Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Sabtu, 17 Maret 2018

Filosof Muslim Filsafat al-Farabi


  

PARA FILOSOF MUSLIM”
“ABU NASR AL-FARABI”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of Muslim Philosophy,
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting : Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno

DATRA ISI
AL-FARABI
A. KEHIDUPANNYA
B. KARYA KARYANYA
C. FILSAFATNYA (1. Logika; 2. Kesatuan Filsafat; 3. Teori Sepuluh Kecerdasan; 4. Teori Tentang Akal; 5. Teori tentang Kenabian).
KESIMPULAN

AL - FARABI

AbuNasr al-Farabi lahir pada tahun 258 H870 M dan meninggal pada tahun 339 H/950 M. Sebagai pembangun agung sistem filsfat, ia telah membuktikan diri untuk berpikir dan merenung, menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan keksiruhan masyarakat. Ia telah meninggalkan sejumlah risalah penting. Di samping murid-murid yang belajar secara langsung, banyak pula orang yang mempelajari karya-karyanya sepeninggalnya, dan menjadi pengikutnya. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi Barat dan Timur, lama sepeninggalnya.
Sejak dasa warsa terakhir abad ke-13 H/k319 M, telah dilakukan abanyak usaha untuk menulis biografinya, mengumpulkan karya-karya yang belum diterbitkan, dan menjelaskan berbagai hal yang masih samar di dalam karya filsafatnya. Pada tahun 1370 H/1950 M, seribu tahun setelah meninggalnya, beberapa sarjana Turki menemukan beberapa karyanya yang masih berupa naskah dan memecahkan beberapa kesulitan yang berkaitan dengan pemikirannya. Kita tak dapat mengatakan bahwa seluruh kesulitan itu telah terpecahkan. Bahkan kita tidak dapat memastikan apakah mampu memecahkan semua kesulitan itu tanpa mengetahui lebih jauh kehidupan dan karya-karyanya. Perpustakaan-perpustakaan umum dan pribadi masih menyimpan banyak naskah Islami; menurut hemat kami, kinilah saatnya naskah-naskah itu dikeluarkan.
Pada bab ini, kami uraikan secara singkat kehidupan, karya dan filsafat al-Farabi, dengan merujuk secara khusus kepada mata rantai yang terputus, salah paham atau keberatan-keberatan terhadap doktrinnya.

A,   KEHIDUPANNYA

Berbeda dengan kelaziman beberapa sarjan Muslim lainnya, al-Farabi tidak menulis riwayat hidupnya, dan tak seorang pun di antara para pengikutnya merekam kehidupannya, sebagaimana telah dilakukan al-Juzjani untuk gurunya, ibn Sina. Materi untuk itu dalam karya-karya ahli riwayat, sangat tidak memuaskan dan tidak memadai. Biografi yang agak panjang termaktub dalam Wafayat al-A’yan-nya ibn Khalikan, tetapi banyak kelemahannya dan perlu diragukan keasliannya. Oleh karena itu, mengenai kehidupan al-Farabi, masih terdapat kesamaran dan beberapa masalah yang masih perlu diteliti dan dituntaskan.
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama, bermula dari sejak lahir sampai ia berusia lima puluh tahun. Informasi yang kita miliki tentang periode ini ialah bahwa ia lahir di Wasij, sebuah dusun di dekat Farab, di Transoxiana, pada tahun 258 H/870 M. Dengan informasi yang sangat tidak memadai ini, kita dapat mengetahui keluarganya, masa kanak-kanaknya, dan masa remajanya. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, ayahnya seorang Jendral, dan ia sendiri bekerja sebagai hakim untuk beberapa lama. Pada awal abad ke 3 H/ 9 M, di Farab berlangsung gerakan kebudayaan dan pemikiran yang meluas bersama dengan pengenalan Islam, dan pada saat itu terkenal pula seorang ahli bahasa al-Jauhari, yang telah menulis buku al-Shihab, salah seorang yang sezaman dengan al-Farabi.
Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa : ia mempelajari Fiqh, Hadis dan tafsir al-Quran. Ia mempelajari bahasa Arab, bahasa Turki dan Parsi. Adalah meragukan apakah ia menguasai bahasa lain apa pun, dan apa yang telah dinyatakan oleh ibn Khalikan, bahwa al-Farabi menguasai tujuh puluh bahasa lebih mendekati sebagai dongeng daripada sejarah yang sebenarnya. Dari penafsiran al-Farabi tentang kata safsathah (sophistry), tampak jelas bahwa al-Farabi tidak mengerti bahasa Yunani. Ia tidak mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada masa hidupnya, seperti matematika dan filsafat, meskipun tampaknya ia tidak berpaling kepada keduanya sampai kemudian. Bertentangan dengan apa yang diduga orang, ia demikian tertarik dengan studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya di kota kelahirannya. Terdorong oleh keinginan intelektualnya itu, maka ia meninggalkan rumahnya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode ke dua kehidupan al-Farabi adalah periode usia tua dan kematangan penuh. Baghdad, sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke-4 H/10 M, merupakan tempat pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan di antara ahli-ahli logika terkenal di Baghdad, Abu Bisyr Matta ibn Yusnus-lah yang dipandang orang sebagai ahli logika paling terkemuka pada zamannya. Untuk beberapa lama al-Farabi belajar logika kepada ibn Yunus. Ia mengungguli gurunya dan karena pencapaiannya yang gemilang di bidang ini, ia memperoleh sebutan “Guru Kedua”. Ahli logika lain ialah muridnya yang bernama Yahya ibn ‘Adi.
Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudyaan lain di Aleppo. Di sana, di tempat orang-orang brilian dan para sarjana, Istana Saif al-Daulah, berkum;pul para penyair, ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Meski ada simpati kuat kearaban dari Istana tersebut, namun tidak ada rasa  ke-ra-san atau prasangka yang dapat merusak suasana intelektual dan kultural, yang di dalamnya orang-orang Parsia, Turki dan Arab berdiskusi dan berdebat, sepakat atau berbeda pendapat tanpa mencari keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu pengetahuan. Di istana tersebut al-Farabi tinggal, dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Kehidupan yang gemerlap dan kemegahan di istana itu tidak mempengaruhinya, dan dalam pikiran seorang sufi – ia membebani dirinya dengan tugas berat seorang sarjana dan pengajar; ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemericik air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang.
Kecuali beberapa perjalanan singkatnya ke luar negeri, al-Farabi mukim di Syria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibn Usaibi’ah menyebutnya bahwa al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang kuat di sepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang, dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhsyidiyyah memang mempunyai pesona. Tetapi tersiarnya kabar tentang terbunuhnya al-Farabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara Damaskus – Asqalan sebagaimana dikutip al-Baihaqi adalah rekaan belaka. Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.

B. KARYA-KARYANYA

Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting; bahkan bila kita mempercayai laporan-laporan beberapa penulis biografi, seperti al-Qifti atau Abi Usaibi’ah, jumlah tulisannya itu ialah tujuh puluh buah; memang kecil, bila dibandingkan dengan karya-karya para filosof pada masanya, terutama al-Kindi dan al-Razi yang dokter itu. Tetapi harus kita ingat bhawa dalam daftar-daftar karya-karya kedua sarjana ini, para penulis biografi sering menyebutnya buku yang sama dengan, mungkin lebih, judul yang berbeda dan lebih banyak berupa artikel atau ulasan-ulasan pendek.
Karya-karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu di antaranya mengenai logika dan yang lainnya mengenai bidang lain. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dan Organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebnyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagian besar dari naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya-karya kelompk kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika dan politik. Sebagian di antaranya telah ditemukan, dan hal ini memperjelas berbagai aspek pemikiran filosofis al-Farabi. Tetapi sebgian lainnya meragukan dan kepenulisannya tentangnya merupakan masalah kontroversial, seperti dalam hal Fusu al-Hikam (Permata Kebijaksanaan) atau al Mufariqat (Keterpisahan). Di dalam kelompok ini studi ilmiah yang sebenarnya tidak dilakukan; al-Farabi malah tidak menyinggung masalah kedokteran, dan pembahasannya tentang kimia cenderung sekedar mempertahankan pendapat daripada bentuk penelitian dan analisi.
Ibn Khalikan mungkin benar, bila ia menjelaskan bahwa al-Farabi menulis hampir semua bukunya di Baghdad dan Damaskus. Tidak terdapat tanda-tanda bahwa ia pernah menulis buku pada usia sebelum lima puluh tahun, kalau pun ia menulis beberapa tulisan demikian, tak dapat dipastikan apakah karya-karya itu berupa teologi atau filsafat yang saling bertentangan. Beberapa sarjana telah berusaha menulis daftar kronologis karya-karyanya. Tetapi orang dapat menyangsikan nilai daftarseperti itu, karena seluruh karyanya ditulis pada tiga puluh tahun terakhir dari masa hidupnya ketika ia mulai menulis sebagai filosof yang sepenuhnya telah matang; dan tentu tidak diperoleh suatu perubahan atau perkembangan dalam pemikiran atau doktrinnya selama periode ini.
Langgam al-Farabi bersifat ringkas dan tepat. Ia secara hati-hati memilih kata-kata dan pernyataan-pernyataan, sebagai mana ketika ia secara mendalam memikirkan pendapat-pendapatnya dan pemikiran-pemikirannya. Ungkapan-ungkapannya mempunyai arti yang menghujam. Itulah sebabnya kenapa Max Harton memberikan komentar panjang lebar untuk menerangkan risalah kecilnya yang berjudul Fusus al-Hikam. Al-Farabi mempunyai langgam yang isitmewa; siapa pun terbiasa dengannya akan mengikuti hal ini. Ia menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih senang dengan hal-hal yang ringkas. Tampaknya al-Farabi condong kepada ajaran esoteris dan berpendapat bahwa filsafat tidak dapat diberikan kepada sembarang orang, dan bahwa para filosof harus menerangkan gagasan-gagasannya yang teka-teki dan bermakna ganda. Bahkan sampai sekarang, bukanlah pekerjaan yang mudah memahami arti dan maksud ungkapan-ungkapan Farabi.
Metode yang dia pakai hampir sama dengan langam yang  dimilikinya. Ia mengumpulkan dan menggeneralisasi; ia menyusun dan menyelaraskan; ia menganalisa untuk menulis; ia membagi dan membagi lagi  agar terpusat dan terkelompokkan. Dalam beberapa tulisannya, pembagian dan penggolongan tampak hanya sebagai tujuan belaka. Risalahnya yang berjudul “Apa yang Harus Dipelajari Sebelum Mencoba Filsafat” berbentuk indeks aliran-aliran filsafat Yunani, arti judul-judul dan nama-nama pengarangnya. Ia terutama memusatkan diri pada pengkajian tujuan-tujuan dan langgam karya-karya Aristoteles. Bukunya yang berjudul “Klasifikasi Ilmu” merupakan upaya pertama untuk jenis karya ini dalam sejarah pemikiran Muslim.
Al-Farabi gemar kebalikan, ia memang memberikan kebalikan hampir pada setiap istilah yang digunakannya, sehingga penolakan berarti pengesahan; dan Kejadian, Bukan Kejadian. Ia menulis sebuah risalah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Dalam risalah ini, ia memberikan pernyataan yang ia hadapkan dan pertentangkan dengan lawannya, dengan maksud mendapatkan penyelesaian yang baik. Hal ini mengingatkan kita kepada Parmanide-nya Plato.
Perhatian utamanya ialah menegaskan dasar-dasar teori dan landasan doktrin, mempercerah kegelapan-kegelapan dan membicarakan masalah-masalah kontroversial untuk memperoleh kesimpulan yang benar. Tetapi, ia sedikit sekali memperhatikan topik-topik yang dianggap biasa; dan apa yang ia duga dapat terbukti dengan sendirinya, ia kesampingkan tanpa usaha menjelaskannya. Contoh tepat dalam hal ini ialah karangannya yang berujudl “Tujuan Stagirite”. Buku ini sangta erat kaitannya dengan pendahuluan atau kritik kita terhadap sesuatu buku baru. Buku ini sangat bermanfaat dibandingkan dengan karya serupa yang ditulis oleh filosof sejamannya. Tak mengherankan bila ibn Sina mendapatkan dalam risalah ini kunci “Metafisika” Aristoteles.
Karya-karya al-Farabi tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika sarjana-sarjana Andalusia mengjadi pengikut al-Farabi. Beberapa tulisannya  telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan Kristen. Karya-karya ini telah diterbitkan pada sepuluh tahun terakhir abad ke-13 H/ke-19M, dan beberapa di antaranya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa moderen. Tetapi pada saat ini masih diperlukan lagi sejumlah besar publikasi kembali dengan penyuntingan cermat, terutama karena sekarang ini perpustakaan-perpustakaan di Istanbul telah lebih banyak terbuka bagi kita daripada sebelumnya, dan kita dapat mengisi kesenjangan melalui jalan itu.
                                                                               
C.  FILSAFATNYA

Filsafat al-Farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda. Ia mengambil ajaran-ajaran para filosof terdahulu, membangun kembali dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan, dan menyusunnya sedemikian sistematis dan selaras. Al-Farabi adalah seorang yang logis baik dalam pemikiran, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya. Filsafatnya mungkin tertumpu pada beberapa perkiraan yang keliru dan mungkin juga berisi beberapa hipotesa yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan modern, tetapi ia mempunyi peranan penting dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya. Dimulai dengan studi logika al-Farabi, akan kami jelaskan corak dan unsur-unsur penting filsafatnya.
1,  Logika. Telah dijelaskan di atas bahwa sebagian besar karya al-Farabi dipusatkan pada studi tentang logika, tetapi hal ini hanya terbatas pada penulisan kerangka Organon, dalam versi yang dikenal oleh para sarjana Arab saat itu. Ia menyatakan bahwa “seni logika, umumnya memberikan aturan-aturan, yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan kesalahan-kesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengabn kata-kata, dan ilmu matra dengan syair. Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume dan masa ditentukan oleh ukuran.
Logika juga membantu kita membedakan yang benar dan yang salah dan memperoleh cara yang benar dalam berpikir atau dala  menunjukkan orang lain kepada cara ini; ia juga menunjukkan dari mana kita mulai berpikir dan bagaimana mengarahkan pikiran itu kepada kesimpulan-kesimpulan akhir. Dalam berpidato dan berdialog, atau dalam geometri dan ilmu hitung, logika tak pernah dapat dikesampingkan, sebagaimana dalam mempelajari sejumlah puisi atau pidato, orang tak dapat mengesampingkan tata bahasa. Seni logika – menurut pendapat umum bukanlah sekadar hiasan tak berguna, karena ia tak dapat digantikan dengan kemampuan ilmiah.
Tetapi al-Farabi selalu membedakan antara tata bahasa dan logika; tata bahasa hanya berkaitan dengan kata-kata, sedangkan logika berkaitan dengan arti dan kata-kata yang merupakan penjelmaan makna. Terlebih, tata bahasa selalu berkenaan dengan aturan-aturan bahasa, sedangkan bahasa itu berbeda-beda, tetapi, logika berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu sama di mana dan kapanpun.
 Masalah pokok logika ialah topik-topiknya yang membahas aturan-aturan pemahaman. Topik-topik itu dikelompokkan menjadi delapan : 1. Pengelompokkan, 2. Penafsiran, 3. Pengupasan Pertama, 4. Pengupasan kedua, 5. Topik, 6. Sofistik, 7. Retorik dan 8. Puisi, yang kesemua itu merupakan tujuan utama logika. Bagian keempat merupakan bagian paling berguna dan paling penting dibandingkan yang lainnya yang terdahulu dapat dianggap sebagai pendahuluan dan berikutnya merupakan penerapan dan perbandingan yang dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dan kebingungan.
Jelaslah bahwa al-Farabi mengikuti langkah-langkah Aristoteles, meskipun ia memasukkan retorika dan puisi ke dalam cabang logika. Kesalahan serupa dilakukan oleh para pengikut Aristoteles, terutama yang berasal dari aliran Alexandria. Beberapa di antara mereka bahkan mengakui Isagoge (pendahuluan)-nya Porphyry sebagai bagian dari Organon-Nya Aristoteles, teapi pengakuan ini tidak didukung oleh al-Farabi yang terkenal sebagai “Guru Kedua” (The Second Teacher), sedang Aristoteles dianggap sebagai Guru Pertama. Tak diragukan lagi, pemaparan dipandang penting oleh Aristoteles, tetapi tampaknya ia lebih bangga dengan penemuannya terntang silogisme.
Sumbangan al-Farabi di bidang logika ada dua. Pertama, ia telah berhasil secara tepat dan jelas menerangkan logika Aristoteles kepada bangsa yang berbahasa Arab. Dalam pendahuluan dari salah satu risalahnya yang diterbitkan akhir-akhir ini, ia menunjukkan bahwa ia menerangkan prinsip-prinsip silogisme Aristoteles dalam istilah yang dikenal oleh Bangsa Arab; karena itu ia memberikan contoh dari kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masa hidupnya, yang menggantikan contoh-contoh samar dan asing yang telah digunakan oleh Aristoteles. Proses yang dilakukannya betapapun tidak merugikan studi logika Aristoteles, dan tidak pula membuat jalan lain, atau memutar balikan arti filsafatnya.
Pada pihak lain, al-Farabi meletakkan landasan bagi lima bagian penalaran, dengan menampakkan sifat demonstratifnya bila hal itu membawa kepada kepastian; dialektik, bila hal itu membawa kepada kesamaan keyakinan lewat niat baik; sofistik, bila hal itu membahwa pada kesamaan keyakinan lewat niak buruk dan kesalahan; retorika, bila hal itu membawa kepada suatu pendapat yang mungkin; dan puitis, bila hal itu membawa kepada imajinasi yang menyenangkan atau menyakitkan jiwa. Keragaman ini diberlakukan sesuatu dengan situasi dan tingkatan pendengar. Para filosof dan sarjana menggunakan penalaran demonstratif, ahli teologi menggunakan silogisme dialektik dan politikus menggunakan silogisme retorik. Jelaslah bahwa cara menghadapi setiap kelompok masyarakat harus disesuaikan dengan tingkat pengetahuan mereka; dan dengan demikian, silogisme demonstratif digunakan untuk kelompok dan massa yang sulit.
2. Kesatuan filsafat. Al-Farabi berpendapat bahwa pada hakikatnya fislfat merupakan satu kesatuan. Karena itu, para filosof besar, harus menyetujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran. Plato dan Aristoteles, “yang menjadi cikal-bakal filsfaat dan pencipta unsur-unsur  dan prinsip-prinsipnya dan penaggung jawab terakhir kesimpulan-kesimpulan dan cabang-cabangnya, sangat setuju meski ada beberapa perbedaan formal dan jelas antar mereka. Maka dari itu, al-Farabi sangat sakin bahwa hanya ada satu aliran filsafat yaitu aliran kebenaran. Istilah-istilah pengikut Aristoteles, Plato, Stoi dan Epicure hanya menjelaskan nama-nama kelompok-kelompok filosof, kesemuanya membentuk satu aliran filsafat. Kelompok-kelompok merupakan kerikil-kerikil dalam filsafat, sebagaimana terjadi dalam politik. Al-Farabi sebagai filosof dan ahli sejarah, menyadari sepenuhnya bahaya semangat  kekelompokkan di dalam filsafat. Adanya semangat kekelompokkan ini, sedikit banyak dipengaruhi oleh fanatisme di antara para pengikut filosof-filosof besar. Di sampung usaha menyelaraskan ajaran-ajaran berbagai filosof, pengikut-pengikut itu pun mempertahankan perbedaan-perbedaan besar antara dua guru dengan menekankan, pengertian-pengertian berlainan, malah kadang-kadang membuat alternatif baru dan mengungkapkan ajaran-ajaran mereka secara salah. Sikap al-Farabi terhadap perdebatan dan perbedaan para filosof masa Renaissance ini sama dengan sikap para filosof abad 12 H/18 M.
Dalam ajaran al-Farabi tak ada yang baru; Ajaran itu telah dianut terlebih dahulu oleh para filosof dari aliran Yunani terkemudian, terutama yang berasal dari aliran Alexandria. Ketika Porphyry berbicara tentang gurunya. Ia menunjukkan bahwa ia telah menemukan gagasan-gagasan para  pengikut Aristoteles  dan Stoi yang terlebur dalam karya-karya Plotinus. Sebenarnya, Porphyry telah menghasilkan beberapa karya dalam upaya merujukkan filsafat Plato dengan filsafat Aristoteles, dan sejumlah sarjana dari aliran Alexandria mengikuti langkah-langkahnya, tetapi di antara mereka tiada seorang pun pernah berpikir tentang pemaduan semua filosof menjadi satu aliran. Ini merupakan suatu kealpaan, dan al-Farabi dalam tulisan-tulisannya banyak membahas persoalan ini sebagai upaya mencari jalan keluar.
Kebenaran agama dan kebenaran fisafat secara nyata adalah satu, meskipun secara formal berbeda. Pendapat ini menunjukkan kemungkinan perseusaian antara filsafat dan ajaran Islam. Tak diragukan bahwa al-Farabi adalah orang pertama yang telah membangun filsafat di atas dasar kesesuaian ini; kemudian para filosof mengikuti langkah-langkahnya itu; ibn Sina pada tahap tertentu telah memaparkan aspek-aspek Platonisnya, sedangkan ibn Rusyd sibuk menunjukkan persesuaian antara filsafat Aristoteles dan Agama.
Ajaran tentang perujukan ini didasarkan pada dua hal utama; pertama, memperbaiki filsafat pengikut Aristoteles dan membungkusnya dalam bentuk Platonis agar  lebih sesuai dengan ajaran Islam, dan kedua, memberikan penafsiran rasional tentang kebenaran agama. Sebenarnya, al-Faraby menerangkan filsafat dengan cara agama dan memilsafatkan agama, dengan demikian mendorongnya ke satu arah, sehingga keduanya bisa dipahami dan selaras. Revisi terhadap filsafat pengikut Aristoteles ini dasarkan pada dua teori, pertama, teori kosmologis dan kedua, teori psikologis, yaitu : Teori Sepuluh Kecerdasan dan Teori Akal. Penjelasan rasionalnya bertumpu pada dua teori lain, pertama, dikaitkan dengan kenbabian dan kedua, dengan penafsiran Quran. Seluruh filsfat al-Farabi terangkum dalam empat teori ini yang saling berkaitan dan kesemuanya mengarah ke satu tujuan.
3. Teori Sepuluh Kecerdasan. Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat Muslim; ia menerangkan dua dunia; langit dan bumi; ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah pemecahan masalah Yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap. Al-Farabi berpendapat bahwa Yang Esa, yaitu Tuhan, Yang Ada Dengan Sendiri-Nya; karena itu. Ia tidak memerlukan yang lain  bagi ada-Nya atau keperluan-Nya. Ia mampu mengetahyuu Diri-Nya sendiri. Ia mengerti dan dapat dimengerti. Ia sangat unik karena sifatnya memang demikian. Tak ada yang sama dengan-Nya. Ia tidak memiliki perlawanan atau persamaan.
Bila prinsip-prinsip di atas bisa diterima, lantas apakah pengaruh Tuhan terhadap alam semesta ini, dan bagaimana hubuingan antara Dia dan yang banyak? Al-Farabi telah berupaya keras menyelesaikan masalah-masalah ini dengan semacam pemancaran. Ia berpendapat bahwa dari Yang Esalah memancar yang lain., berkat kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya. Pemancaran ini merupakan kecerdasan pertama. Dengan demikian pengetahuan sama dengan ciptaan, karena cukuplah melukiskan sesuatu untuk mengadakannya. Kecerdasan (Intelegensi) pertama mungkin dengan sendirinya, perlu oleh yang lain; dan ia memikirkan Yang Esa dan dirinya. Ia adalah satu dalam dirinya, dan banyak berkat pertimbangan-pertimbangan ini. Dari sinilah al-Farabi memulai langkah pertama ke arah pelipatan. Dari pemikiran oleh intelegensi pertama Yang Esa, lahirlah intelegensi lain. Karena pemikirannya tentang dirinya sendiri bisa terjadi pada dirinya memancarkan materi dan bentuk “langit pertama”, sebab setiap lingkungan (sphere) mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya. Beginilah rantai pemancaran berlangsung hingga melengkapi sepuluh intelegensi sembilan lingkungan dan sembilan ruh mereka. Intelegensi kesepuluh dan terakhir, atau intelegensi agen, adalah yang mengatur dunia fana ini. Dan dari intelegensi inilah mengalir ruh-ruh manusia dan empat unsur.
Intelegensi-intelegensi dan ruh-ruh ini merupakan susunan hirarkis Intelegensi pertama dalam hirarki yaitu yang paling tinggi, kemudian ruh-ruh lingkungan itu sendiri. Susunan terakhir yaitu bumi dan dunia materi yang berada pada urutan keempat. Orang Yunani kuno berpendapat bahwa segala yang bercorak langit adalah suci, dan segala yang bercotak bumi adalah tidak suci.  Ajaran Islam menerangkan bahwa langit merupakan kiblat shalat, sumber wahyu dan tujuan akhir mi’raj. Segala yang dilangit  adalah suci dan tersucikan. Di sini al-Farabi, menyesuaikan ajaran agama dan filsafat, tetapi kesulitan utama terletak pada penekanannya bahwa ketidak sucian bumi timbul dari langit yang suci itu.
Jumlah intelegensi adalah sepuluh, terdiri atas intelegensi pertama dan sembilan intelegensi planet dan lingkungan, karena al-Farabi mempergunakan teori-teori yang sama digunakan oleh ahli-ahli astronomi Yunani, terutama Ptolomeus yang berpendapat bahwa kosmos terdiri atas sembilan lingkungan yang kesemuanya bergerak mengelilingi bumi secara tetap. Setiap lingkungan mempunyai intelegensi dan ruh. Intelegensi dan ruh merupakan asal gerak. Intelegensi kesepuluh mengatur hal-hal yang  berkaitan dengan bumi. Ruh adalah penggerak lingkungan, tetapi ia memperoleh kekuatan dari intelegensi. Ia bergerak sesuai dengan kehendak intlegensi; dan menuju kesempurnaan dengan menggerakkan lingkungannya. Karena itu, hasratnya merupakan sumber geraknya. Sedang intelegensi dalam perputarannya merupakan hasrat abadi. Yang rendah menghasratkan Yang Tertinggi, dan segalanya menghasratkan Yang Satu, yaitu penggerak Pertama (Prime Mover) meskipun ia tak tergerakkan.
Gerak lingkungan disebabkan  oleh semacam tarikan spiritual : lingkungan yang lemah selalu ditarik oleh linbgkungan yang lebih kuat, proses ini merupakan proses dinamis spiritual yang serupa dengan proses Leibniz, meskipun ia bergantung kepada kekuatan spiritual yang tidak sama. Tampaknya al-Farabi sebagai pemusik berupaya memasukkan sistem keselarasan musikal ke dalam dunia lingkungan.
Tetapi, kesimpulan-kesimpulan al-Farabi, tentang fisika berhubungan erat dengan teori-teori astronomi. Dari intelegensi kesepuluh, lahirlah materi-materi utama atau hyle, yang merupakan asal dari empat unsur, dan dari intelegensi itu pula lahirlah bentuk-bentuk berlainan yang menyatu dengan hyle untuk membentuk wadag. Dunia bumi hanyalah serangkaian aneka bentuk berlainan yang menyatu dengan materi atau terpisah darinya. Pertumbuhan merupakan hasil pemisahan mereka. Gerak matahari menghasilkan panas dan dingin yang perlu bagi  perubahan. Semua intelegensi yang terpisah  menghasilkan gerak yang bermanfaat bagi dunia bumi. Di sini fisika berbaur  dengan kosmologi dan dunia bumi diatur oleh dunia langit.
Betapapun al-Farabi menolak apa yang disebut astrologi yang berkembang luas pada masanya, dan dikembangkan oleh para filosof Stoic dan sarjana-sarjana Alexandria pada masa-masa sebelumnya.
Al-Farabi tidak menolak hukum sebab akibat dan hubungan antara sebab dan akibat. Karenan sebab mungkin terjadi secara langsung atau tidak langsung; dan bila menemukan hal pertama merupakan perkara yang mudah, maka untuk hal terakhir lebih sulit. Karena itu, kejadian-kejadian terjadi atau kebetulan, dan tak ada jalan untuk mengendalikan kebetulan. Bagaimanakah seorang ahli astrologi mengaitkan kematian seorang amir dengan gerhana matahari? Bagaimana pun, kepercayaan kepada kejadian kebetulan itu hakiki dalam politik agama, karena hal itu memberikan rasa takut, harapan serta pendorong untuk patuh dan berupaya.
Al-Farabi melalui ajaran sepuluh intelegensi ini, memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori itu pula ketika memecahkan masalah. Yang Esa yang banyak, dan dalam memadukan teori materi, Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan. Materi itu tua, setua sepuluh intelegensi, tetpi ia tercipta karena ia memancar dari intelegensi agen. Untuk mengukuhkan keesaan Tuhan, al-Farabi memilih menengahi sepuluh intelegensi ini antara Tuhan dan dunia Bumi.
Beberpa unsur Teori Sepuluh Intelegsi dapat dilacak pada sumber asal mereka yang berbeda-beda. Aspek astronominya identik sekali dengan penafsiran Aristoteles tentang gerak lingkungan. Teori Pemancaran diperoleh dari Plotinus dan aliran Alexandria. Tetapi secara keseluruhan , hal itu merupakan stu teori al-Farabi, yang ditulis dan diformulasikan untuk menunjukkan kesatuan kebenaran dan metodenya tentang pengelompokan dan sintetis. Ia memadukan Plato, Aristoteles, Agama dan Filsafat. Teori ini berhasil baik di kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan. Tetapi usaha pemaduan seperti itu memaksa beberapa konsesi dari satu pihak atau beberapa pihak; dan apabila hal ini menyenangkan beberapa orang, maka terdapat pula orang-orang lain yang menyesalkannya. Kemudian teori ini dipegang kuat oleh ibn Sina yang merangkumkannya dan memaparkannya, sedangkan al-Ghazali menolak keras. Di antara sarjana-sarjana Yahudi, ibn  Gabriol sedikit pun tak mengacuhkannya, sedang Maimonides secara antusias berpegang padanya. Meski sarjana-sarjana Kristen keberatan terhadap teori ini, namun teori ini membuat mereka hormat dan menghargainya.

4. Teori tentang Akal, Teori psikologi Aristoteles telah lama terkenal sederhana dan tepat; dan sebagai suatu studi obyektif, ia tidak kurang diperhatikan. Pengelompokan Aristoteles akan unsur-unsur jiwa adalah yang pertama dalam hal ini. Ia menekankah kesatuan meski terdapat kejamakan unsur jiwa dan menjelaskan pertaliannya dengan tubuh. Ia telah mengupayakan teori tentang Akal, meski tak memadai, sehingga menimbulkan masalah yang membingungkan yang modern dan yang kuno. Tetapi tulisannya “Perihal Jiwa”, merupakan karya terbaik di antara karya-karya kuno psikologi, bahkan melebihi beberapa karya modern. Pada abad-abad pertengahan, ia merupakan karya seopupler Organon.
Buku ini diperkenalkan kepada orang Arab melalui terjemahan bahasa Syria dan bahasa Yunani, berikut komentar-komentar kuno, terutama komentar-komentar Aleksander dari Pahridisias, Themistius, Simplicius. Ia merupakan subyek studi ekstensif filosof Muslim yang memberikan komentar dan uraian tentangnya. Terpengaruh oleh Aristoteles dan karyanya, para filosof ini ,menulis berbagai dalil dan uraian tentang psikologi. Mereka terutama memusatkan pada masalah akal yang merupakan salah satu di antara masalah-masalah yang dipelajari oleh para filosof skolastik.
Al-Farabi menyadari sepenuhnya arti masalah ini, dan melihat di dalamnya suatu ringkasan dari sepuluh Teori Ilmu Pengetahuan. Ia dengan baik mengindentifikasikannya dengan filsafatnya sendiri, karena berkaitan dengan Teori Sepuluh Intelegensi dan juga merupakan pondasi Teori Kenabian. Ia telah membahas masalah akal di beberapa tempat dalam karya-karyanya, dan ia telah mengupayakan suatu karya yang menyeluruh. “Perihal Aneka Makna Akal”. Karya ini tersebar luas di kalangan para sarjana Timur dan Barat Abad-Abad Pertengahan, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Al-Farabi mengelompokkan akal menjadi akal praktis yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan; dan teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini dibagi lagi menjadi : yang fisik (material), yang terbiasa (habitual), dan yang diperoleh (acquired).
Akt al-Farabi sebaal fisik, atau sebagaimana sering disebut sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan mencerap esensi kemaujudan. Bila dibandingkan, maka ia hampir seperti materi yang atasnya bentuk-bentuk kemaujudan dapat dilukiskan tepat sebagaimana lilin yang atasnya dapat diukirkan tulisan. Maka pemahaman mewujud dalam bentuk daya dalam hal-hal yang dapat dirasa; dan bila pemahaman dibawa ke dalam bentuk, maka akal ditransformasikan dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi.
Karena itu, akal dalam bentuk aksi, atau kadang disebut akal terbiasa, adalah salah satu tingkat dari tingkat-tingkat pikiran dalam upaya memperoleh sejumlah pemahaman. Karena pikiran tak mampu menangkap semua pengertian, maka akal dalam bentuk aksilah yang memebuat ia mencerap, dan akal dalam bentuk daya mengenai apa yang belum ia cerap.s edang pemahaman itu sendiri berbentuk daya dalam yang dalapt di rasa. Bagitu manusia memperoleh tingkat akal dalam bentuk aksi ini, maka ia dapat memahami dirinya. Pencerapan semacam ini tidak mempunyai kaitan dengan dunia luar, ini adalah pencerapan mental dan abstrak.
Begitu akal mampu mencerap abstraksi, maka ia bnaik lagi ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke tingkat akal yang diperoleh (acuired intellect), yaitu suatu tingkat di mana akal manusia mengabstraksi bentuk-bentuk yang tidak mempunyai hubungan dengan amteri.
Perbedaan antara konsep rasional ini dan persepsi indrawi, yaitu bahwa yang pertama adalah semacam intuisi dan inspirasi, atau dengan kata lain, ia adalah semacam pencerapan langsung. Ini adalah tingkat pencerapan tertinggi manusia, dan ini hanya dapat dicapai oleh beberapa orang tertentu saja, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat akal yang diperoleh, yang di dalamnya yang tersembunyi menjadi tersingkap dan langsung berhubungan dengan dunia intelegensi yang terpisah.
Dengan demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh. Dua tingkat berurutan ini berbeda satu sama lain meskipun tingkat yang lebih rendah selalu bertindak sebagai pendahulu bagi tingkat yang lebih tinggi. Akal dalam bentuk daya hanyalah penerima bentuk-bentuk yang dapat di rasa, sedang akal dalam bentuk aksi mempertahankan pengertian-pengertian cerapan-cerapan. Dan akal yang diperoleh naik ke tingkat komuni ekstase dan inspirasi. Konsepsi-konspesi mempunyai tingkatan yang berbeda; mula-mula mereka merupakan pemahaman-pemahaman dalam benetuk daya yang maujud dalam materi; begitu tarabstrasi dari materi, maka mereka menjadi pemahaman-pemahaman dalam bentuk aksi. Yang lebih tinggi lagi ialah bentuk-bentuk abstraksi yang tidak pernah ada dala  materi.
Tetapi peningkatan bertahap ini tidak terjadi secara spontan, sebab tahap pertama adalah yang dapat dimengerti akal dalam bentuk daya dan peralihannya dari daya menjadi aktual tidak pernah dapat terjadi kecuali dipengaruhi oleh aktualitas pendahulu yang tindakannya sesuai dengannya. Aktualitas ini adala intelegensi agen yang terakhir dari sepuluh intelegensi. Pengetahuan manusia bergantung kepada radiasi intelegensi-intelegensi yang terpisah, dan intelegensi agen mempunyai hubungan dengan akal manusia sebagaimana hubungan matahari dengan mata kita, untuk dapat melihat, mata kita bergantung kepada sinar matahari, begitu pula akal kita, ia dapat mencerap hanya bila ia tersibakkan oleh intelegensi agen yang menerangi jalannya. Karena itu, mistisme berlebur dengan filsafat, dan pengetahuan rasional terjadi bersamaan dengan ekstase dan inspirasi.
Teori al-Farabi tentang akal sebagaimana disebutkan di atas secara jelas didasarkan pada Aristoteles. Al-Farabi sendiri secara tegas menyatakan bahwa teorinya itu bertumpu pada bagian ketika dari De Anima-nya Aristoteles, tetapi ia sendiri mempunyai andil dalam teori ini. Konsepsinya tentang akal yang diperoleh (acquired intelect) berbeda dari Aristoteles, karena teori itu hampir tercirikan dengan intelegansi-intelegensi yang terpisah, dan bertindak sebagai penghubung antara pengetahuan manusia dan wajyu. Dengan demikian, berbeda dari teori Aleksander dari Aphrodisias dan al-Kindi; dan itu adalah hasil dari kencenderungan mistis al-Farabi dan penyandarannya pada sistem Plotinus. Fakta ini menjadi lebih jelas jika kita perhatikan pengaruh intelegensi agen dalam meraih pengetahuan, karena itu adalah haisl dari visi dan inspirasi; itu juga memberi akal bentuk-bentuk abstrak dan mencerahkan jalan untuk itu. Teori ini membantu meleburkan psikologi dengan kosmologi, tetapi ia mengecilkan aktivitas akal manusia, karena ia menjadi mampu mencerap hanya bila dicerahkan oleh langit; tetapi, apakah kaum Sufi memperhatikan ketaksempurnaan akal manusia?
Penerimaan secara umum atas teori ini pada Abad-abad Pertengahan tampak jelas dari kenyataan bahwa ibn Sina tidak saja memakai teori ini, tetapi juga menguatkan dan memperjelasnya dan ibn Rusyd, meski berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Aristoteles, tetapi ia juga berada di bawah pengaruh teori itu. Di antara orang-oran Yahudi, Maimonid-lah yang mengambil teori ini hampir secara harfiah. Dengan orang-orang kristen, teori ini berada di puncak masalah-masalah filsafat, karena ia menyangkut teori tentang pengetahuan dan berkaitan erat dengan doktrin kekekalan ruh. Teori ini juga menyebabkan terjadinya berbagai macam aliran, beberapa di antaranya menerima dan beberapa yang lain menolaknya. Ringkasnya, Teori al-Farabi tentang akal adalah yang paling berarti di antara semua teori yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Muslim, dan telah memberikan pengaruh yang besar pada filsafat Kristen,
5.  Teori Tentang Kenabian. Dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan, dan diberi kemampaun untuk menyatakan kehendak-Nya. Islam, sebagaimana agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai penguasanya.al-Quran mengatakan : “Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan --- Tuhan Yang Mahakuasa telah mengajarnya.” (QS. 53 – 4-5). Adalah sangat perlu bagi filosof-filosof Muslim memberikan penghormatan kepada kenabian, merujukkan rasionalis dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa-bahasa bumi dengan fiman Tuhan. Hal ini telah diupayakan oleh al-Farabi. Teorinya tentang kenabia dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan agama dengan filsafat. Bahkan dapat juga dianggap sebagai bagian terutama dari sistem yang telah disusunnya, dengan landasan psikologi dan metafisika; dan hal itu berkaitan erat dengan ilmu politik dan etika.
Terpengaruh oleh lingkungan politik dan sosialnya, al-Farabi menekankan studi teoritis tentang kemasyarakatan dan kebutuhannya. Ia telah menulis beberapa risalah tentang politik, yang paling terkenal di antaranya adalah “Kota Model”. Ia menggambarkan kiotanya sebagai suatu keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu, serupa dengan organisasi tubuh; bila ada bagian yang sakit, maka yang lainnya akan bereaksi dan mengjaganya. Kepada masing-masing individu diberikan tugas dan pekerjaan yangn sesuai dengan kemampuan dan kecakapan mereka. Aktivitas-aktivitas sosal masing-masing bereda sesuai tujuan masing-masingl aktivitas yang paling baik adalah aktivitas yang diberikan kepada pemimpin, karena ia berada di dalam kota sebagaimana jantung di dalam tubuh manusia dan ia merupakan sumber seluruh aktivitas, pangkal keselarasan dan keteraturan. Karena itu, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu bagi penempatannya. Pemimpin harus berani, cerdas, pecinta pengetahuan, pendukung keadilan, dan ia harus naik ke tingkat intelegensi agen agar ia memperoleh wahyu dan inspirasi.
Sifat-sifat ini mengingatkan kita kepada raja filosof dalam Republik-nya Plato, tetapi al-Farabi menambahkan kepadanya kemampuan berhubungan dengan dunia langit,s eolah kota dihuni oleh para wali dan diatur oleh seorang nabi. Berhubungan dengan intelegensi agen dimungkinkan melalui dua cara; perenungan dan inspirasi. Sebagaimana telah disebutkan di atas, ruh akan naik, melalui studi dan pencarian, ke tingkat akal yang diperoleh (acquiered intellect) ketika ia menjadi menerima cahaya ketuhanan. Tingkat ini bisa dicapai hanya dengan semangat suci para filosof dan para bijak, yaitu mereka yang dapat melihat  kegiatan dan menangkap “cahaya dunia”. Ruh suci, tak memperhatikan apa yang ada di bawah; dan indera luarnya tidak pernah mengatasi indera dalamnya. Dan pengaruhnya melampaui  wujud sendiri dengan mempengaruhi wujud-wujud lain dan segala yang terdapat di dunia ini. Ia menerima pengetahuan langsung dari Ruh Tinggi dan para malaikat tanpa perintah manusia pun. Maka, melalui studi-studi spekulatif yang berkesinambungan, orang bijak dapat berhubungan dengan intelegansi agen.
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi. Imajinasi menempati kedudukan yang penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecenderungan-kecenderungan dan perasaan-perasaan, dan terlihat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakkan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan yang merupakan sumber mimpi dan visi. Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar di kala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaan di antara keduanya relatif, perbedaannya hanya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.
Bila imajinasi telah terlepas dari aktivitas-aktivitas yang dasar seperti dalam tidur, maka ia sepenuhnya ditempati oleh beberapa gejala psikologis. Dengan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan badani tertentu,a tau oleh emosi-emosi dan konsepsi-konsepsi tertentu, ia menciptakan gambaran atau komposisi-komposisi baru, dan dari gambaran-gambaran mental yang tepertahankan, ia menciptakan bentuk-bentuk baru mereka. Karena itu, kita bermimpi tentang air atau berenang ketika temperamen kita lembab, dan mempi sering demikian mewakili pemenuhan atas suatu hasrat atau penghindaran dari rasa takut, sehingga seseorang yang sedang tidur bergerak di tempat tidurnya dalam rangka menanggapi emosi tertentu, atau meninggalkan tempat tidurnya dan memukul orang yang asing baginya, atau mengejarnya. Tidaklah perlu menunjukkan bahwa pandangan-pandangan ini, meski sederhana, sama dengan gagasan-gagasan para ahli psikologi modern seperti Freud, Horny dan Murray.
Di dalam daya imajinasilah tercipta gambaran-gambaran mental yang sesuai dengan pola dunia spiritual. Karena itu, orang yang sedang tidur bisa menyaksikan surga  dan para penghuninya dan bisa merasakan kenikmatan dan kesenangannya. Imajinasi bisa juga naik ke dunia langit dan berhubungan dengan intelegensi agens sehingga ia bisa  menerima keputusan langit tentang masalah-masalah dan kejadian-kejadian tertentu. Melalui hubungan ini, yang bisa terjadi siang atau pun malam hari, kenabian dapat diterangkan karena ia merupakan sumber mimpi yang benar dan wahyu. Menurut al-Farabi : “bila daya imajinasi begitu kuat dan sempurna pada diri seseorang dan sepenuhnya teratasi oleh perasaan-perasaan luar ..... maka ia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, yang darinya tercerminlah gambaran-gambaran tentang yang paling indah dan sempurna. Siapapun melihat gambaran-gambaran tersebut, ia akan menyaksikan keagungan Tuhan ....... begitu daya imajinasi manusia benar-benar sempurna – di kala jaga  --- mungkin ia bisa menerima pra-visi, tentang apa yang sedang  dan akan terjadi dari intelegensi agen .... dan dengan demikian, melalui apa yang telah diterimamnya itu, ia bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan. Ini adalah tingkat tertinggi yang bisa dicapai oleh imajinasi dan manusia dapat mencapainya melalui daya ini.
Jadi, sifat utama seorang nabi ialah memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang melaluinya ia dapat berhubungan langsung dengan intelegensi agen di kala tidur atau jaga, dan dapat mencapai visi dan inspirasi. Adapun wahyu hanyalah suatu pemancaran (emanasi) dari Tuhan melalui intelegensi agen. Beberapa orang, meskipun lebih rendah daripada nabi, memiliki daya imajinasi yang kuat, yang melaluinya ia bisa menerima visi dan inspirasi yang tingkatannya juga lebih rendah. Dengan cara ini al-Farabi menempatkan para wali di bawah para nabi. Imajinasi massa sangta lemah, sehingga tidak memungkinkan berhubungann dengan intelegensi agen, baik pada waktu malam maupun siang hari.
Usaha al-Farabi untuk melakukan perujukan bukanlah satu-satunya motivasi di balik teori ini. Pada abad ke-3 dan 4 H/ ke-9 dan 10 M terjadi gelombang besar skeptikisme yang menolak peramalan dan kenabian. Para juru bicara mereka mengetakan menyatakan beberapa alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada kenabian. Yang berada di puncak skeptikisme itu ialah ibn al-Rawandi yang pernah menjadi pengikut  Mu’tazillah, tetapi kemudian menolak ajaran mereka, dan Muhammad bin Zakaria al Razi yang dokter itu, adalah lawan yang tangguh. Al-Razi terutama menolak setiap upaya merujukan agama dan filsafat, dengan anggapan bahwa filsafat adalah satu-satunya jalan untuk memperbarui pribadi dan masyarakat, sedangkan agama adalah sumber konflik dan perselisihan. Serangan ini membuat seluruh pusat-pusat keislaman mempertahankan dogma-dogma mereka. Al-Farabi merasa perlu ikut membela mereka. Ia menerangkan kenabian secara rasional dan menafsirkannya secara ilmiah.
Ia menerangkan hl itu atas dasar teori mimpi Aristoteles yang diperkenalkan kepada dunia Arab. Al-Kindi – pendahulu al-Farabi – berpegang pada teori tersebut. Ia beranggapan bahwa mimpi adalah gambaran yang dihasilkan oleh imajinasi yang kapasitasnya bertambah selama tidur setelah lepas dari aktivitas-aktivitas sadar. Tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari Tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa mendatang. Di sini al-Farabi berbeda dengan gurunya dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan. Menurut al-Farabi, hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran Islam. Kemampuan berhubungan dengan intelegensi agen dapat terdapat hanya pada nabi atau filosof, kalau nabi dengan imajinasi,s edangka filosof dengan spekulasi dan perenungan. Hal ini dapat dimengerti karena keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan mereka dari atas sana. Sebenarnya kebenaran agama dan filsafat merupakan pancaran pencerahan dari Tuhan melalui imajinasi atau penerangan/.
Teori al-Farabi tentang kenabian mempunyai pengaruh yang jelas, tidak hanya pada Barat dan Timur, tetapi juga pada abad pertengahan dan sejarah modern. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori ini. Pengupayaannya atas teori ini serupa benar dengan al-Farabi. Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini dan sangat heran atas kritik al-Ghazali karena teori ini memperkuat ajaran agama dan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diperoleh hanya melalui keberhubungan manusia dengan Tuhan. Ketika teori ini diperkenalkan kepada pemikiran-pemikiran filosofis Yahudi, maimonides mengambilnya dan menunjukkan banyak minat. Dalam Tractatus Theologico Politicus-nya Spinoza, dapat dicatat bahwa spinoza menerangkan suatu teori serupa yang mungkins ekali dikutip dari Maimonides. Teori itu kemudian digunakan oleh para filosof Muslim modern, seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.
6. Penafsiran atas Al-Quran. Beberapa ajaran agama bersifat tradisional (sam ‘iyyat), dan tak dapat ditunjukkan lewat akal, seperti keajaiban, dan Hari Penentuan yang meliputi Hari Kiamat, Kebangkitan, Pengadilan dan Hukuman. Menerima sam’iyyat ini merupakan tiang agama. Orang-orang beriman menerima isinya dengan ketulushatian. Tetapi, sebagian pemikir dalam upaya memberikan keterangan rasional, menafsirkannya dengan cara tertentu atau menganggapnya sekedar hukum alam. Dalam hal ini kaum Mu’tazilah telah berusaha, karenra sedemikian jauh dalam menafsirkan ini sehingga mereka menentang kaum Transfiguris yang menyamakan Tuhan dengan sifat-sufat tertentu yang bertentangan dengan keesaan, kesucian dan ketinggian-Nya.
Al-farabi melakukan penafsiran yang berbeda. Ia mengakui keabsah keajaiban, karena hal itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat bahwa keajaiban, meski bersifat adialami, tidak ebrtentangan dengan hukum alam. Karena sumber hukum ini terdapat pada dunia lingkungan dan intelegensi yang mengatur dunia bumi; dan begitu kita berhubungan dengan dunia itu, maka kejadian-kejadian yang tak biasa akan terjadi pada kita. Nabi, sebagaimaan diterangkan di atas, mempunyai kekuatan jiwa yang dapat menghubungkannya dengan intelegensi agen. Melalui perhubungan inilah ia dapat menyebabkan hujan turun, tongkat dapat berubah jadi ular atau orang buta dan orang sakit lepra dapat disembuhkan. Dengan begini al-Farabi mencoba – sebagaimana kaum Stoic telah melakukan sebelumnya ---- menjadikannya sebagai kejadian- kejadian sebab-sebab yang berada di luar kebiasan alam dan bahkan bertentangan dengannya.
Al-Quran menunjuk kepada bermacam-macam sam’iyyat, seperti Tablet dan Pena. Al-Farabi berpendapat bahwa hal-hal ini hendaknya jangan dimengerti secara harfiah, karena Pena bukan lah alat untuk menulis, demikian pula Tablet, ia bukanlah halaman tempat mencatat kata-kata, tetapi keduanya hanyalah simbol ketetapan dan kelestarian. Al-Quran juga menerangkan secara luas akhirat, Hari Kiamat, pahala dan siksa. Tak seorang beriman pun dapat mengingkari kejadian-kejadian ini tanpa merusak prinsip sangsi ketuhanan dan tanggung jawab individu. Meskipun al-Farabi mengakui secara penuh kebahagiaan yang kekal dan siksaan di akhirat, tetapi ia menjelaskan hal itu sebgai kejadian jiwa yang tidak mempunyai hubungan dengan tubuh atau materi, karena jiwa bukan tubuh yang merasakan kebahagiaan atau penderitaan, bahagia atau susah.
Penafsiran ini sesuai dengan kecenderungan al_Farabi kepada spiritualisme. Ibn Sina menambil dan menggunakannya secara luas. Ibn Sina berpendapat bahwa Tahta dan Kursi adalah simbol-simbol dunia lingkungan. Shalat bukanlah sekedar gerakan fisik, tetapi bertujuan meniru dunia langit. Seolah kedua filosof ini ingin meletakkan landasan suatu agama filosofis dan filsafat religius. Namun, al-Ghazali tidak puas dengan usaha ini dan ia menyerangnya, dengan mengambil tkes-teks Kitab Suci secara harfiah. Ibn Rusyd, meskipun menyetujui kesesuaian antara agama dan filsafat, namun ia juga tidak puas dengan usaha-usaha itu, karena menurutnya, demi keselamatan keduanya, agama dan filsafat harus dipisahkan. Bila dicampur tidak akan dapat dimengerti oleh orang-orang biasa dan bisa mnyesatkan bahkan orang-orang yang mampu berpikir secara mendalam.

K E S I M P U L A N
                                                                                .
Sekarang dapat kami simpulkan bahwa doktrin al-Farabi sangat selaras dan konsisten, tiap-tiap bagiannya benar-benar saling berkait. Dari Yang Esa, Sebab Pertama, al-Farabi terus menuju ke sepuluh intelegensi, yang darinya dua dunia langit dan bumi memancar. Lingkungan-lingkungannya digerakkan oleh intelegensi-intelegnsi yang mengaturnya, dan alam dengan pertumbuhan dan kehancurannya, terkena intelegensi-intelegensi ini, yaitu intelegensi agen. Begitu pula politik dan etika, karena kebahagiaan yang dituntut oleh manusia tak lain hanyalah berhubungan dengan dunia langit “Kota Model”-nya hanyalah dimaksudkan untuk ini.
Ajaran ini pada waktu yang sama bersifat spiritualistis dan idialistis, karena al-Farabi hampir memandang segala sesuatu sebagai jiwa. Tuhannya adalah Jiwa dari segala Jiwa, lingkung-lingkung astronominya diatur oleh jiwa-jiwa langit, dan pangeran kotanya adalah seorang yang jiwanya mengatasi tubuhnya. Spiritualisme ini berakar pada gagasan-gagasan dan konsepsi-konsepsi, dan secara keseluruhan untuk dispekulasikan dan direnungkan. Yang Esa adalah gagasan tiada tara dan Akal yang mengakali diri. Kemaujudan-kemaujudan lainnya disebabkan oleh akal ini. Melalui spekulasi dan perenungan, manusia dapat berhubungan dengan dunia langit dan memperoleh kebahagiaan sempurna. Tak spiritualisme pun berkait erat dengan idealisme kecuali spiritualisme al-Farabi.
Meskipun doktrin al-Farabi merupakan pencerminan Abad-abad Pertengahan, tetapi ia mengandung gagasan-gagasan modern dan kontemporer. Ia senang  terhadap ilmu pengetahuan, menganjurkan eksperimen dan menolak peramalan dan astrologi. Ia mempercayai sepenuhnya sebab-akibat dan takdir, sehingga ia mengakui adanya sebab-sebab, meskipun terhadap efek-efek yang tak jelas sebabnya. Ia mengangkat akal ke tingkat yang sedemikian suci, sehingga ia terdorong untuk mendamaikannya dengan tradisi sehingga tercapai kesesuaian antara filsafat dan agama.

********************************************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar