“Al-KINDI”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of
Muslim Philosophy,
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting
: Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno
DATRA
ISI
A.
MASA HIDUPNYA
B.
KARYA KARYANYA
C.
FILSAFATNYA
D.
KESELARASAN FILSAFAT DAN AGAMA
E.
TUHAN
F.
KETERHITUNGAN
G.
RUH DAN AKAL
A. MASA
HIDUPNYA
Al-Kindi
(185 H/801M – 260 H/873 M) adalah filosof Muslim pertama. Pengetahuan filsafat
pada abad ke-2 H/ke-8 M berada di tangan orang-orang Kristen Syria, yang
terutama para dokter. Mereka mulai menerjemahkan karya-karya berbahasa Yunani
ke dalam Baha Arab atas dorongan Khalifah. Sebagai Muslim Arab pertama yang
mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat, al-Kindi patut disebut “Ahli
Filsafat Arab.”
Nama
lengkap al-Kindi adalah : Abu Yusuf
Ya’qub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash’ats bin Qais al-Kindi.
Kindah adalah salah satu suku Arab besar pra Islam. Kakeknya, al-Ash’ats ibn
Qais, memeluk Islam dan dianggap sebagai salahs eorang sahabat Nabi saw.
Al-Ash’ats bersama beberapa perintis Muslim pergi ke Kufah, Ishhaq al-Sabbahm menjadi
Gubernur Kufah selama kekhalifahan Abbasiyah al-Mahdi dan al-Rasyid.
Kemungkinan besar al-Kindi lahir pada tahun 185 H/801 M, sekitar saru dasa
warsa sebelum Khalifah al-Rasyid meninggal.
Kufah
dan Basrah, apda abad ke 2 H/ ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 merupakan dua pusat
kebudayaan Islam yang bersaingan. Kufah lebih cenderung kepada studi-studi
aqliah; dan dalam lingkungan intelektual al-Kindi melewatkan masa
kanak-kanaknya. Dia menghapal Al-Quran. Mempelajari tata bahasa Arab,
kesustraan dan ilmu hitung, yang kesemuanya itu merupakan kurikulum bagi semua
anak Muslim. Ia kemudian mempelajari fiqh dan disiplin baru yang disebut Kalam.
Tetapi tampaknyan ia lebih tertarik
kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang kepada keduanya ia mengabdikan
seluruh sisa hidupnya, terutama setelah ia pindah ke Baghdad. Pengetahuan
lengkap tentqang ilmu dan filsafat Yunani bisa diperoleh dengan menguasai dua
bahasa Yunani dan Syria, yang ke dalam bahasa Syria-lah telah banyak karya
Yunani diterjemahkan. Al-Kindi mempelajari bahasa Yunani, tetapi ia menguasai
bahasa Syria, yang dengannya ia menerjemahkan beberapa karya. Ia juga
memperbaiki beberapa terjemahan bahasa Arab, seperti terjemahan Enneads-nya
Plotinus oleh al-Himsi, yang sampai kepada orang-orang Arab sebagai salah satu
karya Aristoteles. Al-Qifti, sang penulis biografi, mengatakan bahwa “al-Kindi
menerjemahkan banyak buku filsafat, menjelaskan hal-hal yang pelik, dan
menyaripatikan teori-teori canggih filsafat.
Di
Baghdad ia berkenalan dengan al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan putra al Mu’tasin, yang
kepadanya ia mempersembahkan karya-karya pentingnya. Ibn Nabatah berkata :
“Al-Kindi dan karyakaryanya telah menghiasi kerajaan al-Mu;tasim.” Ia juga jaya di masa
pemerintahan al-Mutawakkil (232 – 247 H/847 -861M). Sebuah ] kisah oleh Ibn Abu
Usaibi’ah menceritakan kemsyhuran perpustakaan pribadinya. Kisah itu sepenuhnya
demikian : “Muhammad dan Ahmad, dua putra Musa ibn Syir, yang bersekongkol
untuk memusuhi orang yang maju dalam ilmu pengetahuan, mengutus Sanad ibn Ali
ke Baghdad untuk memisahkan al-Kindi dari al-Mutawakkil. Persekongkolan mereka
berhasil, sehingga al-Mutawakkil memerintahkan agar al-Kindi dirangket.
Perpustakaannya disita, dipencilkan,d an disegel dengan nama “Perpustakaan
al-Kindi.”
Kemasyhuran
al-Kindi akan kekikirannya sama dengan kemasyhurannya akan pengtehauannya.
Keburukan al-Kindi ini digambarkan dalam karikatur al-Jahiz dalam bukunya Kitab
al-Bukhala. Betapapun, al-Kindi hidup mewah di sebuah rumah, yang di dalam
kebun rumahnya, ia banyak memelihara banyak binatang langka. Ia hidup menjauh
dari masyarakat, bahkan dari tetangga-tetangganya. Sebuah kisah menarik oleh
al-Qifti memaparkan bahwa al-Kindi bertetaangga dengan seorang saudagar kaya,
yang tak pernah tahu bahwa al-Kindi adalah seorang tabbn ahli. Ketika anak sang
saudagar tiba-tiba lumpuh, dan tak seorang pun tabib di Baghdad mampu
menyembuhkannya, seseorang memberi tahu sang saudagar bahwa ia bertetangga
dengan filosof tercemerlang, yang amatpandai mengobati penyakit seperti itu.
Al-Kindi mengobati anak yang sakit lumpuh itu dengan musik.
B.
KARYA-KARYANYA
Sebagian
besar karya al-Kindi (berjumlah sekitar 270 buah) hilang. Ibn al-Nadim dan yang
mengikutinya, al-Qifti, mengelompokkan tulisan-tulisan al-Kindi, yang
kebanyakan berupa risalah-risalah pendek, menjadi tujubelas kelompok : (1)
filsafat (2) logika, (3) ilmu hitung, (4) globular, (5) musik, (6) astronomi,
(7) geometri, (8) sperikal, (9) medis, (10) astrologi, (11) dialektika, (12)
psikologi, (13) politik, (14) meteorologi, (15) dimensi, (16) benda-benda
pertama, (17) spesies tertentu logam dan kimia, dan lain-lain.
Gambaran
ini menunjukkan betapa luas pengetahuan al-Kindi. Beberapa karya ilmiahnya
telah diterjemahkan oleh Gerard dari Cremona ke dalam bahasa Latin, dan
karya-karya itu sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan.
Cardona menganggap al-Kindi sebagai salah satu dari dua belas pemikir terbesar.
Sarjana-sarjana
yang mempelajari al-Kindi, sampai risalah-risalah al-Kindi yang berbahasa Arab
ditemukan dan disunting, semata berdasarkan terjemahan bahasa Latin. De
Medicinarum Compositarum Gradibus-nya telah diterbitkan pada tahun 938 H/1531
M. Pada tahun 1315 H/1897 M Albino Nagy menyunting terjemahan-terjemahan abad
pertengahan karya-karya L De Intellectu; De Sommo et visione, De quinque
esentilis; Liber intro ductorius in artem Logicae demontractionis.
Semenjak
ditemukannya beberapa naskah berbahasa Arab-nya, cakrawala baru filsafat
al-Kindi tersibak. Sebua ikhtisar yang berisikan 25 risalah, ditemukan di
Istanbul oleh Ritter. Kini risalah-risalah itu telah disunting oleh beberapa
sarjana, Walzer, Rosenthal, Abu Ridah, dan Ahmad Fuad El-Ehwany. Beberapa
risalah pendeknya yang lain nditemukan di Aleppo, meski hingga kini belum
disunting. Dengan demikian, hingga batas tertentu, memungkinkan analisa
terhadap filsafat al-Kindi, dengan berpijak pada landasan-landansan yang lebih
kurang kukuh.
C.
FILSAFATNYA
Menurut
al-Kindi, fislafat hendaknya diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam.
Berdasarkan ini, para sejarawan Arab awal menyebutnya “Filosof Arab”. Memang,
gagasannya itu berasal dari Aristotelianisme Neo-Platonis, namun juga benar
bahwa ia meletakkan gagasan-gagasan itu dalam kondteks baru. Dengan mendamaikan
warisan-warisan Hellenistis dengan Islam, ia meletakkan asas-asas sebuah
filsfat baru. Sungguh, pandangan ini, untuk jangka lama, menjadi ciri utama
filsfaat ini. Kemudian, al-Kindi, yang mengkhususkan diri dalam semua ilmu
pengetahuan yang dikenal pada masanya – tentangnya, tulisan-tulisannya
memberikan cukup bukti – menjadikan filsafat sebagai suatu studi menyeluruh yang
mencakup seluruh ilmu. Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd mulanya ilmuwan, kemudian
menjadi filosof. Karena itu, al-Nadim menempatkan al-Kindi dalam kelompok
Filosof Alami. Berikut ini, gambaran penuhnya tentng al-Kindi : “Al-Kindi
adalah manusia terbaik pada masanya, unik pengetahuannya tentang seluruh ilmu
pengetahuan kuno. Ia disebut filosof Arab. Buku-bukunya mengandung aneka ilmu
pengetahuan, seperti logika, filsafat, geometri, ilmu hitung, astronomi dan
sebagainya. Kami menyebutnya filosof alam, karena ia menonjol dalam ilmu
pengetahuan.”
Filsafat
merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Filosof Muslim, sebagaimana filosof
Yunani, percaya bahwa
kebenaran jauh berada di atas pengalaman; bahwa kebenaran itu abadi di
alam adialami. Batasan fislafat, dalam risalah al-Kindi tentang Filasafat Awal,
berbunyi demikian : “Filsafat
adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan
manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencapai kebenaran,
dan dalam berpraktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran.” Pada akhir
risalahnya, ia menyifati Allah dengan istilah “Kebenara”, yang merupakan tujuan
filsafat. “Maka Satu Yang Benar (al-Wahid al-Haqq) adalah Yang pertama, Sang
Pencipta, Sang Pemberi Rizki semua ciptaan-Nya ........” Pandangan ini berasal
dari filsafat Aritoteles, tetapi
“Penggerak Tak Tergerakkan’ (Unmovable Mover)-nya Aristoteles diganti dengan
sang “Penciptqa”. Perbedaan ini menjadi inti sistem filsafat al-Kindi. Filsfat dibagi menjadi dua bagian
utama : studi-studi teoritis, yakni fisika, matematika, dan metafisika; dan
studi-studi praktis, yaitu etika, ekonomi dan politik. Seorang penulis
terkemuan, sembari mengutip al-Kondi, mengklasifikasikannya sebagai berikut : “Teori dan praktek merupakan awal
kebajikan. Masing-masing dibagi menjadi fisika, matematika, dan teologi.
Praktek-praktek dibagi menjadi bimbingan diri, keluarga dan masyarakat.”
Ibn Nabatah, yang juga
mengutip al-Kindi, hanya menyebutkan bagian-bagian teoritisnya/ “Ilmu-ilmu
filsafat terdiri atas tiga hal, pertama, pengajaran (‘ta;lim), yaitu
matematika, yang bersifat mengantar; kedua, ilmu alam, yang bersifat terakhir,
dan ketiga, ilmu agama yang bersifat paling tinggi.” Pengutamaan
matematikan berasal dari Aristoteles, tetapi urutan terakhir dari tiga ilmu
pengetahuan, yang dimulai dengan fisika, datang dari penganut filsfat
Aristoteles terkemudian. Kemungkinan besar al-Kindi mengikuti ptolomeus, yang
membagi ilmu pengetahuan di awal Almagest. Sejak masa itu, matematika dikenal
oleh orang-orang Arab sebagai “kajian pertama”.
Batasan
filsafat dan pebagiannya, dalam filsafat Muslim, sebagaimana disebutkan di
atas, masih bersifat tradisional. Sebagaimana dikatakan oleh Musthafa Abd
al-Raziq : “Sikap memahami makna filsafat dan pembagiannya, berdasarkan materi
pokok ini, memajukan filsafat Muslim.”
Filsafat
pertama atau fisika merupakan pengetahuan tentang Sebab Pertama, karena seluruh
filsafat lainnya tercakup dalam pengetahuan ini. Metode yang dianut dalam
mengkaji fisika awal ialah penggunaan logika. Sejak kini logika menjadi alat
para filosof dalam upaya mencari kebenaran. Nilai al-Kindi sebagai filosof,
dalam masa-masa dahulu, diperdebatkan, karena kurangnya teori logika dalam
sistemnya. Said al-Andalusi berkata “Al-Kindi meulis banyak buku tentang
logika, yang tidak pernah menjadi populer, tak pernah dibaca atau digunakan orang
dalam ilmu pengetahuan, karena buku-buku ini hampa, seni analisis yang
merupakan satu-satunya cara untuk membedakan antara yang benar dan yang salah
dalam setiap pengkajian. Menurut Ya’kub, dalam tulisan-tulisannya,seni
sintensis tak dapat memberikan manfaat, selama tak mempunyai premis-premis yang
pasti, yang dari premis-premis itu, dapat dibuat sintesis.” Sukar bagi kita
memberikan pendapat yang pasti tentang
penilaian ini, sebelum risalah-risalahnya tentang logika ditemukan.
Tetapi kenyataan bahwa al-Farabi disebut sebagai “Bapak Kedua”, lantaran
upayanya memperkenalkan logika sebagai metode berpikir dalam fislafat Muslim,
tampak memperkuat penilaian Said di atas.
D.
KESELARAN FISAFAT DAN AGAMA
Al-Kindi,
mengarahkan filsafat Muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama.
Filsafat berlandaskan akal pikiran, sedang agama berdasarkan wahyu. Logika
merupakan metode filsafat; sedangkan iman, yang merupakan kepercayaan kepada
hakikat-hakikat yang disebutkan dalam Al-Quran sebagaimana diwahyukan Allah
kepada Nabi-Nya, merupakan jalan agama. Sejak awal sekali, orang-orang agama tak mempercayai
filsafat dan filosof. Para filosof diserang sebagai pembuat bid’ah. Al-Kindi
mesti membela diri dari tuduhan orang-orang agama bahwa “mengetahui hakikat
segala sesuatu adalah kufur.” Sebaliknya al-Kindi menuduh orang-orang agama
sebagai tak agamis dan menjual agama. “Mereka berselisih dengan orang-orang baik-baik dalam
membela kedudukan yang tidak benar, yang telah mereka peroleh tanpa memberikan
manfaat dan hanya untuk memperoleh kekuasaan dan menjual agama.”
Keselarasan
antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan : (1) ilmu agama
merupakan bagian dari filsafat, (2) Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan
kebenaran filsafat saling bersesuaian, (3) Menuntut ilmu, secara logika,
diperintahkan dalam agama.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang
hakikat segala sesuatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyyah), ilmu
Tauhid, etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat,
Apalagi, para Nabi telah memerintahkan
untuk mencari kebenaran dan berbuat kebajikan. “Keseluruhan ilmu yang
bermanfaat dan jalan untuk
memperolehnya, penghindaran dari segala yang mudharat dan mencegahnya – pencapaian
semua ini, merupakan yang dinyatakan, atas nama Allah oleh nabi-nabi. Para
nabi-nabi telah menyatakan Kemahaesaan Allah, kebajikan yang diridhai-Nya, dan
penolakan kekejian yang bertentangan dengan kebajikan diri.”
Demikian
pula, pencarian filsafat adalah perlu, karena hal itu “perlu atau tidak perlu.
Bila para teolog (yang menentang pencarian filsafat) mengatakan bahwa hal itu
perlu, maka mereka harus mempelajarinya; bila mereka mengatakan bahwa hal itu tak
perlu, maka mereka harus memberikan alasan untuk ini, dan memaparkannya.
Pemberian alasan dan pemaparannya merupakan bagian dari pencarian pengetahuan
tentang hakikat. Maka dari itu, mereka perlu memiliki pengetahuan ini dan
menyadari bahwa mereka harus memperolehnya.”
Dalam
risalah, “Jumlah karya Aristoteles”, al-Kindi membedakan secara tajam antara
agama dan filsafat. Pembicaraannya tentang masalah ini, membuktikan bahwa ia
membandingkan agama Islam dengan filsafat Aristoteles. Ilmu Ilahiyah, yang
dibedakannya dari filsafat, ialah islam, sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah
dan termaktub dalam Al-Quran . bertentangan dengan pendapat umumnya bahwa ilmu
agama (teologika) adalah bagian dari filsafat, di sini kita dapati : (1) bahwa kedudukan teologi lebih
tinggi dari filsafat, (2) bahwa agama merupakan ilmu ilahiah, sedangkan
filsafat merupakan ilmu insani, (3) bahwa jalur agama adalah keimanan, sedang
jalur filsafat adalah akal, (4) bahwa pengetahuan nabi diperoleh langsung
melalui wahyu, sedangkan pengetahuan filosof diperoleh melalui logika dan
pemaparan. Kita tetap sepenuhnya kalimat yang menarik dan amat penting ini.
“Bila
seseorang tak memperoleh pengetahuan yang bermutu dan banyak, maka ia tak
memiliki pengetahuan yang hakiki dan tak hakiki. Dengan demikian, orang tak
dapat mengharapkannya memiliki sesuatu pengetahuan tentang ilmu insani yang
diperoleh orang melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu. Ilmu-ilmu ini
sedikit berada di bawah kedudukan ilmu ilahiah (al-‘ilm al-ilahi), yang
diperoleh tanpa melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu. Pengetahuan ini
adalah pengetahuan para nabi, suatu pengetahuan yang dianugerahkan Allah; tak
seperti matematika dan logika, ia diperoleh tanpa melalui riset, upaya, studi,
ketekunan, dan tak membutuhkan waktu. Ia diperoleh melalui kehendak-Nya,
penyucian dan pencerahan jiwa, sehingga mereka berpaling kepada kebenaran,
lewat pertolongan, ilham, dan wahyu-wahyu-Nya. Pengetahuan ini bukanlah hak
istimewa semua manusia, tetapi hak para nabi. Inilah salah satu mukjizat
mereka, tanda yang membedakan para nabi dari manusia lainnya. Manusia yang bukan nabi takkan
memperoleh pengetahuan tentang hakikat dan yang bukan hakikat, yang tanpa
melalui riset, ketekunan, matematika, logika, dan proses waktu.
Karena itu,
para pemikir menyimpulkan bahwa lantaran ini (pengetahuan) ada, maka ia datang
dari-Nya; sedang orang awam
secara fitri tak mampu mencapai pengetahuan serupa, karena hal itu berada di
atas dan di luar sifat dan upaya mereka. Karenanya, mereka berpasrah diri,
patuh, dan mempercayai sepeuhnya kebenaran sabda para nabi.
Kaum
Muslim mengikuti firman Allah yang
termaktub dalam Al-Quran, dan teryakinkan oleh hujja-hujjah meyakinkannya. Para
filosof bersandar kepada pemaparan logika, yaitu dalih-dalih mereka. Dalih-dalih
filosofis bertumpa pada asas-asas awal pemaparan bukti diri. Menurut al-Kindi,
hujjah-hujjah Al-Quran Suci lebih pasti dan meyakinkan daripada dalih-dalih
filosofis manusia.al-Quran memberikan pemecahan-pemecahan atas msalah-masalah
yang sangat hakiki, misal penciptaan dunia dari ketakadaan dan kebangkitannya
kembali. Al-Kindi
berpendirian bahwa hujjah-hujjah Al-Quran “sangat meyakinkan, jelas, dan
menyeluruh.” Sehingga hal itu menimbulkan kepastian dan keyakinan. Karena itu,
Al-Quran jauh mengungguli dalih-dalih para filosof. Sebuah contoh tentang
hujjah-hujjah kuat semacam itu terdapat dalam jawaban terhadap pertanyaan kaum
kafir, “Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-tulang yang sudah
menjadi debu?” Jawabannya : “Dialah yang mula membuat mereka, yang akan
menghidupkan mereka.”
Dengan demikian,
al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Quran,
sehingga menciptakan persesuaian antara agama dan fislafat. Dalam karangannya
The Worship (sujud) of the Primum Mobile, ayat : “Bintang-bintang dan
tetumbuhan bersujud”
ditafsirkan dengan berpijak pada aneka makna kata sajdah; yang berarti : (1)
sujud dalam shalat; (2) kepatuhan; (3) perubahan dari ketidaksempurnaan menjadi
kesempurnaan; (4) mengikuti aturan secara ikhlas. Arti terakhir inilah yang
dipergunakan untuk arti sujudnya bintang-gemintang. Suasana langit dihidupkan,
dan menyebabkan pertumbuhan dan keruntuhan kehidupan di dunia. Gerak primum
mobile disebut “bersujud”, dalam artian mematuhi Allah.
Kesimpulannya,
al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia melicinkan jalan bagi
al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua pandangan berbeda. Yang pertama,
mengikuti jalur ahli logika, dan memfilsafatkan agama, yang gkedua, memandang
agama sebagai sebuah ilmu ilahiah, dan menemnpatkannya di atas filsafat. Ilmu Ilahiah
ini diketahui lewat jalur para nabi. Tetapi melalui penafsiran filosofis, agama
menjadi selaras dengan filsafat.
E. TUHAN
Suatu pengetahuan
memadai dan meyakinkan tentang Tuhan merupakan tujuan akhir fislafat. Fislafat,
sebagaimana namanya, merupakan suatu kajian Yunani. Karena itu, al-Kindi
berupaya keras menyodorkan filsafat Yunani kepada orang-orang Arab. Tepat sebagaimana
kata Rosenthal : “Al-Kindi sendiri menyatakan bahwa ia menganggapnya sebagai
tuganya untuk bertindak sebagai pegnalih sekaligus penafsir Arab akan
peninggalan-peninggalan kuno.” Dalam tafsiran Theon tentang Almagest-nya
Ptolomeus, Tuhan digambar sebagai bersifat tetap, tunggal, gaib, dan penyebab
sejati gerak. Dalam al-Sina’at al-‘uzma, al-Kindi memaparkan sendiri gagasan
serupa. Ia berkata : “Karena Allah,
Mahaterpuji Dia, adalah penyebab gerak ini, yang abadi (qadim), maka Ia tak
dapat dilihat dan tak bergerak, penyebab gerak tanpa menggerakkan Diri-Nya.
Inilah gambaran-Nya bagi yang
memahami-Nya lewat kata-kata sederhana : “Ia Tunggal’ dan Ia tak terlihat,
karena Ia tak tersusun, dan tak ada susunan bagi-Nya, tetapi sesungguhnya Ia
terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena Ia ........ adalah penyebab
gerak segala yang dapat dilihat.”
Ketunggalan,
ketakterlihatan, ketakterbagian, dan kepenyebaban gerak merupakan
sifat-sifat-Nya, yang dinyatakan oleh Theon. Ketika al-Kindi menyebutkan semua
itu, ia tak lebih dari pengalih konsepsi Hellenistis tentang Tuhan. Keaslian al-Kindi
terletak pada upayanya mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan
gagasan-gagasan filosofis Neo-Platonis terkemudian.
Gagasan
dasar Islam tentang Tuhan adalah Keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari
ketakadaan, dan ketergantungan semua ciptaan kepada-Nya. Sifat-sifat ini, dalam
Al-Quran, dinyatakan secara tak filosofis atau dialektis. Al-Kindi menyhifati
Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah Yang Benar. Ia tinggi dan dapat
disifati hanya dengan sebutan-sebutan negatis. “Ia bukan materi, tak berbentuk,
tak berjumnlah, tak berkualitas, tak berhubunganl; juga Ia tak dapat disifati
dengan ciri-ciri yang ada (al-ma’qulat). Ia tak berjenis, tak terbagi dan tak
berkejadian. Ia abadi ......... Oleh karena itu, Ia Mahaesa (wahdah). Selain-Nya
berlipat.”
Untuk memahami
posisi al-Kindi, kita mesti merujuk pada kaum Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum
Tradisionalis – ibn Hanbal adalah salah seorang tokohnya – menafsirkan sifat-sifat
Allah dengan “nama-nama Allah”. Misal, ketika ibn-Hanbal ditanya apakah
Al-Qurqan, yang merupakan firman Allah, abadi )qadim) atau diciptakan
(makhluq). Ia tak menjawab. Ia hanya menjawab bahwa Al-Quran adalah firman
(kalam) Allah. Kaum Tradisionalis menerima makna harfiah Al-Quran, tanpa
memberikan penafsiran lebih jauh.
Kaum Mu’tazilah,
yang semasa dengan al-Kindi, secara akal, menafsirkan sifat-sifata Allah demi
memantapkan kemahabesaran-Nya. Mereka memecahkan masalah ini berdasarkan
hubungan antara zat Allah dan sifat-sifat-Nya. Menurut mereka, sifat-sifat
utama Allah ada tiga : tahu, kuasa, dan berkehendak. Sifat-sifat ini mereka
tolak, karena bila mereka menerima hal ini sebagai sifat-sifat Tuhan, berarti
zat-Nya banyak. Kaum Mu’tazilah dan para filosof sama-sama menolak sifat-sifat
Tuhan seperti itu. Al-Ghazali dengan tepat berkata dalam kitabnya Thahafut
al-Falasifah, bahwa “para filosof seia sekata dengan kaum Mu’tazilah bahwa tak
mungkin menganggap bahwa ‘tahu, kuasa, berkehendak’ berasal dari Prinsip
Pertama.”
Al-Kindi,
filosof Muslim pertama, mengikuti kaun Mu’tazilah dalam menolak sifat-sifat
tersebut. Tetapi pendekatannya dalam memecahkan masalah tersebut berbeda
sekali. Pertama : yang menjadi perhatiannya bukan zat Allah dan
sifat-sifat-Nya; tetapi hal dapat disifatinya zat Allah. Kedua, segala sesuatu dapat didefinisikan,
karena itu mereka dapat diketahui dengan menentukan jenis-jenis mereka, kecuali
Allah yang tak berjenis. Dengan kata lain dalam pencariannya, al-Kindi
mengikuti jalur “ahli logika.”
Dalih-dalih
al-Kindi tentang kemaujudan Allah bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab
akibat. Segala yang maujud pasti mempunyai sebab yang memaujudkannya. Rangkaian
sebab itu terbatas, akibatnya ada sebab pertama, atau sebab sejati, yaitu
Allah. Sebab-sebab yang disebutkan oleh Aristoteles, adalah bendawi, formal,
efisien dan final. Dalam filsfat al-Kindi, sebagaimana diulang dalam
tulisan-tulisannya, Tuhan adalah sebeb efisien.
Ada dua macam sebab efisien; pertama, sebab
efisien sejati dan aksinya adalah ciptaan dan ketiadaan (ibda’). Kedua, semua
sebab efisien yang lain adalah lanjutan, yaitu sebab-sebab tersebut ada
lantaran sebab-sebab lain, dan sebab-sebab itu sendiri adalah sebab-sebab dari
efek-efek lain. Secara kias,
sebab-sebab itu sama sekali bukanlah sebab-sebab sejati. Ia berkehendak dan tak
pernah bergantung kepada sesuatu pun.
Dunia mulanya
tak maujud, karena itu ia mesti butuh satu pencipta, yakni Allah. Segala
ciptaan tak abadi; Hanya Allah Sendirilah yang abadi. Hal ini menjelaskan
segala hal yang berproses. Begitu pula dunia secara keseluruhan, benda-benda
angkasa,d an unsur-unsur semesta, seperti genus dan species, tak abadi, karena
mereka terbatas dan tercipta. Segala yang terbatas ruang dan waktu, tak abadi. Gagasan
tentang ketakterhingaaan mempunyai kedudukan penting dalam filsafat al-Kindi,
dan kelak akan dibahas secara terinci.
Bukti lain
kemaujudan Allah, berupam keteraturan alam semesta ini. Keteraturan dunia,
hirarkhis bagian-bagiannya, interaksi mereka, kesempurnaan paling tinggi segala
kemaujudan, kesemuanya ini membuktikan bahwa satu Kemaujudan Sempurna mengatur
segala sesuatu dengan kebijakan sempurna.
Segala kemaujudan
senantiasa membutuhkan Allah. Hal ini karena Allah, Sang Pencipta yang nabadi,
adalah penunjang semua ciptaan-Nya, sehingga apabila sesuatu tak mendapatkan
karunia-Nya, maka ia pun pupus.
F.
KETAKTERHITUNGAN
Alam,
dalam sistem Aristoteles, terbatas oleh ruang, teapi tak terbatas oleh waktu,
karena gerak alam seabadi Penggerak Tak Tergerakkan (Unmovable Mover). Keabadian
alam, dalam pemikiran Islam, ditolak, karena Islam berpendirian bahwa alam
diciptakan. Filosof-filosof Muslim, dalam menghadapi masalah ini, mencoba
mencari pemecahan yang sesuai dengan agama. Ibn Sina dan Ibn Rusyd dituduh
sebagai ateis, karena mereka sependapat dengan Aristoteles; mereka berpendapat
bahwa alam ini kekal. Dan, masalah ini senantiasa menjadi salah satu masalah
penting dalam filsafat Islam, dan al-Ghazali menyebutkannya di bagian awal dari
duapuluh sanggahannya terhadap para filosof dalam Thahafut al-Falasifah.
Al-Kindi
berbeda dengan para filosof besar penggantinya, menyatakan alam ini tak kekal. Mengenai
hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang
keterhinggan secara matematik.
Benda-benda fisik terdiri atas materi dan
bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur
dari setiap fisik, (Res autem quae sunt ini omnibus substantitis sunt quinque,
quarum una est hyle at secunds est forma, et tertia est locus, et quarta una
est motus, et quinta est tempus). Wujud yang begitu erat dengan fisik, waktu dan ruang, adalah terbatas,
karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
Waktu bukanlah gerak; melainkan
bilangan pengukur gerak (Tempus ergo est numerus numerans motum), karena waktu
tak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam : tersendiri
dan berkesinambungan. Waktu
bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan. Karena itu, waktu dapat
ditentukan, yang berproses dari dulu hingga kelak. Dengan kat alain, waktu
merupakan jumlah yang dahulu dan yang
berikut. Waktu adalah berkesinambungan.
Waktu adalah
bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah
kuantitas. Pengetahuan tentang ketiganya ini, dan juga dua yang lainnya, adalah
penting guna mengetahui kualitas. Sebagaimana disebutkan di atas, orang yang tak mengetahui
kuantitas dan nkualitas, dak mengetahui yang pertama dan yang kedua. Kualitas adalah
kapasitas untuk menjadi sama dan tak sama; sedangkan kuantitas adalah kapasitas
untuk menjadi sejajar dan tak sejajar. Karena itu, tiga gagasan tentang kesejajaran, kelebih
besaran dan kelebihkecilan, menjadi asas dalam memaparkan konsepsi tentang
keterbatasan dan ketakterbatasa.
Dalil-dalil
yang menetang ketakterbatasan diulang dalam sejumlah tulisan al-Kindi. Kami kutipkan
dari tulisannya. “Perihal Keterbatasan Wujud Dunia,” empat teori yang
membuktikan keterbatasa;
(1) Dua
besaran yang sma disebut sama, bila yang satu tak lebih daripada yang lain.
(2) Bila
satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut,
maka keduanya akan menjadi tak sama.
(3) Dua
besaran yang sama tak bisa menjadi tak terbatas, bila yang satu lebih kecil
daripada yang lain, karena yang lebih kecil mengukur yang lebih besar atau
sebagian darinya.
(4) Jumlah
dua besaran yang sama, karena masing-masing terbatas, adalah terbatas.
Dengan ketentuan ini, maka setiap benda
yang terdiri atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan bergerak di dalam
waktu, adalah terbatas, meski benda tersebut adalah wujud dunia. Dan, karena
terbatas, maka tak kekal, hanya Allah-lah yang kekal.
G. RUH
DAN AKAL
Al-Kindi
terkacaukan oleh ajaran Plato, Aristoteles, dan Plotinus tentang ruh;
keterkacauan itu terutama dikarenakan ia merevisi bagian-bagian yang
diterjemahkan dari Enneads-nya Plotinus, sebuah buku, yang secara salah,
dianggap sebagai karya Aristoteles. Dia meminjam ajaran Plotinus tentang ruh, dan mengikuti
pola Aristoteles dalam berteori tentang
akal. Dalam sebuah risalah pendek “Tentang Ruh”, sebagaimana dikatakannya, ia
meringkaskan padnangan-pandangan “Aristoteles, Plato dan filosof-filosof
lainnya,” Sebenarnya, gagasan yang dipaparkan itu dipinjam dari Enneads.
Ruh adalah suatu wujud sederhana, dan
zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis sebagaimana sinar terpancar dari
matahari. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dari tubuh. Bila
dipisahkan dari tubuh, maka ruh memeproleh pengetahuan tentang segala yang ada
di dunia, dan melihat hal yang adialami. Setelah terpisah dari tubuh, ia menuju
ke alam akal, kembali ke nur Sang Pencipta, dan bertemu dengan-Nya.
Ruh tak penah tidur, hanya saja ketika
tubuh tertidur, ia tak menggunakan idnra-indranya. Dan bila disucikan, ruh dapat
melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh
lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Gagasan serupa terpaparkan dalam tulisan al-Kindi “Perihal
Tidur dan Mimpi”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Tidur ialah
emnghentikan penggunaan inderawi. Bila ruh berhenti menggunakan inderawi, dan
hanya menggunakan nalar, maka ia bermimpi.
Tiga bagian ruh adalah nalar,
keberangan dan hasrat, orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jasmani,
dan berupaya mencapai hakikat segala
seuatu, adalah orang yang baik dan sangat sesuai dengan Sang Pencipta.
Risalah
lain tentang akal memainkan peranan penting dalam fislafat jaman pertengahan
baik di Barat maupun di Timur dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan
judul De Intellectu. Maksud risalah ini ialah memperjelas aneka makna akal dan
menunjukkan cara memperoleh pengetahuan.
Aristoteles,
dalam De Animo-nya, membedakanmenjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal
agen. Akal mungkin menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan
obyek-obyek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh Aristotees sebagai
tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal dan takkan rusak.
Alexander
dari Aprhrodisias, dalam De Intellectu, menyatakan bahwa ada tiga macam akal :
akal materi; akal terbiasa dan akal agen. Dengan demikian, ia menambahkan satu
akal baru yaitu intellectus habitus atau adeptus. Akal materi adalah daya murni
dan dapat rusak. Ia adalah daya manusia untuk menerima bentuk-bentuk. Sedang akal
terbiasa adalah akal yang memperoleh dan memiliki pengetahuan, yaitu akal yang
telah berlaku dari daya menjadi aktual. Membuat daya menjadi aktual, memerlukan
agen, inilah akal ketiga, yaitu juga disebut intelligencia agens, dan beberapa
penafsir menafsirkannya sebagai “intelegensia ketuhanan,” yang mengalir ke
dalam ruh kita.
Namun menurut
al-Kindiu, bukan tiga macam akal, tetapi empat. Ia membagi akal terbiasa
menjadi dua; akal yang memiliki pengetahuan tanpa memprektekkannya, dan akal
yang mempraktekkan pengetahuan. Yang pertama, seperti penmulis yang telah
belajar menulis, dan karenanya ia memiliki seni menulis ini; sedang yang kedua,
seperti orang yang mempraktekkan seni menulis itu.
Kita kutip
alinea pembukaan dari karyanya :
1. Pertama,
akal yang selalu bertindak.
2. Kedua,
akal yang secara potensial berada di dalam ruh.
3. Ketiga,
akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya menjadi aktual.
4. Keempat,
akal yang kita sebut akal yang kedua.
Yang dimaksudkannya
dengan akal ‘kedua’ yaitu tingkat ke dua aktualitas, sebagaimana dipaparkan di
atas dalam membedakan antara yang Cuma memiliki pengetahuan dan yang
mempraktekkannya.
Satu teori
lengkap tentang pengetahuan dijelaskan dalam karya lainnya. Ada dua macam
bentuk; bendawi dan non bendawi. Bentuk pertama yakni bersifat inderawi, karena
hal-hal yang tereasa tercipta dari materi dan bentuk. Ketika ruh memperoleh
bentuk materi, maka ia menjadi satu, yaitu bentuk materi itu. Demikian pukla,
bila ruh memperoleh bentuk-bentuk rasional yang non bendawi, mereka menyatu
dengan ruh. Dengan begini, ruh benar-benar menjadi rasional. Sebelum itu, ruh
adalah rasional dalam bentuk daya. Yang kita sebut akal, tak lain adalah
genus-genus dan spesies.
Jalannya
akal ini diterangkan kembali oleh al-Kindi dalam risalhnya “Filsafat Awal”. Ia berkata
: “Bila genus-genus dan spesies menyatu dengan ruh, maka mereka menjadi
terakali. Ruh benar-benar menjadi rasional setelah menyatu dengan spesies. Sebelum
menyatu, ruh berdaya rasional. Maka, segala suatu yang maujud dalam bentukd aya
tak dapat menjadi aktual, kecuali bila dibuat oleh sesuatu dari daya menjadi
aktual. Genus-genus dan spesies itulah yang menjadikan ruh, yang berupa daya
rasional, menjadi benar-benar aktual, maksud saya, yang menyatu dengannya.
Al-Kindi
tiba-tiba beralih dari pembahasan epistemologis di atas ke pemahaman analogi
tentang kesatuan semesta dan asal-muasalnya. Yang bersifat alam semesta adalah
akal, bila bersatu dengan ruh. Maka timbullah pertanyaan, apakah akal itu satu
atau banyak. Dalam satu hal ia satu, dan dalam hal lain ia banyak. Berikut ini
uraian lengkapnya : “Dan, sebagaimana jumlah unsur alam semesta itu banyak, sebagaimana
dipaparkan di atas, sedang ketunggalan yakni keseluruhan itu. Tetapi ketunggalan
sejati (wahdah) bukanlah ketunggalan akal.\mengikuti ajaran Plotinus, al-Kindi
terus menuju ke meta fisikal dari Yang Satu. Sebagaimana disebut di atas, ia
mengacaukan metafisika Aristoteles tentang Kemaujudan dengan metafisika
Plotinus. Karena ini, ia tak mampu mengupayakan suatu sistem terpadunya. Inilah
yang mampu dilakukan oleh al-Farabi sang Bapak Kedua.
*****************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar