Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Jumat, 05 Oktober 2018

Misikat Cahaya-Cahaya Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi Al-Ghazali


 MISYKAT CAHAYA-CAHAYA

Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi
Al-Ghazali
Diterjemahkan dari Misykat Al-Anwar
Karya Al-Ghazali, terbitan Al-Mathba’ah
Al-Arabiyah, Mesir, Cetakan I, 1343 H.
Penerjemah : Muhammad Bagir
Edisi kedua
Cetakan I, Jumada Al-Ula 1438 H./Februari 2017
Diterbitkan oleh Penerbit Mizan
Anggota IKAPI
Penyadur : Pujo Prayitno

ISI   BUKU
MUKADIMAH
BAB I : HAKIKAT CAHAYA
BAB II : PERMISALAN DALAM AL-QURAN
BAB III : HIJAB ANTARA ALLAH DAN MAKHLUK-NYA

MUKADIMAH

Alhamdulillah, segala Puji Bagi Allah, Tuhan Pelimpah Cahaya-Cahaya. Pembuka penglihatan, Penyingkap Rahasia-rahasia, dan Penyibak selubung tirai-tirai. Shalawat dan Salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, cahaya segala cahaya, pemimpin orang-orang yang banyak beramal saleh, kekasih Sang Penguasa Yang Mahaperkasa, pembawa berita gembira dari Yang Maha Pengampun, penyampai ancaman dari Yang Mahakuasa, penumpas para pengingkar, dan pembuka tabir kepalsuan kaum durhaka. Demikian pula kepada keluarganya yang tersucikan dan para sahabatnya  yang baik-baik.
Anda telah meminta kepadaku, wahai Saudaraku (semoga Allah membimbingmu untuk memperoleh kebahagiaan teragung yang sejati, mencalonkanmu untuk ber-mi;raj menuju puncak persada tertinggi, menyinari pandangan hatimu dengan cahay hakikat, dan menyucikan nuranimu dari segala sesuatu selain Yang Haqq). Anda telah memohon kepadaku agar mengungkapkan, untukmu, rahasia-rahasia Cahay Ilahi disertai pula dengan makna-makna tersembunyi di balik pengertian harfiah beberapa Ayat-ayat Al-Quran yang ditilawatkan, dan hadis-hadis Nabi Saw. Yang dirawikan, seperti firman Allah Swt. :
Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya-Nya adalah ibarat sebuah Misykat. Dalam misykat itu ada pelita. Pelita itu dalam kaca. Kaca itu laksana bintang berkilau. Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati, yaitu pohon zaitun yang bukan di Timur maupun di Barat. Yang minyaknya nyaris menyala dengan sendirinya, walau pun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya! Allah menuntun kepada cahaya-Nya siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh Allah mengetahui segala hal. (Qs. Al-Nur (24) : 35).
(Misykal, ceruk, lubang yang masuk ke dinding, tapi tidak tembus ke sebelahnya yang lain. Biasanya untuk meletakkan pelita dan sebagainya).
Mengapa gerangan Allah membuat perumpamaan dengan misykat, kaca, pelita, minyak, dan pohon? Demikian pula sabda Nabi Saw.
“Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab (tirai penutup) cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia menyibakkannya niscaya cahaya-cahaya Wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.”
Sungguh, dengan mengajukan perminataan itu, Anda telah mendaki persada tinggi yang teramat sukar. Demikian tingginya sehingga puncaknya tak dapat dijangkau oleh mata pemandang. Anda telah mengetuk pintu terkunci yang hanya dapat terbuka bagi para ilmuwan yang mendalam ilmunya dan kuat pijakannya.
Kemudian dari itu, tidak setiap rahasia boleh diungkapkan dan disiarkan. Tidak setiap hakikat boleh dikemukakan dan diterangkan. Bahkan, “hati orang-orang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia.”. Sebagaimana pula pernah dikemukakan oleh seorang ‘arif : “Mengungkapkan rahasia adalah kekufuran.” Telah bersabda pula Rasulullah Saw. Penghulu orang-orang terdahulu dan terkemudian :
“Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorang pun mengetahuinya, kecuali para ‘alim billah (yang beroleh ilmu tentang Allah dengan perkenan-Nya). Apabila mereka menuturkannya tidak seorang pun akan menyanggahnya, kecuali orang yang terkelabui.”
Demikian, disebabkan banyaknya orang yang terkelabui, wajiblah menjaga segala rahasia agar jauh dari kejahatan orang-orang yang beritikad buruk. Namun, kulihat hatimu cukup terlapangkan dengan cahaya, dan nuranimu terjauhkan dari kegelapan kesesatan. Oleh sebab itu, sudah sepatutnyalah kupenuhi permintaanmu dengan mengisyaratkan berbagai tanda pengenal dan merumuskan berbagai hakikat yang pelik. Sebab, perbuatan aniaya akibat merahasiakan ilmu dari para ahlinya, tidaklah lebih kecil keburukannya dariapda menyebarkannya di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya. Seperti kata seorang penyair :
“Barang siapa memberikan ilmu kepada orang yang tak patut menerimanya, sama saja laksana yang menyia-nyiakannya. Siapa saja yang menutup ilmu dari yang berhak mengetahuinya, sungguh dia telah beruat aniaya sebesar-besarnya.”
Maka, puaskanlah dirimu dengan beberapa isyarat yang singkat, sebab untuk meng-tahkik-kan uraian dalam hal ini, membutuhkan pengukuhan berbagai  dasarnya dan menguraikan semua pasalnya, yang itu semua tak mungkin terjangkau oleh kesempatan yang kumiliki sekarang dan tidak pula terpusat dalam pikiran dan semangatku. Kunci-kunci hati berada di tangan Allah. Dia membukakannya bila Dia kehendaki, sesuai dengan kehendak-Nya dan dengan cara yang dikehendaki-Nya. Berkenaan dengan itu, hanya tiga bab yang terbuka pada waktu ini.

BAB. I.
HAKIKAT  CAHAYA

Al-Nur (Cahaya) yang Sebenarnya Hanyalah Allah SWT.
Sebutan Cahaya bagi selain Dia Hanyalah Majaz (Kiasan), Tak Ada Wujud Sebenarnya.

Terlebih dahulu hendaknya Anda ketahui tentang makna Cahaya. Pertama, di kalangan orang-orang awam. Kedua, di kalangan orang-orang khusus. Dan ketiga, di kalangan orang-orang khusus dari yang khusus. Kemudian, Anda ketahui tingkatan dan hakikat cahaya yang dinisbahkan kepada kalangan khusus agar tampak bagimu, bila telah terungkap hakikat-hakikatnya, bahwa Allah Swt. Adalah “Cahaya yang Tertinggi dan Tgerakhir.” Dan bahwa Dia adalah Cahaya yang hakiki dan sebenar-benarnya, tiada sekutu bagi-Nya.
Adapun yang dikenal di kalangan orang-orang awam ialah bahwa cahaya menunjuk pada sesuatu yang tampak, sedangkan ketampakkan adalah sesuatu yang nisbi. Adakalanya sesuatu tampak dengan pasti bagi suatu pandangan pada saat ia tersembunyi bagi pandangan lainnya. Dengan demikian, ia adalah zhahir (tampak) dan bathin (tersembunyi) secara nisbi. Ketampakkannya itu tentunya berlaku bagi sesuatu daya cerap, sedangkan daya cerap yang paling kuat dan paling penting di kalangan awam adalah pancaindra yang di antaranya ialah  indra penglihatan.
Segala sesuatu, dalam kaitannya dengan indra penglihatan, dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda yang gelap.
2. Yang tampak dengan sendirinya, tapi tidak dapat menampakkan sesuatu lainnya, misalnya benda-benda yang bersinar, seperti bintang-bintang dan zat api apabila tidak dalam keadannya menyala.
3. Yang tampak dengan sendirinya dan menampakkan benda-benda lainnya, misalnya matahari, bulan, api yang menyala, dan pelita.
Adapun “cahaya” ialah nama yang diberikan untuk bagian ketiga ini dan adakalanya untuks esuatu yang melimpah (memancar) dari benda-benda bersinar ke atas permukaan benda-benda padat. Sehingga dapat dikatakan “bumi bersinar” atau “cahaya matahari memancar di atas permukaan bumi” atau “cahaya pelita memancar pada dinding atau pakaian.”. kadang-kadang kata “cahaya” juga digunakan untuk benda-benda bersinar itu sendiri karena benda-benda itu memang bercahaya dengan sendirinya. Kesimpulannya, cahaya adalah sebutan sesuatu yang tampak dengan sendirinya ataupun yang membuat tampak benda lainnya, seperti matahari. Inilah definisi dari hakikat “cahaya” dalam makna dan pengertian yang pertama (yakni, yang berlaku di kalangan kaum awam).

Cahaya dalam pengertian kaum khusus

Telah diketahui bahwa rahasia cahaya dan ruhnya ialah ketampakkannnya bagi suatu daya cerap. Akan tetapi pencerapan tergantung, selain pada adanya cahaya, jug adanya mata yang memiliki daya lihat. Meskipun cahaya disebut sebagai sesuatu yang tampak dan menampakkan, tidak ada suatu cahaya yang tampak dan menampakkan bagi orang buta. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa “jiwa (ruh) yang melihat” adalah sama dengan cahaya yang tampak, dalam kedudukannya sebagai unsur yang tidak boleh tidak, atau harus ada, bagi pencerapan. Bahkan, berdasarkan hal ini, “jiwa (ruh) yang melihat” lebih tinggi kedudukannya sebab ia memiliki daya cerap dan dengannya pula suatu pencerapan dapat terwujud. Adapun cahaya itu sendiri tidak memiliki daya cerap dan tidak pula mewujudkan pencerapan, tapi ia hanya “menyimpan pencerapan”. Itulah sebabnya kata “cahaya” lebih tepat digunakan untuk “cahaya yang melihat”, bukannya untuk sembarang cahaya. Maka, orang pun menggunakan kata “cahaya” untuk “cahaya mata yang melihat”, seperti dalam ungkapan tentang kelelawar : “Cahaya matanya lemah”, tentang orang  bermata rabun : “:Cahaya penglihatannya leman” dan tentng orang buta : “Dia kehilangan cahaya matanya”. Mengapa warna hitam dalam biji mata dikatakan bahwa dia “memusatkan dan menguatkan cahaya mata.”. demikian pula tentang bulu mata yang mengelilingi mata, dan oleh hikmah Ilahiah dijadikan berwarna hitam, agar “memusatkan cahaya mata”. Adapun tentang warna putih : “membiaskan cahaya mata” dan karena itu “melemahkan cahayanya”, sehingga seseorang  yang terus menerus memandang ke arah sesuatu yang berwarna putih kemilau, terutama sekali cahaya matahari, maka cahaya matanya akan melemah dan melenyap sebagaimana melenyapnya sesuatu yang lemah bila berada di samping yang kuat.
Dengan uraian di atas, Anda mengetahui bahwa “ruh yang melihat” disebut “cahaya” dan bahkan ia lebih patut menyandang nama itu. Inilah makna kedua, yakni yang berlaku di kalangan orang-orang khusus.

Mata Lahiriah (Indrawi) dan Mata Hati

Ketahuilah bahwa cahaya mata atau cahaya penglihatan memiliki berbagai kelemahan. Ia dapat melihat benda-benda lain, tetapi tidak dapat melihat dirinya sendiri. Ia juga tidak dapat melihat sesuatu yang amat jauh ataupun yang amat dekat, atau benda-benda yang berada di balik selubung. Ia hanya dapat melihat permukaan sesuatu dan bukan bagian dalamnya. Ia hanya dapat melihat sebagian dari maujud, bukan keseluruhannya. Sesuatu yang terbatas saja dan bukan sesuatu yang tak terbatas. Banyak kesalahan yang dilakukannya pada waktu melihat sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, sesuatu yang jauh tampak dekat, sesuatu yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam. Inilah tujuh macam kekurangan yang tak terlepas dari mata lahiriah. Maka dari itu, kalau ada “mata” diantara berbagai mata yang terlepas ketujuh kelemahan ini, tidaklah sepatutnya kepada “mata” itu diberikan nama cahaya? Kini, dapatlah diketahui bahwa di dalam diri manusia terdapat “mata” yang memiliki sifat kesempurnaan ini. Adakalanya ia dinamakan ‘aql (akal), ruh atau nafs (jiwa) manusia. Akan tetapi sebaiknya kita lewati saja istilah-istilah ini, karena banynya istilah akan menimbulkan berbagai makna pada diri orang yang lemah penglihatan hatinya. Adapun yang kita maksudkan adalah “makna yang membedakan antara orang dewasa berakal dan bayi yang masih menyusu, dan binatang dan orang gila.”  Kita sebut saja istilah ini dengan “akal” mengikuti peristilahan umum yang berlaku. Yang penting ialah bahwa akal lebih patut memperoleh sebutan “cahaya” daripada mata lahiriah. Tidak lain, karena ia memiliki kemampuan mengatasi ketujuh kelemahan itu, yakni :
Kelemahan pertama, mata tidak dapat melihat dirinya, tetapi akal mencerap dirinya dan juga sesuatu yang di luar dirinya. Akal dapat mencerap dirinya , yaitu dengan dengan pencerapan tentang  dirinya sebagai “yang memmiliki pengetahuan dan kemampuan”, dan ia mencerap “pengetahuan yang dimilikinya”, “pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya”, “pengetahuan tentang pengetahuan tentang  pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya”, dan seterusnya sam;ai tak terhingga. Ini merupakan kekhasan yang sama sekali tak dapat dimiliki oleh  benda-benda lain yang mencerap dengan mempergunakan suatu sarana lahiriah seperti mata. Namun di balik itu, ada rahasia yang memerlukan uraian amat panjang.
Kelemahan yang kedua, mata tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau terlalu jauh darinya, tetapi bagi akal, dekat dan jauh tidak ada bedanya. Dalam sekejap mata, akal bisa naik ke langit tertinggi, dan pada kejapan berikutnya, ia meluncur turun ke permukaan bumi. Bahkan jika telah mencapai hakikat segala sesuatu, tersingkaplah baginya bahwa kedekatan dan kejauhan tak kan datang mengelilingi kediriannya seperti yang terjadi pada benda-benda materi. Hal ini merupakan contoh dari samudra luas sifat-sifat kebesaran Allah. Sedangkan contoh takkan terlepas sama sekali daripada memiliki kemiripan dengan aslinya sekalipun tidak akan  mencapai puncak derajat yang sama dengan aslinya itu. Hal ini mungkin membuat Anda berpikir untuk memahami makna yang benar dari sabda Nabi Saw :
Allah menciptkan Adam menyerupai citra-Nya.”
Akan tetapi, kukira bukan waktunya pada kesempatan ini untuk mengarungi lautan masalah tersebut.
Kelemahan ketiga, mata tidak dapat mencerap sesuatu yang berada di balik hijab, tetapi akal dapat bergerak bebas, bahkan di sekitar ‘arasy (singgasana Ilahi), kursiy dan segala sesuatu yang berbeda di balik selubung lelangit, dan di sekitar para penghuni alam tertinggi serta ‘alam malakut, sama bebasnya seperti  di alam dunianya sendiri, yakni kerajaannya yang dekat dan khusus baginya. Bahkan, hakikat-hakikat segala sesuatu tidak akan ter-hijab (terdinding) bagi akal. Pada kenyataannya, hijab bagi akal hanyalah di saat ia meng-hijab dirinya sendiri dengan sifat dan cara yang sama seperti mata menutup dirinya sendiri ketika mengatup pelupuknya. Hal ini akan Anda ketahui secara lengkap pada bagian ketiga buku ini.
Kelemahan keempat, mata hanya dapat mencerap bagian luar serta bagian permukaan segala sesuatu dan bukan bagian dalamnya, bahkan hanya kulit dan bentuknya, dan bukan hakikat-hakikatnya. Sedangkan akal mempu menerobos bagian dalam segala sesuatu dan rahasia-rahasisanya, mencerap hakikat-hakikat dan ruh-ruhnya, menyimpulkan sebab-sebab, sifat-sifat dan hukum-hukumnya, darimana ia berasal, bagaimana penciptaannya, atas berapa bentuk makna ia tersusun, apa martabat dan kedudukannya dalam wujud, betapa hubungannya denga makhluk-makhluk lainnya, dan masih banyak lagi materi bahasan seperti ini yang menjadi amat panjang bila diuraikan. Oleh karena itu, sebaiknya diringkas saja.
Kelemahan yang ke lima, mata hanya dapat melihat sebagian kecil dari maujuda (segala sesuatu yang ada). Ia tidak mampu menjangkau yang ma’qul dan mahasus (yang dapat dijangkau oleh akal dan perasaan) semuanya, yang berada di luar penglihatannya. Ia juga tidak dapat bunyi-bunyian, bau-bauan, rasa makanan, panas dan dingin ataupun menyamai berbagai daya cerap lainnya, yakni daya pendengaran, penciuman dan perasaan. Demikian pula perasaan-perasaan kejiawaan, seperti gembira, senang, sedih, gelisah, bimbang, nyeri, bahagia, cinta, rindu, kemampuan, kemauan, pengetahuan, dan aneka ragam maujudat lainnya yang tak terhitung banyaknya. Jadi, mata mempunyai jangkauan yang sempit, ruang lingkupnya terbatas, tidak mampu melampaui batas alam warna dan bentuk, yang notabene merupakan kemaujudan paling rendah. Sebab, jism-jism (benda-benda) merupakan bagian terendah dari segala maujuda, yakni segala yang ada di alam ini, substansi dan aksidennya. Adapun bentuk dan warna hanya merupakan ‘aradh (aksiden) terendah dan maujudat, sedangkan seluruh maujudat adalah bidang jangkauan akal, disebabkan ia dapat mencerap semua maujudat yang telah kami sebutkan; dan yang belum kami sebutkan, lebih banyak lagi. Dengan demikian, akal mampu berkiprah dan memberikan penilaiannya pada semua itu dengan penuh keyakinan dan kepastian, sehingga rahasia-rahasia dan makna-makna tersembunyi, tampak jelas baginya.
Nah, betapa mungin mata lahiriah bisa menyamai akal dalam kepatutannya untuk menyandang nama cahaya? Tidak! Mata mungkin saja adalah “cahaya” bila dibandingkan dengan sesuatu lainnya. Tapi ia sesungguhnya adalah “kegelapan” bila dibandingkan dengan akal, bahkan ia adalah satu di antara banyak mata-mata (spion) yang ditugaskan oleh akal untuk mengawasi khazanahnya yang paling rendah, yaitu khazanah warna-warna dan bentuk-bentuk, agar ia (mata) melaporkan berita-berita itu semua, sehingga akal dapat menetapkan penilaiannya dengan pikirannya yang tajam dan keputusan yang berlaku. Demikian pula, perasaan indra lainnya, adalah spion-spion akal berkenaan dengan berbagai khayalan, pikiran, perkiraan, ingatan dan hafalan. Di belakang itu smua, masih ada “pelayan=pelayan” dan “tentara-tentara” yang tunduk patuh pada perintahnya di dunianya yang sekarang. Diperalatnya mereka itu semua sebagaimana seorang raja memaksa dan memperalat hamba-hamba sahayanya, bahkan lebih dari itu. Uraian tentang  itu amat panjang dan telah kami berikan dalam bab Keajaiban Ilmu dari Kitab Ihya Ulumuddin.
Kelemahan ke enam, yaitu bahwa mata tidak mampu melihat sesuatu yang tak terhingga  (yang tidak ada batasnya) sebab ia hanya melihat sifat-sifat benda-benda yang dikenal, sedangkan benda-benda tidak mungkin kecuali memiliki batas. Adapun akal dapat mencerap hal-hal yang ma’qul (yang dapat dipikirkan), sedangkan pikiran-pikiran adalah sesuatu yang – tentunya – tak terhingga. Memang, bila akal memperhatikan ilmu-ilmu yang telah diketahuinya, sudah tentu apa yang telah diraihnya sampai sekarang adalah terbatas, tetapi ia pun memiliki kekuatan untuk mencerap sesuatu lainnya yang tak terbatas atau tak terhingga. Uraian tentang ini amat panajng, tapi bila Anda ingin, ambillah sebuah contoh di bidang ilmu hitung. Akal dapat menguasai pengetahuan mengenai bilangan-bilangan yang tak terbatas. Ia menguasai kelipatan dua, tida dan bilangan lainnya yang tak ada batasnya. Ia juga dapat mencerap berbagai hubungan dan kaitan antara bilangan-bilangan yang tak ada batasnya. Bahkan, ia mencerap “pengetahuan dirinya tentang sesuatu”, “pengetahuannya tentang  pengetahuan dirinya tentang sesuatu”, serta “pengetahuannya tentang pengetahuan dirinya tentang sesuatu”. Kemampuannya dalam hal ini pun tak berhenti pada suatu akhir ......!
Kelemahan ke tujuh, yaitu bahwa mata mencerap sesuatu yang besar seakan kecil. Ia melihat matahari sebesar bola dan bintang-bintang serupa dengan dinar-dinar berserakan di atas hamparan permadani biru, sedangkan akal menyadari bahwa bintang dan matahari berlipat kali jauh lebih besar dari bumi. Mata melihat bintang-bintang berhenti di tempatnya, juga bayang-bayang matahari di hadapannya diam tak bergerak, dan tubuh anak kecil tetap pada ukurannya. Sedangkan akal mengetahui bahwa bocah itu bergerak tumbuh dan terus bertambah besar, bayang-bayang bergerak terus menerus dan bintang-bintang berjalan bermil-mil di setiap saat. Seperti ketika Nabi Saw., bertanya kepada Jibril : “Apakah matahari telah bergerak dari pertengahan langit?” Jibril menjawab : “tidak; ya” Rasulullah bertanya : “Bagaimana?” Jawab Jibril “Sejak ucapanku tidak’, sampai ‘ya’, matahari telah bergerak sejauh perjalanan lima ratus tahu.”.
Banyak sekali kesalahan penglihatan mata, sedangkan akal terhindar daripadanya. Seandainya Anda berkata :
“Telah Kami singkap tirai yang menutupimu ............. kini penglihatanmu amat tajam! (QS. Qaf – 50 : 22).
Tirai itu tidak lain adalah tirai khayal dan wahm (persangkaan) palsu. Pada saat itulah orang yang telah terkelabui oleh prasangakaan, kepercayaan dan khayalan yang palsu berkata :
“Wahai Tuhan kami, kini kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia agar dapat beramal saleh. Kini kami telah menjadi orang-orang yang yakin ..... (QS. Al-Sajdah : 32 – 12).
Dengan ini Anda telah mengetahui bahwa --- sesungguhnya --- “mata” lebih utama menyandang nama “cahaya” daripada cahaya yang biasa dikenal dan dirasakan. Kemudian Anda mengetahui pula bahwa akal lebih utama dengan nama cahaya daripada mata. Bahkan di antara keduanya terdapat perbedaan tingkatan yang demikian besarnya, sehingga membolehkan kita berkata bahwa “akal” – lah yang lebih utama, bahkan sebenarnya lebih berhak menyandang nama “cahaya”.

Al-Quran sebagai Cahaya untuk Penglihatan Akal

Ketahuilah bahwa akal, kendatipun  memiliki kemampuan meliaht, tidaklah berarti bahwa semua yang dapat dilihat olehnya berada dalam tingkatan yang sma. Tapi sebagian daripadanya seakan hadir di hadapannya, seperti pengetahuan-pengetahuan aksiomatis, misalnya b ahwa sesutu tidak mungkin, dalam waktu yang sama, menjadi lama dan baru sekaligus, atau ada dan tidak ada, atau suatu ucapan menjadi benar dan bohong pada suatu waktu yang bersamaan. Bahwa hukuman ja’iz (boleh dilakukan) yang berlaku untuk sesuatu, berlaku pula untuk lainnya yang serupa sepenuhnya. Demikian pula jia ada sesuatu yang dikhususkan dari sesuatu yang umum, maka yang umum itu dipastikan adanya. Sehingga jika ada yang disebut “hitam”, maka dapat dipastikan adanya sesuatu yang disebut “warna”. Jika ada manusia, biscaya dapat dipastikan adanya yang disebut hayawan (sesuatu yang hidup). Tetapi, kebalikannya tidaklah harus ada, menurut akal. Dengan demikian, adanya “warna” tidak mengharuskan adanya “hitam”. Atau adanya “hayawan” tidak berarti keharusan adanya “manusia”. Banyak lagi masalah aksiomatis seperti itu di antara hal-hal yang “harus”, “boleh”, atau “mustahil”. Demikian pula adanya hal-hal yang tidak dapat diterima atau bersesuaian dengan akal, segera pada saat dihadapkan kepadanya, sehingga akal perlu digerakkan, dirangsang, dan diingatkan agar dapat mencerapnya, seperti dalam hal nazhariyat (yang bersifat teoritis). Namun yang akan berhasil mengingatkannya hanyalah ucapan kaum hukama’, yakni para bijak bestari yang beroleh hikmah. Pada saat terpancarnya cahaya hikmah, manusia akan menjadi “dapat melihat dengan kehendaknya” setelah sebelum itu hanya “dapat melihat secara terpaksa”. Adapun hikmat teragung adalah Firman Allah Swt., yang di antaranya, secara khusus, adalah Al-Quran; sehingga dengan demikian, kedudukan Al-Quran bagi mata akal adalah sama seperti kedudukan cahaya matahari bagi mata lahiriah. Sebab, hanya dengan itu akan sempurnalah penglihatan. Dengan itu pula, Al-Quran lebih patut menyandang nama cahaya, sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya. Oleh sebab itu, misal Al-Quran adalah “cahaya matahari” dan misal akal adalah “cahaya mata”. Dengan ini dapatlah dipahami Firman Allah Swt. :
“Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada nur (cahaya) yang Kami turunkan. (QS. Al-Taghibun : 64 : 8).
Firman-Nya lagi :
“Hai manusia, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu “cahaya” yang terang. (QS. Al-Nisa’ 4 : 174).

Alam Syahadah dan Alam Malakut

Telah Anda ketahui kini, baha ada dua macam mata, yakni lahiriah dan mata batiniah. Mata lahiriah dari alam indriawi dan alam kasat mata (‘alam al-hiss was-syahadah), dan mata batiniah dari alam yang lain, yaitu alam malaikat atau ‘alam malakut. Masing-masing mata tersebut mempunyai “matahari” dan “cahaya” yang dengan kedua-duanya daya penglihatannya menjadi sempurna. Untuk mata lahiriah, dari ‘alam syahadah (alam kasat mata), yaitu matahari  (yang dpat dicerap oleh indra). Untuk mata batiniah, dari ‘alam malakut, yakni Al-Quran dan kitab-kitab Allah yang telah diturunkan.
Bila hal ini telah tersingkap secara sempurna bagi Anda, maka telah terbukalah sebuah pintu dari pintu-pintu ‘alam malakut. Dalam alam ini terdapat keajaiban-keajaiban yang amat memesonakan yang akan membuat remehnya  ‘alam syahadah di sampingnya. Barang siapa belum bepergian ke ‘alam malakut dan tertinggal oleh kelemahannya dalam dasar kehinaan ‘alam syahadah, maka ia masih dapat disebut sebagai hewan yang terjauhkan dari kekhasan kemanuisaan. Bahkan ia lebih sesat dari hewan, sebab hewan memang tidak diberi sayap-sayap sebagai alat untuk terbang ke ‘alam malakut ini. Itulah sebabnya Allah Swt., berfirman :
“mereka seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Merekalah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf 7 : 179).
Ketahuilah pula bahwa kedudukan ‘alam syahadah bila didbandingkan dengan ‘alam malakut seperti kulit buah bila dibandingkan dengan isinya, atau bentuk luar sesuatu dibandingkan dengan ruhnya, atau kegelapan dibandingkan dengan cahaya, atau kerendahan dibandingkan dengan ketinggian. Oleh karena itu, ‘alam malakut disebut juga alam atas, alam ruhani, dan alam nurani (alam cahayani). Sebagai lawab katanya, ‘alam syahadah, juga disebut alam bawah, alam jasmani, dan alam gelap. Tapi janganlah sekali-kali Anda mengira bahwa yang kami maksud dengan alam tinggi itu ialah lelangit, sebab memang ia tinggi dan “di atas” dalam pemahaman sebagian penghuni ‘alam syahadah dan alam indriawi, seperti juga ikut dipahami oleh hewan-hewan.
Adapun seorang hamba Allah, yang benar-benar menghambakan diri kepada-Nya, yang telah terbuka baginya pintu-pintu malakut dan ia sendiri telah menjadi bagian dari ‘alam malakut itu, maka bumi dan langit ini dalam pandangannya telah berubah menjadi sesuatu yang lain. Bahkan segala sesuatu yang berada dalam lingkup indra dan khayal (imajinasi) bukanlah menjadi bumi tempat tinggalnya lagi, termasuk pula langit (samawi) serta segala sesuatu yang langitnya menjulang tinggi bagi indranya.
Inilah mi’raj (pendakian) pertama bagi setiap orang yang ber-salik, yang memulai perjalanannya menghampiri hadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah makhluk “yang dikembalikan ke tempat yang paling rendah”, dan dari sana ia mendaki menuju alam tertinggi. Adapun malaikat, mereka itu termasuk ‘alam malakut, menempel pada Hadirat Al-Quds (Hadirat Kesucian Allah Swt.). Dari sana mereka menatap ke arah alam bawah. Karena itu, Rasulullah Saw., pernah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mencipta makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia limpahkan secercah cahaya dari-Nya atas mereka.”
Sabda beliau pula :
“Ada malaikat-malaikat Allah yang mengetahui tentang amal-amal manusia lebih dari pengetahuan mereka sendiri.”
Para nabi, apabila mi’raj mereka telah mencapai ‘alam malakut, maka mereka telah sampai ke tempat pencapaian terakhir, dan dapat menyaksikan sejumlah alam gaib. Sebabnya ialah : siapa-siapa yang berada di ‘alam malakut pada hakikatnya ia berada di sisi Allah yang di tangan-Nya tergenggam semua kunci gaib. Yakni, hanya dari sisi-Nya semua penyebab adanya maujudat di ‘alam syahadah ini diturunkan, dengan perkenan-Nya. Sebab,  ‘alam syahadah adalah sebagian “bekas” atau akibat dari ‘alam malakut, seperti hanya bayang-bayang dari seseorang atau buah dari pohon yang berbuah, atau akibat dari suatu sebab. Maka dari itu, kunci-kunci pengetahuan tentang “akibat” ialah pengetahuan tentang “sebab” yang menimbulkannya. Berdasarkan hal itu, ‘alam syahadah adalah misal (contoh) dari ‘alam malakut, seperti dalam uraian yang akan datang tentang misykat, pelita dan pohon. Sebelumnya, segala yang berasal dari sesuatu lainnya tidak akan terlepas sama sekali dari kesamaan dan kemiripan dari sumbernya yang asli, baik sedikit ataupun banyak. Hal ini merupakan lautan amat dalam, siapa saja yang memiliki pengetahuan tentang hakikatnya, akan tersingkap bagian hakikat tamsil-tamsil (perumpamaan-perumpamaan) Al-Quran, dengan mudah.

Para Nabi sebagai Pelita-Pelita Penerang


Telah kami sebutkan sebelum ini bahwa segala sesuatu yang dapat melihat dirinya sendiri serta meihat benda lainnya lebih utama menyandang  nama “cahaya”. Jika ada yang dapat melihat dirinya sendiri dan benda lainnya dan di samping itu masih dapat pula membuat sesuatu lainnya melihat benda lainnya, maka tentunya lebih utama menyandang nama “cahaya” daripada sesuatu yang tak mampu memengaruhi benda lainnya sama sekali. Bahkan lebih patut dinamakan siraj munir (pelita menerangi) disebabkan pelimpahan cahayanya atas lainnya. Nah, kekhasan seperti ini terdapat pada ar-Ruh al-Qudsiy an Nabawy (Ruh Suci Nabi saw.) sebab dengan perantaranya terlimpahlah cahaya-cahaya pengetahuan atas diri makhluk. Dengan itu pula dapatlah dipahami mengapa Allah Swt., menamakan Muhammad Saw., Siraj Munir (Pelita Menerangi). Adapun para Nabi semua adalah pelita-pelita; demikian pula para ulama, tetapi tentunya di antara mereka terdapat perbedaan tingkatan tak terbilang.

Sumber Cahaya Kebumian

Bila sesuatu yang dapat mendatangkan cahaya penglihatan kepada lainnya patut dinamakan Siraj Munir, dapatlah dinyatakan bahwa sesuatu yang darinya sang pelita itu memperoleh cahayanya sepantasnyalah dinamakan “Api”. Pada dasarnya, semua pelita ke-bumi-an hanyalah mengambil sinarnya dari cahaya-cahaya alam atas, sedangkan ruh suci Nabi ini “ ...... minyaknya nyaris bersinar walau pun tidak disentuh api”. Namun ia akan menjadi “cahaya di atas cahaya” bila tersentuh “Api”. Maka dari itu, dialah sepatutnya yang menyulutkan (cahaya) untuk ruh-ruh ke-bumi-an dari ruh-ruh Ilahiah di alam atas yagn dilukiskan oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah Bin Abbas (radhiyallahu ;anhuma), ketika keduanya berkata : “Allah Swr, mempunyai malaikat yang memiliki tujuh puluh ribu mulut, pada setiap mulut ada ada tujuh puluh ribu lidah, dengan itu semua malaikat tersebut bertasbih kepada Allah.”
Dialah pula yang diperbandingkan dengan seluruh malaikat selainnya dalam firman Allah :
“Pada hari ruh dan malaikat berdiri bersaf-saf ..... (QS. Al-Naba’ 78 : 38).
Maka jika ruh-ruh Ilahiah di alam atas itu merupakan sumber nyala segala pelita bumi, tidaklah ada perumpamaan yang lebih tepat baginya kecuali “Api”, dan itu tak dapat dibayangkan lebih dekat dari api yang berada di balik “gunung” (Thur Sina).

Tingkatan-tingkatan Cahaya-Cahaya di Alam Malakut

Cahaya-cahaya langit yang merupakan sumber cahaya-cahaya ke-bumi-an, sekiranya harus diurutkan sehingga sebagiannya menyulut dari sebagiannya yang lain, tentunya yang lebih dekat kepada sumber pertama lebih utama beroleh nama “cahaya”, sebab ia lebih tinggi derajatnya. Adapun misal (alam kasat mata), tidaklah akan dimengerti oleh seseorang kecuali dengan meliaht cahaya bulan purnama yang menerobos lubang angin sebuah rumah dan jatuh di atas sebuah cermin yang terpasang pada dinding yang membiaskan cahaya itu pada dinding lain di hadapannya, lalu membiaskan cahaya itu ke atas lantai sehingga meneranginya.
Tentunya Anda dapat mengetahui bahwa cahaya yang berada di atas lantai itu berasal dari dinding, dan yang berada di atas dinding berasal dari cermin, dan yang berada pada cermin berasal dari bulan, dan yang berada pada bulan berasal dari matahari, sebab daripadanyalah terpancar cahaya pada  bulan. Keempat cahaya itu, berturut-turut, sebagiannya lebih tinggi dan lebih sempurna dari sebagian yang lainnya. Bagi masing-masing maqam (kedudukan) tertentu serta tingkatan khusus, tak mungkin ada yang melampauinya.
Nah, ketahuilah bahwa telah tersingkap bagi sebagian kalangan yang tercerahkan mata hatinya bahwa cahaya malakut berturut-turut seperti itu pula, dan bahwa yang muqarrab (yang didekatkan) ialah yang paling dekat kepada “Cahaya Terakhir”.
Oleh sebab itu, tidaklah mustahil bahwa tingkatan Malaikat Israfil di atas tingkatan Jibril, dan bahwa di antara mereka ada yang lebih dekat  tingkatannya di hadirat Ketuhanan yang merupakan “Sumber dar segala Cahaya semuanya”, dan ada pula yang lebih rendah.
Di antara mereka terdapat tingkatan-tingkatan yang tak mungkin dapat dihitung. Hanya saja yang diketahui ialah banyaknya jumlah mereka serta adanya urutan-urutan dalam saf-saf mereka, dan bahwa mereka seperti yang mereka lukiskan sendiri ketika berkata :
“ ......... Masing-masing kami memiliki maqam tertentu dan kami adalah makhluk-makhluk yang bersaf-saf dan bertasbih (QS. Al-Shaffat 37 : 164 – 166).

Hakikat Sumber Segala Cahaya

Bila telah Anda ketahui bahwa cahaya-cahaya itu memiliki urutan-urutan, kini ketahuilah bahwa hal itu tidak berarti cahaya-cahaya itu bersambungan terus-menerus tanpa batas. Akan tetapi, ia terus meninggi sehingga mencapai “sumber yang pertama”, yaitu “Cahaya” itu sendiri, dengan  zatnya sendiri, tidak didatangi oleh suatu cahaya dari seuatu lainnya, dan daripadanya memancar semua cahaya sesuai dengan urutannya.
Perhatikanlah kini, adakah nama cahaya lebih patut dan lebih utama bagi sesuatu yang beroleh pinjaman cahaya dari sesuatu lainnya, ataukah bagi sesuatu yang bercahaya pada zatnya sendiri serta  memberikan cahaya bagi semua selain dirinya? Kukira kebenaran tentunya tak akan tersembunyi bagi Anda, dan dengan itu pula Anda merasa yakin bahwa nama Cahaya hanyalah patut untuk “Cahaya Terakhir lagi Tertinggi” yang tiada cahaya di atasnya dan daripadanya turun segala cahaya kepada selainnya.
Kini bahkan aku berani berkata, dan aku tak peduli, bahwa penamaan cahaya untuks esuatu selain Cahaya Pertama adalah majaz (kiasan) semata-mata. Sebab segala sesuatu selainnya, bila ditinjau pada zatnya senidir, sama sekali tidak memiliki cahaya. Cahaya yang ada padanya hanyalah berupa pinjaman dari sesuatu lainnya. Oleh sebab itu, tiada esensi bagi kecahayaannya pada dirinya sendiri, tapi hanya dengan sesuatu  lainnya. Sedangkan kepemilikannya akan barang pinjaman adalah majaz (kiasan) murni.
“Tidaklah Anda lihat, seseorang yang meminjam pakaia, kuda, kendaraan, pelita, atau apa saja, ketika ia menggunakannya pada saat ia diberi kesempatan oleh si pemberi pinjaman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan baginya. Adakah orang itu boleh disebut sebagai orang yang kaya secara sebenarnya, ataukah hanya secara majaz? Ataukah, si pemberi pinjaman itulah yang boleh disebut sebagai orang kaya, yang darinya berasal peminjaman dan pemberian, dan menjadi haknya untuk meminta atau mencabut kembali barang-barang pinjaman itu? Tidak! Justru si peminjam adalah seorang tak berpunya, fakir seperti sedia kala, sedangkan yang kaya adalah si pemberi pinjaman yang darinya berasal peminjaman dan pemberian, dan baginya hak meminta dan mencabut kembali. Jadi, cahaya yang haqq adalah DIA yang dalam kekuasan-Nya segala penciptaan dan keberlangsungannya setelah itu. Tiada siapa pun bersekutu dengan-Nya dalam hakikat nama ini ataupun dalam kepatutan hak-Nya. Kecuali bilamana DIA telah menamakannya bagi orang lain atau sesuatu yang lan, atas perkenan dan kemurahan-Nya semta-mata. Sekedar kemurahan seorang majikan kepada hambanya ketika memberinya harta lalu menamakan hamba-hambanya itu sebagai “pemilik” harta itu. Bila telah tersingkap  hakikat ini bagi si hamba, ia pun akan menyadari bahwa dkirinya serta hartanya adalah milik majikannya satu-satunya, tiada ia bersekutu dengannya sama sekali.

Allah Swt. Adalah Sebenar-benar Maujud dan Cahaya

Manakala Anda telah mengetahui tentang cahaya yang tampak dan menampakkan serta tingkatan-tingkatannya, maka kini ketahuilah bahwa tidak ada kegelapan sepekat kegelapan ‘adam (ketiadaan, non-exixtence). Seba  ia adalah sesuatu yang amat sangat gelap. Sedangkan sesuatu dinamakan gelap karena ia tidak tampak bagi penglihatan, tidak menjadi maujud bagi penglihatan. Padahal, ia sebenarnya “ada” dalam dirinya sendiri. Maka dari itu, seuatu yang tidak ada, baik untuk sesuatu yang lain maupun untuk dirinya sendiri, sudah sepatutnya menjadi yang tegelap dari segalanya.
Adapun yang berlawanan dengan ‘adam (ketiadaan) ialah wujud (keberadaan). Ia adalah cahaya, sebab sesuatu bila tidak tampak dalam wujudnya sendiri tidak akan tampak pula bagi yang lainnya. Kemaujudannya itu sendiri juga terbagi menjadi : yang memiliki kemaujudan pada dirinya sendiri dan yang memiliki kemaujudan dari sesuatu selainnya, maka kemaujudannya itu adalah barang pinjaman yang tidak bernilai dengan sendirinya. Bahkan bila ditinjau kemaujudannya itu dari dirinya sendiri, maka sesunggihnya ia adalah ketiadaan yang murni. Kemaujduannya atau keberadannya itu hanyalah nisbi belaka, bukan wujud yang sebenarnya seperti yang telah Anda ketahui dalam perumpamaan peminjaman pakaian atau harta kekayaan yang telah disebutkan sebelum ini.
Kesimpulannya, sesuatu yang “maujud” dengan sebenar-benarnya adalah Allah Swt., sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah Swt!

Hakikat Segala Hakikat

Dari sinilah kaum ‘arifin menanjak dari dasar majaz ke puncak hakikat. Dengan demikian, menyempurnakan mi’raj (pendakian) mereka sehingga melihat dengan musyahadah (penyaksian), secara langsung bahwa “tidak ada sesuatu dalam wujud melainkan Allah”, dan bahwa “segala sesuatu binasa selain wajah-Nya.” Sebab, segala sesuatu akan binasa pada suatu waktu tertentu, bahkan --- pada hakikatnya – ia adalah sesuatu  yang binasa secara azali,s ejak permulaan dan untuk selamanya. Tiada gambaran lain selain itu, sebab segala sesuatu selain DIA, bila ditinjau dari keberadannya sendiri, adalah ketiadaan yang murni. Bila ditinjau dari arah datangnya keberadaannya dari “Sumber Pertama” yang haqq, dapatlah disadari bahwa ia maujud b ukan pada dirinya sendiri, tapi dari arah DIA yang telah mewujudkannya. Dengan demikian yang disebut maujud itu hanyalah Allah. Setiap sesuatu memiliki dua wajah, wajah ke arah dirinya sendiri dan wajah ke arah Tuhannya. Maka dari itu, ditinjau dari arah dirinya sendiri, ia adalah ‘adam (ketiadaan), dan ditinjau dari arah Allah, ia adalah wujud (keberadaan). Jadi, tidak ada maujud kecuali Allah dan wajah-Nya. Dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya secara azali dan abadi.
Kaum ‘arifin, seperti yang disebutkan di atas, tidaklah membutuhkan datangnya hari kebangkitan untuk mendengar seruan Allah. Sang Pencipta :
“Bagi siapakah kerajaan hari ini? Bagi Allah Yang Mahatunggal lagi Mahaperkasa ..... (QS. Al-Mu’min 40 : 16).
Sebab seruan itu tidak pernah berpisah dari pendengarannya selama-lamanya.
Mereka juga tidak memahami ucapan Allahu Akbar (Allah adalah Yang Terbesar), bahwa DIA adalah lebih besar dari sesuatu selain-ya. Mahasuci Allah! Bukankah taka da selain DIA dalam wujud ini bersama-Nya sehingga DIA dapat dikatakan lebih besar darinya? Bahkan, tak ada sesuatu pun yang memiliki tingkatan kebersamaan dengan-Nya ataupun tingkatan mengikuti-Nya. Bahkan, tiada kewujudan bagi selain DIA, kecuali dari arah-Nya. Maka dari itu, yang ada hanyalah wajah-Nya dan mustahil DIA menjadi lebih besar dari wajah-Nya.
Arti sebenarnya ialah bahwa : “DIA adalah lebih besar dari kemungkinan disebut sebagai lebih besar dalam arti nisbi atau pun dalam bandingan”. Juga lebih besar dari kemungkinan adanya sesuatu selain-Nya yang mampu menyelami hakikat keberadaan-Nya, baik ia seorang nabi ataupun malaikat. Bahkan, tak mungkin ada yang mengetahui hakikat pengetahuan mengenai-Nya, kecuali DIA sendiri. Sebab, segala sesuatu yang dapat diketahui termasuk di bawah kekuasaan (“orang”) yang mengetahui dan pengaruhnya. Hal itu tentunya berlawanan dengan keagungan dan keperkasaan-Nya. Pen-tahkik-an tentang ini telah kami uraikan dalam kami al-Maqshad al-Asna fi Ma’ani As-ma’Illah al-Husni.

Berbagai Keadaan Kaum ‘Arifin yang Mencari Langit Hakikat

Kaum ‘arifin, setelah mi’raj (penadkian) ke langit hakikat, bersepakat bahwa mereka tak melihat dalam wujud ini kecuali Yang Mahatunggal lagi Mahabesar. Namun, di antara mereka ada yang mengalami keadaan ini secara ma’rifat dan ilmu, ada pula yang meraihnya dengan dzuq (cita rasa batiniah) dan hal (suatu keadaan luar biasa yang meliputi diri seseorang). Pada saat seperti itu, kemajemukan lenyap sama sekali dari mereka dan tenggelamlah mereka dalam ketunggalan yang murni (al-fardaniyyah al-mahdhah), terpesona dalam keindahannya, kehilangan kesadaran diri sehingga tidak lagi tertingga pada diri mereka kemampuan untuk mengingat sesuatu selain Allah, bahkan tidak pula untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, tiada lagi sesuatu dalam pikiran atau diri mereka selain Allah. Mereka pun menjadi “mabuk kepayang” dan hilang pula kekuasaan akal mereka karenanya. Sehingga ada di antara mereka yang – pada saat-saat seperti ini --- pernah berkata “Akulah Al-Haqq”. Yang lainnya berkata : “Mahasuci Aku! Alangkah agungnya keadaan-Ku!” atau : “Tiada sesuatu di balik jubah ini selain Allah ...... !
Ucapan-ucapan para ‘asyiq (orang-orang yang diliputi keasyikan atau kecintaan dan kerinduan) seperti ini, di saat-saat kemabukan, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab mereka sendiri ketika telah mulai sembuh dari keadaan mabuk itu dan telah kembali pula kekuasaan akal yang merupakan  mizan (neraca) Allah di atas bum-Nya, sadarlah mereka bahwa itu bukanlah ittihad (keadaan menyatu) yang sebenarnya dengan Allah, tapi hanya menyerupai ittihad sebagaimana yang disenandungkan si ‘asyiq dalam keadaan kesyikan yang amat sangat :
Akulah dia yang kucintai
Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua ruh,
Bersemayam dalam raga yang satu .....
Ibarat orang yang belum pernah melihat cermin, lalu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan melihat gambar dirinya di sana. Dikiranya bahwa gambar yang dilihatnya pada cermin itu adalah gambar cermin yang telah menyatu dengan gambar dirinya sendiri.
Atau, seseorang melihat minuman anggur dalam sebuah gelas, lalu mengira bahwa anggur itu bukan anggur, tapi itu hanya warna si gelas. Jika kelak keadaan itu sudah menjadi terbaisa baginya dan kuat pula pengetahuannya, barulah ia akan menyadari keadaan sebenarnya,s ebagai mana dalam untaian syair ini :
Gelas bening dan anggur nan murni.
Keduanya serupa bercampur menyatu.
Seakan anggur tanpa gelas,
Atau gelas tanpa anggur.
Tentunya berbeda anmtara dua ucapan : “Anggur ini adalah gelas” dengan “Anggur itu seakan-akan gelas”, seperti yang diucapkan oleh penyair.
Keadaan ini, bila telah memuncak, dan dikaitkan dengan orang yang dikuasai seperti itu, disebut “fana” (luluh, lenyap), bahkan ada kalanya disebut “fana-nya kefanaan”. Sebab orang tersebut telah fana dari dirinya, bahkan fana dari kefanaannya. Ia kini tidak menyadari bahwa dirinya dalam keadaan itu dan tidak menyadari pula “ketidaksadarannya akan keadaa dirinya itu”. Sekiranya ia menyadari ketidaksadarannya itu, tentunya ia (telah) menyadari keadaan dirinya.
Keadaan seperti ini – dalam kaitannya dengan orang yang tenggelam  di dalamnya  -- dalam bahasa majaz dinamakan ittihad, dan dalam bahasa hakikat dinamakan tauhid.
Namun di balik segala hakikat ini masih amat banyak rahasia yagn tak seyogyanya kita arungi.

Tak Ada Cahaya Sebenarnya kecuali Allah Swt.

Mungkins aja Anda ingin mengetahui alasan pengaitan cahaya Allah dengan lelangit dan bumi ataupun alasan mengapa DIA sendiri adalah cahaya langit-langit dan bumi (QS. Al-Nur 24 : 35).
Kukira tidaklah sepantasnya pengetahuan tentang itu masih tersembunyi bagi Anda setelah Anda mengetahui bahwa DIA-lah cahaya itu sesungguhnya. Tiada cahaya selain DIA dan bahwa DIA adalah cahaya seluruhnya dan yang paling meliputi secara sempurna. Sebab, cahaya adalah ungkapan tentang sesuatu yang dengannya tersingkap segala sesuatunya. Yang lebih tinggi lagi ialah yang tersingkap sesuatu dengannya dan untuknya. Lebih tinggi lagi, yang tersingkap segala sesuatu dengannya, untuknya,d an darinya. Bahwa yang demikian itulah cahaya yang hakiki, tiada lagi di atasnya cahaya lain yang darinya ia menyulut dan membekali diri. Sebab, ia sendiri sudah seperti itu, dengan dirinya sendiri, pada zamannya sendiri, darinya dan untuknya, dan bukannya dari suatu zat selainnya.
Kemudian telah Anda ketahui bahwa itu semua tak mungkin terperikan dan tak mungkin menyadang sifat-sifat itu kecuali “Cahaya yang pertama”. Telah Anda ketahui pula bahwa lelangit dan bumi terisi penuh dengan cahaya dari kedua watak atau sifatnya, yakni yang dinisbatkan kepada penglihatan mata serta penglihatan hati. Atau dengan kata lain, dengan indra dan dengan akal. Adapun cahaya indriawi ialah yang dapat kita saksikan di lelangit, seperti bintang, matahari dan bulan. Atau yang kita saksikan di bumi, seperti sinar-sinar yang memancar di atas segala yang di bumi sehingga menimbulkan warna-warna yang beraneka ragam, terutama pada musim-musim semi. Demikian da binatan, tumbuh-tumbuhan, logan dan segala benda lainnya. Sekiranya tak ada cahaya seperti itu, warna-warna itu tak kan tampak, bahkan tak berwujud sama sekali. Kemudian dari itu, segala bentuk dan ukuran yang tampak bagi indra, hanya dapat diserap sesuai dengan warna-warna itu dan tak mungkin itu semua dicerap kecuali perantaranya. Adapun cahaya yang pencerapannya secara mental dan spiritual, maka hal itu memenuhi alam atas, yaitu alam bentuk esensi malaikat (Jawahir al-Mala’ikah)’ dan alam bawah, yaitu dalam bentuk kehidupan hewani kemudian manusiawi. Dengan cahaya manusiawi muncul tatanan alam bawah sebagaimana dengan cahaya malaikat muncul alam atas. Itulah yang dimaksud firman Allah Swt. :
“Dialah yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai penghuni yang memakmurkannya. (QS. Hud 11 : 61).
Firman-Nya lagi :
“ ..... Bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah di muka bumi .... (QS. Al-Nur 24 : 55).
Firman-Nya lagi :
“ .... dan menjadikan kami khaligah-khalifah di muka bumi (QS. Al-Naml 27 : 62). Firman-Nya lagi :
“ .... Aku jadikan seorang khalifah di muka bumi ..... (QS. Al-Baqarah 2 : 30).
Jika hal ini telah Anda ketahui, mengertilah Anda bahwa alam ini seluruhnya dipenuhi dengan cahaya-cahaya lahiriah yang dicerap oleh mata, serta cahaya-cayaha batiniah yang dicerap oleh akal. Kemudian mengertilah Anda bahwa “cahaya-cahaya bawah” saling melimpahkan cahayanya, yang satu kepada yang lainnya, seperti melimpahnya cahaya dari pelita. Bahwa pelita itu ialah cahaya kudus kenabian (an nur an-nabawy al-qudsiy). Bahwa ruh-ruh kudus kenabian itu memperoleh limpahan cahayanya dari ruh-ruh alam atas, sebagaimana pelita memperoleh limpahan cahaya dari api. Bahwa cahaya alam atas saling melimpahkan antara yang satu dengan lainnya. Bahwa itu berurut-urutan seperti urutan-urutan maqam-maqam, yang kemudian semuanya menunjuk ke arah “cahaya segala cahaya”, asal dan sumber cahaya yang Pertama dan Utama, yaitu Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
Dengan demikian, mengertilah Anda bahwa segala cahaya hanya beroleh pinjaman dari-Nya dan sesungguhnya yang hakiki hanyalah cahaya-Nya. Bahwa segalanya berasal dari cahaya-Nya, bahkan DIA-lah, tidak ada sesuatu “DIA” selain-Nya, kecuali secara majaz.
Kesimpulannya, tak ada cahaya kecuali DIA. Segala cahaya adalah cahaya dari arah yang datang dari-Nya dan tidak sekali-kali dari zatnya sendiri. Wajah segalanya tertuju dan menunjukkan dirinya kepada-Nya. Seperti dalam firman Allah :
“Ke mana pun kamu berpaling, di sana wajah Allah. (QS. Al-Baqarah 2 : 115).
Dengan demikian, La ilaha illa huwa (tak ada ilah kecuali DIA). Sebab, Ilah adalah ungkapan bagi sesuatu yang kepada-Nya semua wajah menunjukkan dirinya dengan ibadah (penghambaan) dan ta’lih (pengakuan bahwa DIA adalah ilah atau Tuhan mereka).
Yang kumaksud dengan “semua wajah” ialah wajah-wajah semua jiwa atau, dengan perkataan lain, semua cahaya dan semua ruh. Bahkan, sebagaimana “tiada tuhan selain DIA”, maka “tiada dia kecuali DIA”. Sebab “dia” adalah ungkapan tentang  sesuatu yang kepadanya diarahkan penunjukan (isyarat). Bagaimana pun juga, tidak akan ada penunjukkan kecuali kepada-Nya. Bahkan setiap kali Anda menunjuk, dalam hakikatnya itu adalah penunjukkan kepada-Nya, meskipun Anda tidak mengenal-Nya disebabkan kelalaian Anda tentang “Hakikat segala hakikat” seperti telah kami sebutkan sebelum ini.
Tak seorang pun akan menunjuk ke arah “cahaya matahari”, tapi ternyata ke arah “matahari” itu sendiri. Maka kedudukan seluruh yang ada dalam wujud ini, dalam kenisbahannya kepada Allah Swt., dapat ditamsilkan dengan kenisbahan cahaya kepada matahari. Dengan demikian, “tiada tuhan kecuali Allah: (la ilaha ilallah) adalah tauhidnya kaum awam, sedangkan “tak ada dia kecuali DIA” (la huwa ila huwa) adalah tauhidnya kaum khusus. Sebab pernyataan yang pertama lebih umum, sedangkan yang kedua lebih khusus, lebih meliputi, lebih benar, lebih tepat, dan lebih dekat kepada “ketunggalan dan keesaan murni”.
Adapun akhir mi’raj semua makhluk adalah “Kerajaan Ketunggalan” (Mamlakatul Fardaniyyah). Di baitu, tidak ada lagi tempat pendakian, sebab pendakian tidak bisa dibayangkan kecuali dengan kemajemukan, mengingat bahwa itu adalah suatu bentuk kenisbian yang menyangkut suatu tempat yang dari situ pendakian dimulai dan ke situ ia berakhir. Namun, di saat lenyapnya kemajemukan, ketunggalan menjadi kenyataan, kenisbian tak berlaku lagi dan penunjukan pun tak menentu. Tidak ada lagi sesuatu yang disebut ketinggian dan kerendahan, atau yang turun dan yang naik. Tak mungkin lagi menanjak, tak mungkin lagi mendaki, sebab  tidak ada ketinggian di balik yang tertinggi. Tidak ada lagi kemajemukan di samping yang tunggal, dan tidak ada lagi pendakian bersama dengan sirnanya kemajemukan.
Kalaupun ada perubahan dari suatu keadaan seperti itu, maka itu hanya dapat terjadi dengan “turun ke langit dunia”, yakni dengan cara pemancaran cahaya dari atas ke bawah. Sebab sesuatu yang tertinggi kendati tidak ada yang tertinggi lagi darinya, tapi ada yang lebih rendah darinya.
Inilah tujuan dari segala tujuan dan akhir dari segala pencarian! Diketahui oleh siapa yang mengetahuinya dan diingkari oleh siapa yang tidak mengenalnya. Ia termasuk ilmu yang esensinya tersembunyi dan tersimpan rapat, yang tidak akan mengetahuinya kecuali “laum ilmuwan yang mendalami ilmunya tentang Allah, atas perkenan Allah (al-‘ulama’u billah). Manakala mereka mengungkapkannya tak akan mengingkarinya kecuali ahlul ghirrati billah (yakni, roang-orang yang terkelabui dan mengira dirinya telah mengenal Allah). Maka tidaklah terlalu mengherankan apabila sebagian ulama berkata bahwa yang diamksud dengan “turun ke langit dunia”, ialah turunnya “seorang” malaikat. Di antara kaum ‘arifin ada yang berfaham lebih jauh dari itu dengan mengatakan bahwa Yang Mahatunggal adakalanya turun ke langit dunia dalam arti “turun-Nya” ke penggunaan indra-indra atau penggerakkan anggota tubuh dalam arti seperti yang diisyaratkan oleh sabda Nabi saw. :
“ .... maka Aku menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar, matanya yang dengan itu ia melihat, serta lidahnya yang dengan itu ia bicara.”
Apabila DIA adalah telinganya, matanya,d an lidahnya, maka dengan demikian Dia-lah, dan bukan selain DIA, yang mendengar, yang melihat, dan berbicara. Demikian itulah makna yang diisyaratkan oleh fiman-Nya kepada Musa a.s. : “Ketika aku sakit engkau tak menjenguk-Ku” (hadis Qudsi).
Dengan ini dapat dipahami semua gerakan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar bertauhid seperti ini dari langit dunia (langit terendah), dan perasaan-perasaannya dari langit di atasnya, serta pemikiran akalnya di atas itu lagi ketika ia melakukan pendakian dari langit akal menuju batas akhir mi’raj yang dibenarkan untuk makhluk dan di “Kerajaan Ketunggalan” sampai tujuh lapisan, kemudian setelah itu bersemayam di atas ‘arsy wahdaniyyah (singgasana ketunggalan) dan dari sana men-tadbir-kan segala urusan ke berbagai lapis langit .... Seyogyanyalah uraian ini menjadi bahan renungan siapa saja yang membaca hadis Nabi Saw., bahwa Allah Swt, mencipta Adam a.s., menyerupai citra Al-Rahman” .... agar ia tidak mengartikannya begitu saja secara sembarangan. Sebab hal itu jelas memiliki takwil (arti tersembunyi) seperti juga dalam ucapan sebagian orang ahli tasawuf : “Akulah yang Haqq” dan “Maha Suci Aku!” Demikian pula sabda Nabi Saw, (dalam suatu hadis Qudsi) : “Tak kau jenguk Aku ketika Aku sakit” : dan .... “maka Aku adalah telinganya, matanya, dan lidahnya ....”
Nah, kukira cukup sampai di sini akau harus menarik kendali uraianku, sebab kurasa Anda tak akan mampu menerima seperti ini lebih dari kadar yang telah kuberikan.

Allah Swt. Bersama Segala Sesuatu yang Diciptakan-Nya

Barangkali Anda tak mampu menggapai susunan kata-kata seperti di atas disebabkan himmah (pikiran dan semangat) Anda tak dapat mencapai puncak itu. Oleh sebab itu, kini terimalah olehmu kata-kata yang lebih dekat kepada pemahamanmu dan lebih dekat kepada kelemahanmu.
Ketahuilah bahwa makna pernyataan “Allah adalah Cahaya lelangit dan bumi” dapat Anda pahami dalam hubungannya dengan cahaya penglihatan lahiriah. Yaitu bila Anda menyaksikan warna-warna musim semi, terutama kehijauannya, dalam cahaya siang hari misalnya, tentu Anda takkan ragu bahwa Anda benar-benar menyaksikan warna-warna itu. Bahkan mungkin Anda mengira bahwa Anda tak melihat apa-apa selain warna-warni itu. Seakan-akan  Anda berkata : “Tak sesuatu pun tampak bagiku selain kehiajuan.”
Begitulah, banyak orang bersikeras seperti ini, lalu mereka secara keliru mengatakan bahwa tak ada makna bagi cahaya, dan bahwa tak ada suatu apa pun di samping warna-warna yang tampak. dengan demikian, mereka mengingkari adanya cahaya, padahal ia adalah yang paling tampak benderang di antara segala sesuatu. Betapa tidak, sedangkan dengannyalah segala benda akan tampak. ia pula yang melihat pada dirinya sendiri dan membuat lainnya mampu melihat, seperti penjelasan yang telah lalu.
Namun, pada saat terbenamnya matahari dan ketidak hadiran pelita serta hilangnya bayang-bayang, merek akan menyadari perbedaan esensial yang tak terhindarkan antara tempat bayang-bayang dan letak cahaya. Lalu mereka akan mengakui adanya esensi cahaya di balik warna-warna yang dapat dicerap bersama warna-warna yang tampak, sehingga disebabkan kuatnya kesenyawaannya dengan warna-warna itu, ia menjadi seakan-akan tak dapat dicerap. Disebabkan kuatnya ketampakkannya, ia pun menjadi tersembunyi, kekuatannya itulah yang mungkin menyebabkannya tersembunyi, sebab bilamana telah melampaui batasnya, keadaan sesuatu akan tampak seperti keadaan kebalikannya.
Jika telah Anda sadari ini, kini ketahuilah bahwa orang-orang yang telah tercerahkan nuraninya (arbabul basha’ir) tak melihat sesuatu melainkan pasti juga melihat Allah bersamanya. Mungkin pula sebagian dari mereka akan melampaui ini lalu berkata : “Tak sesuatu pun yang kulihat kecuali telah kulihat Allah sebelumnmya”. Sebab, di antara mereka ada yang melihat segala sesuatu ketika melihat Allah; tapi ada pula yang melihat segala sesuatu lalu melihat Allah dengan itu. Makna yang pertama ditunjukkan oleh firman Allah Swt :
“ .... Tidakkan cukup (bagimu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fushshilat 41 :53).
Makna kedua ditunjukkan oleh Firman-Nya sebelum itu :
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah dan dalam jiwa mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa itu adalah kebenaran sejati. (QS. Fushshilat 41 : 53).
Yang pertama termasuk ahli musyahadah (penyaksian) dan yang kedua termasuk kelompok yang menyimpulkan kemaujudan Allah dengan tanda-tanda dari segala ciptaan-Nya.
Yang pertama adalah tingkatan kaum shiddiqin, yakni orang yang tulus dan membenarkan secara sempurna. Yang kedua adalah tingkatan ‘ulama rasikhun (yang mendalam ilmunya). Setelah kedua tingkatan itu, tak ada lagi kecuali tingkatan orang-orang ghafilin (orang-orang yang lalai) dan mahjubin (terhalang oleh tirai penutup).
Kemudian ketahuilah,s ebagaimana dengan cahaya lahiriah segala sesuatu akan tampak bagi bashirah (penglihatan batiniah), sebab DIA bersama segala sesuatu, tak pernah berpisah dengannya, dan dengan-Nya pula segalanya akan tampak. namun di sini masih ada perbedaan, yaitu bahwa cahaya lahiriah adakalanya menghilang dengan terbenamnya matahari, tertutup sampai timbulnya kebali bayang-bayang. Sedangkan cahaya ilahi yang dengannya tampak segala sesuatu, tak mungkin dibayangkan ketidakhadirannya, mustahil pula ia akan terbenam. Cahaya itu akan selalu bersama segala sesuatu selama-lamanya. Dengan demikian, dalam pembuktian ini terdapat perbedaan. Seandainya dapat terbayangkan ketidak-hadiran Allah, niscaya hancurlah lelangit dan bumi, dan akan tersingkaplah dengan adanya perbedaan itu jalan menuju pengetahuan tentang esensi sesuatu yang menjadi Sumber Utama segalanya. Akan tetapi, mengingat bahwa segala sesuatu semuanya sama dalam kesaksian akan keesaan penciptanya, sebab segalanya – dan bukan sebagiannya saja – bertasbih dengan memuji-Nya pada setiap waktu – dan bukan di sebagian waktu saja – maka jelaslah tentang perbedaan tersebut dan tertutuplah jalan untuk mengenali segala sesuatu ialah dengan (mengenali) kebalikannya (atau lawannya). Sehingga kesaksian akan sesuatu yang tidak ada lawan dan kebalikannya akan membingungkan, dan selanjutnya akan membuatnya tersembunyi atau tak dapat dikenali. Ketersembunyiannya itu adalah justru akibat dari kuatnya ketampakkannya atau juga disebabkan ketiadaan perhatian kepadanya akibat kuatnya pancaran cahayanya.
Mungkin sekali rangkaian kata-kata ini pun tak dapat dimenegerti dengan baik oleh orang-orang yang lemah pengetahuannya, sehingga ia memahami ucapan kami bahwa : “Allah bersama segala sesuatu sebagaimana cahaya bersama segalanya”,  seakan-akan DIA menghuni setiap tempat dan ruang. Mahatinggi dan Mahasuci DIA dari penisbahan kepada tempat!
Namun yang lebih jauh kemungkinannya dari timbulnya khayalan ini ialah dengan menyatakan kepada Anda bahwa DIA “ada” sebelum segala sesuatu, dan bahwa DIA berada di atas segala sesuatu dan bahwa DIA yang menampakkan segala sesuatu. Sesuatu yang menampakkan (mewujudkan), dalam pengertian orang  yang terbuka mata hatinya, tentu tidaklah akan berpisah dari yang tampakkannya atau yang diwujudkannya. Itulah yang kami maksud dalam ucapan kami bahwa “DIA bersama segala sesuatu”.
Kemudian, tentunya Anda menyadari bahwa yang menampakkan bereada “sebelum” yang ditampakkan, dan di atasnya, kendati DIA bersamanya. DIA “bersamanya” dari satu segi dan “sebelumnya” dari satu segi. Namun, janganlah Anda mengira bahwa itu saling bertentangan. Ambillah pelajaran dari benda-benda indriawi yang dapat terjangkau oleh tingkatan pengetahuan Anda. Perhatikanlah bagaimana gerakan tangan berlangsung “bersama” dengan gerakan bayangan tangan dan juga “sebelumnya”.
Nah, siapa saja yang dadanya tak cukup lapang untuk memahami ini, sebaiknya dia meninggalkan segala ilmu yang sejenis dengan ini, sebab bagi setiap ilmu ada orang-orangnya, dan setiap orang dimaksudkan baginya sesuatu yang memang ia diciptakan untuknya.

BAB. II.
PERMISALAN  DALAM  AL-QURAN


Uraian tentang Permisalan Misykat, Pelita, Kaca, Pohon, Minyak, dan Api
Untuk menjelaskan itu semua haruslah dikemukakan dua kutub pembahasan yang ruang lingkupnya bisa menjadi amat luas ta npa batas. Oleh sebab itu, aku hanya akan mengisyaratkan kepada kedua-duanya dengan merumuskannya secara ringkas.
a. Kutub Pertama. Penjelasan tentang rahasia permisalan (tamsilan, perumpamaan), metodenya : alasan penjelasan ruh-ruh berbagai makna (ide) dalam acuan permisalan; hubungan persamaan antara keduanya; dan inti perbandingan antara ‘alam syahadah (alam kasat mata) yang merupakan material segala macan misal (contoh-contoh perumpamaan), dengan ‘alam malakut (alam atas, alam malaikat) yang daripadanya ruh-ruh itu turun.
b. Kutub kedua : mengenai tingkatan-tingkatan inti ruh-ruh manusiawi dan tingkatan cahaya-cahayanya.
Misal atau perumpamaan (ayat 35 Surah Al-Nur) ini dimaksudkan untuk menjelaskan hal itu. Ibn Mas’ud membaca firman Allah tersebut sebagai berikut :
“ ... Permisalah cahaya-Nya dalam hati orang-orang mukmin seperti misykat ..... “ dan seterusnya.
Atau menurut bacaan Ubay bin Ka’ab :
“..... Permisalan cahaya hati orang yang beriman seperti misykat .... “ dan seterusnya

Kutub Pertama : Uraian tentang rahasia Permisalan (Tamsilan) dan Metodenya

Ketahuilah bahwa alam terdiri dari dua bagian : alam ruhani dan alam jasmani. Atau bila Anda ingin, dapatlah Anda sebut sebagai : alam indra dan alam akal, atau bisa pula alam atas (atau tinggi) dan alam bawah (atau rendah). Semua itu hampir sama. Yang berbeda hanya istilah-istilahnya. Jika Anda meninjau keduanya itu dari segi eksistensinya masing-masing, Anda akan menyebutnya jasmani dan ruhani. Jika meninjaunya dalam kaitannya dengan penglihatan yang dapat mencerap keduanya, Anda akan menyebutnya indriawi dan ‘Aqli (akal). Jika meninjaunya dalam hubungan antara arah yang satu dan lainnya, Anda akan menyebutnya “atas” dan “bawah”. Adakalanya Anda menamakan yang satu “alam kenyataan dan kasat mata” (‘alamul-mulk was-syahadah), sedangkan yang lainnya alam gaib dan malakut (‘alam a;ghaib was malakut).
Nah, barangsiapa memandang kepada berbagai hakikat kata-kata, mungkin sekali ia akan kebingungan disebabkan amat banyaknya, dan ia pun akan menghayalkan banyaknya makna yang dikandungnya. Sedangkan orang, yang hakikat-hakikat itu telah tersngkap baginya, akan menjadikan berbagai makna itu sebagai pokok dan istilah-istilah itu sebagai pelengkap. Sebaliknya, orang yang lemah pengetahuannya akan mencari hakikat-hakikat melalui istilah-istilah. Kepada kedua kelompk ini ditujukan firman Allah :
“Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak beroleh petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus? (QS. Al-Mulk 67 : 22).
Kini setelah mengetahui makna kedua alam itu, ketahuilah bahwa ‘alam malakut yang tinggi adalah alam gaib, sebab ia gaib (tak tampak) bagi kebanyakan orang. Sedangkan alam indriawi adalah ‘alam syahadah, sebab dapat disaksikan oleh mereka.
Selain dari itu, alam indriawi adalah sarana pendakian ke alam kekal, dan seandainya tak ada hubungan dan kesesuaian antara keduanya, niscaya tertutuplah jalan pendakian ke alam kekal.sekiranya hal itu terjadi, maka mustahil orang dapat berjalan menuju hadirat ketuhanan serta penghampiran diri kepada Allah Swt.
Tak seorang pun akan berhasil menghampiri Allah Swt, tanpa sebelumnya menginjakkan kakinya di tengah-tengah Hadhrat al-Quds. Yang kami maksudkan dengan itu ialah alam yang jauh meninggi dari pencerapan indra dan khayal yang – jika Anda meninjaunya secara keseluruhan – merupakan lapangan atau arena yang tak sesuatu yang asing baginya akan keluar daripadanya ataupun masuk ke dalamnya. Itulah yang kami maksdukan dengan hadhrat al-Quds. Sebagaimana kita, adakalanya menamakan ruh manusiawi yang menjadi seluruh limpahan-limpahan kesucian Ilahi sebagai “lembah yang disucikan” (al-wadi al-muqadas).
Dalam hadhrat ini terdapat pula berbagai hadhrat yang sebagiannya lebih kuat mengandung makna-makna kesucian daripada lainnya. Meskipun --- sesungguhnya --- kata “hadhrat” sudah melingkupi semua tingkatannya.
Maka janganlah sekali-kali Anda mengira bahwa istilah-istilah ini merupakan “malapetaka-malapetaka” yang tak dapat dicerna oleh akal, terutama bagi orang-orang yang telah tercerahkan mata hatinya.
Aku menyadari bahwa kesibukanku sekarang dalam mencoba menguraikan setiap kata (istilah) yang kusebutkan, akan menghalangiku untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, hendaknya Anda sendiri bersungguh-sungguh dalam usaha memahami arti istilah-istilah tersebut, sebab aku hendak kembali ke sasaranku semula.

Segala sesuatu di ‘Alam Syahadah Dapat Menjadi Misal untuk ‘Alam Malakut

 Mengingat bahwa ‘alam syahadah merupakan sarana pendakian ke ‘alam malakut, mengertilah kita bahwa ungkapan “melintasi shirath mustaqim” adalah suatu ungkapan tentang pendakian semacam ini. Adakalanya hal itu diungkapkan dengan kata din (agama) atau juga “terminal-terminal hidayah”. Nah, sekiranyadi antara kedua alam ini tak ada kesesuaian dan kaitan, niscaya tak dapat dibayangkan kemungkinan pendakian dari satu kepada yang lainnya. Maka dijadikanlah alam kasat mata ini oleh Al-Rahman al-Ilahiyah seimbang dengan ‘alam malakut. Sehingga, tak sesuatu pun di alam yang “ini” kecuali ia merupakan misal untuk alam yang “itu”. Adakalanya untuk sesuatu yang berada di ‘alam malakut tersedia misal-misal yang amat banyak di alam kasat mata. Dan tentunya sesuatu tidak dapat disebut “misal”, kecuali bila ia memiliki sejenis kesamaan atau kesuaian dengan yang dimisalkan.
Untuk menghitung ‘misal-misal’ itu, kita diundang untuk menginvetarisasi di alam semesta secara keseluruhan. Tentunya hal ini tak mungkin terpenuhi oleh kemampuan manusia, tak akan cukup terjangkau oleh kekuatannya, dan tak akan cukup usia singkat mereka semuanya untuk menguraikannya. Sejauh yang dapat kulakukan untuk Anda ialah memberikan sebuah contoh saja agar dengan yang sedikit ini Anda mengetahui yang banyak dan terbuka bagi Anda pintu-pintu pemahaman rahasia-rahasia sejenis itu.

Tingkatan-Tingkatan Cahaya di ‘Alam Malakut

Jadi di ‘alam malakut terdapat berbagai jauhar nurani (jawahir nuraniyyah = substansi cahayawi) yang mulia lagi tinggi, yang biasa disebut “malaikat”, yang melimpahkan cahaya kepada ruh manusia dan yang karena itu adakalanya dinamakan arhab, maka Allah Swt, ada Rabbul-Arhab. Disebabkan semua jauhar nurani ini memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam kenuraniannya (atau kecahayaannya), maka yang patut menjadi misal (perumpamaan) baginya di alam indrawi ini ialah “mata hari”, “bulan”, dan “bintang-bintang”. Berdasarkan itu seseorang yang sedang ber-suluk (melintasi jalan menuju hakikat) akan mendaki dan menanjak, ertama-tama ke sesuatu yang derajatnya sama dengan derajat bintang. Di sana ia akan menyaksikan pancaran cahaya bintang itu dan tersingkaplah baginya bahwa alam bawah seluruhnya berada di bawah wewenangnya dan pancaran-pancaran cahayanya. Terungkap pula baginya  keindahan dan tinggi derajatnya sehingga menyebabkan ia sendiri akan terpesona dan berseru : “Inilah Tuhanku!”/
Kemudian apabila tersingkap baginya sesuatu di atasnya yang tingkatannya adalah tingkatan bulan, ia akan menyaksikan, dalam suasana romantisnya, kehidupan cahaya bintang itu bilan dibandingkan dengan bulan yang berada di atasnya. Di saat itu ia akan berseru “Aku tak menyukai segala yang dapat menghilang cahayanya!”. Demikianlah ia meningkat dan meninggi, sehingga mencapai sesuatu yang tingkatannya adalah tingkatan matahari dan melihatnya lebih besar dan lebih tinggi, meski masih dapat diberikan permisalannya dengan sesuatu yang sesuai atau sebanding dengannya. Hal ini mengingat bahwa suatu perbandingan atau penyamaan dengan sesuatu yang bercacat merupakan cacat tersendiri.
 Nah, di saat-saat seperti itu, ada yang berkata :
“Kuhadapkan wajahku kepada “yang” menciptakan langit dan bumi sebagai orang yang cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah orang yang mempersekutukan Tuhannya ....”
Adapun arti “yang” seperti dalam ayat di atas ialah menunjukkan kepada sesuatu yang tak dapat diketahui dengan jelas. Tak ada hubungan bandingan atau persamaan dengan sesuatu lainnya. Sebab sekiranya ada orang bertanya : “Apa misal perumpamaan arti yang dapat dipahami dari kata yang? Niscaya pertanyaan itu tak dapat dibayangkan dapat terjawab. Dengan demikian, yang tersucikan dari segala hubungan persamaan atau bandingan adalah Allah Yang Mahabenar!.
Itulah sebabnya ketika beberapa orang Badui bertanya kepada Rasulullah Saw : “Dengan apa Allah dapat dimisalkan?” .... turunlah sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut :
“Katakanlah Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah yang kekal tempat meminta, tiada Dia beranak dan tiada Dia diperanakkan, tiada seorang pun yang sama dengan-Nya. (QS. Al-Ikhlas 112 : 1 – 4).
Artinya bahwa Allah Swt, tersucikan dari segala hubungan permisalan ata perumpamaan. Karena itulah pula Fir’aun berkata kepada Musa a.s. : “Apa itu Rabbal ‘Alamin?” Seakan dia ingin tahu tentang kualitas atau hakikat A;;ah Swt., maka Musa hanya menyebutkan tentang ciptaan dan karya-karya-Nya, sebab hal ini lebih jelas dalam pemikiran si penanya. Maka berkatalah Musa : “Dia adalah Rabb (pemilik, pemelihara) seluruh alam semesta.” Fir’aun segera berkata kepada orang-orang sekitarnya : “Tidaklah kalian dengar?” Seakan dia memprotes pengelakan Musa untuk memberikan jawaban tentang  hakikat Allah dengan hanya mengatakan : “Dialah Rabb kalian dan Rabb nenek moyang kalian terdahulu.” Segera Fir’aun mengecap Musa sebagai seorang gila, karena pertanyaannya tentang misal dan hakikat, sedangkan Musa memberinya jawaban tentang karya dan ciptaan-Nya. Maka berkatalah Fir’aun “Sesungguhnya Rasul yang diutus kepada kalian adalah seorang gila.” (Dialog ini tercantum dalam Al-Quran Surah Al-Syu’ara 26 : 23 – 27).

Contoh-Contoh ilmu Penafsiran Mimpi

Marilah kita kini kembali kepada pengambilan contoh, yaitu tentang ilmu ta’bir (penafsiran mimpi) agar Anda dapat mengetahui betapa pentingnya menentukan misal atau membuat perumpamaan. Sebab “mimpi adalah sebagian dari kenabian.”
Tidakkah Anda lihat betapa matahari, dalam mimpi, ditafsirkan sebagai raja. Hal ini disebabkan adanya persekutuan dan kemiripan dalam suatu makna spiritual, yakni kekuasaan (atau kedudukan tinggi) atas orang banyak yang diiringi dengan melimpahnya pengaruh dan cahaya-cahaya atas mereka semua. Adapun bulan, dalam mimpi, ditafsirkan sebagai wazir (meneteri), karena matahari pada saat-saat ketidakhadirannya melimpahkan cahayanya atas dunia dengan perantaraan bulan seperti halnya raja melimpahkan pengaruh kekuasaannya dengan perantaraan sang wazir kepada siapa-siapa yang jauh dari raja. Demikian pula orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia mengenekan cincin di jarinya untuk “menyegel” mulut para pria dan kemaluan para wanita, hal itu ditafsirkan bahwa ia mengumandangkan azan di bulan Ramadhan sebelum masuknya waktu subuh. Adapun orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia menuangkan minyak ke dalam minyak zaitun, maka hal itu ditafsirkan bahwa ia memiliki seorang hamba sahaya perempuan yang sebenarnya adalah ibunya sendiri padahal ia tidak menyadari.
Demikianlah, tidak mungkin aku dapat membicarakan semua bab dalam ilmu ta’bir untuk menyebutkan misal-misal sejenis ini. Tidak mungkin aku akan menyibukkan diriku terus-menerus dengan menghitung-hitungnya.
Oleh sebab itu, aku kini hendak menjelaskan bahwa sebagaimana di antara maujudat ruhaniyyah yang tinggi terdapat apa yang dapat dimisalkan dengan amtahari, bulan, dan bintang, demikian itu pula ada yang memiliki misal-misal lainnya bila dihubungkan juga dengan sifat-sifatnya yang lain selain kecahayannya.
Nah, bila di antara maujudat itu ada yang bersifat tetap tak bergerak, dan besar tak mungkin diremehkan, dan daripadanya memancar air ma’rifat serta mustika mukasyafat yang mengalir ke lembah-lembah kalbu manusia, maka misalnya (perumpamannya) di alam idnriawi ialah Thur (gunung di Lembah Sinai). Selanjutnya, bila para penerima air dan mustika-mustika itu sebagiannya lebih utama dari sebagiannya yang lainnya, maka misalnya adalah “lembah”. Bila air dan mustika-mustika itu setelah bertautan dengan kalbu manusia berpindah-pindah, dari kalbu yang satu ke kalbu lainyya, maka kalbu-kalbu ini dapat pula disebut sebagai “lembah-lembah”. Adapun lembah terdepan (atau paling utama) adalah kalbu para nabi, wali dan ulama, kemudian orang-orang di bawah mereka. Apabila lembah-lembah ini mengambil airnya dari lembah utama, maka sepatutnya lembah paling utama ini ialah Lembah Aiman (al-Wadi –al-Aiman).
Kemudian, apabila kita katakan bahwa ruh Nabi Saw, adalah “Pelita penerang” yang menerima cahayanya dengan perantaraan wahyu, seperti dalam firman Allah Swt., “..... Kami wahyukan kepadamu ‘ruh’ dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Quran dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami jadikan Al-Quran ‘cahaya’ yang dengannya Kami tunjuki siapa-siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) adalah penunjuk kepada jalan yang lurus .....”; maka misal untuk sumber pengambilan cahaya Nabi Swt, itu adalah “api”. Jika di antara orang-orang yang menerima pancaran cahaya dari para nabi itu sebagaiannya hanya dengan cara taqlid (menirukan) apa yang didengarnya saja,s edangkan sebagiannya yang lain memiliki bashirah (kesadaran batin) yang cukup besar, maka misal bagi yang hanya ber-taqlid itu adalah bara atau percikan api. Adapun mereka  yang memiliki dzauq (cita rasa batiniah) dapat disebut sebagai  “memiliki pernyataan dan kesamaan dengan Nabi” dalam beberapa hal tertentu. Pernyataan dan kesamaan seperti itu dapat dimisalkan dengan “penghangatan diri”. Tentunya tak dapat menghangatkan diri, kecuali orang yang memiliki atau dekat dengan api dan bukannya yang hanya mendengar tentangnya.
Kemudian, apabila terminal utama para nabi ialah pendakian ke ‘alam quddus dengan melepaskan diri dari kekeruhan indra dan imajinasi, maka terminal itu dapar dimisalkan dengan lembah quddus (al-wadi al-muqaddas) yang tidak menginjakkan kaki di sana, kecuali dengan “menanggalkan” kedua bagian alam semesta, yakni dunia dan akhirat, lalu memusatkan diri menuju arah yang Mahatunggal lagi Mahabesar.
(Untuk jelasnya hendaknya diketahui bahwa dunia dan akhirat adalah dua bagian alam yang saling berhadapan dan saling menyerupai. Kedua-duanya merupakan aksiden dari esensi nurani manusia yang dapat ditinggalkan pada suatu saat, kemudian dikenakan lagi pada saat lainnya). Misal penanggalan keduanya saat ber-ihram dan bergerak menuju “ka’bah lembah qudus”., adalah dengan “menanggalkan kedua sanda”.

Arti Sabda Nabi Saw. : “Allah mencipta Adam Menyerupai Citra Al-Rahman”

Marilah kita sekali lagi mendaki lebih tinggi ke hadrat Rububiyyah. Perlu ku tekankan di sini apabila pada Hadhrat itu ada suatu alat yang dengannya dapat dituliskan (diukirkan) ilmu-ilmu yang terperinci pada substansi-substansi yang siap menerima  pancaran, maka alat itu dimisalkan sebagai pena (qalam). Apabila pada substansi-substansi seperti itu ada yang telah terukir dengan ilmu-ilmu tersebut, maka itu dapat dimisalkan dengan Loh, Kitab, dan Lembaran Terbuka (al-lauh wal kitab war-riqqul mansyur). Apabila di atas  alat tulis itu ada sesuatu yang memang dipersiapkan untuknya, maka ia dimisalkan sebagai tangan. Dana apabila Hadhrat yang mencakup tangan, loh, kalam dan kitab ini memiliki urutan-urutan yang teratur, maka ia dapat dimisalkan sebagai gambar atau citra. Jika citra insan memiliki urutan-urutan yang teratur rapi seperti itu, maka citra itu dapat disebut sebagai “menyerupai citra Ar-Rahman” dan “menyerupai citra Allah”. Sebab sifat Rahman Ilahiah-lah yang tertuang dalam citra manusia pada permisalan ini. Kemudian Allah Swt, melimpahkan nikmat karuania-Nya atas diri Adam a.s., dan memberinya citra yang meliputi segala jenis apa saja yang ada di alam ini setelah “diringkas” dan “dipadatkan” sehingga seakan-akan ia adalah “segalanya” yang berada di alam atau “salinan alam” yang diringkas. Citra Adam seperti ini tergores dengan khat (tulisan) Allah yang bukan berpa raqm (rekaman) huruf-huruf sebab khat Allah mustahil berwujud raqm atau huruf apa pun, sebagaimana firman-Nya mustahil berupa suara atau huruf. Pena-Nya mustahil berupa buluh atau besi, sebagaimana tangan-Nya mustahil berupa daging dan tulang atau apa pun selain itu semua.

Hadhrat Rububiyyah dan Hadhrat-Hadhrat Lainnya

Sekiranya tak ada Rahmah ini, niscaya manusia takkan mampu mengenal Tuhannya, sebab “takkan mengenal Tuhannya kecuali siapa yang telah mengenal dirinya sendiri.”. mengingat bahwa manusia merupakan satu di antara bekas-bekas (produk) Rahmah ini, ia pun menyerupai citra Al-Rahman dan bukannya citra Allah. Dapatlah disimpulkan bahwa Hadhrat Ilahi tidak sama dengan Hadhrat Al-Rahman, tidak sama dengan Hadhrat Sang Raja dan tidak sama pula dengan Hadhrat Rububiyyah. Karena itulah, Allah Swt., memerintahkan agar kita melindungkan diri dengan Hadhrat-hadhrat ini semuanya seperti dalam firman-Nya :
“Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan manusia; Raja manusia; Sesembahan manusia; dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi ... (QS. Al-Nas 114 : 1-4).
Sekiranya bukan karena makna ini, maka sabda Nabi saw. :
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam menyerupai citra Al-Rahman”, tidak tepat jika ditinjau dari susuna  kata-katanya. Bahkan, sepatutunya beliau menggunakan kata-kata “menyerupai citra Allah”. Namun kata-kata beliau, seperti diriwayatkan dalam kumpulan hadis sahih, adalah “menyerupai citra Al-Rahman”. Nah, untuk menjelaskan perbedaan antara hadhrat Sang Raja dan Hadhrat Rububiyyah memerlukan uraian amat panjang, maka sebaiknya kita tinggalkan saja, cukup badi Anda contoh sekadar ini saja, sebab ini adalah samudra luas tanpa batas. Tapi bila Anda merasa tidak enak disebabkan misal-misal ini, puaskanlah dirimu dengan firman Allah Swt :
“Allah telah menurunkan air dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (QS. Al-Ra’d 13 : 17).
Telah diriwayatkan dalam tafsirnya bahwa yang diamksud dengan “air” pada ayat tersebut ialah ma’rifat, dan yang dimaksud dengan “lembah-lembah” ialah kalbu manusia.

Pemahaman Batiniah Perlu di Samping Pemahaman Lahiriah

Dari contoh-contoh dan misal-misal yang telah kuberikan sebelum ini, janganlah sekali-kali Anda berasumsi bahwa aku dapat menyetujui, atau memaafkan tindakan sebagian orang yang ingin mengabaikan hal-hal lahiriah. Atau seakan-akan aku menganggap bahwa itu semua boleh dibatalkan. Lalu aku berkata, misalnya, bahwa dalam kenyataannya Musa tidak mengenakan sepasang sandal dan tidak sungguh-sungguh mendengar ucapan Allah yang memerintahkannya : “Tanggalkan sandalmu!” Tidak, demi Allah. Membatalkan hal-hal lahiriah sama sekali adalah paham (aliran) kaum Batiniah yang memandang dengan satu mata saja ke arah satu daru dua alam yang ada. Mereka itu sungguh amat bodoh dan tidak mengerti adanya keseimbangan antara keduanya,d an oleh sebab itu mereka tertutup dari arah pemikiran yang benar.
Sebaliknya, membatalkan makna-makna batiniah (rahasia-rahasia di balik segala sesuatu), adalah aliran kaum Hasyawiyyah. Jadi, orang hanya mau mengakui segala yang zhahir (konkret) saja, adalah penganut paham Hasyawiyyah. Yang hanya mau mengakui segala yang bathin (abstrfak) saja adalah penganut aliran Batiniah. Sedangkan yang menggabungkan antara keduanya adalah kamil (sempurna). Itulah sebabnya Rasulullah saw, pernah bersabda :
“Al-Quran memiliki lahir dan batin; akhir dan awal. (Ada kemungkinan ucapan ini dinukilkan dari Ali r.a. secara mauquf).
Menurut hematku, Musa a.s.m memahami perintah menanggalkan sepasang sandalnya sebagai “melepaskan kedua bagian alam”, yakni dunia dan akhirat. Dia pun mematuhi perintah itu, secara lahir, dengan menanggalkan sandalnya dan, secara batin, dengan melepaskan kedua alam itu dari dalam dirinya. Itulah “penyeberangan” dari sesuatu ke sesuatu lainnya, dari sesuatu yang zhahir ke sesuatu yang bersifat rahasia.
Memang, terdapat perbedaan antara orang yang mendengar sabda Rasulullah Saw. :
“Malaikat tidak memasuki rumah yang ada anjing atau gambar”. Lalu ia memelihara anjing di rumahnya sembari berkata : “Larangan itu tidak dimaksudkan secara lahiriah, tapi maksudnya ialah ‘mengosongkan rumah-rumah kalbu dari anjing kemurkaan’, sebab dialah yang menghalangi masuknya ma’rifat yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat, sedangkan kemurkaan adalah hantu akal.”
Sungguh berbeda antara orang seperti itu dengan seseorang yang mematuhi perintah itu secara lahiriah dan setelah itu ia berkata bahwa binatang anjing disebut begitu bukan karena rupa dan bentuknya, melainkan karena makna yang dibawanya, yakni kebinatangan dan keganasan.
Jika penyelamatan rumah – yang merupakan tempat kediaman diri dan badan seseorang – dariapda citra keanjingan merupakan suatu hal yagn wajib, maka sudah tentu lebih wajib lagi menjaga dan menyelamatkan rumah kalbu --- yang merupakan substansi hakiki dan khusus – agar diajuhkan dari sifat keanjingan.
Begitulah, orang seperti ini, yang menggabungkan antara yang lahir dan yang batin bersama-sama, adalah insan kamil (sempurna). Itulah yang dimaksudkan oleh ucapan sebagian kaum ‘arifin : “manusia kamil ialah manusia yang cahaya ilmunya tidak menyebabkan padamnya cahaya wara’-nya, yakni ketulusan sikapnya di hadapan Allah Swt, demikian pula seorang kamil tak akan mengizikan dirinya melampaui batasan apa pun di antara batasan-batasan syariat. Hal ini disebabkan kesempurnaan wawasan batinnya.”
Di sini adakalanya orang terjerumus dalam penyimpangan seperti yang terjadi pada diri beberapa orang yang ber-suluk, yaitu dengan mengabaikan hukum-hukum syariat yang bersifat lahiriah, sehingga adakalanya seseorang dari mereka meninggalkan kewajiban shalat dengan mengatakan bahwa “ia terus menerus berada dalam keadaan shalat dengan batinnya”. Inilah penyimpangan terberat yang menimpa orang-orang bodoh di antara kaum Ibahiyah (penganut paham kesebabolehan) yang terkelabui oleh hal-hal yang remeh-remeh dan penuh dusta. Seperti ucapan sebagian dari mereka bahwa “Allah tak membutuhkan amalan kita” atau ucapan lainnya yaitu bahwa hatinya penuh dengan kotoran dan kekejian yang tak mungkin disucikan darinya; demikian pula ia tak mampu mencabut kemurkaan dan syahwat sampai ke akar-akarnya; sedangkan ia mengira dirinya diperintahkan untuk beruat demikian (yakni, menjadi orang yang suci sepenuhnya). Ini merupakan puncak kebodohan.
Adapun tntang  yang kami sebutkan sebelumnya, itu hanyalah kesalahan-kesalahan yang lebih kecil, sama seperti tergelincirnya kuda pacuan di suatu saat (yang biasanya tak pernah mengecewakan), atau kesalahan seorang ahli suluk (yang biasanya amat berhati-hati) yang sedang tergoda oleh setan yang mengulurkan tali ghurur (tipu daya) kepadanya.

Kesempurnaan Penglihatan Para Nabi

Kini marilah kita kembali ke kisah sepasang sanda tadi. Yang dapat disimpulkan dari perintah pelepasan sandal tersebut ialah peringatan tentang keharusan meninggalkan kedua alam, dunia dan akhirat. Yang demikian itu menunjukkan bahwa permisalan secara lahiriah adalah haqq (benar) dan pelaksanaannya sampai ke rahasia batin adalah hakikat. Sebab pada setiap yang haqq ada hakikat-nya. Para penghuni tingkatan ini adalah mereka yang telah mencapai derajat “kaca” sebagaimana akan diuraikan nanti tentang makna yang dikandung olehnya. Sebabnya ialah karena khayal (imajinasi) Anda, yang dari materialnya tersebut segala misal, adalah sesuatu yang keras lagi pekat, menyelubungi rahasia-rahasia dan menghalangi antara diri Anda dan cahaya-cahaya. Akan tetapi jika telah membening, ia akan menjadi seperti kaca yang jernih dan tembus pandang, tidak menghalangi masuknya cahaya-cahaya, bahkan ia akan berfungsi seperti cahaya. Di samping itu, ia akan menjaga cahaya agar tidak terpadamkan oleh badai angin yang bagaimana pun kencangnya. Mengenai cerita tentang kaca ini sebentar lagi akan dijumpai.
Kini ketahuilah bahwa pada diri para Nabi alaihimussalam, alam khayal yang pekat di dunia bawah, menjadi kaca pa misykat yang menampung cahaya-cahaya, menapisnya serta merupakan sarana pendakian ke alam atas. Dengan ini dapat diketahui bahwa misal lahiriah adalah sesuatu yang haqq dan bahwa di balik ini ada pula suatu rahasia. Ini dapat pula Anda terapkan pada sinar, siang hari, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah Saw, bersabda : “Kulihat Badurrahman bin-Auf masuk surga secara merangkak.” Janganlah Anda kira bahwa beliau tidak menyaksikannya sungguh-sungguh dengan penglihatan mata. Memang demikian itulah; bahkan beliau melihatnya dalam keadaan terjaga, seperti yang dilihat oleh seseorang yang sedang tidur dalam mimpinya, kendati tubuh Abdurrahman bin Auf – pada saat dia dilihat oleh Nabi Saw. ---- sedang dalam keadaan tidur di rumahnya. Namun pengaruh tidur atas diri seseorang --- seperti yang biasa disaksikan – hanyalah disebabkan ia dapat memaksakan kehendaknya atas kekuatan indra orang itu sehingga tertutup baginya cahaya batin yang bersumber dari Allah. Adalah indra yang selalu menyibukkan dan menerik manusia  ke alam indriawi dan memalingkannya dari alam gaib dan malakut. Sedangkan sebagian cahaya para nabi adakalanya menjadi amat bening dan kuat sehingga tidak berhasil disibukkan dan ditarik oleh indra ke alamnya (yakni, ke alam indriawi). Disebabkan hal itu, seorang Nabi dapat menyaksikan dalam keadaan terjaga, apa yang dapat disaksikan oleh orang lain dalam mimpinya. Lebih dari itu, bia ia berada pada tingkatan tertinggi kesempurnaan, penecerapannya itu tidak hanya berlaku terhadap gambaran lahir yang terlihat saja, tapi bahkan menembus masuk ke dalam rahasianya yang tersembunyi. Dengan demikian, tersingkaplah baginya bahwa iman menarik manusia ke alam atas yang juga dinamakan “surga”, sedangkan kekayaan harta benda menarik manusia ke kehidupan duniawi atau alam bawah. Oleh sebab itu, bilamana daya tarik ke arah kesibukan-kesibukan dunia seseorang lebih kuat, hal itu akan menghambat orang tersebut dalam perjalanannya menuju surga. Namun, bilamana daya tarik iman pada diri orang itu lebih kuat lagi, hal itu akan mengakibatkannya terus berjalan menuju surga meskipun dengan agak sulit dan lambat. Keadaan seperti ini, di alam indriawi, dimisalkan sebagai “merangkak”, seperti dalam sabda Nabi Saw, tentang Abdurrahman bin Auf di atas.
Demikianlah, rahasia-rahasia akan tersingkap dari balik kaca-kaca khayal. Hal seperti itu – tentang diri Abdurrahman – tidak hanya berlaku atas diri Abdurrahman bin Auf, kendati penyaksian Nabi Saw, pada saat itu hanya khusus berkenaan dengan dirinya. Keadaan seperti ini berlaku pula atas siapa saja yang kuat kesadaran batinnya, dan mantap imannya, di samping memiliki kekayaan harta benda yang besar yang jumlahnya mampu mendesak dan menyaingi iman, tapi tidak mampu melawannnya, disebabkan kuatnya pada diri orang itu.
Mudah-mudahan Anda kini telah memahami bagaimana penglihatan para nabi terhadap bentuk lahiriah dan terhadap makna-makna di balik bentuk itu. Pada galibnya, makna suatu benda muncul terlebih dahulu sebelum penglihatan batiniah. Setelah itu ia masuk ke dalam ruh khayali (ruh imajinatif) dan tercetak padanya dengan bentuk yang sesuai dan mirip dengan benda tersebut. Bagian wahyu seperti ini, yang muncul dalam keadaan terjaga, memerlukan ta’wil (penafsiran) di balik istilah-istilah lahiriahnya; sebagaimana pemunculannya di waktu tidur memerlukan ta’bir (penafsiran tentang mimpi).
Perbandingan antara “wahyu” yang terjadi di waktu tidur pada orang biasa dan yang terjadi pada diri mereka yang beroleh kekhususan-kekhususan kenabian adalah satu banding empat puluh enam, sedangkan yang terjadi di saat terjaga, perbandingannya lebih besar, yaitu menurut perkiraanku satu banding tiga. Hal ini disebabkan tercakupnya sifat-sifat kekhususan kenabian ini dalam tiap jenis; yang dibicarakan ini termasuk salah satu di antaranya.

Kutub Kedua : Uraian Tentang Tingkatan Ruh-Ruh Cahayawi Manusia Guna Memahami Tamsilan-Tamsilan dalam Al-Quran.

Pertama : Ruh Indriawi, yaitu yang menerima sesuatu yang dikirim oleh pancaindra. Ruh ini adalah asal dan awal ruh makhluk hidup. Dengannya semua makhluk hidup menjadi hidup. Ia sudah ada walaupun dalam diri seorang bayi yang masih menyusu.
Kedua, Ruh Khayali (imajinatif), yaitu yang merekam keterangan yang dikirim oleh pancaindra, menyimpannya rapat-rapat untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh ‘aqli (intelegensi), di atasnya, pada saat dibutuhkan. Ruh khayali ini belum ada pada diri bayi yang masih menyusu di awal pertumbuhannya, karena itulah adakalanya ia menggemari sesuatu dan ingin memegangnya tetapi segera melupakannya bila disembunyikan darinya. Ia pun tak mempunyai keinginan untuk kembali kepadanya. Hal ini berlangsung sampai ia sudah mulai tumbuh menjadi agak besar, yakni pada saat ia sudah mulai tumbuh menjadi agak besar, yakni pada saat ia menangis bila benda tersebut disembunyikan darinya. Setelah itu ia akan memintanya kembali, disebabkan masih tersimpannya gambaran tentang benda itu diingatannya atau dalam khayalnya. Ruh khayal ini ada kalanya dimiliki oleh beberapa jenis binatang, tapi tidak oleh semuanya. Tidak dimiliki, sebagai contoh, oleh binatang laron (kelekatu) yang terjun ke dalam api atau pelita, disebabkan kegemarannya yang sangat pada cahaya siang hari. Ia mengira bahwa pelita adalah sebuah lubang kecil yang menuju arah cahaya tersebut, lalu ia menjatuhkan dirinya ke sana dan merasakan kesakitan.akan tetapi jika masih bisa selamat dan menjumpai sinar itu lagi dalam kegelapan, ia tak ragu-ragu untuk mengulangi lagi perbuatannya, sekali, dua kali dan seterusnya. Sekiranya memiliki ruh yang menyimpankan baginya perasaan sakitnya itu, pasti ia tak akan mengulanginya lagi setelah penderitaannya. Lain halnya dengan anjing, jika pernah dipukul dengan sebatang kayu misanya, ia akan lari setiap kali melihat kayu itu lagi.
Ketiga, Ruh “aqli (Akal, Intelegensi), yaitu yang dapat mencerap makna-makna di luar indra dan khayal. Ruh ini adalah substansi manusiawi yang hanya khusus ada padanya, tidak pada hewan ataupun anak kecil. Jangkauan pencerapannya adalah pengetahuan-pengetahuan dharuri (aksiomatis) dan universal, sebagaimana telah kami sebutkan ketika menetapkan keutamaan cahaya akal di atas cahaya mata.
Keempat, Ruh Pemikiran, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu ‘aqli yang murni kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan penggabungan-penggabungan dan daripadanya ia membuat kesimpulan-kesimpulan berupa pengetahuan-pengetahuan amat berharga. Selanjutnya bila telah memperoleh dua hasil kesimpulan, misalnya, ia akan menggabungkan antara keduanya sekali lagi, agar beroleh kesimpulan-kesimpulan baru pula. Dengan demikian, pengetahuannya makin lama makin bertambah terus-menerus secara tak terhingga (tanpa batas).
Kelima, Ruh Suci Kenabian, yaitu yang hanya khusus bagi para nabi dan sebagian wali. Dengan ini tersingkap selubung loh-loh gaib dan hukum-hukum akhirat serta jumlah pengetahuan tentang kerajaan lelangit dan bumi bahkan pengetahuan-pengetahuan  rabbani (ketuhanan), yang semuanya tak mampu dijangkau oleh ruh akal dan pemikiran. Ruh suci kenabian itulah yang diisyaratkan dalam firman Allah Swt :
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami jadilan Al-Quran itu “cahaya” yang dengannya Kami tunjuki siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar adalah penunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Syura 42 : 52).

Dzauq di Balik Akal

Ketahuilah, wahai saudaraku yang beriktikaf di alam akal, bahwa tidak lah aneh – menurut akal --- bahwa di balik akal masih ada kondisi lain yang di dalamnya tampak berbagai hal yang tidak tampak bagi akal. Sebagaimana tidaklah aneh bahwa akal --- di balik tamyiz dan indra – merupakan kondisi yang di dalamnya tersingkap keajaiban-keajaiban dan keanehan-keanehan yang tka terjangkau oleh tamyuz dan indra.
Maka, janganlah sekali-kali Anda beranggapan bahwa puncak kesempurnaan hanya patut bagi diri Anda. Bila Anda ingin suatu misal bagi sejumlah keistimewaan khsus yang dapat Anda saksikan pada diri orang-orang tertentu, lihatlah bagaimana sebagian dari mereka memiliki dzauq (cita rasa batiniah yang halus) tentang  syair (puisi), yang hanya dikhususkan bagi mereka. Padahal, itu adalah sejenis pencerapan juga, yang orang-orang lain dijauhkan sama sekali darinya, sehingga tidak dapat membedakan antara irama-irama yang indah teratur rapi dan yang kacau serta sumbang. Perhatikanlah, betapa sebagian orang memiliki dzauq yang amat kuat sehingga mampu menciptakan musik dan lagu-lagu serta melodi yang adakalanya menimbulkan kesenduan atau kegembiraan, membuat pendengarnya tertidur lelap, menangis, membunuh, pingsan, atau pun gila. Kuatnya pengaruh seperti itu hanyalah apda diri mereka yang memang memiliki bakat dzauq itu. Sedangkan orang  yang sama sekali kosong dari dzauq itu, mungkin saja ia ikut mendengarkan lagu-lagu, tetapi tidak merasakan pengaruhnya sedikit pun, sehingga kadang-kadang ia menjadi terheran-heran melihat kawannya yang diliputi kerinduan dan kesyahduan lalu tak sadar-diri. Sekiranya orang-orang pandai yang memiliki dzauq, niscaya mereka takkan berhasil.
Ini adalah misal dalam suatu urusan kecil. Kukemukakan kepada Anda karena hal itu dekat pada pemahaman Anda. Kiaskanlah itu dengan dzauq kenabian yang khusus. Bedaya-upayalah agar menjadi seorang ahli dzauq dengan sebagian dari ruh mereka itu, sebab para wali memiliki bagian yang cukup besar daripadanya. Jika Anda tidak mampu, berdaya-upayalah agar dengan kiasan-kiasan yang telah kami sebutkan dan perumpamaan-perumpamaan yang kami rumuskan. Anda termasuk di antara orang-orang yang memiliki ilmu tentangnya. Namun jika Anda tetap tak mampu juga, paling sedikit Anda hendaknya termasuk di antara orang-orang yang percaya kepadanya. Perhatikanlah firman Allah :
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang dibneri ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS. Al-Mujadilah 58 : 11).
Jadi, ilmu di atas iman, sedangkan dzauq berada di atas ilmu, dzauq adalah wijdan (perasaan-perasaan halus yang timbul dari hati nurani). Ilmu adalah pengkiasan dan iman adalah penerimaan mutlak dengan cara ber-taqlid dan berbaik sangka kepada ahli wijdan atau ahli ma’rifat.


Perbedaan Antara Ruh Indriawi dan Ruh Khayal pada Manusia dan pada Binatang

Apabila telah Anda ketahui tentang adanya kelima macam ruh ini, maka kini ketahuilah bahwa semua ruh itu secara keseluruhan merupakan cahaya-cahaya, sebab dengannya tampak segala jenis maujudat. Dua di antara ruh-ruh tersebut, yang indriawi dan yang khayali, kendati hewan-hewan ikut memilikinya juga, tapi kedua ruh itu yang berhubungan dengan manusia, merupakan jenis lain, lebih mulia dan lebih tinggi. Kedua-duanya diciptakan dalam diri manusia untuk tujuan lain yang lebih jelas dan lebih terang. Ada pun diciptakannya ruh-ruh indriawi dan khayali bagi hewan, hal itu semata-mata untuk menjadi alat pencari makanannya dan agar hewan-hewan itu dapat dipergunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Sedangkan kedua ruh itu diciptakan bagi manusia agar menjadi “jala” baginya guna menangkap dasar pengetahuan-pengetahuan agama yang mulia di alam bawah (alam dunia). sebab manusia, bila mengenal seseorang tertentu dengan indranya, ia dapat menangkap suatu makna umum yang mutlak melalui akalnya, seperti telah kami sebutkan pada misal yang berhubungan dengan Abdurrahman bin Auf. Nah, jika Anda atelah mengerti tentang kelima ruh ini, marilah kita kini kembali ke tujuan digunakannya misal-misal dalam berbagai ayat Al-Quran.

Uraian tentang Misal-Misal yang Disebutkan dalam firman Allah ini (QS. Al-Nur 24 : 35) : Allah Adalah Cahaya Lelangit dan Bumi

Ketahuuilah bahwa pembicaraan mengenai perbandingan antara keima ruh ini dengan misykat, kaca pelita, pohon, dan minyak, bisa menjadi sangat panjang. Tetapi, aku akan menyingkat dan mencukupi diri dengan mengingatkan tentang metodenya.
Pertama, tentang ruh indriawi. Bila Anda perhatikan kekhasannya, akan Anda dapati cahaya-cahaya keluar dari berbagai celah, seperti mata, telinga, lubang hidung, dan sebagainya. Karena itu, misal yang paling teapt baginya di alam kasatmata ialah misykat.
Kedua, tentang ruh khayali, Anda akan mendapatinya memiliki tiga sifat, yaitu :
1. bahwa ia berasal dari material alam rendah (alam dunia) yang pekat. Sebab, sesuatu yang dikhayalkan memiliki kadar, bentuk dan arah terbatas dan tertentu, dengan kedekatan dan kejauhan yang nisbi ditinjau dari pandangan si penghayal. Sedangkan di antara ciri sesuatu yang pekat yang dilukiskan dengan sifat-sifat bendawi adalah ketertutupannya dari cahaya-cahaya intelegensi murni yang tak mungkin dilukiskan dengan arah, kadar, dekat, dan jauh.
2. khayal yang pekat ini, bilamana dijernihkan, diperhalus, dirapikan, diatur, akan mendekati batas makna-makna yang hanya dapat dicerap oleh akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya darinya.
3. bahwa khayal pada permulaan pertumbuhannya sangat diperlukan untuk membuat teraturnya dalil-dalil intelektual (atau makna-makna yang dicerap oleh akal) agar tidak goyah, tidak terombang-ambing, dan tidak bercerai berai sehingga keluar dari keteraturan. Hal ini mengingat bahwa fungsinya ialah menghimpun misal-misal imajinatif untuk kepentingan pengetahuan ‘aqli.
Ketiga khas ini tidak bisa dijumpai pada benda apapun di alam kasatmata, dalam kaitannya dengan “cahaya yang m elihat”, kecuali pada “kaca”, (Yang dimaksud di sni, tabung penutup nyala lampu atau pelita).
Kaca berasal dari jauhar (substansi) yang pekat, tapi telah dijernihkan dan dibeningkan sehingga menjadikannya tembus pandang, tidak menghalangi cahaya pelita. Bahkan sebaliknya, menyempurnakan fungsinya di samping menjaganya agar tidak terpadamkan oleh hembusan angin kencang dan gerakan-gerakan yang keras. Mengingat semua sifatnya ini, “kaca” adalah sebaik-baik misal untuk ruh khayal.
Ketiga, tentang ruh ‘aqli (yakni yang berkaitan dengan akal atau intelegensi), yang dengannya terwujud pencerapan makna-makna mulia Ilahiah. Tentunya Anda telah mengerti alasan permisalannya dengan pelita, dari uraian yang telah lalu tentang mengapa para nabi disebut sebagai “pelita bercahaya” (siraj munir).
Keempat, tentang  ruh pemikiran. Di antara kekhasannya ialah ia mulia terwujud dari sesuatu yang tunggal, kemudian bercabang menjadi dua, masing-masing bercabang, bercabang lagi menjadi dua, dan begitulah seterusnya sehingga cabang-cabang itu menjadi sangat banyak dengan pembagian-pembagian oleh akal. Kemudian, itu semua membutuhkan kesimpulan-kesimpulan yang pada akhirnya menghasilkan benih-benih  untuk tumbuh menjadi  “pohon-pohon” sejenis, sebagaimana juga dapat diperbanyak lagi dengan mencangkokan dan sejenisnya. Dengan demikian, misal yang tepat baginya di alam ini adalah “pohon”. Jika buah-buahnya merupakan bahan untuk melipatgandakan pengetahuan, memelihara kekutannya dan ketahanannya, sduah sepatutnya hal itu tidak dimisalkan dengan pohon jambu, apel, delima, atau pohon-pohon lainnya, tapi yang paling tepat ialah dengan “pohon zaitun”, sebab inti buahnya adalah minyak yang merupakan bahan bagi pelita-pelita. Lebih-lebih lagi karena minyak zaitun memiliki keistimewaan dibandingkan dengan minyak-minyak lainnya, dalam hal kebebderangan nyala api yang ditimbulkannya; dan jika pohon yang banyak buahnya  dinamakan “pohon penuh berkah”, maka pohon zaitun yang buahnya tak terhingga banyaknya lebih patut dinamakan “pohon penuh berkah” atau “pohon yang diberkahi”; dan dan jika cabang-cabang pikiran akal yang murni tida bisa dihubungkan dengan arah dekat dan jauh, maka dengan sendirinya ia “tidak di timur atau barat”.
Kelima, tentang  ruh suci kenabian yang dinisbahkan kepada pra nabi dan juga kepada para wali. Yang, bilamana ruh tersebut sedang dalam keadaan puncak kebenderangan dan kejernihannya, dan dalam keadaa ruh pemikir tertinggi menjadi seperti berikut :
1. Yang memerlukan pengajaran, pengaktifan, dan sokongan kekuatan dari luar dirinya agar dapat tetap dalam berbagai pengetahuan.
2. Yang amat sangat jernih sehingga seakan-akan mampu mengaktifkan dirinya sendiri tanpa sokongan dari luar.
Jika demikian keadannya, maka sepatutnya bagi ruh yang jernih dan memiliki persiapan yang kuat seperti ini, dilukiskan sebagai “nyaris bercahaya (menyala) minyaknya walaupun tak tersentuh api”. Sebab antara para wali ada yang nyaris memancar cahayanya, sehingga hampir-hampir tidak memerlukan sokongan atau bekal dari para nabi. Demikian pula di antara para nabi ada yang hampir-hampir tidak memerlukan sokongan bekal dari malaikat. Begitulah misal “minyak” ini cocok untuk ruh seperti tersebut di atas.
Apabila diingat bahwa cahaya-cahaya ini tersusun sebagiannya di atas sebagiannya yang lain, maka cahaya indrawi adalah yang pertama, dan ia merupakan persiapan dan pendahuluan bagi cahaya khayali, dan setelah itu, bagi ahaya pemikiran dan cahaya ‘aqli. Maka sudah sepatutnya jika “kaca” digunakan sebagai tempat bagi pelita, dan “misykat” sebagai tempat bagi “kaca”. Dengan demikian, pelita berada di dalam kaca, dan kaca terletak di misykat. Jika ini semua adalah cahaya-cahaya, yang satu di atas yang lainnya, maka itulah yang dimaksud dengan ungkapan “cahaya di atas cahaya” ......!@ Semoga Anda memahami dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq.

Tamsilan Orang-Orang Kafir

Misal yang telah disebutkan dalam uraian-uraian yang lalu, hanya berlaku untuk hati sanubari kaum mukmin atau para nabi dan wali, biukannya untuk hati orang-orang kafir, sebab cahaya dimaksudkan sebagai pembawa hidayah. Dengan sendirinya, apa saja yang terjauhkan dari jalan hidayah adalah kebatilan dan kegelapan. Bahkan lebih gelap dari kegelapan, sebab kegelapan tidak dapat menunjukkan jalan ke arah kebatilan apalagi kebenaran. Sedangkan akal orang-orang kafir telah terbalik, demikian pula semua daya cerap mereka lainnya. Semuanya dalam diri mereka saling membantu di atas kesesatan, maka, misal (perumpamaan) mereka seperti ini :
“Seorang yang berada dalam kegelapan lautan yang luas dan dalam, diliputi gelombang, di atasnya ada gelombang, di atasnya lagi ada awan-awan yang tebal. Kegelapan-kegelapan yang pekat berlapis-lapis. (QS. Al-Nur 24 : 40).
Lautan yang luas dan dalam, adalah dunia dengan segala bahaya yang membinasakan, serta peristiwa-peristiwa buruk dan kegelisahan-kegelisahan yang menyesatkan. Gelombang yang pertama adalah gelombang berbagai syahwat hawa nafsu yang membangkitkan sifat-sifat kebinatangan, mendorong menyibukan diri dengan kesenangan-kesenangan indriawi, serta memenuhi ambnisi-ambisi yang rendah. Sehingga “mereka makan dan bersenang-senang seperti layaknya binatang ternak, maka nerakalah tempat kediaman mereka kelak: (QS. Muhammad 47 : 12). Ole sebab itu, sudah sepatutnya gelombang seperti itu menimbulkan kegelapan, sebab “kecintaan kepada sesuatu membuat orang menjadi buta dan tuli.”
Gelombang kedua, gelombang sifat-sifat kebuasan dan kebinatangan yang membangkitkan kemarahan, permusuhan, kebencian, kedengkian, keirian, keangkuhan, saling pamer dan membanggakan diri, serta menumpuk-numpuk harta kekayaan. Maka sepatutnya ia menjadi gelap, sebab kemarahan adalah hantunya akal. Ia pun layak menjadi gelombang yang teratas, sebab kemarahan pada galibnya berkuasa atas berbagai syahwat hawa nafsu, sehingga apabila telah memuncak, ia membuat orang lupa, bahkan kepada kesenangan dan kecenderungan-kecenderungan dirinya. Sebab, dorongan syahwat nafsu sama sekali tidak akan mampu melawan kemarahan yang sedang memuncak.
Adapun yang dimisalkan dengan “awan” ialah kepercayaan-kepercayaan yang buruk, persangkaan-persangkaan yang menipu, dan khayalan-khayalan yang rusak, yang semuanya itu menjadi hijab (penutup, pendinding) yang menutupi antara orang kafir dengan iman dan pengetahuan tentang kebenaran serta pemanfaatan diri dengan cahaya matahari Al-Quran dan akal. Sebab, sifat awan ialah menghalangi pancaran cahaya matahari.
Jika semuanya ini gelap adanya, sudah sepatutnya ia menjadi kegelapan-kegelapan berlapis, sebagaiannya di atas sebagiannya yang lain. Jika kegelapan-kegelapan ini menghalangi seseorang untuk mengetahui sesuatu yang dekat, apalagi yang jauh, maka itulah sebabnya orang-orang kafir terhalang dari pengetahuan tentang keajaiban-keajaiban yang berhubungan dengan kehidupan Rasulullah Saw, kendati hal itu merupakan sesuatu yang amat mudah dicapai dan dimnegerti degan sedikit renungan dan perhatian.
Sudah sewajarnya, keadaan mereka ini dilukiskan dengan ungkapan fimran-Nya : “ ..... bila ia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir tiada ia melihatnya ..... (l;anjutan QS. Al-Nur 24 : 40). Jika telah diketahui dari uraian terdahulu bahwa sumber cahaya semuanya adalah cahaya yang Pertama Yang Haqq, sudah seharusnyalah setiap mukmin yang mentauhidkan Allah Swt, mengimani :
“ .... barang siapa Allah tiada memberinya cahaya, tiada sedikit pun cahaya baginya .... (penutup QS. Al-Nur 24 : 40).

BAB. III.
HIJAB ANTARA ALLAH SWT. DAN MAKHLUKNYA

Tentang Makna Sabda Nabi Saw.

Allah memp;unyai tujuh puluh hijab (tabir penutup, pendinding) cahaya dan kegelapan. Seandainya DIA menyibakkannya, niscaya cahaya-cahaya wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.”
Allah Swt, ber-tajalli pada Zat-Nya, dengan Zat-Nya dan untuk Zat-Nya. Adapun hijabn yang tersebut dalam hadis Nabi Saw, tentunya bukan ditinjau dari segi pandangan Allah Swt, tapi ditinjau dari segi pandangan makhluk-Nya yang dalam keadaan mahjubn (ter-hijanb, terdinding) dari-Nya Swt. Orang-orang yang ter-hijab dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
I. Yang ter-hijab oleh kegelapan nurani semata-mata.
II.Yang ter-hijab oleh cahaya yang bercampur dengan gelepana.
III. Yang ter-hijab oleh cahaya murni semata-mata.
Adapun sub bagian dari ketika bagian ini amat banyak. Pasti banyak sekali. Mjungkins aja aku bisa memaksa diri untuk merangkumnya, tapi aku tak yakin dengan hasil pembatasan dan rangkuman itu. Sebab tak dapat dikatakan dengan pasti, apakah demikian itu yang dimaksud oleh hadis tersebut. Adapun merangkum jumlah tersebut dengan memastikan angkanya sampai tujuh puluh, tujuh ratus, atau tujuh puluh ribu, maka tak ada yang mampu melakukannya selain suatu “kekuatan kenabian”. Kendati demikian, kuat ddugaanku bahwa angka-angka itu tidaklah disebutkan untuk pembatasan. Telah menjadi kebiasaan umum untuk menyebut angka-angka tertentu, tidak untuk angka pembatasan, tapi hanya untuk menunjukkan banyaknya. Persoalan ini adalah di luar kemampuanku, dan hanya Allah Swt, yang mengetahui hakikat tentang hal itu. Adapun yang dapat kulakukan sekarang ialah menyebutkan ketiga bagian tersebut untuk Anda serta beberapa aliran atau sub bagiannya saja.

Orang-orang yang terhijab oleh Kegelapan Murni

Mereka adalah orang-orang mulhid (ateis), yang tidak beriman kepada Allah dan tidak kepada hari akhir, yang lebih mengutamakan kehidupan dunia di atas kehidupan akhirat, disebabkan mereka sama sekali memang tidak beriman kepada akhirat. Mereka ini dapat dibagi lagi menjadi sub-sub bagian :
1.
Orang yang sangat ingin mencari penyebab adanya dunia dan sekitarnya, lalu mengalihkannya kepada apa yang disebut “alam” (nature), sebagai penyebabn terwujudnya segala suatu. Adapun “alam” adalah sifat yang tertanam dan menetap pada benda-benda (materi) dan ia adalah sesuatu yang gelap, karena tidak memiliki pengetahuan, pencerapan, kesadaran akan dirinya sendiri ataupun gambaran mengenainya. Ia tidak memiliki cahaya yang juga dapat dicerap oleh penglihatan lahiriah.
2.
Orang-orang yang disibukkan oleh dirinya sendiri dan karena itu tidak sempat mempertanyakan tentang penyebab terwujudnya alam semesta ini. Mereka menjalani kehidupan hewan-hewan sehingga hijab mereka ialah diri mereka sendiri yang padanya tertanam sifat-sifat amat rendah serta hawa nafsu yang amat gelap. Memang, tak ada kegelapan lebih pekat daripada memperturutkan hawa nafsu. Itulah sebabnya Allah Swt, berfirman : “Tidaklah kau lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? (QS. Al-Furqan 25 : 43). Demikian pula Rasulullah Saw, pernah bersabda : “Hawa nafsu adalah sembahan yang paling dibenci oleh Allah.”
Orang-orang ini berpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Ada kelompok yang beranggapan bahwa tujuan utama kehidupan dunia adalah pemenuhan ambisi, pemuasan hawa nafsu dan pelampiasan kesenangan hewaniah yang berkaitan dengan seks, makanan, minuman, dan pakaian. Itulah hamba-hamba kelezatan hidup. Mereka menjadikannya sebagai tuhan mereka, mencarinya dengan segala daya  upaya serta beranggapan bahwa keberhasilan di bidang itu merupakan puncak kebahagiaan. Bahkan mereka rela mendudukan diri mereka kepada kedudukan hewan-hewan, bahkan lebih keji daripada hewan. Adakah kegelapan yang lebih pekat daripada ini? Orang-orang seperti ini sungguh telah ter-hijab oleh kegelapan murni. Segolongan lainnya beranggapan bahwa tujuan utama manusia adalah penaklukan, penguasaan, penangkapan, penahanan, dan pencabutan nyawa. Begitulah gagasan sebagian bangsa Arab (Badui), suku bangsa kurdi tertentu, dan juga banyak sekali di antara orang-orang tolol. Hijab yang menutupi mereka adalah kegelapan berupa sifat-sifat buas yang , karena sifat-sifat tersebut telah sedemikian menguasai mereka, maka mereka menganggap pengejaran buruan mereka itu sebagai puncak kebahagiaan. Jadi, mereka ini sudah merasa puas dengan menempati kedudukan binatang buas, malah lebih rendah lagi. Golongan ketiga beranggapan bahwa tujuan utamanya adalah kekayaan dan kemakmuran, karena harta benda merupakan alat untuk memuaskan setiap hawa nafsu. Maka yang mereka utamakan adalah penumpukan dan pelipatgandaan kekayaan – pelipatgandaan harta benda, rumah, kebun, logam mulia, burung, domba, sawah dan sebagainya. Orang-orang yang seperti ini menimbun uang mereka di bawah tanah. Anda lihat mereka membanting tulang seumur hidup, menetang bahaya di darat, bahaya di laut, di bukit yang tinggi, di lembah yang curam, mengumpulkan kekayaan, dan mengangkanginya hanya untuk diri mereka sendiri --- dan entah masih berapa banyak lagi yang lainnya! Mereka inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw, ketika beliau bersabda : “Celakalah orang yang mengabdi kepada uang! Celakalah orang yang mengabdi pada emas!” Sungguh, kegelapan apakah yang lebih pekat daripada kegelapan yang membutakan manusia terhadap kenyataan bahwa emas dan perak hanyalah dua jenis logam, yang dicari bukan hanya demi logam-logam itu sendiri, yang tidak lebih baik daripada batu kerikil kecuali bila dijadikan sarana untuk mencapai berbagai tujuan, dan dibelanjakan untuk hal-hal yang  memang perlu? Golongan keempat maju selangkah labih jauh ketimbang ketololan total golongan ketiga tadi, dan beranggapan bahwa kebahagiaan yang besar dapat ditemukan pada besarnya pamor pribadi, luasnya kemasyarakatan diri sendiri, penambahan jumlah pengikkut dan pengaruh atas orang lain. Anda lihat orang-orang ini mengagumi diri mereka di muka cermin! Salah satu dari mereka, yang kelaparan dan papa di dalam rumahnya, akan membelanjakan uangnya yang pas-pasan untuk membeli pakaian, dan berupaya untuk mematut-matut dirinya sebaik mungkin dengan pakaian itu, semata-mata untuk menghindari pandangan yang menghina bila ia bepergian ke luar rumah.
Masih banyak lagi kelompok-kelompok kecil lainnya yang tak terbilang jujmlahnya. Mereka semua ter-hijab dari Allah Swt, akibat suatu kegelapan murni, yaitu dikri mereka sendiri yang dalam keadaan gelap. Tak perlu kiranya menyhebutkan tentang orang-perorang dari kelompok-kelompok tersebut di atas sesudah penjelasan kami mengenai mereka itu menurut janisnya masing-masing. Termasuk dalam bilangan mereka itu, sekelompok orang yang m,engucapkan la ilaha ilallah, akan tetapi besar kemungkinannya mereka terdorong mengucapkannya oleh perasaan takut atau mengharapkan perlindungan dari kaum Muslim, atau untuk mengambikl hati mereka, atau ikngin memperoleh sesuatu dari kekayaan mereka, atau disebabkan fanatisme dami membela agama atau mazhab nenek moyang. Orang-orang seperti ini apabila tidak terdorong oleh ucapan syahadatain itu untuk mengerjakan amal-amal shaleh, pasti ucapan itu tidak akan mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan dan memasukan mereka ke dalam cahaya keimanan. Bahkan. Teman-teman dan pelindung-pelindung mereka adalajh thaghut (tiran) yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke dalam kegelapan. Adapun orang yang kena pengaruh ucapan itu, sehingga merasa sedih disebabkan amal-amal buruknya, dan merasa senang dengan amal-amal baiknya, maka orang seperti kitu berada di luar kegelapan yang murni, kendatipun ia banyak beruat pelanggaran atau maksiat.

Orang-Orang Yang terhijab oleh Cahaya yang Disertai Berbagai Kegelapan

Mereka ini terdiri dari tiga jenis :
1. Yang kegelapannya berasal dari indra mereka.
2. Yang kegelapannya berasal dari daya khayal mereka.
3. Yang kegelapannya bersumber dari kesimpulan-kesimpulan akal berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yang keliru.

1.
Orang-orang yang terhijab oleh cahaya yang disertai kegelapan indriawi. Mereka ini terbagi lagi dalam berbagai kelompok atau aliran yang pemikirannya sedikit banyak tidak terpaku pada diri mereka sendiri dan tidak terlepas sama sekali dari pencarian tentang Tuhan serta keinginan untuk mengenal-Nya. Tingkatan yang pertama dari mereka ialah kaum penyembah berhala dan yang terakhir kaum tsanawiyah (yakni, yang menduakanm Tuhan), Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan. Di antara mereka terdapat berbagai tingkatan.
1.1.
Kaum penyembah berhala. Mereka ini secara umum mengetahui bahwa ada Tuhan yang harus mereka utamakan di atas diri mereka yang diliputi oleh kegelapan. Mereka juga memiliki kepercayaan bahwa Tuhan mereka lebih mulia dari segalanya, lebih berharga dari segala yang berharga. Namun, mereka ter-hijab oleh kegelapan idnra, sehingga tidak mampu melampaui yang mahsus (sesuatu yang dapat dicerap oleh pancaindra). Karena itu, mereka membuat patung-patung yang indah terbuat dari logam-logam mulia dan batu permata, seperti emas, perak, dan yaqut (batu nilam), lalu menjadikannya sebagai “tuhan-tuhan”. Dengan demikian, mereka sebenarnya ter-hijab oleh sebagian sifat dan cahaya Allah, yaitu cahaya keperkasaan dan keindahan-Nya. akan tetapi mereka melekatkan sifat-sifat itu dengan benda-benda indrawi sehingga ter-hijab dari cahaya-Nya itu oleh kegelapan indra. Sebab indra adalah kegelapan bila dibandingkan dengan alam ruhani seperti telah diuraikan sebelum ini.
1.2.
Sekelompok orang berasal dari pedalaman Turki, tidak mempunyai agama atau syariat. Mereka percaya mempunyai Tuhan, dan bahwa Tuhan mereka itu adalah “yang paling indah dari segala suatu”. Karena itu, bila melihat seorang manusia yang memiliki keindahan luar biasa, begitu pula pohon, kuda, dan lainnya, mereka bersujud kepadanya dan berkata “Ia adalah Tuhan kita”. Orang seperti ini ter-hijab oleh cahaya keindahan yang dibarengi oleh kegelapan indra. Keadaan mereka lebih baik dibandingkan dengan kaum penyembah berhala, sebab yang mereka sembah ialah “keindahan yang mutlak”, bukannya manusia atau benda tertentu. Mereka tidak mengaiktkan keindahan ini dengan individu. Selain itu, yang mereka sembah ialah “keindahan alami”, bukannya keindahan yang terbuat oleh tangan manusia sendiri.
1.3
Sekelompok orang yang menyatakan bahwa “Tuhan kita haruslah bersifat nurani (cahayawi) pada Zatnya, cemerlang dalam bentuknya, memiliki kekuasaan pada dirinya, amat berwibawa sehingga tak mungkin dapat didekati, akan tetapi ia haruslah sesuatu yang mahsus (dapat dicerap oleh indra), sebab sesuatu yang bukan mahsus; bagi mereka, tidak ada artinya”. Mereka mendapai api memiliki sifat-sifat ini, maka mereka pun menyembahnya dan menjadikannya sebagai Tuhan. Orang-orang ini terh-hijab oleh cahaya kekuasaan dan kecenderungan. Kedua-duanya termasuk dio antara cahaya-cahaya Allah Swt.
1.4.
Mereka yang beranggapan bahwa karena kita dapat berbuat sesuka hati terhadap api, dengan menyalakan dan memadamkannya, maka ia beraa di bawah kekuasaan kita. Oleh sebab itu, ia tidak layak berfungsi sebagai Tuhan. Hanya sesuatu yang menyandang sifat-sifat keindahan dan kecemerlangan, lalu kita berada di bawah kekuasaannya, dan di samping itu ia juga menyandang sifat-sifat kemuliaan dan ketinggian; hanya sesuatu yang seperti itulah yang layak menjadi Tuhan. Ilmu tentang bintang (astronomi), dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya (astrologi), sangat di kenal di kalangan mereka. Oleh sebab itu, ada di antara mereka yang menyembah bintang Syi’ra, ada pula yang menyembah Yupiter atau bintang-bintang lainnya, tergantung dari besarnya pengaruh masing-masing menurut kepercayaan mereka. Orang-orang seperti ini ter-hijab oleh cahaya ketinggian, kecemerlangan, dan kekuasaan, yang semuanya itu termasuk di antara cahaya-cahaya Allah Swt.
1.,5.
Orang-orang yang hampir bersesuaian dengan kelompok sebelumnya ini dalam pokok-pokok kepercayaanya, akan tetapi mereka mengatakan bahwa tidak selayaknya Tuhan kita dilukiskan sebagai sesuatu yang kecil atau besar dalam hubungannya dengan jawahir nuraniyyah (substansi-substansi cahaya), bahkan sepatutnya ia adalah yang terbesar di antara itu semua. Maka, merekan pun menyembah matahari ketika melihatnya sebagai yang terbesar. Mereka itu ter-hijab oleh cahaya kebesaran di samping cahaya-cahaya lainnya, ditambah lagi dengan kegelapan indra.
1.6.
Mereka yagn lebih agak maju dari kelomp;ok-kelompok sebelum ini, kata mereka”Matahari tidak memonopoli cahaya semuanya, tetapi benda-benda lain pun memiliki cahaya-cahayanmya. Tidaklah sepatutnya ada sekutu bagi Tuhan dalam kecahayannya.” Karena itu, mereka pun menyembah “cahaya mutlak” yang menghimpun semua cahaya, lalu menganggapnya sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan seru sekalian alam, yang kepada-Nya dinisbahkan segala kebaikan. Tetapi mereka menyaksikan pula terjadinya kejahatan-kejahatan di dunia ini dan menganggap tidak sepantasnya menisbahkan hal itu kepada Tuhan mereka. Sebab Tuhan seharusnya dijauhkan dari hal-hal seperti itu. Berdasarkan itu mereka mempercayai adanya pertentangan antara dia dan kegelapan, dan bahwa alam ini dikuasai oleh dua kekuatan, atau dua Tuhan; yakni cahaya dan kegelapan, yang ada kalanya mereka namakan Yazdan dan Ahraman. Mereka itu adalah kelompok tsanawiyah (yang menduakan Tuhan). Demikianlah, cukup bagi Anda uraian ini sekedar menyebutkan mengenai aliran-aliran ini meski sesungguhnya masih banyak lagi aliran lainnya semacam ini.

2.
Orang-orang yang ter-hijab oleh sebgian cahaya yang disertai oleh kegelapan khayalan. Mereka ini dapat melampaui indra dan menetapkan tentang adanya sesuatu di balik benda-benda indriawi. Kendati demikian, mereka tidak mampu melampaui daya khayal, sehingga mereka pun menyembah “suatu Maujud yang duduk di atas “arsy (singgasana)”. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah kelompok Mujassimah, yakni yang menyatakan bahwa Tuhan ber-jism (bertubuh). Kemudian kelompok-kelompok Karamiyyah semuanya. Aku tidak hendak menguraikan tentang pendapat-pendapat serta aliran-aliran mereka, sebab kurasa tidak ada gunanya. Akan tetapi, yang paling tinggi tingkatannya di antara mereka adalah pengikut aliran yang menafikan semua bentuk kejisiman Tuhan serta perubahan-perubahan kondisi yang menyertainya kecuali satu hal, yaitu tentang bersamayamnya Tuhan di suatu arah tertentu yang dapat ditunjuk yakni “di atas”. Sebab, kata mereka, sesuatu yang tidak dinisbahkan ke suatu arah dan tidak dapat dilukiskan ke suatu arah dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “tidak ada”, karena tidak dapat dikhayalkan. Orang-orang seperti ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang  ma’qul (yang dapat dicerna oleh akal) kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.

3.
Mereka yang ter-hijab oleh cahaya-cahaya Ilahi yang disertai oleh kesimpulan-kesimpulan akal yang salah, berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yagn keliru dan diliputi kegelapan. Sesuai dengan itu, mereka menyembah Tuhan yang bersifat mendengar, melihat, mengetahui, kuasa, menghendaki, hidup lagi tersucikan daripada  mendiami arah yang mana pun, akan tetapi mereka memahami sifat-sifat ini sesuai dengan sifat-sifat manusiawi mereka sendiri. Adakalanya sebagian mereka menegaskan bahwa firman-Nya terdiri dari huruf-huruf dan suara-suara seperti ucapan kita sendiri. Sebagian dari mereka berpendidikan agak lebih maju lagi dengan mengatakan bahwa firman-Nya itu “menyerupai bisikan hati kita”, yakni tanpa hurf dan tanpa suara. Demikian pula jika dituntut untuk menjelaskan tentang hakikat sifat-sifat mendengar, melihat, dan hidup yang berkaitan dengan-Nya, mereka kembali ke sikap tasybih (menyerupakan sifat Allah Swt, dengan makhluk-Nya) dalam hakikat maknanya, walau pun mereka mengingkarinya dengan ucapan mereka. Ini disebabkan mereka sama sekali tidak mampu memahami makna-makna sebenarnya dari penyebutan sifat-sifat ini dalam kaitannya dengan Allah Swt. Karena itu pula, mereka mengatakan bahwa kehendak-Nya adalah bersifat “baru” (hadits, bukan qadim) seperti juga sifat kehendak kita, dan bahwa DIA bertujuan sesuatu dari perbuatan-Nya seperti hanya kita bertujuan.

Ini semua adalah aliran-aliran dan mazhab=-mazhab yang cukup terkenal, tidak perlu diuraikan secara terpeerinci. Secara keseluruhan mereka adalah orang-orang yang ter-hijab dari ALLAH Swt, oleh beberapa jenis cahaya yang disertai dengan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan perkiraan-perkiraan analogis yagn keliru.
Kelompok-kelompok itu semuanya adalah jenis-jenis bagian II, yakni yang ter-hijab oleh cahaya yang disertai oleh kegelapan.

Orang-orang Yang Terhijab Oleh Cahaya-Cahaya Murni

Mereka terdiri dari berbagai aliran yang tak mungkin kucakup bilangan mereka semua. Cukup kusebutkan tiga jenis saja, yaitu :

1.
Orang-orang yagn benar-benar mengetahui tentang makna sifat-sifat yang dikaitkan dengan Allah Swt, berdasarkan pen-tahkik-kan. Mereka menyadari bahwa penyebutan sifat-sifat kalam (firman), iradah (kehendak), qudrah (kemampuan, kecakapan), ‘ilm (pengetahuan), dan sebagainya yang dikaitkan dengan Allah Swt, tidaklah sama dengan penyebutan untuk diri manusia. Karena itu, mereka enggan men-ta’rif-kan (mendefinisikan)-Nya dengan sifat-sifat ini. Sebaliknya, mereka hanya mau men-ta’rif-kan-Nya dalam hubungan antara DIA dan makhluk-Nya saja seperti yagn dilakukan oleh Musa a.s. ketika menjawab pertanyaan Fir’aun “Apa itu Rabbul ‘Alamin?” Demikian itulah mereka lalu menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Tersucikan dari makna sifat-sifat ini adalah DIA yang menggerakkan lelangit ini dan men-tadbir-kannya.

2.
Orag-orang yang pikriannya lebih maju dan tingkatannya lebih tinggi dari yagn sebelum ini, yaitu mereka yagn menyadari tentang adanya kemajemukan di lelangit, dan bahwa “penggerak” setiap langit secara khusus adalah makhluk lainn yang disebut malaikat. Malaikat  ini jumlahnya banyak. Keadaan mereka dibandingkan dengan ahaya-cahaya Ilahiyah seperti bintang di antara cahaya-cahaya indriawi. Kemudian tampaklah bagi mereka bahwa lelangit ini berada dalam lingkup falak lainnya, yang dengan gerakannya,s egala sesuatunya ikut bergerak satu kali, tiap sehari semalam. Maka Al-Rabb (Tuhan Maha Pengatur dan Pemelihara) adalah Penggerak “jirm (benda, jisim) paling utama” yagn mencakup falak-falak semuanya. Hal ini berdasarkan pengertian bahwa DIA wajib dinafikan dari segala bentuk kemajemukan.

3.
Orang-orang yang tingkatannya lebih tinggi lagi dan kelompok sebelum ini. Mereka menyatakan bahwa perbuatan “menggerakkan benda-benda saecara langsung” sepatutnya merupakan suatu bentuk pelayanan untuk Rabbul ‘Alamin, ibadah kepada-Nya serta ketaatan seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya. hamba yang disebut “malaikat” ini, kedudukannya dalam hubungannya dengan cahaya-cahaya Ilahiah yang murni, seperti bulan dengan cahaya-cahaya indrawi. Berdasarkan hal ini --- kata mereka – maka Al-Rabb adalah Al-Mutha” yang ditaati oleh si “oenggerak”. Dengan begitu, Al-Rabb Swt, mempunyai penggerak-penggerak utama sata semuanya, dengan cara mengeluarkan perintah, bukannya dengan cara menanganinya secara langsung. Untuk menjelaskan hal itu sampai kepada hakikatnya , tidaklah mudah, bahkan tidak terjangkau oleh sebagian besar pemahaman umum, di samping tak terpenuhi oleh buku seperti ini. Ringkasnya, orang-orang tersebut di atas semuanya telah ter-hijab oleh cahaya-cahaya murni.

4.
Adapun “orang-orang yang telah sampai di akhr perjalanan” (al-washilun) mereka itu ialah yang tersingkap pula bagi mereka bahwa yang disebut al-mutha (yang ditaati) ini, bagaimana pun masih memiliki suatu sifat yang berlawanan dengan Keesaan yang murni dan Kesempurnaan yang mutlak, disebabkan suatu rahasia tersembunyi, yang buku ini tak cukup memiliki kemampuan untuk menyingkapkannya. Adapun kedudukan al-mutha ini dalam hubungannya dengan Al-Wujud Al-Haqq (yakni Allah Swt.) adalah seperti matahari  dengan cahaya murni atau bara api dalam hubungannya dengan substansi api yang murni. Oleh sebab itu, orang-orang ini pun beralih dari “yang menggerakkan lelangit” serta “yang memerintahkan penggerakkannya”; dan sampailah mereka ke suatu Maujud Yang Maha Tersucikan dari segala sesuatu yang dapat terjangkau oleh bashar (penglihatan mata), para penglihat maupun bashirah (mata hati) mereka. Mereka mendapati-Nya sebagai Yang Mahaqudus dan Maha Tersucikan dari segala yang telah kami lukiskan sebelumnya ...
Kemudian dari itu, orang-orang ini pun terbagi lagi dalam beberapa bagian. Di antara mereka ada yang mengalami keadaan yang menyebabkan terbakarnya segala yang pernah dicerap oleh penglihatannya, lalu ia sendiri menjadi larut dan luluh kendati masih terus menatap “Keindahan” dan “Kekudusan” di samping menatap dirinya sendiri dalam “keindahan” yang diraihnya dengan telah mencapai Hadhrat Ilahiyyah. Dengan demikian, luluhlah segala yang dapat terlihat di hadapan Yang Maha Melihat.
Masih ada lagi sekelompok lainnya yang melampaui keadaan orang-orang tersebut, yaitu mereka yang termasuk khawasul-khawash (yang khusus di antara yang khusus). Mereka ini yang “terbakar” oleh cahaya-cahaya wajah-Nya yang Tertinggi lalu tenggelam dalam gelombang “Kekuatan Keagungan”, sehingga diri mereka larut dan luluh sama sekali. Karena itu pula mereka tidak lagi memiliki perhatian sedikit pun ke arah diri mereka sendiri disebabkan kefanaan diri mereka itu. Di saat itu tiada sesuatu pun yang masih tertinggal kecuali Yang Mahatunggal lagi Mahabesar, sehingga makna firman-Nya :
“Segala suatu binasa kecuali wajah-Nya” dapat dirasakan oleh mereka dengan dzauq dan hal. Hal itu telah kami isyaratkan dalam Bab Pertama buku ini, dan telah kami sebutkan pula bagaimana mereka menyebut tentang Ittihad (kebersatuan, keadaan menyatu dengan-Nya), dan bagaimana anggapan mereka tentang itu.


Nah, inilah akhir perjalanan “orang-orang yang telah sampai”. Di antara mereka ada pula yang tidak menjalani pendakian dan mi’raj dengan cara bertahap demi setahap, atas setingkat demi setingkat, seperti perincian yang telah kami sebutkan sebelum ini. Sehingga pendakian mereka ini tidak banyak makan waktu dan mereka pun dalam sekejap telah memperoleh kesempatan paling dahulu untuk meraih ma’rifat tentang kedudukan serta penyucian sifat keagungan Rububiyyah sesuci-sucinya dari segala yang harus disucikan atau dijauhkan daripadanya. Karena itu, diri mereka telah diliputi, sejak pertama kali mereka memulai perjalanan, oleh keadaan yang meliputi orang-orang selain mereka pada akhir perjalannya. Mereka tiba-tiba diserbu oleh Tajalli Ilahi (ketersingkapan hijab di antara DIA dan mereka) secara sekaligus, sehingga cahaya-cahaya wajah-Nya membakar segala yang dapat dicerap oleh penglihatan indriawi maupun penglihatan batiniah mereka.
Keadaan yang pertama, yakni cara pencapaian bertahap, mirip dengan jalan Nabi Ibrahim Khalilullah (sahabat Allah) a.s., sedangkan yang kedua adalah jalan Nabi Miuhammad Habibullah (kekasih Allah) Swt. Namun, Allah Swt., tentunya yang lebih mengetahui tentang rahasia-rahasia tapak kaki mereka berdua serta cahaya-cahaa maqam mereka.
Demikian itu, tinjauan sekilas tentang aneka ragam orang-orang yang ter-hijab, yang jumlah mereka akan mencapai tiujuh puluh ribu, sekiranya diperinci tingkat-tingkat mereka serta berbagai hijab yang mendinding orang-orang yang sedang meniti jalan pendakian. Bagaimanapun, bila Anda teliti, tak seorang pun di antara mereka akan keluar dari bagian-bagian yang telah kami sebutkan. Adakalanya mereka ter-hijab oleh sifat-sifat manusiawi mereka atau oleh cahaya murni sebagaimana uraian yang telah lalu.
Hanya inilah yang ada dalam pemikiranku sekarang dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, walau pun harus kuakuji bahwa pertanyaan ini diajukan kepadaku di saat pikiranku sedang terbagi, perasaanku bercabang dan perhatianku sedan tertuju ke persoalan-persoalan selain ini. Kumohon Anda bersedia memohonkan ampunan bagiku daripada tersesatnya pena dan tergelincirnya kaki. Sebab, keberanian mengarungi lautan rahasia-rahasia Ilahi adalah suatu tindakan yang amat berbahaya. Usaha menyingkap cahaya-cahaya di persada tinggi, di balik berbagai hijab, adalah langkah yang tidak mudah. Segala puji bagi Allah Rabbal ‘Alamin, shalawat untuk Sayyidina Muhammad serta keluarganya yang baik-baik dan tersucikan. ()()()()

Kota Sepanjang – Sidoarjo, 08 Oktober 2018.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar