Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab Pertama : NASAB NABI SAW.
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Imam Bukhari
mengatakan bahwa nama Nabi Muhammad adalah Abdul Qasim, Muhammad bin Abdullah
bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay
bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Madrakah bin Ilyas bin Mudhir bin Nazzar bin Ma’ad bin Adnan.
Ibnul Qayyim
mengatakan bahwa setelah penyebutan nasab Nabi saw, kepada Adnan semua ulama
sepakat. Akan tetapi, yang menjadi perselisihan di kalangan ulama adalah nasab
setelah Adnan terus ke atas. Begitu juga, tidak ada perselisihan di kalangan
para ulama bahwasanya Adnan merupakan keturunan Nabi Ismail a.s.
Imam Zahabi
mengatakan dalam kitabnya “as-Sirah an-Nabawiyyah” bahwasanya Adnan merupakan keturunan Ismail Ibrahim sesuai
ijmak (kesepakatan) manusia. Akan tetapi, mereka berselisih tentang nasab
antara Adnan terus ke atas sampai Nabi Ismail a.s.
Ibnu Katsir
menerangkan bahwa sesungguhnya Nabi Ibrahim a.s., memiliki dua putra yagn
agung, yaitu Ismail dari Ibunda Hajar dan Ishaq dari Ibunda Sarah. Nabi Ishaq
sendiri memiliki putra, yaitu Nabi Ya’kub. Hal ini sebagaimana firman Allah
dalam QS Hud (11) : 71. “.... dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya’qub ....” ....
beliau sendiri berkebangsaan Israil ----
yang cucu-cucu mereka menasabkan diri kepadanya. Para nabi sendiri kebanyakan
diturunkan Allah kepada bangsa Israil dan jumlahnya banyak sekali, bahkan tidak
ada yang tahu, kecuali yang diutus untuk menjadi nabi dan rasul. Utusan Allah
terakhir dari kalangan Israil adalah Nabi Isa bin Maryam a.s.
Adapun Nabi
Ismail a.s., bukan keturunan Israil, melainkan keturunan bangsa Arab. Begitu
juga, tidak ditemukan para nabi yang berasal dari keturunan Nabi Ismail a.s.,
selain penutup para nabi dan rasul, kebanggan anak Adam di dunia dan akhirat,
yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim al-Quraisyi
al-Makki al-Madani.
Dengan demikian,
tidak ditemukan dari keturunan dan tunas yang mulia, melainkan perhiasan yang
termahal dan mutiara yang berkilau. Dialah pemuka yang menjadi kebangaan
semuanya dan menjadikan iri para pendahulu dan golongan terakhir pada hari
kiamat.
KEDUDUKAN NABI
SAW. DI MATA KAUMNYA
Nabi saw.,
berasal dari suku terbaik dan nasab yang paling mulia. Demikianlah Allah
menjadikan para nabi dari nasab yang paling mulia dengan budi pekerti dan fisik
paling sempurna.
Jadi, tidak
mengherankan jika Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan bin Harb tentang nasab
Nabi saw., Heriklius bertanya : “Bagaimana nasabnya dalam golongan kalian?” Abu
Sufyan pun menjawsab : “Dia berasal dari keluarga terpandang dan memili nasab
yang terpandang di kalangan kami.” Ia lalu berkta kepada Abu Sufyan : “Engkau
bilang dia berasal dari keluarga terpandang dan memiliki nasab yang baik,
begitulah para rasul diutus dari nasab yang terbaik di kalangan kaumnya.”
Abu Huraiarah
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda : “Aku
diutus dari sebai-baik zamannya anak Ada, dari abad ke abad sampai abad yang
aku berada di dalamnya” (HR. Bukhari).
Watsilah bin
Al-Aqsa’ meriwayatkan bahwa sanya Nabi Saw.,
bersabda : “Sesungguhnya Allah SWt, telah memilih dari keturunan Ibrahim yaitu
Ismail. Dia juga telah memilih dari keturuan Ismail, yaitu Kinanah. Dia juga
telah memilih dari keturunan Kinanah, yaitu Quraisy. Dia juga telah memilih
dari Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Dan Dia memilihku dari Bani Hasyim.” (HR.Muslim).
Ummu Hani juta
telah meriwayatkan secara marfu’ (riwayatnya bersambung sampai Rasulullah)
tentang keutamaan suku Quraisy bahwasanya Rasulullah bersabda : “Allah telahd
memberi keutamaan suku Quraisy dengan tujuh perkara, yaitu Allah memberi
keutamaan mereka dengan menyembah-Nya selama duapuluh tahun, padahal tidak ada
yang menyembah-Nya selain mereka; Allah memberi keutamaan mereka dengan
diberikan-Nya pertolongan pada tahun gajah meskipun pada saat itu mereka masih musyrik; Allah memberi keutamaan
mereka, berupa diturunaknnya sebuah surat dalam Al-Qur’an secara khusus
membahas tentang mereka, yaitu QS. Quraisy Ayat 1; serta Allah memberi
keutamaan mereka dengan wujudnya kenabian; khilafah; hijabah (pekerjaan menjaga
pintu-pintu); dan siqayah (menyediakan air bagi orang-orang yang berhaji).”
(HR. Bukhari dan Hakim).
Asy’ab bin Qais
meriwayatkan seraya berkata : “Aku mendatangi Rasulullah dalam sebuah
rombongan, tidak ada yang melihatku, kecuali orang yang paling utama di antara
mereka, lalu aku pun berkata, “Wahai Rasulullah! Bukankah engkau berasal dari
golongan kami?” Beliau bersabda : “Kita adalah keturunan Bani ad-Nadhir bin
Kinanah, kita tidak mencelanya dan kita tidak mengingkari seorang pun yang
berasal dari keturunanya’. Maka As’ab pun berkata : “Tidaklah aku didatangi
seorang laki-laki yang mengingkari seseorang keturunan Quraisy dari Bani
an-Nadhir bin Kinanah, melainkan pasti aku hukum dengan hukuman cambuk.” (HR.
Ibnu Majah, Bukhari, Ahmad).
Abdul Munththalib
bin Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Munththalib meriwayarkan bahwasanya
sekelompok orang dari kaun Anshar mendatangi Nabi saw, seraya berkata :
“Sesungguhnya kami mendengar salah seorang dari kaummu megnatakan bahwa
perumpamaan Muhammad adalah bagaikan pohon kurma yang tumbuh di tempat smpah.”
Lalu, Rasulullah bersabda : “Wahai para manusia Siapakah aku?” Mereka menjawab
: “Engkau utusan Allah.’ Beliau bersabda : “Aku adalah Muhammad bin Abdullah
bin Abdul Muththalib – aku belum pernah mendengar seseorang yang dinisbatkan
seperti itu sebelumnya – melainkan Allah menciptakan makhluk-Nya maka Dia
menjadikanku sebaik-baik makhluk. Kemudian Dia menjadikan Makhluk-Nya dalam dua
golongan, dan aku dijadikan dari sebaik-baik golongan. Kemudian Dia menjadikan
suku—suku dan aku dijadikan dari sebaik-baik suku. Kemudian Dia menjadikan
mereka berbangsa-bangsa dan aku dijadikan dari sebaik-baik bangsa. Aku adalah
sebaik-baik kalian bika jiwa maupun bangsa.” (HR. Turmudzi dan Ahmad).
Kulaib bin Wail
berkata : “Salah seorang pengasuh Nabi saw, Zainab binti Abu Salamah, telah
ebrcerita kepadaku. Kulaib berkata : “Apakah engkau mengetahui bahwasanya Nabi
saw, dari kabilah Mudhar”? Ia menjawab, ‘tiadalah seseorang berasal dari
kabilah Mudhar, kecuali termasuk keturunan Bani an-Nadhir bin Kinanah.” (HR.
Bukhari).
Bahkan, sebuah
batu pun mengetahui kedudukan Nabi saw, sehingga ia memberi salam kepada
beliau. Jabir bin Samurah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Makkah yang pernah memberi salam
kepadaku sebelum aku diutus. Sungguh aku mengetahuinya sampai saat ini.” (HR.
Muslim).
Penutup
Para Nabi
Abu hraiarah
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : “Perumpamaanku dan para nabi terdahulu
bagaikan seorang laki-laki yang mendirikan sebuah bangunan, lalu ia pun memperindah bangunan tersebut, kacuali satu
tempat di salah satu sudutnya yang belum terpasang batu batanya. Orang-orang
yang mengelilingi bangunan tersebut heran sambil berkata : Alangkah indahnya
jikalau bata-bata ini terpasang!” dan akulah batu bata itu dan aku adalah
penutup nabi./” (HR. Muslim).
Sifat-Sifat Fisik Nabi saw.
Nabi Muhammad
adalah sosok lakik-laki yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Warna kulit cemerlang (putih terang lebih
cenderung ke warna merah).
2. Berdahi lebar.
3. Kedua amtanya sangat hitam dan lebar (ada
yang berpendapat tidak terlalu hitam).
4. Bulu matanya panjang.
5. Renggang giginya.
6. Lebat jenggotnya.
7. Besar pundaknya.
8. Lebar telapak tangan dan kakinya.
9. Tinggi badannya standar, artinya tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek.
10. Rambutnya tidak terlalu lurus dan tidak
terlalu keriting, panjang rambutnya mencapai kedua pundaknya.
11. Jika berbicara, seolah-olah cahaya keluar
dari gigi serinya.
12. Padat kepalanya.
13. Memiliki bulu lembut yang memanjang dari
dada sampai pusar.
14. Ketika berjalan, beliau kelihatan kuat
seolah melewati tanah yang menurun.
15. Wajahnya memancarkan cahaya bagaikan bulan
purnama.
16. Suaranya sangat enak didengar.
17. Rata pipinya.
18. Lebar mulutnya.
19. Rata perut dan dadanya.
20. Sangat masyhur kedua pundak dan tangannya.
21. Tinggi dada sepanjang kedua lengan
bawahnya.
22. Luas telapak tangannya.
23. Sedikit daging tumitnya.
24. Penutup kenabian bagaikan cahaya kamar
mempelai dan telur burung merpati.
25. Jika beliau berjalan, seolah-olah tanah
terdiam, orang-orang pun menguatkan sarung busurnya meskipun beliau tidak
pernah menyusahkan.
26. Beliau pernah mengurai rambutnya kemudian
membelahnya, beliau juga selalu menyisirnya dan mengurai jenggotnya.
27. Beliau terbiasa untuk memakai celak setiap
malam di setiap sisi kedua matanya saat hendak tidur.
Jabir bin Samurah
meriwayatkan : “Aku pernah shalat bersama Nabi saw, tatkala beliau menemui
keluarganya, kau mengikutinya. Beliau pun disambut dua anak kecil. Maka beliau
mengusap kedua pipi salah satu mereka. Ia melanjutkan : “Adapun aku, beliau
juga mengusap pipiku.’ Ia melanjutkan : “Aku pun menjumpai hawa dingin dan bau
wangi yang seolah keluar dari tangan beliau.” (HR. Muslim).
Anas
mweriwayatkan seraya berkata : “Rasulullah memiliki kulit cerah, keringatnya
bagai mutiara. Ketika beliau berjalan selalu seimbang, engkau tiada menemui
kain sutra yang melebihi lembutnya telapak tangan beliau dan engaku tidak akan
mencium minyak wangi yang melebihi wanginya bau yang keluar dari tubuh beliau.”
(HR. Muslim).
Rabiah bin Abu
Abdirrahman meriwayatkan bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik menyifati
Rasulullah seraya berakta : “Rasulullaht idak terlalu tinggi dan tidak terlalu
rendah, kulitnya cerah, tidak terlalu putih dan tidak terlalu gelap, beliau
tidak berambut keriting, rambutnya bagai cucu seseorang yang masih kecil,
padahal usia beliau telah mencapai empat puluh tahun. Beliau tinggal di Makkah
selama sepuluh tahun dan di Madinah selama sepuluh tahun. Ketika beliau wafat, tidak
ditemui pada rambut kepala dan jenggotnya, melainkan hanya dua puluh helai
uban.” Rabiah melanjutkan : “maka aku melihat salah satu rambutnya berwarna
merah, aku pun bertanya tentang hal itu. Dan dikatakan bahwasanya merah
rambutnya disebabkan pengaruh minyak wangi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Rhufail
meriwayatkan seraya berakta : “Aku pernah melihat Rasulullah. Waktu itu tiada
yagn meliaht beliau selain aku.’ Al-Jariri berkata kepadanya : “Bagaimana
engkau melihat beliau?” Ia menjawab : “Beliau berkulit cerah, elok dipandang,d
an bertubuh ideal.” (HR. Muslim).
Barra
meriwayatkan seraya berakata : “Aku tidak pernah melihat rambut yang lebih baik
dari rambut Rasulullah. Rambutnya memanjang sampai pundak, pundaknya saling
berjauhan (dadanya lebar), tidak terlalu tinggi tubuhnya dan tidak terlalu
pendek.” (HR. Muslin dan Turmudzi).
Diriwayatkan dari
Barra’ juga bahwa sanya Rasulullah memiliki wajah yang terbaik, fisik terbaik,
dan tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abuk Ishaq
meriwayatkan bahwa sanya Barra’ pernah ditanya : “Apakah wajah Rasulullah
bagaikan kiltan pedang?” Ia pun menjawab : “Tidak, bahkan bagai rembulan.” (HR.
Bukhari dan Turmudzi).
Abu Sa’id
al-Khudri meriwayatkan bahwasanya Rasulullah lebih pemlau dibandingkan gadis
yang berada dalam pingitannya.” (HR. Mukharai).
Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah pernah mengurai rambutnya, sedangkan saat
itu kaum musyrikin membelahj rambut mereka, dan Ahli Kitab mengurai rambut
mereka. Rasulullah sendiri lebih suka menyerupai Ahli Kitab dalam hal yagn
tidak ada perintah di dalamnya. Setelah itu beliau membelah rambutnya. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Abdullah bin
Ka’ab meriwayatkan bahwa ia telah mendengar Ka’ab bin Malik berkata saat tidak
ikut dalam Perang Tabuk : “Maka ketika aku memberi salam kepada Rasulullah,
beliau tampak bahagia. Ketika beliau bahagia, wajahnya bercahaya bagaikan
bulan. Kami semua mengetahi hal itu.” (HR. Bukhari).
Anas bin Malik
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah mendatangi kami, kemudian beliau bersabda
sampai keluar keringatnya. Lalu, ibuku datang membawa panci sehingga keringat
beliau bercucuran di dalamnya. Setelah itu, beliau berdiri dan bersabda :
“Wahai Ummu Sulaim! Apa yang engkau lakukan?” Ia pun menjawab : “Ini adalah
keringatmu yang kami jadikan minyak wangi.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat
lain disebutkan bahwasanya Nabi saw, terkejut, bersabda : “Apa yang engkau
lakukan, wahai Ummu Sulaim!” Ia pun
menjawab : “ Wahai Rasulullah! Kami mengharap berkah untuk anak-anak kami.”
Beliau pun bersabda : “Engkau benar.” (HR. Muslim).
Budi
Pekerti Nabi saw. Yang Agung
Budi pekerti Nabi
Muhammad saw, yagn agung sangat tampak dalam kesehariannya, seperti :
1. Memilikij
keistimewaan berupa lisan yang fasih dan mengena dalam berbicara.
2. Sosok yang penyantun, penyabar, dan pemaaf.
Sifat-sifat
tersebut merupakan didikan langsung dari Allah. Setiap penyantun dikenal
kebaikannya dan terjaga dari kesalahan. Rasulullah saw, memiliki kesabaran luar
biasa meskipun makin banyak yang menyakitinya. Begitu juga, beliau sellau
bersikap santun terhadap perbuatan berlebihan yagn dilakukan orang-orang jahil
terhadapnya.
Aisyah berkata :
“Rasulullah selalu memilih perkara yang paling mudah ketika dihadapkan pada dua
perkara, selama perkara tersebut tidak mengandung dosa. Apabila perkara
tersebut mengandung dosa, beliau selalu menjauhinya. Beliau tidak pernah
berniat balas dendam atas hal yang menimpa dirinya. Namun, beliau akan membalas
ketika yang dianiaya adalah kehormatan Allah. Beliau juga terkenal menahan
marah dan cepat merelakan kesalahan orang lain.” (HR. Bukhari).
Bukti dari sifat
dermawan beliau adalah selalu memberi tampa ada rasa takut menjadi fakir. Ibnu
Abas mengatakan bahwa Nabi saw, adalah orang yang paling dermawan, apalagi di
bulan Ramadhan, yaitu saat malaikat Jibril menemuinya. Malaikat Jibril sendiri
menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan untuk tadarus Al-Qur’an.
Rasulullah lebih cepat dalam menghapal kebaikan daripada angin yang berembus.
(HR. Bukharai).
Rasulullah adalah
sosok pemberani, terutama dalam menyikapi saat-saat sulit. Tak jarang jika par
apembesar dan panglima kafir lari dari belkiau. Rasulullah selalu berpegang
teguh, pantang mundur, dan tak pernah genta. Tidaklah disebut pemberani
melainkan diperhitungkan kekuatannya dan tiada yang menandinginya. Ali
mengatakan bahwa ketika ia dan para sahabat diliputi ketakutan dan terancam
bahaya, mereka berlindung di belakang Rasulullah sehingga beliaulah yagn paling
dekat dengan musuh. (HR. Nasai, Ahmad dan Muslim).
Anas megnatakan
bahwa tatkala penduduk Madinah dikagetkan pada suatu malam, mereka mendatangi
sumber suara. Rasulullah menjumpai mereka – setelah mendahului mereka dalam
mendatangi sumber suara – beliau dalam keadaan menunggang kuda milik Abu
Thalhah yagn berkalung pedang di lehernya. Beliau pun bersabda : “Kalian belum
terjaga, kalian belum terjaga.” (HR. Bukhari, Muslim dan Turmudzi).
Rasulullah adalah
sosok yagn sangat pemalu. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwasanya
Rasulullah lebih pemalu dari seorang gadis yagn berada dalam pingitannya.
Ketika beliau marah, dapat diketahui dari raut wajahnya. (HR. Bukhari, Muslim,
dan Ibnu Majah).
Beliau dikenal
orang yang paling berlama-lama dalam memandang wajah orang lain, beliau
menundukkan pandangannya, serta tidak pernah berbicara yagn menyakitkan orang
lain karena rasa malu dan kemuliaan diri beliau. Bahkan, beliau tidak pernah
menyebut nama seseorang yagn dilaporkan kepadanya. Beliau hanya berkata : “Apa
alasan suatu kaum melakukan hal itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu
Majah).
Beliau yang
pantas mendapat sanjungan dari seorang penyair :
Dan
tundukkan pandangan karena rasa malu.
Dia
tidak bicara melainkan disertai dengan senyuman.
Rasulullah adalah
sosok manusia yagn paling adil, pemaaf, jujur katanya, dan dapat dipercaya. Hal
ini diakui sendiri oleh lawan bicara dan musuh-musuhnya. Jadi, tidak heran jika
beliau diberi gelar ‘al-Amin (paling dipercaya).” Sebelum diutus sebagai rasul.
Bahkan, beliau menjadi rujukan kaumnya tiap kali ada permasalahn sebelum datangnya
Islam.
Beliau dikenal
yang paling rendah hati dan jauh dari kesombongan. Beliau melarang berdiri
untuk menyambut kedatangannya, sebagaimana raja-raja yagn lain, yang selalu
disambut kaumnya dengan bediri. Beliau juga dekat dengan fakir miskin, memenuhi
undangan siapapun, dan tidak peduli undangan
dari seorang budak ataupun dari majikan. Beliau tidak pandang bulu dalam
bergaul. Ketika berkumpul dengan para sahabat, tak ada beda di antara mereka. Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah menambal
sandalnya, menjahit bajunya, mengerjakan sesuatu dengan tangannya sendiri,
sebagai mana kalian mengerjakan sesuatu di rumah kalian. (HR. Ahmad dan Ibnu
Hibban).
Rasulullah adalah
manusia biasa yang merawat baju, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya
sendiri. (HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzik).
Rasulullah adalah
sosok yang paling menepati janji, selalu menjalin silaturahmi, paling penyayang
kepada sesama, paling baik cara bergaulnya, paling baik akhlaknya, jauh dari
perangai yang buruk, tidak pernah beruat keji, tidak pernah melaknat orang
lain, tidak pernah di pasar, tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan
bahkan memaafkannya. Belaiu juga tidak pernah membiarkan orang lain berjalan di
belakangnya dan tidak pernah merasa tinggi derajatnya di depan pelayan-pelayannya,
baik dalam ha berpakaian maupun makan. Beliau melayani orang yang melayaninya,
tidak pernah membentak para pelayannya, dan tidak pernah mencela pekerjaan
mereka. Beliau juga mencintai orang-orang miskin, duduk bersama mereka,
mengantar jenazah mereka, dan tidak pernah mencela orang-orang fakir.
Secara global,
Rasulullah saw, memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Allah telah mendidiknya
sehingga menjadi berbudi pekerti mulia. Allah berfirman kepadanya sebagai
pujian : “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS.
Al-Qalam (68) : 4).
Inilah yang
menggerakkan jiwa untuk mendekatinya, membuat hati mencintainya, menjadikannya
pemimpin yang dicintai, melembutkan tabiat kaumnya setelah mereka membencinya.
Dari hal ini sehingga mereka masuk Islam secara berbondong-bondong.
Nama-Nama Nabi saw. Dan Gelarnya
Muhammad bin
Jubair bin Muth’im meriwayatkan dari bapaknya bahwasanya Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya aku memiliki banyak nama, aku adalah Muhammad, Ahmad, Al-Mahi
(yang menghapus kekufuran dengan izin Allah), al0Hasyir (yang mengumpulkan
manusia di bawah kakiku dengan izin Allah), al-‘aqib (tidak ada seoang pun
setelahkuj). Dan Allah telah memberi nama beliau Ra’uf Rahim (HR. Muslim).
Pendapat Imam
Nawawi tentang sanda Rasulullah : “Aku adalah al-Mahi (yang menghapus kekufuran
dengan izin Allah).”
Para ulama
berpendapat bahwasanya yang dimaksud menghapus kekufuran adalah menghilangkan
kekufuran dari negeri Makkah, Madinah, dan negeri Arab lainnya, serta
menghilangkan segala hal yang mencegah beliau di dunia ini. Beliau juga
berjanji akan mewujudkan hak-hak umatnya.
Para ulama
berpendapat bahwa penghilangan di sini bersifat umu. Artinya, beliau muncul
dengan bukti dan kemenangan – sebagaimana firman Allah : “..... agar dimenangkan-Nya
terhadap semua agama ....” (QS. Al-Fath (48) : 28). Hadits lain juga
menjelaskan bahwa kata “penghapus” di sini artinya setiap kejelekan orang-orang
yang mengikuti beliau akan dihapus. Jadi, inilah yang dimaksud dengan
menghilangkan kekufuran.
Sebagaimana
firman Allah : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan
kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya) niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu .... “ (QS. Al-Nafal (8) : 38) dan
dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Islam menghancurkan ajaran sesat
sebelumnya (HR. Muslim).
Adapun sabda
Rasulullah : “Aku adalah pengumpul yang seluruh manusia dikumpulkan atas
jejakku.” Maksudnya beliau dikumpulkan dahulu sebelum manusia yang lain. Hal
ini sesuai dengan riwayat yang lain : “Manusia akan dikumpulkan di bawah
telapak kakiku.”. Kemungkinan juga berarti dikumpulkan pada saat beliau berdiri
dengan munculnya tanda-tanda hari berkumpul sebagai isyarat bahwa tidak adan
nabi dan syariat setelah beliau.
Adapun kata
“al-Aqib” beliau menafsirkan dalam hadits yang berarti tidak ada nabi yang
datang setelahnya (Nabu Muhammad, saw.).
Al-Hariz
mengatakan bahwa yang tampak dari teks adalah Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya aku memiliki lima nama yang khusus, tidak ada seorang pun
sebelumku yang menyamainya, bahkan para pembesar umat sebelumku.”
‘Iyadh mengatakan
bahwa Allah menghapus nama-nama ini yang berarti bahwa Dia tidak memberi nama
seorang pun dengan nama tersebut sebelum Nabi saw. Hanya saja, sebagian masyarakat
Arab memberi nama anak mereka ‘Muhammad’ mendekati kelahiran Nabi saw. Hal ini
dikarenakan mereka mendengar dari para dukun dan rahib bahwa seorang nabi akan
diutus di masa ini, yang diberi nama Muhammad. Akbitnya, mereka berharap
keturunan merekalah yang diangkat sebagai nabi.
Ibnu Mas’ud
mengatakan bahwa Rasullah adalah orang yang jujur dan dibenarkan kejujurannya.
Dalam Kitab Taurat tertulis : “Sesungguhnya ia adalah bagian dari kaum yang
tidak bisa baca tulis dan namanya adalah Mutawakkil. Sebagian namanya adalah
Al-Amin, bahkan masyrakat Quraisy sendiri telah memanggil dengan nama itu
sebelum kenabiannya. Sebagian namanya juga adalah al-Fatih dan Qatsam. Ali bin
Zaid bin Jad’an mengatakan bahwa ingatlah sebaik-baik syair yang telah
dilantunkan orang Arab, mereka melantunkan apa yang dilantunkan Abu Thalib
untuk Nabi saw.
Telah muncul dari namanya untuk
diagungkan
Maka, yang memiliki ‘Arsy adalah
Muhammad. Sedang ini adalah Muhammad
Sebagian dari nama beliau juga
adalah al-Maqfi, Nabiyyuttaubah, dan Nabiyyurrahmah.
Abu Musa
al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah memberi nama dirinya seraya bersabda :
“Aku adalah Muhammad, Ahmad, Maqfi, Nabiyyuttaubah, dan Nabiyyurrahmah.” (HR.
Muslim).
Imam Nawawi
mengatakan bahwa yang dimaksud Nabiyyutaubah, Nabiyyurrahmah, dan
Nabiyyulmarhama adalah beliau datang dengan membawa ajaran bertobat dan
berkasih sayang. Allah berfirman : “ .... tetapi berkasih sayang sesama mereka
.... “ (QS. Al-Fath (48) : 29). Dan “ ..... dan saling berpesan untuk bersabar
dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad (90) : 17).
Dalam riwayat
laindisebutkan : “Nabiyyulmalahim.” Hal ini disebabkan beliau diutus dengan
membawa perintah perang. Para ulama mengatakan bahwa pembatasan nama-nama ono
---- meskipun beliau memiliki nama-nama yang lain --- karena nama-nama tersebut
terdapat dalam kitab-kitab umat-umat terdahulu.
Sebagian nama
beliau ada dalam Al-Qur’an tanpa ada perbedaan pendapat adalah asy-Syahid,
al-Mubasysyir, an-Nadzir al-Mubin, ad-Da’i illlah, as-Siraj al-Munir,
al-Mudzakkir, ar-Rahmah, an-Ni’mah, al-Hadi, asy-Syahid, al-Amin, al-Muzzammil, adn al-Muddatstsir.
Dalam hadis Amr
bin Ash disebutkan bahwa nama beliau adalah al-Mutawwakil, as-syafi’,
al-Musyaffa’, ash-Shidiq, dan al-Mashduq.
Ibnu Dahiyah
mengatakan bahwa dalam hal nama Rasulullah sebagian dari ulam mengatakan bahwa
nama-nama Nabi itu sejumlah nama-nama Allah, yaitu 99 nama.
Adapun gelar
beliau adalah Abu Qasim. Sebab, anak paling besar Nabi saw., bernama Qasim.
Yang menjadi perbedaan pendapat adalah apakah anak tersebut meninggal sebelum
diutus menjadi nabi atau setelahnya. Anas meriwayatkan bahwa suatu saat Nabi
saw., berada di pasar. Kemudian seorang laki-laki berkata : “Wahai Abu Qasim.”
Nabi pun menoleh seraya bersabda, “Berilah nama dengan namaku, tetapi jangan
bergelar dengan gelarku.” (HR. Bukhari).
Ummahul Mukminin (Para Istri Nabi saw.)
1. Khadijah binti Khuwalid al-Quraisyiah al-Asadiyah
Istri beliau yang
pertama dan dinikahi sebelum kenabian. Pada waktu itu umurnya sudah 40 tahun,
sedangkan Rasulullah berumur 25 tahun. Rasulullah tidak menikah lagi sampai
Khadijah meninggal. Semua keturunan Rasulullah saw., berasal dari Khadijah,
kecuali Ibrahim. Khadijah yang menguatkan diri Nabi saw, dalam menerima
kenabian, berjuang bersama beliau dan membantu beliau dengan harta dan jiwa.
Allah dan Malaikat Jibril mengirim salam kepadanya. Ini adalah kekhususan yang
tidak dimiliki wanita lain. Khadijah sendiri meninggal tiga tahun seebelum
hijrah.
2. Saudah binti Zam’ah a;-Quraisyiah
Beberapa hari
setelah Khadijah meninggal, Rasulullah menikah lagi. Dia adalah salah satu
istri Rasulullah yang memberikan jatah gilirannya kepada Aisyah.
3. Ummu Abdillah, Aisyah bin Abu Bakar ash-Shiddiq
Dia adalah wanita
terbesar dari tuduhan langsung dari langit ke tujuh. Kekasih Rasulullah adalah
Aisyah bin Abu Bakar. Allah sendiri yang menunjukkan Aisyah kepada Nabi saw.,
untuk dinikahi. Dia berfirman : “ini adalah istrimu.” Rasulullah menikah dengan
Aisyah pada bulan Syawal. Waktu itu usia Aisyah 6 tahun. Kemudian Rasulullah
berumah tangga dengan Aisyah saat usianya 9 tahun, yaitu pada bulan Syawal
tahun pertama setelah hijrah. Rasulullah tidak pernah menikahi gadis selain
Aisyah. Wahyu pun turun saat Rasulullah bersama Aisyah dan ini tidak terjadi
pada istri Rasulullah yang lain.
Aisyah yang
paling dicintai Rasulullah. Pembebasannya dari tuduhan keji turun langsung dari
langit. Seluruh umat Islam pun sepakat bahwa yang menuduh Aisyah berzina
berarti telah kafir.
Aisyah adalah
istri Rasulullah yang paling berilmu dan paham agama. Bahkan, tidak bisa
dipungkiri bahwa Aisyah paling paham agama di antara seluruh wanita umat Islam.
Hal ini terbukti bahwa para pembesar sahabat selalu meminta fatwa darinya.
4. Hafshah binti Umar bin Khaththab
Abu Dawud
menyebutkan bahwa beliau menceraikannya, kemudian merujuknya.
5, Zainab binti Khuzaimah bin Harits al-Qaisiyah.
Dia adalah
keturunan Hilal bin Amir. Ia meninggal di sisi saw, setelah berumahtangga
dengan beliau selama dua bulan.
6. Ummu Salamah, Hindun binti Umayyah al-Quraisyiah
al-Makhzumiyah.
Nama asli Abu
Umayyah sendiri adalah Huzaifah bin Mugirah. Ummu Salamah adalah istri Nabi
saw., yang paling terakhir wafatnya.
7. Zainab binti Jahsy.
Dia dari
keturunan Bani Asad bin Huzaimah. Zainab sendiri masih kerabat Rasulullah,
yaitu putri bibi beliau, Umaimah. Allah pernah menurunkan ayat-Nya yang
berkaitan dengan perihal Zainab : “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engan dengan dia (Zainab).”
(QS. Al-Ahzab (33) : 37.
Oleh sebab itu,
ia merasa bangga di depan istri Nabi saw., yang lain seraya berkata : “Kalian
dinikahkan keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan langsung oleh Allah dari
atas langit ke tujuh.” (HR. Bukhari).
Itlah
keistimewaan Zainab yang dinikahkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad saw.
Zainab sendiri
meninggal pada awal kepemimpinan Umar bin Khaththab. Ia juga mantan istri Zaid
bin Haritsah, yang merupakan anak angkat Rasulullah. Setelah Zaid
menceraikannya, Allah menikahkannya dengan Rasul-Nya untuk menjadi teladan bagi
umat beliau dalam hal bolehnya menikah dengan mantan istri anak angkat. Apalagi
setelah itu Islam meniadakan istilah anak angkat secara khusus.
8. Juwairiyah binti Harits bin Abi Dhihar
al-Musthaliqiyah.
Pada mulanya dia
adalah tawanan Perang Bani Mutsaliq. Kemudian ia mendatangi Nabi saw., atas
nama 90 tawanan lain yang menjadi budak untuk dimerdekakan. Rasulullah pun
memenuhi keinginannya dan menikahinya.
9, Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Shahr bin Harbal
al-Quraisyiah al-Umawiyyah.
Ada pendapat lain
yang menyhebutkan bahwa namanya adalah Hindun. Rasulullah menikahinya saat ia
berada di negeri hijrah, yaitu Habasyah dengan mahar 400 dinar. Ummu Habibag
meninggal dalam masa pemerintahan saudaranya, Muawiyah. Inilah pendapat yang
mutawatir dalam pandangan ahli sejarah. Pernikahannya di mata ahli sejarah
memiliki kedudukan yang sama dengan pernikahan Khadijah di Makkah, Hafshah di
Madinah, dan Shafiyah setelah Perang Khaibar.
10. Shafiyah binti Hujay bin Akhtab.
Ia adalah pemuka
Bani am-Nadhir dari keturunan Harun bin Imran, saudara Musa. Oleh karena itu,
Shafiyah termasuk putri nabi, istri nabi, dan wanita yang paling cantik seluruh
alam. Shafiyah pernah menjadi tawanan beliau, kemudian beliau mendekatinya dan
menjadikan pemerdekaan tersebut sebagai maharnya.
11. Maimunah binti Harits al-Hilaliyah.
Maimunah adalah
wanit terakhir yang dinikahi Nabi saw. Pendapat yang shahih mengatakan bahwa
Maimunah dinikahi Rasulullah saw., di Makkah setelah umrah qadha’, yakni
setelah beliau tahalul.
Mereka itulah
para wanita yang dinikahi Nabi saw. Adapun para wanita yangs empat dipinang
beliau tanpa dinikahi dan wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau,
tetapi Rasulullah tidak menerimanya ada sekitar 4 atau 5 orang. Sebagian ulama
berpendapat bahwa jumlah mereka 30 wanita. Para ilmuwan sendiri kurang
mengetahui tentang hal ini, bahkan mereka mengingkarinya. Adapun yang terkenal
di kalangan mereka adalah Nabi saw., diutus menemui Juwaniyah untuk menikah
dengannya. Tatkala beliau datang meminangnya, ia berlindung dari beliau. Oleh
karena itu, beliau tidak jadi menikah dengannya.
Begitu juga,
seorang wanita bernama Kalbiyah yang memiliki cacat di kulitnya dan seorang
wanita yang menghibahkan dirinya,kemudian dinikahi selain Nabi saw. Inilah yang
autentik tentang kisah mereka. Allahu
A’lam.
Tidak ada
perbedaan, di kalangan ulama bahwa Rasulullah ketika wafat meninggalkan 9
istri, yaitu Aisyah, Hafshah, Zainab binti Jahsy, Ummu Salamah, Shafiyah, Ummu
Habibah, Maimunah, Saudah dan Juwairiyah.
Istri yang paling
dahulu menyusul Rasulullah setelah beliau wafat adalah Zainab binti Jahsy, yang
bertepatan dengan tahun ke-20 setelah hijrah. Sedangkan, istri beliau yang
paling terakhir meninggal adalah Ummu Salamah, bertepatan dengan tahun 62 dalam
masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah.
Imam Nawawi
mengatakan bahwa istri pertama Rasulullah adalah Khadijah, kemudian Saudah,
Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Maimunah,
Juwairiyah, dan Shafiyah. Kesembilan istri setelah Khadijah itulah yang
ditinggal Nabi saw, menghadap Allah. Rasulullah saw, sendiri tidak pernah
memadu Khadijah. Beliau juga tidak pernah menikahi gadis, selain Aisyah. Beliau
juga pernah menceraikan beberapa istri --- sengaja penulis tidak sebutkan di
sini disebabkan banyaknya perbedaan pendapat di dalamnya.
Rasululklah
memiliki daua selir, yaitu Mariyah dan Raihanah binti Zaid. Dalam pendapat lain
disebutkan bahwa namanya adalah Bintu Syam’un, kemudian beliau memerdekakannya.
Qatadah meriwayatkan bahwasanya Nabi saw, menikahi 15 wanita, kemudian beliau
berumah tangga dengan 13 wanita, menghimpun 11 wanita, dan meninggalkan 9
wanita.
Putra-Putra
Nabi saw.
Imam Nawawi
mengatakan bahwa Nabi saw., memiliki tiga putra :
1. Qasim
Namanya digunakan
sebagai gelar beliau (Abu Qasim). Ia dilahirkan sebelum kenabian dan meninggal
dalam usia dua tahun.
2. Abdullah yang
diberi nama ath-Tahyyib dan ath-Tahir.
Ia dilahirkan
setelah kenabian. Pendapat lain mengatakan karena ia bukan Abdullah. Yang benar
adalah pendapat pertama.
3. Ibrahim
Ia dilahirkan di
Madinah tahun ke-8 dan meninggal di sana tahun ke-10 dalam usia 17 bulan atau
18 bulan.
Nabi Muhammad
saw, memiliki empat putri :
1. Zainab
Ia dinikahi Abul
Ash bin Rabi’bin Uzza bin Abdu Syams yang merupakan putra bibi, yaitu Halal
binti Khuwalid.
2. Fatimah
Ia menjadi isti
Ali bin Abi Thalib (sahabat sekaligus
saudara sepupu Rasulullah saw.).
3. Ruqayah.
Dinikahi oleh
Utsman bin Affan (istri pertama).
4. Ummu Kulsum
Dinikahi oleh
Utsman bin Affan (setelah Ruqayah meninggal).
Ruqayah pada
akhirnya menjadi nistri pertama Utsman bin Affan, kemudian ia menikahi Ummu
Kultsum setelah Ruqayah meninggal. Keduanya (Ruwayah dan Ummu Kultsum)
meninggal di sisi Utsman bin Affan sehingga ia diberi gelar Zun Nurain (pemilik
dua cahaya).
Ruqayah meninggal
pada hari berlangsungnya Perang Badar, yaitu bulan Ramadhan tahun kedua setelah
hijrah. Sedangkan, Ummu Kultsum meninggal pada bulan Sya’ban tahun kesempbilan
setelah hijrah.
Dari uraian di
atas, tidak ada perbedaan bahwa jumlah putri Nabi saw., adalah empat dan putra
beliau --- menurut pendapat yang shahih --- berjumlah tiga orang. Adapun
urut-urutan keturunan beliau dari yang tertua adalah sebagai berikut :
Putra pertama,
Qasim.
Putri kedua,
Zainab.
Putri ketiga,
Ruqayah.
Putri keempat,
Ummu Kultsum.
Putri kelima,
Fatimah.
Dalam satu
pendapat dikatakan bahwasanya Fatimah lebih tua dari Ummu Kultsum. Semua
keturunan beliau merupakan karunia dari pernikahannya dengan Khadijah, kecuali
Ibrahim, yang merupakan karunia dari pernikahannya dengan Mariyah al-Qibtiyah.
Semua keturunan Nabi saw., meninggal sebelum meninggalnya beliau, kecuali
Fatimah yang masih hidup sampai enam bulan setelah Nabi saw., wafat. Inilah pendapat yang
shahih.
Sifat Nabi saw, dalam Kitab Taurat dan Kabar
Gembira bagi Umat Yahudi
Atha’ bin Yasar
meriwayatkan bahwa ia pernah menemui Abdullah bin Amr bin Ash seraya berkata :
“Beritahukan kepadaku tentang sifat Rasulullah dalam Kitab taurat.” Ia pun
menjawab. “Baik, demi Allah! Beliau disifati dalam Kitab taurat dengan sifat
yang termaktub dalam Al-Qur’an, yaitu. ‘Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami
emngutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan
penjaga kaum yang ummiy (tidak bisa baca dan tulis). Engkau hamba-Ku dan
utusan-Ku. Aku memberimu nama al-Mutawakkil. Nabi saw., bukanlah orang yang
kasar dan keras, bukan pembawa onar di pasar, bukan yang membalas kejelekan
dengan kejelekan, tetapi dengan memberi maaf dan lapang dada. Allah tidak
mencabut nyawanya, kecuali setelah meluruskan agama Nabi Ibrahim yang diselewengkan
orang Arab, yaitu dengan ucapan La ilaha ilallah (Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah, kecuali Allah). Beliau membuka mata yang terpejam dengannya, telinga
yang terbumbat, dan hat yang tertutup.” (HR. Bukhari).
Salamah bin
Salamah bin Waqasy meriwayatkan bahwa sebagian sahabat yang ikut Perang Badar
berkata : “Kami pernah memiliki tetangga Yahudi di daerah Bani Abdul Asyhal.
Suatu hari ia keluar dari rumahnya untuk mengunjungi kami. Hal itu terjadi
sebelum datangnya kenabian. Ia pun berhenti di majelis Abdul Asyhal.” Salamah
melanjutkan, “Saat itu aku berbicara dengan orang yang sebaya umurnya denganku,
yang berbaring di atas selendangnya di halanan rumahku. Ia pun berbicara
tentang hari berbangkit, hari kiamat, hari perhitungan, timbangan amal, surga,
neraka. Ia menjelaskan bahwa hal-hal tersebut untuk orang-orang musyrik,
penyembah berhala, yang tidak meyakini bahwa hari berbangkit akan terjadi
setelah kematian mereka. Orang-orang pun mencelanya dengan berkata, “Celakalah
engkau, bagaimana mungkin manusia akan dibangkitkan setelah kematian mereka,
kemudian dimasukkan surga atau neraka untuk diberi balasan atas perbuatan
mereka?” Ia pun menjawab, ‘Ya, demi Dzat yang bersumpah dengannya, sungguh Dia
lebih suka jika neraka itu lebih dahsyat panasnya menjaganya di dunia.”
Mereka berkata,
“Celakalah engkau, lalu apa tanda-tandanya?” Ia menjawab “Nabi yang akan diutus
dari negeri ini (sambil menunjuk dengan tangannya ke arah Makkah dan Yaman)”.
Mereka berkata :
“Kapan engkau melihatnya?” Salamah melanjutkan, “maka ia pun melihat ke arahku
--- aku sendiri yang paling muda usianya – maka ia menjawab. “Orang yang
usianya sebaya dengan pemuda ini akan menjumpainya.”
Salamah
melanjutkan : “Demi Allah! Siang dan malam tak henti-hentinya berganti sampai
diutusnya Nabi saw., dan beliau hidup di tengah-tengah kami. Kami pun beriman
kepadanya, dan rasa dengki dihapus karenanya. Kami pun berkata, “Celakalah
engkau, wahai Fulan! Bukankah dirimu termasuk yang engkau sampaikan kepada
kami?” Ia menjawab, “Bukan demikian.” (HR.
Bukhari, Ahmad, dan Thabrani).
Ka’ab Akhbar
berkata : “Sungguh aku menemui dalam Kitab taurat, ‘Muhammad Rasulullah tidak
aksar dan keras, tidak membuat onar di pasar, tidak membalas kejelekan dengan
kejelekan, tetapi pemaaf dan lapang dada. Umatnya adalah orang-orang yang suka
memuji Allah dalam setiap kedudukan, selalu bertakbir membesarkan-Nya atas
setiap eprtolongan yang diberikan-Nya, selalu membersihkan diri mereka,
merapikan barisan mereka dalam shalat dan peperangan, tempat kelahirannya di
Makkah, dan kerajaannya di Syam.” (HR. Darimi).
Kabar Dukun tentang Diutusnya Nabi Muhammad
saw.
Abdullah bin Umar
r.a., meriwayatkan seraya berkata : “Aku tidak pernah mendengar Umar berkata,
‘Sesungguhnya aku mengira seperti ini; kecuali hal tersebut terjadi seperti
yang ia kira. Suatu hari Umar duduk-duduk, tiba-tiba seorang laki-laki tampan
melewatinya. Ia pun berkata tentang laki-laki tersebut, “Sungguh perkiraanku
yang salah, atau sesungguhnya orang ini atas agamanya di masa jahiliyah, atau
ia benar-benar dukun mereka. Maka ia memanggilnya dan mengatakan hal tersebut.
Lakik-laki itu berkata kepada Umar. ‘Aku tidak mengira pada hari ini disambut
seorang muslim.’ Ia melanjutkan, ‘Aku sungguh menginginkanmu, kecuali engkau
memberitahukan sesuatu.’ Ia berkata, ‘Aku dahulu dukun mereka di masa
jahiliyah. Ia melanjutkan, ‘Sungguh menakjubkan sesuatu yang dibawa jin
perempuan.’ Ia berkata, ‘Suatu hari saat aku berada di pasar, ia mendatangiku
dalam keadaan cemas seraya berkata :
Apakah engkau tidak melihat jin dan
kebingungannya
Kegundahannya setelah disa-siakan
Diperas tanpa henti-hentinya
Ia berkata, “Berarti
benar ketika aku tidur di sisi sembahan-sembahan mereka, ketika seorang
laki-laki datang membawa anak sapi dan menyembelihnya, lalu ia berteriak dengan
teriakan yang belum pernah aku dengar sambil berkata, ‘Wahai yang tak
bertanduk, perkara telah berhasil.’ Seseorang yang fasih berkata, ‘Tidak ada
Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah,’ kemudian kaum pun memusuhinya. Aku
berkata, “Aku terus mengamati sampai mengetahui di balik semua ini, kemudian ia
memanggil-manggil, ‘Wahai yang tak bertanduk, perkara telah berhasil, seseorang
yang fasih mengatakan, ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah.’
Aku lalu berdiri, kemudian tidaklah kami berselisih sampai dikatakan, ‘Ini
adalah nabi.”
Jabir juga
meriwayatkan seraya berkata, “Sesungguhnya kabar tentang Rasulullah yang
pertama kali sampai ke telinga kita adalah bahwa seorang wanita pernah memiliki
jin. Ia melanjutkan, “maka jin tersebut mendatanginya dalam bentuk burung,
kemudian hinggap di batang pohon. Perempuan itu berkata. “Apakah engkau tidak
turun untuk saling bertukar kabar?’ Jin tersebut lantas berkata, ‘Sungguh telah
muncul seorang laki-laki di Kota Makkah yang mengharamkan zina dan melarang
kita untuk bergaul.” (HR. Ahmad dan Thabrani).
Keadaan Masyarakat Jahiliah sebelum Diutusnya
Nabi saw.
Para ahli sejarah
secara umum telah sepakat bahwa kehidupan manusia – pada umumnya – dan
kehidupan Arab – pada khususnya – mengalami kehidupan dalam kegelapan dan
kebodohan, gelapnya kezaliman dan kekerasan, serta kerajaan Persia di Timur dan
Romawi di Barat saling berebut kekuasaan. Keadaan ini dikuatkan oleh sabda Nabi
Muhammad saw, “Seungguhnya Allah melihat penduduk bumi maka Dia membenci mereka
baik orang Arab maupun selain Arab, kecuali golongan ahli kitab.” (HR. Muslim
dan Ahmad).
Keadaan-keadaan
tersebut menimpa kehidupan manusia, termasuk keluarga mereka. Apalagi bangsa
Arab yang ditimpa kerusakan dalam setiap lini kehidupan, baik secara politis –
seperti keadaan ekonomi – dan secara sosial – seperti kerusakan agama.
Pada masa
diutusnya Nabi Muhammad saw., Kota Makkah dipenuhi gelombang kerusakan yang
bergerak dengan kencang. Misanynya, menyebarnya dosa-dosa tanpa memandang norma
agama, penurutan hawa nafsu, kaum lelaki semena-mena untuk memenuhi nafsu
mereka,d an merusak pola pikir untuk kepentingan mereka.
Mereka
mengingkari Allah dan hari kiamat, mementingkan kehidupan dunia untuk memenuhi
hawa nafsu mereka, haus akan jabatan dan kehormatan. Bahkan, fanatisme b uta
yang mereka banggakan sehingga peperangan satu sama lain untuk mengejar semua
itu, dan taklid buta yang turun-temurun menghantam kesungguhan seseorang dalam
berakhlak.
Termasuk sebuah
kesalahan ketika ada yang mengira bahwa Kota Makkah saat itu jauh dari
peradaban, hanya daerah terpencil dengan padang pasirnya yang tidak produktif,
tidak mengenal kemajuan dunia, kecuali hanya hal-hal yang primer dalam
kehidupan. Sekali-kali tidak, Kota Makkah bukanlah kota yang kenyang akan
kemajuan sampai menjadi kebanggan dan melekatlah kesombongan itu sampai binasa,
dan makin banyaknya paham-paham ateis bermunculan. Akibatnya, mereka bingung
antara menerima kebenaran dan menentangnya, bahkan mereka meniru gaya fir’aun
yagn zalim dan sombong.
Amr bin Hasyim
dalam mengomentari perngingkarannya terhadap risalah Muhammad saw., berkata :
“Bani Abdi Manaf telah mendesak kami di sebelah timur, sampai kami menjadi kuda
gadaian.” Mereka berkata. “Dari golongan kami seorang nanbi menerima wahyu.
Demi Allah, kamit idak akan beriman kepadanya sampai datang kepada kami sebuah
wahyu seperti yang diwahyukan kepadanya. ‘Mereka mengira bahwa Walid bin
Mugirah berkatga kepada Rasulullah saw., “Andaikan kenabian itu hak, tentulah
aku lebih berhak darimu karena kau lebih tua dan lebih banyak harta.”
Dalam haditsnya
Ummu Salamah tentang hijrah ke Habasyah dan dialog Ja’far dengan Raja Najasyi,
Ja’far berkata, “Waai Raja, kami adalah golongan penyembah berhala di masa
jahiliyah, kami memakan bangkai, melakukan hal yang keji, memutuskan tali
silaturahmi, menyakiti tetangga, semena-mena terhadap yang lemah, sampai Allah
mengutus seorang Rasul dari golongan kami. Kami mengetahui nasabnya,
kejujurannya, amanahnya,d an sellau menjaga dirinya. Ia pun mengajak ke jalan
Allah, untuk menyembah-Nya dan beribadah hanya karena-Nya, kemudian kami
melepas diri dari penyemabahn tuhan-tuhan terdahulu yang terbuat dari batu. Ia
memerintahkan kejujuran dalam bicara, menunaikan amanah, menyambung
silaturahmi, beruat baik kepada tetangga, mencegah pembunuhan, melarang kami
berbuat keji, sumpah palsu, memakan bangkai, dan menuduh wanita baik-baik
dengan tuduhan zina.” (HR. Ahmad).
Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa jika engkau ingin mengetahui kebodohan orang Arab,
bacalah QS. Al-An’am (6) : 140 :
“Sungguh rugi, mereka yang membunuh anak-anaknya karena kebodohan tanpa
pengetahuan, dan mengharamkan rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka
dengan semata-mata membuat-buat kebohongan terhadap Allah. Sungguh, mereka
telat sesat dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am (6) : 140 ).” (HR.
Bukhari).
Ketika bumi
dipenuhi kerusakan dan kesesatan, bertambahlah keinginan untuk mencari sang
pencerah, pembawa perubahan. Ada banyak laki-laki yang mengingkari kebodohan,
berbangga diri dengan nasab, dan mereka berharap menjadi orang yang terpilih.
Antara lain Umayyah bin Ubai yang menjadikan syairnya membicarakan tentang
Allah dan yang wajib dilakukan untuk memuji-Nya. hingga Rasulullah saw.,
bersabda tentang dirinya : “Umayyah hampir masuk Islam.”
Amr bin Syarid
meriwayatkan dari bapaknya. “Aku berjalan di belakang Rasul. Beliau bersabda :
“Apakah kamu memilih syair Umayyah bin Abi Ash-Shalat?” Aku pun menjawab : “Ya.
Beliau melanjutkan : “Tunjukkan kepadaku.” Aku pun melantunkan satu bait
syairnya. Beliau melanjutkan. “Tunjukkan lagi.” Sehingga aku pun melantunkan
sampai seratus bait.” (HR. Muslim).
,
Kebiasaan Buruk dalam Masyarakat Jahiliah
1. Qimar
Qimar lebih
dikenal dengan perjudian. Ini adalah kebiasaan penduduk kota di kepulauan Arab,
seperti Makkah, Thailf, Shan’a, Hajar, Yatsrib, dan Daumatul Jandal. Islam
datang untuk elarangnya,s ebagaimana
firman Allah. “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,
berjudi (berkurban untuk) berhala,d an mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah (5) : 90).
2. Minum Khamar
Masyarakat Arab
di masa jahiliah gemar minum khamar dan berkumpul untuk membanggakan diri
karena meminum khamar yang paling mahal. Ini merupakan kebiasaan orang-orang
kaya di kota, para pembesar, para sastrawan,d an para penyair. Ketika kebiasaan
buruk ini telah mengakar dalam diri mereka, Allah mengharamkannya dengan cara
bertahap, sedikit demi sedikit. Inilah tanda kasih sayang Allah terhadap
hamba-Nya.
3. Nikah Istibdha’
Pengertian nikah
istibdha’ adalah seorang istri yang datang haid, kemudian datang masa suci.
Setelah itu, sang suami memintanya untuk memilih laki-laki yang paling mulia
nasab dan akhlaknya untuk menggaulinya dengan tujuan menghasilkan keturunan
yang empurna dari lakki-laki tersebut.
4. Wa’dul Banat
Pengertian wa’dul
bnanat adalah mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena takut celaan manusia.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mencela perbuatan demikian pada hari kiamat. Allah berfirman,
“Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apa
dia dibunuh?” (QS. At-Takwir (81) : 8 – 9).
5. Membunuh Bayi secara Mutlak
Maksud membunuh
bayi secara mutlak di sini adalah membunuh semua bayi, laki-laki maupun
perempuan. Hal ini dilakukan karena keadaan fakir dan kelaparan atau sekadar
takut menjadi fakir. Ketakutan ini muncul dikarenakan adanya tanda-tanda
kefakiran yang telah tampak, yaitu ditandai dengan tanah yang tandus. Paceklik
karena terputusnya hujan, atau sedikitnya curah hujan. Oleh karena itu, Islam
mengharamkan kebiasaan buruk ini.
Alalh berfirman :
“ .... Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.....” (QS. Al-An’am (6) :
151).
Firman-Nya yang
lain, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin.” (QS.
Al-Isra’ (17) : 31).
Kata al-Imlaq
dalam dua ayat tersebut secara sendiri berarti kefakiran yang luar biasa
dahsyatnya.
6. Tabarruj
Tabarruj yang
dimaksud adalah keluarnya para wanita dengan menampakkan perhiasan. Mereka
berjalan di depan para lelaki yang bukan mahram dengan genit seolah-oleh
menawarkan diri mereka menggoda yang lainnya.
7. Menjadikan Wanita Merdeka sebagai Gundik
Caranya adalah di
antara mereka saling berhubungan dan saling tukar cinta secara
sembunyi-sembunyi, padahal mereka bukan mahramnya. Oleh karena itu, Islam
mengharamkan perbuatan bejat ini dengan firman Allah, “ .... Dan bukan (pula)
perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya .... “ (QS. An-Nisa’
(4):25), dan “.... dab bukan untuk
menjadikan perempuan-perempuan....” (QS. Al-Maidah (5) :51).
8. Menyiarkan Budak Perempuan
Hal ini dilakukan
dengan cara salah satu dari mereka memasang bendera merah di depan pintu
rumahnya supaya diketahui bahwa ia bukan wanita baik-baik. Kemudian para lelaki
menggaulinya, lalu ia mengambil upah sebagai ganti pemuas hawa nafsu.
9. Fanatisme Kesukuan
Mereka melakukan
berdasarkan kaidah, “Tolonglah saudaramu yang menzalimi atau dizalimi.”.
Kemudian Islam datang untuk memerintahkan pemeluknya supaya menolong saudara
muslimnya yang jauh dan yang dekat. Hal ini disebabkan persaudaraan yang hakiki
adalah persaudaraan sesama muslim. Jadi, untuk menolong saudara yang dizalimi,
yaitu dengan cara mencegah kezaliman yang menimpa mereka. Sedangkan, untuk
menolong saudara yang menzalimi deilakukan dengan cara mencegahnya beruat
zalim. Rasulullah saw. Bersabda : “Tolonglah
saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi” Maka beliau ditanya, “Wahai
Rasulullah! Aku menolongnya waktu ia dizalimi, bagaimana aku menolongnya ketika
ia yang menzalimi?” Beliau pun bersabda. “Engkau mencegahnya dari beruat
zalim/” (HR. Bukhari).
10. Selalu menyalakan api Peperangan untuk
Merampas Hak Orang lain
Suku yang kuat
menindas yang lemah untuk merampas harta ,mereka. Hal ini disebabkan tidak ada
hukum dan undang-undang yang dijadikan pijakan dalam kehidupan mereka.
Di antara perang
mereka yang terkenal adalah Perang Dahis dan Fizarah dan Perang Ghabra --- yang terjadi antara Abbas melawan Dzibyan
dan Fizarah – serta Perang Basus. Dikatakan, “Aku, mengalami kesialan dari
Perang Basus yang berlangsung selama setahun. Perang ini terjadi antara suku
Bakar dan Tughlub. Kemudian Perang Bughats yang terjadi antara suku Aus dan
Khazraj di Madinah mendekati datangnya Islam. Kemudian Perang Fujjar yang
terjadi antara Qais melawan Kinanah dan Quraisy. Dinamakan Perang Fujjar karena
hal itu terjadi dalam bulan yang diharamkan berperang.
11. Menganggap Remeh Sifat Sombong dan Kekerasan
Hal ini karena
mereka meremehkan para tukang besi, para penenun, para ahli bekam, dan para
petani. Mereka menganggap semua profesi tersebut hanya untuk para budak, baik budak
laki-laki maupun perempuan.
Adapun di
kalangan merdeka, mereka mencukupkan untuk berdagang, menunggang kuda,
mengerahkan peperangan, melantunkan syair, dan membanggakan diri dengan
keturunan.
Pernikahan di Masa Jahiliah
Aisyah
menceritakan bahwasanya pernikahan di masa jahiliah ada empat macam :
1. Pernikahan Hari Ini.
Hal ini dilakukan
dengan cara seorang laki-laki mendatangi laki-laki lain untuk meminang
putrinya, seketika itu diserahkan maharnya dandinikahinya.
2. Nikah Istibdha’
Hl ini dilakukan
dengan cara seorang suami mengatakan kepada Istrinya setelah suci dari haidnya,
“Pergilah kepada si Fulan, lalu mintalah supaya digauli.” Setelah itu sang
suami menjauhinya sampai diketahui kehamilan sang istri dari laki-laki yang
ditentukan sang suami sebelumnya. Ketika telah jelas kehamilannya, sang suami
menggaulinya jika ia menginginkannya. Ini dilakukan hanya untuk kemuliaan sang
anak.
3. Pernikahan Tanpa Berumah Tangga
Hal ini dilakukan
dengan ungguh kalian telah mengetahui perkara kalian, aku telah melahirkan, ia
adalah anakmu wahai Fulan, wanita itu pun menyebut nama orang yang dipilihnya,
lalu diserahkanlah anak tadi kepada laki-laki tersebut tanpa penolakan apapun.”
4. Pernikahan Berkumpulnya banyak Manusia
Hal ini dilakukan
dengan cara orang-orang berkumpul, kemudian mereka mendatangi seorang wanita
untuk menggaulinya secara bergiliran. Wanita tadi diharuskan dari golongan
wanita jalang yang menandai diri merek dengan memasang bendera di depan rumah
sebagai tanda. Lalu, siapa saja yang menginginkan mereka, dipersilahkan
menggunakannya. Ketika salah satu wanita hamil dan melahirkan, orang-orang yang
menggaulinya dikumpulkan, dan dipanggilah laki-laki yang mirip dengan sang
anak. Setelah itu, mereka menyerahkan anak tersebut, kemudian dinasabkan
kepadanya, dianggap anaknya tanpa ada penolakan. Setelah Rasulullah diutus,
pernikahan di masa jahiliah dihancurkan, kecuali pernikahan hari ini. (HR.
Bukhari).
Kebiasaan Baik dalam Masyarakat Jahiliah
1. Jujur
Yaitu jujur dalam
ucapan. Sifat mulia ini telah dikenal masyarakat Arab sebelum datangnya Islam.
Setelah itu, datanglah Islam yang mengukuhkannya.
2. Menjamu Tamu
Mereka memberi
makan kepada tamu yang datang. Hal ini termasuk tanda kedermawanan yang membuat pelakukanya
terpuji. Islam pun datang untuk menguatkan,s ebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah memuliakan
tamunya.”
3. Menepati janji
Masyarakat Arab
membiasakan diri tepat janji dan pantang merusaknya meskipun terkadang harus mengorbankan
harta. Ini merupakan akhlak yang mulia. Islam pun mengukuhkan sifat ini dengan
firman Allah : “ ... Orang-orang yang menepati janji apabila berjanji ......”
(QS. Al-Baqarah (2) : 177).
4. Menghormati
Tetangga, Melindungi Orang Yang Meminta Perlindungan darinya. Tidak pernah
mengingkarinya dalam Kondisi Apa pun.
Dalam sebuah
hadits disebutkan, “Kami telah menolong orang-orang yang engkau tolong wahai
Ummu Hani.” Kaum Muslimin telah melindungi Abu al-Ash bin rabi’ – padahal ia
termasuk orang musyrik – sampai ia memasuki Kota Madinah untuk mengambil
titipan dan hartanya, kemudian kembali ke Makkah. Selang beberapa hari, ia pun
masuk Islam.
5. Sabar dan
Tahan Uji
Masyarakat Arab
terbiasa dengan ujian, hingga mereka pun berkata, “Seorang wanita merdeka
sedang lapar. Meskipun demikian, ia tidak memakan kedua payudaranya.” Islam
pund atang dan mengukuhkan sifat mulia ini. Allah berfirman : “ ... Bersabarlah
kamu dan kuatkanlah kesabaranmu ... “ (QS. Ali ‘Imran (3) : 200) dan Rasulullah
bersabda : “Barang siapa bersabar, ia pasti meraih kesuksesan.”
6. Pemberani,
Pantang Mundur, dan Menjaga Harga Diri.
Masyarakat Arab
paling tidak suka dihina dan direndahkan. Inilah yang menjadikan mereka
istimewa dari yang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini dibuktikan
dalam ksiah dansyair-syair mereka.
7. Menghormati
Tempat-tempat dan Bulan-Bulan yang Dimuliakan.
Hal ini mereka
lakukan dengan cara tidak berperang dalam waktu dan tempat tersebut, kecuali
dalam keadaan terpaksa. Mereka juga selalu menjamin keamanan para pendatang
yang mengunjungi tanah haram meskipun mereka memiliki masa lalu yang buruk.
8. Mereka
mengharamkan untuk Menikahi Ibu dan Anak Perempuan Sendiri.
9. Mereka
membiasakan diri mandi jinabat.
10. Mereka
membiasakan berkumur dan Istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dan
mengeluarkannya).
11. Bersiwak,
Bersuci, Memotong Kuku, dan Mencabut Bulu Ketiak.
12. Berkhitan
untuk Anak laki-laki dan Khufadh (mengurangi) untuk anak Perempuan.
13. Memotong
Tangan Kanan bagi Pencuri.
14. Haji dan
Umrah.
Itulah sejumlah
kebiasaan-kebiasaan terpuji yang dikenal masyarakat Arab di masa jahiliah
sebelumd atangnya Islam. Meskipun kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak dimiliki
semua orang dalam masyarakat Arab, secara umum mereka memilikinya. Andaikata
tidak ada keinginan penulis untuk meringkas pasti penulis akan mencantumkan
bukti-bukti berupa ucapan mereka secara tersusun rapi. Cukuplah kisa Abu Sufyan
yang mewakilinya.
Sesungguhnya Abu
Sufyan bin Harb saat menghadapi Heraklius penguasa Romawi di Syam, yang menanayai
tentang Nabi saw., Abu Sufyan tidak menyembunyikan sedikit pun hal-hal yang
ditanyakan kepadanya. Padahal waktu itu dia masih musyrik dan masih dalam
memerangi Islam.
Para
Pencari Kebenaran
Sejarah Islam
telah menghimpun, baik masa lalu maupun sekarang, banyak contoh yang luar biasa
tentang orang-orang yang mendapat
petunjuk, yaitu orang-orang yang kuat tekadnya dalam mencari agama yang benar.
Mereka mengerahkan tenaga menuju ke sana sehingga patutlah mereka jadikan
contoh dan bukti untuk Allah atas hamba-Nya. yaitu, barangsiapa yang
bersungguh-sungguh mencari kebenaran didasari keikhlasan, pasti Allah akan
menunjukkan jalan dan memberikan nikmat terindah, yaitu nikmat Islam.
Dalam sejarah
Islam kita bisa mengenal lebih dekat sosok sahabat yang menempuh gerbang,
banyak suku dan negeri-negeri dalam mencari kebenaran. Tekadnya yang kuat
menghalanginya dari berputus asa dalam menempuh jalan yang penuh duri meskipun
hanya sedetik.
Pada hakikatnya,
penulis menghadiahkan kisah tersebut untuk kaum muslimin di zaman sekarang yagn
tidak mengetahui betapa berharganya nikmat Islam – kecujali yang dikasihi
Allah. Ketika agama dan dunia saling berhadapan, mereka menyingkirkan agama ke
samping dan meletakkan dunia di atas kepala – tiada daya dan upaya kecuali dengan
izin Allah.
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa Salman al-Farisi berkata : “Aku dahulu berasal
dari penduduk Persia. Suku Ashbahan, tinggal di Kampung Jai. Ayahku sebagai
pembesar kampung tersebut. Dia sangat mencintaiku melebihi harta dan
saudara-saudaraku. Saking cintanya kepadaku, diapu menahanku di rumah,
sebagaimana seorang gadis. Aku pun menyembah api, bahkan sempat menjadi penjaga
api suapay tidak apdam. Aku melakukannya tanpa berpikir hal itu benar atau
salah. Aku hanya mengikuti apa yang dilakukan orang-orang. Sampai-sampai ayahku
membuat bangunan khusus untuk api tersebut. Ayahku memiliki ladang yang
memerlukan penggarapan. Dia pun memanggilku seraya berkata, “Anakku! Engkau
tahu aku sibuk mengurusi bangunan ini sehingga ladangku terbengkelai. Hal ini
perlu kmita pikirkan. Ayahku pun berangkat ke ladangnya dan menyuruh
orang-orang melakukan ini dan ini. Ia pun berkata kepadaku, “Janganlah engkau
jauh dariku karena jika itu terjadi, engkau akan membuatku sibuk memikirkanmu
dariapda yang lain.” Aku pun keluar menuju ladang. Di perjalanan aku melewati
sebuah gereja umat nasrani, aku mendengar suara-suara mereka di dalamnya, aku
bertanya, “Apa ini? Mereka menjawab, “Mereka adalah umat nasrani yang sedang
beribadah.” Aku pun masukd an mengamati, aku heran terhadap apa yang mereka
lakukan. Demi Allah, aku terus duduk di dalamnya sampai terbenamnya matahari.”
Ayahku pun
mengirim semua keperluanku sampai aku mendatanginya di malam hari, dan saat itu
aku belum pergi ke ladangnya. Ayahku bertanya, “Kamu dari mana saja? Bukankah
aku sudah aktakan kepadamu? Aku pun menjawab, “Wahai ayah! Aku tadi melewati
sekumpulan manusia yang disebut sebagai umar nasrani, lalu ibadah mereka
membuatkuj heran. Aku pun duduk mengamati bagaimana mereka melakukannya. Ayahku
berkata, “Nakku, agamu dan agamaa nenek moyangmu lebih baik daripada agama
mereka.” Aku menjawab, “Tiadak, wahai ayah, agama kita tidak lebih baik
daripada agama mereka.” Mereka menyembah Allah dan berdoa kepada-Nya. sedangkan
kita, hanya menyembah api yang kita nyalakan dengan tangan kita sendiri. Ketika
api tersebut kita tinggal, ia pun akan mati.” Setelah itu ayahku, mengancamku
dan membelnggu kakiku dengan besi, mengurungku di rumahnya. Setelah itu aku
dikirim kepada orang-orang nasrani, aku
pun bertanya kepada mereka. “Dari manakah asal mula agama kalian yang aku
lihat? Mereka menjawab. “ Dari Syam. Aku melanjutkan, “Jika datang orang-orang
dari sana, tolong beritahu aku. Mereka menjawab, Baik. Setelah itu, datanglah
orang-orang dari Syam dalam perdagangan mereka.
Setelah itu, aku
diberitahu bahwa rombongan dari Syam telah datang, aku akan dipertemukan dengan
mereka setelah mereka selesai berdagang. Aku pun membuang besi yang ada di
kakiku dan segera menyusul mereka. Lalu, aku pergi bersama mereka menuju Syam.
Setelah sampain di Syam, aku bertanya, “Siapakah yang paling baik agamanya di
sini?” Mereka menjawab, “Uskup yang tinggal di gereja.” Aku pun bergegas
mendatanginya dan bertanya, “Aku ingin tinggal bersamamu di gereja sehingga aku
dapat beribadah kepada Allah dan belajar kebaikan darimu.” Ia pun menjawab,
“Baik, tinggalah bersamaku.”
Ia melanjutkan,
“Ternyata laki-laki itu berakhlak buruk, ia menyuruh sedekah dan
menganjurkannya. Setelah terkumpul, sedekah itu ia timbun dan tidak diberikan
kepada fakir miskin. Aku pun marah-marah kepadanya setelah melihat kelakuannya
tersebut. Tak lama kemudian ia meninggal. Saat orang-orang datang untuk
memakamkannya, aku sampaikan kepada mereka, “Sesungguhnya orang ini telah
berbuat jahat kepada kalian, ia menyuruh bersedekah dan menganjurkannya kepada
kalian, hingga ketika sedekah terkumpul, ia menimbunnya dan tidak
menyerahkannya kepada fakir miskin. Mereka bertanya, “Apa buktinya?” aku pun
menjawab, “Aku akan tunjukkan harta yang ia timbun.” Mereka berkata, “Ayo tunjukkan.”
Setelah itu aku mengeluarkan harta timbunannya berupa tujuh buah guci yang
dipenuhi emas dan perak. Setelah semua orang melihatnya, mereka berkata, “Demi
Allah Orang ini jangan sampai dimakamkan. Mereka pun menyalibnya dengan kayu
dan melemparinya dengan batu. Setelah itu mereka memilih seseorang untuk
menggantikan kedudukannya. Demi Allah, wahai Ibnu Abbas! Aku tidak pernah
meliaht seorang laki-laki yang shalat lima waktu, aku melihatnya lebih utama
dari yang sebelumnya. Ia lebih sederhana, tidak rakus. Ia tidak membayangkan
bahwa aku memiliki simpati kepadanya. Lalu, aku pun selalu menemaninya sampai
ia meninggal. Aku berkata, “Wahai Fulan! Telah datang perkara dari Allah yang
tidak bisa engkau pungkiri. Dan aku sangat bersimpati kepadamu, apakah yang
akan engkau perintahkan kepadaku? Kepada siapakah engkau akan mewasiatkanku?”
Ia pun berkata, “Anakku! Demi Allah, Aku tidak mengetahui siapa-siapa kecuali
seorang laki-laki di Mosul. Datangilah kepadanya, engkau akan menjumpainya
memiliki akhlak sepertiku.”
Setelah Wugaib meninggal,
aku pergi ke Mosul, kau datangi penghuninya, aku pun menjumpainya berakhlak
seperti yang dikatakan dalam hal kesungguhan dan kesederhanaan di dunia. aku
berkata kepadanya, “Sesungguhnya Fulan berwasiat kepadaku untuk menemuimu dan
tinggal bersamamu.” Ia menjawab, “Baik.”. tinggalah bersamaku. Setelah itu, aku
pun tinggal bersamanya sebagaimana yang diwasiatkan temannya di Syam sampai
ajal menjemputnya. Akun pun berkata, “Sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan
kepadaku untuk menemuimu, sekarang ajal menjemputmu, kepada siapakah engkau
mewasiatkanku?” ia menjawab, “Demi Allah! Aku tidak mengetahui siapa-siapa
kecuali seorang laki-laki di Nashibain, ia berakhlak seperti kita, temuilah
ia.” Setelah kami memakamkannya, aku menemui yang lain dan mengatakan, “Wahai
Fulan! Sesungguhnya si Fulan berwasiat kepadaku untuk menemui si Fulan, dan si
Fulan berwasiat kepadaku untuk menemui si Fulan, dan si Fulan berwasiat
kepadaku untuk menemuimu.” Ia menjawab, “Tinggallah bersamaku.” Aku pun tinggal
bersamanya sampai ajal menjemputnya. Aku bertanya kepadanya, “Wahai si Fulan!
Sekarang ajal menjemputmu, dahulu si Fulan berwasiat kepadaku untuk menemui si
Fulan, dan Si Fulan telah mewasiatkan kepadaku untuk menemui si Fulan, dan si
Fulan mewasiatkan kepada untuk menemuimu, kepada siapakah engkau
mewasiatkanku?” Ia menjawab, “Anakku! Demi Allah, aku tidak mengetahii
siapa-siapa yang akhlaknya seperti kita
kecuali seorang laki-laki di Amuriyah, Romawi. Temuilah ia, pasti engkau akan
menjumpainya berakhlak sepertiku dan teman-temanku dahulu. Maka, aku tinggal
bersamanya. Aku juga bekerja sampai memiliki kambing dan sapi. Beberapa hari
kemudian, ajal menjemputnya. Aku bertanya, “Wahai Fulan! Dahulu si Fulan
berwasiat kepadaku untuk mendatangi Fulan,d an Fulan berwasiat kepadaku untuk
mendatangi Fulan, dan Fulan berwasiat kepadaku untuk mendatangimu. Sekarang
ajal menjemputmu maka kepada siapakah engkau akan mewasiatkanku?” Ia menjawab,
“Anakku! Demi Allah, aku tidak mengetahui apakah masih ada orang yang berakhlak
seperti kita. Namun engkau sekarang berada di zaman seorang nabi yang diutus
dari tanah haram. Jaraknya dari sini sekitar perjalanan antara dua gurun pasir
sehingga engkau akan menjnumpai pohon kurma di daerah tersebut. Dalam diri nabi
tersebut terdapat tanda penutup para nabi, ia berkenan menerima hadiah dan
menolak sedekah. Jika engkau mampu pergi ke darah tersebut, lakukanlah karena
engkau berada satu masa dengannya saat ini.
Setelah kami
memakamkannya, aku berdiri menanti rombongan pedagang Arab dari suku Kala. Saat
mereka tiba, aku berkata, “Apakah kalian sudi membawaku bersama kalian ke tanah
Arab?” Sebagai imbalannya, akan kuserahkan kambing dan sapiku ini!” Mereka menjawab, “Baiklah, ikutlah bersama kami.”
Aku lalu memberikan kambing dan sapiku. Setelah kami sampai ke sebuah lembah
yang dikenal Lembah Qura, mereka menzalimiku, menjualku sebagai budak kepada
laki-laki Yahudi di daerah tersebut. Demi Allah! Aku melihat pohon kurma, dan
aku berharap daerah tersebut merupakan yang disampaikan temanku sebelum
meninggal, dan tempat yang aku nanti-nantikan. Setelah itu, datanglah seorng
laki-laki Yahudi dari Bani Quraizhah di lembah tersebut. Lalu, majikanku
menjualku kepadanya. Ia pun membawaku ke Madinah. Demi Allah! Ia yang aku lihat
dan aku ketahui sifatnya. Aku tinggal bersamanya dalam masa perbudakan. Maka
Allah mengutus Nabi saw, tanpa ada yang memberitahuku dalam masa perbukana
tersebut sampai beliau mendatangi daerah Quba. Saat itu aku bekerja di keun
kurma milik tuanku, aku berada di sana saat anak pamannya datang. Ia lalu
berkata, “Wahai Fulan! Allah telah memerangi Bani Qailah. Dan demi Allah,
mereka sekarang di Quba, berkumpul dengan seseorang dari Makkah. Mereka
mayikininya sebagai nabi.” Demi Allah! Itulah yang aku dengar. Aku pun gemetar sampai-sampai hampir jatuh ke
pangkuan temanku. Aku lalu bertanya. “Kabar apa ini? Apa itu?” Majikanku lantas
menamparku sambil berkata. “Apa urusanmu dengan kabar ini, kembalilah bekerja!
Aku menjawab, “Tidak apa-apa. Aku hanya mendengar berita dan hanya ingin
mengetahuinya.” Saat malam tiba, aku hanya memiliki sepotong makanan yang akan
aku bawa untuk Rasulullah di Quba. Saat bertemu beliau, aku mengatakan, “Telah
sampai kepadaku bahwa engkau adalah orang shalih yang memiliki banyak sahabat dalam
keterasingan. Aku memiliki sesuatu untuk disedekahkan dan aku melihat engkau
orang yang paling berhak menerimanya did aerah ini.” Lalu, Rasulullah
menerimanya seraya berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah! Beliau sendiri
tidak memakannya. Aku berguman, “Inilah sifat yang disampaikan oleh sahabtku
dahulu.”
Aku pun kembali.
Rasulullah sendiri pergi menujuu Madinah. Aku mengumpulkan apa saja yang aku
miliki untuk dipersembahkan kepada Rasulullah. Saat aku menemui beliau, aku pun
berkata, “Aku melihat engkau tidak makan dari sedekah. Oleh karena itu, ini
sebagai hadiah dan tanda kehormatan, bukan sedekah. Rasulullah pun makan dari
hadiah tersebut, diikuti para sahabat beliau. Lalu aku berkata, “Inilah dua
tabiatnya.!
Aku mendatangi
Rasulullah yang saat itu sedang mengirin jenazah. Aku mengenakan dua jubah,
sedangkan beliau bersama para sahabat. Aku pun
berbalik ke belakang beliau untuk meliaht tanda di punggungnya. Ketika
beliau melihatku demikian, aku pun berbalik badan. Beliau mengetahui bahwa aku
ingin membuktikan sesuatu yang disifatkan untukku. Beliau pun membuka baju dan
punggungnya, aku pun melihat tanda antara kedua pundak beliau sebagaimana yang
diaktakan sahabtku. Seketika itu, aku memeluk punggung beliau dan menciumnya
sambil menangis. Beliau saw, bersabda, “Berbaliklah seperti ini, wahai Salman!”
Aku berbalik dan duduk di hadapan beliau. Aku lebih merasa senang lagi saat
para sahabt, mendengar perkataanku tentang beliau. Aku pun berbicara dengan
beliau. “Wahai Ibnu Abbas, sebagaimana kita bicara saat ini?” Setelah aku
selesai, Rasulullah bersabda, “Tulislah, wahai Salman!” Kemudian aku menulis
300 kurma yang aku tanam atas nama sahabatku dan 40 uqiyah. Para sahabat
membantuku dengan 50 benih kurma. Setiap orang dari mereka memberikan apa yang
ia mampu. Rasulullah saw., bersabda, “Galilah untuk pohon-pohon kurma tersebut.
Kalau sudah selesai, izinkan aku untuk meletakkannya dengan kedua tanganku.”
Aku pun menggali
dibantu para sahabat sampai selesai. Setelah itu, aku mendatangi Rasulullah
seraya berakata, “Kami telah selesai menggali, wahai Rasulullah.” Beliau pun
pergi bersama kami sampai ke tempat penggalian. Kami membawakan sebuah benih
pohon kurma dan beliau meletakkan sambil meratakan tanahnya. Demi Dzat yang
mengutus beliau, tidak ada satu pohon pun yang mati.”
Kurma-kurma itu
pun dijadikan beberapa dirham, lalu seorang laki-laki mendatangi beliau dengan
membawa emas sebesar telur. Rasulullah bersabda, “Di manakah Salman sang
penulis?” Aku pun diundang, lalu beliau saw., berkata, “Ambillah ini, wahai
Salman dan gunakan untuk membayar utangmu!” Aku berkata, “Wahai Rasulullah!
Bagaimana ini bisa terjadi?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah yang
membayarnya untukmu. Maka demi Dzat yang jiwa Salman berada dalam
genggaman-Nya, aku sungguh menimbang sebagiannya untuk mereka sebesar 40
Uqiyah. Aku bayarkan kepada mereka.” Salman pun dimerdekakan. Perbudakan telah
mengurungku sehingga ku tidak dapat turut dalam Perang Badar dan Uhud. Setelah
merdeka, aku bisa ikut Perang Khandaq dan tidak pernah absedn dalam peperangan
setelahnya.” (HR. Ahmad Baihaqi, dan Thabrani).
Dia Adalah Zaid bin Amr bin Nufail yang Hanif
(Pengikut Nabi Ibrahim)
Ibnu Umar
meriwayatkan bahwasanya Zaid bin Amr bin Nufail pergi ke Syam untuk mencari
agama yang akan diikutinya. Di sana ia bertemu dengan seorang alim dari kaum
Yahudi, lalu ia bertanya, “Barangkali aku bisa memeluk agama kalian.” Orang itu
berkata kepadaku, “Kamu tidak diperkenankan memeluk agama kami sampai Allah
murka kepadamu.” Zaid melanjutkan, “Aku tidak akan lari, kecualid ari murka
Allah, aku tak kuasa menghadapinya, bagaimana aku mampu? Apakah engkau mau
menunjukkan atas yang lain kepadaku?” Ia pun menjawab, “Aku tidak mengenalnya,
kecuali ia merupakan sosok yang hanif.” Zaid bertanya, “Apakah yang dimaksud
hanif?” Ia menjawab, “Agamanya Nabi Ibrahim, bukan Yahudi dan Nasrani. Ia hanya
menyembah Allah.”
Zaid pun pergi
dan bertemu seorang alim dari kaum Nasrani. Ia pun menanyakan hal yang sama.
Orang Nasrani menjawabnya, “Engkau tidak akan diperkenankan memeluk agama kami
hingga engkau dilaknat Allah.” Zaid berkata, “Aku tidak akan lari, kecuali dari
laknat Allah, aku tak kuasa menahannya, begitu juga murka-Nya, bagaimana aku
mampu? Apakah engkau mau menunjukkan yang lain kepadaku?” Ia pun menjawab, “Aku
tidak mengenalnya, melainkan ia merupakan sosok yang hanif.” Zaid bertanya,
“Apakah yang dimaksud hanif?” IA menjawab, “Agamanya Nabi Ibrahim, bukan Yahudi
dan Nasrani. Ia hanya menyembah Allah.”
Zaid
memperhatikan ucapan mereka tentang Nabi Ibrahim, lalu pergi. Sat keyakinan
sudah muncul di hatinya, ia pun mengangkat tangan sambil berdoa, “Ya Allah,
sesungguhnya aku bersaksi bahwa diriku berada di atas agama Ibrahim.” (HR.
Bukhari).
Asma’ bin Abu
Bakar meriwayatkan bahwasanya ia melihat
Zaid bin Amr bin Nufail berdiri menyandarkan diri ke Ka’bah sambil berkata,
“Wahai Kaum Quraisy! Tak seorang pun di antara kalian beragama seperti agama
Ibrahim selain aku, ia tidak mengubur hidup-hidup anak perempuan, ia selalu
mengatakan kepada seseorang yang akan mengubur hidup-hidup anak perempuannya.”
Janganlah engkau membunuhnya, aku akan membantumu memenuhi kebutuhannya, lalu
ia mengambilnya.” Ketika sang bayi perempuan telah dewasa, ia pun berkata
kepada bapaknya, “Jika engkau mau, aku kembalikan putrimu atau aku cukup
membantumu memenuhi kebutuhannya.” (HR. Bukhari).
Ibnu Umar
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bertemu Zaid bin Amr bin Nufail di daerah
Baldah (tempat dalam perjalanan menuju Tan’im di Makkah), sebelum wahyu turun.
Aku membawakan beliau makanan, tetapi beliau menolak untuk memakannya. Zaid
berkata, “Sesungguhnya aku tidak amakn dari yang kalian sembelih karena
dipersembahkan untuk berhala. Aku hanya memakan yang disembelih atas nama
Allah.”
Sesungguhnya Zaid
bin Amr bin Nufail pernah memaki binatang sembelihan orang Quraisy. Ia berkata,
“Kambing itu diciptakan Allah. Dia menurunkan air untuk diminumnya, Dia
menumbuhkan pepohonan baginya dari tanah. Lalu, kalian menyembelihnya atas nama
selain Allah. Ia mengucapkan hal ini untuk mengingkarinya dan mengagungkan nama
Allah.” (HR. Bukharai).
Ibnu Ishaq
mengatakan bahwasanya anaknya yang bernama Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail
dan Umar bin Kahththab – anak pamannya
--- telah berkata kepada Rasulullah, “Apakah kami boleh memintakan
ampunan untuk Zaid bin Amr?” Beliau menjawab, “Ya, Sesungguhnya ia akan
dibangkitkan sendirian dalam keadaan bahagia.” (HR. Ahmad).
Kisah Penggalian Sumur Zamzam
Ali bin Abi
Thalib meriwayatkan bahwasanya Abdul Muthalib berkata, “Sesungguhnya aku tidur
di atas batu. Tiba-tiba seseorang mendatangiku seraya berkata, “Galilah
Tayyibah.” Aku bertanya, “Apa itu Tayibah?” IA berkata, “Galilah Birrah.” Aku
bertanya, “Apa itu Birrah?” Ia melanjutkan, “Ia pun pergi meninggalkanku.
Keesokan harinya aku mendatangi tempat tidurku sebelumnya. Saat aku tertidur,
seseorang mendatangiku seraya berkata, “Galilah Madhnunah.’ Aku bertanya, “Apa
itu Madhnunah?” Ia pun pergi. Keesokan harinya aku tidur di tempat yang sama.
Dalam mimpiku ai mendatangiku seraya berkata, ‘Galilah Zamzam.’ Aku bertanya,
“Apa itu Zamzam?”, Ia menjawab, Ia tidak akan pernah kering dan habis meskipun
digunakan untuk memberi minum semuah jamaah haji. Zamzam itu aantara kotoran
dan darah, saat seekor gagak mematuk dan di tempat berkumpulnya semut.”
Ia melanjutkan,
“Ketika tanda-tandanya sudah jelas, telah ditunjuk tempatnya, dan mengetahui
bahwa laki-laki itu bernar. Keesokan harinya ia membawa kapak ditemani anaknya
yang bernama al-Harits bin Abdul Muthalib. Saat itu ia tidak memiliki anak
selain al-Harits. Ia pun menggali tanah yang dimakasud. Ketika sumber air telah
tampak, ia pun betakbir. Kaum Quraisy tahu bahwa mereka akan terpenuhi
keperluannya. Mereka pun mendatangi Abdul Muthalib dan berkata, “Wahai Abdul
Muthalib, itu adalah sumur bapak kita Ismail. Kita memiliki hak atasnya. Kita
bersama-sama akan menjaganya.’ Ia menjawab, “Aku tidak setuju. Hal ini khusus
untukku bukan kalian dan aku diberi sumur ini di antara kalian.’ Mereka pun
berkata, “Kami sadar dan kami tidak akan membiarkan engkau sampai kita saling
bertikai untuk memperebutkannya.’ Ia pun berkata, “Jadikanlah penengah antara
kita jika kalian mau.’ Mereka pun berkata,
“Dukun Bani Sa’ad bin Hudzaim.’ Abdul Muthalib berkata, “Ya, setuju.’ Dukun itu
adalaah pemuka negeri Syam.
Abdul Muthalib
menaiki kendaraannya. Ia pergi bersama rombongan dari Bani Umayyah. Saat itu
keadaan jalan sangat sukar untuk dilalui, hingga mereka kehabisan air dalam
perjalanan. Mereka pun kehausan dan meminta sebagian orang yang masih membawa
air. Namun, mereka menolak memberikannya. Mereka berkata, “Sesungguhnya kita di
daerah yang sulit, kami khawatir tertimpa hal yang menimpa kalian.’ Kemudian
Abdul Muthalib berkata, “Aku punya pendapat, bagaimana jika tiap orang dari
kita menggali sebuah lubang sehingga ketika seseorang meninggal, temannya
menguburkannya dalam lubang tersebut. Mumpung kita masih memiliki kekuatan
sehingga hanya satu orang yang tersisa. Satu orang lebih mudah daripada
menaikkan semuanya.’ Mereka pun menjawab, “Setuuju!”
Kemudian tiap
orang pun menggali untuk diri masing-masing dan duduk di dalamnya menunggu maut
yang menjemput karena kehausan. Abdul Muthalib berkata kepada temannya. “Demi
Allah! Sesungguhnya yang kita lakukan untuk menunggu maut tidak ada
tandingannya di bumi. Kita tidak mencari kelemahan diri. Semoga Allah memberi
kita air di sebagian daerah. Pergilah kalian!” Mereka pun pergi dan ketika
Abdul Muthalib membangunkan untanya, terpancarlan sumber air dari bawah
kakinya. Ia pun bertakbir. Teman-temannya pun ikut bertakbir. Ia dan
teman-temannya turun untuk meminumnya dan memenuhi kantong air mereka.
Kemudian ia
memanggil suku-suku Quraisy -- mereka melihat semua keadaan yagn dialami –
seraya berkata, “Kemarilah!” Mendekatlah ke sumber air. Sungguh Allah telah
memberi kita minum.” Mereka pun mendekat ke sumber air dan meminum air tersebut.
Mereka juga mengisi kantong airnya. Mereka lalu berkata, “Sungguh Allah telah
memutuskan perkara untukmu atas kami. Demi Allah! Kami tidak akan memusuhimu
dalam hal Zamzam selamanya. Sesungguhnya Dzat yang memberimu air di tanah
tandus ini adalah yang memberimu Zamzam maka kembalilah ke tempat asalmu.”
Kemudian ia pun kembali bersama rombongannya meskipun mereka belum sampai ke
tempat sang dukun. Mereka juga melupakan permasalahn tentang Zamzam. Ibnu Ishaq
mengatakan bahwasanya inilah yang diterimanya dari Ali bin Abi Thalib tentang
Zamzam,.” (HR. Ibnu Ishaq dan Baihaqi).
Kisah Nazarnya Abdul Muthalib untuk
Menyembelih Salah Satu Anaknya
Ibnu Ishaq
mengatakan bahwa Abdul Muthalib bin Hasyim – sebagaimana yang mereka yakini –
pernah bernazar ketika bertemu seseorang dari kaum Quraisy. Sebagaimana ia
menemuinya saat menggali sumur Zamzam untuk menyembelih salah satu anaknya di
sisi Ka’bah jika ia dikaruniai sepuluh anak sampai mereka balig. Ketika jumlah
anaknya mencapai angka sepuluh, dia tahu mereka akan mencegahnya. Ia pun
mengumpulkan mereka dan menceritakan tentang nazarnya. Kemudian ia mengajak
mereka untuk menepati janji kepada Allah. Mereka pun menaatinya, lalu bertanya,
“Bagaimana kita melakukannya?” Ia menjawab, “Tiap kalian membuat sebuah gelas
dan menulis namanya dalam gelas tersebut. Setelah itu berikan kepadaku. Mereka
pun melakukannya dan memberikan kepada Abdul Muthalib. Abdul Muthalib pun masuk
bersama mereka ke dalam Ka’bah di tengah-tengah Hubal. Posisi Hubal terletak di
atas sumur di tengah-tengah Ka’bah. Sumur tersebut yang digunakan untuk
mengumpulkan segala sesuatu yang dipersembahkan untuk Ka’bah.
Abdul Muthalib
pun berkata kepada sang pembuat gelas, “Pecahkan atas anak-anakku dengan gelas
mereka ini.” Ia pun memberitahukannya tentang nazarnya. Kemudian ia memberikan
gelas kepada masing-masing sesuai dengan nama yang tercantum.
Ibnu Ishaq
mengatakan bahwasanya Abdullah adalah putra yang paling dicintai Abdul
Muthalib, yang merupakan ayahanda dari Nabi saw. Ketika sang pembuat gelas
mengambil gelas untuk dipecahkannya, Abdul Muthalib berdiri di sisi Hubal,
memohon kepada Allah. Kemudian saat pembuat gelas memecahkan sebuah gelas,
ternyata gelas Abdullah. Abdul Muthalib pun membawanya dan mengambil pisau,
kemudian pergi menemui anaknya untuk disemeblih. Orang-orang Quraisy dari
kelompoknya menghampirinya seraya berkata, “Apa yang engkau inginkan, wahai Abdul
Muthalib?” Ia menjawab, “Aku ingin menyembelihnya.” Mereka berkata, “Janganlah
engkau menyembelihnya, maafkan dia, jika engkau melakukan hal ini, orang-orang
setgelahmu pasti mengikutimu. Mereka akan menyembelih anak-anak mereka. Siapa
yang akan tersisa? Janganlah engkau lakukan! Pergilah ke daerah Hijaz
bersamanya. Sesungguhnya di sana ada seorang dukun yang memiliki pengikut.
Tanyakanlah kepadanya, setelah itu terserah engkau. Jika ia memerintahkanmu
untuk menyembelihnya, sembelihlah. Jika ia memerintahkan dengan sesuatu perkara
yang merupakan jalan keluar, terimalah.”
Mereka pun
melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk menemui seorang dukun. Setelah
menemukannya – sebagaimana yang mereka kira – di Khaibar, mereka bertanya
kepadanya. Sang dukun pun mendengarkan cerita tentang Abdul Muthalib, anaknya,
dan mazarnya. Lalu, dia berkata, “Kembalilah kalian hingga jin laki-laki
milikku datang dan aku menanyakan kepadanya tentang hal ini.” Mereka pun keluar
dari rumah sang dukun. Saat keluar, Abdul Muthalib berdiri memohon kepada
Allah. Keesokan harinya, mereka kembali menemui sang dukun tersebut, ia pun
berkatan kepada mereka, “Aku telah mendapat jawaban, berapakah diyat bagi
pembunuh dalam aturan kalian?” Mereka menjawab, “Sepuluh ekor unta.” Ia pun
berkata, “Kembalilah ke negeri kalian, kemudian dekatkan teman kalian dan
sepuluh ekor unta. Dan setelah itu, buatlah undian untuk keduanya. Jika yang
keluar nama teman kalian, tambahlah untanya hingga Tuhan kalian ridha.
Sebaliknya, jika yang keluar nama unta, sembelihlah atas nama teman kalian.
Dengan demikian, Tuhan kalian menjadi ridha dan teman kalian selamat.”
Mereka kembali ke
Makkah. Setelah seluruh persyaratan terkumpul, Abdul Muthalib berdiri memohon
kepda Allah, sedangkan mereka mendekatkan Abdullah dan sepuluh ekor unta. Abdul
Muthalib terus berdoa di sisi Hubal. Setelah itu, mereka pun memulai undian,
yang pertama keluarlah nama Abdullah. Mereka pun menambah sepuluh ekor unta
lagi sehingga jumlah untanya menjadi dua puluh ekor. Mereka terus melakukan hal
yang sama sampai jumlah unta menjadi seratus ekor. Abdul Muthalib masih berdiri
berdoa dan dilakukan undian selanjutnya. Pada undian tersebut keluar nama unta
sehingga orang-orang Quraisy mengatakan, “Ridha Tuhanmu telah habis, wahail
Abdul Muthalib.” Mereka mengira bahwa Abdul Muthalib akan stuju. Namun, Abdul
Muthalib berkata, “Tidak, demi Allah hingga aku melakukan undian tiga kali.”
Mereka pun melakukan undian atas nama Abdullah dan unta. Undian pertama, yang
keluar nama unta. Mereka melakukannya yang kedua kali dan masih nama unta yang
keluar. Mereka pun melakukannya yang ketiga kali dan masih nama unta yang
keluar. Setelah itu, unta tersebut disembelih, lalu ditinggalkan bagitu saja.
Orang-orang tidak dilarang untuk mengambil dagingnya.
Imam Thabari berkata
dalam kitab Tarikhnya. Yunus bin Abdul A’la telah bercerita kepadaku dari Ibnu
Wahab dan Yunus bin Yazid dan Ibnu Syihab dari Qubaidhah bin Dzu’aib bahwasanya
seorang perempuan telah bernazar untuk menyembelih anaknya di sisi Ka’bah jika
ia melakukan suatu perbuatan. Setelah itu, ia melakukannya. Ia pun datang ke
Madinah untuk meminta fatwa tentang nazarnya. Di sana ia mendatangi Abdullah
bin Umar dan menanyakan hal tersebut. Abdullah berkata kepadanya, “Alalh telah
melarang engkau untuk membunuh seseorang.” Inilah jawaban Abdullah bin Umar.
Kemudian wanita itu mendatangi Abdullah bin Abbas dan menanyakan hal tersebut.
Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Allah telah memerintahkan untuk menepati nazar.
Nazar adalah utang dan Allah melarang membunuh seseorang. Dahulu, Abdul
Muthalib bin Hasyim pernah bernazar jika memiliki sepuluh anak, ia akan
menyembelih salah dari anak mereka. Setelah impiannya terpenuhi, ia pun
mengundi nama-nama mereka untuk menentukan siapa yang akan disemeblih. Setelah
undian dilakukan, yang keluar nama Abdullah bin Abu Muthalib, anak yang paling
ia cintai. Abdul Muthalib pun berdoa, “Ya Allah! Anakku atau seratus ekor
unta.” Ibnu Abbas berkata, “Aku berpendapat supaya engkau menyembelih seratus
ekor unta sebagai ganti anakmu.” Masalah ini akhirnya sampai kepada Marwan yang
menjadi Gubernur di Madinah saat itu. Ia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas telah salah dalam berfatwa, sesungguhnya nazar dalam kemaksiatan
tidak diperbolehkan, minta ampunlah engkau dan bertobatlah, perbanyak sedekah
dan beramal baiklah semampumu. Adapun masalah menyembelih anakmu, Allah telah
melarangnya.” Akhirnya, orang-orang merasa gembira dan kagum terhadap pendapat
marwan. Mereka melihat pendapat marwan yang tepat dan sejak saat itu mereka
selalu berpegang pada pendapat tersebut, yaitu nazar dalam kemaksiatan kepada
Allah tidak diperbolehkan.
Kisah
Pasukan Gajah
Abrahah al-Habsyi
adalah wakil Raja Najasyi di Yaman. Ketika ia melihat orang-orang Arab menunaikan haji ke Ka’bah, ia
membangun gereja yang besar di Kota Shan’a. Maksud pembangunan itu, ia ingin
memalingkan hajinya orang-orang Arab ke Gereja tersebut. Akhirnya, seorang
lelaki dari Bani Kinanah mendengar hal itu. Lelaki itu pun memasuki gereja
tersebut pada suatu malam dan meletakkan kotoran di arah kiblat dalam gereja.
Saat Abrahah mengetahuinya, ia naik pitam.
Abrahah
melanjutkan, “Siapa yang telah melakukan ini?” Dikatakan kepadanya, “Pelakunya
seorang lelaki dari Arab dan masih dari kerabat yang mengurusi Ka’bah di
Makkah. Ia melakukannya karena marah setelah mendengar bahwa engkau akan
memalingkan hajinya orang Arab ke gereja.” Abrahah marah besar dan bersumpah
akan melakukan perjalanan ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.
Abrahah pun
memerintah orang-orang Habasyah untuk bersiap-siap melakukan perjalanan ke
Makkah. Mereka telah siap melakukan perjalanan bersama gajah yang telah mereka
siapkan. Setelah mendengar berita itu, orang-orang Arab menganggap sebagai
sebuah ancaman besar dan mengerikan. Mereka pun memutuskan untuk berjuang keras
melawan mereka saat ingin menghancurkan Ka’bah di Baitullah al-Haram.
Seorang lelaki
yang termasuk pemuka penduduk Yaman – yang dikenal dengan nama Dzu Nafar –
keluar mengajak kaumnya dan kaum selain Arab yang mendukungnya untuk memerangi
Abrahah berjuang membela Baitullah al-Haram dari niat Abrahah untuk
menghancurkannya. Orang yang mendukungnya pun bergabung untuk memerangi
Abrahah. Dalam peperangan tersebut, Dzu Nafar mengalami kekalahan, ia dijadikan
tawanan. Saat ia mau dibunuh, ia berkata, “Wahai Sang Raja! Janganlah engkau
membunuhku, barangkali hidupku bersamamu lebih bermanfaat daripada kematianku.”
Raja pun membiarkannya hidup dan menahannya dengan dibelenggu. Abrahah sendiri
dikenal lembut hatinya.
Abrahah
melanjutkan perjalanannya hingga sampai tanah Khats’am. Di sana ia dihadang dua
suku (Syahran dan Nahis) yang dipimpin Nufail bin Habib al-Khtas’ami. Abrahah
berhasil mengalahkan mereka dan Nufail dijadikan tawanan. Sast Nufail akan
dihukum mati, ia berakta, “Wahai Raja! Jangan bunuh aku, aku akan menjadi
penunjuk jalanmu ke Arab, dan dua suku Khats’am akan patuh setia kepadamu.”
Raja pun membebaskannya.
Nufail pun ikut
rombongan menjadi penunjuk jalan. Ketika sampai di daerah Thaif, Mas’ud bin
Mu’tab bersama pasukannya yang terkenal cerdik menemui mereka.
Mereka berkata,
“Wahai Raja! Kami adalah hambamu yang mendengar dan menaati perintahmu, tidak
ada perselisihan di antara kami dan engkau, tempat ibadah kami --- yang
dimaksud adalah tempat berhala Latta – bukanlah yang engkau tuju, kami tahu
engkau menginginkan Ka’bah di Makkah. Oleh karena itu, kami kirim bersamamu orang yang emnunjukkan jalan
ke sana.” Sang raja pun melewati mereka.
Ibnu Ishaq
melanjutkan kisahnya, “Mereka mengutus Abu Raghal yang ditugaskan sebagai
penunjuk jalan ke Makkah. Abrahah pun melanjutkan perjalanan bersama Abu
Raghal. Saat tiba di daerah Mughimmas, Abu Raghal meninggal. Ia pun dimakamkan
di sana. Setelah itu, tanah tersebut dijadikan pemakaman penduduk Mughimmas.”
Saat Abrahah
sampai di Mughimmas, ia mengutus seorang dari kaum habasyah – yang bernama
Al-Aswad bin Maqshud – untuk pergi ke Makkah dengan berkuda. Akhirnya, harta
benda penduduk Tihamah dari suku Quraisy dan lainnya diserahkan kepadanya, termasuk
200 ekor unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim, yang menjadi pemuka Quraisy.
Setelah itu, suku Quraisy, Kinahah Huzail, dan orang-orang di daerah Haram
berniat untuk memeranginya. Namun, dikarenakan mereka mengetahui bahwa mereka
tidak kuasa melawannya, akhirnya mereka membiarkannya.
Abrahah yang
mengutus Hinathah al-Himyari ke Makkah sambil berpesan, “Tanyalah tentang
pemuda negeri ini, lalu katakanlah kepadanya bahwa Raja berpesan, “Aku datang
bukan untuk memerangi kalian, melainkan untuk menghancurkan rumah ini (Ka’bah).
Jadi, kalau kalian tidak menghalangi tentu aku tidak perlu membunuh kalian.”
Abrahah adalah
raja tangguh yang selalu memang dalam setiap peperangan. Ketika Hinathah
memasuki Makkah, ia bertanya tentang pemuka Quraisy, lalu dikatakan kepadanya
bahwa nama pemuka Quraisy adalah Abdul Muthalib bin Hasyim bin Manaf bin
Qushai. Ia pun mendatanginya dan menyampaikan pesan sang raja. Abdul Muthalib
berkata kepadanya, “Demi Allah! Kami tidak berniat memeranginya, kami tidak
memiliki kekuatan. Ini adalah Batitullah al-Haram, rumah Ibrahim a.s., atau
sebagaimana diaktakan --- jia Dia mencegahnya, itu memang rumah-Nya.
sebaliknya, jika Dia membiarkannya, demi Allah kami tak mampu
mempertahankannya.” Hinathah pun berkata, “Pergilah bersamaku untuk menemui
raja, dia telah memerintahkanku untuk menjemputmu.”
Abdul Muthalib
pun ikut bersamanya didamoingi beberapa anaknya hingga menjumpai sekelompok
pasukan. Ia bertanya tentang Dzu Nafar yang merupakan sahabatnya hingga ia
masuk tahanan untuk menemuinya seraya berkata, “Wahai Dzu nafar! Apakah engkau
memiliki sesuatu untuk menghadapi yang menimpa kita?” Dzu Nafar menjawab, “Apa
yang dimiliki seorang lelaki tawanan yang menunggu hukuman mati esok hari atau
sorenya? Aku tidak memiliki sesuatu untuk menghadapi yang menimpa engkau,
kecuali seorang pelatih gajah yang menjadi temanku. Aku akan mengutusnya kepada
raja dan menyampaikan pesan tentangmu, memberikan hak-hakmu, memintakan izin
untuk berbicara kepada raja, dan membantumu di hadapannya jika takdirmu
demikian.” Abdul Muthalib berkata, “Hal itu cukup bagiku.”
Setelah itu, Dzu
Nafar mengutus Unais sang pelatih gajah seraya berkata, “Sesungguhnya Abdul
Muthalib adalah pemuka Quraisy sekaligus pemuka Makkah. Ia selalu menjamu
orang-orang dengan mudah, saat binatang liar mengintai dari puncak gunung, 200
untanya telah dirampas. Oleh karena itu, mintakan izin kepada raja untuk
menemuinya, bantulah semampumu.” Unais menjawab, “Perintah dilaksanakan.”
Unais pun
berbicara dengan Abrahah, “Wahai Raja! Ini adalah pemuka Quraisy memohon izin
kepadamu. Ia pemimpin Makkah, gemar memberi makan orang lain saat binatang liar
mengintai dari puncak gunung. Jadi, izinkan ia menghadap engkau untuk
menyampaikan isi hatinya dan perlakukanlah ia dengan baik.” Abrahah pun
mengizinkannya.
Abdul Muthalib
adalah sosok manusia paling baik dan paling mulia. Saat Abrahah melihatnya, ia
memuliakannya dan mempersilahkan duduk di bawahnya. Abrahah tidak menyukai jika
orang-orang habasyah melihatnya duduk bersama di singgasana sehingga ia turun
dari singgasana dan duduk di karpet bersama Abdu Muthalib. Ia pun berkata
kepada penerjemahnya, “Katakan keapdanya apa keperluannya?” Setelah penerjemah
raja menyampaikan hal tersebut, Abdul Muthalib berkata, “Keperluanku adalah aku
ingin untaku yang berjumlah 200 ekor dikembalikan.” Abrahah berkata kepada penerjemahnya,
“Katakan kepadanya, ‘Aku kagum saat melihatmu, aku perhatikan dirimu saat
berbicara, apakah engkau hanya menuntut 200 ekor unta milikmu dan mengabaikan
Ka’bah yang merupakan bagian agamamu dan nenek moyangmu, aku datang ke sini
untuk menghancurkannya!”
Abdul Muthalib
menjawab, “Sesungguhnya aku pemelihara unta. Ka’bah juga memiliki Dzat yang
memeliharanya.” Akhirnya, Abrahah mengembalikan unta Abdul Muthalib yang telah
dirampasnya.
Setelah mereka
berbpisah, Abdul Muthalib kembali ke Quraisy untuk memberitahu penduduk dan
menyuruh keluar dari Makkah menuju ke puncak gunung dan bukit-bukit. Hal ini
untuk menghindari pasukan Abrahah yang
terkenal dengan kekuatannya. Kemudian Abdul Muthalib mengambil tali pintu
Ka’bah dan berdoa kepada Allah bersama kaum Quraisy agar mereka ditolong dari
Abrahah dan tentaranya.
Ya Allah! Sungguh, seorang hamba
melindungi rumahnya
Lindungilah rumah-Mu.
Pasti kekuatan dan kehebatan mereka
kelak
Tidak mampu mengalahkan kekuatan-Mu
Jikalau Engkau membiarkan mereka dan
menerima (amalan) kami
Segala urusan tersebut berada dalam
kehendakmu.
Abdul Muthalib
pun melepas tali pintuk Ka’bah dan pergi bersama orang-orang yang menemaninya
ke puncak gunung, bersembunyi di sanan menunggu apa yang akan dilakukan Abrahah
saat memasuki Makkah.
Keesokan harinya,
Abrahah bersiap-siap memasuki Makkah. Ia tak lupa menyiapkan gajahnya dan
pasukannya. Nama gajahnya waktu itu adalah Mahmud. Abrahah sepakat untuk
menghancurkan Ka;bah, lalu kembali ke Yaman. Ketika gajah tersebut mendekati
Makkah, Nufail bin Hubaib al-Khats’ami mendekatinya dan berdiri di sampingnya.
Ia llau membisikan ke telinga gajah.” Menderumlah Mahmud, kembalilah ke tempat
asalmu, engkau sekarang di negeri Allah Al-Haram.” Ia pun melepaskan telinganya
dan gajah pun menderum. Setelah itu, Nufail bergegas mendaki gunung. Sementara
itu, para tentara memukuli gajah supaya berdiri, tetapi gajah tidak mau
melakukannya. Kemudian mereka memukul kepada gajah dengan kayu, tetapi gajah
masih enggan berdiri. Mereka juga melukai gajah tersebut hingga berdarah,
tetapi gajah tersebut masih tetap enggan berdiri.
Akhirnya mereka
menghadapkan gajah tersebut ke arah Yaman, lalu gajah pun berdiri dan berlari.
Mereka menghadapkannya ke arah Syam dan gajah melakukan hal yang sama,
dihadapkan ke arah timur, gajah
melakukan hal yang sama. Saat dihadapkan kembali ke arah Ka’bah, gajah
kembali menderum. Allah pun mengutus burung-burung yang berwarna hitam dari
laut. Masing-masing burung membawa tiga buah batu (satu di paruhnya, dua di
kakinya) seukuran kacang yang mematikan setiap orang yang tertimpa batu
tersebut. Tidak semua tentara Abrahah tertimpa batu. Mereka kabur berlarian ke
tempat asal. Mereka bertanya kepada Nufail bin Hubaib agar menunjukkan jalan ke
Yaman. Nufail pun berkata saat melihat turunnya siksa tersebut, “Di manakah
tempat berlari?”
Mereka pun
berjatuhan dan meninggal di sepanjang jalan. Abrahah sendiri mengalami luka di
tunuhnya. Mereka pun membawa Abrahah untuk kembali ke Yaman, tetapi bagian
tubuhnya bertambah parah sampai ia muntah darah. Saat mereka sampai di Yaman,
keadaan Abrahah seperti anak burung yang sangat hina dan lemah lunglai. Ia
tidak mati sampai akhirnya dadanya terbelah dan jantungnya keluar.
Ibnu Ishaq
melanjutkan, “Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw, hal itu termasuk karunia
Allah yang diberikan kepada kaum Quraisy, termsuk juga perlindungan-Nya dari
niat buruk Habasyah sehingga penduduk Quraisy dapat bertahan.”
Allah SWT juga
berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebaisaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah
Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.” (QS.
Quraisy (10^0 : 1 – 4).
Allah SWT berfirman,
“Tidaklah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak
terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu
sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang
melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka
dijadikan-Nya seperti daun-daun yang imakan (ulat).” (QS. Al-Fil (105) : 1 –
5).
Nikmat
Allah bagi Kaum Quraisy
Ibnu Katsir
meriwayatkan bahwasanya itulah bagian nikmat yang diberikan Allah atas kaum
Quraisy. Allah telah menyelamatkan mereka dari pasukan gajah yang bertekad
untuk menghancurkan Ka’bah dan menghilangkannya dari alam nyata. Allah pun
membinasakan dan menghancurkan mereka, menggagalkan usaha mereka, menyesatkan
mereka, dan mengembalikan mereka pada kondisi terburuk. Mereka itulah
orang-orang nasrani, yang agama mereka saat itu hampir sama dengan agama kaum
Quraisy, yaitu menyembah berhala.
Meskipun demikian,
ini merupakan dasar dan persiapan diutusnya Rasulullah saw. Beliau dilahirkan
pada tahun tersebut – menurut pendapat yang masyhur – dikatakan, “Dia tidaklah
menolong kalian dari kejahatan kaum Habasyah, wahai kaum Quraisy sebab
keutamaan kalian atas mereka, melainkan untuk menjaga Ka’bah yang akan
dimuliakan dengan diutusnya nabi yang tidak bisa baca dan tulis, yaitu Muhammad
saw., yang menjadi penutup para nabi.”
Pernikahan Abdullah dengan Aminah binti Wahab
Nabi Muhammad
saw., dilahirkan dalam keluarga yang suci dan bernasab mulia. Keluarga yagn
terkumpul di dalamnya adalah seluruh keutamaan orang Arab dan terbebas dari aib
dan cela.
Lingkungan tempat
tumbuhnya Nabi Muhammad saw., disiapkan oleh Allah untuk menyampaikan risalah.
Masyarakat Arab sendiri pada periode awal memiliki fanatisme tinggi terhadap
sukunya masing-masing, fanatisme yang mengabaikan suku-suku lain demi
mempertahankan kemuliaan sukunya sendiri.
Abdul Muthalib
merupakan pemuka Makkah. Meskipun demikian, kepemimpinan yang ia pegang pada
akhirnya rapuh. Hal ini disebabkan dahsyatnya gelombang persaingan dalam
kepemimpinan di daerah tersebut. Pada awalnya urusan kepemimpinan dipegang
mereka. Setelah berjalan beberapa tahun, jatuh ke tangan keluarga Abdu Syams.
Sedang beberapa tahun kemudian, Abu Sufyan memimpin Makkah. Dengan demikian,
kepemimpinan berpindah dari Bani Hasyim.
“Tugasmu di dunia telah selesai, jain
yang suci ini, Allah sendiri yang menjaga dan mendidiknya dengan cinta
kasih-Nya. Dia-lah yang menyiapkannya untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan
menuju cahaya yang terang.”
Abdullah
merupakan anak terkecil Abdul Muthalib yang paling dicintai dan dimuliakan. Ia
menikahkannya dengan Aminah binti Wahab, kemudian meninggalkannya untuk
berusaha mandiri dalam menjalani kehidupan. Abdullah pun mengembara di saat
masih menyandang status pengantin baru, yakni beberap bulan setelah membina
rumah tangga bersama Aminah. Ia mengembara untuk menjemput rezeki. Pada musim
panas, Abdullah pergi ke Syam dan tak kembali. Rombongan dagang pun kembali
membawa orang-orang yang sakit, tak lama kemudian datanglah berita kematiannya.
Aminah yang waktu
itu menunggu suami tercinta untuk menjalani hidup bersama dan memberi tahu
tentang janin yang dikandungnya, hampir tenangdengan kembalinya rombongan
dagang. Namun, takdir Allah – tentunya untuk hikmah yang mulia – memupus impian
manis tersebut sehingga sang istri menjadi janda.
Abdullah meniggal
di Madinah. Ia kembali kepada Allah dengan meninggalkan jiwa yang suci ini
seolah-olah takdir mengatakan, “Tugasmu di dunia telah selesai, janin yang suci
ini, Allah sendiri yang menjaga dan mendidiknya dengan cinta kasih-Nya. Dia-lah
yang menyiapkannya untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang
terang.”
Kelahiran Baginda Nabi saw.
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas dan Jabir bahwa keduanya berkata, “Rasulullah saw., dilahirkan pada
tahun Gajah hari Senin dua belas Rabi’ul Awwl. Pada tanggal yang sama beliau
di-Mi’raj-kan ke langit, berhijrah, dan wafat.” Ini adalah pendapat yagn
masyhur di kalangan mayoritas ulama. Wallahu A’lam. (HR. Ibn Syaiban dalam
musannaf, sanadnya shahih, perawainya adalah perawi hadits shahih. Lihat
as-Sirah an-Nabwiyyah ibn Kasir (1/199).
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Nabi saw., dilahirkan pada hari Senin, diangkat
menjadi nabi pada hari Senin, wafat pada hari Senin, keluar berhijrah dari
Makkah ke Madinah pada hari Senin, tiba di Madinah pada hari Senin, dan
mengangkat Hajar Aswad (untuk diletakkan pada tempatnya) pada hari Senin.” HR.
Ahmad (1/277) dan Tabarani dalam Al-Kabir, 12984).
Diriwayatkan dari
Abu Qatadah al-Anshari r.a., tentang perihal puasa hari Senin. Nabi saw.,
bersabda, “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan, aku diutus menjadi seorang
Rasul, atau diturunkan wahyu pertama kepadaku.” (HR. Muslim, 1162, Kitab
Puasa).
Abu Qatadah juga
mendapatkan sebuah riwayat yang menyebuytkan bahwa Nabi saw., dilahirkan pada
hari peristiwa gajah. Ibnu Abbas r.a., berkata, “Rasulullah saw., dilahirkan
pada hari peristiwa gajah.” (Diriwayatkan oleh Sa’ad dalam At-Tabaqat dari
jalur Ibn Ma’in, dari hajjaj, dari Yunus
bin Abi Ishaq, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dan semua perawi hadits
adalah tsiqah).
Prosesi kelahiran
beliau terjadi di rumah Abu Thalib di tempat Syi’ib Bani Hasyim. Kemudian
tempat inilah yang dinamakan rumah Muhammad bin Yusuf, saudara al-Hajjaj bin
Yusuf. Sekarang adalah sebuah perpustakaan umum.
Orang yang
membantu prosesi kelahiran Muhammad saw., adalah Ummu Aiman Barakah
al-Habasyiyyah, seorang budak perempuan milik ayahnya. Sedangkan, orang yang
pertama kali menyusui adalah Tsawaibah, budak perempuan pamannya Abu Lahab.
Diriwayatkan dari
Ummu Habibah r.s., dia berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, nikahilah
saudaraku, yaitu putri Abu Sufyan.” Beliau menjawab, “Apakah kamu suka aku
melakukannya?” Aku pun menjawab, “Ya, aku bukan satu-satunya istrimu dan orang
yang paling aku sukai untuk berkongsi dalam kebaikan adalah saudariku.”
Kemudian beliau saw., bersabda. “Sesungguhnya hal itu tidak halal bagku.” Aku
berkata, “Sesungguhnya kami diberitahu bahwa engkau ingin menikahi putri Abi
Salamah.” Beliau bersabda, “Putri Abi Salamah?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau
bersabda, “Seandainya dia itu bukan anak tiriku, niscaya dia tetap tidak halal
bagiku. Sesungguhnya dia adalah anak saudaraku sesusuan, Tsuwaibah menyusuiku
dan Abu Salamah. Jadi, janganlah kalian tawarkan kepadaku putri-putri dan
saudari-saudari kalian.” (HR. Bukhari 9/43) Kitab Nikah dan Muslim (10/25-28)
Kitab Rada’ (penyusun).
‘Urwah berkata,
“Tsuwaibah adalah budak perempuan Bu Lahab. Dia membebaskannya dan menyusui
baginda Nabi saw. Ketika dia mati, salah seorang keluarganya melihatnya dalam
mimpi dengan keadaan yang sangat buruk. Dia pun betanya kepadanya, “Apa yang
kamu dapatkan?” Dia menjawab, “Aku tidak mendapatkan setelah matiku kesenangan,
hanya saja aku diberi minum dari ini (yakni ibu jarinya) dikarenakan aku
membebaskan Tsuwaibah (yakni ketika mendengar kabar kelahiran baginda Nabi
saw.).
Cahaya Keluar Menerangi Istana-Istana Romawi
di Syam (Ketika Kelahiran Baginda Nabi saw.)
Telah
diriwayatkan bahwa irhashat (tanda-tanda) kenabian terjadi ketika masa
kelahiran. Di antaranya adalah jatuhnya empat belas balkon dari Istana Kisra,
padamnya api yang disembah oleh orang Majusi, dan hancurnya gereja-gereja di
sekitar Danau Sawah setelah sebelumnya danau itu surut.
Adapaun tanda
kelahirannya adlaah beliau dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan dan
terpotong tali pusarnya, wadah tempat beliau diletakkan oleh kaum wanita
terbelah menjadi dua, dan lain-lainnya yang telah diriwayatkan tentang
tanda-tanda kenabian yagn terjadi ketika kelahiran.
Pada hakikatnya
semua ini tidaklah benar dan tidak ada riwayat yang shahih tentang terjadinya
peristiwa-peristiwa tersebut.
Sebenarnya,
posisi Nabi saw., dan derajatnya yang tinggi tidak perlu pada riwayat-riwayat
yang tidak sah seperti ini. Nabi saw., adalah makhluk termulia di seluruh jagat
raya walaupun seandainya tidak ada tanda-tanda kenabian ataupun mukjizat
setelah menjadi seorang anbi. Cukuplah bagi kita untuk membaca riwayat-riwayat
yagn shahih saja supaya kita tahu bahwa misi risalah Nabi saw., adalah hal
terbesar di seluruh jagat raya.
Yang benar
berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih adalah bahwa Ibunda Nabi saw., melihat
cahaya keluar darinya dan menyinari istana-istana Romawi di negeri Syam (hal
itu terjadi ketika kelahiran baginda Nabi saw.).
Rasulullah saw.,
bersabda, “Aku adalah doa ayahku Nabi Ibrahim, kabar gembira Nabi Isa, dan
Ibuku melihat cahaya keluar darinya menerangi istana-istana di Syam.” (HR.
Ahmad dan hakim).
Doa Nabi Ibrahim
yang dimaksudkan adalah kalam Allah yang berbunyi, “Ya Tuhan kami, utuslah di
tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan
menyucikan mereka. Sungguh Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana,” (QS.
Al-Baqarah (2) : 129).
Kabar gembira
Nabi Isa yang dimaksudkan sebagaimana yang diisyaratkan oleh kalam-Nya yang
menceritakan tentang perihal Nabi Isa a.s., “.... dan memberi kabar gembira
dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad),
.... “ (QS. As-Shaf (61) : 6).
Ibn Rajab
berkata, “Dan keluarnya cahaya ketika kelahiran baginda Nabi saw., adalah
sebuah indikasi atas apa yang akan datang bersamanya, yaitu cahaya yang
dijadikan petunjuk oleh penduduk bumi dan hilangnya kegelapan syirik dari atas
muka bumi.”
Allah berfirman,
“Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka
itulah orang-orang beruntung.” (QS. Al-A’raf (7) : 157).
Allah berfirman,
“ ... Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang
menjelaskan. Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan
menunjukkan ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah (5) : 15-16).
Ibnu
Kasir berkata, “Penyebutan negeri Syam secara khusus dengan keluarnya cahaya
adalah sebuah isyarat akan kekukuhan agamanya dan kekuatannya di negeri Syam.
Oleh karena itu, negeri Syam pada akhir zaman akan menjadi benteng pertahanan
bagi Islam dan pemeluknya. Di negeri inilah Nabi Isa Putra Maryam a.s., akan
turun di Damaskus pada menara bagian Timur berwarna putih. Dan telah datang sebuah riwayat dalam Shahih
Bukhari dan Mujslim yang berbunyi, “Senantiasa sekelompok dari umatku yang
terus berjuang menampakkan kebenaran tidaklah melemahkan orang-orang yang
menelantarkan dan menghianati, hingga datang urusan Allah (yakni hari kiamat)
dan mereka tetap dalam keadaan demikian (berjuang) di jalan Allah.”. Dalam
riwayat Shahih Bukhari, “Dan mereka berada di negeri Syam.”
Kegembiraan Abdul Muthalib atas Kelahiran Cucu
yang Penuh Berkah
Ketika Ibunda
Nabi saw., melahirkannya, dia mengutus seseorang kepada sang kakek untuk
menyampaikan kabar gembira dengan kelahiran cucunya. Sang kakek pun datang
dengan muka ebrseri-seri dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah, lalu berdoa
kepada Allah dan memanjatkan rasa syukur kepada-Nya. dia memilihkan baginya
nama Muhammad kerena nama itu tidaklah terkenal di kalangan bangsa Arab dan
mengkhitannya pada hari ke tujuh, sebagaimana biasa dilakukan oleh orang Arab.
Abdul Muthalib
menyambut kelahiran cucunya dengan penuh riang gembira. Bahkan, sepertinya dia
melihat kelahiran tersebut sebagai ganti atas putranya yang telah wafat. Dia
pun mencurahkan seluruh perasannya atas yang telah pergi untuk jabang bayi yang
baru datang ini dengan menjaga dan menyayanginya.
Di antara
kebetulan yang menarik adalah Abdul Muthalib mendapat ilham untuk menamai
cucunya dengan nama Muhammad. Penamaan ini adalah pertolongan yang diberikan
oleh Allah SWT. Bangsa Arab belum terbiasa dengan nama ini sehingga mereka pun
bertanya-tanya kepadanya, “Mengapa tidak menamainya dengan salah satu nama
nenek moyangnya?” Abdul Muthalib pun menjawabnya, “Aku ingin dia dipuji oleh
Allah di langit dan dipuji oleh manusia di bumi.” Seakan-akan keinginan ini
adalah penerawangan hal gaib karena tidak ada seorang pun yang berhak atas pemberian
rasa syukur serta pujian atas apa yang dilakukan dan diberikan seperti halnya
Nabi saw.
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah r.s., dia mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda, “Tidaklah
kalian heran bagaimana Allah menampik dariku cercaan suku Quraisy dan sumpah
serapah mereka?” Mereka mencaci orang yang hina dan mereka melaknat orang yang
hina, sedangkan aku adalah Muhammad (yang berarti terpuji).” (HR. Bukhari).
Realita yang
menyakitkan – meskipun di sana terdapat rangkulan sang kakek yang penyayang –
tetaplah ada. Sebab. “Muhammad” tetaplah seorang yatim yang lahir ke dunia
setelah ayahnya meninggalkan alam fana. Mari kita berandai-andai jika sang ayah
‘Abdullah’ tetap hidup, apa yang akan diperbuat sang ayah terhadap anaknya.
Apakah dia akan mendidiknya kemudian memberikannya kenabian? Sama sekali hal
tersebut tidak dapat dia lakukan. Sesungguhnya seorang ayah adalah salah satu
faktor yang menentukan masa depan seorang anak dan membawa ke mana arah
hidupnya. Seandainya kenabian itu dapat dicari, niscaya kehidupan ayah tidak
dapat mendekatkan kepadanya walau sejengkal, bagaimanapun juga kenabian adalah
pemilihan.
Dahulu Nabi
Ya’qub a.s., hidup dan mendapatkan rezeki. Dia merasakan masa tua, mempunyai
pengalaman hidup yang lama, bahkan dia memiliki kenabian. Suatu hari dia
melihat ke sebelahnya, tetapi tidak mendapatkan Nabi Yusuf a.s. berada di
dekatnya. Dia kehilangannya pada masa-masa yang sangat berbahaya, yaitu masa
kecil. Lingkungan yang mengelilingi Nabi Yusuf a.s., adalah rusak, tetapi
jiwanya telah matang dengan ketakwaan dan kesucian diri, seperti lampu yang
menyala di malam yang gelap gulita. Ketika sang anak berjumpa kembali dengan
sang ayah setelah masa yang cukup lama, Nabi Ya’qub melihat anaknya telah menjadi
seorang nabi.
Abdullah
telah pergi dan meninggalkan anaknya seorang yatim. Hanya saja keadaan yatim
ini dapat dikatakan sebagai titik mula untuk sebuah hal yang besar, keadaan
yang akan menjadikannya sebagai pemimpin orang-orang pilihan dan terbaik. Tidaklahs
eorang ayah, kakek, saudara dekat dan jauh, langit ataupun bumi, melainkan
hanya sarana yang dimudahkan oleh Allah untuk menyempurnakan ketentuan-Nya,
dan, menyampaikan karunia kepada orang yang dipilih oleh-Nya.
Malam ini Bintang Ahmad Telah Tampak
Diriwayatkan dari
Hasaan bin Tsabit, dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku adlaah seorang
anak yang kuat berumur tujuh tahun. Aku menghafal segala yagn aku dengar ketika
aku mendengar seorang yahudi berteriak dengan sekeras-kerasnya di atas rumahnya
di yatsrib (Nama kota Madinah), “Wahai sekalian orang yahudi!” Ketika semua sudah berkumpul kepadanya,
mereka berkata, “Sialan kamu! Ada denganmu?” Dia menjawab, “Malam ini bintang
ketika Ahmad dilahirkan pada waktu itu telah tampak.” (HR. Baihaqi).
Kisah Susuna Baginda Nabi saw.
Diriwayatkan dari
Abdullah bin Ja’far r.a., dia berkata, “Ketika Rasulullah saw., dilahirkan,
datanglah Halimah binti al-Harits bersama rombongan perempuan dari suku Sa’ad
bin Bakar mencari anak-anak menyusui di Kota Makkah.
Halimah
mengisahkan, “Aku keluar di depan bersama rombongan para wanita di atas seekor
unta betina berwarna pirang milikku. Seseorang yang bersamaku adalah suamiku,
al-Harits bin ‘Abdul ‘’Uzza. Dia adalah salah seorang keturunan suku Sa’ad bin
Bakar dan keturunan suku Nadirah. Unta kami ini terluka. Yang kami bawa bersama
rombongan adalah seekor unta yang sudah tua. Ia tidak meneteskan susu sama
sekali karena ini adalah tahun paceklik. Semua orang kelaparan sehingga mereka
sangat kesulitan mencari makanan. Anakku pun bersamaku, demi Allah dia tidak
dapat tidur semalaman dan aku tidak menjumpai apa pun dalam genggamanku untuk
menghiburnya. Hanya saja kami mengharapkan turun hujan. Kami mempunyai seekor
kambing dan kami mengharapkan susunya.
Ketika kami tiba
di Makkah, tidaklah salah seorang dari kami ditawarkan Rasulullah saw., kecuali
dia menolaknya. Kami berkata, “Sesungguhnya dia adalah seorang anak yatim dan
yang akan memuliakan sang penyusu dan beruat baik kepadanya hanyalah sang
ayah.” Halimah berkata, “Mudah-mduahan ada yang dapat dilakukan oleh ibu,
paman, atau kakeknya untuk kita. Semua temanku telah mendapatkan sapihan.
Ketika aku tidak mendapatkan selainnya, aku pun kembali dan mengambilnya. Demi
Allah, tidaklah aku mengambilnya kecuali karena aku tidak mendapatkan
selainnya. Dan aku pun berkata kepada suamiku, “Demi Allah, aku akan mengambil
anak yatim dari keturunan Abdul Muthalib ini, mudah-mudahan Allah memberikan
manfaat kepada kita, dan aku tidak pulang di antara teman-temanku tanpa membawa
apa-apa.’ Dia pun menjawab, “Sungguh benar perkataanmu.
Halimah berkata,
“Maka aku mengambilnya dan membawanya ke
dalam rombongan. Demi Allah, tidaklah aku membawanya ke dalam rombongan kecuali
payudaraku penuh dengan susu sehingga aku dapat mengenyangkannya dengan susu,
begitu juga saduaranya. Sang ayah beranjak menuju unta kami yang sudah tua dan
mengelusnya. Tiba-tiba susunya sudah penuh berisi dan dia dapat memerahnya. Dia
memberiku minum dan dia pun minum hingga kenyang. Dia berakta, “Wahai Halimah,
tahukah kamu --- demi Allah – kita telah mendapatkan seorang jiwa yang
diberkahi. Allah telah memberikan kepadanya apa yang tidak kita
harap-harapkan.’ Halimah berkata, “Maka kami pun tidur dengan sebaik-baiknya
malam, dalam keadaan kenyang, yang sebelumnya kami tidak dapat tidur bersama
anak kami.”
Ketika masuk
waktu pagi, kami dan teman-teman beranjak pulang ke desa. Aku pun naik untaku
yang berwarna pirang dan membawanya bersamaku. Demi Dzat yang jiwaku dalam
kekuasaan-Nya, aku dapat mengejar rombongan, sampai-sampai para perempuan
berkata, “Tunggulah kami, inikah untamu yang kau bawa itu?” Aku pun menjawab,
“Ya.” Mereka berkata, “Sesungguhnya dia terluka ketika kami berangkat, apakah
yang terjadi dengannya?” Halimah menjawab, “Demi Allah, aku membawa di atasnya
seorang anak yang penuh berkah.”
Kami pun berjalan
dan Allah senantiasa memberikan kebaikan kepada kami setiap hari, hingga kami
sampai ke desa yang saat itu dalam keadaan paceklik. Para penggembala pergi
keluar desa dan kembali membawa gembalaannya. Kambing-kanbing suku Sa’ad
kembali dalam keadaan lapar, tetapi kambingku kembali dalam keadaan kenyang,
perut berisi makanan dan penuh dengan susu sehingga kami dapat memerah dan
meminumnya. Mereka berakata, “Apa gerangan yang menyebabkan kambing al-harits
bin Abdul ‘Uzza dan kambing Halimah kembali dalam keadaan kenyang dan penuh
berisi susu,s edangkan kambing kalian kembali dalam keadaa lapar?” Sial nasib
kalian, gembalakan kambing kalian ke tempat dia menggembala.” Mereka pun
menggembala bersama-sama, tetapi tidak kembali kecuali dalam keadaan lapar
seperti sebelumnya dan kambingku kembali seperti dulu (dalam keadaan kenyan dan
penuh berisi susu).
Halimah
bercerita, “Dia (Nabi Muhammad saw.) tumbuh dewasa tidak seperti yang dialami
oleh anak-anak seusianya. Dia tumbuh dewasa dalam sehari seperti seorang yang
tumbuh dalam sebulan. Dia tumbuh dalam sebulan seperti seorang yang tumbuh
dalam setahun. Ketika sudah genap dua tahun, kami membawanya ke Makkah. Kami
pun berkata, “Demi Allah, kita tidak akan berpisah darinya selama kita masih
mampu.” Ketika kami sampai kepada ibunya, aku berkata, “Wahai ibu, demi Allah
kami tidak pernah melihat seorang bayi yang lebih banyak keberkahannya dariapda
dia. Sesungguhnya kami khawatir akan penyakit dan wabah yang ada di Makkah
atasnya, jadi biarkanlah dia pulang kembali bersama kami sampai wabah tersebut
hilang darimu.” Kami pun terus memohon hingga akhirnya dia mengizinkan dan kami
pun pulang bersamanya. Kami tinggal bersamanya selama tiga atau empat bulan.
Peristiwa Pembelahan
Dada
Dalam hadits yang
telah lalu disebutkan bahwa Halimah r.a., berkata, “Ketika dia ebrmain di
belakang rumah, dia dan saudaranya bersama anak-anak kambing miliknya.
Tiba-tiba saudaranya datang dengan bergegas, aku dan suamiku sedang berada di
unta. Dia kemudian berkata, “Saudaraku, si anak suku Quraisy, didatangi oleh
dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa dan membaringkannya, kemudian
membelah dadanya.” Aku dan suamiku pun berlari dengan cepat. Kami
mendapatkannya sedang berdiri dengan wajah pucat. Ketika dia melihat kami, dia
mencari perlindungan kepada kami dan menangis. Kemudian dan suamiku
merangkulnya. Kami bertanya, “Apa yang terjadi denganmu, sumpah demi ayahku?”
Dia menjawab, “Dua orang lelaki telah mendatangiku dan membaringkanku, kemudian
membelah dadaku dan melakukan sesuatu apdanya, kemudian mengembalikannya
seperti sedia kala.” Suamiku berkata, “Demi Allah, aku tidak melihat anakku,
kecuali telah terkena gangguan jin. Pergilah kepada keluarganya dan kembalikan
dia kepada mereka sebelum terjadi hal yang takutkan.”
Halimah berkata,
“Kami membawanya dan mengembalikan kepada ibundanya. Ketika dia melihat kami,
dia tampak heran dengan kedatangan kami. Dia berkata, “Apa yang mebuat kalian
kembali dengannya sebelum aki memintanya dari kalian, padahal kalian sangat
ingin menahannya?” Kami menjawab, “Tidak apa-apa, hanya saja Allah sudah
menyempurnakan masa susuan dan membahagiakan kami degan apa yang kami lihat.
Kami menjaganya seperti yang kalian suka dan kami juga sangat suka.’ Ibundanya
berkata, “Tampaknya ada sesuatu yagn kalian sembunyikan, beritahukan kepadaku
apa yang kalian sembunyikan itu. Dia memaksa kami sapai akhirnya kami pun
memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berkata, “Sama sekali tidak,
demi Allah, Allah tidak akan berbuat demikian padanya. Sesungguhnya anakku
mempunyai hal yang hebat. Apakah mau aku beritahukan kepada kalian ketika aku
mengandungnya? Demi Allah, aku tidak mengandungnya dengan kandungan yang lebih
ringan dan lebih mudah darinya. Aku melihat ketika mengandungnya cahaya keluar
dariku yang menerangi leher-leher unta di Bashra – dalam riwayat lain
istana-istana di Busra – kemudian aku melahirkannya. Demi Allah, tidak terjadi
padanya seperti yang dialami oleh kebanyakan anak kecil. Dia keluar dari perut
dalam keadaan bersandar dengan kedua tangannya di atas bumi sambil mengangkat
kepala ke langit. Jadi tinggalkan saja dia di sini.” Sang ibu pun mengambilnya,
lalu kami pulang.” (HR. Ibnu Hibban, Thabrani, Baihaqi, dan Abu Ya’la).
Diriwayatkan dari
‘Utbah bin ‘Abd as-Sulami r.a. bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Bagaimanakah awal pengasuhmu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda. “Pengasuhku
adalah seorang dari suku Sa’ad bin Bakar. Suatu hari aku pergi bersama salah
seorang putranya dan ebrmain bersama anak-anak kambing milik kami, tetapi kami
tidak membawa bekal. Aku berkata kepada saudaraku, “Wahai saudaraku, pergilah
dan bawalah bekal dari ibu kita.”
Dia pun pergi dan
aku tinggal bersama anak-anak kambing. Tiba-tiba datanglah dua ekor burung
berwarna putih seperti burung elang. Salah satunya berkata kepada temannya,
“Apakah dia orangnya?” Dia menajwab, “Ya.” Mereka pun datang menangkapku dan
membawaku. Kemudian membaringkanku dan membelah dadaku. Keduanya mengeluarkan
hatiku dan membersihkan darinya dua gumpal darah yang berwarna hitam. Salah
seorang dari mereka berkapa kepada temannya, “Bawakan aku air es.” Mereka pun
membasuh dalam perutku dengannya. Kemudian salah seorang berkata, “Bawakan aku
air dingin.” Mereka pun membasuh hatiku dengannya. Kemudian ia berkata kembali,
“Bawakan aku rasa tenang.” Dia pun memendamkannya ke dalam hatiku. Kemudian
salah satu dari mereka berkata, “Jahitlah!” Dia pun menjahitnya dan menutupnya
dengan tanda penutup kenabian.
Salah satu dari
mereka berkata, “Jadikan dia dalam timbangan dan jadikan seribu dari umat di
timbangan satunya.” Kemudian aku melihat seribu orang berada di atasku. Aku
takut mereka jatuh ke atasku. Salah seorang dari mereka berkata, “Sekiranya
umatnya ditimbang dengannya, niscaya dia akan melebihi mereka.” Kemudian mereka
pergi dan meninggalkanku.
Aku pun sangat
ketakutan, lalu aku menjumpai ibuku dan memberitahukannya apa yang aku alami.
Dia pun merasa khawatir terahdapku akan gangguan setan yang mungkin menimpaku.
Dia berkata, “Aku minta perlindungan dari Allah untukmu.” Kemudian dia
menyiapkan rombongan unta miliknya, menaikkanku di atas rombongan dan dia naik
unta di belakangku hingga kami sampai kepada ibuku dan berakta, “Aku sudah
menunaikan amanah dan tanggunganku.” Dia menceritakan apa yang aku alami,
tetapi ibu mengingkarinya dan ebrakta kepadaku, “Aku melihat cahaya keluar
dariku, yang menyinari istana-istana di negeri Syam.” (HR. Ahmad dan Thabrani).
Diriwayatkan dari
Anas bin Malik r.a., dia berakta, “Sesungguhnya Rasulullah saw., didatangi
malaikat Jibril kertika sedang bermain bersama anak-anak kacil. Dia pun
mengambilnya dan membaringkannya, kemudian membelah dadanya dan mengeluarkan
hatinya serta mengeluarkan segumpal darah. Jibril berkata, “Ini adalah bagian
setan dalam dirimu.’ Kemudian dia mencucinya dalam ssebuah bejana yang terbuat
dari emas dengan air zamzam. Kemudian dia mengumpulkannya dan mengembalikannya
pada tempatnya. Anak-anak berlari keapda ibu susuannya dan berkata,
“Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh.” Kemudian mereka menjumpai Rasulullah dan
beliau dalam keadaan pucat.” Anas berkata, “Sungguh, aku telah meliaht bekas
jahitan di dadanya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Peristiwa pembelahan dada juga
terjadi sekali lagi ketika perjalanan Isra dan Mi’raj.
Perpisahan yang Menyakitkan
Setelah
menyerahkan Nabi Muhammad saw., kepada ibundanya, pergilah Halimah r.a., dengan
hatinya yang penuh dengan kesedihan dan duka atas perpisahan dengan sang
kekasih – Baginda Muhammad saw., ---
serta air mata yang berderai di atas pipinya.
Bukanlah yang mengalir dari mata itu
airnya,
Melainkan jiwa yang mengalir
kemudian menetes.
Meskipun
demikian, dia merasa sangat yakin dalam dirinya bahwa Allah SWT akan
mengumpulkna dengan sang kekasih dan dia akan melihatnya kembali.
Wafatbnya Sang Bunda
Rasulullahsaw.,
beserta sang bunda. Aminah binti Wahab, dan sang kakek, Abdul Muthalib, berada
dalam perlindungan dan penjagaan Allah. Allah menumbuhkannya dengan
perkembangan yang baik karena kehendak untuk memuliakannya. Ketika Rasulullah
saw., telah sampai umur enam tahun, wafatlah sang Bunda, Aminah binti Wahab.
Sang Bunda pergi
bersamanya ke kota Madinah untuk menziarahi paman-paman ayahnya suku ‘Adiy bin
an-Najjar. Ketika dia pulang kambali, ajal menjemputnya di perjalanan. Dia
wafat di Abwa’ dan dikuburkan di sana.
Takdir Allah
seakan ebrkata, “Anak kecil ini tidak berpengaruh baginya ada tidaknya sang
ayah ataupun sang ibu dengan jenis pendidikan apa pun. Sebab, Allah yang
langsung mendidik dan mengajarinya.
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa kematian sang bunda, Aminah, ketika beliau berumur 6 tahun,
kemudian di asuh oleh Ummu Aiman dan ditanggung oleh kakeknya, Abdul Muthalib.
Dia pun sangat menyayanginya dengan kasih sayang yang belum pernah dia berikan
itu kepada anak-anaknya.
Rasulullah saw.,
hidup bersama kakeknya, Abdul Muthalib bin Hasyim. Biasanya akan diletakkan
untuk Abdul Muthalib sebuah permadani di bawah ruangan Ka’bah dan anak-anaknya
akan duduk di samping permadani tersebut hingga ia tiba kepadanya. Tidak ada
seorang pun dari anaknya yang duduk di atasnya karena sebagai pernghormatan
atasnya.
Suatu hari
Rasulullah saw., yang masih kecil datang dan duduk di atasnya, kemudian
paman-pamannya mengambilnya dan memundurkannya dari permadani tersebut. Abdul
Muthalib berkata ketika melihat apa yang mereka lakukan, “Birakanlah anakku
ini. Demi Allah, dia akan mempunyai hal yang hebat.” Kemudian dia pun
mendudukkannya di atas permadani, mengusap punggungnya, dan membiarkannya
berbuat apa yang dia ingin perbuat.
Nabi saw. Menziarahi makam Sang Bunda
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Nabi saw., menziarahi makam ibundanya, beliau
menangis, dan membuat orang di sekitarnya turut menangis. Beliau besabda, “Aku
memohon izin kepada tuhanku untuk memintakan ampunan kepadanya, tetapi tidak
memberiku izin, dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia
mengizinkanku.” Maka ziarahilah kubur, karena sesungguhnya itu mengingatkan
keamtian.” (HR. Muslim).
(Ummu Aiman) Ibunda setelah Ibunda
Dalam situasi
yang menyakitkan ini, tampillah sosok Ummu Aiman yang menggantikan posisinya di
antara para wanita yang menorehkan jejak yang jelas dalam sejarah. Allah SWT
telah menginginkan semua kebaikan tertuju baginya, kembali bersama baginda Nabi
saw., dan menjadi pengasuhnya. Begitu juga, dia ditempatkan untuk menjaga,
mengurus, dan memberikannya kasih sayang yang berlimpah, seperti yang
dilimpahkan oleh sang kakek, Abdul Muthalib, Allah SWT telah emnggantikan kasih
sayang kedua orang tua dengan kasih sayang kakek dan Ummu Aiman. Abdul Muthalib
sangat tergila-gila kepadanya dan seringkali berpesan kepada pengasuhnya, Ummu
Aiman, seraya berkata :
“Wahai Barakah, jangan kamu
lengah atas anakku karena sesungguhnya aku mendapatinya bersama anak-anak dekat
dengan pohon Sidrah dan orang-prang ahli Kitab. Mereka beranggapan bahwa anakku
adalah nabi bagi umat ini.”
Abdul Muthalib
bahagia atas apa yang dia lihat dari tanda-tandan kemuliaan yang ada pada
cucunya, Muhammad, dan berpesan kepada paman-pamannya dengan berakta,
“Biarkanlah anakku, demi Allah, dia mempunyai hal yang luar biasa.”
Posisi Ummu Aiman di Hadapan Rasulullah saw.
Ummu Aiman telah
mendapat tempat yang agung di hati Rasulullah saw. Beliau tidak pernah lupa
bahwa dia adalah sebagai ibu sepeninggal ibu kandungnya. Ummu Aiman juga lebih
mencintainya dariapda dirinya sendiri, bahkan mencurahkan segenap kasih
sayangnya untuknya.
Diriwayatkan dari
Anas r.a., dia berakta, “Rasulullah pergi menjumpai Ummu Aiman dan aku pergi
bersamanya. Kemudian ia memberikannya sebuah bejana berisikan minuman. Aku
tidak tahu apakah Ummu Aiman mendapati beliau sedang puasa atau beliau tidak
mau. Kemudian dia pun berteriak kepada beliau dan menggerutu kepadanya.” (HR.
Muslim).
Imam Nawawi
berkata, “Maksud hadits tersebut adalah Nabi saw., menolak minuman darinya,
mungkin dikarenakan puasa atau sebab yang lain sehingga Ummu Aiman marah dan
mengingkari perbuatan beliau dengan kemarahan. Dia berbuat demikian karena
dialah yang menjaga serta mendidiknya.” Dalam sebuah hadits disebutkan, “Ummu
Aiman adalah ibu setelah ibuku.” (HR. Muslim).
Kematian Sang Kakek, Abdul Muthalib
, “
Beberapa waktu
kemudian, wafatlah sang kakek, Abdul Muthalib. Saat itu umur Nabi saw., adalah
delapan tahun. Kemudian beliau diasuh oleh saudara kandung ayahnya, yakni
pamannya, Abu Thalib. Sang paman pun menyayangi beliau. Keadaan ekonomi sang
paman susah sehingga Nabi saw., menggembala kambing sebagai wujud pertolongan
dari beliau untuk pamannya.
Nabi saw. Menggembala Kambing
Sejak Nabi
Muhammad saw., hidup dalam asuhan paman, beliau bermaksud untuk menolong sang
paman. Apalagi Abu Thalib sangat memerlukan bantuan karena kemiskinan dan
anaknya yang banyak. Kemudian beliau bekerja mengembala kambing di
lembah-lembah Kota Makkah dan jalan-jalan di antara pegunungan. Telah disebutkan
dalam sebuah hadits yang shahih tentang pekerjaan beliau ini. Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw., bersabda,
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali dia mengembala kambing.” Para
sahabat berkata, “Dan Engkau?” Beliau menjawab, “Ya dulu aku menggembalakannya
untuk Penduduk Kota Makkah dengan upah sejumlah qirat.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Diriwayatkan dari
Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, “Suatu hari kami bersama Rasulullah saw., di
daerah bernama Marr az-Zahran memetik buah pohon Arak (Pohon yang biasa dibuat
siwak) yang sudah matang. Beliau bersabda, “Ambillah yang berwwarna hitam
karena itu lebih bagus.’ Kemudian beliau ditanya, “Apakah Engkau dulu
menggembala kambing?” Beliau menjawab, “Ya, tidaklah ada seorang nabi, kecuali
dia menggembalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian Beliau saw., bekerja
dengan berniaga.
Dalam masa
menggembalakan kambing tersebut, ada persiapan dari Allah SWT untuk Nabi-Nya
dalam menerima risalah kenabian dan mengemban misi dakwah. Al-Hafiz Ibnu Hajar
dalam penjelasannya terhadapo hadits ini telah merangkum beberapa pendapat
ulama tentang hikmah di balik itu. Dia berkata, “Hikmah di balik pengilhaman
para nabi dengan menggembalakan tersebut. Selanjutnya, mereka akan terbiasa
atas apa yang akan dibebankan kepada mereka, yaitu urusan umat. Dalam
pergulatan dengan penggembalaan kambing itu akan membiasakan mereka bersabar
dan sayang. Apabila mereka dapat bersabar ketika menggembala dan mengumpulkan
kambing-kambing setelah bercerai-berai kembali ke kandangnya, memindahkan
mereka dari satu padang ke padang yang lain, menghalau musuh-musuh, seperti
binatang buas dan selainnya, seperti pencuri, jadi, mereka mampu membedakan
sifat tercerai-berainya dari musuh binatang buas atau pencuri. Sebab, mereka
menjaganya secara instensif. Demikian juga mereka (para nabi) akan terbiasa
bersabar atas umatnya, mengetahui perbedaan tabiat-tabiatnya, dan perbedaan
akal mereka sehingga mereka dapat menyambung yang patah, sayang kepada yang
lemah, dan bersungguh-sungguh dalam perhatian kepada umatnya. Oleh karena itu,
kekuatan mereka atas kesulitan menggembala itu menjadi lebih mudah dibanding
jika mereka langsung dibebani urusan dakwah sekaligus. Hal ini dikarenakan
adanya proses yang berangsur-angsur dengan penggembalaan kambing. Begitu juga,
kambing lebih dipilih untuk hal ini karena mereka adalah binatang yang lebih
lemah dibanding yang lainnya. Lagipula, cerai-berainya kambing lebih sering
terjadi dibandingkan dengan cerai-berai unta dan sapi. Akan tetapi, akan lebih
cepat untuk tearatur dibandingkan yang lainnya.
Penjagaan Abu Thalib terhadap Rasulullah saw.
Nabi saw.,
dirawat oleh kakeknya (Abdul Muthalib) yang sangat menyayanginya. Setelah waktu
berlalu, Abdul Muthalib merasa bahwa ajalnya sudah dekat, kemudian dia berpesan
kepada anaknya – yakni Abu Thalib – untuk menjaga Nabi saw., dan berpesan
kebaikan untuknya. Hal ini disebabkan Abdullah (ayah Nabi saw.), dan Abu Thalib
adalah saudara kandung seayah dan seibu. Ibu mereka adalah Fatimah bin ‘Amr bin
‘Aid. Di samping itu, Abdul Muthalib merasa bahwa tidak akan ada yang menjaga
Nabi saw., dan memberikan kasih sayang serta cinta, kecuali istri Abu Thalib.
Sebab, dia melihat kasih sayang yang terpancar dari hatinya.
Setelah Abdul
Muthalib wafat, berpindahlah Nabi saw., ke rumah Abu Thalib. Beliau mendapati
dalam rumah tersebut seorang ibu (istri Abu Thalib) yang penuh kasihd ayang
sehingga beliau merasa dia adalah ibu setelah ibunya yang telah wafat.
Fatimah binti
Asad r.a., menyelimuti beliau dengan perawatan dan kasih sayang, sampai-sampai
dia merasa khawatir terhadap Nabi saw., melebihi kekhawatirannya terhadap
anak-anaknya.
Keberkahan Mengetahui Jalannya untuk Sampai di
Rumah ini
Abu Thalib
seorang yang fakri. Istrinya juga merasa bahwa anak-anaknya tidak pernah merasa
kenyang dengan makanan. Namun, ketika Nabi saw., hidup di antara mereka,
masuklah keberkahan untuk pertama kalinya dalam rumah yang mulia. Khususnya,
dalam hal makanan untuk anak-anak mereka ketika Nabi saw., ikut makan bersama
mereka.
Bahkan ketika
keluarga Abu Thalib makan bersama-sama ataupun sendiri, mereka tidak akan
kenyang. Namun, ketika Nabi saw., makan bersama mereka, rasa kenyang akan
datang dengan sendirinya. Jadi, apabila Abu Thalib ingin makan siang atau makan
malam bersama anak-anaknya, dia akan berkata, “Diamlah dulu, kalian sampai
datang anakku.” Kemudian setelah Rasulullah saw., datang, mereka pun makan
bersama dan makanan pun bisa tersisa.
Ketika akan minum
susu, yang pertama kali minum adalah Rasulullah saw., kemudian beliau
memberikan wadah minum tersebut kepada mereka (anak-anak sang paman). Mereka
pun minum darinya dan mereka semua bisa kenyang dengan satu wadah itu. Padahal,
salah seorang dari mereka akan menghabiskan satu wadah sendirian. Abu Thalib
berkata, “Sungguh, engkau seorang yang diberkahi.”
Anak-anak akan
bangun di pagi hari dalam keadaan kumal
dan mata yang berkotoran merekat di antara bulu-bulu mata. Sebaliknya,
Rasulullah bangun di pagi hari dalam keadaan rambut berminyak dan mata
bercelak.
Cinta Pun Bertambah Hari demi Hari
Fatimah binti
As’ad r.a., setiap hari melihat keberkahan-keberkahan yang masuk dalam rumahnya
untuk pertama kali, bahkan dia hampir tidak percaya pada dirinya sendiri.
Kecintaan kepada Rasulullah saw., pun bertambah hari demi hari, sampai-sampai
Nabi saw., merasa bahwa Allah telah memberinya seorang ibu yang menggantikan
ibundanya yang telah wafat. Dialah yang menjaganya di masa kecil dan mudanya,
memberinya perhatian dan pernghormatan khusus, serta menyelimutinya dengan
kasih sayang. Hal ini terus berlangsung hingga beliau menikah dengan Khadijah,
r.a.
Nabi saw. Tumbuh
di antara sumber kasih sayang dan sungai rasa cinta Fatimah binti Asad dan Ummu
Aiman r.a. Kedua orang tersebut
menjaganya serta memberikan kasih sayang dan cinta khusus, seakan-akan dia
adalah ibu bagi Nabi saw.
Kisah Pendeta bahira
Diriwayatkan dari
Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, “Abu Thalib dan Nabi saw., pergi ke negeri
Syam bersama para pembesar suku Quraisy. Ketika mereka hampair sampai di
kediaman sang pendeta, mereka pun turun dari kendaraan dan membongkar barang
bawaan mereka. Keluarlah sang pendeta kepada mereka. Padahal, biasanya mereka
yang akan mendatanginya dan dia tidak keluar menjumpai mereka, bahkan tidak
menoleh. Namun, hari itu ketika mereka sedang membongkar muatan, datanglah sang
pendeta masuk ke kelompok yang baru datang ini dan mencari-cari seseorang
hingga akhirnya dia bertemu dengan Nabi saw. Dia pun mengambil tangan
Rasulullah saw., dan berkata, “Ini adalah pemimpin alam. Ini adalah utusan
Tuhan semesta alam. Allah akan mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Kemudian
para sesepuh Quraisy pun berkata, “Dari mana kamu tahu itu?” Dia menjawab,
“Sesungguhnya ketika kalian mendekati tanjakan, tidak ada pohon ataupun batu
yang menunduk sujud. Mereka tidak sujud, kecuali kepada seorang nabi. Aku
mengetahuinya dari tanda kenabian yang berada pada punggungnya yang berbentuk
seperti buah apel.”
Kemudian sang
pendeta kembali ke gerejanya dan membuatkan mereka makanan. Ketika dia datang
membawa makanan kepada mereka dan Nabi saw., menjaga unta-unta mereka, dia
berkata, “Bawalah dia kemari.” Nabi saw., pun datang dengan naungan awan di
atas kepalanya. Ketika sudah dekat dengan kumpulan orang-orang, Nabi saw.,
melihat mereka sudah lebih dahulu berada di bawah naungan pohon. Ketika beliau
duduk, bayangan pohon tersebut berpindah kepadanya. Pendeta berkata, “Lihatlah,
naungan bayangan pohon berpindah kepadanya.”
Tiba-tiba sang
pendeta berdiri di antara mereka dan bersumpah supaya mereka tidak membawanya
ke negeri Romawi. Sebab, apabila mereka tahu dengan ciri-ciri kenabian Nabi saw.,
tersebut, mereka akan membunuhnya. Sang pendeta menoleh, ternyata terlihat dari
kejauhan tujuh orang dari Romawi dan mereka pun mendatanginya. Pendeta berkata,
“Apa yang membuat kalian datang ke sini?” Mereka menjawab, “Kami diberi kabar
bahwa nabi keluar pada bulan ini, tidak ada satu jalan pun kecuali diutus
sejumlah orang untuk menangkapnya. Kami sudah diberitahu tentang kabarnya, kami
pun diutus ke jalanmu ini.” Pendeta kembali berkata, “Apakah di belakang kalian
ada seseorang yang lebih mulia dari kalian?”
Mereka menjawab,
“Sungguh, kami memilih yang terbaik untukmu menuju jalanmu ini.” Pendeta
berkata, “Apa pendapat kalian, suatu perkara yang sudah Allah inginkan untuk
terjadi, apakah ada seseorang dari manusia untuk menolaknya terjadi?” Mereka menjawab, “Tidak.” Mereka pun membaiat
setia sang pendeta dan tinggal bersamanya.
Pendeta berkata
kepada para sesdepuh Quraisy, “Demi Allah, siapakah penjaga anak ini?” Mereka
berkata, “Abu Thalib.” Dia pun terus bersumpah kepada Abu Thalib sehingga Abu
Thalib pun memulangkan Nabi saw., lalu mengutus Abu Bakar dan Bilal bersamanya.
Sang pendeta membekali beliau dengan ka’ak (sejenis biskuit) dan minyak. (HR.
Turmudzi).
Nabi Muhammad
saw, pun pulang dari perjalanan untuk kembali memulai kehidupan yang berat dan
bukanlah termasuk kebiasaan lelaki untuk duduk diam. Para Rasul sebelumnya juga
makan dari hasil jerih payah mereka dan bekerja dengan keahlian yang
bermacam-macam untuk membiayai hidup meraka.
Allah SWT Menjaga Nabi saw. Dari
Kotoran-Kotoran Kehidupan Jahiliah
Allah SWT. Telah
menjaga nabi-Nya saw., dari kotoran-kotoran ajaran jahiliah supaya seluruh
kehidupannya kelak putih bersih tidak ada noda sedikit pun. Sebab, dia akan
menjadi teladan bagi seluruh alam raya di setiap masa dan tempat.
Beberapa bukti
Nabi saw., dijaga Allah :
1. Salah satu
bukti Allah SWT menjaga Nabi saw., adalah Nabi saw., tidak tergerak hatinya
untuk melakujkan sebuah keburukan yang biasa orang-orang jahiliah lakukan.
Diriwayatkan dari
Ali bin Abu Thalib bahwa aku mendengar Rasulullah saw., bersabda , “Aku tidak
pernah berkeinginan melakukan suatu hal buruk yang dilakukan oleh orang-orang
jahiliah, kecuali hanya dua kali seumur hidupku. Allah menjagaku dari keduanya.
Suatu malam aku berkata kepada pemuda bersamaku di seuku Quraisy di perbukian
Makkah ketika menggembala kambing milik keluarganya, “Jagalah kambingku,
sementara aku akan begadang malam ini di Makkah seperti para pemuda lakukan.”
Dia menjawab, “Y/” Aku pun pergi dan aku tiba di rumah terjauh dari rumah-rumah
di Makkah. Aku mendengar nyanyian, suara kendang, dan seruling. Aku bertanya,
“Apakah ini?” Mereka menjawab, “Fulan menikahi Fulanah, seorang pria dari suku
Quraisy menikahi seorang wanita dari suku Quraisy.” Maka aku pun terlena dengan
nyanyian dan suara-suara tersebut hingga aku tertidur, tidak ada yang
membangunkanku, kecuali panasnya matahari. Aku kembali, kemudian temanku
bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Aku pun memberitahukannya.
Kemudian aku
berkata kepadanya pada malam yang lain seperti yang pertama, kemudian dia pun
melakukannya. Aku pergi dan mendengar hal yang sama, aku diberi tahu seperti
yang pertama kali. Aku terlena dengan apa yang aku dengar sampai aku tertidur.
Tidak ada yang membangunkanku selain panas matahari. Kemudian aku kembali
kepada temanku dan dia bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Aku menjawab, “Aku
tidak beruat apapun.” Rasulullah saw., bersabda, “Demi Allah, aku tidak
berkeinginan beruat buruk yang dilakukan orang-orang jahiliah setelah itu
hingga Allah memuliakanku dengan kenabian.”
2. Allah SWT
menjaga Nabi saw., dari kesyirikan dan penyembahan berhala.
Nabi saw., dijaga
Allah SWT dari kesyirikan jahiliah dan penyembahan berhala. Lalu, siapakah yang
lebih utama dengan kemuliaan ini daripada pembawa risalah suci yang ajarannya
sangat toleran dalam segi amaliah serta sangat tegas dalam hal kesucian tauhid
dan jauh dari kemusyrikan?
Imam Ahmad
meriwayatkan dalam musnadnya dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dia berkata,
“Seorang tetangga Khadijah memberitahuku bahwa dia mendengar baginda Nabi saw.,
berkata kepada Khadijah, “Wahai Khadijah, demi Allah aku tidak menyembah Latta
dan Uzza.”
3. Allah SWT
menjaga Nabi saw., tidak makan dari yang disembelih atas nama berhala.
Hal ini kebetulan
sama yang dilakukan oleh Zaid bin ‘Amr bin Nufayl.
Diriwayatkan
dalmAbdullah bin ‘Umar bahwa Nabi saw., bertemu Zaid bin ‘Amr bin Nufayl did
ataran rendah Baldah sebelum wahyu turun kepada Nabi saw. Kemudian ia
menyodorkan makanan kepada Nabi saw., tetapi beliau enggan untuk memakannya.
Kemudian Zaid berkata, “Sesungguhnya aku tidak memakan dari apa yang kalian
sembelih untuk berhala-berhala kalian dan aku tidak makan, kecuali apa yang
disebutkan nama Allah atasnya.” Sesungguhnya Zaid bin ‘Amr mencela suku Quraisy
atas sembelihan mereka dan berkata, “Kambing diciptakan oleh Allah, menurunkan
air dari langit untuknya, dan menumbuhkan tumbuhan di bumi baginya, kemudian
kalian menyembelihnya atas nama selain-Nya!?” Hal itu sebagai pengingkaran dan
betapa besar dosanya.
4. Bukti lain
bahwa Allah SWT menjaga Nabi sa., adalah taufik (kekuatan dari Allah) bagi Nabi
saw.m untuk melakukan wukuf di Arafah. Hal ini sebagai tindakan yang berbeda
atas apa yang dilakukan oleh kaumnya.
Nabi saw., juga
mendapatkan taufik (kekuatan dari Allah) untuk melakukan wukuf di Arafah,
sebagai tindakan yang berbeda atas apa yang dibuat oleh kaumnya, yakni al-Hums
(suku Quraisy juga dinamakan dengan al-Hums). Setan telah memperdaya mereka
dengan berkata, “Sesungguhnya jika kalian memujliakan hal-hal yang bukan haram
(mulia, agung) milik kalian, niscaya orang lain akan meremehkan hal-hal yang
haram bagi kalian.” Mereka tidak berwukuf di Arafah pada hari Arafah, padahal
semua orang berwukuf di sana. Dan Syariat Muhammad saw., setelah itu adalah
berwukuf di Arafah. Sebagaimana kalam Allah yang berbunyi, “Kemudian
bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah
ampunan kepada Allah ......” (QS. Al-Baqarah (2) : 199).
Diriwayatkan dari Muhammad bin Jubair dari
ayahnya (yakni jubair bin Mut’im) berkata, “Aku kehilangan unta milikku, maka
aku pergi mencarinya pada hari Arafah. Aku melihat Nabi saw., sedang melakukan
wukuf di Arafah, aku berkata, “Demi Allah, ini termasuk dari al-Hums, apa yang
dia lakukan di sini?”
5. Bukti lain
bahwa Allah SWT menjaga Nabi saw., adalah penjagaan Allah SWT dari terbuka
auratnya atau telanjang.
Diriwayatkan dari
Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Nabi saw, dan Abbas
pergi mengangkut batu. Abbas berkata kepada Nabi saw, “Angkat kainmu di atas
leher serta matanya melihat ke langit. Kemudian beliau sadar dan berkata,
“Kainku! Kainku! Lalu, kainnya diikatkan kembali kepadanya.”
Dalam lafal
Bukhari dan Muslim yang lain dari riwayat Zakariya bin Ishaq dari Amr bin Dinar
disebutkan, “Beliau melepas kainnya dan menjadikannya di atas pundak, lalu
beliau pingsan. Maka tidaklah Nabi saw, terlihat telanjang setelah itu.”
Demikianlah Nabi
saw, tumbuh dewasa dijaga dan dilindungi oleh Allah SWT dari kotoran-kotoran
jahiliah dan cela-celanya. Sebab, Allah SWT ingin memuliakan dan mengutusnya
hingga beliau masuk umur balig. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ishaq, “Beliau
adalah seorang lelaki yang terbaik harga dirinya di kaumnya, terbaik akhlak dan
termulia muamalahnya, tetangga yang terbaik, termulia perangainya, terpercaya
perkataannya, terbesar kejujurannya, terjauhkan dai kekejian
danperangai-perangai yang mengotori sifat kejantanan, serta dia orang yang
bersih dan mulia. Nama yang ada di kaumnya tidak lain adalah al-Amin (yang
dipercaya) karena Allah telah mengumpulkan dalam dirinya hal-hal yang terbaik.
Perang Al-Fijar
Di antara sekutu
Qays adalah ‘Aylan dan Tsaqif. Sedangkan sekutu Quraisy adalah suku al-Ahabisy.
Yang menjadi ketua dari suku Bani Hasyim adalaha az-Zubair bin Abdul Muthalib
dan yang berada bersamanya adalah saudara-saudaranya, yakni Abu Thalib, Hamzah,
dan Abbas. Pada setiap anak suku dari suku-suku Quraisy terdapat seorang ketua.
Mereka berperang di hari yang sangat dahsyat. Sebab, kehormatan Makkah telah
dinodai yang dulunya suci di kalangan bangsa Arab. Perang itu pun dinamakan
Perang al-Fijar (Yaumil Fijar). Hampir saja kekalahan di pihak Qais,
sampai-sampai sebagian kabilah mereka kalah. Akan tetapi, dapat diselematkan
oleh ajakan orang-orang yang menginginkan gencatan senjata dengan syarat
menghitung jumlah korban yang mati dari setiap kelompok. Barangsiapa yang
mendapati korbannya lebih banyak, dia akan mengambil denda yang lebih banyak.
Dikarenakan Qais mempunyai kelebihan sehingga mereka mengambil denda lebih
tersebut dari Quraisy. Harb bin Umayyah berjanji membayarnya dan menggadaikan
anaknya, Abu Sufyan, untuk melunasinya. Perang pun usai yang seringkali
menyerupai peperangan-peperangan bangsa Arab sebelumnya. Hingga Allah
menyatukan hati dan menyingkirkan kesesatan dari mereka dengan terpancarnya
cahaya Islam di antara mereka.
Ibu Hisyam
berkata, “Rasulullah saw, menyaksikan sebagian peperangan mereka, beliau keluar
bersama paman-pamannya. Rasulullah saw., bersabda, “Aku memberikan anak panah
kepada paman-pamanku dari anak panah musuh apabila mereka melemparkannya.
As-Suhayli berkata, “Hanya saja Rasulullah saw, tidak berperang bersama
paman-pamannya. Sebab, itu adalah Perang al-Fijar (menghalalkan kehormatan
Haram Makkah) dan mereka semua juga adalah orang-orang kafir.
Allah tidak
mengizinkan orang mukmin untuk berperang, kecuali untuk meninggikan agama
Allah.
Halfu Fudhul
Halful
Fudhul adalah sebuah petunjuk bagaimanapun hitamnya lembaran kehidupan dan
pahitnya keburukan, tidak akan kosong dari jiwa-jiwa yang tergugah oleh
kecerdasan berpikir dan terdorong pada pertolongan dan kebaikan.
Dalam kehidupan
jahiliah yang kosong, bangkitlah sejumlah laki-laki yang beruat kebaikan dan
berjanji di antara mereka untuk menegakkan keadilan dan memerangi kezaliman.
Mereka juga memperbaraui keutamaan-keutamaan di tanah Haram yang telah punah.
Fadhlullah
al-Jailani berkata, “Sembilan ketua anak suku dari Suku Quraisy berkumpul – di
antara mereka adalah Bani Hasyim, Bani Zuhrah, dan Bani Taym. Mereka berkumpul
di rumah Ibnu Jad’an beberapa masa sebelum tahun Gajah ketika Bani Abd Manaf
berusaha untuk mengeluarkan siqayah (tugas memberi minum para haji) dan Liwa
(tugas memegang panji perang) dan bani Abdud-Dar. Suku-suku tersebut melakukan
sebuah perjanjian untuk menyangkal hal itu. Ummu Hakim (putri Abdul Muthalib)
membawakan sebuah wadah berisikan minyak wangi. Mereka pun mencelupkan tangan
dan memukulkannya ke Ka’bah. Hal ini dinamakan sumpah Mutayyibin (orang yang
memakai wewangian) yang berjalan terus seperti itu, hingga datang seorang dari
Zabid ke Makkah membawa barang dagangan. Kemudian al-‘As bin Wail membelinya,
tetapi tidak mau membayarnya dan Zabid kalah darinya. Zabid berteriak meminta
tolong. Orang-orang pun berkumpul di rumah Abdullah bin Jad’an, yakni Bani
Hasyim, Bani Muthalib, Asad bin ‘Abdul-‘Uzza. Zuhrah bin Kilab, dan Taym bin
Murrah. Mereka sepakat untuk tdaik menjumpai seorang pun dari penduduk Makkah dan selain Makkah
yang terzalimi yang masuk ke sana. Kecuali, mereka bersamanya dan menjadi musuh
bagi yang menzalimi hingga mereka dapat mengembalikan haknya. Ini adalah sumpah
yang dibuat oleh orang-orang yang memakai wewangian. Rasulullah saw., tidak
menyaksikan mereka pertama kali dan beliau menyaksikan Halful Fudhul. Dinamika
Halful Fudhul karena orang-orang yang bersumpah tersebut memiliki nama al-Fadhl,
seperti al-Fadhl bin al-Haris, al-Fadhl bin Wada’ah, dan al-Fadhl bin Fudhalah.
Diriwayatkan dari
Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah saw, bersabda, “Aku menyaksikan sumpah
orang-orang yang memakai wewangian bersama paman-pamanku dan – aku seorang anak
muda – aku tidak suka sekiranya memiliki unta yang mahal dan aku melanggar
sumpah tersebut.”
Cahaya
kegembiraan dengan sumpah ini tampak dari ungkapan kata-kata yang diucapkan
oleh Rasulullah saw. Itu adalah kegairahan melawan orang zalim sekalipun sulit
dan bersama orang yang dizalimi sekalipun hina. Ini adalah inti dari Islam,
amar makruf nahi munkar. Orang yang berdiri dan berhenti tidak melampaui
larangan-larangan Allah. Tugas Islam adalah memerangi kezaliman dalam kehidupan
politik umat dan dalam urusan shalat individu ssecara bersama.
Pernikahan dengan Khadijah, r.a.
Ibnu Ishaq
berkata, “Khadhijah binti Khuwalid adalah seorang saudagar, wanita yang
bermartabat tinggi dan kaya raya. Dia mempekerjakan sejumlah laki-laki untuk
menjelankan hartanya dan menginvestasikan untuknya dengan upah yang dia berikan
kepada mereka. Adapun suku Quraisy adalah, kelompok saudagar.”
Berita perihal
Rasulullah saw., tentang kejujuran perkataannya, kebesaran amanahnya, dan
kemjuliaan akhlaknya sampai kepada Khadijah. Kemudian Khadijah mengutus utusan
dan menawarkan Muhammad untuk pergi membawa hartanya ke negeri Syam sebagai
seorang saudagar. Khadijah memberikan Muhammad harta terbaik yang belum pernah
dia berikan kepada orang lain, bersama seorang budak miliknya yang bernama
Maisarah. Rasulullah saw., pun menerima amanah itu dan pergi bersama budaknya
khadijah, Maisarah, hingga tiba ke negeri Syam.
Rasulullah saw,
berteduh di naungan sebuah pohon dekat gereja salah seorang rahib. Sang Rahib
pun mendatangi Maisarah dan berkata kepadanya, “Siapakah lelaki yang berteduh
di bawah pohon ini?” Maisarah menjawab, “Dia seorang lelaki dari suku Quraisy
penduduk Haram.” Sang Rahib berkata kepadanya, “Tidaklah berteduh di bawah
pohon ini, kecuali dia adalah seorang nabi.”
Kemudian beliau
saw, menjual dagangan yang dia bawa dan membeli apa yang ingin dia beli. Nabi
saw, pulang kembali ke Makkah bersama Maisarah. Apabila tengah hari tida, dan
terik matahari sangat panas, Maisarah – seperti sebagian ulama katakan –
melihat dua malaikat menaungi Nabi saw, dari terik matahari dan beliau saat itu
sedang naik untanya. Ketika tiba di Makkah dan ke tempat Khadijah dengan
membawa apa yang telah dibeli Nabi saw., Khadijah mendapatkan keuntungan yang
berlipat ganda atau hampir dua kali lipat.
Ketika Maisarah
bertemu Khadijah pun, Maisarah menceritakan perihal perkataan sang Rahib dan
apa yang dia saksikan tentang naungan dua malaikat di atasnya. Khadijah adalah
seorang wanita yang tegar, mulia, dan pintar, di samping kemuliaan yang akan
Allah berikan kepadanya.
Semua bukti dan
petunjuk telah terkumpul dalam diri khadijah bahwa Muhammad adalah penutup bagi
para nabi. Dia terus berharap untuk menjadi istri baginya, tetapi bagaimana
cara untuk sampai kepadanya?
Dia adalah
seorang wanita yang mulia dari garis keturunannya, kaya raya, serta terkenal
tegar dan kepintarannya. Sosok seperti
Khadijah menjadi incaran bagi para pemimpin suku Quraisy untuk dijadikan
pendamping hidup. Akan tetapi, Khadijah menganggap ada kehinaan dalam diri
sejumlah lelaki. Sebab, mereka adalah para pencari harta, bukan pencari
jatidiri sehingga pandangan mereka terhadap Khadijah hanya sebatas keinginan
untuk menguasai kekayaannya meskipun perkawinan itu adlah tanda akan ketamakan
ini.
Pandangan
tersebut akan sangat berbeda ketika Khadijah mengetahui Nabi saw. Dia melihat
sebagai sosok yang sangat berbeda dari kebanyakan lelaki. Menurutnya, Nabi
saw.m adalah seorang lelaki yang tidak terpedaya oleh kebutuhan (cinta
duniawi), bahkan lebih baik hidup fakir. Alasannya, Nabi saw, sering mendapati
dalam sebuah perniagaan terdapat kekikiran dan penipuan, hal inilah yang
membuat beliau tidak melulu memikirkan untuk mencari keuntungan. Sebab, Nabi
saw, adalah seorang lelaki yang memiliki kemuliaan yang tinggi, bisa bersikap
arif, dan tidak berlebihan. Beliau saw, pun tidak mencari-cari sesuatu hanya
demi harta dan kecantikan Khadijah. Nabi saw, telah menunaikan apa yang menjadi
tanggungannya dan pergi dengan kepuasan dan keikhlasan hati.
Khadijah Menemukan Hla yang Hilang dalam
Hidupnya
Dalam lautan
kebingungan dan perasaan tidak menentu itulah, datang teman Khadijah – Nafisah
binti Munabbih – duduk bersamanya dan bertukar cerita hingga akhirnya Khadijah
menyingkap rahasia terpendam dalam rangkaian ceritanya.
Nafisah
menenangkan kekhawatiran Khadijah dan perasaannya. Dia juga mengingatkan bahwa
Khadijah adalah seorang dari keturunan orang terpandang bernasab mulia, kaya
raya, dan cantik jelita. Nafisah mengatakan seperti itu karena bukti yang
tampak nyata bahwa banyak pelamar yang datang dari pemimpin-pemimpin Quraisy.
Tidak lama
kemudian setelah mendengar cerita Khadijah, Nafisah pun pergi dari sisi
Khadijah. Dia mendatangi Nabi saw, dan berbicara kepadanya untuk menikahi
Khadijah yang suci. Dia berkata, “Wahai Muhammad, apa yang mencegahmu untuk
menikah? Nabi saw, bersabda, “Aku tidak memiliki apa pun untuk menikah.”
Nafisah,
“Seandainya engkau dicukupi dan dilamar oleh seorang wanita yang memiliki
harta, kecantikan, kemuliaan, dan kafa’ah, apakah engkau akan menerima?”
Beliau menjawab dengan
nada penuh tanda tanya, “Siapa?”
Nafisah langsung
menjawab, “Khadijah binti Khuwalid.”
Beliau berkata,
“Jika dia setuju, aku menerimanya.”
Nafisah pun pergi
untuk mengabarkan berita gembira ini kepada Khadijah. Kemudian Nabi saw,
memberitahukan kepada para pamannya akan keinginanya untuk menikah dengan
Khadijah. Akhirnya, pergilah Abu Thalib, Hamzah, dan yang lainnya ke tempat
paman Khadijah --- ‘Amr ibn Asad – dan
melamar putri saudaranya untuk Nabi saw. Mereka juga membawa sejumlah mahar.
Dalam pertemuan
tersebut, Abu Thalib berdiri dan membacakan khotbah. Abul Abbas al-Mubarrad
menyebutkan bahwa Abu Thalib berkhotbah dengan khotbah penyerahan mahar. Dia
berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita dari keturunan
Ibrahim, anak cucu Ismail, keturunan Ma’ad dan Mudar, menjadikan kita penjaga
rumah-Nya dan mengurus tanah Haram-Nya. membuatkan untuk kita sebuah rumah yang
terjaga, tanah haram yang aman, dan menjadikan kita para pemimpin manusia.
Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak sama dengan
lelaki mana pun. Dia lebih baik karena kebaikan dan keutamaan, kemuliaan dan
kepintaran, serta kehormatan dan kecerdasan. Meskikpun dia tidak memiliki
banyak harta, ketahuilah sesungguhnya harta itu seperti bayangan yang akan
hilang, hal penghalang dan barang titipan yang diminta untuk dikembalikan.
Muhammad adalah seorang yang sudah kalian ketahui nasabnya. Dia telah melamar
Khadijah binti Khuwalid dengan memberikan apa yang dia miliki sekarang dan yang
akan datang dari hartaku sebanyak dua puluh bakrah (gilungan emas).”
Dalam riwayat
yang lain disebutkan, “Dan dia telah memberikan mahar untuknya sebanyak dua
belas setengah auqiyah emas.”
Kemudian Abu
Thalib berkata, “Demi Allah, setelah ini dia mempunyai berita yang besar dan
bahaya yang dahsyat, jadi kawinkanlah dia.”
Ketika akad sudah
selesai, unta-unta pun disembelih dan dibagikan kepada fakir miskin. Rumah
Khadijah pun dibuka untuk sanak saudara.
Dalam riwwayat
Ibnu Abbas r.a. Rasulullah saw, menceritakan tentang Khadijah bahwa ayah
Khadijah enggan mengawinkan putrinya dengan beliau saw. Kemudian Khadijah
membuat makanan dan minuman, lalu mengundang ayahnya dan sejumlah orang dari
Quraisy. Mereka pun makan dan minum hingga tak sadarkan diri (mabuk). Khadijah
berkata kepada ayahnya, “Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah melamarku, maka
kawinkan aku dengannya.” Sang ayah pun mengawinkan Khadijah Khadijah dengan
beliau saw. Khadijah pun memberikan ayahnya minyak wangi dan memakaikan pakaian
indah, sebagaimana yang biasa mereka lakukan kepada orang tua ketika
anak-anaknya menikah. Ketika sang ayah sadarkan diri, dia melihat dirinya sudah
berminyak wangi dan memakai pakaian bagus. Dia bertanya, “Ada apa dengan
Muhammad bin Abdullah?” Dia berkata, “Aku menikahkan anak yatimnya Abu Thalib?
Tidak, demi Allah.” Khadijah berkata, “Apakah kamu tidak malu? Kamu ingin
menjelekkan dirimu di hadapan Quraisy dan mengatakan kepada orang-orang bahwa
saat itu aku sedang mabuk?” Khadija terus menerus mengingatkan hal tersebut
hingga akhirnya sang ayah pun rela.
Khadijah menjadi seorang istri yang setia
dalam cintanya serta seorang ibu yang penuh kasih sayang dan kebaikan.
Khadijah yang
suci saat itu berumur empat puluh tahun, usia sempurna seorang wanita.
Sedangkan Nabi saw., dalam kesempurnaan umur pemuda yakni dua puluh lima tahun.
Poisisi Khadijah r.a.
Beberapa hadits
menjelaskan posisi Khadijah r.a. di sisi Allah dan Rasulullah saw. :
1. Diriwayatkan
dari Ibu Abbas, dia berkata, “Rasulullah saw, membuat garis di tanah sebanyak
empat garis, beliau berkata, “Tahukah kalian, apakah ini? Para sahabat
menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.’ Maka Rasulullah saw, bersabda,
“Wanita termulia dari penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwalid, Fatimah
binti Muhammad, Aisyah binti Muzahim istri Fir’aun, dan Masyam binti ‘Imran.
Semoga Allah medihai mereka semua.”
2. Diriwayatkan
dari Anas r.a. bahwasanya Nabi saw, bersabda, “Cukuplah kamu ketahui bahwa
wanita termulia sealam raya adalah Maryam binti ‘Imran. Khadijah binti
Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, dan Aisyah istri Fir’aun.”
3. Diriwayatkan
dari az-Zuhri, dia berkata, “Rasulullah saw, tidak menikah di atas ikatan
pernikahan Khadijah hingga di awafat.”
4. diriwayatkan
dari Anas, dia berkata, “Jibril datang kepada Nabi saw, dan di sampingnya ada
Khadijah. Dia berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan salam untuk Khadijah.”
Khadijah berkata, “Sesungguhnya Allah adalah as- Salam (Kesejahteraan), atas Jibril
kesejahteraan, dan atasmu kesejahteraan, serta rahmat Allah dan
keberkahan-Nya.”
Mari kita
bayangkan bagaimana seorang perempuan beriman seperti ibunda kita Khadijah r.a.
yang Allah utus Jibril untuk mengirimkan salam baginya. Di sisi lain kita juga
mendapati bagaimana kecerdasan dan adab Khadijah ketika dia berkata,
“Sesungguhnya Allah adalah kesejahteraan.” Tidak berkata, “Atas Allah
kesejahteraan.”. Sungguh derajat tinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan
dunia beserta isinya.
5. Diriwayatkan
dari Aisyah, r.a. dia berakta, “Aku tidak cemburu kepada istri-istri Nabi saw,m
kecuali kepada Khadijah dan aku tidak menemuinya.” Aisyah melanjutkan, “apabila
Rasulullah saw., menyembelih kambing, beliau akan berkata, “Kirimkan
sebagiannya kepada teman-teman Khadijah.” Aku pun membuatnya marah dengan
berkata, “Khadijah!. Kemudian Rasulullah saw, bersabda, “Sungguh, aku telah
diberikan cintanya.”
Alangkah
tingginya kata-kata tersebut, yang tersimpan ungkapa-ungkapan yang manis penuh
rasa malu, tercermin dari kecantikannya, “Sungguh, aku telah dikarunia
cintanya.” Seakan-akan kecintaannya kepada Khadijah r.a. adalah karunia yang
Allah berikan kepadanya.
Ada sebuah hadits
yang menggambarkan realita yang nyata karena kemuliaan yang Allah SWT berikan
kepada Khadijah r.a. di surga. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Dia berkata,
“Jibril mendatangi Nabi saw., dan bekata, “Wahai Rasululla, itu adalah Khadijah
sedang datang membawa wadah berisi lauk, makanan, atau minuman. Apabila dia
mendatangimu, ucapkanlah salam atasnya dari Tuhannya dan dariku, dan berikan
dia kabar gembira dengan sebuah rumah di surga dari bambu, tidak ada suara
teriakan dan keletihan di dalamnya.”
Nabi saw. Ikut Serta Membangun Ka’bah
Allah SWT
berkalam, “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia,
ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi seluruh alam, “ (QS. Ali ‘Imran (3) : 96).
Diriwayatkan dari
Abu Dzar, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw., tentang masjid
yang pertama dibangun di atas bumi. Beliau bersabda, “Masjidil Haram.” Aku
bertanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Masjidil Aqsa.” Aku bertanya
kembali, “Berapa jarak waktu pembangunan antara keduanya?” Beliau menjawab,
“Empat puluh tahun, kemudian bumi adalah masjid bagimu, kapan pun kalian masuk
waktu shalat, shalatlah karena sesungguhnya keutamaan ada di dalamnya.”
Ulama berbeda
pendapat dalam menentukan siapa yang pertama kali membangun Ka’bah. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali membangunnya adalah
malaikat. Ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali membangunnya adalah Nabi
Adam, a.s. Ada juga yang mengatakan bahwa yang pertama kali membangun adalah
Nabi Ibrahum dan Ismail a.s.
Adapun pendapat
yang rajih (kuat) adalah Ka’bah sudah ada sebelum Nabi Ibrahim dan Ismalil,
tetapi hancur dan hanya tersisa fondasi-fondasinya. Kemudian yang meninggikan
fondasi-fondasinya tersebut adalah Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. Sebagaimana
Allah berkalam, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah
bersama Ismail, (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh
Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2) :127).
Ka’bah ---
sebelum diutusnya baginda Nabi saw. --- hanpir runtuh. Ada yang mengatakan
bahwa hal itu disebabkan kebakaran, ada yang mengatakan karena banjir bandang,
yang terjadi lima tahun sebelum diutusnya Nabi saw., menurut pendapat yang
rajih.
Kemudian kaum
Quraisy terpaksa memperbaruinya untuk menjaga eksistensinya. Mereka sepakat
untuk tidak memasukkan dalam pembangunannya, kecuali yang baik. Mereka pun
tidak memasukkan uang prostitusi, jual beli riba, atau harta hasil menzalimi
seseorang. Mereka sangat takut untuk menghancurkannya. Namun, ketika al-Walis
bin Mugirah al-Makhzumi melakukan penghancuran dan diikuti oleh orang-orang,
ternyata mereka melihat tidak terjadi apa-apa. Akhirnya, mereka terus
menghancurkan hingga sampai pada fondasi Nabi Ibrahim
Kaum Quraisi
ingin memulai pembangunan dan membagikan setiap kabilah bagian dari Ka’bah.
Setiap kabilah mengumpulkan batu masing-masing dan mulai membangunnya. Orang
yang menjadi arsitek pembangunan adalah seorang dari Romawi, bernama Baqum.
Ketika pembangunan sudah sampai pada bagian Hajar Aswad, mereka berselisih
siapa yang mendapatkan keistimewaan dan kemuliaan meletakkan Hajar Aswad pada
tempatnya. Perselisihan pun terus terjadi selam empat hingga lima malam dan
makin memanas, sampai-sampai hampir berubah menjadi peperangan di tanah haram.
Akhirnya, Abu Umayyah bin al-Mugirah al-Makhzumi menawarkan kepada mereka untuk
menjadikan hakim di antara mereka adalah orang yang pertama kali masuk dari
pintu masjid. Mereka pun rela dengan tawaran ini. Allah pun berkehendak untuk
menjadikan orang tersebut adalah Rasulullah saw. Ketika mereka melihatnya,
mereka berbisik, “Ini adalah al-Amin, kami rela atasnya, ini adalah Muhammad.”
Ketika Nabi
Muhammad saw, sampai kepada mereka, lalu mereka menceritakan kisah mereka.
Beliau pun meminta sebuah rida (kain sejenis selendang) dan beliau meletakkan
batu di tengahnya. Beliau meminta kepada pembesar-pembesar kabilah yang
berselisih memegang ujung-ujung kain tersebut dan memerintahkan mereka untuk
mengangkatnya. Ketika mereka telah sampai ke tempatnya, beliau mengambil dengan
tangannya dan meletakkan pada tempatnya.
Dirieayatkan dari
Ali, dia berkata, “Ketika mereka (orang-orang Quraisy) ingin mengangkat hajar
Aswad, mereka berselisih. Mereka berkata, “Yang menghakimi kita adalah orang
yang pertama kali keluar dari jalan ini.” Dan Rasulullah saw., adalah orang
yang pertama keluar mendatangi mereka. Kemudian mereka meletakkan batu di atas
kain dan semua kabilah mengangkatnya. Pada waktu itu Rasulullah saw., masih muda – yakni sebelum diutus
menjadi nabi.”
Dalam riwayat
yang lain, Ali berkata, “Ketika mereka melihat Nabi saw., telah masuk, mereka
berkata, “Telah databng kepada kita al-Amin.”
Dalam versi yang
lain disebutkan bahwa diriwayatkan dari at-Tufail melihat Nabi saw, dia berkata, “ka’ba di zaman
jahiliah dibangun dengan batu dan tingginya sekitar tinggi yang dapat diraih
oleh kambing berumur, tidak beratap, dan hanya diletakkan kain di atasnya, lalu
diuraikan dari atasnya. Sisi Hajar Aswad diletakkan di atas dindingnya untuk
menghormatinya dan Ka’bah itu mempunyai dua pojok sepertki lingkaran.
Sebuah kapal dari
negeri Romawi datang. Ketika hampir sampai di Jeddah, kapal tersebut karam.
Orang-orang Quraisy keluar untuk mengambil kayu-kayunya. Mereka mendapati
seorang Romawi berada di sana. Mereka mengambil kayu yang dia berikan kepada
mereka. Kapal tersebut sebenarnya ingin berlabih di Habasyah (Etiopia), orang
Romawi yang berada di kapal tersebut adalah seorang tukang kayu. Mereka pun
kembali dengan orang Romawi tersebut. Orang-orang Qutaisy berkata, “Kita bangun
dengan kayu yang ada di kapal rumah tuhan kita.”
Ketika mereka
ingin menghancurkannya, tiba-tiba mereka mendapati seokor ular di atas dinding
Ka’bah seperti anak sungai. Punggungnya berwarna hitam dan pertunya berwarna
putih. Setiap kali salah seorang mendekati Ka’bah untuk menghancurkannya atau
mengambil batunya, ulat tersebut akan mendekatinya dan membuka mulutnya.
Orang-orang
Quraisy berkumpul di maqam Ibrahim dan berdoa kepada Allah SWT, “Wahai Tuhan
kami, janganlah engkau takut, kami ingin memuliakan rumahmu. Jika engkau ridha
dengannya, biarkanlah. Jika tidak, perbuatlah apa yang engkau suka.”
Mereka mendengar
pekik dari langit dan keluarlah seekor burung dengan punggung berwarna hitam,
perut dan kaki berwarna putih, lebih besar daripada manusia. Ia pun menancapkan car-cakarnya ke dalam kepala ular
hingga akhirnya dia pergi menarik ekornya dengan erat sampai terjatuh. Ia
terbang menuju Alyad. Orang-orang Quraisy pun menghancurkannya. Mereka mulai
membangun dengan batu dari lembah yang mereka pikul di atas pundak-pundak
mereka. Mereka meninggikan Ka’bah sebanyak dua puluh hasta.
Ketika Nabi saw,
sedang mengangkat batu dari Alyad dan beliau memakai kain bercorak garis-garis,
kain tersebut hampir terlepas darinya. Beliau pun meletakkannya di atas pundak
sehingga auratnya terliaht dari sela-sela kain. Beliau dipanggil, “Wahai
Muhammad, tutuplah auratmu.” Beliau pun tidak pernah terlihat auratnya lagi
setelah itu. Beliau mengira bahwa jarak antara pembangunan Ka’bah dan turunnya
wahyu adalah lima tahun, sedangkan antara kelahiran beliau dan pembangunan
Ka’bah adalah lima belas tahun.
Diriwayatkan dari
Jabir binAbdullah r.a. dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw, memindahkan
batu bersama mereka untuk Ka’bah dan
beliau memakai kainnya. Abbas, pamannya berkata kepada beliau, “Wahai
keponakanku, sekiranya kamu membuka kainmu dan meletakkannya di atas pundakmu
untuk menjaga dari batu.” Beliau pun melepaskannya dan menjadikannya di atas
pundak. Namun, beliau pingsan dan tidak pernah terlihat lagi beliau telanjang
setelah hari itu.
Diriwayatkan dari
Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw, berkata kepadanya, “Tidak kamu lihat bahwa
kaummu ketika membangun Ka’bah, mereka mencukupkan sampai fondasi Ibrahim saja.
Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengembalikannya pada
fondasi Ibrahim?” Beliau bersabda, “Sekiranya tidak ada perbuatan baru yang
mereka buat dengan kekufuran, niscaya aku lakukan.”
Abdullah r.a.
berkata, “Sekiranya Aisyah mendengar ini dari Rasulullah saw, aku tidak melihat
beliau tidak mengangkat tangan pada dua rukun setelah hajar, hanya saja Ka’bah
belum sempurna seperti pada fondasi Ibrahim.”
Mentari Kenabian Terbir di Jazirah Arab
Ketika umur
Muhammad hampir empat puluh tahun, beliau diberi kecintaan oleh Allah untuk
menyendiri. Muhammad meninggalkan Makkah setiap tahun untuk menghabiskan bulan
Ramadhan di Gua Hira, gua yang jaraknya beberapa mil dari kampung terjauh dari
Makkah. Gua ini berada di puncak sebuah gunung dari gunung-gunung yang menjorok
ke Makkah, tidak ada kata-kata kosong manusia dan perbincangan mereka yang
batil. Suasana yang sangat sunyi di atas puncaknya gunung yang menjulang
tinggi. Muhammad membawa bekal untuk
malam-malam yang panjang, kemudian memutus hubungan dengan manusia dan
memfokuskan hatinya yang penuh rindu kepada Tuhan semesta alam. Di dalam gua
yang menakutkan dan tertutup ini, sesosok jiwa yang besar sedang melihat jauh
dari ketinggiannya terhadap segala yang bergolak di dunia, seperti fitnah,
kegilaan, kezaliman, dan keterpurukan. Beliau termenung karena perasaan
sedih yang mendalam dan kebingungan,
tidak tahu jalan untuk keluar darinya dan tidak tahu solusi baginya.
Di dalam gua yang
jauh ini, sepasang mata mengintai sedang berusaha meninjau kembali pusaka para
pembawa hidayah terdahulu, yakni para rasul Allah SWT. Dia seperti seorang
penambang yang memakai penutup kepala yang tidak dapat mengekspoitasi logam
mulia darinya, kecuali setelah usaha keras, terkadang tanah bercampur dengan
emas dan tida ada manusia yang dapat memisahkannya.
Di dalam Gua Hira ini, Muhammad saw.,
beribadah, memoles hatinya, membersihkan jiwanya, serta mengupayakan dirinya
dekat pada kebenaran dan jauh dari kebatilan. Hingga sampai pada derajat
kesucian yang tinggi, terpantul darinya cahaya hal-hal gaib pada kehidupannya
yang nyata sehingga tidaklah beliau melihat sebuah mimpi, kecuali ia nyata
seperti cahaya pagi hari.
Permulaan Wahyu
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. dia berkata, “Diturunkan wahyu kepada Nabi saw., ketika beliau
berumur 40 tahun, di Makkah selama 13 tahun dan di Madinah selama 10 tahun.
Beliau wafat ketika berumur 63 tahunb.
Diriwayatkan dari
hadits Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw., berkata kepada Khadijah r.a.,
“Sesungguhnya aku melihat cahaya dan mendengar suara, aku takut diriku terkena
gila.” Khadijah berkata, “Allah tidak akan berbuat demikian kepadamu, wahai
putra Abdullah.” Kemudian Khadijah mendatangi Waraqah bin Naufal dan menceritakan
kejadian itu kepadanya. Waraqah berkata, “Jika memang dia berkata benar,
sesungguhnya itu adalah Namus (Malaikat Jibril), seperti Namus yang datang
kepada Musa. Jika dia diutus dan aku masih hidup, aku akan memuliakan dan
menolongnya seeta beriman kepadanya.”
Diriwayatkan dari
Aisyah r.a., dia berkata, “Pertama kali Rasulullah saw., diberi wahyu adalah
mimpi yang nyata di dalam tidur”. Tidaklah beliau melihat sebuah mimpi, kecuali
ia datang seperti cahaya terang di pagi hari, kemudian beliau menyendiri dan
mengasingkan diri di Hua Hira serta beribadah di sana (bermalam-malam) sebelum
kembali ke keluarganya dengan membawa bekal. Beliau pulang kembali kepada
Khadijah dan mengambil bekal, hingga wahyu datang kepadanya dan beliau sedang
di Gua Hira.
Datanglah malaikat
kepadanya dan berkata, “Bacalah!”. Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”.
Nabi saw., berkata, “Dia pun meraihd an mendekapku sampai aku sesak, kemudian
melepaskanku.” Jibril berkata, “Bacalah!”. Aku (Nabi saw.) menjawab, “Aku tidak
dapat membaca.”. Dia pun meraih dan mendekapku untuk kedua kalinya sampai aku
merasa sesak, kemudian melepaskanku. Dia berkata, “Bcalah!” Aku menjawab, “Aku
tidak dapat membaca.” Dia pun meraih dan mendekapku untuk ketiga kalinya,
kemudian melepaskanku. Dia berkata, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Mahamulia.” (QS. Al-‘Alaq) (96) : 1-3).
Akhirnya
pulanglah Rasulullah saw., bersama ayat tersebut dengan hati berdebar-debar.
Beliau masuk ke kmar Khadijah binti Khuwalid dan berkata, “Selimuti aku!”
Kemudian Khadijah pun menyelimutinya hingga rasa takut tersebut hilang dari
diri beliau. Kemudian berkata kepada Khadijah tentang peristiwa yang menimpa
diri beliau, “Aku takut atas diriku.”
Kemudian
berkatalah Khadijah, “Sekali-kali tidak, demi Allah. Dia tidak akan pernah
menghinakanmu karena sesungguhnya engkau menyambung tali silaturahmi, membantu
orang-orang lemah, memberi orang yang tidak punya, dan memuliakan tamu. Kamu
tidak akan tertimpa hal buruk karena dalam dirimu terdapat akhlak dan perangai
mulia.”
Khadijah pun
pergi bersama beliau menuju Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza (anak
paman Khadijah). Dia adalah seorang Nasrani di masa Jahiliah dan menulis naskah
Arab dan Injil dengan bahasa Arab dalam jumlah yang cukup banyak. Dia sudah
sangat tua dan buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarlah
ini dari anak saudaramu!”
Waraqah berkata
kepada Nabi saw., “Wahai anak saudaraku, apa yang kamu liha\t?” Rasulullah saw.
Pun menceritakan kepadanya apa yang beliau lihat. Waraqah berkata kepada
beliau. “Ini adalah Namus (Jibril) yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa,
seandainya di saat itu (ketika Nabi saw., diutus menjadi Nabi), aku adalah seorang
pemuda yang kuat, seandainya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.”
Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Dia menjawab,
“Ya, tidak ada seorang pun yang membawa apa yang engkau bawa, kecuali dia
dimusuhi. Seandainya aku mendapatkan hari itu, niscaya aku akan emnolongmu
dengan pertolongan sekuat tenagaku.” Tidak alam dari peristiwa ini, Waraqah pun
meninggal dunia dan wahyu pun berhenti.
Duka Baginda Nabi saw. Karena Terhentinya
Wahyu
Diriwayatkan dari
Jundub bin ‘Abdullah al-Bajali r.a. dia berkata, “Rasulullah bergundah gulana
sehingga tidak melakukan apa-apa, satu malam, dua malam, hingga tiga malam.
Berkatalah seorang perempuan, “Tidaklah aku melihatmu kecuali setanmu telah
meninggalkanmu.” Kemudian Allah menurunkan kalam-Nya. “Demi waktu Dhuha (ketika
matahari naik sepenggalan), dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak
meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.” (QS. Adh-Dhuha
(93) : 1-3).
Diriwayatkan dari
Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari, dia berkata, “Rasulullah saw., bercerita
tentang masa terhentinya wahyu, “Ketika aku sedang berdiri, aku angkat kepalaku
ke langit, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangiku di Gua Hira sedang
duduk di atas kursinya yang berada antara langit dan bumi.” Rasulullah saw.,
melanjutkan, “aku pun terkejut ketakutan. Aku pun pulang dan berkata kepadea
Keluargaku. “Selimuti aku, selimuti aku, seilmuti aku.” Allah pun menurunkan
Kalam-Nya, “Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah
peringatan! Da agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan
tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji.” (QS. Al-Muddatsir (74) : 1 – 5).
Bagaimanakah Wahyu Datang kepada Rasulullah
saw.?
Imam Ibnul Qayyim
telah menyebutkan tingkatan-tingkatan wahyu yang turun kepada Nabi saw., dia
berkata, “Dan Allah telah menyempurnakan bagi beliau tingkatan-tingkatan
wahyu.”
Pertama, Mimpi yang nyata. Ini adalah permulaan wahyu Nabi saw. Beliau
tidaklah melihat sebuah mimpi, kecuali ia datang seperti terangnya sinar pagi.
Kedua, bisikan hati
yang ditiupkan oleh Malaikat de dalam hati, beliau tanpa melihat wujudnya,
sebagaimana sabda Nabi saw., “SesungguhnyaJibril berbisik ke dalam hatiku bahwa
sesuatu yang bernyawa tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya.
Maka bertakqalah kepada Alalh dan baguskanlah dalam meminta. Janganlah
keterlambatan rezeki membuat kalian memintanya dengan bermaksiat kepada Allah.
Sebab, sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah itu tidak dapatkan, kecuali
dengan ketaatan kepada-Nya.
Ketiga, malaikat berubah wujud seorang lelaki di hadapan beliau dan
berbincang-bincang dengannya sampai beliau hafal semua yang dikatakan
kepadanya. Dalam tingkatan semacam ini terkadang para sahabat pun melihatnya.
Keempat, wahyu datang seperti dentang lonceng. Hal seperti ini yang
terberat bagi beliau. Wahyu masuk ke dalam hatinya sampai-sampai kening beliau
bercucuran keringat walau pun saat itu berada di musim dingin, bahkan
sampai-sampai kendaraannya terdududk di atas bumi ketika beliau menaikinya.
Wahyu juga penah datang seperti itu. Paha beliau berada di atas paha Zaid bin
Tsabit dan menjadi berat di atasnya sehingga hampir menghancurkannya.
Kelima, beliau melihat malaikat dalam wujud aslinya diciptakan malaikat
menyampaikan wahyu yang Allah wahyukan kepadanya. Hal ini terjadi kepada beliau
dua kali, sebagaimana yang Alalh sebutkan dalam kalam-Nya di QS an-Najm (53) :
7 dan 3).
Keenam, wahyu yang Allah berikan kepada beliau di atas langit pada mala
Sira’ Mi’raj, yaitu kewajiban shalat dan lainnya.
Ketujuh, wahyu Allah yang langsung diberikan kepada beliau tanpa
perantara, seperti Allah berbicara kepada Musa bin ‘Imran. Tingkatan ini
benar-benar terjadi kepada Musa
berdasarkan Al-Qur’an dan kebenarannya bagi Nabi saw., berdasarkan
hadits tentang Isra’ Mi’raj.
Kedelapan, Allah berkalam kepada beliau secara tatap muka tanpa ada hijab
penghalang. Hal ini menurut pendapat mereka yang mengatakan bahwa Nabi saw.,
melihat tuhannya. Tahapan ini merupakan sebuah masalah yang diperdebatkan
antara ulama salaf dan sekarang.
Nabi saw. Melihat Sebuah Surga (atau Dua
Surga) Kepunyaan Waraqah bin Naufal
Diriwayatkan dari
Aisyah r.a. dia berkata, “Rasulullah saw., bersabda, “Jangan kalian caci maki
Waraqah karena sesungguhnya aku melihat sebuah atau dua buah surga miliknya.”
Diriwayatkan dari
Aisyah bahwa Khadijah bertanya kepada Nabi saw., tentang Waraqah bin Naufal,
beliau bersabda, “Aku telah melihatnya dan kau melihatnya memakai pakaian
putih. Aku mengira seandainya dia termasuk penghuni neraka maka tidak akan memakai
pakaian berwarna putih.”
Fase-Fase Dakwah Islam dalam Kehidupan Nabi
saw.
Fase dakwah Islam
Nabi Muhammad saw. Sejak awal diutusnya hingga beliau wafat dilalui dengan
empat tahapan.
1. Dakwah secara
diam-diam, Hal ini berlangsung selama tiga tahun.
2. Dakwah secara
terang-terangan dan hanya dengan lisan saja. Hal ini berlangsung hingga Hijrah.
3. Dakwahs ecara
terang-terangan disertai peperangan melawan orang-orang yang memulai peperangan
atau kejahatan. Hal ini berlangsung hingga Perjanjian Hudaibiyah.
4. Dakwa secara
terang-terangan disertai peperangan melawan setiap orang yang menghalangi
dakwah atau tidak mau masuk Islam (setelah diajak untuk masuk Islam), yaitu
orang-orang Musyrik da ateis. Fase inilah yang akhirnya membuat syariat Islam
dapat tegak dan hukum berjihad dapat dilaksanakan dalam Islam.
Fase Dakwah secara Diam-Diam
Slogan Islam
mulai tersebar di Makkah dan bereaksi dalam orang-orang yang berhati besar
sehingga dengan sifap mereka menghilangkan kejahilan dalam diri mereka dan
menggantinya dengan memeluk agama yang baru. Ayat-ayat Al-Qur’an turun pada
hati-hati yang memiliki benih-benih iman, seperti hujan yang turun ke atas
tanah yang subur.
..... Kami
turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan
menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah. (QS. Al-Hajj (22) :
5).
Para pemilik
keyakinan berkumpul – dengan penuh hati-hati – membahas keyakinan mereka.
Mereka berkerumun (penuh rasa cinta dan kagum) di sekitar pemimpin mereka dan
menerangkan dengan penuh waspada filosofi nalar mereka.
Iman adalah
kekuatan yang menyihir. Apabila sudah mengakar di antara dahan-dahan hati dan
masuk ke dalam inti pohonnya, hampir dapat membuat yang mustahil menjadi
mungkin.
Kemajuan dakwah
secara diam-diam terus berlangsung selama tiga tahun, kemudian turun wahyu yang
memerintahkan Rasulullah saw., menghadapi kaumnya dan menentang kebatilan
mereka untuk melawan berhala secara terang-terangan.
Hikmah yang Agung
Makkah adalah
pusat agama bagi bangsa Arab. Di sana terdapat para penjaga Ka’bah dan pengurus
berhala serta patung-patung yang disakralkan oleh seluruh bangsa Arab. Untuk
sampai pada tujuan memperbaikinya, akan menjadi makin sulit seadainya tidak
mengambil jarak dari hal-hal tersebut. Oleh karena itu, dakwah memerlukan tekad
kuat yang tidak dapat digoyahkan oleh cobaan dan marabahaya. Begitu juga,
sesuatu hal yang bijaksana bahwa dakwah di permulaannya dilakukan secara
diam-diam supaya tidak membuat kaget penduduk Makkah dengan hal yang
mencengangkan mereka.
Generasi Pertama
Sangat manusiawi
jika Rasulullah menawarkan Islam untuk pertama kali kepada orang-orang
terdekat, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Beliau mengajak mereka pada Islam
dan mengajak setiap orang yang terdapat dalam dirinya tanda kebaikan, yaitu
orang yang beliau kenal atau mereka mengenal beliau. Nabi saw., mengenalkan
mereka dengan kecintaan kepada Allah serta perbuatan jujur dan kebaikan. Mereka
yang menerima ajakannya adalah orang-orang yang tidak ada sedikit pun
keragu-raguan dalam diri mereka akan keagungan, kemuliaan jiwa,d an kebenaran
perkataan Rasulullah saw.
Sekelompok orang
yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Assbiqunal Awwalun (orang-orang yang
pertama masuk Islam). Yang berada paling depan adalah lingkup keluarga beliau :
1. Istri Nabi
saw., Ummul Mukmin Khadijah binti Khuwalid.
2. Budak beliau,
Zaid bin Harisah, dan
3. Keponakan
beliau, Ali bin Abu Thalib (saat masih kecil dan hidup di bawah penjagaan
Rasulullah saw.).
Kemudian Nabi
saw., mengajak sahabatnya yang paling terpercaya menjaga rahasianya, yaitu,
“...... sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam
gua ......” (QS. At-Taubah (9) : 40).
Dialah Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. yang tidak ragu-ragu lagi masuk Islam. Dialah da’i pertama
dalam Islam. Berkat keislaman dan dakwahnya, sejumlah orang masuk Islam dan
merekalah orang-orang yang masuk Islam pertama kali. Mereka pula yang paling
banyak berkorban dan mendapatkan ujian dalam Islam. Semoga Allah memberikan
keridhaan-Nya kepada mereka. Mereka adalah :
1. Utsman bin
Affan (Dzun Nurain/pemilik dua cahaya karena menikahi dua putri Nabi saw.).
2. Zubair bin
al-‘Awwam, yaitu Hawari (orang dekat).
3. Anak bibi Nabi
saw., yaitu Safiyyah binti Abdul Muthalib.
4. Abdur Rahman
bin ‘Auf.
5. Sa’ad bin Abi
Waqqas, paman Nabi saw., dari garis Ibunda, dan
6. Thalhah bin
Ubaidillah
Mereka semua
masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar. Mereka termasuk ke dalam kelompok
al-“asyrah al-mubasysyarin (sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga).
Ketika orang-orag
masuk Islam bertambah hingga berjulah tiga puluh (laki-laki dan perempuan),
Rasulullah memilih rumah salam seorang dari mereka untuk tempat berkumpul
bersama demi kepentingan pengarahan dan pelajaran, yaitu rumah al-‘Aeqam bin
Abil Arwam.
Mereka masuk
Islam secara diam-diam dan Rasulullah saw., berkumpul bersama mereka untuk
memberikan pengarahan tentang urusan agama secara diam-diam juga. Sebab, saat
itu dakwah masih secara individu dan rahasia. Wahyu turun berkesinambungan dan
makin hanyat setelah turunnya awal Surah al-Muddatstsir.
Ayat-ayat dan
potongan surat yang turun pada masa ini memilki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pendek.
2. Memiliki ritme
yang menakjubkan.
3. Irama yang
tenang dan “menyihir” yang selaras dengan kondisi yang senyap dan sepi.
4. Terkandung di
dalamnya penyucian jiwa dan kejelekan mengotorinya dengan hal-hal duniawi.
5. Menceritakan
surga dan neraka seakan-akan ada di depan mata mengalir bersama orang-orang
mukmin dalam situasi berbeda yang tidak dialami oleh masyarakat manusia pada
saat itu.
Dari sini perlu
diketahui bahwa metode dakwah Nabi saw., dalam masa ini termasuk dari siyarah
syar’iyyah (politik keagamaan) dengan posisinya sebagai seorang imam
(pemimpin), bukan termasuk dari tugas tablig (penyampai) wahyu dari Allah
dengan posisinya sebagai seorang nabi.
Atas dasar ini,
para da’i Islam di setiap zaman boleh berkonsep fleksibel dalam proses dakwah,
yaitu dari diam-diam dan terang-terangan, lemah lembut dan keras, dan
dikondisikan menurut situasi dan kondisi zaman yang mereka hidup di dalamnya.
Ini adalah fleksibilitas yang digariskan oleh syariat Islam yang berdasarkan
realita kehidupan Nabi saw. Termasuk konsep atau fase empat di atas, dengan
catatan segalanya melihat pada kemaslahatan muslimin dan dakwah Islam.
Para fuqaha
berjimak bersama apabila kaum muslimin berjumlah sedikit atau dalam keadaan
lemah sekiranya hampir dipastikan mereka akan dibunuh tanpa ada perlawanan dan
melukai musuh sedikit pun sekiranya mereka sepakat untuk berperang, harus
didahulukan maslahat menjaga nyawa (hifzhun-nafs). Sebab, maslahat yang
berhadapan dengannya adalah maslahat menjaga agama (Hifzhud-din), dan ini masih
diragukan, bahkan dinafikan.
‘Izzuddin bin
Abdussalam menegaskan bahwa haram hukumnya terjun ke dalam jihad yang semacam
ini. Dia berkata, “Apabila tidak mungkin terjadi kemenangan atas musuh, maka
wajib mengalah. Sebab, kehilangan nyawa disertai kegirangan musuh-musuh Islam
dan pastinya akan melukai hati orang-orang Islam. Dan kepastian ini menjadi
sebuah mafsadah (mduarat) yang murni, tidak ada maslahat sedikit pun di
dalamnya.
Menurut
pendapatnya, mendahulukan maslahat nyawa di sini adalah dari perspektif
lahirnya saja. Adapun pada rrealitanya dan tujuannya yang lebih jauh adalah
pada hakikatnya untuk menjaga agama. Sebab, maslahat agama mengharuska nyawa
orang-orang muslim tetap ada supaya mereka bisa maju dan berjuang di
aspek-aspek terbuka lainnya. Jika tidak, kematian mereka dianggap sebagai
perusakan bagi agama itu sendiri dan membuka peluang bagi pemimpin orang-orang
kafir untjuk mendobrak pintu-pintu masuk di hadapan mereka yang dulunya
tertutup.
Dengan demikian,
wajib gencatan senjata atau dakwah secara diam-diam apabila dkawah secara
terang-terangan atau berperang dapat berakibat mudarat. Sebaliknya, tidak boleh
berdakwah secara diam-diam apabila secara tearng-terangan bisa dilakukan dan
hal tersebut adalah efektif. Tidak boleh gencatan senjata dengan orang-orang
zalim dan musuh-musuh dakwah apabila segala unsur kekuatan dan pertahanan
tersedia. Begitu juga, tidak boleh duduk diam atau tidak berjihad memerangi
orang-orang kafir di tempat pertahanan mereka apabil asegala sarana dan
prasarana untuk itu terpenuhi.
Mereka Adalah Pengikut Para Rasul
Sejarah bercerita
kepada kita bahwa mereka yang masuk Islam dalam fase ini mayoritas adalah
campuran dari orang-orang miskin, lemah, dan para budak. Apakah hikmah di balik
hal itu? Apakah rahasia terbentuknya negara Islam di atas fondasi orang-orang
seperti mereka?
Jawabannya adalah
sesungguhnya fenomena ini adalah yang dihasilkan secara alami dakwah para nabi
di sat-saat pertama dakwah mereka. Tidaklah Anda melihat kaum Nabi Nuh,
bagaimana mereka mencelanya dengan mengatakan bahwa para pengikut yang berada
di sekelilingnya tidak lain adalha orang-orang terendah di antara mereka dan
terhina?
.... Kami tidak
melihat engkau melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan
kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina
di antara kami yang lekas percaya ..... (QS. Hud (11) : 27).
Tidakkah Anda
melihat Fir’aun dan kelompoknya, bagaimana mereka memandang para pengikut Nabi
Musa a.s. bahwa mereka adalah orang-orang hina dan lemah, sampai-sampai Allah
SWT berfirman tentang mereka setelah mengisahkan kehancuran Fir’aun dan
kelompoknya. “Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian
timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. .... “ (QS. Al-A’raf (7) :
137).
Tidaklah Anda
melihat kauk Tsamud yang Allah utus kepada Nabi Saleh, bagaimana para pembesar yang
congkak berpaling darinya, sedangkan yang beriman kepadanya orang-orang fakir
lemah. Bahkan, Allah berkalam tentang hal itu, “Pemuka-pemuka yang
menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, yaitu
orang-orang yang telah beriman di antara kaumnya, ‘Tahukah kamu bahwa Shalih
adalah seorang Rasul dari Tuhannya? Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami percaya
kepada apa yang disampaikannya.’ Orang-orang yang menyombongkan diri berkata,
‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu percayai.” (QS. Al-A’raf (7) : 75
– 76).
Rahasia di balik
itu, bahwa hakikat agama yang Allah utus kepada para nabi dan rasul-Nya tidak
lain adalah untuk keluar dari kekangan manusia dan hukumnya pada kekuasaan
Allah serta hanya berhukum dengan-Nya. ini adalah hakikat yang pertama kali
“menggores” ketuhanan orang-orang yang menganggap dirinya sebagai tuhan,
kekuasaan orang-orang yang semena-mena, dan kekuatan orang-orang yang
menganggap diri mereka penguasa. Namun, sesuai dengan kondisi orang-orang yang
lemah dan diperbudak. Jadi, reaksi di hadapan dakwah untuk masuk Islam karena
Allah semata-mata adalah pembangkangan dan kesombongan dari orang-orang yang
menganggap diri mereka tuhan dan penguasa, kepatuhan dan ketaatan dari
orang-orang yang lemah.
Orang-Orang yang Pertama Masuk Islam
Diriwayatkan dari
Afif-Kindy r.a. dia berkata, “Aku adalah seorang saudagar, aku pergi haji dan
mendatangi Abbas bin Abdul Muthalib untuk melakukan sejumlah transaksi
dengannya dan dia adalah seorang saudagar. Demi Allah, aku berada di sampingnya
ketika di Mina, tiba-tiba keluar seorang laki-laki dari kemah dekat dengannya.
Dia melihat ke matahari dan ketika melihatnya telah tergelincir, dia pun
shalat. Kemudian keluarlah seorang perempuan dari kemah tempat lelaki tadi
keluar, kemudian dia shalat di belakangnya. Keluar juga seorang anak yang
hampir dewasa dari kemah tersebut, kemudian shalat bersamanya.
Afif berkata,
“Aku berkata kepada Abbas, “Wahai Abbas, apa ini? Dia menjawab, “Ini adalah
Muhammad, putra saudaraku Abdullah bin Abdul Muthalib.’ Aku bertanya, ‘Siapakah
perempuan itu?’ Abbad menjawab, “dia adalah istrinya, Khadijah binti Khuwalid.’
Aku bertanya, ‘Siapakah pemuda itu?’ Abbas menjawab, ‘Itu adalah Ali bin Abi
Thalib, putra pamannya.’ Aku bertanya, ‘Apa yang dia buat?’ Abbas menjawab,
‘Shalat, dia mengklaim dirinya seorang nabi, tidak ada yang mengklaimnya,
kecuali istri dan anak pamannya ini. Dia juga mengklaim bahwa akan dibuka
baginya harta-harta Kisra dan Kaisar.”
Perawai berkata, “’Afif
adalah anak paman al-Asy’ats bin Qays. Dia masuk Islam dan bagus dalam
keislamannya. Dia berkata, “Seandainya Allah memberiku hidayat Islam saat itu,
niscaya aku menjadi orang kedua bersama Ali bin Abi Thalib.”
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. dia berkata, “Orang yang pertama kali shalat bersama Nabi saw.,
setelah Khadijah adalah Ali.”
Diriwayatkan dari
Salman r.a. dia berkata, “Orang pertama dari umat ini yang menerima nabinya
adalah orang yang pertama masuk Islam, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Diriwayatkan dari
Zaid bin Arqam, dia berkata, “Orang yang pertama kali shalat (dalam lafal yang
lain, “Orang yang pertama masuk Islam”) bersama Rasulullah adalah Ali.”
Diriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khudri r.a. dia berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Bukankah aku orang
yang paling berhak atas khalifah? Bukankah aku orang yang pertama masuk Islam?
Bukan aku pemilik ini dan itu?”
Diriwayatkan dari
Abu ad-Darda’ r.a. dalam kisah perdebatan yang terjadi antara Abu Bakar dan
Umar, Rasulullah saw., bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian,
tetapi kalian berkata, “Kau berbohong.” Abu Bakar berkata, “Dia benar. Dia
menolongku dengan jiwa dan hartanya, apakah kalian meninggalkan sahabatku
karenaku?”
Diriwayatkan dari
Amamr r.a. dia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw., dan yang bersamanya hanya
lima orang budak, dua wanita dan Abu Bakar.” Dalam hadits ini disebutkan bahwa
Abu Bakar adalah lelaki yang pertama kali masuk Islam dari kalangan orang-orang
yang merdeka secara mutlak.
Hal ini tidak ada
kerancuan dengan hal yang disebutkan di atas, karena Abu Bakar adalah orang
yang pertama kali masuk Islam dari kalangan lelaki dewasa. Ali adalah orang
yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Khadijah adalah orang yang
pertama masuk Islam dari kalangan wanita. Adapun Zaid adalah orang yang pertama
masuk Islam dari kalangan budak. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah r.a.
Adapun yang
termasuk orang pertama masuk Islam adalah sahabat yang bernama ‘Amr bin ‘Absah
r.a.
Diriwayatkan dari
‘Amr bin ‘Absah, dia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah yang
bersamamu (dalam hal ini Islam.”) Beliau menjawab, “Orang merdeka dan budak. ‘Amr
berkata, “Dan yang bersamanya pada waktu itu adalah Abu Bakar dan Bilal. Kemudian
Nabi saw., berkata kepadanya, “Kembalilah kepada kaummu sampai Allah memberikan
kekuatan (pengikut yang banyak) bagi Rasul-Nya.’ ‘Amr bin ‘Absah berkata, Aku
melihat pada diriku dan aku mendapati bahwa aku adalah seperempat orang Islam.”
Sepanjang, 22 – 10 - 2018 – Sidoarjo – Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar