“SERAT
HESTHITAMA
Penerjemah : Pujo Prayitno
Serat Hesthitama adalah
menguraikan tentang nilai dari hewan Gajah. Sedangkan sebagai pembuka darinya,
terlebih dahulu menguraikan tentang mewajibkan kepada diri sendiri untuk
mendengar hal-hal yang baik, yang pada intinya itu ada tiga jenisnya yang
disebut dengan “TRISUSILA”, dan uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban
mendengarkan seperti itu adalah perlu menghimpun dan menerima atas suara yang
keluar dari ucapan para orang tua sesepuh
yang luas pengetahuannya tentang kenyataan tentang perbuatan yang
berpedoman kepada kebenaran, kebaikan dan keselamatan. Serta juga menghimpun
makan yang sebenarnya dari ucapan pada Pandhita serta para manusia suci, yang telah
ahli menggunakan angan-angan yang jernih, yang juga disebut dari para Bijak
(Wicaksana = caksu = wicaksu = caksuh = wicaksuh). Sehingga kekuatan dari suara
(perkataannya) yang keluar dari mulutnya
tentulah nyata adanya, dan jelas sejelas-jelasnya. Serta juga besar daya
kekuatannya bagi yang mendengarkannya yang bisa dan sanggup menerimanya, serta
juga tidak pernah sekali pun melepaskan kata-katanya yang tidak ada bukti
nyatanya.
2. Pendengaran kita
bebas dari kewajiban untuk menutup pintu pendengarannya, ketika sedang
mengalami gangguan dari suara yang mengandung hawa panas bagaikan menyalanya
bara, itu berarti suara yang keluar dari para yang mempunyai sifat jahat yang
bisa mengakibatkan kesengssaraan, kerugian serta penderitaan, yaitu suara yang
bsia merusak hal-hal keutamaan, keselamatan serta ketenteraman atau suara rayuan
dari para yang berwatak setan. Ibaratnya adalah : Diri kita jangan sampai
gosong oleh nyala api, yaitu dari panasnya hati sendiri yang terbakar oleh perkataan yang mengandung
bara yang keluar dari para pemilik budipekerja yang jahat.
3. Juga mempunyai kebebasan
tentang kewajiban yang susila, kita harus menutup telinga yang ada suara yang
sangat merdu mendayu, akantetapi
mengandung bisa dan racun yang sangat berbahaya, yang bisa tumbuh berkembang
menuju kerusakan seperti tersebut di atas. Serta juga tentang terkena suara
kamayan (berpengaruh jahat) yang bisa menyebabkan penasaran di dalam perbuatan
yang kita lakukan dan kita jadikan keyakinan di dalam cipta diri, yaitu tentang
apa saja yang tidak ada kenyataannya, atau yang tidak bisa masuk ke dalam pikiran
yang terang. Yang dibahasakan sebagai berikut : Tidak basah direndan air, tidak
terbakar oleh nyala api yang membakar.
Sedangkan yang
dikehendaki dari kewajiban serta Tatasusila dari mendengarkan seperti tersebut
di atas, oleh para yang berbudi bijaksana menetapkan tentang adanya aturan
kesusilaan dari mendengarkan itu, yang ternyata atas pengaruh dari Yang Maha
Kuasa yang mengarahkan dan menuntuk kepada Tuhan Penguasa seluruh Alam. Yang
seperti itulah keadaan yang disebut PENGETAHUAN atau yang bernama KITAB ALLAH.
Sebagai bukti dari uraian tersebut digambarkan dengan Telinga Gajah, yang
selalu meregang untuk membuka atau menutup lubang telinganya, yang artinya
menjaga pintu pendengarannya ketika sedang terkena suara seperti yang
disebutkan di nomor 1 di atas. Atau menutup pintu pendengarannya yang berarti
tidak bersedia menerima masuknya suara seperti yang diuraikan di Nomor 2 dan 3,
di atas.
Yang menyambung dengan
uraian tentang Telinga Gajah yang dijadikan sebagai gambaran yang tersirat yang
ada di dunia ini seperti sudah disebutkan di atas, maka Para Filosof Bijak
kemudian menggambarkannya atau disamakan dengan, bahwa Telinga gajah itu
disebut telinga Kipas yang lebar (ilir). Mengapa demikian, karena dinamakan
“ILIR” itu karena berupa kipas yang besar dan lebar, sedangkan pasangannya
adalah suatu alat yang berenama “IJAN” yang gunanya adalah untuk meratakan nasi
yang masih panas yang baru saja diangkat dan ditumpahkan dari alat rebusannya
(Kukusan), yang kemudian “Diiliri” (Dikipasi) agar menajdi dingin, yang dalam
bahasa jawa disebut di-Angi. Kata dalam bahasa Jawa “Angi” = angin; di angi =
di beri angin = di dinginkan.
Pada umumnya, nasi yang
diperlakukan seperti itu, jika sudah menjadi dingin maka dibentuk menjadi
silinder , besar-kecilnya silinder disesuaikan dengan selera, yang pada umunya
ukurannya sebesar buah jeruk dari Wilayah Kabupaten Pacitan – Jawa Timur, yang
kemudian diberi nama “Nasi GOLONG”. Apa sebabnya nasi yang dibentuk seilinder
itu harus didinginkan terlebih dahulu, karena jika masih panas kemudian
dibentuk silinder itu maka akan hancur (Tidak bisa memadat). Sedangkan keadaan
nasi yang bentuk menjadi “Golong” itu kuat dan tidak mudah basi hinga beberapa
waktu lamanya. Bagi masyasrakat di pegunungan, seuka memberinya nama “Nasi
Giling”. (Jika makan nasi giling, jangan sampai asal masih bisa masuk ke dalam
perut saja, walau pun besarnya Cuma sebesar genggaman tangan, akan tetapi sudah
bisa mengenyangkan perut seorang yang doyan makan. Sebaiknya, jika makan nasi
giling itu dicampur dengan sayur yang banyak kuahnya dan dibiarkan dulu
sementara, maka nasi itu akan mengembang, jika di rasa sudah cukup
mengembangnya, barulah dimakan).
Sebenarnya tentang Nasi
Golong itu adalah sebagai ibarat penuh makna tersirat atau sebagai contoh dari adanya suara atau
pengetahuan yang sebaiknya diterima oleh terbuka pendengaran kita. Kata Golong
(Golongan) itu mengandung maksud Sendirian = diri = pribadi. Maknanya adalah
masuknya suara yang dingin tidak tercampuri suara yang panas. Ketika nasi
sedang di iliri (dikapsi dengan kipas besar) itu ditempatkan dalam tempat kusus
yang bernama Ijen. Seingga dinamakan “Ijen” itu adalah mengandung maksud adalah
yang di “Tampeni” (bermakna diterima) atau yang diijinkan (diperbolehkan).
Yaitu dijinkan oleh pendengaran kita untuk dimasuki oleh suara yang
mendinginkan hati, yaitu suara yang tidak mengandung panas, yang berarti suara
yang tidak mengandung bisa atau kejahatan. Sedangkan “Ilir” yang pertama adalah
sebagai lambang dari suara yang harus dialirkan keluar dari dalam telinga. Yang
ke dua, yang kemudian ilir itu mengeluarkan angin, itu sebagai ibarat dari
pendengaran kita untuk bisa mengetahui baik buruknya suara (mengandung manfaat
atau mengandung bisa), yang harus didengarnya atau ditolaknya, walau pun hal
itu tidak mudah untuk segera bisa diketahuinya. Mengapa bisa demikian? Karena
tidak ada pengaruh atau tipuan yang
ampuh dan kekuatannya bisa melebihi yang terkandung atau termuat di dalam suara
(kata-kata – Kalimat).
Sedangkan untuk bisa
memahami dan mengetahui dari yang mana suara jelek dan suara baik, menipu dan
sungguh-sungguh dan sebenarnya, itu harus menjernihkan wawasan akal budi, yaitu
dengan cara membiasakan Samadhi (Tafakur – merenung), dengan cara mengendalikan
dan menguasai angin yang berujud pernapasan
(bernafas), diulang tiga kali saja bagi para ahli samadhi, yang tentunya
akan bisa menelaah dan mencerna sehingga benar-benar paham . Keluar masuknya
pernapasan yang dikendalikan dengan setenang mungkin sebanyak tiga kali tarikan
nafas, ada kata-kata di dalam Ilmu milik dalang disebut dengan sebutan “Tri
Pandurat” atau Tripadurat, (Tri pandurat tidak berkata apa-apa mencari
terbukanya pemahamannya, yaitu ciptanya, yaitu berupa Petunjuk dari Tuhan.
Makna dari Tri = Tiga; Pandu = Panjang; rat = dunia = raga ini, maksudnya
adalah : Mengulan tigakali tarikan pernapasan kita yang diarahkan menuju rasa hidup (penerang
hidup).
Selain yang sudah
diuraikan di muka, tentang mengalirkan dan mengarahkan pernapasan (Samadhi),
itu juga bertujuan untuk menanggulangi pengaruh dari suara yang sangat panas
yang sampai dan mengani perasaan hati, seperti yang diibaratkan dengan : tidak
gosong oleh terbakar api, bermakna dengan sebutan, kita hati merasa semakin
panas, yang disebabakan oleh pendengaran kita yang dibuka pintu pendengarannya
untuk jalan masuk dari suara yang terdorong kemarahan dan untuk menyalahkan,
atau yang tujuan untuk mengarahkan kepada rasa benci, permusuhan, dan
sejenisnya, itu semua jika kita musnahkan dengan menggunakan penyapuan sang
pembawa mantra, yaitu berupa keluar masuknya pernapasan yang ditarik naik
diarahkan hingga mencapai otak (kepala), turun hingga mencapai pusar, sudah
pasti pengaruh panas dari suara kata-kata tiba-tiba menghilang tanpa jejak, dan
selanjutnya hati kita mampu mengendalikan sehingga bisa menerima “Tetesan air
kehidupan” = “Tirta Amretamaosadi.
Di sini kemudian
disambung lagi dengan Nasi Golong seperti yang sudah tersebut di atas. Jika
kita membuat Nasi Golong, pada umumnya sebagaian digunakan untuk persembahan
(Sesaji – selamatan) yang ada disertai syarat-syarat yang lainnya. Sedangkan
Nasi Golong yang digunakan untuk persembahan sesaji itu pada umunya ada 9
pasang. Sedangkan yang dinginkan oleh yang membuat sesaji itu, nasi golong itu
sebuah ujud penghormatan kepada Dewa yang bernama “Dewa Sasanga”, yang intinya
diserta permohonan dan perkenannya untuk keseelamatannya sendiri-sendiri.
Sedangkan adanya Dewa Sasanga yang menjadi tujuan dari permintaan permohonan
itu, yaitu : 1. Sang Hyang Siwa, sebagai lambang dunia; 2. Sang Hyang Darma lambang
angkasa; 3. Sang Hyang Wisnu, lambang air; 4. Sang Hyang Brama atau Brahma,
lambang api; 5. Sang Hyang Surya, lambang matahari; 6. Sang Hyang Candra,
lambang rembulan; 7. Sang Hyang Narada, lambang Bintang; 8. Sang Hyang Bayu,
lambang angin; 9. Sang Hyang Endra, lambang Bumi.
Dengan adanya
keterangan tersebut di atas, maka ternyata bahwa Kenduri (Sesaji) dengan
menggunakan Nasi Golong, di budaya Jawa ini, adalah menurut tata cara di jaman
dahulu, yaitu ketika Bangsa Jawa masih memeluk Agama Dewa. Akhirnya, setelah
Bangsa Jawa telah menyatakan diri dari
Agama Dewa berganti dan memeluk Agama
Muhammad yang juga disebut Agama Islam, sebenarnya tentang tatacara sesaji itu
harus keluar dan berdasarkan Syariat Islam.
Akan tetapi oleh Bangsa Jawa, Syariat Islam masih diberi
kelonggaran dengan cara yang teramat
manis dengan yang berhubungan dengan
sesajai dan juga dengan yang lainnya, sehingga masih tetap diteruskan
dan dilestarikan hingga sekarang ini. Hanya saja, saol memberi makan
persembahan berupa Nasi golong yang berjumlah 9 pasang itu yang sebelumnya
dipersembahkan kepda Dewa Sasanga, kemudian diganti tujuannya kemudian
ditujukan kepada para Wali Sanga. Karena, ketika maih hidupnya, mereka suka
makan Nasi Golong yang dicampur dengan Sayuran Menir dan Pecel Ayam serta
Dhendheng daging yang dipukul-pukul.
Untuk selanjutkan, akan
menguraikan lambang yang ada di tubuh Gajah yang disebut juga dengan nama
“Esthi = Hesthi”, yang menjadi pokok bahasan di dalam buku ini. Sedangkan yang
akan diurakan terlebih dahulu adalah uraian tentang adalah makna yang
dilambangkan dengan Telinga Gajah ketika kemudian disamakan sesuatu yang
bernama “Ilir” Kipas besar bertangkai, seperti yang sudah diuraikan di atas.
Sedangkan dengan adanya
lambang yang dilambangkan dengan tubuh Gajah itu ada delapan macam, hal itu
kesemuanya ditujukan dengan maksud untuk dijadikan tauladan atau ibarat dari perbuatan kita,
yang selalu menjalankan kewajiban serta berada pada perbuatan yang berdasarkan
Tata Susila. Sedangkan adanya 8 macam lambang itu adalah : 1. Telinga Ilir
seperti yang sudah dijelaskan; 2. Belalai lintah; 3. Kaki model bumbung; 4.
Mata bagaikan hewan laron 5. Ekor bagaikan sulak (pembersih debu); 6. Mulut,
yang bagaikan alat untuk menanak nasi bagi orang Jawa; 7. Punggung, bagaikan
alat untuk menumbuk padi; 8. Kepala Papon (bagaikan tempat apu salah satu
perlengkapan makan sirih).
Papon itu adalah tempat
kapur yang sudah menjadi adonan, yang besarnya kurang lebih sebesar timba.
Sedangkan apu itu untuk persediaan perlengkapan makan siri yang kemudian diberi
nama “Enjet”, yang jika diucapkan malam hari berubah nama menjadi “tai manuk”
9Kotoran burung). Jika apu diwadahi atau ditempatkan di atas daun yang hanya di
tekuk saja, maka namanya menjadi (Gatheng), dan jika daunnya di gulung maka
menjadi bernama “sadak”. Sedangkan “Sadak” itu ada yang bernama “Sadak rawis”
dan ada juga yang bernama “Sadak gadhing”. Yang bernama “Sadak rawis” yaitu
daun yang dipergunakan untuk membungkus apu itu daun yang masih ada pucuk
daunnya yang masih muda, ujung daun muda itu sendiri mempunyai nama, yaitu
“Semprit”. Makna dari nama “Rawis” = Gombyok (rangkaian) = Bendera, sehingga
sadak itu terlihat bagaikan pusaka tombak yang ada benderanya. Sedangkan yagn
bernama “Sadak Gadhing” itua dalah
“Sadak” yang dibuat dari daun
yang agak tua serta tidak disertai, pucuk daun yang masih kuncup, sehingga
terlihat lurus, seandainya itu tombak adalah tombak yang tanpa ada benderanaya.
“Sadak itu sendiri adalah merupakan sebuah lambang (Lihatlah sadak milik Jakatingkir
yang sangat tajam yang bisa membelah dada Ki Dhadhungawuk di Pingit).
Sedangkan tentang
adanya lambang yang dilambangkan bagian tubuh gajah 8 macam itu, seperti
tersebut did atas adanya sudah sejak jaman dahulu kala. Akantetapi sejak Bangsa
Jawa meninggalkan Agama yang lama yaitu Agama Dewa, karena berganti dengan
memeluk Agama Islam, tentang Ilmu Pengetahuan ketajaman Budi sejak itu tidak
terurus, semakin lama sehingga bisa diibaratkan bagaikan lampu minyak yang
semakin berkurang sinarnya, sehingga ketika sampai pada jaman sekarang ini,
bisa diibaratkan seandainya itu lampu minyak maka telah keeehabisan minyaknya,
sehingga hilang sinar terangnya, berganti menjadi kegelapan yang berlapis
hingga sejuta lapisan. Sehingga tentang ibarat serta perlambang yang berada di
anggota tubuh Gajah itu maka menjadi sirna tanpa bekas. Akan tetapi masih ada
juga yang masih bisa mengingatnya atau menguapkannya tentang makna ibarat
tentang tubuh Gajah itu, hanya saja berubah maknanya, karena.. uraian dan isi
lambang itu kemudian dutujukan untuk mengejek sang Gajah itu sendiri. Contohnya
: Gaja berkepala Papon, bertelinga Ilir, bermulut kukusan, berbelalai lintah;
bermata laron, berbuntut sulak, berkaki seperti bumbung bambu, berpunggung
lesung. Sedangkan punggung lesung itu , banyak tidak tidak mengetahuinya atau
terlupakan. Sedangkan makna ibaratnya juga banyak yang tidak memperhatikannya,
dikarenakan dengan adanya ejekan yang seperti tersebut di atas hanya
ditujukan karena dengan adanya ejekan
seperti tersebut, itu adalah cocok
dengan keadaan sesuatu benda yang dijadikan pengibaratan, serta memang
nyata bahwa ekor gajah itu bagaikan sulak pembersih debu yang sebenarnya, kaki
seperti bumbung bambu pun mirip sekali, belalai berbentuk lintas memang benar
dikarena bisa menggeliat bagaikan badan hewan lintah, demikian seterusnya.
Oleh karena hal yang
demikian itu, sebagai sarana untuk menghidupkan ilmu pengetahuan ketika pada
jaman dahulu, jangan sampai hilang dan terkubur, yaitu tentang yang
dilambangkan oleh bagian tubuh gajah
yang berjumlah 8 macam yang ternyata berisi ibarat, dan di sini akan diuraikan
dengan singkat seperti di bawah ini :
1. Kepala Papon, kata Papon sudah diuraikan di
atas, yaitu tempat menampung enjet, kata enjet = apu = apyu = api = brama =
hawa panas, artinya : Untuk menyebut otak, yaitu tempat untuk mempertajam budi,
disebut juga alat berpikir. Maksudnya : Didalam hidup ini sebaiknya
mempergunakan alat berpikirnya, karena semua hasrat diri, itu untuk bisa
tercapai, terlaksananya jika selalu dipikirkan, jika tidak meninggalkan
syaratnya ilmu pengetahuan dan perbuatannya, tentulah akan lebih mudah bisa
tercapainya.
2. Telinga Ilir : sudah dijelaskan di atas, pada
intinya dalam kehidupan sebaiknya membuka telinganya, jika mendengar berbagai
suara yang baik-baik saja, yang berisi nasihat dan ajaran sebagai tuntunan
dalam melangkah dalam kebaikan , keselamatan, ketenteraman dan sejenisnya. Dan
sebaliknya, jadikanlahn tuli ketika mendengar suara yang mengajak kepada semua
perbuatan yang tidak baik.
3. Mulut Kukusan, Kukusan itu untuk menanak nasi.
Nasi itu makanan pokok bagi orang Jawa, sedangkan makanan pokok itu adalah
untuk mengibaratkan Ilmu pengetahuan, sehinga ada peribahasa : Makan kata-kata,
makan ajaran. Mulut itu tempat untuk mengeluarkan kata-kata, sedangkan
keluarnya perkataan walau pun hanya satu kata sekali pun, itu tidak bisa
terlepas dari dua macam bahaya, yaitu bahaya yang berasal dari dalam dan yang berasal dari luar. Jenis rupa bahaya
yang berasal dari dalam, itu jika salah mengeluarkan kata-kata, walau pun tidak
disengaja sekali pun juga bisa merugikan diri. Sedangkan bahaya yang berasal
dari luar itu jika perkataan yang keluar itu tidak cocok atau tidak
menyenangkan bagi atau membuat sakit hati lawan bicaranya, atau juga orang lain
yang mendengarnya, walau pun yang dikatakannya itu memang benar adanya, itu
juga bisa mencelakakan diri karena bisa merenggangkan persahabatan dan
persaudaraan, yang jika menjadi besar itu bisa menyebabkan perselisihan . Maka
dari itu, tentang masalah berkata-kata, sebelum mengeluarkan perkataan dari
mulut, sebaiknya diperhitungkan dengan matang menggunakan pikiran, agar baik
dan tepat atas keluarnya perkataan itu, dan juga keluarnya perkataan itu bisa menjadikan
menyenangkan lawan bicaranya. Selain dari itu, juga mempunyai maksud, bahwa
semua hasrat diri, sebelum dilaksanakan harus dimusyawarahkan dan dimatangkan
terlebih dahulu di dalam pikiran. Dan juga jangan sekali-kali meningggalkan
pertimbangan yang matang, jika bisa demikian, akan mendorong dan menyertai hasrat
serta diringi oleh keselamatan.
4. Belalai
lintah. Adanya belalai itu, selain berfungsi sebagai tangan oleh Gajah
(ibakara, arti Iba = Gajah, kara atau makara = tangan) (tangan seeparoh, tangan
satu atau halfhand), juga sebagai tempat bagi hidungnya.
Sedangkan hidung itu berfungsi sebagai indra
pencium. Pekerjaan dari lintah itu adalah menghsiap darah, kata rah = rahsa =
rasa = Ilmu pengetahuan. Maksudny adalah : Di dalam kehidupan ini sebaiknya
selalu menghisap-hisap bebrbagai ilmu pengetahuan, serta jangan sampai merasa
ilmu sudah tinggi, karena Ilmu Tuhan, bagaikan banyaknya butiran pasir di
pantai. Juga selalu menjalankan menghisap Air kebijaksanaan bagaikan yang
selalu dilakukan Hyang Ganesa yaitu Dewa Ilmu (Samadhi).
5. Mata
laron; kata mata = mripat = netra = haksi = tonton = penonton = tingal =
paningal = weruh (mengetahui) = pameruh (untuk mengetahui_ = Meruhi
(mengetahui). Maksudnya adalah menyebutkan bahwa mata itu ternyata menjadi
pemuka pnacaindra, sehingga disebut juga Haksi = Saksi, maksudnya, mata itu yang menyaksikan
tergelarnya dunia ini beserta seluruh isinya yang baik atau pun juga yang
buruk. Hewan larun itu termasuk serangga golongan serangga kecil yang
beterbangan, dan keluarnya adalah bersamaana datangnya malam, yang menjadi tujuannya
adalah mengarah kepada yang terang. Kata Terang itu bermakna benar, baik,
pintar, yang baik untuk dilakukan dan sejenisnya. Sedangkankan maksudnya adalah
: Di dalam hidup ini sebaiknya selalu mempergunakan matanya, akan tetapi hanya
digunakan untuk meliahat yang menyebabkan bermanfaat bagi semua kebaikan,
keberuntungan, kemuliaan, keselamatan, ketenteraman dan sejenisnya.
6. Ekor
Sulak, kata kelut = kebut = kebat = sulak = pangresikan, maksudnya, semua
kotoran harus di keluti (dibersihkan) hingga benar-benar bersih. Sedangkan
maknanya adalah : Hasrat keinginan diri yang buruk yang hanya untuk memenuhi
segala kesenangan diri saja, dan juga dorongan angkara murkanya, usil, dnegki,
panas hati dan sejenisnya yang masuk ke dalam pusat rasa hati, itu agar
dibersihkan semua hingga ke akar-akarnya, agar menjadi bersih dan berkilat.
7. Kaki
bumbung; Bumbung itu adalah bambu (deling) yang dipotong, bentuknya silinder
lurus serta tidak bisa ditekuk, dan di dalamnya kosong tidak ada isinya.
Sedangkan maksudnya adalah : bentuk lurus silinder itu adalah bersungguh-sungguh dalam kebenaran,
dan suatu bentuk yang tidak bisa dibengkokan itu bermakna jika memilki hasrat
itu tidak bsia dibengkokan dan sangat kuatnya. Di dalamnya kosong, maknanya
adalah bersih. Sedangkan iintinya :
Pring (bambu) = dipringake yaitu yaitu tidak ikut-ikutan atau tidak
memperdulikan. Arti dari deling = dumeling, adalh untuk menyebutkan suara dari
bisikan atau sasmita, yaitu suara kejaten (Suara Yang Sejati). Sedangkan yang
dimaksudkan adalah : Semua perbuatan apa saja itu sebaiknya dijalakankan dengan
berpedoman pada kebenaran, kesungguhan, disertai kekuatan hati.
8. Punggung
Lesung, Lesung itu adalah tempat menumbuk padi, untuk dijadidkan menjadi beras.
Ketika sedang ditumbuk itu, walau pun bersuara keras, akan tetapi “Lesung” alat
tempat menumbuknya itu tidak bergerak sama sekali. Kata Lesung = les dan sung,
arti les, adalah hilangnya rasa, sedangkan arti sung, inti katanya adalah
kosong, mengandung maksud menyebutkan hilangnya rasa perasaan hingga masuk
kedalam tempat yang kosong, yaitu di dalam penglihatan (Bagaikan dalam tidur
tanpa mimpi yan tidak terasa apa-apa dan tidak ingat apa-apa tapi ada)..
Sedangkan maksudndya adalah : di dalam kehidupan, dan bertempat di alam dunia
ini, untuk bisa bertempat di dalam ketenteraman, sebaiknya selalu menjalankan
oleh Samadhi (Tafakur – merenung) mengheningkan cipta terlepasnya penglihatan
menyatu Hamba dan Tuhannya (Kawula Gusti). Nuwunnn.....
T A M A T
23 April 2015
Kota sepnajng, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar