Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Rabu, 17 Oktober 2018

Kisah Hancurnya Abrahah dan Pasukan Gajah

Kisah  Pasukan  Gajah

Abrahah al-Habsyi adalah wakil Raja Najasyi di Yaman. Ketika ia melihat  orang-orang Arab menunaikan haji ke Ka’bah, ia membangun gereja yang besar di Kota Shan’a. Maksud pembangunan itu, ia ingin memalingkan hajinya orang-orang Arab ke Gereja tersebut. Akhirnya, seorang lelaki dari Bani Kinanah mendengar hal itu. Lelaki itu pun memasuki gereja tersebut pada suatu malam dan meletakkan kotoran di arah kiblat dalam gereja. Saat Abrahah mengetahuinya, ia naik pitam.
Abrahah melanjutkan, “Siapa yang telah melakukan ini?” Dikatakan kepadanya, “Pelakunya seorang lelaki dari Arab dan masih dari kerabat yang mengurusi Ka’bah di Makkah. Ia melakukannya karena marah setelah mendengar bahwa engkau akan memalingkan hajinya orang Arab ke gereja.” Abrahah marah besar dan bersumpah akan melakukan perjalanan ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.
Abrahah pun memerintah orang-orang Habasyah untuk bersiap-siap melakukan perjalanan ke Makkah. Mereka telah siap melakukan perjalanan bersama gajah yang telah mereka siapkan. Setelah mendengar berita itu, orang-orang Arab menganggap sebagai sebuah ancaman besar dan mengerikan. Mereka pun memutuskan untuk berjuang keras melawan mereka saat ingin menghancurkan Ka’bah di Baitullah al-Haram.
Seorang lelaki yang termasuk pemuka penduduk Yaman – yang dikenal dengan nama Dzu Nafar – keluar mengajak kaumnya dan kaum selain Arab yang mendukungnya untuk memerangi Abrahah berjuang membela Baitullah al-Haram dari niat Abrahah untuk menghancurkannya. Orang yang mendukungnya pun bergabung untuk memerangi Abrahah. Dalam peperangan tersebut, Dzu Nafar mengalami kekalahan, ia dijadikan tawanan. Saat ia mau dibunuh, ia berkata, “Wahai Sang Raja! Janganlah engkau membunuhku, barangkali hidupku bersamamu lebih bermanfaat daripada kematianku.” Raja pun membiarkannya hidup dan menahannya dengan dibelenggu. Abrahah sendiri dikenal lembut hatinya.
Abrahah melanjutkan perjalanannya hingga sampai tanah Khats’am. Di sana ia dihadang dua suku (Syahran dan Nahis) yang dipimpin Nufail bin Habib al-Khtas’ami. Abrahah berhasil mengalahkan mereka dan Nufail dijadikan tawanan. Saat Nufail akan dihukum mati, ia berakta, “Wahai Raja! Jangan bunuh aku, aku akan menjadi penunjuk jalanmu ke Arab, dan dua suku Khats’am akan patuh setia kepadamu.” Raja pun membebaskannya.
Nufail pun ikut rombongan menjadi penunjuk jalan. Ketika sampai di daerah Thaif, Mas’ud bin Mu’tab bersama pasukannya yang terkenal cerdik menemui mereka.
Mereka berkata, “Wahai Raja! Kami adalah hambamu yang mendengar dan menaati perintahmu, tidak ada perselisihan di antara kami dan engkau, tempat ibadah kami --- yang dimaksud adalah tempat berhala Latta – bukanlah yang engkau tuju, kami tahu engkau menginginkan Ka’bah di Makkah. Oleh karena itu, kami  kirim bersamamu orang yang menunjukkan jalan ke sana.” Sang Raja pun melewati mereka.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, “Mereka mengutus Abu Raghal yang ditugaskan sebagai penunjuk jalan ke Makkah. Abrahah pun melanjutkan perjalanan bersama Abu Raghal. Saat tiba di daerah Mughimmas, Abu Raghal meninggal. Ia pun dimakamkan di sana. Setelah itu, tanah tersebut dijadikan pemakaman penduduk Mughimmas.”
Saat Abrahah sampai di Mughimmas, ia mengutus seorang dari kaum habasyah – yang bernama Al-Aswad bin Maqshud – untuk pergi ke Makkah dengan berkuda. Akhirnya, harta benda penduduk Tihamah dari suku Quraisy dan lainnya diserahkan kepadanya, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim, yang menjadi pemuka Quraisy. Setelah itu, suku Quraisy, Kinahah Huzail, dan orang-orang di daerah Haram berniat untuk memeranginya. Namun, dikarenakan mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa melawannya, akhirnya mereka membiarkannya.
Abrahah yang mengutus Hinathah al-Himyari ke Makkah sambil berpesan, “Tanyalah tentang pemuda negeri ini, lalu katakanlah kepadanya bahwa Raja berpesan, “Aku datang bukan untuk memerangi kalian, melainkan untuk menghancurkan rumah ini (Ka’bah). Jadi, kalau kalian tidak menghalangi tentu aku tidak perlu membunuh kalian.”
Abrahah adalah raja tangguh yang selalu memang dalam setiap peperangan. Ketika Hinathah memasuki Makkah, ia bertanya tentang pemuka Quraisy, lalu dikatakan kepadanya bahwa nama pemuka Quraisy adalah Abdul Muthalib bin Hasyim bin Manaf bin Qushai. Ia pun mendatanginya dan menyampaikan pesan sang raja. Abdul Muthalib berkata kepadanya, “Demi Allah! Kami tidak berniat memeranginya, kami tidak memiliki kekuatan. Ini adalah Batitullah al-Haram, rumah Ibrahim a.s., atau sebagaimana dikatakan --- jia Dia mencegahnya, itu memang rumah-Nya. sebaliknya, jika Dia membiarkannya, demi Allah kami tak mampu mempertahankannya.” Hinathah pun berkata, “Pergilah bersamaku untuk menemui raja, dia telah memerintahkanku untuk menjemputmu.”
Abdul Muthalib pun ikut bersamanya didampingi beberapa anaknya hingga menjumpai sekelompok pasukan. Ia bertanya tentang Dzu Nafar yang merupakan sahabatnya hingga ia masuk tahanan untuk menemuinya seraya berkata, “Wahai Dzu nafar! Apakah engkau memiliki sesuatu untuk menghadapi yang menimpa kita?” Dzu Nafar menjawab, “Apa yang dimiliki seorang lelaki tawanan yang menunggu hukuman mati esok hari atau sorenya? Aku tidak memiliki sesuatu untuk menghadapi yang menimpa engkau, kecuali seorang pelatih gajah yang menjadi temanku. Aku akan mengutusnya kepada raja dan menyampaikan pesan tentangmu, memberikan hak-hakmu, memintakan izin untuk berbicara kepada raja, dan membantumu di hadapannya jika takdirmu demikian.” Abdul Muthalib berkata, “Hal itu cukup bagiku.”
Setelah itu, Dzu Nafar mengutus Unais sang pelatih gajah seraya berkata, “Sesungguhnya Abdul Muthalib adalah pemuka Quraisy sekaligus pemuka Makkah. Ia selalu menjamu orang-orang dengan mudah, saat binatang liar mengintai dari puncak gunung, 200 untanya telah dirampas. Oleh karena itu, mintakan izin kepada raja untuk menemuinya, bantulah semampumu.” Unais menjawab, “Perintah dilaksanakan.”
Unais pun berbicara dengan Abrahah, “Wahai Raja! Ini adalah pemuka Quraisy memohon izin kepadamu. Ia pemimpin Makkah, gemar memberi makan orang lain saat binatang liar mengintai dari puncak gunung. Jadi, izinkan ia menghadap engkau untuk menyampaikan isi hatinya dan perlakukanlah ia dengan baik.” Abrahah pun mengizinkannya.
Abdul Muthalib adalah sosok manusia paling baik dan paling mulia. Saat Abrahah melihatnya, ia memuliakannya dan mempersilahkan duduk di bawahnya. Abrahah tidak menyukai jika orang-orang habasyah melihatnya duduk bersama di singgasana sehingga ia turun dari singgasana dan duduk di karpet bersama Abdu Muthalib. Ia pun berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya apa keperluannya?” Setelah penerjemah raja menyampaikan hal tersebut, Abdul Muthalib berkata, “Keperluanku adalah aku ingin untaku yang berjumlah 200 ekor dikembalikan.” Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, ‘Aku kagum saat melihatmu, aku perhatikan dirimu saat berbicara, apakah engkau hanya menuntut 200 ekor unta milikmu dan mengabaikan Ka’bah yang merupakan bagian agamamu dan nenek moyangmu, aku datang ke sini untuk menghancurkannya!”
Abdul Muthalib menjawab, “Sesungguhnya aku pemelihara unta. Ka’bah juga memiliki Dzat yang memeliharanya.” Akhirnya, Abrahah mengembalikan unta Abdul Muthalib yang telah dirampasnya.
Setelah mereka berpisah, Abdul Muthalib kembali ke Quraisy untuk memberitahu penduduk dan menyuruh keluar dari Makkah menuju ke puncak gunung dan bukit-bukit. Hal ini untuk menghindari pasukan  Abrahah yang terkenal dengan kekuatannya. Kemudian Abdul Muthalib mengambil tali pintu Ka’bah dan berdoa kepada Allah bersama kaum Quraisy agar mereka ditolong dari Abrahah dan tentaranya.
Ya Allah! Sungguh, seorang hamba melindungi rumahnya
Lindungilah rumah-Mu.
Pasti kekuatan dan kehebatan mereka kelak
Tidak mampu mengalahkan kekuatan-Mu
Jikalau Engkau membiarkan mereka dan menerima (amalan) kami
Segala urusan tersebut berada dalam kehendakmu.
Abdul Muthalib pun melepas tali pintuk Ka’bah dan pergi bersama orang-orang yang menemaninya ke puncak gunung, bersembunyi di sanan menunggu apa yang akan dilakukan Abrahah saat memasuki Makkah.
Keesokan harinya, Abrahah bersiap-siap memasuki Makkah. Ia tak lupa menyiapkan gajahnya dan pasukannya. Nama gajahnya waktu itu adalah Mahmud. Abrahah sepakat untuk menghancurkan Ka;bah, lalu kembali ke Yaman. Ketika gajah tersebut mendekati Makkah, Nufail bin Hubaib al-Khats’ami mendekatinya dan berdiri di sampingnya. Ia lalu membisikan ke telinga gajah.” Menderumlah Mahmud, kembalilah ke tempat asalmu, engkau sekarang di negeri Allah Al-Haram.” Ia pun melepaskan telinganya dan gajah pun menderum. Setelah itu, Nufail bergegas mendaki gunung. Sementara itu, para tentara memukuli gajah supaya berdiri, tetapi gajah tidak mau melakukannya. Kemudian mereka memukul kepala gajah dengan kayu, tetapi gajah masih enggan berdiri. Mereka juga melukai gajah tersebut hingga berdarah, tetapi gajah tersebut masih tetap enggan berdiri.
Akhirnya mereka menghadapkan gajah tersebut ke arah Yaman, lalu gajah pun berdiri dan berlari. Mereka menghadapkannya ke arah Syam dan gajah melakukan hal yang sama, dihadapkan ke arah timur, gajah  melakukan hal yang sama. Saat dihadapkan kembali ke arah Ka’bah, gajah kembali menderum. Allah pun mengutus burung-burung yang berwarna hitam dari laut. Masing-masing burung membawa tiga buah batu (satu di paruhnya, dua di kakinya) seukuran kacang yang mematikan setiap orang yang tertimpa batu tersebut. Tidak semua tentara Abrahah tertimpa batu. Mereka kabur berlarian ke tempat asal. Mereka bertanya kepada Nufail bin Hubaib agar menunjukkan jalan ke Yaman. Nufail pun berkata saat melihat turunnya siksa tersebut, “Di manakah tempat berlari?”
Mereka pun berjatuhan dan meninggal di sepanjang jalan. Abrahah sendiri mengalami luka di tunuhnya. Mereka pun membawa Abrahah untuk kembali ke Yaman, tetapi bagian tubuhnya bertambah parah sampai ia muntah darah. Saat mereka sampai di Yaman, keadaan Abrahah seperti anak burung yang sangat hina dan lemah lunglai. Ia tidak mati sampai akhirnya dadanya terbelah dan jantungnya keluar.
Ibnu Ishaq melanjutkan, “Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw, hal itu termasuk karunia Allah yang diberikan kepada kaum Quraisy, termasuk juga perlindungan-Nya dari niat buruk Habasyah sehingga penduduk Quraisy dapat bertahan.”
Allah SWT juga berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebaisaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.” (QS. Quraisy (106 : 1 – 4).
Allah SWT berfirman, “Tidaklah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang imakan (ulat).” (QS. Al-Fil (105) : 1 – 5).

Dinukil dari Buku
 SIRAH  RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab Pertama : NASAB NABI SAW.
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar