya Hela kawin dengan tuan B. Dan engkau berangkat dari warsawa, siapakah lagi yang akan tinggal di dekatnya, tinggalah ia seorang diri? Alangkah sedihnya hatinya nanti! Pada hal engkau dan bapak dapat tinggal bersama-sama dan semuanya akan dapat terurus dengan beres! Tetapi jangan kau lupa berhemat memakai tempat, kalau-kalau kami pulang kembali!”
Mania menulis pada tanggal 1 April 1887 kepada Henriette yang telah melahirkan seorang anak yang tak bernyawa :
“... Alangkah pedihnya perasaan seorang ibu yang telah mengalami percobaan-percobaan sedemikian banyaknya dengan percuma! Asal kita mengatakan dengan tawakkal : “Takdir llah dan kita harus tunduk kepada kemauan-Nya!” Maka dengan cara sedemikian dapatlah kesedihan itu di obati walau pun untuk sebahagian saja! Tetapi sayang, tak semua orang mendapat lipur-lara semacam itu. Sekeliling saya kulihat abagaimana beruntungnya orang-orang yang dapat menerima keterangan serupa ini, tetapi yang ganjilnya ialah bahwa semakin saya insyafi bagaimana beruntungnya mereka itu semakin tak berdaya rasanya saya turut beriman dan beruntung seperti mereka itu.
Mania menulis kepada Yosep pada tanggal 20 Mei 1887 :
“... Saya belum tahu apakah murid saya, Andzia turut dalam ujian, tetapi saya sendiri telah gemetar memikirkannya sekarang. Minatnya dan ingatannya sangat mengecewakan! Begitu pula Julek! Ikhtiar mengajar mereka serupa dengan mendirikan gedong di antara pasir, karena bila mereka telah mempelajari sesuatu hal maka yang diajarkan kemarin mereka telah lupa pula. Sewaktu-waktu mengajar itu merupakan siksaan bagi saya. Selain dari itu saya takut melihat diri saya sendiri, karena kadang-kadang perasaan saya seolah-olah saya menjadi bodoh disebabkan hari-hari berselang malam dengan cepat dengan tak ada membawa kemajuan dalam pelajaran saya sendiri. Juga pelajaran-pelajaran bagi anak-anak kampung di sini telah saya hentikan berhubung dengan misa-misa semasa bulan menghormati Maria ini.
Padahal tak banyak yang kukehendaki untuk menyenangkan hati saya : Yang saya ingin hanyalah perasaan bahwa saya telah berbakti ....”
Selnjutnya berhubung dengan gagalnya niat perkawinan Hela :
“Dapatlah saya fahamkan bagaimana cinta akan dirinya melukai hati Hela itu ... Lambat laun pandangan saya terhadap orang lelaki sangat bagusnya! Kalau mereka tak mau kawin lagi dengan seorang anak gadis yang tak mempunyai harta, baiklah! Tak ada orang yang memintanya berbuat demikian, akan tetapi apakah gerangan perlunya mereka menghina pula lagi, apakah perlunya mencuri ketenangan hati seorang anak yang tak bersalah?
“.... Saya harap mendapat kabar yang menghiburkan hati saya dari engkau! Kerap kali saya bertanya dalam hati saya bagaimanakan keadaanu sekrang dan apakah engkau tak menyesal tinggal di warsawa? Tentu tak perlu saya kuatir, karena saya yakin bahwa engkau akan dapat mengatasi kseulitan-kesulitan mu itu. Untuk kamum wanita selalu lebih sukar tetapi bahkan saya sendiri masih mempunyai harapan yang remang-remang bahwa sya tidak akan tenggelam seluruhnya...”
Mania kepada Henriette pada tanggal 10 Desember 1887.
“..... Janganlah kau percaya berita-berita yang mengatakan bahwa tak berapa lama lagi saya akan kawin, karena tak ada alasannya berita-berita itu; omong kosong itu telah disebarkan orang di seluruh daerah ini, bahkan di Warsawa pun telah tersiar kabar ini. Walau pun saya tak dapat menghambat-hambatnya saya takut akan mendapat kesulitan-kesulitan karena itu.
Rancangan-rancangan saya untuk hari kemudian sangat sederhana : hasrat saya ialah mempunyai suatu tempat diam bersama-sama dengan Bapak kita. Orang tua itu memerlukan saya, ingin benar ia supaya tinggal di rumah, karena rindunya kepada saya! Untuk merebut kemerdekaan saya kembali dan mempunyai rumah sendiri saya bersedia mengorbankan setengah jiwa saya.
Karena itu sedapat mungkin saya akan berangkat dari Szcozuki ini, tetapi beberapa waktu lagi baru mungkin ini. Saya akan menetap di Warsawa dan akan menerima pekerjaan di sesuatu sekolah, sedang di samping itu saya akan menabah pencaharian saya dengan memberikan pelajaran-pelajaran istimewa. Ini sajalah yang saya ingin. Tak ada faedahnya bersusah-susah dalam hidup manusia ini....
Mania kepada Yosep pada tanggal 18 Maret 1888.
“Yosua sayang, untuk surat ini akan saya pergunakan perangko saya yang penghabisan. Karena saya tak mempunyai uang lagi, satu sen pun tidak, tak akan dapat lagi saya mengirim surat kepadamu sebelum hari-hari besar yang akan datang, terkecuali kalau kebetulan saya memperoleh perangko lagi.
Maksud surat saya ini ialah mengucapkan selamat berhubung dengan hari-harimu dan percayalah engkau, jika saya terlambat menulis surat ini adalah itu semata-mata disebabkan saya tak mempunyai uang dan perangko secukupnya, Suatu hal yang sangat menyusahkan hati saya. Seperti kau ketahui, bagaimana keluhan saya karena keinginanku hendak pergi ke Warsawa untuk beberapa hari! Jangan lagi kubicarakan tentang pakaianku yang hampir tak terpakai lagi dan perlu diurus .... Tetapi rohanipun saya tak dapat lagi berdaya. Ah, sekiranya saya dapat pergi beberapa hari dari suasana yang mengerikan dan membekukan pikiran saya ini dan meninggalkan teguran-teguran serta pengawasan-pengawasan yang mengamat-amati saya dengan tak ada putusnya : setiap perkataan saya, air muka saya, gerak-gerik saya! Keinginan saya pergi dari sini serupa dengan kebutuhan orang mandi air dingin pada terik panas! Selain dari itu banyak lagi sebab-sebab saya mengingini perubahanitu!.
Sejak beberapa lama Bronia mengirim surat lagi kepada saya. Pasti ia pun tak mempunyai perangko lagi ... Jikalau ada perangkomu, kirimlah aku surat, inilah permintaanku! Ceritakanlah dengan jelas segala yang terjadi di rumah, karena surat-surat dari ayah dan hela penuh keluh kesah, tetapi saya bertanya dalam hati saya apakah sebenarnyalah keadaan di sana mengecewakan. Saya kuatir dan di samping itu ada pula pelbagai kesukaran-kesukaran saya di sini yang ingin saya ceritakan, akan tetapi baiklah jangan. Sekiranya saya tak memikirkan Bronia, hari ini juga saya minta lepas dari pekerjaan saya dan mencahari yang glain, bagaimana pun bagusnya gaji saya dalam pekerjaan saya yang sekarang.”
Mania menulis kepada temannya Kazia (yang telah memberitahukan pertunangannya dan akan menemuinya beberapa hari) pada tanggal 25 Oktober 1888 :
“Tak ada sedikit pun dari yang engkau percayakan kepadaku itu menurut pendapat saya terlebih-lebih dan tak ada yang merupakan tertawaan bagi saya. Bagaimanakah mungkin adik angaktmu ini akan tidak mempunyai perhatian untuk segala sesuatu yang mengenai dirimu, seolah-olah itu semuanya mengenai diri saya sendiri?
Saya sendiri bersikap girang dan kerap kali saya selubungi perasaan saya yang perasaannya sederhana perasaan saya ini, tetapi tak berdaya mengubah tabiat mereka itu, harus menyembunyikan isi hati kalbu mereka itu sebaik-baiknya. Tetapi apakah kau pikir ada faedahnya? Sekali-kali tidak! Dalam kebanyakan hal saya terbawa-bawa karena semangat saya yang berapi-api itu dan.... ya, maka diucapkanlah kata-kata yang disessali di kemudian hari, tetapi disessali pula dengan berlebih-lebihan.
Surat saya ini agak pedih sedikit, Kazia, tetapi tak ada jalan lain bagi saya. Kau tulis bahwa kau telah mengalami masa sepekan yang terbagus dalam hidup mu selam ini dan saya, sebaliknya, di mana liburan ini hidup berpekan-pekan dalam ekadaan yang tak akan pernah kau alami. Beberapa hari di antaranyasangat berat bagi saya, dan hanya suatu hal yang meringankan beban sya itu, yakni keteguhan hati saya melaluinya dengan kepala tegak (kau lihat, sikap saya yang dahulu memanaskan hati encik Mayer terhadap saya masih ada pada saya).
“.... Kau akan berpendapat bahwa aku dipengearuhi perasaan, Jangan takut, tak akan saya ulangi kesalahan saya itu, tetapi pada masa akhir-akhir ini saya amat gelisah. Ada beberapa orang yang bersalah dalam hal ini, tetapi ini tidak akan menjadi halangan bagi saya datang gke ttempatmu dengan suka ria seperti sedia kala. Alangkah banyaknya yang akan kita bicarakan! Baiklah saya bawa sebuah gembok untuk mulut kita,kalau tidak, kita tidak akan tertidur sebelum parak siang! Apakah ibumu akan menjadikan limonade dan es coklat untuk kita seperti sediakala?”
Mania menulis kepada Yosep, Oktober 1888.
“Dengn sedih hati saya melihat almanak saya : Hari ini telah saya pergunakan lima buah perangko, beum lagi kertas tulis. Karena itu akan lama dapat lagi saya menceritakan sesuatu apa kepadamu. Cobalah pikirkan, saya belajar ilmu kimia dari sebuah kitab. Tetntu kau mengarti bahwa banyak hasilnya, tetapi apalah dayaku, karena tak ada kesempatan lagi saya amengadakan pecobaan percobaan!
Dari paris saya dikirimi sebuah album oleh Mania. Alangkah bagusnya barang itu!”
Mania kepada Henriette pada tanggal 25 Nopmeber 1888.
“Saya sangat sedih hati, karena angin baratlah  yang mengawani kami sekarang setiap hari, ditambah pula denan hujan, bajir dan lunpur.
Hari ini napaknya  langit lebih bercuaca, tetapi angin masih meraung dalam cerobong pemanas kamar. Hawa dingin tak sampai membekukan, sehingga sepatu es, saya tergantung saja dalam lemari. Barangkli kau tak mengetahui bahwa dalam propinsi ini hawa beku dan segala kenikmatan yang berhubungan dengan itu bagi kami sama pentingnya dengan percekcokan antara kaum kolot dan kaum muda di Galicia ....
Tetapi janganlah aku pikir bahwa karena hal itu ceritamu itu bosan saya mendengarnya : sebaliknya, saya merasa puas kalau saya lihat bahwa di dunia ini masih ada tempat manusia bekerja, malahan berpikir! Jikalau kau hidup di tengah-tengah perdebatan, adalah hidup saya merupakan hidup siput-siput dalam air sungai yang keruh. Untung lah ada harapan saya segera akan bangun dari mati berangai ini.
Saya bertanya dalam hati saya bagaimanakah pendapatmu jika kau liha saya kembali, apakah menurut pendapatmu masa yang lalu di tengah-tengh orang-orang lain itu berfaedah bagi saya atau tidak. Orang semuanya bependapat bahwa selama saya diam di Szcozuki saya tengah dangat berubah, mau pun jasmani, mau pun rokhani. Hal ini tidaklah mengherankan. Tat kala saya tiba di sini saya belum berumur delapan belas tahun dan alangkah banyaknya ayang saya alami selama ini? Ada beberapa waktu yang bagi saya pasti merupakan saat-saat yang sepahit-pahitnya dalam hidup saya. Semuanya saya rasai dengan hebatnya, dengan kehebatan jasmani : maka saya tegurlah diri saya dan berkat kekuatan tabiat saya kemenangan adalah di pihak saya, sehingga seolah-olah saya bangun dari suatu tengahmalam ... Aturan dasar yang terpenting ialah : Jangan mau dikalahkan manusia, maupun oleh peristiwa peristiwa.
Saya menghitung ghari dan jam yang memisahkan saya dari heri-hari besar dan haro-hari berankat pulang ke rumah. Keinginan mendapat kesan-kesan yang baru, perubahan, hidup, gerakan, semuanya ini sewaktu-waktu seakan-akan mecekik leher saya, sehingga hampir saya gila melakukan sesuatu perbuatan untuk memutuskan belenggu kebiasaan sehari-hari yang telah lapuk itu. Untunglah banyak pekerjaan saya sehingga hanya jarang timbul godaan itu dalam hati saya.
Inilah tahun penghabisan di sini bagi saya. Karena itu semakin perlu saya berdaya upaya sebanyak mungkin agar murid-murid saya itu lulus dalam ujian mereka nanti!.
BAB. VII :  L A R I
Telh tiga tahun sejak “Encik Marya” menjadi guru rumah. Tiga tahun tersepi dan membosankan : kerja banyak tetapi uang tak ada, beberapa keriaan yang tak ada artinya, suatu kesedihan. Tetapi sekarang mulai lah hidup Mania (yang smapai sekian merta saja perjalanannya) ada geraknya walau pun dengan lambat-laun dan dengan tak ternyata. Di Paris, Warsawa, dan di Szcozuki terjadi peristiwa-peristiwa yang meskipun tak penting nampaknya tetapi mengandung kemungkinan magi Mania untuk mendapat kemenangan dalam pertarungan yang mempertaruhkan hidupnya itu.
Setelah Sklodowski dipensiuankan sebagai pegawai, maka berusaha mendapat suatu pekerjaan yang memberikan untung banyak baginya. Hendak diusahakannya membantu anak-anaknya tiu dan dalam bulan april 1888 diterima lah suatu pekerjaan yang banyak kesukaran-kesukarannya serta tak mengenal belas kasihan : Ia diangkat menjadi pemimpin sebuah rumah pendidikan untuk anak-anak yang nakal di Studzieniec, tak berapa jauh dari Warsawa.
Suasana dan sekitarnya semuanya tak menyenangkan di sana, terkecuali gajinya yang agak tinggi juga, sehingga dengan segera dapat diberikannya sebagian kepada Bronia untuk belanja pelajarannya.
Yang pertama-tama dilakukan Bronia sekarang ialah memperingati Mania supaya jangan lagi dikirimnya uang kepadanya dan tindakannya kedua ialah meminta kepada bapaknya agar dari empat puluh rubel yang dikirimnya itu tiap-tiap bulan disimpannya delapan rubel guna mebayaran kembali dengan berdikit-dikit uang yang diterimanya dari Mania. Mulai saat itu bintang Mania yang sampai sekarang tak bercahaya lagi bertambah lama bertambah terang.
Surat-surat mahasiswa ketabiban dari Paris membawa kabar lain pula dari sana. Bronia telah bekerja. Ia telah lulus dalam ujiannya. Dan ia telah bercinta-cintaan! Cinta kepada seorang bangsa Polandia bernama Casimir Dluski, seorang temannya belajar yang cerdik dan penuh kebajikan. Keadaannya yang laur biasa hanyalah ia tak diperkenankan tinggal di Polandia, kalau tidak ia akan terbuang ke luar negeri.
Tugas Mania di Szcozuki hampir berakhir. Dalam tahun 1889, mulai dari Hari St Yohannes, tak dibutuhkan lagi tenaganya di sana. Karena itu haruslah ia mencari pekerjaan yang lain. Guru rumah yang masih muda itu telah mengetahui suatu jabatan pada seorang pengusaha besar di Warsawa. Inilah perubahan yang telah lama diidamkan Mania itu!.
Pada tanggal 13 Maret 1989, Mania menulis kepada Kazia :
“Lima minggu lagi Hari Paskah ... Tanggal yang penting bagi saya, karena pada saat itulah nasb saya mendapat kepastian. Selain pekerjaan pada tuan F. Itu ada lagi tawaran lain bagi saya. Saya bimbang antara pekerjaan yang dua itu dan saya tak tahu yang mana akan saya pilih!.
“... Pikiran saya tak lain dari mengingat Hari Paskah. Kepala seolah-olah terbakar oleh rancangan-rancanagan saya sebanyak itu! Tak tahu aku lagi apa akan kuperbuat! Mania engkau ini sampai hari akhirnya akan tetap merupakan mesiu...”
Selamat tinggal Szcozuki dan pedagang-pedagang lobak tebu! .... Dengan senyuman manis – pada kedua belah pihak agak terlampau manis --- Mania memohon diri dari keluarga Szcozuki. Terlepas dari belenggunya ia kembali ke Warsawa dan mengecap hawa udara tempat lahirnya yagn disayanginya itu.
Tetapi segera sesudah itu ia telah duduk lagi dalam kereta api dalam perjalanannya ke suatu kota permandian yang tak ramai dekat Laut Timur, yaitu Zoppot, ttempat majikannya yang baru menunggu kedatangannya.
Mania menulis dari Zoppot kepada Kazia pada tanggal 14 Juli 1889.
“Perjalanan saya berlangsung dengan baik, walau pun perasaan faalku semula tidak menggembirakan aku ... Tak seorang pun yang merampok aku ... bahkan tak seorang pun yang mencobanya – dan tak sekalipun aku khilaf seketika bertukar kereta api yang lima kali itu, sedang semua serdelki habis aya makan : hanya roti dan gula-gula yang saya habiskan.
Selama perjalanan saya itu, saya selalu dilindungi orang-orang ramah-tamah yang memebantu saya mengatasi segala kesulitan-kesulitan. Karena saya takut kalau-kalau mereka dalam keramahannya akan menghabiskan perbekalan saya juga, maka saya sembunyikan sedikit serdelki saya itu dari mereka!
Tuan dan Nyonya F. Menunggu saya di stasiun kereta api. Amat baik hati suami istri itu dan saya suka melihat anak-anak mereka itu. Saya pikir karena ia semuanya akan berjalan dengan beres dan sepantasnyalah itu!”
Kehidupan dalam Hotel Schultz, yang menurut Mania selalu dikunjungi oleh seragam orang saja yang hanya membicarakan soal pakaian dan soal-soal lain yang tak penting semacam itu, tak ada seling-selingannya.
“Dinginhawanya di sini, semua aorang tinggal di rumah : Nyonya F. Suaminyam ibunya – mereka itu semuanya muring-muring, sehingga sekiranya mungkin saya ingin mengumpet di bawah tanah!”
Tetapi tak lama lagi maka ibu-bapak anak-anak dan guru rumah itu kembalilah ke Warsawa.
Tahun berikutnya berarti bagi anak gadis itu suatu masa libur yang agak menyenangkan hatinya sedikit. Nyonya . amat cantiknya, sangat gayanya dan kaya sekali! Ia mempunyai baju mantel dari bont yang banyak jumlahnya dan intan-permata. Dalam lemarinya tergantung baju-baju gaun buatan Worth dan salonnya dihiasi dengan sebuah gambaranya berpakaian malam kebesaran. Semasa inilah Mania sebagai penonton mempersaksikan barang-barang yang indah-indah dan menawan hati seperti hanya dapat dimiliki oleh seorang wanita yang kaya dan dimanjakan, akan tetapi tak akan pernah dimilikinya sendiri.
Buat pertama kalinya tetapi juga untuk penghabisan kalinya Mania bertemu dengan kemewahan! Hidupnya bertambah senang berkat baik hati Nyonya F, yang tertawan hatinya oleh encik Marya yang manis itu sehingga dimana-mana dipujinya Mania dan dimintanya supaya guru rrumah itu hadir disegala jamuan makan dan pesta dansa....
Tetapi pada suatu hari datanglah surat dari Paris yang diterima Mania seolah-olah ia disambar petir. Surat diatas kerta bergariskan kotak yang ditulis Bronia diantara dua kuliah. Dalam surat itu ditawarkannya rumahnya yang baru bagi Mania untuk tahun yang akan datang!
Bronia menulis dari Paris kepada Mania dalam bulan Maret 1890: “Jika semuanya berjalan seperti kami harapkan pastilah bahwa saya akan menikah menjelang masa libur ini. Tunangan saya sewaktu itu telah siap belajar kedokteran dan saya sendiri hanya satu ujian saja lagi yang perlu saya tempuh. Beberapa tahun lagi kami akan tinggal di Paris untuk ujian-ujian lanjutan saja dan sesudah itu kami akan kembali ke Polandia. Rancangan kami ini sangat bagusnya, bagaimanakah pendapatmu? Jangan kau lupa, umur saya telah dua puluh empat tahun – yang tak ada artinya – tetapi tunangan sya itu sudah berumur tiga puluh empat tahun, suatu hal yang memang penting! Jika menunggu-nunggu lagi tentu kami akan ditertawakan!
... Tetapi sekarang kau sendiri, Mania sayang, sdah waktunyalah kau membina hidupmu sendiri! Sekiranya tahun ini kau simpan beberapa ratus rubel, maka dapat lah kau tahun depan datang ke Paris dan tinggal bersama-sama kami, sehingga tak perlu lagi kau memikirkan pemondokan dan makananmu. Ratusan rubel yang saya maksud itu pasti kau perlukan untuk membayar pendaftaranmu di Sorbonne. Tahun pertama kau tinggal bersama-sama kami. Apabila tahun ke dua tahun ke tiga kami tidak di sini lagi, seburuk-buruknya jikaarangkali sebaiknyalah jika kau tukar uangmu itu sekarang, karena sekarang nilainya dewasa ini masih bagus, tetapi mungkin nanti harganya akan turun...”
Tetapi janganlah pikirkan bahwa Mania membalas surat itu dengan gembira atau bahwa iamerasa beruntung dan bersedia berangkat. Masa pembuangan bertahun-tahun itu sebaliknya dari menyakiti hatinya, telah emngakibatkan ia hampir kegilaan segan mengambil sesuatu tindakan; karena ia telah berjanji akan tinggal bersama-sama dengan bapaknya, karena ia ingin membantu kakaknya Hela dan abangnya Yosep, maka ia tak bersedia lagi pergi dari sana. Inilah jawabannya atas undangan Bronia itu :
Mania menulis dari Warsawa kepada Bronia apda tanggal 12 Maret 1890:
“Bronia yang ku cinta, saya sangat bodohnya sampai sekarang ini dan seumur hidup akan tinggal bodohlah saya atau lebih baik saya katakan : Tak pernah saya beruntung dan tetap nasib saya sial!
Saya memimpikan Paris sebagai Penebusan Dosa, tetapi telah lama saya putus harapan akan pergi ke sana. Dan sekarang kesempatan itu ditawarkan kepada saya tetapi tak tahu saya putusan apa harus saya ambil ... Saya takut menceritakannya kepada bapak kita : Saya pikir besar hatinya mengingat maksud saya akan tinggal bersma-sama dengan dia tahun depan seperti telah lama diidamkan-idamkannya; saya ingin memberikan perasaan bahagia kepadanya pada usia lanjut ini.
Sebaliknya saya bersedih hati memikirkan bagaimana terbuang-buang saja pemberian-pemberian saya selama ini  yang tentu ada juga harganya. Selain dari itu telah saya janjikan Hela akan berikhtiar sedapat mungkin agar dapat ia pulang ke rumah tahun depan dan mencoba mendapat pekerjaan untuk dia di Warswa. Kau tak tahu bagaimana kasihannya saya melihat dia! Hela akan tetap merupakan “Anak yang belum akal baligh” dalam keluarga kita dan menjadi kewajiban sayalah rasanya menjaga dia – sebenarnya-lah dibutuhkannya penjagaan ini!”
Tetapi tentang kau sendiri, Bronia, saya harap supaya kau berikan seluruh tenagamu untuk kepentingan Yosep – janganlah hiraukan perasaan itu! Bukankah dalam Injil tertulis dengan tegas : “Ketoklah pintu itu, dan ia akan terbuka untuk negkau!” Bahkan sekali pun cinta dirimu sendiri harus disampaikan sedikit, apalah artinya itu? Permintaannyang diajukan dengan ramah dan hormat tak akan dapat menghina seorang pun. Alangkah bagusnya kalau sya menulis surat itu! Tegaskanlah kepada nyonya itu baha bukanlah soal jumlah uang yang tidak besar itu yang penting, tetapi dengan beberapa ratusan rubel itu saja adalah kemungkinan bagi Yosep untuk tinggal di Warsawa dan belajar di sana sambil memperdalam pengetahuannya; tegaskan juga bahwa hari kemudian-nya bergantung kepada uang itu, sedang kepintarannya akan terbuang-buang saja jika ia tidak dapat bantuan itu .... Tulislah itu dengan jelas, Broneczka, karena kalau tulis dia sekedar meminjam uang itu saja, tak akan dihiraukannya riwayatnya itu : bukanlah begitu caranya untuk mencapai sesuatu hasil di dunia ini. Sekiaranya pun dirasanya kau terlampau mendesak-desak apalah slahnya itu? Apakah salahnya asal tercapai maksud kita itu! Apakah memang telah terlamau banyak permintaan kita itu? Bukankah banyak lagi orang-orang yang kadang-kadang lebih lancang pula? Berkat bantuan ini dalapatlah Yosep berbakti bagi masyarakat,s edang sebaliknya jika pergi ke suatu propinsi pasti ia akan terbenam!
Kau bosan mendengan cerita saya ini tentang Hela, Yosep dan Bapak kita dan dengan uraian hari kemudian saya yang telah gagal ini. Berat rasanya hari saya dan saya bersedih hati sehingga saya insyaf bahwa tulisan ini semuanya akan meracuni kebahagianmu itu. Hanya engkau lah dari kita sekeluarga yang berbahagia. Maafkanlah saya, tetapi hal-hal yang menyedihkan hati saya sedemikian banyaknya, sehingga susah bagi saya mengakhiri surat ini dengan gembira.”
Bronia kerkanjang dan berdalil. Sayang baginya, alasan yang terpenting tak dapat dimajukannya : ia terlampau miskin sehingga tak dapat  ia membayar belanja perjalanan adiknya itu atau memaksakannya naik kereta api ke Paris. Akhirnya diputuskanlah bahwa Mania akan tinggal setahun lagi di Warsawa apabila pekerjaannya sama nyinya F. Telah selesai. Ia akan tinggal bersama-sama dengan bapaknya yang sejak belum berapa lama telah berhenti dari pekerjaannya di Studzieniec itu. Mania akan menambah uang simapanannya dengan memberikan pelajaran-pelajaran. Sesudah itu ia pun akan berangkatlah.
Sehabis hidupnya di propisi yag mematahkan semangatnya itu bersambung dengan pergaulan duniawian yang ramai itu di rumah Nyonya F. Kembalilah Mania ke suasana yang disayanginya itu, yaitu rumahnya sendiri, berdekatan dengan bapaknya dan percakapan-percakapan yang membangkitkan semangat. Pintu Universitet Kilat telah terbuka kembali untuk Mania. Dan – suatu kegembiraan yang tak ada tolok bandingannya, suatu peristiwa yang sangat penting artinya : buat pertama kalinya Mania masuk ke dalam suatu laboratorium!.
Pada nomor 66 disesuatu jalanan di anak kota Crocovie, di sebelah belakang suatu pelataran dengan tanaman bunga “Sering” yang sedang berbunga adalah suatu gedong bertingkat satu yang diterangi oleh jendela-jendela yang amat kecilnya. Seorang misan Mania bernama Yosep Boguski adalah direktur apa yang disebutkan : Musium untuk Dagang dan Pertanian. Nama yang sengaja pongahnya itu dipilih sebagai tameng untuk mengelabui mata pihak yang berkuasa bangsa Rusia. Karena “Musium” tidak akan menimbulkan curiga! Tak ada halangannya jika di balik jendela-jendela sesuatu musium diberikan pelajaran-pelajaran dalam ilmu alam untuk anak-anak muda nagsa Polandia!
Tak banyak waktu terluang bagi saya untuk bekerja dalam laboratorium itu “Di tulis Madame Curie di kemudian hari”. “Biasanya hanya pda waktu malam sehabis makan atau pada hari-hari ahad. Di sana sya dilepaskan bekerja sendirian. Saya mencoba meniru beberapa percobaan-percobaan yang diuraikan dalam buku-buku ilmu fisika dan ilmu kimia, tetapi hasilnya kadang-kadang amat berlainan. Sewaktu-waktu saya menjadi berani kalau saya mencapai sesuatu hasil yang baik, tetapi kadang-kadang saya putus asa pula karena tak ada hasilnya atau disebabkann kecelakaan berhubung dengan kekurang pengalaman. Pada umumnya dapatlah saya katakan bahwa kepandaian saya dalam hal mengadakan percobaan-percobaan berkat ikhtiar-ikhtiar pertama itu mendapat kemajuan juga, walau pun mula-mulanya saya alami bahwa dalam hal-hal semacam ini tk dapat tercapai hasil mau pun dengan cepat mau pun deengan gampang.”
Apabila ia diwaktu larut malam kembali di rumah sesudah ditinggalkannya dengan perasaan menyesal segala elektrometer, tabung kimia berisi percobaan-percobaannya, dan timbangan-timbangan, maka Mania bertukar pakaian dan rebah di atas bangku tidurnya yang tak berapa lebar itu. Tetapi ia tak dapat tertidur. Semacam kegelisahan rohani yang amat berlainan sekali dari yang dialaminya sampai sekarangmenggoda pikirannya sehingga ia tetap terjaga. Pangglan sukmanya yang selalu tinggal smar-samar dengan tiba-tiba menjelma dan mendesaknya menuruti suatu perintah tersembunyi. Dengan sekonyong-konyong anak gadis itu merasa gelisah dan seolah-olah ia dikejar. Seketika jari-jarinya yang manis dan sigap itu memegang tabung-tabung kimia kepunyaan Musium untuk Dagang dan Pertanian itu, maka dengan gaibnya kembalilah Mania kepada kenang-kenangannya yang remang-remang dari amsa kanak-kanak dahulu : Yaitu kepada alat-alat ilmu alam kepunyaan bapaknya yang terletak dalam lemarinya dan digemarinya untuk permainannya. Maka didapatnyalah kembali pertalian hidupnya.
Walau pun di waktu malam seolah-olah ia kedemaman, tetapi pada siang hari nampaknya tenang saja. Kepada orang-orang di sekitarnya disembunyikannya perasaannya yang tak sabar lagi dan menggelisahkannya itu. Yang dikehendakinya ialah supaya bapaknya dalam bulan-bulan terakhir mereka tinggal bersama-sama ini hidup dengan tenang dan berbahagia. Ia turut mengatur perkawinan abangnya dan dicarinya pekerjaan untuk Hela. Mungkin ada suatu pikiran untuk kepentingan dirinya sendiri yang menyebabkan tak ditetapkannya hari berangkatnya : menurut perkiraannya masih dicintainya Casimir S. Walau pun hatinya tertarik ke Paris oleh suatu kekuasaan yang mendesak, akan tetapi diinsyafinya pula bahwa perpisahan bertahun-tahun akan melukai hatinya.’ Dalam bulan September 1891 tatkala Mania berlibur di Zakopane, di pegunungan Karpatia dengan penghharapan akan bertemu dengan Csimir S. Di sana, maka diberikan Sklodowski lah kepada Bronia suatu gambaran yang jelas tentang keadaan sebenarnya :
Sklodowski menulis kepada Bronia pada bulan September 1891 :
“Mania terpaksa tinggal di Zakopane. Tanggal 13 baru iakembali ke sini disebabkan ia dihinggapi penyakit batuk yang mendadak dan karena ia pilek yang menurut dokter akan terus menerus selama semusim didngin, jika tak dijaganya supaya ia sembuh dengan segera. Anak jenaka itu! Salahnya sendiri jugalah itu, karena selalu ditertawakannya orang –orang yang terlalu berjaga-jaga dan tak pernah ia mau berpakaian menurut keadaan iklim suasana.
Ditulisnya kepada saya bahwa ia amat sedih hatinya; saya kuatir kesedihannya itu dan karerna kedudukannya tak mempunyai kepastian, kesehatannya terganggu. Ada suatu rahasia berhubung dengan hari kemudiannya yang hendak dibicarakannya dengan saya sekembalinya dari Zakopane. Sebenarnya telah dapat saya fahamkan masalah yang menggoda pikirannya itu dan saya tidak atahu apakah saya haruss bergirang atau kuatir. Kalau perasaan ffal saya tak salah maka mungkin duka citanya yang dahulu akan datang kembali. Tetapi apabila maksudnya hendak menyusun hidupnya menurut keinginan hatinya dan guna bahagia dua orang, barangkali sepantasnyalah diatasi kesulitan-kesulitan itu. Selain dari itu tak ada yang saya ketahui dengan pasti!
Undanganmu supaya ia datang ke Paris yang menimpa Mania, dengan sekonyong-konyong turut pula menambah perasaannya tak tenang dan gugup itu. Saya tahu bagaimana besrnya keinginannya hendak mendekati seumber pengetahuan yang selalu menjadi impiannya itu, akan tetapi keadaannya yang menjadi impiannya itu, akan tetapi keadaannya dewasa ini kurang baik dan saya keberatan juga, kalau ia berangkat sebelum ia sembuh seluruhnya, berhubung dengan musim dingin di Paris yang akan menambah kesulitannya lagi. Yang lain-lain biarlah jangan saya bicarakan, terlebih lagi jika ia terpaksa berpisah dari saya, tetapi ini adalah soal ke dua. Kemarin saya mengirim surat kepadanya dan saya coba menggirangkan hatinya. Kalau ia tinggal di Warsawa dan sekiranya pun ia tak mengajar lagi, masih cukup uang ssaya untuk membelanjainya dan saya sendiri selama setahun lagi.
Dengan gembira kudengar bahwa tunanganmu Casimir dalam sehar wal’afiat saja. Alangkah ajaibnya sekiranya kamu kaka-beradik masing-masing hidup di samping seorang bernama Casimir!”
Akan tetapi di Zakopane ketika dua orang muda menaiki gunung berlangsung pembicaraan yang menentukan nasib Mania. Tatkala mahasiswa itu untuk kesekian kalinya mengakui kebimbangannya dan ketakutannya, maka diucapkan Maniayang diusik sampai di luar batasan itu perkataan-perkataan yang menghancurkan segala harapannya :
“Kalau tak sanggup melihat bagaimana membereskan hubungan kita ini, bukanlah kewajibanku mengajarkankannya kepada engkau. Maka diputuskan anak gadis itu lah pertalian renggang yang masih mengikatnya itu sampai sekarang ini. Tak ditahan-tahannya lagi perasaannya tak sabar itu. Dihitungnya tahun-tahun yang dialaminya dengan perasaan tak sabar itu. Telah delapan tahun beselang sejak ia tamat dari gymnasium dan sejak enam tahun ia bekerja sebagai guru rumah. Bukan lagi ia seorang gadis setengah dewasa yang masih menghadapi hidupnya seluruhnya. Beberapa minggu lagi berumurlah ia duapuluh empat tahun!
Maka dengan sekonyong-konyong ia minta tolong keada Bronia :
Dari Warsawa ditulisnya kepada Bronia pada tanggal 23 September 1891 :
“... Bronia, sekarang aku minta balasan yang tegas. Kabarkanlah apakah sebenarnya kau dapat memberikan pemondokan bagi daku, akrena maksud saya akan datang ke Paris. Uang saya cukup untuk membayar ongkos-ongkoss perjalanan saya ini. Karena itu kalau kau dapat memberikan makananku dengan tak sampai menyusahkan keuanganmu, tulislah surat kepada saya. Ini akan menggemberikan dan memberanikan saya sehabis percobaab-percobaan sedih yang saya alami semusim panas ini dan yang akan mempengaruhi hidup saya selama-lamanya. Tetapi sebaliknya saya tak mau menjadi beban bagi engkau!
Karena kau sedang hamil barangkali dapatlah saya kau pergunakan dirumahmu. Kirimlah kabar bagaimana pendapatmu tentang hal ini. Sedapat mungkin kabarkan lah apa saya boleh datang dan beritahukan juga ujian-ujian mana yang harus saya tempuh untuk diperkenankan belajar di Sorbonne itu dan apabila selambat-lambatnya pendaftaran terbuka untuk menjadi mahasiswa. Permintaan saya, balaslah surat ini dengn segera. Kirim salam saya bagi kamu berdua.
Di mana-mana saja boleh kau tempatkan aku, tak ada halangannya tiu! Saya berjanji bahwa saya tidak akan mengganggu dan menyusahkan bagi kamu atau mengotorkan rumahmu itu. Permintaanku berikanlah aku balasan dengan terus terang!”
Kalau Bronia tidak membalsa surat itu dengan kawat adalah itu karena mengirim kawat adalah suatu kemewahan yang tak terbayar karena mahalnya. Kalau Mania tak berangkat dengan kereta api yang paling pertama adalah itu disebabkan perlu dahulu dihitungnya ongkos-ongkos perjalanannya itu dengan teliti seperti seorang pelit menghitung hartanya. Diletakannya segala uang rubelnya di atas meja dan bapaknya menambahkannya dengan suatu jumlah yang sederhana, tetapi besar artinya baginya. Maka dihitungnyalah uang itu semuanya.
Sekian banyaknya untuk paspor, sekian banyak untuk ongkos kereta pai ...
Janganlah sampai bodoh mengambil kelas tiga – yang termurah di Rusia dan Perancis – dari Warsawa ke Paris, untunglah dibagian Jerman ada kelas empat yang tak berbilik-bilik dan hampir seburuk kereta pengangkut barang : dua bangku berhadapan dan ditengahptengahnya ruangan kosong yang dapat didpergunakan sebaik-baiknya dengan memakai bangku lipat.
Selaind ari itu jangan lupa nasihat-nasihat Bronia yang bijaksana itu dan mengatakan agar dibawanya dari rumah segala keperluannya sehingga di Paris tak perlu lagi ia mengeluarkan uang utnuk itu. Kasur, tempat tidur, sprei dan handuk untuk Mania, semuanya telah di krim terlebih dahulu sebagai barang muatan. Pakaian dalamnya dari kain rami yang kuat, pakaian-pakaiannya, sepatunya, topinya yang dua itu semuanya telah dikumpulkan di atas bangkunya dan disampingnya sebiah kopor kayu yang bagus, berwarn merah tua, menurut buatan dusun, tetapi amat kuat dengan tutupnya ternganga yang dihiasi anak gadis itu dengan hruf hiitam yang besar-besar sebagai huruf permualaan namanya : M.S,!
Tiba-tiba ia terharu dan digoda oleh perasaan sesal diri sambil memeluk bapaknya yang dilimpahinya dengan kata-kata manis dan isin, seolah-olah ia meminta maaf:
“Tak akan lama saya di sana ... dua tahun, selambat-lambatnya tiga tahun! Segera sesudah saya tamat belajar dan menempuh beberapa ujian maka saya akan datang kembali da kita akan tinggal bersama-sama untuk selama-lamanya.... Kita akan berpisah lagi, bukan...?
“Ya, Maniusia yang kusayangi, berbisik orang tua dengan suara parau sambil dipeluknya anaknya itu. Belajarlah engkau dengan rajin! Selamat bahagia!
Dalam malam gemuruh karena suara peluit gerbong dan suara rodanya berlarilah kereta kelas empat itu melalui negeri Jerman.
Di atas kursi lipatnya dan kakinya berselimut serta segala barang-barangnya disekelilingnya yang sewaktu-waktu dibilangnya dengan teliti duduklah Mania dengan gembira. Diingtanya msa dahulu kala dan direnungkan keberankatannya sekarang yang telah lama diidam-idamkannya itu. Dicobanya memikirkan hari kemudiannya dan ia bermaksud akan kembali dengan segera ke kota tempat lahirnya dan menjadi guru di sana.
Ketika ia naik kereta api itu tak sedikit pun timbul dalam pikirannya bahwa ia telah memilih antara gelap dan terang, antara hari-hari yang kecil artinya dan suatu hidup yang besar dan mengagumkan!.
TAMAT.

Bersambung Bagian KEDUA... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar