Peringatan
: Jika ilmu agamanya kurang kuat, sangat berbahaya membaca buku ini
“PARA FILOSOF MUSLIM”
“MUHAMMAD
IBN ZAKARIA AL-RAZI”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of
Muslim Philosophy,
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting
: Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno
DATRA
ISI
A.
MASA HIDUPNYA
B.
KARYA KARYANYA
C.
FILSAFATNYA
D.
TEOLOGI
E.
FILSAFAT MORAL
F.
KESIMPULAN
A. MASA
HIDUPNYA
Menurut al-Biruni, abu Bakr Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi lahir di Rayy, pada
tanggal satu Sya’ban, tahun 251 H/865 M.
Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan (Baihaqi), penukar uang (ibn
abi Usaibi’ah), atau lebih mungkin sebagai pemain kecapi (ibn Juljul, Sa’id,
ibn, Khalikan, Usaibi’ah, al-Safadi) yang pertama meninggalkan musik untuk
belajar alkimia, dan pada usia tigapuluhan atau (seperti dikatakan Safadi) setelah umur empat puluhan ia
meninggalkan alkimia, karena matanya terserang penyakit akibat eksperimen yang
dilakukannya (al-Biruni), yang menyebabkannya mencari dokter dan obatan-obatan.
Itulah sebabnya, sebagaimana kata mereka (al-Birunim Baihaqi dan lain-lainnya),
ia mempelajari ilmu kedokteran (obat-obatan). Ia sangat rajin belajar dan
bekerja siang dan malam hari. Gurunya, ‘Ali ibn Rabbana al-Thabari (al-Qifti,
Usaibi’ah), adalah seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada tahun 192
H/808 M dan meninggal beberapa tahun setelah 240 H/855 M. Ia belajar ilmu kedokteran
keapda ibn Rabban al-Thabari,d an kemungkinan juga ilmu fisika. Mungkin minat
al-Razi pada fislfat agama disebabkan oleh gurunya, yang ayahnya adalah seorang
pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci.
Di kota kelahirannya, al-Razi terkenal sebagai dokter.
Karena itu, ia memimpin rumah sakit di Rayy (ibn Juljul, al-Qifti, ib Abi
Usaibi’ah) ketika Mansur ibn Ishaq ibn
Ahmad ibn Asad menjadi Gubernur Rayuy, darit ahun 290 – 296 H / 902 – 908 M,
atas nama kemenakannya Ahmad ibn Ismail ibn Ahmad, sebagai pemerintah
Samaniah kedua. Razi menulis kitab
al-Tibb al-Mansur, untuk dipersembahkan kepada Manusr ibn Ishaq ibn Ahmad,
sebagaimana dibuktikan oleh naskah kitab ini, sebagai penolakan atas asumsi
al-Nadim, yang diulang oleh Qifti dan abi Usaibi’ah, bahwa manusr ini adalah
Mansur ibn Isma’il yang meninggal pada tahun 365 H / 975 M.
Al-Razi dari Rayy pergi ke Baghdad pada masa khalifah
Muktafi (289 H /901 M – 295 H / 908 M), dan di sana ia memimpin rumah sakit
pula.
Setelah al-Muktafi meninggal tahun 295 H / 907 M, al-Razi
kembali ke Rayy. Di Rayy ia mempunyai banyak murid. Sebagaimana ditunjukkan
oleh al-Nadim dalam Fihrist, bahwa al-Razi kemudian menhjadi syekh dengan
kepala besar menyerupai karung; ia bisa dikelilingi oleh banyak murid. Jika
seseorang betanya tentang sesuatu, maka pertanyaan itu dilemparkannya kepada
lingkaran pertama untuk di jawab; bila tak ada dari mereka yang dapat menjawab,
kemudian diserahkan kepada lingkaran kedua, dan seterusnya sehingga sampai
kepada al-Razi sendiri biula semua telah gagal menjawsabnya. Dari para murid
itu, setidaknya satu di antaranya ada yang kita kenal, yaitu abu Bakr ibn Qarin
al-Razi yang menjadi dokter. Al-Razi adalah orang yang muerah hati, sayang
kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin, karena itu ia
memberikan pengobatan sepenuhnya kepada mereka tanpa meminta bayaran sedikit
pun, dan ia juga menggunakan perolehan-perolehan itu secara berkala untuk
mereka.
Jika tidak bersama murid dan pasiennya, ia selalu
menggunakan waktunya untuk menulis dan belajar. Mungkin inilah yang menyebabkan
penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya ia menjadi buta. Beberapa
orang mengatakan bahwa sebab-sebab kebutaannya adalah karena terlalu banyak
makan buncis (baqilah). Penyakitnya bermula dengan rabun dan akhirnya menjadi
buta sama sekali. Mereka mengatakan bahwa ia menolak diobati dengan mengatakan
bahwa ia sudah terlalu banyak melihat dunia, dan telah banyak menikmatinya.
Tetapi hal itu tampaknya lebih merupakan anekdot dariapda kenyataan sejarah.
Ketika salah seorang muridnya datang dari Tabaristan untuk mengobatinya, ia
menolak, tetapi sebagaimana kata al-Biruni, ia menolak diobati dengan
mengatakan bahwa pengobatan itu akan sia-sia belaka, karena sebentar lagi ia
akan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia pada 5 Sya’ban
313 H / 27 Oktober 925 M.
Sebagaimana disebut di atas, alRazi belajar ilmu
kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban al-Thabari. Ibn al-Nadim mengatakan bahwa ia
belajar filsafat kepada al-Balkhi. Menurut ibn al-Nadim, al-Balkhi adalah orang
yang banyak melakukan perjalanan, mengenai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.
Beberapa orang mengatakan bahwa al-Razi menghubungkan dengan dirinya sendiri
buku-buku filsafat al-Balkhi. Kita tak tahu lagi tentang al-Balkhi ini, bahwa
nama alengkapnya pun kita tak tahu.
Sebaliknya, lawan-lawan al-Razi, dikenal dengan baik,
mereka adalah sebagai berikut :
1, Abu
al-Qasim al-Balkhi, pemimpin kaum Mu’tazilah di Baghdad (tahun 319 H / 931 M)
yang hidup semasa dengan al-Razi, ia banyak menulis penolakan terhadap
buku-buku al-Razi, terutama buku ‘Ilm al-Iahi. Ia berbeda dengan al-Razi
terutama tentang waktu.
2. Syuhaid
ibn al-Husain al-Balkhi, dengannya al-Razi mempunyai banyak perbedaan, salah
satu dari perbedaan tersebut adalah teori tentang kesenangan. Teorinya tentang
kesenangan ini diterangkan dalam kitabnya Tafdhil Ladzdzat al-Nafs yang
disarikan kembali oleh abu Sulaiman al-Mantiqi al-Sajistani dalam Siwan al-Hikmah.
Al-balkhi meninggal sebelum tahun 319 H/ 940M.
3. Abu
Hatim/ 934 M) dan salah seorang ahli da’wah Isma’illiah terbesar. Ia menulis
perbedaan-perbedaannya dengan al-Razi dalam buku A’lam al-Nubuwwah. Kita patutu
berterima kasih kepada buku ini, karena berkat jasanya, pendapat-pendapat
al-Razi tentang kenabian dan agama dapat ikita nikmati.
4. ibn
Tammar, menurut Kraus, mungkin adalah abu Bakr Husain al-Tammar, tabib yang
mempunyai beberapa perbedaan dengan al-Razi sebagaimana dilaporkan oleh abu
Hatim al-Razi dalam A’lam al-Nubuwwah. Ibn al-Tammar menolak tulisan al-Razi
al-Tibb al-Ruhani dan al-Razi menjawab sanggahan ini. Sebenarnya, al-Razi
menulis dua sanggahan : (a) sanggahan terhadap penolakan al-Tammar atas Misma’i
tentang materil (b) Sanggahan terhadap pendapat al-Tammar tentang atmosfir
bawah tanah.
5. Mereka
yang kita kenal dari judul buku yang ditulis oleh al-Razi : (a) al-Misma’i,
seorang mutakallim yang menulis untuk menentang kaum materialis dan terhadap
mereka al-Razi menulis sebuah risalah, (b) Jarir, seorang dodkter yang berteori
tentang ‘makan mulberry hitam setelah
air labu; (c) al-Hasan ibn Mubarik al-Ummi, kepadanya al-Razi menulis dua buah
surat; (d) al-Kayyal, seorang Mutakallim, yang terhadap teorinya tentang Imam,
menulis sebuah kitab, (e) Mansur ibn Thalhah, yang menulis buku tentang
“Kemaujudan” yang ditolak oleh al-Razi; (f) Muhammad ibn al-Laith al-Rasa’ili
yang tulisannya terhadap ahli alkimia dijawab oleh al-Razi.
6.
Ahmad ibn al-Thayyib al-Sarakhsi (meninggal tahun 286 H/899 M), senior al-Razi
menolaknya atas masalah rasa pahit, Al-Razi juga menolak gurunya, yaitu Ya’qub
ibn Ishaq al-Kindim, yang menulis sanggahan terhadap ahli-ahli alkimia.
7. Akan
kita tambahkan lagi mereka yang tak dikenalyang telah ditolak pendapatnya oleh al-Razi
trutama dari kalangan Mu’tazikah dan Mutakallim lainnya.
B. KARYA-KARYANYA
Buku-buku
al-Razi sangat banyak, dia sendiri mempersiapkan katalog untuk buku-buku yang
ditulisnya, dan kemudian diproduksi oleh ibn al-Nadim. Yang kita temukan : 118
buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu maqalah jumlah seluruhnya 148 buah.
Setelah
ibn al-Nadim, al-Biruni menulis bibliografi al-Razi. Tulisan ini ditemukan di
dalam naskah unik di Leiden, yang disunting
oleh Paul Kraus, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh J. Ruska
dalam artikelnya : al-Biruni als Quelle fur das Leben und die Suchriften
al-Razi’s. Katalog ini didahului dengan catatan singkat tentang kehidupan
al-Razi. Buku-buku tersebut dikelompkkan sebagai berikut : (a) tentang ilmu kedokteran (buku
ke 1 – 56); (b) Ilmu fisika (57 – 89); (c) Logika (90-96); (d) matematika dan
astronomi (97-106) (e) Komentar, ringkasan dan ikhtisar (107-113); (f) filsafat
dan ilmu pengetahuan hipotesis (114-130); (g) metafisika (131-136); (h) teologi
(137-150); (i) alkimia (151-172); (j) tentang ateisme (173-174); (k) campuran
(175-184). Di dalam daftar al-Nadim dan al-Biruni terdapat judul-judul yang
dikenal dan yang kurang dikenal.
Ibn abi
Usaibi’ah (vol.I, Hal. 315-19) menyebutkan 236 karyanya, tetapi beberapa di
antaranya tidak jelas pengarangnya.
Judul-judul
lain diberikan oleh al-Biruni, al-Qifti, dan ibn abi Usaibi’ah yang dikumpulkan
oleh Dr. Mahmud al Najmabadi dalam bukunya : Syarh Muhammad ibn Zakariya, yang
diterbitkan pada tahun 1318 H/1900 N. Ia memberikan 250 judul,
Masih
terdapat naskah buku al-Razi, Brockelmann (Vol.I, hal 268-71, yang dilengakpi
dengan Vo. I, hal. 418-21) memberikan 59 judul lagi.
Tentang
buku-buku filsafat , di antaranya :
1. Al-tibb, al-Ruhani (Britis Musium,
Add. Or. 25758, Vat. Ar. 182 Kairo 2241 Tas).
2. Al-Shirat al-Falsafiyyah (Brit.
Mus. Add. Or. 7473).
3. Amarat Iqbal al-Daulah (Raghib
1463, ff,98.a-99b, Istanbul).
Ketiganya, itu diterbitkan oleh Paul Kraus : “Abi Bakr
Muhammadi Filu Zachariae,” Opera Philosophica, fragmentaque quae supersunt,
Cellegit et edidit Paulus Kraus. Pers Prio. Cahirae MCMXXXIX. Dalam edisi ini
Kraus juga menerbitkan kutipan-kutipan dari buku-buku berikut :
1,
Kitab al-Ladzdzah.
2.
Kitab al-Ilm al-Ilahi.
3.
Maqal.ah fi ma ba’d al-Tabi’ah
Karya terakhir ini adalah palsu, yang secara salah
dianggap sebagai naskah al-Razi (Istanbul, Raghib 1463, f. 90a-98b). Kraus juga
memberikan kutipan-kutipan dari pengarang lain tentang pendapat al-Razi
mengenai : (a) Lima keabadian (Tuhan,
Ruh, Semesta, materi pertama, ruang mutlak, dan waktu mutlak); (b) materi; (c)
waktu dan ruang; (d) ruh dan dunia. Pada akhir volume itu ia memberikan
ringkasan dari A’lam al-Nubuwwah-nya abu Hatim tentang kenabian, yang diikuti
oleh ringkasan dari Aqwal al-Dzahabiyyah-nya ‘Abdullah al-Kirmani tentang hal
serupa.
7. Di
samping buku ini dan ringkasan-ringkasan yang terkandung di dalam volume
pertama (hanya satu yang diterbitkan oleh Kraus), Kraus, dalam Orientalia,
menerbitkan pula ringkasan-ringkasan lain yang berkaitan dengan pendapat
al-Razi tentang kenabian (Vol; V, Fasc.3/4, Roma, 1936).
8.
Al-Syukuk ‘ala Proclus, disiapkan oleh Kraus untuk disunting, dan ditemukan di
antara kertas-kertas yang ditinggalkan setela ia bunuh diri.
Tidak ada buku-buku filsafat tersebut yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin. Seluruh karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
itu adalah kerya-karyanya tentang ilmu kedokteran dan alkimia.
C. FILSAFATNYA
1. Metode
Al-Razi
adalah seorang rasionalis murni. Ia mempercayai banyak akal. Do bidang
kedokteran, studi klinis yang dilakukannya telah menghasilkan metode yang kuat
tentang penemuan yang berpijak pada observasi dan eksperimen. Dalam Kitab
al-Faraj ba’d al-Syiddah-nya al-Tanukhi
(meninggal 384 H/994 M), dan Chahar Maqalah-nya Nizami ‘Arudi Samarqandi yang ditulis sekitara tahun 550 H/1155 M,
kita dapati kasus-kasu yang dilakukan oleh al-Razi, di mana ia menunjukkan
meteode penemuan klinis yang sangat baik. E.G. Browne, dalam Arabian
Medicinetelah menerjemahkan satu halaman yang meungkin diambil dari Hawi, sebuah naskah yang ditulis oleh al-Razi
yang menunjukkan metode ini. Bunyi terjemahannya itu, sebagai berikut :
Pemujaan al-Razi terhadap akal tampak
sangat jelas pada halaman pertama dari bukunya al-Tibb al-Ruhani. Ia mengatakan
: “Tuhan, segala puji bagi-Nya, Yang telah memberi ikita akal agar dengannya
kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; ini lah karunia terbaik Tuhan
kepada kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kitadan yang
membuat hidup kita baik – dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang sembunyi dari
kita . . . . . . dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang
Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh ....... Jika akal
sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak
boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia
adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah; tetapi kita
harus menurujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala hal masalah
dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya.”
Bahkan
pikiran paling rasionbal pula tak akan memuji sejelas dan setinggi itu. Tiada
tempat bagi wahyu atau intuisi mistis. Hanya akal logislah yang merupakan
kriteria tunggal pengetahuan dan perilaku. Tak ada kekuatan irasional dapat
dikerahkan. Al-Razi menentang kenabian, wahyu, kecenderungan berfikir
irasional.
Manusia
lahir dengan kemamuan yang sama untuk meraih pengetahuan. Hanya melalui
pemupukan kemampuan inilah, manusia menjadi berbeda, ada yang menggunakannya
untuk spekulasi dan belajar, ada yang mengabaikannya, atau mengarahkannya untuk
kehidupan praktis.
2. Metafisika/
Untuk
memulai menerangkan metafisika al-Razi, pertama harus memlalui risalah kecil
tentang-nya : Maqalah li Abi Bakr Muhammad Ibn Zakariya al-Razi fi ma ba’d al
Tabi’ah (Raghib MS. No. 1463, ff. 90a-98b, di Istanbul). Banyak keraguan
tentang tulisan ini, karena isinya tidak menyetujui sepenuhnya ajaran al-Razi.
Hal ini, sebagaimana dugaan Pines, mungkin dikarenakan mengikuti periode lain
perkembangan pemikiran al-Razi, atau ini mungkin hanya berisi kutipan historis
yang sistimatis dari gagasan-gagasan orang lain tanpa mengutip pemiliknya, atau
barangkali sama sekali bukan tulisan al-Razi.
Betapapun,
pokok-pokok karangan itu ialah :
(1) alam, (2) janin dan (3) kekekalan
gerak. Ia menolak mereka yang berpendapat bahwa alam adalah prinsip gerak,
terutama Aristoteles dan para pengulasnya : Jihn Porphyry, pertama ia menolak
ketidakperluan membuktikan keberadaan alam, karena ia tak terbukti dengan sendirinya. Bila alam
itu satu dan sama, maka kenapa ia dapat menimbulkan berbagai akibat pada batu
dan manusia? Jika alam menimbulkan tubuh, bukankah ini berarti bahwa dua benda
dapat mempunyai satu tempat yang sama? Mengapa pengikut-pengikut pendapat itu
mengatakan bahwa alam itu mati, tak dapat dirasakan, lemah, bodoh, terkekang,
dan pada saat yang sama mereka menganggap bahwa alam mempunyai nilai yang sama
dengan Tuhan? Menolak Porphyry, pengarang mengatakan : Anda setuju bahwa
adanya alam karena adanya sesuatu, bukan kebetulan belaka; kemudian mengapa
Anda mengatakan bahwa alam itu mati dan bukannya suatu agen hidup.
Tapaknya pengarang ingin menolak semua ajaran yang
beranggapan alam adalah prinsip gerak dan penciptaan, dengan menunjukkan
kontradiksi-kontadiksi ajaran-ajaran itu. Ia berpendapat bahwa tidak ada tempat
bagi mengakui alam sebagai prinsip aksi dan gerak. Tetapi ia tidak menentukan
sikapnya; risalah pendek yang disusunnya itu bersifat bersifat negatif dan
destruktif.
Mengenai kekekalan gerak dan waktu, pengarang membahas terutama
pendapat-pendapat Aristoteles dan Proclus. Ia menunjukkan penolakannya terhadap
Proclus. Kita tahu bahwa al-Razi pernah menulis risalah berjudul “Kesangsian
terhadap Proclus”, dan Kraus beranggapan bahwa ini merupakan alasan tentang
keaslian karangan ini sebagai tulisan al-Razi, tetapi kami berpendapat bahwa
ini merupakan alasan yang lemah, karena karya Proclus de aetermitate banyak
dibahas oleh pemikir-pemikir Arab setelah diterjemahkan oleh Ishaq ibn Hunain.
Menurut pengarang, waktu
itu terbatas, dan tidak kekal, dunia juga terbatas hanya ada satu dunia, dan di
luar dunia yang satu ini tidak maujud sesuatu pun (kecuali Tuhan). Di
sini dia mengambil pendapat-pendapat Metrodorus dan Seleucus dari Placita
Philosophorum-nya pseudo Plutarch.
Kecenderungan
umum risalah ini bersifat polemis dan dialektis. Ia tak dapat dirujukkan dengan
pendapat-pendapat al-Razi tentang waktu, ruang dan Tuhan. Karena itu, kita
berpendapat bahwa tulisan tersebut adalah palsu dan tak dapat dikatakan sebagai
tahapan lain perkembangan jiwa al-Razi.
Doktrin sejati al-Razi dapat dicari dalam buku-nya Kitab
al-Ilm al-Ilahi. Tetapi sayang, karya itu hilang dan kita hanya memiliki
bantahan-bantahan dari beberapa bagian halaman yang dikumpulkan oleh Kraus.
Kita bahkan tidak memiliki bagian-bagian naskah karya al-Razi. Dengan sebuah
kritik lawan, tak bisa berbuat lain kecuali puas dengan bantahan-bantahan
tersebut. Apa yang dapat kita simpulan dari sini adalah bahwa al-Razi menulis
dalam buku ini tentang : ruang, kehampaan waktu, materi, perpidnahan jiwa,
kenabian, kebahagiaan, dan Manichaeisme.
Filsafata al-Razi terutama diwarnai oleh Doktrinnya
tentang Lima Kekekalan. Al-Biruni mengatakan bahwa “Muhammad ibn Zakaria al-Razi telah melaporkan
kekekalan lima hal dari Yunani kuno, yaitu : Tuhan, Ruh Universal, materi
pertama, ruang mutlak, dan waktu mutlak, kelima hal ini menjadi landasan
ajarannya. Tetapai ia membedakan antara waktu dan keberlangsungan dengan
mengatakan bahwa angka berlaku bagi satu dan bukan yang lain, karena
keterbatasan berkaitan dengan keangkaan, karena itu para filosof mendefinisikan waktu
sebagai keberlangsungan yang berawal dan berakhir, sedangkan keberlangssungan
(dahr) tidak berawal dan tidak berakhir. Dia juga mengatakan bahwa dalam Kemaujudan lima hal
berikut adalah perlu : kesadaran bahwa
materi terbentuk oleh susunan; ia berkaitan dengan ruang, karena itu harus ada
ruang (tempat), pergantian bentuknya merupakan kekhasan waktu, karena ada yang
dahulu dan ada yang berikut, dan karena waktu, maka ada kekunoan dan kebaruan,
ada kelebih tuaan dan ke lebuhmudaan; karenanya waktu itu perlu. Dalam Kemaujudan,
terdapat kehidupan, karena itu mesti ada ruh? Dan hal ini; mesti ada yang
dimengerti dan hukum yang mengaturnya haruslah sepenuhnya sempurna; karena itu,
dalam kenyataan ini, harus ada pencipta, yang bijaksana, mahatahu, melakukan
segala seuatu sesempurna mungkin, dan memberikan akal sebagai bekal mencari
keselamatan.”
Dua dari lima kekekalan itu, hidup dan bergerak : Tuhan
dan ruh; yang pasif dan tidak hidup; materi pembentuk setiap wujud; dan dua
lagi tidak hidup, tidak bergerakm dan tidak pasif : kehampaan dan
keberlangsungan. Kadang kita mendapatkan kehampaan (khala’) di samping ruang
(makan), dan keberlangsungan dalam pengertian yang terbatas (muddah).
Ajaran ini di dalam beberapa sumber (al-Fakhr al-Razi,
al-Syahrastani, Nasir al-Din al-Tusi)m, dianggap sebagai berasal dari apa yang
disebut Harraniyyah. Siapakah Hraniyyah? Kata ini berasal dari Harran, sebuah
kota terkenal di Sabian dan merupakan pusat studi menjelang Islam dan empat
abad pertama pada masa Islam. Masignon menduga bahwa Harraniyyah adalah orang
yang hanya terdapat dalam khayalan, karena apa yang kita peroleh tentang mereka
dalam sumber-sumber yang ada hanya sekedar tulisan romantis. Krakaus juga
berpendapat serupa, dan ia memberikan alasan-alasan sebagai berikut : (a)
sebelum al-Razi tidak kita dapatkan seorang pun menganggap doktrin lima
kekekalan itu berasal dari Harraniyyah; (b) dalam bukunbya ‘Ilm al-Ilahi,
al-Razi menjelaskan doktrin Harraniyyah dari Sabian itu beserta doktrin lima
kekekalan. Tetapi kemudian Kraus memberikan alasan ke tiga yang sangat bertentangan dengan keuda bukti
tersebut, yaitu : al-Biruni, al-Marzuki, al-Katibi, dan al-Tusi mengatakan
bahwa al-Razi menulis kembali doktrin ini dari Yunani kuno, yaitu dari
filosof-filosof Yunani awal, terutama Pythagoras, Demokritus, dan sebagainya.
Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa al-Razi mengambil sumber ajarannya itu
dari aliran pemikiran khayali Harraniyyah, padahal ia sendiri mengatakan secara
jelas dalam ‘Ilm al-Ilahi, bahwa ajaran itu berasal dari filosof-filosof Yunani
awal? Ia tidak perlu mencari pembenaran dari Harraniyyah ketika ia mentakan
bahwa ajaran itu berasal dari para filosof Yunani awal. Dengan alasan ini maka
tidak kita terima pendapat Massignon, atau pun bukti-bukti dari Kraus yang
sangat lemah itu. Pendapat yang menyamakan gagasan-gagasan al-Razi dengan suatu
sumber lain yang menyutakan gagasan-gagasan itu berasal dari Harrniyyah, tidak
dapat diterima, kecuali hal ini dinyatakan dalam sumber itu sendiri.
Berikut ini akan kita bahas Lima Kekekalan.
(i) Tuhan.
Kebijakan Tuhan
itu sempurna. Ketidak sengajaan tidak dapat disifatkan kepada-Nya. Kehidupan
berasal dari-Nya sebagaimana sinar datang dari matahari. Ia mempunyai Kepandaian
sempurna dan murni. Kehidupan ini mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan segala
sesuatu, tiada bisa menandingi-Nya, dan tak sesuatu pun dapat menolak
kehendak-Nya. Tuhan mengetahui sepenuhnya segala sesuatu. Tetapi ruh hanya mengetahui apa yang berasal dari pengalaman.
Tuhan mengetahui bahwa ruh cenderung kepada materi dan membutuhkan kesenangan
bendawi, kemudian ruh mengikatkan dirinya pada materi; Tuhan dengan
kebijakan-Nya mengatur ikatan tersebut supaya dapat tercapai jalan paling
sempurna. Setelah itu Tuhan memberikan kepandaian dan kemampuan pengamatan
kepada ruh. Inilah sebanya kenapa ruh mengingat dunia nyatanya, dan mengetahui
bahwa selama ia berada di dunia benda, ia tak kan pernah bebas dari rasa sakit,
jika ruh mengetahui hal itu, dan juga mengetahui bahwa di dunia nyata ia akan
mempunyai kebahagiaan ranpa rasa sakit, maka ia menghasratkan dunia itu, dan
begitu ia terpisah dari materi, maka ia akan tinggal di sana untuk selamanya
dengan penuh bahagia.
Dengan begitu, seluruh
keraguan tentang kekekalan dunia dan maujudnya kejahatan dapat dihilangkan.
Bila kita mengakui adanya kebijakan Sang Pencipta, maka kita harus mengakui
pula bahwa dunia ini diciptakan.
Bila orang bertanya kenapa
dunia diciptakan pada saat ini atau itu, kita jawab karena ruh mengikatkan dirinya pada materi pada
saat itu. Tuhan tahu bahwa pengikatan ini merupakan sebab kejahatan , tetapi
setelah hal itu terjadi, Tuhan mengarahkannya ke jalan yang sebaik mungkin.
Akan tetapi beberapa kejahatan tetap ada; sumber seluruh kejahatan, susunan ruh
dan materi ini sepenuhnya tak dapat dimurnikan.
(ii)
Ruh
Menurut
al-Razi, tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan apa pun, tetapi Ia
memutuskan untuk menciptakannya setelah pada mulanya tidak berkehendak
menciptakannya. Siapakah yang membuat-Nya melakukam yang demikian itu? Harus
ada keabadian lain yang membuat Ia melakukan hal ini.
Keabadian
lain ini iala ruh yang
hidup, tetapi ia bodoh. Materi, juga kekal. Karena kebodohannya, ruh mencintai
materi dan membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagiaan bendawi. Tetapi
materi menolak; sehingga Tuhan campur-tangan untuk membantu ruh. Bantuan
inilah, Tuhan membuat dunia dan menciptakan di dalamnya bentuk-bentuk yang
kuat, yang di dalamnya ruh dapat memperoleh kebahagiaan jasmani. Kemudian Tuhan
menciptakan manusia dan dari zat ketuhanan-Nya. Ia menciptakan intelegensi
manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukkan kepadanya bahwa dunia ini bukanlah
dunia sejatinya.
Tetapi manusia tidak dapat mencapai dunia
sejati kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui
dunia sejatinya dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya.
Ruh-ruh tetap berada di dunia ini sampai mereka disadarkan oleh filsafat akan
rahasia dirinya dan diarahkan kepada dunia sejati.
(iii) Materi
Kemutlakan
materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom mempunyai volume; kalau
tidak maka dengan pengumpulan ataom-atom itu, tiada dapat dibentuk. Bila dunia
dihancurkan maka ia terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian,
materi berasal dari kekelan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasa
dari ketiadaan.
Apa yang lebih padat menjadi unsur
bumi, apa yang lebih ringan daripada unsur bumi menjadi unsir air, apa yang
lebih renggang lagi menjadi unsur udara,
dan yang jauh lebih jarang menjadi unsur api.
Wujud
lingkungan juga terdiri atas partikel-partikel materi, tetapi susunannya
berbeda dengan susunan wujud lain. Buktinya gerak lingkungan tidak menuju ke
pusat dunia, tetapi ke garis kelilingnya. Wujud ini tidak begitu padat, sebagai
mana bumi, tidak begitu renggang sebagaimana api atau air.
Kualitas-kualitas
seperti berat, ringan, gelap, terang dapat dijelaskan dengan kelebihan atau
kekurang hampaan yang ada dalam materi. Kualitas adalah suatu kejadian yang
disebabkan oleh unsur wujud, dan unsur wujud adalah materi.
Al-Razi
memberikan dua bukti untuk memperkuat pandangannya tentang kekekalan materi.
Pertama, penciptaan adalah bukti dengan demikian mesti ada Pencipta. Apa yang
diciptakan itu ialah materi yang terbentuk. Tetapi, mengapa kita membuktikan
bahwa Pencipta ada terlebih dahulu dari yang dicipta? Dan bukannya yang
diciptakan itu yang lebih dahulu ada? Bila benar bahwa wujud tercipta (atau
lebih tepat; dibuat (masnu) dan sesuatu dengan kekuatan agen, maka kita dapat
mengatakan apabila agen ini kekal dan tak dapat diubah dengan kehendak-Nya,
maka yang menerima tindak kekuatan ini tentu kekal sebelum ia menerima tindak
tersebut. Penerimanya adalah materi. Jadi materi itu kekal.
Bukti kedua berlandaskan
ketidakmungkinan penciptaan dari ketiadaan. Penciptaan, dari ketiadaan.
Penciptaan, katakanlah, yang membuat sesuatu dari ketiadaan, lebih muda
daripada menyusunnya. Diciptakannya manusia oleh Tuhan dalam
sekejap lebih mudah daripada menyusun mereka dalam empat puluh tahun. Inilah
premis pertama. Pencipta yang bijak tidak lebih menghendaki melaksanakan apa
yang lebih jauh dari tujuan-Nya daripada yang lebih dekat , kecuali apabila Dia
tidak mampu melakukan apa yang lebih mnudah dan lebih dekat. Ini adalah premis
kedua. Kesimpulan dari premis-premis ini adalah bahwa keberadaan segala sesuatu
pasti disebabkan oleh Pencipta dunia lewat penciptaan dan bukan lewat
penyusunan. Tetapi apa yang kita lihat terbukti sebaliknya. Segala seuatu di
dunia ini dihasilkan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Bila demikian
maka, Ia tidak mampu menciptakan dari ketiadaan, dan dunia ini mewujud melalui
susunan sesuatu yang asalnya adalah materi.
Al-Razi
menambahkan bahwa indikasi alam semesta membuktikan hal ini. Bila tiada sesuatu
pun mewujud di dunia ini kecuali sessuatu yang lain, maka berarti alam ini dibuat
dari sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain ini adalah materi. Karenanya
materi itu kekal; pada dasarnya ia bukan tersusun tetapi tersendiri.
(iv) Ruang
Sebagaimana
telah dibuktikan bahwa materi itu kekal, dan karena materi menempati ruang,
maka ada ruang yang kekal. Alasan ini hampir serupa dengan alasan
al-Iransyahri. Teapi al-Iransyahri mengatakan bahwa ruang merupakan kekuasaan
nyata Tuhan. Al-Razi tak mengikuti definisi yang kabur dari gurunya. Bagi dia,
ruang adalah tempat keberadaan materi.
Al-Razi
membedakan ruang menjadi dua macam : ruang universal atau mutlak, dan ruang
tertentu atau relatif. Yang pertama tak terbatas, dan tidak tergantung kepada
dunia dan segala yang ada di dalamnya.
Kehampaan
ada di dalam ruang, dan karenanya, ia berada di dalam materi. Sebagai bukti
dari ketidakterbatasan ruang, al-Iransyahri dan al-Razi mengatakan, bahwa wujud
yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, meski ruang bisa
maujud tanpa adanya wujjud tersebut. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang.
Yang berisi keduanya yaitu wujud, atau bukan wujud. Bila wujud, maka ia harus
berada di dalam ruang, bila tiada ruang, maka ia adalah wujud dan terbatas.
Bila bukan wujud berarti ruang. Karenanya, ruang itu tidak terbatas. Bila orang
berkata bahwa ruang mutlak ini terbatas, maka ini berarti bahwa batasnya adalah
wujud. Karena setiap wujud itu berbatas, sedang setiap wujud berada di dalam
ruang, maka ruang bagaimana pun tak terbatas. Yang tak terbatas itu adalah
kekal, karenanya ruang itu kekal.
Kehampaan mempunyai kekuatan menarik
wujud-wujud, karenanya, air tetap berada di dalam botol yang dimasukkan ke
dalam air, meskipun botol tersebut terbuka dan terbalik.
(v) Waktu
Menurut al-Razi, waktu itu kekal. Ia merupakan
substansi yagn mengalir (jauhar yajri). Al-Razi menantang mereka (Aristoteles
dan pengikut-pengikutnya) yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak
benda, karena jika demikian, maka tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak
untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.
Al-Razi
membagi waktu menjadi dua macam, yaitu : waktu mutlak dan waktu terbatas
(mahsur). Waktu mutlak adalah keberlangsungan (al-Dahr). Ia kekal dan bergerak.
Sedangkan waktu terbatas adalah gerak lingkungan-lingkungan, matahari dan
bintang-bintang. Bila Anda berpikir tentang gerak keberlangsungan, maka Anda
dapat membayangkan waktu mutlak, dan ia itu kekal. Jika Anda membayangkan gerak
bola bumi, berarti Anda membayangkan waktu terbatas.
D.
TEOLOGI
Al-Razi
adalah seorang yang bertuhan, tetapi ia tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Kita
batasi diri kita dengan memberikan ringkasan gagasan-gagasan pokoknya.
Al-Razi
membantah kenabian dengan alasan-alasan berikut :
1. Akal sudah memadai untuk membedakan
antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Dengan akal
semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Lalu
kenapa dibutuhkan nabi?
2. Tiada pembenaran bagi pengistimewaan
beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan
kecerdasan yang sama; perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi
karena pengembangan dan pendidikan.
3. Para nabi saling bertentangan. Bila mereka
berbicara atas nama satu Tuhan yang sama, mengapa terdapat pertentangan?
Setelahj
menolak kenabian, al-Razi lalu mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan
kontradiksi-kontradisksi kaum Yahudi, Kristen, Mani dan Majusi. Ia memberikan
alasan berikut untuk pengikatan manusia kepada agama :
a. Meniru dan kebiasaan.
b. Kekuasaan ulama yang mengabdi negara
c. Manifestasi lahiriah agama,
upacara-upacara dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan
naif.
Ia menunjukkan
kontradiksi-kontradiksi antar agama secara terinci.
Al-Razi
mengkritik secara sistimatik kitab-kitab wahyu Al-Qur’an dan Injil. Ia mencoba
mengkritik yang satu dengan menggunakan yang lainnya; misal, ia mengkritik
agama Yahudi dengan paham-paham mani. Kristen dengan Islam; dan kemudian ia
mengkritik al-Quran dengan Injil.
Ia terutama
menolak mu’jizat Al-Quran, baik karena gayanya maupun isinya dan menegaskan
bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik.
Ia lebih menyukai buku-bku ilmiah daripada kitab-kitab
suci, sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada
kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih
berguna daripada Injil dan Al-Quran. Penulis-penulis buku-buku ilmiah ini telah
menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka sendiri tanpa
bantuan para nabi. Ilmu pengetahuan berasal dari tiga sumber; pemikiran, yang
didasarkan pada logika; tradisi dari para pendahulu kepada para pengganti yang
didasarkan pada bukti meyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah dan naluri
yang menuntuk manusia tanpa melalui banyak pemikiran.
Setelah mengkritk; ia
mengatakan bahwa tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para Nabi, karena
mereka melakukan banyak kemudharatan . setiap bangsa percaya hanya kepada para
nabinya, dan menolak keras yang lain,
yang mengakibatkan terjadinya banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar
bangsa yang memeluk berbagai agama berbeda.
Gagasan-gagasan al-Razi
ini sangat berani. Tak seorang pemikir Muslim lain pun seberani dia.
E.
FILSAFAT MORAL
Filsafat
moral al-Razi terdapat hanya dalam karyanya : al-Tibb al-Ruhani dan al-Shirat
al-Falsafiyyah. Karya yang kedua ini merupakan pembenar perihidupnya dari sudut
pandang filsafat, sebab ia dicela oleh beberapa orang lantaran ia tidak
sebagaimana gurunya, Socrates. Ia berpendapat bahwa seorang filosof harus moderat – tidak terlalu
menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu. Ada dua batas dalam hidup
ini : batas tertinggi dan batas terendah. Batas tertinggi adalah batas yang
tidak boleh dilampaui oleh para filosof, yaitu berpantang dari kesenangan yang
dapat diperoleh hanya dengan melakukan ketidakadilan dan melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan akal. Sedang batas terendah ialah memakan sesuatu yang
tidak membahayakan atau menyebabkan sakit dan memakai pakaian yang cukup untuk
melindungi kulitnya, dan sebagainya. Di antara kedua batas itu, orang dapat
hidup tanpa ketakterlayakan.
Al-Razi
menyatakan bahwa dalam hidupnya ia tak pernah melanggar kedua batas ini. Ia tidak
mengabdi suatu kerajaan, sebai menteri atau militer, tetapi sebagai dokter dan
penasihat. Ia tidak rakus dan tidak bermusuhan dengan orang lain, sebaliknya ia
sangat tenggang rasa terhadap hak-haknya sendiri. Ia tidak pernah minum, makan
dan hidup berlebihan. Cintanya kepada ilmu pengetahuan dan belajar, diketahui
semua orang. Dari sudut pandang teori, karya-karyanya membuat ia disebut
sebagai filosof.
Dalam al-Tibb
al-Ruhani, ia membahas, dalam dua puluh bab, masalah-masalah pokok etika. Ia ingin
menjelaskan apakah keburukan itu, dan bagaimana cara menghindarinya.
Ia membuka
dengan memuji akal, sebagaimana telah kita ketahui di atas. Kemudian dalam
medius res, ia bertanya tentang hawa nafsu. Ia berkata bahwa manusia harus
mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang
dikemukakan oleh Plato tentang tiga aspek jiwa : nalar, kebengkangan, dan
hasrat; dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
Perlulah
bagi manusia mengetahui kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian ia dapat
meminta seorang kawan yang bernalar untuk mengtakan kekurang-kekurangannya. Ia harus
mengetahui perihal orang lain, tetangga, teman yang berpikir tentang dirinya. Di
sini al-Razi bertumpu pada tulisan Galen : “Perihal Mengetahui Kekurangan-Kekurangan Diri Sendiri.”,
dan “Bagaimana Para Bijak Memperoleh Manfaat Musuh Mereka.”
Inilah isi
dari bab-bab permulaan. Pada bab lima, ia menjelaskan teorinya tentang kesenangan, suatu teori yang ia bahas lagi
dalam sebuah surat khusus. Baginya, kebahagiaan tidak lain adalah kembalinya apa yang telah tersingkir
oleh kemudharatan, misal : orang yang meninggaikan tempat yang teduh menuju ke tempat yang penuh
sinar matahari dan panas, akan senang ketika kembali ke tempat teduh tadi. Dengan
alasan ini, kata al-Razi, para filosof alami mendefinisikan kebahagiian sebagai
kembali kepada alam.
Al-Razi
mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada ahawa nafsu. Ia
juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal itu menghalangi orang dari
belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan
kekikiran dan ketamakan. Orang
yang irihati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu
kebaikan, meski tak keburukan pun menimpa dirinya. Bila keburukan menimpa
dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirihatian tetapi juga permusuhan. Bila orang
menyenangkan dirinya dengan yang dibutuhkannya, maka di dalam jiwanya tiada
tempat bagi keirihatian.
Kemarahan muncul dalam diri binatang agar
mereka dapat melakukan pembelaan terhadap bahaya yang mengancam. Bila berlebihan,
hal itu berbahaya sekali bagi mereka.
Dusta adalah
suatu kebiasaan buruk. Dusta dibagi menjadi dua : untuk kebaikan dan untuk
kejahatan. Bila dusta dilakukan untuk kebaikan, maka hal itu terpuji; tetapi
sebaliknya, apabila untuk kejahatan hal itu tercela. Oleh karena itu, nilai
dusta terletak pada niat.
Sifat kikir
tidak dapat ditolak sepenuhnya. Nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila
kekikiran tersebut disebabkan oleh rasa takut menjadi miskin dan rasa takut
akan masa depan, maka ini tidaklah buruk. Tetapi bila hal ini dilakukan sekedar
ingin memperoleh kesenangan, maka hal ini adalah buruk. Oleh karena itu, harus
ada pembenaran terhadap kekikiran seseorang bila hal itu mempunyai alasan yang
dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan, tetapi jika sebaliknya, maka ini
harus diperangi.
Kekhawatiran,
bila berlebihan, maka tidak baik, sebab
keberlebihannya, tanpa alasan yang baik dapat menyebabkan terjadinmya
halusinasi, melankolik dan kelayuan dini.
Tamak adalah
suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk
menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga.
Persetubuhan,
bila berlebihan, tidak baik bagi tubuh; ia mempercepat proses ketuaan, menjadikan
lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya. Sebaliknya hal itu
dilakukan sesedikit mungkin, karena bila dilakukan berlebihan menyebabkan lebih
banyak akibat yang buruk.
Sifat sembrono,
dalam banyak hal juga mencelakakan. Mencari
harta benda adalah baik bagi kehidupan hanya bila secukupnya. Tak perlu
memburu-buru kekayan yang melebihi kebutuhan kecuali sedikit simpanan untuk
keperluan mendadak dan untuk keadaan buruk di masa mendatang.
Ambisi bisa menyebabkan berbagai keanehan
dan bencana. Adalah sangat baik bila kita dapat memperoleh kedudukan lebih
tinggi tanpa melalui berbagai keanehan dan hal-hal yang membahayakan; lebih
baik meninggalkan atau menghindarinya.
Pada bab
terakhir, ia menulis tema yang paling sesuai dala pemikiran Hellenistis dan
abad pertengahan awal yaitu tentang takut mati. Di sini, al-Razi mencukupkan
dirinya dengan pendapat orang-orang yang berpendirian bahwa bila tubuh hancur,
maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatu pun terjadi pada manusia,
karena ia tak merasakan apa-apa lagi. Selama hidupnya, manusia selalu merasa
sakit, tetapi setelah mati, ia tidak akan merasa sakit selamanya. Sebaiknya orang
yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati, karena bila mempercayai
kehidupan lain, maka ia tentu gembira, karena melalui mati ia pergi ke dunia
lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa tiada sesuatu pun setelah mati,
maka ia tak perlu cemas. Betapap pun orang tidak perlu merasa cemas akan
kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.
F.
KESIMPULAN
Al-Razi
tiak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya, ia
mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam Islam, dan
mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia.
Ia adalah
seorang rasionalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala
prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasan-gagasannya tanpa tedeng
aling-aling.
Ia mempercayai
manusia, kemajuan, Tuhan Mahabijak, tetapi ia tidak mempercauai agama mana pun.
T a m a t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar