“PARA FILOSOF MUSLIM”
“MISKAWAIH”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of
Muslim Philosophy,
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting
: Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno
MISKAWAIH
Oleh
Abdurrahman Badawi, Pk.D
Profesor
di Bidang Filsafat Sastra Ein-
Shams
University, Cairo
Penerjemah
: Ahmad Muslim dan Yustini
DATRA
ISI
A.
MASA HIDUPNYA
B.
KARYA KARYANYA
C,
KEPRIBADIANNYA
D.
FILSAFATNYA
A. MASA
HIDUPNYA
Ahmad
ibn Muhammad ibn Ya’kub, yang nama keluarganya Miskawaih, disebut pula abu Ali
al-Khazin. Belum dapat dipastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri atau dia itu
putra (ibn) Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan Bergstrasser
menerima alternatif pertama; sedang lainnya, seperti Brockelmann, menerima
alternatif kedua.
Yaqub
berkata bahwa ia mula-mula beragama Majusi, kemudian memeluk Islam. Tetapi, hal
ini barangkali benar bagi ayahnya, karena Maskawaih sendiri, sebagaimana
tercermin pada namanya, adsalah putra seorang Muslim, yang bernama Muhammad.
Ia
belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari, kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil
al-Qadhi (350 h/960 M). Ibn al-Khammar,
mufasir kenamaan karya-karya
Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Miskawaih mengkaji
alkimia bersama abu al-Thayyib, al-Razi, seorang ahli alkimia. Dari beberapa
pernyataan ibn Sina dan al-Tauhid tampak bahwa mereka berpendapat bahwa ia tak
mampu berfilsafat. Iqbal, sebaliknya, menganggapnya sebagai salah seorang
pemikir teistis, moralis dan sejarawan Parsi paling terkenal.
Miskawaih
tinggal selama tujuh tahun bersama abu-Fadhl ibn al-‘Amid (360 H/970M), ia
mengabdi kepada putranaya abu al-Fath Ali ibn Muhammad ibn al-‘Amid, dengan nama keluarga Dzu
al-Kifayatain. Ia juga mengabdi kepada
Abdul al-Daulah, salah seorang Buwaihiah, dan kemudian kepada beberapa
pangeran yang lain dari keluarga terkenal itu.
Miskawaih
meninggal 9 Safar 421/16 Februari 1030. Tanggal kelahirannya tak jelas. Menurut
Margoliouth tahun 330H/ 941 M, tetapi kami kira tahun 320 H/932 M, bila bukan
apada tahun-tahun sebelumnya, karena ia biasa bersama al-Muhallabi, yang
menjabat sebagai wazir pada 339 H/950 M, dan meninggal pada 352 H/963 M, yang
pada masa itu paling tidak ia telah berusia sembilan belas tahun.
B. KARYA-KARYANYA
Yaqub memberikan daftar13 buah karya Miskawaih :
1. Al-fauz al-Akbar.
2. Al-Fauz al-Asghar.
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang Banjir Besar
yang ditulis pada tahun 369 H/979 M).
4. Uns al-farid (Kumpulan anekdot, syair, peribahasa dan
kata-kata mutiara).
5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik).
6. Al-Musthafa
(Syair-syair pilihan).
7. Jawidan Khirad
(Kumpulan ungkapan bijak).
8. Al-Jami’
9. Al-Siyar (tentangn aturan hidup).
Mengenai karya-karya di atas, al-Qifti hanya menyebutkan
1,2,3 dan 4, dan menambahkan sebagai berikut :
10. Tentang Pengobatan Sederhana (mengenai kedokteran).
11. Tentang Kompoisisi bajat (mengenai seni memasak).
12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
13. Tahdzib al-Akhlaq (mengenai akhlak).
Nomor-nomor 2,3 dan 13 kini masih ada, dan telah
diterbitkan. Juga ada lima daftar lagi yang tak disebut oleh Yaqub dan
al-Qifti, yaitu :
14. Risalah fi al-Ladzdzat wal-Alam fi jauhar al-Nafs
(Naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah tersebut di atas, dalam raghib, di
Istanbul).
15. Ajwibah fi al-Masa’il al-Tsalats (Naskah di Teheran,
Fihrist Maktabat al-Majlis, II, No. 634 (31).
16. Al-Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan
al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (Perpustakaan Mashhad di Iran, I, No. 43(137)
18. Thaharat al-Nafs (Naskah di Koprulu, Istanbul No.
767).
Muhammad baqir ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari
mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Parsi
(Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M, hal. 70).
Mengenai urutan karya-karyanya, kita hanya tahu dari
Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar, dan
Tahdzib al-Akhlaq ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.
C.
KEPRIBADIANNYA
Miskawaih
pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga seorang penyair, Tauhid
mencela Maskawaih karena kekikiran dan
kemunafikannya. Ia tertarik alkimia bukan demi ilmu, tetapi demi emas dan
harta, dan ia sangat mengabdi kepada guru-gurunya. Tetapi Yaqut menyebutkan
bahwa pada tahun-tahun terkemudian dia berupaya mengikuti lima belas pokok
petunjuk motal. Kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam
menundukkan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan
yang serakah dan kebijakan dalam mengadtur dorongan-dorongan yang tak rasional
merupakan poko-pokok petunjuk ini. Dia sendiri berbicara tentang gperubahan
moral dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, yang menunjukkan bahwa ia melaksanakan
dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang ektika,
D.
FILSAFATNYA
FILSAFAT PERTAMA
Bagian
terpenting kegiatan filosof Miskawaih ditujukan kepada etika. Ia seorang
moralis dalam arti sebenarnya. Tiga bukunya yang penting tentang etika telah
sampai kepada kita, yaitu : (1) Tartib al-Sa’adah, (2) Tahdzib al-Akhlaq, dan
(3) Jawidan Khirad.
Buku
Miskawaih al-Fauz al-Asghar merupakan sebuah risalah umum yang mempunyai
konsepsi yang sama dengan bagian pertama buku al-farabi; Ara’ Ahl al-Madinah
al-Fadhilah. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berkenaan
dengan pembuktian akan adanya Tuhan; bagian kedua tentang ruh dan ragamnya, dan
bagian ketiga tentang kenabian. Mengenai filsafat-filsafatnya ia banyak
berutang kepada al-Farabi, terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran Plato,
Aristoteles dan Plotinus. Peralihannya kepada pemikiran-pemikiran sejarah telah
memberinya manfaat yang bedar, karena pada umumnya ia dapat mengutip
sumber-sumber secara tepat. Misal pada akhir Bab V bagian pertama dari al-Fauz
al-Asghar, ia terus terang mengakui berutang kepada Porphyry.
Tulisan-tulisannya merupakan penyingkap (hal.553 -55) terbaik pembuktian Plato
tentang kekelanan ruh. Ia mengambil manfaat, terutama dai buku-buku Proclus yang berjudul Kitab Syarch Qaul
Flatun fi al-Nafs Ghair Maitah. Bagian pertama
di Fauz al-Asghar yagn memaparkan
kemaujudan Tuhan adalah jelas, ringkas dan padat. Argumennya di sini menyangkut
Penggerak Pertama (First Mover) yang sangat populer pada masa itu. Dalam hal
ini, ia sepenuhnya pengikut Aristoteles. Sifat-sifat dasar Tuhan ialah : Esa,
abadi dan non materi. Miskawaih menggunakan keseluruhan bab VIII untuk membahas
definisi Tuhan secara positif atau pun negatif, dia menyimpulkan bahwa cara negatif adalah cara yagn paling
mungkin. Ia juga menunjukkan kecenderungan Neo Platonis yang mencolok pada Bab
IX. Ia mengatakan bahwa kemaujudan pertama yang memancar dari Tuhan ialah
Integensi Pertama yang (Miskawaih mengatakannya agak ganjil) sama dengan akal
aktif. Ia kekal, sempurna dan tak berubah, karena “pemancaran terus menerus
berhubungan dengannya dan kekal, sedang sumber pemacaran itu kekal”. Ia
sempurna dibandingkan yang lebih rendah daripadanya dan tidak sempurna
dibandingkan Tuhan. Kemudian turunan ruh dari langit ke intelegensi; ia
memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan dalam meniru intelegensi.
Tetapin ia sempurna dibandingkan benda-benda alam. Lingkungan mewujuud melalui
ruh langit. Dibandingkan ruh, ia tidak sempurna dan oleh karena itu ia
memerlukan gerak fisik, yaitu gerak dalam ruang. Lingkungan bergerak melingkar
menunjukkan kekekalan kemaujudannyayang telah ditentukan oleh Tuhan. Melalui
lingkungan dan bagian-bagiannya tubuh-tubuh kita mewujud. Keberadaan kita
sangat rapuh karena adanya rantai penjang perantara antara Tuhan dan kita. Dengan
alasan ini pula, maka tubuh kita berubah dan fana. Segala kemaujudan mewujud
melalui Tuhan, dan pemancaran serta daya
tembus-Nyalah yang memelihara tatanan di dalam kosmos ini. Bila Tuhan tidak memberikan
pemancaran-Nya, maka tidak akan ada kemaujudan.
Sebagai
pemikir religius sejati, Miskawaih mencoba membuktikan bahwa ciptaan bermula
dari ketidak adaan. Ia menyebutkan bahwa Galen mengatakan sesuatu yang
bertentangan dengan pendapat ini, tetapi dibantah oleh Alexander dari
Aphrodisias dalam uraian khusus. Alasan Miskawaih sebagai berikut : Pertama, bentuk-bentuk saling
menggantikan, tetapi dasarnya tetap kosntan. Dalam perubahan ini, dari satu
bentuk ke bentuk lain, ke manakah perginya bentuk yang pertama itu? Dan bentuk
tidak dapat bersatu, sebab mereka itu berbeda. Kedua, bentuk pertama tidak
dapat ke lain tempat, karena gerak di tempat berlaku bagi tubuh dan kemaujudan
tak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hanya ada satu
kemungkinan, yaitu bahwa bentuk pertama menjadi tiada. Bila terbukti bahwa
bentuk pertama menjadi tiada, maka bentuk kedua mewujud. Demikian bentuk
ketiga, keempat dan seterusnya, dari ketiadaan. Karena itu, segala kemaujudan
berasal dari ketiadaan.
Aristoteles,
memandang alam semesta sebagai suatu proses penjadian. Hakikat setiap sesuatu
merupakan suatu daya yang berproses menjadi aktual yang merupakan hakikat
akhirnya. Geraknya menuju akhir bersifat tetap. Suatu teori yang keseluruhannya
berbeda terdapat pada Surat kelima puluh Ikhwan al-Shafa, yang di dalamnya ditunjukkan
proses evolusi dari mineral sampai manusia di bawah bimbingan jiwa untuk
kembali kepada Tuhan.
Ikhwan
al-Shafa menggunakan teori ini untuk menentukan status kenabian. Miskawaih
beranjak lebih jauh dan menemukan di dalamnya suatu dasar yang kukuh bagi
teorinya, tentang moral. Sebagaimana Aristoteles, ia menganggap kebahagiaan
(sa’adah) sebagai puncak kenabian manusia, tetapi tidak seperti Aristoteles, ia
mencirikan kebahagiaan sebagai akhir pencapaian manusia sebagai khilafah Tuhan
di muka bumi, tempat manusia mengalami evolusi kosmis di bawah rasionalitasnya.
Teori
Miskawaih tentang teori evolusi secara mendasar sama dengan teori Ikhwan
al-Shafa. Teori ini terdiri atas empat tahapan evolusi : Evolusi mineral, tetumbuhan, binatang dan
manusia, karang (marjan), kurma dan kera (gird) menunjukkan secara berurutan
peralihan dari mineral ke tetumbuhan, dari tetumbuhan ke binatang, dan dari
binatang ke manusia. Akhirnya nabi menyempurnakan siklus Kemaujudan dengan
mereguk ruh surgawi pada dirinya.
Psikologi
Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistis tradisional Plato dan Aristoteles
dengan kecenderungan Platonis. Ia menulis masalah ini dalam al-Fauz dan
al-Tahdzib al-Akhlaq. Pada karya pertama, ia membahas masalah ini secara lebih
menyeluruh. Tetapi beberapa kali ia mengulangi sendiri tentang banyak hal dalam
kedua buku itu; dalam kedua buku itu kita mempunyai alasan serupa,
contoh-contoh serupa dan hampir kata-kata serupa.
Trhadap
kaum materialis, ia membuktikan adanya ruh dengan dasar bahwa pada diri manusia
terdapat sesuatu yang memberi tempat bagi perbedaan dan bahkan pertentangan
bentuk dalam waktu yang bersamaan. Tetapi sesuatu itu tidak dapar berupa
materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.
Ruh
mencerap hal-hal sederhana dan kompleks, yang ada dan yang tidak ada, yang
terasakan dan yang terpikirkan. Tetapi, apakah ia mencerap semua itu melalui
satu atau banyak unsur (faculty)? Ruh tidak mempunyai unsur; unsur-unsur hanya
teradpat pada materi. Apakah ruh, meskipun hanya satu dan tak dapat
dibagi-bagi, mencerap sesuatu yang berbeda dengan sikap yang berbeda dan cara
yang berbeda pula? Dalam menjawab pertanyaan ini, Miskawaih memberikan dua
jawaban berlainan : pertama dari Plato, yang mengatakan bahwa yang serupa
mencerap yang serupa, dan kedua dari Aristoteles, yang mengatakan bahwa ruh
mempunyau satu unsur yang mencerap materi yagn kompleks dan non materi yang
sederhana, tetapi dengan cara berlainan. Dalam kaitan ini, Miskawaih
menyebutkan Themistius dan bukunya Tentang Ruh.
Mengenai
keabadian ruh, Miskawaih memberikan jawaban mula-mula dengan doktrin
Aristoteles. Kemudian (pada Bab VI) ia memberikan tiga alasan dari Plato;
pertama ia mengutip Plato sendiri, kedua, tulisan Proclus Komenter terhadap
Dontrikn Plato tentang keabadian Ruh, dan ketiga, sesuatu yang telah dikatakan
oleh Galen mengenai hal ini. Miskawaih mengatakan bahwa doktrin Plato sangat
panjang dan memerlukan komentar; karena itu, ia berusaha meringkasnya sejelas
mungkin dengan bantuan Komentar Proclus. Di sini dan pada Bab-bab berikutnya (
VII, VIII) dia sepenuhnya Platonis dan menyebutkan secara khusus Hukum dan
Timaeus Plato. Plato
mengatakan bahwa esensi ruh adalah gerak, sedang gerak adalah kehidupan ruh. Miskawaih menerangkan
dan berkata : Gerak ini
terdiri atas dua macam : pertama, gerak ke arah intelegensi, dan kedua
gerak ke arah materi; yang pertama diterangi, sedang yang kedua menerangi.
Tetapi gerak ini kekal dan tidak di
dalam ruang, dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati intelegensi, yang merupakan ciptaan
pertama, sedang lewat gerak kedua, ia
keluar dari dirinya. Karena itu, ruh lebih mendekati Tuhan melalui gerak
pertama dan menjauh lewat gerak kedua. Yang pertama membawa keselamatan
dirinya, sedang yang kedua kebinasaan. Dengan mengutip
Plato, ia mengatakan bahwa fislafat merupakan suatu penerapan berdasarkan
kemauan. Ada dua macam kehidupan : Pertama, kehidupan yanbg sesuai dengan
intelegensi, yaitu “kehidupan alamiah”, dan kedua, kehidupan menurut materi, yaitu
kehidupan berdasarkan kemauan. Demikian pula dengan kematian; karena itu Plato
mengatakan : Jika Anda mati berdasarkan kemauan, maka Anda hidup secara
alamiah. Di sini “kemauan” diartikan sebagai “hasrat”.
Tetapi,
Miskawaih sekaligus mengoreksi sendiri dengan mengatakan bahwa mati berdasarkan
kemauan ini bukan berarti penolakan terhadap dunia; hal itu merupakan sikap
mereka yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini dan mengabaikan kenyataan bahwa
mansuia secara fitrah beradab dan tidak dapat hidup tanpa yang lain. Mereka,
yang mengabaikan masalahdunia, sangat tidak adil, karena mereka menginginkan layanan yang
lain tanpa bersedia melayani yang lain, dan inilah ketidak adilan sejati.
Beberapa orang menyangka bahwa mereka hanya memerlukan sedikit, tetapi, meskipun
hanya sedikit, namun mereka tetap membutuhkan layanan banyak orang. Karena itu,
wajib bagi setiap manusia melayani yang lain; bila ia banyak melayani, maka ia
dapat menuntut banyak, tetapi bila ia hanya melayani sedikit, maka ia hanya
dapat meminta sedikit.
Inilah
satu segi penting dari pandangan filosofis Miskawaih dan hal ini menunjukkan
perhatiannya yang besar di bidang etika.
FILSAFAT MORAL
Filsafat
moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga Miskawaih memulai risalah
besarnya itu dengan akhlak. Tahdzib al-Akhlaq, dengan menyatakan doktrinnya
tentang ruh. Di sini penerapannya kirang filosofis, tetapi sangat terinci.
Masalah
peralihan dari psiklologi ke akhlak disajikan pada halaman 18 hingga 21, yang,
dengan mengikuti Plato, ia memperssamakan pembawaan-pembawaan ruh dengan
kebajikan-kebajikan. Ruh mempunyai tiga pembawaan : Rasional, keberanaian; dan sederhana. Dengan
keberkaitan ketiga hal itu, kita dapat memperoleh yang keempat, yaitu :
keadilan. Orang-orang Yunani
bersifat teoritis dan spekulatif, sehingga Plato tidak dapat beranjak lebih
jauh dari itu. Dengan memakai aturan pribadi moral, Miskawaih membagi kebijaksanaan menjadi tujuh :
ketajaman itelegensi, kesigapan akal, kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan,
ketepatan dalam membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali; sebelas bagian dalam keberanian,
yaitu : kemurah hatian, kebersamaan, kesabaran, kerendahhatian, semangat dan
kepengampunan; duabelas dalam kesederhaan, yaitu : malu, ramah, benar, damai,
menahan diri, sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan
kebebasan (yang dibagi lagi menjadi enam); dan sembilan belas bagian dalam
keadilan, yaitu : persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih sayang,
persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat,
penyerahdirian, pengabdian kepada Tuhan, meninggalkan permusuhan, tidak
membicarakan sesuatu yang menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak
mengenal ketidakadilan, dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang
jahat dan penipuan. Tetapi, kita tidak dapat menentukan secara pasti
apakah pembagian-pembagian dan pembedaan-pembedaan ini hanya dilakukan oleh
Miskawaih. Tentu ia banyak memperoleh manfaat bagi dirinya dari para
pendahulunya, terutama dari jalur abu sulaiman al-Sajistani al-Mantiqi, yang
gema karya-karyanya kita temukan dalam Muqabasat-nya Tauhid.
Sejauh ini Msikawaih dalah Platonis, tetapi
sejak halaman 29, ia menjadi Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai
jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini untuk
mengartikan empat kebajikan utama, dan dengan ini pula ia mengakhiri bab
pertama.
Pada
bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manusia dan asal-usulnya, baik yang
lahir dalam keadaan baik maupun jahat. Ia mengutip pendapat orang-orang Yunani
terdahulu bahwa fitrah itu tak pernah berubah, tetapi ia menolak pendapat itu.
Kemudian ia mengambil pendapat Stoa yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan
baik, tetapi kemudian menjadi jahat karena kecenderungan mereka kepada nafsu
jahat dan memelihara persekutuan jahat itu. Ada pula pendapat ketiga, yang mengatakan bahwa
manusia diciptakan dalam keadaan buruk dan mereka dapat berubah menjadi baik
hanya bila dengan pendidikan. Galen menolak dua pendapat terakhir dan
mengatakan bahwa manusia terdiri atas tiga macam : ada yang secara fitrah baik,
ada yang secara fitrah buruk dan yang ketiga di antara keduanya. Akhirnya, Miskawaih menyatakan
pendapat Aritoteles dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa
“adanya manusia bergantung kepada kehendak Tuhan, tetapi perbaikannya
diserahkan kepada manusia sendiri dan bergantung kepada kemauan sendiri.”
Kesempurnaan
yagn dapat dicapai ada dua macam; pertama kesempurnaan teoritis dan kedua,
kesempurnaan praktis. Dengan kesempurnaan pertama, ia akan memperoleh
pengetahuan yang sempurna, dan dengan kesempurnaan keuda, ia akan memperoleh
kepribadian yang sempurna. Manusia mempunyai tiga pembawaan yang tertinggi,
ialah akal, yang ternedah ialah nafsu, dan diantara keduanya terletak
keberanian. Manusia pada mulanya adalah manusia. Dengan demikian, kesempurnaan
manusia terutama bergantung kepada jiwa rasional. Pada setiap pembawaan
terdapat banyak tingkatan, yang oleh Miskawaih dijelaskan secara terinci. Di
sini (hal. 67-78) kita dapati suatu bab yang panjang tentang pendidikan anak
dan remaja.
Bagian
utama etika Miskawaih dimulai dari bab ketiga *(hal 90, dan seterusnya).
Petama-tama, ia mengikuti Aristoteles, sebagaimana dikomentari oleh Porphyry.
Tampaknya ia sepenuhnya bergantung kepada komentar Porphyry terhadap tulisan Aristoteles
Nicomachean Ethics yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hunain dalam dua belas jilid.
Tetapi sayang komentar ini hilang, baik yang berbahasa Yunani maupun yang
berbahasa Arab. Tapi dapat kita kumpulkan sesuatu dari bentuknya dari Tahdzib
al-Akhlaq-nya Miskawaih.
Mengikuti
Aritoteles, Miskawaih mengatakan (hal.
90) bahwa kebaikan terletak apda segala yang menjadi tujuan. Definisi ini
diperkirakan mungkin berasal dari Eudoxus (sekitar tahun 25 S.M.), yang
disajikan di bagian awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih
mengatakan bahwa apa yang berguna magi mencapai tujuan ini adalah baik,
misalnya sarana-sarana dan tujuan itu sendiri dapat disebut baik. Tetapi
kebahagiaan atau kebaikan merupakan suatu kebaikan yang relatif – bagi pribadi.
Itu hanyalah satu macam kebaikan yang
tidak mempunyai hakikat tersendiri dan berdiri sendiri.
Miskawaih,
sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan kebahagiaan, tetapi menambahnya secara
lebih terperinci, yang mungkin diambil dari komentar Porphyry. Pengelompokkan
ini terdiri atas, (1) kesehatan, (2) kekayaan, (3) kemasyhuran dan kehormatan,
(4) keberhasilan dan (5) pemikiran yang baik.
Setelah
memaparkan pendapat-pendapat Hypocrates, Pythagoras, Plato, kaum Stoa dan
beberapa dokter yang percaya bahwa tubuh adalah bagian dari manusia dan bukan
alat bagi manusia; karena itu kebahagiaan ruh tidak akan lengkap bila tidak
disertai kebahagiaan tubuh.
Miskawaih
membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan
bahwa kita mesti menolak ajaran yang
mengatakan bahw kebahgiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan
bahw hal itu dapat pula dicapai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai
kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Di sini ia
menegaskan lagi Anschauung-nya. Tetapi sebagai seorang religius sejati, ia
lebih memilih akhirat. Untuk menguatkan ini, ia mengutip suatu artikel
diterjemahan Abu Utsman al-Dimasqi yang berjudul Keutamaan Ruh yang ditulis
oleh Aritoteles. Kita tidakd apat
menemukan tulisan Aristoteles ini di tempat lain. Ada dua macam kebahagiaan di
akhirat, tetapi tak seorang pun dapat memeproleh kebahagiaan yang kedua tanpa
melalui kebahagiaan yang pertama. (Hl. 111), akrena, sebagaimana dikatakan oleh
Aristoteles, kebahagiaan ukhrawi mekipun kedudukannya lebih tinggi dan lebih
mulia, memerlukan kebahagiaan dunia, jika tidak ia akan tetap tak teraih.
Bab
empat, terutama memuat keadilan dan penjelasan secara terinci tentang arti
keadilan itu. Di sini ia kembali mengikuti bagian-bagian dalam Nicomachean
Ethics-nya Aritoteles.
Pada
bab lima, ia membahas persahabatan dan cinta. Hal yang menarik pada bagian ini
ialah tentang dua macam cinta. Hal yang menarik kepada Tuhan, dan (b) cinta
murid kepada guru. Cinta macam pertama sangat sulit dicapai oleh makhluk yang
fana, dan cinta ini hanya bagi sebagian kecil. Sedang untuk cinta macam kedua,
Maskawaih mempersamakan cinta anak kepada orang tuanyadengan cinta murid kepada
guruny, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih
pemurah. Karena guru mengajar ruh kita dan dengan petunjuk mereka kita
memperoleh kebahagiaan sejati. Guru adalah “bapak ruhani dan orang yang
dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan ilahiah,
karena ia membawanya kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang
tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan yang tinggi dan menunjukkan
kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi.” (hal.175).
Pershabatan,
secara umum, merupakan hal paling suci dan bermanfaat bagi manusia. Penghianat
lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain juga
merupakan teman baginya; ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat.
Orang yang bahagia adalah
orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka.
Miskawaih mengutip pendapat Aritoteles yang mengatakan bahwa manusia itu
membutuhkan teman dalam hidupnya, dalam keadaan baik ataupun dalam keadaan
buruk. Bahkan seorang raja pun memerlukan teman. Karena ia tidak akan dapat
mengetahui kebutuhan rakyatnya kecuali melalui teman-teman dekatnya, sebab
mereka itu akan memberikan keterangan dan membantu melaksanakan perintah-perintahnya.
Manusia harus bekerja sebaik-baiknya untuk membahagikan teman-temannya dan
selalu beruat baik kepada mereka tanpa beruat munafik dan mengambil muka.
Secara
umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan (‘adl)bersifat Aristoteles – meskipun
baginya – kebajikan ini merupakan suatu bayangan dari keesaan tuhan,
keseimbangan sejati. Pengetahuan tentang cara
atau batas setiap persoalan merupakan prasyarat dari keadilan, tetapi
berbeda dengan Aristoteles, ia berpedanapat bahwa keadilan merupakan fungsi
kehendak Ilahiah bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehati-hatian.
Seorang raja, sebagai khalifah Tuhan, dapat melaksanakan kebijaksanaan secara
terinci sesuai dengan keadaan waktu dan tempat tanpa merusak nilai-nilai
kehendak ilahiah. Aristoteles mengakui kebajikan secara samar-samar dalam
bentuk kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal itu berarti
memberi “orang yang layak, dalam proporsi dan waktu yang tepat.” Sedang bagi
ibn Miskawaih, hal itu merupakan keberlihan terhadap keadilan dan dapat
menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan itu sendiri, asalkan efek
prasangkanya terbatas pada aorang yang baik itu saja, dan penerima itu sendiri
merupakan suatu pilihan yang layak untuk itu. Dengan demikian, kemurahhatian merupakan
suatu bentuk keadilan yang aman dari gangguan. Begitu pula cinta, menurutnya,
bukanlah perluasan dari cinta diri, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, tetapi
suatu batasan dari cinta diri dan cinta untuk yang lain. Ia memandang rasa
cinta (mahabbah)sebagai kapasitas fitrah
untuk bersekutu dengan manusia secara umum, tetapi membatasi persahabatan
(shadaqah) pada beberapa individu, dengan mendasarkan pada pertimbangan
kuntungan, kesenangan, atau kebaikan sebagaimana dicerap oleh Aristoteles.
Cinta (‘Isyq) yang merupakan hasrat berlebihan terhadap kesenangan
- pertimbangan keuntungan bertentangan dengan cinta - tak dapat melampaui dua individu. Obyek cinta hewani yakni
kesenangan, sedang obyek cinta spiritual yakni kebajikan atau kebaikan. Cinta hewani adalah tercela dan
diharamkan, sedang cinta ruhani patut dipuji. Dia menyebutkan secara
spesifik cinta manusia kepada Tuhan, cinta murid kepada guru dan cinta anak
kepada orang tua secara bertingkat-tingkat sebagaimana ditunjukkan di atas. Ia
menyimpulkan bahwa keadilan dapat mewujud melalui rasa takut dan kekuatan,
sedang cinta kasih merupakan suatu sumber alami kesatuan, sehingga, keadilan tidak diperlukan bila
cinta kasih telah unggul. Dengan demikian, cinta kasih berdaulat, sedangkan keadilan adalah wakilnya.
Sebagaimana
dalam al-Fauz al-Asghar, dalam Tahdzib al-Akhlak (Hal.195 – 96) pun, Miskawaih
menentang segala bentuk kehidupan kepertapaan, karena kepertapaan “menjauhkan
diri dari segala kebajikan moral yang telah disebut di atas. Bagaimana bisa orang
ayng memisahkan diri dari orang lain dan hidup menyendiri menjadi bersahaja,
adil, murah hati atau berani? Apakah ia itu bukan organik dan tidak mati?”
kebahagiaan ilahiah merupakan tujuan akhir dan kebaikan manusia. Kebahagiaan
ilahiah dimiliki oleh bagian suci manusia. Ia merupakan kebaikan sejati, sedang
akal merupakan kebaikan pertama.
PENGORBANAN
RUHANI
Dua bab
terakhir dari Tahdzib al-Akhlaq memuat apa yang disebut pengobatan ruhani,
sebuah kalimat yang kita temukan pertama
kali dalam buku terkenal Muhammad ibn Zakaria al-Razi Al-Tibb al-Ruhani,
Miskawaih menggunakan ungkapan Tibb al-Nufus (hal. 205), tetapi kesamaan dalam
perlakuan secara umum terhadap masalah itu mencolok. Hal ini menjukkan bahwa
tak diragukan lagi bahwa Miskawaih mengenal tulisan-tiulisan al-Razi meskipun
ia tidak menyebut namanya. Keduanya dibuka dengan mengatakan bahwa penguasaan nafsu merupakan
dasar hakiki kesehatan ruhani. Keduanya mengutip karya Galen tentang
Cacat Diri. (Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Thuma dan
diperbaiki oleh Hunain). Sementara al-Razi merasa puas dengan apa yang
dikatakan oleh Galen. Miskawaih mengatakan bahwa tak seorang sahabat pun dapat menemukan kekurangan
Anda, bila demikian maka seorang musuh lebih baik dan berguna dariapda seorang
teman dalam hal ini (Hal. 200). Karena ia lebih peka akan kejelekan-kejelakan Anda dan
tidak ragu-ragu mengatakannya kepada Anda. Berkenaan dengan ini, Miskawaih
menganjurkan mempelajari tulisan lain Galen, Orang baik Mendapatkan Manfaat
dari Musuh-Musuhnya” yang memuat masalah ini yang juga disebut oleh
al-Razi. Kemudian ia mengutip al-Kindi yang mengatakan bahwa orang yang mencari
kebajikan mesti menyadari bahwa gambaran-gambaran kenalan-kenalan merupakan
cermin kejahatan-kejahatan yang timbul dari kepedihan dan hawa nafsu.
Akhirnya,
Miskawaih membahas penyembuhan penyakit jiwa. Ia menyebutkan penyakit-penyakit
yang paling penting, marah, bangga diri, suka bertengkar, khianat, penakut,
sombong, takut dan susah – dan dikaitkan dengan cara-cara penyembuhannya.
Beberapa bab yang ditulisnya sesuai dengan beberapa bab yang ditulis oleh
al-Razi dan Tibb, terutama yang berkaitan dengan bangga diri, susah dan takut
mati. Ia juga menulis kembali beberapa halaman dari uraian al-Kindi, tentang
Menolak Kesedihan (hal. 256).
Mengapa
Miskawaih tidak menyebut Muhammad ibn Zakaria al-Razi? Hal itu disebabkan oleh
kesimpulan-kesimpulan dan metode-metode penyembuhan al-Razi yang sangat berbeda
dengannya. Al-Razi, orangnya berani, rasionalis dan sukar dipahami, sedang
al-Kindi lunak, taat dan lebih dapat diterima.
Telah
kami paparkan segala yang telah mempengaruhi Miskawaih, yaitu roang-orang
Yunani, tetapi tidak dapat kita lupakan bahwa kebudayaan Islam juga mempunyai
pengaruh penting baginya. Dalam memperkuat pendapat-pendapat yang dikemukakannya,
ia sering mengutip ayat-ayat al-Quran, hadis Nabi, ucapan-ucapan ibn Abi Thalib
dan al-Hasan al-Bashri, di samping puisi-puisi Arab.
FILSAFAT
SEJARAH
Pada dasarnya Miskawaih adalah seorang ahli
sejarah dan moralis. Etika yang disusunnya bersifat genentik (yaitu didasarkan
pada tempat dan posisi manusia di dalam evolusi kosmik), agamis dan praktis.
Bahka ia merasa perlu memperbaraui moral diri sebelum menulis Tahdzib
al-Akhlaq. Mengenai sejarah, pandangan-pandangannya, bersifat filosofis, ilmiah
dan kritis. Ia menggariskan fungsi sejarah dan tugas-tugas ahli sejarah sebagai
berikut :
Sejarah
bukanlah cerita hiburan tentang dir para raja, tetapi suatu pencerminan
struktuir politik ekonomi masyarakat pada masa-masa tertentu. Ia merupakan
rekaman naik turunnya peradabanm bangsa-bangsa dan negara-negara.
Untuk
itu, ahli sejarah harus menjaga diri terhadap kecenderungan umum
mencapuradukkan kenyataan dan rekaan atau kejadian-kejadian palsu. Ia bukan
saja harus faktual, tetapi juga harus kritis dalam mengumpulkan data.
Terlebih,
ia mesti tidak hanya mengisi sejarahnya dengan gambaran-gambaran tentang
kenyataan, tetapi juga pandangan- pandangan filosofis, menafsirkannya dalam
lingkup kepentingan amanusiawi dan akibat-akibat yang terjadi. Sebagaimana di
dalam alam, di dalam sejarah pun tidak ada tempat bagi kebetulan.
Karena
itu, sejarah bukanlah kumpulan kenyataan terpisah dan statis, tetapi merupakan
proses kreatif dinamis harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi manusia. Ia adalah
organisme yang hidup dan tumbuh, yang strukturnya ditentukan oleh cita-cita
dasar serta cita-cita kebangsaan dan negara. Ia tidak hanya mengumpulkan
kenyataan-kenyataan yang telah lalu menjadi suatu kesatuan organik, tetapi juga
menentukan benetuk sesuatu yang akan datang. Karyanya yang sangat ebrguna dan
monumental adalah Tajarib al-Umam (Pengalaman Bangsa-bangsa) yang tujuan dan
metodenya sangat sugestif, dan menurut Leon Caetani, sangat dekat dengan
prinsip-prinsip yang dianut oleh ahli-ahli sejarah Barat dan ahli-ahli sejarah
modern.
*************************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar