Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : HIJRAH
DARI MAKKAH KE MADINAH
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Kesuksesan Islam
dalam membuat fondasi bagi negeri untuknya – di tengah sahara yang bergelimang
kekufuran dan kebodohan – adalah hasil paling penting yang didapat sejak dakwah
Islam dimulai. Kaum dari berbagai tempat saling menyeru, “Mari kita ke
Yatsrib.” Hijrah tidak hanya menyelamatkan diri dari fitnah dan celaan, tetapi
juga kerja sama semua dalam mendirikan komunitas baru di negeri yang aman.
Kewajiban bagi
setiap muslim yang mampu untuk berkontribusi dalam membangun negeri baru ini
untuk mengeluarkan segala upaya dalam menjaganya dan meninggikan panjinya.
Jadi, meninggalkan Madinah setelah hijrah ke sana adalah berpaling dari
pembebanan (taklif) kebenaran, dari pemenangan Allah dan Rasul-Nya. hidup di
sana adalah bagian dari agama karena penegakan agama bergantung pada penegakan
negara.
Setelah Baiat
Aqabah II terselenggara dan Islam sukses membangun fondasi negeri untuknya di
tengah gelombang kufur dan kebodohan, hal itu adalah hasil paling penting yang
diperoleh oleh Islam, sejak permulaan dakwahnya. Rasulullah mengizinkan kaum
muslimin untuk berhijrah ke negeri ini.
Nabi Bermimpi Melihat Negeri Hijrahnya
Terpilihnya
Yatsrib sebagai tempat hijrah bukan hanya disebabkan kondisi dakwah saja,
melainkan juga karena ada wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Dari Abu Musa
al-Asy’ary r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku melihat dalam
tidurku bahwa aku berhijrah dari Makkah ke tanah yang terdapat pohon kurma.
Sebelumnya aku yakin bahwa itu adalah Yamamah atau Hajar (Kota bahrain),
ternyata negeri itu adalah Yatsrib.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Aisyah r.a.
berkata, “Rasulullah bersabda, “Aku sudah melihat tempat hijrah bagi kalian.
Aku diperlihatkan suatu tempat yang tandus yang ditumbuhi pohon kurma di antara
dua tanah ebrbatu.” Lalu, pergilah mereka berhijrah menuju Madinah ketika
Rasulullah saw, menyebutnya. Bagitu juga, mereka yang pernah berhijrah ke
Habasyah.” (HR Ahmad dan Hakim).
Nabi saw. Mengizinkan Para Sahabatnya
untuk Berhijrah
Rasulullah
mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Mereka pun bersegera untuk
itu. Adapun orang yang pertama kali pergi ke Madinah adalha Abu Salamah bin
Abdul Asad dan istrinya Ummu Salamah. Namun, ia tidak pergi dengan suaminya
karena ia dilarang untuk menemuinya selama setahun lamanya. Dia juga tidak bisa
bertemu dengan anaknya, Salamah. Kemudian ia pergi setahun setelah itu bersama
anaknya ke Madinah dan Utsman bin Abi Thalib sebagai penunjuk jalannya.
Selanjutnya, kaum
muslimin pergi berkelompok satu demi satu, hingga tidak ada lagi kaum muslimin
di Makkah, kecuali Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali. Mereka tetap di Makkah
seperti yang diperintahkan, kecuali beberapa orang yang terpaksa belum bisa
berhijrah karena dikekang oleh kaum musyriki. Rasulullah menyiapkan segala
keperluannya, menunggu perintah untuk pergi, dan Abu Bakar menyiapkan keperluan
beliau.
Mereka yang Pertama Berhijrah
Dari al-Barra’
bin Azib r.a. berkata, “Sahabat Nabi saw, yang pertama kali datang kepada kami
adalah Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Merekalah yang membacakan
Al-Qur’an untuk kami. Selanjutnya, Ammar, Bilal, dan Sa’ad. Dua puluh hari
kemudian datang Umar bin Khathathab, lalu Rasulullah. Aku tidak pernah melihat
penduduk Madinah segembira itu. Sampai-sampai aku melihat hamba sahaya dan
anak-anak berkata, “Ini Rasulullah sudah datang.” (HR Bukhari dan Hakim).
Bagaimana Kita Menggabungkan Kedua
Riwayat?
Dalam beberapa
riwayat dikataka bahwa Abu Salamah adalah orang yang pertama kali berhijrah,
sementara dalam riwayat lain yang pertama kali datang ke Madinah adalah
Mush’ab. Al-Hafizh Ibnu Hajar menggabungkan antara dua riwayat ini. Ia berkata,
“Ibnu Aqabah meyakini bahwa yang pertama kali datang ke Madinah dari kaum
Muhajirin secara mutlak adalah Abu Salamah bin Abdul Asad. Sepulangnya dari
Habasyah ke Makkah, ia ditindas di Makkah. Lalu, sampai kepadanya kabar tentang
kedua belas orang Anshar pada baiat Aqabah I, kemudian ia menuju ke Madinah di
tahun yang sama. Selanjutnya, digabungkan antara dua riwayat tersebut bahwa Abu
Salamah pergi ke Madinah bukan untuk
menetap, melainkan lari dari kaum musyrik. Sebaliknya, Mush’ab bin Umair pergi
ke sana dengan tujuan menetap dan mengajari siapa saja yang masuk Islam atas
perintah Nabi saw. Jadi, keduanya sama-sama pertama dari sisi yang berbeda.”
Dialah Iman yang Setara dengan
Gunung-Gunung
Hijrah bukanlah
perpindahan seorang pekerja dari negeri yang dekat ke negeri yang jauh, bukan
juga perginya seorang pencari sesuap nasi dari negeri tandus ke negeri yang
subur.
Hijrah adalah
pemaksaan terhadap seseorang yang aman di negerinya, yang memiliki akar panjang
di tempatnya, yang memporak-porandakan kehidupannya (dunia), mengorbankan
hartanya, dan keselamatan dirinya sendiri, dengan kesadaran penuh membuatnya
merasa bahwa ia begitu hina dan terampas, ia bisa saja celaka di awal perjalan
atau di penghujungnya. Hijrah adalah ia berjalan menuju masa depan yang masih
temaram, ia tidak tahu kegelisahan dan kesedihan yang akan dihadapinya. Jika
perkaranya adalah petualangan diri pribadi, akan dikatakan kepadanya, “Seorang
petualang yang mengembara.” Tetapi jika ia pergi mengarungi panjangnya
perjalanan dan ia membawa keluarga dan anak-anaknya? Dan bagaimana ia melakukan
hal itu dengan kerelaan hati dan wajah yang cerah-ceria?
Itulah Iman yang
setara gunung-gunung, bukan pengembaraan. Iman dengan siapa? Dengan Allah Sang
Pemilik segala apa yagn di langit dan bumi, bagi-Nya puji di awal dan akhir,
serta Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui.
Kesulitan-kesulitan
itu, tak akan ada yang menyanggupinya, kecuali seorang yang beriman. Adapun
seorang penakut, lemah, gelisah, tidak akan mampu menghadapinya. Tentang mereka
Allah berfirman, “Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah
dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,’ ternyata mereka tidak
melakukannya, kecuali sebagian kecild ari mereka......” (QS. an-Nisa’ (4) :
66).
Hijrahnya Abu Salamah dan Istrinya r.a.
Sumber-sumber
yang terpercaya menyebut banyak informasi tentang cara-cara Quraisy dalam
menggagalkan hijrah kaum muslimin ke Yatsrib serta menghadang hijrah ini dengan
berbagai kesulitan dan ketakutan. Mereka menahan istri-istri kaum muslimin,
anak-anak, merampas harta, atau memperdaya mereka yang telah berhijrah agar
kembali lagi. Namun, semua itu tidak dapat menghalangi rombongan hijrah. Mereka
yang berhijrah sangat siap untuk melepas dunia dan kemegahannya, lari dari hal
itu semua demi agama. Sumber-sumber yang terpercaya menceritakan tentang
kisah-kisah kepahlawanan dan pengorbanan dalam hal ini. Ummu Salamah, Ummul
Mukmin, mengisahkan hijrahnya dengan suaminya yang pertama, bagaimana Quraisy
memisahkan ia dan anaknya dari suaminya.
Dari Salamah bin
Abdullah bin Umar bin Abu Salamah,d ari neneknya, istri Rasulullah saw,
berkata, “Ketika AbuSalamah setuju untuk pergi ke Madinah, ia pergi bersamaku,d
an mendudukanku di atas untanya. Aku juga membawa anakku, Salamah bin Abu
Salamah, di pangkuanku. Kemudian ia menunggangi untanya bersamaku. Namun,
ketika sejumlah laki-laki dari Bani al-Mugirah bin Abdullah bin Amru bin
Makhzum melihat kami, mereka bangkit menuju Abu Salamah. Mereka berkata,
“Jiwamu ini telah mengalahkan kami atas dirinya, apakah kamu istrimu ini? Atas dasar apa kami membiarkanmu pergi
bersamanya ke negeri itu?” Ummu Salamah berkata, “Mereka mencabut tali unta
dari tangannya dan mereka mengambil diriku darinya. Pada saat itu kabilah Abdul
Asad, keluarga Abu Salamah marah. Mereka berkata, “Tidak, demi Allah, kami
tidak akan membiarkan putra kami bersamanya (Ummu Salamah) jika kalian
mengambilnya dari ptra kami.” Mereka saling mearik anakku, Salamah, sehingga
mereka melemparkan tangannya. Bani Abdul Asad mengambilnya dan bani al-Mugirah
mengekangku di rumah mereka. Sementara itu, suamiku, Abu Salamah, pergi ke
Madinah. Kami terpisah : Aku, suamiku, dan anakku.
Pada saat itu,
setiap hari aku keluar rumah duduk di Abthah, terus menangis. Hingga kurang
lebih satu tahun berlalu, seseorang dari anak pamanku (seseorang dari Bani
al-Mugirah) lewat di depanku. Ia melihat keadaanku dan iba. Ia berkata kepada
Bani al-Mugirah, “Tdiaklah kalian membiarkan perempuan yang menderita ini
pergi, kalian telah memisahkannya dari suaminya dan anaknya.” Lalu, mereka
berkata keapdaku, “Temuilah suamimu jika kau menginginkan itu.”
Pada saat itu,
Bani Abdul Asad mengembalikan anakku. Aku pergi menunggangi untaku, lalu aku
ambil anakku, dan kuletakkan ia dipangkuanku. Aku pergi ke Madinah, aku
menginginkan suamiku. Aku tidak bersama siapa pun dari makhluk Allah. Lalu, aku
berkata, “Apakah aku akan bertemu dengan seseorang yang menolongku sampai aku
bisa bertemu suamiku?” Ketika aku sampai di Tan’im, aku bertemu Utsman bin
Thalhah bin Abi Thalhah, saudara Bani Abduddar. Ia berkata, “Mau ke mana, wahai
putri Abu Umayyah?”
Aku menjawab,
“Aku ingin bertemu suamiku di Madinah.”
“Tidak adakah
seseorang menemanimu?” katanya lagi.
“Tidak, demi
Allah, hanya Allah dan anakku ini.”
“Demi Allah,
engkau tak berhak ditelantarkan.” Kata Utsman.
Lalu ia mengambil
tali kekang unta dan ia ikut pergi denganku berjalan menuntun untaku. Demi
Allah, aku tidak pernah ditemani seorang laki-laki Arab sama sekali. Aku
melihat Utsman seorang yang mulia. Jika sampai di sebuah perkampungan, ia
mendudukkan untaku dengan pelan dan ketika aku hendak turun, ia menuntun untaku
pelan-pelan.
Kemudian ia
meletakkannya dan mengikatnya di pohon, kemudian ia menjauh dariku menuju pohon
dan dia tidur di bawahnya. Jika waktunya melanjutkan perjalanan, ia pergi mengambil
untaku dan menuntunnya kemudian pelan-pelan dibawanya kepadaku, dan ia berkata,
“Naiklah.” Jika aku sudah naik dan duduk di atas untaku, ia pun mengambil tali
kekangnya dan menuntunnya sampai aku turun lagi ... begitu seterusnya hingga
kami mencapai Madinah. Ketika ia melihat perkampungan Bani Amru bin Auf di
Quba, ia berkata, “Suamimu ada di kampung ini (dan memang di situlah Abu
Salamah tinggal) masuklah dengan keberkahan Allah.” Lalu, ia pulang ke Makkah.”
Ka’ab berkata,
“Ummu Salamah pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui ada keluarga
muslim yang mengalami seperti apa yang dialami oleh keluarga Abu Salamah, dan
aku tidak melihat seorang teman perjalanan yang lebih mulia dibandingkan Utsman
bin Thalhah.” (HR Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq).
Kisah Ayyash bin Abi Rabiah dan Hisyam
bin al-Ash
Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Kami sepakat untuk hijrah. Kami
bertiga, yaitu aku, Ayyash bin Abi Rabiah, dan Hisyam bin al-Ash berjanji untuk
bertemu di penampungan air milik Bani Ghaffar, yang terletak di atas Saraf
(tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah). Kami telah sepakat, “Siapapun
yang tidak datang pagi harinya di tempat itu, tak bisa keluar dari Makkah, maka
dua orang yang lain meneruskan perjalanannya.” Ternyata, Hisyam bin al-Ash tak
bisa keluar. Ketika sampai di rumah kami di Bani Amru bin Auf, Abu Jahal bin
Hisyam dan al-Harits bin Hisyam mendatangi Ayyash bin Abi Rabiah, yang
merupakan sepupu mereka berdua, dan
saudara seibu bagi keduanya, sampai ketika kami tiba di Madinah, keduanya
berbicara kepada Ayyash. Mereka berkata kepadanya, “Sesungguhnya ibumu
bernazar, tidak akan menyisir rambutnya sampai ia meliahtmu.” Ayyash pun iba
mendengarnya.
Kemudian kukatakan kepadanya, “Wahai Ayyash, demi Allah, mereka
hanya ingin agar engkau berpaling dari agamamu, berhati-hatilah. Demi Allah,
jika kutu sudah menyakiti ibumu, dia akan menyisir rambutnya. Jika Makkah sudah
makin panas, aku kira dia akan menyisir rambutnya.”
Ayyash berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai harta di sana, aku
akan mengambilnya.”
Kukatakan kepadanya, “Demi Allah, engkau tahu aku termasuk
golongan Quraisy yang banyak harta, untukmu setengah hartaku, jangan pergi
bersama mereka.”
Namun, ia enggan kecuali pergi bersama keduanya. Ketika ia enggan,
kukatakan kepadanya, “Jika begitu maumu, ambillah untaku ini, unta ini sangat
jinak, kau harus tetap di punggungnya. Jika kau ragu akan sesuatu yang
dilakukan merka, pecutlah dia.”
Ayyash pun pergi bersama mereka hingga ketika mereka sampai di
setengah perjalanan, Abu Jahal bin Hisyam berkata, “Demi Allah, untaku mulai
berjalan lambat, tidakkah engkau mau membawaku dengan untamu?”
“Tentu,” kata Ayyash. Ia pun merundukkan untanya, begitu juga
keduanya untuk pindah ke unta Ayyash. Namun, ketika mereka menginjak tanah,
mereka melompat dan mengikatnya. Kemudian ia dimasukkan ke Makkah. Keduanya
memperdayanya dan Ayyash terperdaya.
Umar berkata, “Dulu kami penah berkata, “Demi Allah, Allah tidak
menerima seseorang yang terperdaya, baik
itu karena tak mampu menolaknya maupun tertipu. Allah juga tidak akan menerima
tobat suatu kaum yang mengenal-Nya, kemudian mereka kembali kepada kekufuran
karena cobaan yang menimpa mereka.”
Umar berkata, “Mereka mengatakan itu untuk diri mereka sendiri.
Ketika Rasulullah datang ke Madinah. Allah SWT menurunkan ayat tentang mereka,
pernyataan kami untuk mereka, dan pernyataan mereka untuk diri mereka sendiri
pada QS az-Zumar (39) : 53 – 55).
Umar berkata, “Aku pun menulis ayat itu di sebuah lembaran dan aku
mengirimnya kepada Hisyam bin al-Ash.”
Hisyam berkata, “Aku masi membacanya hingga aku sampai di Dzu
Thuwa, aku naik kendaraanku sambil membawa lembaran itu, sampai aku
memahaminya. Terbersit dalam pikiranku
bahwa ayat itu turun untuk kami serta tentang apa yang kami katakan pada diri kami sendiri dan dikatakan
untuk kami. Lalu, aku pulang dan duduk di atas untaku menyusul Rasulullah saw,
ke Madinah.” (HR al-Bazzar dan al-Hakim, menurutnya hadits ini shahih, dan
disepakati oleh adz-Dzahabi).
Hijrah di Depan Hidung Orang-Orang
Musyrik
Ketika Umar ingin
hijrah di belakang Rasulullah saw, ia berdiri di depan orang-orang musyrik
dengan sikap merendahkan diri mereka, menampakkan kelemahan mereka, dan
menggetarkan hati mereka.
Dari Ibnu Abbas
r.a. mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa
seseorang dari mereka yang berhijrah pergi, melainkan dengan sembunyi-sembunyi,
kecuali Umar bin Khaththab. Ketika ia ingin hijrah, ia gmembawa pedangnya,
meletakkan busurnya di belakangnya, serta di tangannya terdapat beberapa anak
panah dan tombak pendek, ia pergi menuju Ka’bah, sementara sejumlah orang
Quraisy sedang berada di pelatannya. Lalu, Umar thawaf tujuh putaran, setelah
itu shalat di belakang maqam dua rakaat. Kemudian ia menghadapi mereka satu per
satu dan berkata, “Wajah-wajah yang jelek, Allah menghinakan hidung-hidung
(kalian) barangsiapa yang ingin ibunya menderita, anaknya menjadi yatim,
istrinya menjadi janda, temui aku di belakang lembah ini.” Alu berkata, “Tidak
ada seorang pun yang mengikutinya, kecuali kaum lemah. Kemudian ia mengajari
dan membimbing mereka, lalu ia pun pergi.”
Sikap yang Agung
Soerang muslim
bisa saja membandingkan cara Umar bin Kaththab r.a. hijrah dengan hijrahnya
Nabi saw., kemudian ebrtanya-tanya, “Mengapa Umar hijrah terang-terangan,
menentang kaum musyrik, tanpa takut dan gentar, sedangkan Rasulullah
sembunyi-sembunyi, penuh kehati-hatian?” Apakah Umar lebih berani daripada Nabi
saw?”
Jawabannya : Sesungguhnya Umar bin Khaththab dan muslim
manapun – selain Rasulullah saw., --- segala tindak-tanduknmya adalah keputusan
pribadi, bukan bukti-bukti hukum syar’i (hujjah tasyri’iyyah). Siapa saja bisa
memilih cara dan sarana yang ia sukai, yang sesuai dengan keberanian dan
keimanan kepada Allah SWT.
Adapun Rasulullah
saw., sebagai sumber syariah. Dengan kata lain, semua perilakunya korelatif
dengan agama dan dianggap sebagai sebuah aturan syariah bagi kita. Oleh karena
itu, sunnahnya adalah sumber kedua dari sumber-sumber hukum syariah, yaitu
kumpulan sabdanya, perbuatannya, sifatnya, dan ketentuannya. Jika beliau saw.,
melakukan seperti apa yang dilakukan Umar, umatnya akan mengira bahwa inilah
yang wajib. Yaitu, tidak boleh berhati-hati dan sembunyi-sembunyi dalam keadaan
takut.padahal, Allah SWT menegakkan syariat-Nya di dunia ini berdasarkan sebab
dan musababnya. Jadi, sebuah kenyataan yang tak diragukan lagi bahwa itu
terjadi dan itu berasal dari Allah dan kehendak-Nya.
Dengan demikian,
Rasulullah saw., memakai semua cara dan sarana materi yang terpikirkan oleh
akal manusia dalam perkara seperti ini agar tak ada satu pun sarana yang
tertinggal, semua digunakan. Itulah sebabnya mengapa beliau saw., meninggalkan
Ali bin Abi Thalib tidur di atas kasurnya dan menutupi tubuhnya dengan
selimutnya. Beliau saw., pun meminta bantuan dari seorang musyrik, yang telah
ia percaya sebagai penunjuk jalan-jalan alternatif yang tak terpikirkan oleh
musuh. Beliau saw., juga bermalam tiga hari bersembunyi di gua. Sampai hal
terakhir dari materi dari yang dipersiapkan yang mungkin terbtik dalam pikiran.
Hal itu menjelaskan bahwa iman kepada Allah SWT tidak menafikan penggunaan
faktor-faktor materi yang dikehendaki oleh Allah dengan keagungan hikmah-Nya,
dijadikan sebagai sarana.
Pelayan Abu Hudaifah Menjadi Imam bagi
kaum Muslimin sebelum Kedatangan Nabi saw.
Ibnu Umar r.a.
berkata, “Ketika kaum Muhajirin yang pertama sampai ke al-Ushbah – sebuah
tempat di Quba – sebelum kedatangan Rasulullah saw., Salim – pelayan Abu
Hanifah – yang mengimami mereka. Dia yang paling banyak menghafal surat-surat
Al-Qur’an” (HR Bukhari).
Hijrah Rasulullah saw. Dan Sahabatnya
Kaum Muhajirin
meninggalkan Makkah secara berkelompok ataupun sendiri-sendiri, hingga Makkah
hampir lengang dari kaum mujslimin. Kaum Quraisy merasa bahwa Islam di tengah
perjalanannya mendapat rumah, sebagai tempat bernaungnya. Islam mendapat
benteng tempat ia berlindung dan menyembunyikan rasa takut dari hal-hal
berbahaya yang dihadapi dalam perjalanan dakwah Muhammad. Did alam darah mereka
menyeruak insting-insting hewan buas ketika mereka khawatir atas kehidupannya.
Sesungguhnya
Mhammad saw., masih di Makkah dan pasti akan menyusul para sahabatnya hari ini
atau esok, kaum Quraisy bersegera menyruh kaumnya untuk menghadang sebelum
beliau saw., berbalik arah menuju tempat hijrah itu.
Meminta Izin kepada Nabi untuk
Berhijrah
Dari Ibnu Abbas
r.a. berkata, “Rasulullah saat itu masih di Makkah, lalu beliau diperintahkan
untuk hijrah, dan diturunkan kepadanya firman Allah, “Dan katakanlah
(Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan
(pula ) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu
kekuasaan yang dapat menolong(ku).” (QS. al-Asra’ (17) :80). Abu Bakar sering
meminta izin kepada Rasulullah saw., untuk hijrah, tetapi Rasulullah saw
berkata, “Jangan tergesa-gesa --- mudah-mudahan Allah memberimu seorang teman
dalam perjalanan.” Abu Bakar sangat menginginkan bahwa teman itu adalah
beliau.” (HR Turmudzi dan al-Hakim, menurutnya shahih dan adz-Dzahabi sepakat
dengannya).
Jibril Mengabarkan kepada Nabi saw.
Bahwa Abu Bakar Menjadi Teman Hijrahnya
Dari Ali bin Abi
Thalib Karramullahu wajha, sesungguhnya Nabi saw bertanya kepada Jibril, “Siapa
yang pergi hijrah denganku?” Jibril menjawab “Abu Bakar.” (HR Hakim dalam
al-Mustadrak, menurutnya sanad dan matannya shahih dan adz-Dzhzabi sepakat
dengannya,d an dia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” ).
Di Dar an-Nadwah (Balai Pertemuan
Quraisy).
Ketika Rasulullah
menyiapkan dirinya untuk hijrah, ternyata kaum musrikin merencanakan konspirasi
jahat untuk membunuh Nabi saw.
Syekh al-Ghazali
berkata, “Berkumpullah para penjahat Makkah di Dar an-Nadwah untuk mengambil
keputusan penting dalam hal ini. Beberapa ada yang berpendapat untuk mengikat
tangan Muhammad saw, dengan sangat kencang,
lalu dimasukkan ke dalam penjara. Mereka hanya akan memberinya makan dan
dibiarkan seperti itu sampai mati. Sebagian lagi berpendapat dengan
mengasingkannya dari Makkah dan ia tidak boleh memasukinya setelah itu,
kemudian Quraisy akan lepas tangan dari segala urusannya.”
Meskipun
demikian, dua pendapat itu diabaikan karena tidak berguna. Akhirnya, diputuskan
cara yang disetujui adalah ide yang ilontarkan Abu Jahal. Ia berkata,
“Sebaiknya kalian memilih prmdua dari setiap kabilah Quraisy, seorang pemuda
cakap dari keturunan mulia. Kemudian kita beri mereka pedang yang tajam, dengan
pedang itu, mereka membunuh satu orang. Jika mereka membunuhnya, pembayaran dam
(denda untuk keluarga, yang anggotanya dibunuh) akan ditanggung oleh semua
kabilah. Aku tidak yakin jika Bani Hasyim mampu memerangi seluruh kabilah Quraisy.
Dengan begitu, mereka akan menerima dam yang kita bayarkan/”
Para konspirator
setuju dengan ide solutif untuk melaksanakannya. Al-Qur’an sendiri mencatat
rencana jahat itu, sebagaimana dalam firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika
orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk
menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat
tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu, Allah adalah sebaik-baik
pembalas tipu daya.” (QS. al-Anfal (8) : 30).
Ali r.a. Tidur di Atas Kasur Nabi saw.
Pada Malam Hijrah
Pada malam
hijrah, kaum musyrikin berkumpul di depan rumah Rasulullah saw. Mereka
menunggunya sampai tidur dan memastikannya. Ketika Rasulullah saw, tahu posisi
mereka, beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah di atas kasurnku
dan berselimutlah dengan sorban hadrami hijau ini. Tidurlah di sana, mereka
tidak akan melakukan sesuatu yang kau benci pada dirimu.” Rasulullah memang
selalu memakai kain sorban itu jika hendak tidur.
Kemudian Rasulullah
saw, keluar rumah seraya membaca ayat-ayat ini, “Ya Sin. Demi Al-Qur’an yang
penuh hikmah, sungguh engkau (Muhammad) adalah salam seorang dari rasul-rasul,
(yang berada) di atas jalan yang lurus, (Sebagai wahyu) yang dirutunkan oleh
(Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang agar engkau memberi peringatan kepada
suatu kaum yang nenek-moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu
mereka lalai. Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyak
mereka, karena mereka tidak beriman. Sungguh, Kami telah memasang belenggu di
leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka
tertengadah. Dan kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang
mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat
melihat.” (QS. Yasin (36) 1 – 9).
Tak seorang pun
dari mereka, melainkan Rsulullah saw, telah menaburi kepala mereka dengan
pasir. Kemudian ia pergi ke tempat yang ia kehendaki. Lalu, datanglah seseorang
kepada mereka, yang sebelumnya tak berada di situ, berkata, “Apa yang kalian
tunggu?”
“Muhammad,” kata
mereka.
“Allah telah
memutuskan harapan kalian, demi Allah, Muhammad sduah keluar dari rumahnya.
Kemudian ia menaburi kalian semua dengan pasir dan pergi untuk urusannya.
Apakah kalian tidak tahu apa yang terjadi pada diri kalian?” kata laki-laki itu
lagi.
Setiap orang
menggerakkan tangannya ke atas kepala, mereka mendapati pasir di sana. Lalu,
mereka mengintip dan melihat Ali di atas kasur berselimut sorban Rasulullah
saw, lalu mereka berkata, “Demi Allah, sungguh itu Muhammad sedang tidur dengan
sorbannya.” Begitulah mereka tetap diam di sana hingga pagi. Ali bangun dari
tempat tidurnya dan mereka berkata, “Demi Allah, benar apa yang dikatakan orang
itu.” (HR Thabari dan Abu Na’im).
Al-Mighwar
Haidarah, telah melindungi dakwah ini pada pribadi Nabi. Ia tidur di atas kasur
beliau pada malam yang sangat sulit. Seseorang yang mau tidur di atas kasur
seorang laki-laki, yang ia tahu di depan pintu rumahnya ada banyak orang yang
tak menginginkan apa pun, kecuali kepala, sedangkan ia tidur di atas kasur itu,
tetapi itu demi nabinya sehingga Allah membahagiakan pernikahannya dengan
Fatimah, putri Nabinya, wanita yang menjilbabi dirinya dengan kesempurnaannya.
Rasulullah saw, menghadiahi Ali keluarga dan tangan yang selalu terbuka. Beliau
saw, juga memercayakannya perisai al-Huthamiyyah. Fatimah dinikahkan dengan
Ali, bersamanya ada selimut dan bantal dari kulit, di dalamnya diisi pelepah.
Di samping itu juga, ada tempat mengambil air dari sumur, pengayak tepung, tungku,
pemetik api, batu giling, dan dua kendi. Ia menikah dengannya. Mereka tak
memiliki kasur, kecuali kulit kabing, tempat mereka tidur di malam hari dan
sebagai alas di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Fatimah tidak
memiliki pelayan. Namun, itu tak dikeluhkannya.
Dalam
ash-shahihain, dari al-Musawwir bin Makhramah sesungguhnya Rasulullah saw,
bersabda kepada Fatimah, “Tidakkah engkau ridha menjadi pemimpin para wanita
umat ini dan wanita-wanita mukmin?”
Dalam
ash-shahihain juga al-Musawwir bin Makhramah sesungguhnya Rasulullah saw,
bersabda, “Fatimah adalah bagian dariku, barang siapa yang membuatnya marah
maka ia membuatku marah.”
Dari Anas r.a.
berkata, “Sesungguhnya surga merindukan tiga orang, yaitu Ali, Ammar, dan
Salman.” (HR Turmudzi dan Hakim).
Dalam sebuah
riwayat dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata, “Ali mengorbankan dirinya, ia
memakai pakaian Nabi saw, kemudian tidur di tempat beliau. Saat itu orang-orang
musyrik merasa telah melempari Rasulullah yang berselimut burdah. Orang-orang
Quraisy ingin membunuh Nabi saw, ternyata mereka melempari Ali yang mereka kira
Nabi saw, yang memakai burdahnya. Ali pun berteriak kecnang. Mereka pun masuk
dan mereka mendapatkan Ali. Mereka pun berkata, “Sungguh engkau tercela karena
engkau berteriak, sedangkan temanmu (Nabi saw.) tidak ebrteriak. Maka kami
curiga kepadamu.” (HR. Hakim dan Abu Dawud).
Sungguh dialah
prajurit sejati yang ikhlas menyerukan perbaikan dan berkorban untuk
panglimanya dalam hidupnya. Sebab, keselamatan pemimpin merupakan keselamatan
dakwah. Begitu juga, kehancuran pemimpin adalah kemunduruan dan kelemahan
dakwah. Apa yang dilakukan Ali pada malam hijrah – dengan bermalam di tempat
tidur Rasul saw, ---- adalah pengorbanan hidupnya demi keselamatan Rasulullah
saw. Sebab bisa saja pedang pemuda Quraisy mengenai kepala Ali r.a. untuk balas
dendam karena ia telah menyelamatkan Rasulullah saw. Ali r.a. tidak peduli
dengan itu, cukuplah ia telah menyelamatkan Rasulullah saw, sebagai Nabi umat
ini dan panglima dakwah.
Hadits tentang Hijrah yang Penuh
Berkah
Dalam hadits yang
diriwayatkan Bukhari, dari Aisyah r.a. – setelah beliau mengisahkan jaminan
perlindungan Ibnu ad-Daghinah untuk Abu Bakar, yang di kemudian hari ditolaj
oleh Abu Bakar – berkata, “Abu Bakar bersiap menuju Madinah, lalu Rasulullah
saw, berkata kepadanya, “Jangan tergesa-gesa karena aku berharap aku akan
dizinkan (untuk hijrah).” Lalu, Abu Bakar berkata, “Demi bapakku sebagai
tanggungannya, apakah benar engkau mengahrapkan itu?” Rasulullah saw, menjawab,
“Ya”. Kemudian Abu Bakar menundanya dan ebrharap agar ia bisa menemani
Rasulullah saw. Ia pun memberi dua unta tunggangannya di dimilikinya dengan
daun Samur, selama empat bulan.
Aisyah r.a.
berkata, “Pada tengah siang hari ketika kamis edang duduk di rumah Abu Bakar,
tiba-tiba ada orang yang berkata bekapa Abu Bakar, “Ini ada Rasulullah saw,
datang pada waktu yang sebelumnya tidak pernah datang kepada kami di saat
seperti ini.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Bapak Ibuku menjadi tebusan untuk
beliau. Demi Allah, tidaklah beliau datang pada waktu seperti ini, melainkan
pasti ada urusan penting. Rasulullah saw, datang dan meminta izin, lalu beliau
dipersilahkan masuk. Beliau masuk dan berkata kepada Abu Bakar, “Perintahkan
orang-orang yang ada di rumahmu untuk keluar.” Abu Bakar berkata, “Mereka itu
dari keluarga Anda juga, bapakku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah.” Beliau
saw, berkata, “Sungguh aku telah diizinkan untuk keluar berhijrah.” Abu Bakar
bertanya, “Apakah aku akan menjadi pendamping demi bapakku sebagai tebsuanmu,
wahai Rasulullah?” Rasulullah saw, menajwab, “Ya benar.” Abu Bakar berkata,
“Demi bapakku sebagai tebusanmu, ambillah salah satu dari unta tungganganku
ini.” Rasulullah saw, bersabda, “(Harus) dengan harga.” Kamudian kami pun
mempersiapkan untuk keduanya dengan baik dan kami buatkan bekal makanan yang
kami simpan dalam kantung kulit. Sementara itu, Asma’ binti Abu Bakar memotong
kain ikat pinggangnya menjadi dua bagian, lalu satu baginya digunakan untuk
mengikat kantung kulit itu. Dari peristiwa inilah kemudian dia dikenal sebagai
Dzatu an-Nathaqain (wanita yang mempunyai dua potong ikat pinggang).
Di Dalam Gua
Semua perkara
berjalan sesuai dengan yagn direncanakan. Abu Bakar pun memerintahkan anaknya,
Abdullah untuk mendengarkan apa yang diaktakan orang-orang tentang mereka
berdua. Jika sore datang, Abdullah melaporkan kepada mereka kabar berita yang
terjadi hari itu. Ia juga memerintahkan Amir bin Fuhairah, pelayannya, untuk
menggembalakan kambingnya di siang hari dan membawakannya untuk mereka pada sore
harinya. Kemudian Abdullah bin Abu Bakar pun berkeliling mendengarkan apa
diperintahkan dan apa yang dikatakan oleh mereka tentang Rasulullah saw, dan
Abu Bakar. Sore harinya ia mendatangi keduanya dan menceritakan apa yang ia
ketahui. Begitu jgua Amir menggemebala di tempat penduduk Makkah menggembala.
Pada sore harinya ia membawa kambing-kambing itu kepada mereka. Mereka pun
memerah susu dan menyembelihnya. Jika Abdullah hendak kembali ke Makkah, Amir
mengikutinya dengan kambing-kambing Abu Bakar untuk menghilangkan jejak
Abdullah. Itulah strategi sempurna, kondisi darurat yang membuat semua orang
melakukannya.
Dari Aisyah r.a.
berkata, “Rasulullah saw, dan Abu Bakar samp;ai di gua di bukit Tsur. Mereka
bersembunyi di sana selama tiga malam. Abdullah bin Abu Bakar, seorang pemuda
yagn cerdik dan cepat tanggap ikut bersama keduanya bermalam di sana. Pada
waktu sahur (akhir malam) dia keluar meninggalkan keduanya dan pada pagi
harinya dia ebrbaur dengan orang-orang Quraisy, sebagaimana layaknya orang yang
bermalam di Makkah. Tidaklah dia mendengar suatu rahasia yang dapat memperdaya
keduanya, melainkan dia akan mengingatnya hingga dia datang menemui keduanya
dengan membawa kabar ketika hari mulai gelap. Kemudian Amir bin Fuhairah,
mantan Budak abu Bakar, menggembalakan kambing untuk diperah susunya dan
diberikan kepada keduanya sesaat setelah berlalu waktu Isya’. Kemudian Nabi
saw, dan Abu Bakar dapat bermalam dengan tenang dan mendapat susu segar, yaitu
susu hasil perahan kambing itu hingga Amir bin Fuhairah menggiring
kambing-kambing tersebut untuk digembalakan saat menjelang pagi. Dia melakukan
ini pada setiap malam selama tiga malam persembunyian itu. Kemudian Rasulullah
saw, dan Abu Bakar mengupah seseorang dari suku Bani ad-Dil, yaitu suku
keturunan Bani Abdu Addy sebagai pemandu jalan. Orang itu adalah orang yang
mengerti tentang jalur perjalanan. Orang ini telah ikut bersumpah dengan
keluarga al-‘Ash bin Wa’il Sahmy dan dia juga seorang yang beragama dengan
agamamya orang-orang kafir Quraisy. Namun, Rasulullah saw, dan Abu Bakar
memercayainya dan menyerahkan kedua unta tunggangannya serta membuat perjanjian
dengannya untuk membawa kembali unta tunggangan tersebut di Gua Tsur setelah
tiga malam pada waktu subuh di malam ketiga. Kemudian Amin bin Fuhairah
berangkat bersama keduanya dan seorang penunjuk jalan tadi. Pemandu jalan itu
mengambil jalan di pesisir bersama mereka.” (HR Bukhari).
Cinta yang Mendahului Imajinasi
Dari Muhammad bin
Sirin berkata, “Beberapa orang pada masa Umar r.a. bercakap-cakap, seakan-akan
mereka lebih mengutamakan Umar daripada Abu Bakar r.a. Sampai kabar itu kepada
Umar r.a. lalu ia berkata, “Dimei Allah, (apa yang dilakukan) semalam oleh Abu
Bakar lebih baik daripada keluarga Umar.
Satu hari Abu Bakar lebih baik dariapda keluarga Umar. Rasulullah saw, pergi
menuju gua bersama Abu Bakar, sesaat ia berjalan di depan Rasulullah saw,
sesaat kemudian di belakang beliau. Rasulullah saw, ingin tahu dan bertanya
“Wahai Abu Bakar, mengapa engkau berjalan di depanku sesaat kemudian di
belakangku?” Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasulullah, aku ingat mereka yang
mengusirmu, maka aku berjalan di belakangmu. Kemudian aku ingat mereka yang
sedang mengintai dan mencarimu, maka aku berjalan di depanmu.” Lalu, Rasulullah
saw, berkata, “Wahai Abu Bakar, jika aku diminta memohon, maka aku memohon agar
selalu bersamamu.” Abu Bakar berkata,
“Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada musibah selain jika aku
tanpamu.” Ketika mereka telah sampai di gua, Abu Bakar berkata, “Tetaplah di
tempatmu, wahai Rasulullah, hingga aku memeriksa gua ini untukmu.” Abu Bakar
pun memasuki dan memeriksanya sampai ke atasnya.”.elihat di pintunya
Dalam riwayat
laind isebutkan, Abu Bakar tidak memeriksa ruangan itu. Ia berkata, “Tetaplah
di tempatmu, wahai Rasulullah, sampai aku memeriksa ruangan ini.” Lalu, ia
masuk dan memeriksanya. Kemudian ia berkata, “Turunlah, wahai Rasulullah.”
Rasulullah pun turun memasukinya. Umar berkata, “Demi jiwaku yang digenggam di
tangan-Nya, malam itu lebih baik dariapda keluarga Umar.” (HR Hakim, disebutkan
oleh adz-Dzahabi bahwa ahadits ini shahih mursal).
Tidak Ada Yang Tahu Tentara-Tentara
Tuhanmu, kecuali Dia Saja.
Dari Ibnu Abbas
r.a. megnatakan tentang firman Allah SWT, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang
kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan
memenjarakanmu ....” (QS. al-Anfal (8) : 30).
Ibnu Abbas
berkata, Quraisy berkumpul suatu malam di Makkah, sebagian mereka berkata,
“Jika pagi menjelang, ikatlah ia --- Muhammad saw. --- dengan tali. Sebagian
lagi berkata, “Bunuhlah dia!” Sebagian yang lain mengatakan, “Usirlah dia.”
Allah memberi tahu hal itu kepada nabi-Nya. lalu, diperintahkan Ali untuk tidur
di tempat tidur Nabi saw, malam itu. Nabi pun keluar hingga mencapai gua.
Kemudian orang-orang musyrik menjaga Ali yang mereka kira Nabi saw. Ketika pagi
menjelang, mereka menyerangnya. Dan ketika mereka tahu itu Ali, Allah
menggagalkan makar mereka. Mereka bertanya kepada Ali, “Di mana temanmu?” Ali
berkata, “Aku tidak tahu.” Mereka pun pergi mengikuti jejaknya. Ketika mereka
sampai di gunung, mereka bingung, kemudian mereka naik gunung dan melewati gua
itu. Mereka melihat di pintunya terdapat jaring laba-laba. Mereka berkata,
“Jika Muhammad masuk ke sini, tidak mungkin ada jaring laba-laba di pintunya.”
Kemudian Rasulullah tinggal di sana selama tiga hari.” (HR Ahmad).
Tentara
yang memorak-porandakan kebatilan dan membela kebenaran tidak hanya dalam
bentuk senjata tertentu, atau pun bentuk khusus yang luar biasa. Tentara itu,
bentuknya lebih umum, baik dalam bentuk materi maupun non materi. Jika dalam
bentuk materi, kadar bahayanya tidak selalu selaras dengan ukurannya. Virus
yang tidak terlihat oleh mata, dapat menghancurkan pasukan yang berjumlah besar.
..... Dan tidak
ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri ..... (QS.
al-Muddatsir (74) : 31).
Di antara
kebesaran Allah yang dibuatnya untuk Nabi-Nya adalah ketika mata musuh
dibutakan sedangkan Nabi saw. Berada di tengah mereka dan mata mereka mlotot.
Hal itu bukan pemberian kekuatan pada kaum yang tidak mau menyempurnakan upaya
dalam mengupayakan semua faktor keselamatan. Akan tetapi hadiah,yang ditentukan
untuk kaum yang tak meninggalkan satupun sarana untuk berhati-hati, melainkan
mereka mengambilnya. Betapa banyak rencana yang diputuskan oleh pada pengambil
kebijakan. Mereka telah mengaturnya dengan sangat profesional, melewatinya di
saat-saat sulit untuk hal-hal yang mereka inginkan, atau di luar perkiraan,
yang apda akhirnya berlangsung sesuai dengan kebijjakan tertinggi (milik Allah)
dan pada batasan firman-Nya, “.... Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf (12) : 21).
Bagaimana Menurutmu Dua Orang dan
Ketiganya Allah?
Nabi Muhammad
saw, dan Abu Bakar ash-Shiddiq tinggal di gua itu selama tiga hari, hingga
ambisi untuk mencari keduanya padam. Kemudian datanglah Abdullah bin Uraiqith
dengan dua ekor unta menjemput mereka berdua. Keduanya pun pergi, Abu Bakar
duduk di belakang Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan berada di depan mereka.
Maka Allah megnawasi mereka, dukungan-Nya menemani mereka, dan Allah
membahagiakan mereka saat pergi dan turun.
Kaum Quraisy
memutuskan untuk segera megnadakan rapat darurat dengan mengumpulkan berbagai
saran agar dapat menangkap keduanya. Lalu,diletakanlah pengawas yang bersenjata
berat di setiap penjuru yagn memungkinkan keluar dari Makkah. Sebagaimana
diputuskan untuk memberi hadiah besar, sejumlah 100 unta untuk setiap kepala,
bagi siapa saja yang bisa menyerahkan keduanya kepada Quraisy, hidup atau mati
..... siapa pun. (HR Bukhari dan Ahmad).
Kaum musyrikin
Makkah pergi dengan mengikuti jejak Muhajirin yang mengarungi jarak. Mereka
memeriksa setap tempat pelarian. Mereka juga mendaki gunung-gunung dan gua-gua
di sana. Ketika mereka sampai di dekat Gua Tsur, Rasulullah saw, dan teman
hijrahnya (Abu Bakar) diam setelah terdengar suara tapak kaki para pengusir itu
mendekat. Abu Bakar gemetar dan ebrbisisik kepada Rasulullah saw, “Jika salah
satu dari mereka melihat ke bawah kakinya, dia akan melihat kita.” Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Bakar, bagaimana
menurutmu dua orang dan ketiganya Allah?” (HR Bukhari dan Muslim).
Kita
harus menggunakan sarana dan menggantungkan hati kita kepada yang menyebabkan
adanya sarana itu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Kita tidak melihat adanya
seseorang yang lebih berhak atas pertolongan Allah dan dukungan-Nya,
sebagaimana Rasulullah saw, yang mengahadapi apa yang beliau hadapi di sisi
Allah. Namun, beliau berhak atas pertolongan dari Yang Mahatinggi, tidak
berarti menyepelekan hal kecil dalam penghimpun semua faktor dan mengumpulkan
sarananya.
Rasulullah saw,
sendiri menyiapkan rencana hijtahnya dan menyiapkan setiap hal yang wajib
disiapkan. Beliau tidak membiarkan satu celah pun bagi sesuatu yang masih buram
dalam prediksinya.
Begitu juga,
seorang mukminharus sanggup membuat perencanaan yang baik dan matang. Kemudian
ia bertawakal kepada Allah SWT karena segala sesuatu itu bisa terlaksana atas
kehendak Allah SWT.
Jika seseorang
sudah berusaha mengeluarkan daya upaya dengan sungguh-sungguh dan melaksanakan
kewajiban sesuai dengan perintah, tetapi ia tumbang atau gagal, Allah SWT tidak
akan mencela atas kegagalannya itu dan dijadikan cobaan baginya. Semua itu
adalah kehendak Allah SWT, Dzat Yang Mahaperkasa, tak seorang makhlukpun
berkuasa atas hal itu.
Sebagian besar
ketika manusia menyusun dengan baik permulaan-permulaan kemenagnan, datanglah
pertolongan tingkat tinggi yang membuat kemenangan itu berlipat-lipat buahnya.
Sebagaimana kapal yang mengarungi samudra, di belakang kemudi ada seorang
nahkoda yang mahir. Ternyata aliran air membantunya dan angin berhembus ke arah
yang ditujunya. Ia tidak ebrlama-lama di sana hingga akhirnya mencapai
tujuannya, pada waktu terpendek yang telah ditentukan.
Hijrah rasulullah
saw, dari Makkah ke Madinah berlaku juga aturan ini. Beliau tetap tinggal di
Makkah dulu bersama Ali dan Abu Bakar, lalu mengizinkan seluruh kaum mukminin
untuk mendahuluinya hijrah ke Makkah.
Dzatu an-Nithaqain
Ketika ambisi
untuk mencari Rasulullah sudah padam, segala upaya pencarian pun dihentikan.
Para pencari pun istirahat, setelah pencarian yang berlangsung tiga hari tanpa
hasil. Rasulullah saw, dan teman perjalanannya bersiap untuk pergi ke Madinah.
Dari Aisyah r.a.
berkata, “Maka kami mempersiapkan untuk keduanya dengan baik dan kami buatkan
bagi keduanya bekal makanan yang kami simpan dalam kantung kulit. Sementara
itu, Asma’ binti Abu Bakar memotong kain ikat pinggangnya menjadi dua bagian,
lalu satu bagiannya digunakan untuk mengikat kantung kulit itu. Dari peristiwa
inilah kemudian dia dikenal sebagai Dzatu an Nithaqain (wanita yang mempunyai
dua potongan ikat pinggang).” (HR Bukhari).
Dari Asma’ r.a.
berkata, “Aku membuatkan bekal perjalanan untuk Nabi saw, dan Abu Bakar ketika
keduanya hendak berangkat Hijrah menuju Madinah. Aku aktakan kepada bapakku,
“Aku tidak mendapatkan sesuatu untuk mengikat, melainkan kain ikat pinggangku.”
Bapakkau berkata, “Potonglah kain ikat pinggang itu!” Dari situlah kemudian aku
dijuluki dengan Dzatu an-Nithaqain (wanita yang mempunyai dua potongan ikat
pinggang).” (HR Bukhari).
Az-Zubair bin
Bakkar berkata tentang kisah ini, “Rasulullah saw., bersabda kepada Asma’,
“Allah akan menggantikan ikat pinggangmu di surga dengan dua ikat pinggang.”
Kemudian ia diberi gelar Dzatu-an-Nithaqain.”
Kecepatan Berpikir dan Penanggulangan
yang Baik
Inilah sikap yang
memancarkan iman yang agung, sikap yang mengungkapkan ketulusan iman dan
kecepatan berpikir, serta penanggulangan yang baik dalam perkara darurat.
Dari Asma’ binti
Abu Bakar berkata, “Ketika Rasulullah pergi bersama Abu Bakar, Abu Bakar
membawa semua hartanya bersamanya, 5.000 Dirham atau 6.000 Dirham.”
Asma’’kata, “Ia
pergi dengan membawa semua itu.” Asma’ berkata, “Kemudian kakekku, Abu Quhafah,
yang telah hilang penglihatannya datang kepada kami dan berkata, “Dimi Allah,
aku melihat ia sudah menyusahkan kalian dengan membawa semua hartanya.”
Asma’ berkata,
“Kemudian kukatakan, “Tidak, wahai kakek, dia meninggalkan untuk kami kebaikan
yang banyak (harta).”
Asma’ berkata,
“Lalu aku ambil beberapa batu dan aku letakkan di sebuah lubang dinding di
rumah, tempat ayahku meletakkan uangnya, lalu aku tutup dengan kain. Kemudian
aku meraih tangan kakek dan kukatakan kepadanya “Wahai Kakek, letakkan tanganmu
di atas harta ini.”
Asma’ berkata,
“Kakek meletakkan tangannya di atas batu itu, lalu berkata, “Tidak mengapa jika
ia meninggalkan sesuatu untuk kalian, berarti dia sudah ebruat baik, jadi
kalian bisa hidup ....”
Asma’ berkata,
“Padahal demi Allah, ayah tidak meninggalkan apa-apa buat kami, aku hanya ingin
menennangkan orang tua itu.” (HR. Hakim, dengan sanand shahih).
Mukjizat Nabi saw,d an Karunia
Tertinggi dari Allah
Dari hadits Qays
bin an-Nu’man r.a. berkata, “Ketika Nabi saw, dan Abu Bakar pergi secara
sembunyi-sembunyi, keduanya memerintahkan seorang hamba sahaya untuk
menggembalakan kambing, kemudian mereka memerahnya dan minum darinya. Ia
berkata, “Aku tidak memiliki kambing untuk diperah susunya, kecuali si betina
ini. Dia hamil awal musim dingin lalu dan sudah melahirkan, tetapi tidak ada
susu yang tersisa.” Rasulullah berkata, “Bawalah kambing itu kemari.” Lalu,
dibawanya kambing itu. Nabis aw. Mengikatnya, lalu mengusap-usap puntingnya dan
ditarik-tarik hingga keluar air susunya.
Kemudian Abu Bakar datang dengan membawa wadah, Rasulullah memerahnya dan
memberinya kepada Abu Bakar, lalu, memerahnya lagi untuk ia minum. Penggembala
itu berkata, “Demi Allah, siapa engkau? Aku tidak pernah melihat orang
sepertimu.” Rasulullah berkata, “Jika aku katakan, apakah kau mau menjaga
rahasia?” Ya.” Kata penggembala itu. “Aku adalah Muhammad utusan Allah.” Kata
Rasulullah. Penggembala itu berakta, “Engkau adalah orang yang dianggap orang
Quraisy shabi.” (yang berpaling dari agama kaumnya).” Nabi saw, berkata, “Ya,
begitulah mereka mengatakan itu.” Penggembala itu berkata, “Aku bersaksi bahwa
engkau adalah nabi dan aku bersaksi bahwa engkau membawa kebenaran. Dan tidak
ada yang bisa melakukan hal itu selain seorang nabi dan akan mengikutimu.”
Tidak untuk saat ini, jika kau mendengar kabar bahwa aku telah memang,
datanglah kepada kami.” Kata Nabi saw.” (HR. Hakim).
Dari al-Barra’
bin ‘Azib r.a. berkata, “Abu Bakar membeli dari ‘Azib seperangkat pelana unta
dengan harga tiga belas dirham, lalu Abu Bakar berkata kepada ‘Azib,
Perintahkanlah al-Barra’ untuk membawa pelana ini kepadaku.” Namun, ‘Azib
berkata, “Tidak, kecuali kamu mau bercerita apa ayang kamu dan Rasulullah saw,
lakukan saat kelian ebrdua keluar untuk berhijrah dari Makkah, sementara
orang-orang musyrik mencari-cari kalian.”
Abu Bakar
berkata, “Baiklah ..... kami berangkat dari Makkah melalui perjalanan atau
menempuh perjalanan siang dan malam
hingga ketika di siang hari saat cuaca sangat panas. Aku mencoba mengarahkan
pandanganku untuk melihat-lihat apakah ada naungan untuk tempat berteduh.
Akhirnya, ada sebuah batu, lalu aku datangi dan aku lihat di baliknya ada
tempat untuk berteduh. Kemudian (kami singgah di batu tersebut), aku meratakan
tempat dengan tanganku sendiri dan menghamparkan tikar untuk Nabi saw., lalu aku katakan kepada
beliau, “Berbaringlah, wahai Nabi Allah.” Nabi saw, pun berbaring, lalu aku
beranjak sejenak untuk mengamati keadaan sekeliling tempat itu, apakah ada
orang yang membuntuti kami. Ternyata, aku bertemu dengan seorang anak kecil, pengembala
kambing yang sedang menggiring kambingnya menuju batu tersebut untuk bernaung,
sebagaimana yang kami lakukan. Aku bertanya kepadanya, “Milik siapakah kamu
ini, wahai ghulam (anak kecil).?” Anak kecil penggembala itu menjawab, “Aku ini
milik seseorang dari suku Quraisy.” Dia menyebutkan nama bagindanya yang aku
mengenalnya. Aku bertanya lagi, “Apakah kambingmu ini menghasilkan air susu?”
Anak gembala itu menjawab, “Y.” Aku tanya lagi, “Apakah kamu bersedia memeras
susunya?” Anak gembala itu kembali menjawab, “Ya.” Kemudian aku
memerintahkannya, lalu dia menarik seekor kambing gembalaannya dan
kuperintahkan agar dia membersihkan puting susunya dari debu. Kemudian aku
memerintahkannya untuk membersihkan telapak tangannya.” (Abu Bakar)
melanjutkan, “Kemudian anak gembala itu memeras sedikit susu dan memasukkannya
ke dalam sebuah gelas. Sedangkan, aku membawa wadah kecil yang aku siapkan
untuk Nabi saw., yang biasanya beliau gunakan untuk minum. Aku menuangkan (air)
ke dalam susu itu agar dingin pada bagian bawahnya, lalu aku beranjak menemui
Nabi saw. Dan aku dapatkan beliau sduah terbangun, lalu aku katakan, “Minumlah,
wahai Rasulullah!” Beliau meminumnya hingga aku puas. Kemudian aku bertanya
“Apakah sudah waktunya kita melanjutkan perjalanan, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Ya.” Kemudian kami berangkat meneruskan perjalanan, sementara kaum
musyrikin mencari-cari kami, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang
mendapatkan kami, kecuali Suraqah bin Malik bin Ju’syam yang menunggang
kudanya. Lalu, aku berkata, “Itu orang yang mengejar kita, dia akan menangkap
kita, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu bersedih,
sesungguhnya Allah bersama kita,” (HR Bukhari dan Muslim).
Kisah Suraqah bin Malik
Dari riwayat
Suraqah bin Malik bin Ja’syam r.a. berkata, “Datang kepada kami beberapa orang
utusan kafir Quraisy, yang menjadikan Rasulullah saw,d an Abu Bakar, sebagai
sayembara berhadiah bagi orang yang membunuh atau menawan salah seorang dari
keduanya. Ketika aku sedang duduk bermajelis di tengah majelis kaumku, Bani
Mudlij, tiba-tiba datang menghadap seseorang dari mereka, lalu berdiri di
hadapan kami yang sedang duduk bermajelis seraya berkata, “Wahai Suraqah,
sungguh barusan aku melihat orang-orang hitam di pesisir. Aku kira mereka itu
adalah Muhammad dan Sahabatnya.”
Suraqah berkata,
“Saya tahu bahwa mereka itu adalah yang dimaksud, tetapi aku berkata keapdanya,
“Sesungguhnya mereka itu bukan mereka (rombongan Rasulullah), tetapi kamu
melihat fulan dan fulan, yang bergerak bersama-sama dengan mata-mata kami.”
Aku tetap berdiam
di majelis itu beberapa saat, kemudian aku pergi pulan dan masuk ke rumah.
Kemudian aku perintahkan pembantu wanitaku agar membawa keluar kudaku dari
balik bukit dan menahannya hingga kau datang. Aku mengambil tombak, lalu keluar
dari belakang rumah. aku menyembunyikan tombakku dengan meletakkan ujung bawah
tombak itu ke tanah dan merendahkan ujung atasnya. Aku mempercepat lari kudaku
agar aku dapat mendekati mereka. Ketika aku sudah dekat dengan mereka, kduaku
terperosok ke tanah dan aku jatuh tersungkur. Aku bangun lalu aku mengepalkan
tanganku ke tempat anak panahku, lalu aku keluarkan beberapa anak panah untuk
aku jadikan alat pengundi nasib. Aku mencari penjelasan dengan cara mengundi
anak panah itu, apakah aku akan mencelakai mereka atau tidak. Namun, undian
yang keluar adalah apa yang tidak aku senangi.
Kemudian aku
menunggangi kudaku lagi tanpa percaya dengan hasil undian tadi agar aku dapat
mendekati mereka lagi. Ketika aku (mendekat) sampai dapat mendengar bacaan rasulullah
saw, pada saat itu beliau tidak menoleh, sedangkan Abu Bakar seringkali menoleh
ke sana ke mari. Kaki depan kudaku kembali terperosok did alam tanah hingga
mencapai kedua lututnya dan aku terpelanting dari atasnya. Aku menghalau
kudaku, lalu dia bangkit dan hampir saja dia tidak dapat mencabut kedua
kakinya. Ketika kudaku sudah berdiri tegak, tiba-tiba pada bekas jejak kakinya
keluar asap (yang tidak berasal dari api), lalu membumbung ke langit bagaikan
awan. Kemudian aku kembali mencari penjelasan dengan undian dan lagi-lagi
undian yang keluar adalah yang aku tidak sukai. Akhirnya, aku memanggil mereka
dengan jaminan keamanan. Mereka pun berhenti. Lalu, aku menunggang kudaku
hingga sampai kepada mereka. Ketika aku memperoleh kegagalan (membunuh mereka),
terbetiklahd alam hatiku bahwa kelak urusan rasulullah saw, akan menang. Aku berkata kepada mereka, “Sesungguhnya
kaummu telah membuat sayembara berhadiah atas engkau.” Lalu, aku menceritakan
kepada mereka apa yang sedang diinginkan oleh orang-orang atas diri beliau.
Kemudian aku menawarkan kepada mereka perbekalan dan harta bendaku, tetapi
keduanya tidaklah mengurangi dan meminta apa yang ada padaku. Akan teapi, belai
berkata, “Rahasiakanlah keberadaan kami.” Lalu, aku meminta kepada beliau agar menulis
surat jaminan keamanan, kemudian beliau menyuruh Amir bin Fuhairah untuk
menuliskannya pada kulit yang telah di samak. Lalu, Rasulullah saw.melanjutkan
perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kelihaian dan Kecerdasan Abu Bakar
r.a.
Anas r.a. mengatakan
bahwa Nabi saw, tiba di Madinah dengan membonceng Abu Bakar. Abu Bakar adalah seorang yang tua dan dikenali, sedangkan Nabi
saw, masih muda dan belum dikenal. Anas r.a. berkata, “Maka datanglah seorang
laki-laki kepada Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, siapakah laki-laki
yang dihadapanmu ini?” Abu Bakar menjawab, “Dialah orang yang telah menunjukkan
jalan kepadaku.” Orang itu menduga bahwa yang dimaksud Abu Bakar adalah
penunjuk jalan yang dilalui. Padahal, yang sebenarnya adalah jalan kebaikan
(Islam). Kemudian Abu Bakar menoleh, tiba-tiba ada seorang penunggang
kuda yang menyusul mereka. Abu Bakar berkata, “ Wahai Rasulullah, ada seorang
penunggang kuda yang menyusul kita.” Nabi saw, pun menoleh dan bersabda, “Ya
Allah, sungkurkanlah ia ke tanah.” Kemudian orang itu dipelantingkan kudanya.
Kuda itu berdiri sambil meringkik. Laki-laki itu berkata, “Wahai Nabi Allah,
perintahkanlah aku apa saja yang engkau inginkan!”. Beliau berkata, “Tetaplah
kamu di tempatmu sekarang dan jangan biarkan ada seorang pun yang menyusul
kita.” Anas r.a. berkata, “Kemudian laki-laki itu berjuang di awal hari untuk
membuntuti Nabi saw, dan pada akhir hari dia menjadi tameng bagi beliau.” (HR
Bukhari).
Kisah Ummu Ma’bad al-Khuzaiyyah
Dari Hisyam bin
Habisy dari bapaknya, Habisy bin Khalid, sahabat Rasulullah saw, berkata,
“Sungguh Rasulullah saw pergi dari Makkah untuk berhijrah ke Madinah bersama
Abu Bakar, pelayannya (Amir bin Fuhairah),d an penunjuk jalan mereka,
(al-Laitsy Abdullah bin Uraiqith). Mereka melewati kemah Ummu Ma’bad
al-Khuza’iyyah. Ia adalah seorang perempuan yang sudah tua, tidak menutup diri
dari laki-laki, dan kuat sedang duduk-duduk di halaman perkemahannya. Ia
seringkali memberi makan dan minum untuk orang-orang yang melewati kemahnya.
Kemudian rombongan
itu meminta kepadanya daging dan kurma untuk dibeli. Namun, mereka tidak
mendapatkan apa pun. Sebab, pada saat itu mereka sedang melewati masa kering
dan paceklik. Lalu, Rasulullah melihat seekor kambing di samping kemah. Beliau
saw, berkata, “Wahai Ummu Ma’bad, bagaimana dengan kambing betina ini?” Ummu
Ma’bad berkata, “Kambing betina ini ditinggalkan jantannya karena ia mandul.”
Rasulullah saw, bertanya lagi, “Apakah ia mengeluarkan susu?” Ummu Ma’bad
berkata, “Dia lebih kering dari itu (tak pernah mengeluarkan susu).” Rasulullah
saw, berkata, “Apakah kau mengizinkanku untuk memerahnya?” Ummu Ma’bad berkata,
“Demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya. Jika engkau melihat ia mengeluarkan
susu, perahlah.”
Rasulullah saw,
mendekat ke kambing itu dan mengusap puting susunya. Beliau menyebut nama Allah
SWT dan berdoa untuk hal itu. Kambing itu pun merenggangkan kakinya dan puting
susunya mulai membesar, lalu meneteslah air susunya. Rasulullah saw, pun
meminta wadah. Hal itu membuat orang-orang jongkok untuk melihatnya. Rasulullah
saw, memerahnya sampai berkumpul lemak di atasnya. Rasulullah saw, memberi Ummu
Ma’bad susu itu sampai dia kenyang, lalu para sahabat perjalanannya hingga
mereka pun demikian. Mereka semua meminumnya berkali-kali sampai kekenyangan.
Kemudian Rasulullah saw, memerahnya kembali hingga wadah itu penuh dan
memberikannya kepada Ummu Ma’bad. Beliau pun membaiatnya untuk Islam dan mereka
pun pergi untuk melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, daatang suami Ummu
Ma’bad --- Abu ma’bad – dari menggembala kambing-kambingnya yang kurus kering.
Ketika ia melihat
susu itu, ia terkejut dan berkata, “Dari mana kau mendapatkan susu ini,
sedangkan kambing ini tak pernah merumput, belum pernah hamil, dan tak pernah
memberikan susu untuk rumah ini?” Ummu Ma’bad berkata, “Tidak, demi Allah,
melainkan tadi ada seorang laki-laki yang diberkahi, lewat di perkemahan kita,
dia begini dan begitu.” Abu Ma’bad berkata, “Ceritakan tentangnya kepadaku,
wahai Ummu Ma’bad.”
Ummu Ma’bad
berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang wajahnya tampan, wajahnya
bersinar, budi pekertinya bagus, tidak sombong dan juga tidak rendah diri,
sangat tampan, bola matanya hitam, bulu matanya lentik, suaranya gagah,
lehernya jenjang dan bersih, jenggotnya lebat, alisnya pun demikian. Ketika ia
diam, ia tampak berwibawa, ketika ia berbicara, ia tampak agung. Paling tampan
dan berwibawa dari jauh dan paling baik ketika mendekat. Pembicaraannya logis,
perkataannya lugas tidak panjang juga tidak terlalu pelit berbicara, dan
perkataannya tertata. Berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi, juga tidak
gempal, di antara tiga orang itu dia seperti dahan di antara dua dahan, dia
juga paling gagah di antara tiga orang yang bersamanya, dan dia juga yang
paling baik kemampuannya, dia memiliki teman-teman yang melindunginya. Jika ia
berkata, mereka mendengarkan perkataannya. Jika ia memerintahkan sesuatu,
mereka bersegera melaksanakannya, terlayani dan terlindungi, tetapi ia tidak
bermuka masam, tidak juga keterlaluan.”
Abu Ma’bad
berkata, “Demi Allah, dia adalah orang Quraisy yang diceritakan kepada kita.
Aku telah bertekad menemaninya, aku akan melakukannya jika ada jalan. Suara
(penindasan) di Makkah makin meninggi, mereka mendengar suara itu, tetapi
mereka tidak mengenal siapa pemilik suara itu.”
Allah, Tuhan manusia, membalas
dengan sebaik-baik pahala.
Para teman perjalanan yang melewati
kemah Ummu ma’bad
Mereka singgah padanya dengan
petunjuk Ummu Ma’bad pun ber-Islam
Telah beruntung siapa yang menemani
Muhammad
Duhai betapa mulianya sesuatu yang
Allah tunjukkan kepada kalian
Perbuatan miulia tidak terbalas
dengan hadiah-hadiah (dunia) dan tidak setara dengan kemuliaan apa pun.
Untuk Abu Bakar kebahagiaan akan
keuletannya menemaninya
Barang siapa membaut Allah gembira,
Dia pun akan bahagia
Bani Ka’ab, pemudi-pemudinya,
memiliki kedudukan, dan derajatnya pada kaum mukmin telah tercatat
Tanyalah apda saudari kalian tentang
kambing dan wadah itu
Jika kalian dapat bertanya pada
kambning itu, ia akan bersaksi
Ia meminta didatangkan kepadanya
kambing mandul itu, lalu ia mengeluarkan air susu
Di atasnya terdapat lemak berbuih.
Dia meninggalkan susu itu untuknya
sebagai jaminan bagi sang pemerah
Yang akan mengembalikannya pada
sumber yang mendatangkannya (HR Hakim).
Sikap az-Zubair r.a. Bersama Nabi dan
Abu Bakar r.a.
Ibnu Syihab
az-Zuhri berkata, “Urwah bin Zubair mengabariku bahwa Rasulullah saw, bertemu
dengan az-Zubair dalam rombongan kafilah dagang kaum Muslimin. Mereka adalah
para pedagang yang baru kembali dari negeri Syam. Az-Zubair memakaikan pakaian
berwarna putih kepada Rasulullah saw.” (HR Bukhari).
Sunnah Para Nabi
Melalui hijrah
ini Rasulullah tenah menunaikan sunnah para nabi sebelumnya. Tak seorang pun
dari nabi, melainkan ia tumbuh di negerinya, lalu pergi berhijrah darinya. Dari
Ibrahim, bapak para nabi dan kekasih Allah hingga Isa, yang merupakan tanda
kebesaran Allah dan Ruh-Nya. mereka semua berada dalam derajat yang agung dan
maqam yang tinggi. Mereka dihina oleh kaumnmya, tetapi mereka sabar agar
menjadi teladan bagi orang-orang yang mengikuti mereka setelah masa mereka
serta agar mereka senantiasa teguh dan sabar atas bencana yang menimpa selama
mereka di jalan Allah.
Hijrah yang Tak Lekang hingga Akhir
Zaman
Jika kita
memahami hikmah yang terkandung dalam peristiwa hijrah ini, kita tahu bahwa
Kitabullah (Al-Qur’an) yang kita baca telah membantah mereka yang menghina para
sahabat Rasulullah saw. Mereka shalat dan puasa di Makkah, tetapi mereka rela
untuk tetap tinggal di bawah sistem yang menindas Islam. Mereka tak memiliki
kekuatan untuk mengubahnya. Mereka juga tidak berhijrah ke negeri yang menjadi
benteng bagi Islam agar mereka menjadi tentaranya yang siap untuk mengubah
sistem itu. Kita akan tahu bahwa Islam tidak hanya shalat dan puasa, tetapi
Islam menginginkan mereka mendirikan sistem itu dan aturan-aturannya di rumah,
pasar, perkumpulan, lembaga, dan kantor pemerintahan mereka. Mereka juga harus
menyelenggarakan semua sarana untuk mencapai tujuan, mulai dari rumah, yaitu
dengan memperhatikan pendidikan anak-anak sebagai amanah yang dititipkan kepada
mereka. Mereka harus bekerja sama dengan saudara-saudara mereka yang
menginginkan Islam itu tinggi dan berkembang hingga reformasi ini menyeluruh di
semua lini yang luas. Di bawah sinarnya, kegelapan hal-hal yang batil pun lenyap.
Tatanan inilah yang dipakai dalam hijrah seperti yang dicontohkan oleh Nabi
saw., dan para nabi sebelumnya.
Disebutkan dalam
kitabnya Muslim, a;-Imarah, dari riwayat Abu Utsman an-nahdy bahwa Majasyi’ bin
Mas’ud berkata, “Aku datang bersama saudara Abu Ma’bad kepada Rasulullah saw,
setelah penaklukkan Makkah. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, baiatlah dia akan
hijrah.” Rasulullah saw berkata, “Hijrah sudah berlalu oleh mereka yang
berhijrah.” Majasyi’ berkata, “Lalu pada apa engkau akan membaiatnya?” Rasulullah
saw bersabda, “Pada Islam, jihad, dan kebaikan.” Abu Utsman an-nahdy berkata,
“Aku bertemu dengan Abu Ma’bad dan aku memberitahunya tentang perkataan
Majasyi’, Abu Ma’bad berkata, “Dia benar.” (HR. Muslim).
Dalam beberapa
buku sunnah yang sebagian diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari
Abdullah bin Amru bin Ash, dan Maqalah bin Uba’id bin Naqid al-Anshari bahwa
Nabi sawe bersabda, “Al-Muhajir adalah yang berhijrah dari keburukan.” (HR
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).
Berhijrah juga bisa
diartikan dengan menjauhi kesalahan dan dosa-dosa. Berhijrah dengan menjauhi
sesuatu yang berlawanan dengan tatanan Islam di rumah kita, dalam pekerjaan
kita. Berhijrah menjauhi kelemahan pengangguran, ketidakpedulian,
bermewah-mewahan, bohong, riya, dan berhijrah dari menempatkan segala sesuatu
tidak pada tempatnya.
Nabi saw. Tiba di Madinah
Kaum muslimin di
Madinah mendengar kabar kepergian Rasulullah saw dai Makkah. Setiap hari mereka
pergi ke padang pasir untuk menunggunya, hingga panasnya siang hari membuat
mereka pulang. Setelah lama menanti dan tak kunjung datang, mereka menunggunya
di rumah-rumah mereka. Ketika mereka berada di rumah-rumah mereka, seorang
yahudi naik ke suatu benteng (puri) dan melihat seuatu. Ia melihat Rasulullah
saw dan sahabatnya tampak putih, fatamorgana pun lenyap karena mereka. Yahudi
itu tak kuasa lagi untuk berteriak sekencang-kencangnya, “Wahai kaum Arab, itu
orang yang kalian tunggu-tunggu.”
Kaum muslimin pun
mengambil senjata dan menemui Rasulullah saw, di tengah panasnya gurun. Beliau
saw, menuju ke kanan dan singgah ke perkampungan Bani Amru bin Auf. Hal ini
terjadi pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal. Abu Bakar berdiri menghadap
orang-orang yang datang, sementara itu Rasulullah saw, memberi hormat kepda Abu
Bakar. Hingga ketika Rasulullah terkena panas matahari, Abu Bakar menaunginya
dengan sorbannya. Pada saat itu, orang-orang baru tahu mana Rasulullah saw.
Nabi saw. Membangun Masjid Quba
Menurut Imam
Ibnul Qayyim, “Keriuhan dan takbir terdengar di perkampungan Bani Amru bin Auf.
Kaum muslimin bergembira dengan kedatangan beliau saw. Mereka pun keluar untuk
menemui dan menyambutnya dengan penghormatan kenabian. Mereka mengelilinginya
dan ketenangan menaungi, wahyu pun turun kepada beliau saw.
“...... maka
sungguh Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orag mukmin yang
baik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya. (QS. at-Tahrim (66)
: 4).
Rasulullah
berjalan dan singgah di Quba di perkampungan Bani Amru bin Auf, lalu ke rumah
Kultsum bin al-Hidam. Dalam riwayat lain, di rumah Sa’ad bin Khaytsamah. Namun,
riwayat yang pertama lebih kuat. Rasulullah saw, tinggal di perkampungan Bani
Amru bin Auf selama 14 hari. Di sana beliau membangun Masjid Quba, masjid
pertama yang dibangun setelah masa kenabian.
Shalat Jum’at Pertama Rasulullah saw.
Ketika tiba hari
Jum’at, beliau masih dalam perjalanan. Lalu, beliau berhenti di perkampungan
bani Salim bin Auf. Rasulullah saw, pun shalat Jum’at bersama mereka di sebuah
masjid di tengah sebuah lembah.
Rasulullah saw. Masuk ke kota Madinah
Dari Ashim bin
Addy r.a. berkata, “Rasulullah datang pada hari Senin malam ke 12 dan bulan
Rabi’ul Awwal, beliau menetap di Madinah selama 10 tahun.” (HR. Thabrani).
Penduduk Madinah Gembira dengan
Kedatangan Rasulullah saw.
Apakah seseorang
di dunia ini bisa menggambarkan atau berkhayal bagaimana gembiranya seseorang
yang melihat Nabi saw, pada saat tidur meskipun hanya sekali. Lalu, bagaimana
dengan mereka yang melihatnya dalam keadaan sadar?
Dari al-Barra’
bin ‘Azib dari Abu Bakar tentang hadits hijrah, ia berkata, “Kami tiba di
Madinah malam hari. Mereka berebut dan semua ingin Rasulullah saw, menginap di
rumah mereka. Namun Rasulullah saw, berkata, “Aku menginap di Bani an-Najjar,
paman-paman Abdul Muthalib, aku ingin menghormati mereka dengan menginap di
sana. Kaum laki-laki dan perempuan naik ke atas rumah mereka, sementara
anak-anak kecil dan budak-budak bertebaran di jalan dan memanggil, “Wahai
Muhammad, wahai Rasulullah, wahai Muhammad, wahai rasulullah.” (HR Bukhari dan
Muslim, Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Nabi saw disambut dengan sebuah
lagu “Thala’a al-badru alaina” tidak ada satu pun riwayat shahih yang
menyebutkannya).
Ketika Rasulullah
tampak di amta mereka, kasih sayang meliputi dada mereka. Bibir-bibir mereka
menyenandungkan syair-syair dan nyanyian-nyanyian gembira karena telah melihat
kedatangan Nabi saw di hadapan mereka. Rasulullah saw pun membalas dengan cinta
yang sama. Hingga beliau melihat putri-putri Bani an-Najjar yang ada di sekitarnya
bersenandung dan bernyanyi ketika beliau datang. Beliau saw berkata, “Kalian
mencintaiku? Demi Allah, sungguh hatiku juga sangat mencintai kalian.”
Orang-Orang habasyah Gembira karena
Rasulullah saw.
Dari Anas r.a.
berkata, “Ketika Rasulullahd atang, orang-orang habasyah mainkan
perang-perangan gembira karena kedatangan beliau saw.” (HR Abu Dawud).
Madinah Bersinar karena Kedatangan
Rasulullah saw.
Dari Anas bin
Malik berkata, “Pada hari Rasulullah saw memasuki Madinah, beliau menyinari
segala sesuatu yang ada di dalamnya. Sebaliknya, pada hari beliau wafat,
madinah gelap, kami tidak mencabut baiat kami padanya, hingga kami mengingkari
hati kami (kesedihan yang berlarut).” (HR Turmudzi dan Hakim).
Al-Ghazali
berkata, “Kenyataan hidup yang berlawanan dan perbedaan pendapat orang cukup
mengherankan. Sungguh, beliau saw ketika berada di Makkah akan dibunuh dan
tidak akan berubah pandangannya terhadapnya, kecuali terpaksa. Namun, di
Madinah beliau saw disambut dengan penuh keceriaan, orang-orangnya berlomba
untuk menawarkan kepadanya perlindungan, harta, dan nyawa.”
Rasulullah Memilih Halaman Ayyub dan
Pembangunan Masjid
Dari Anas r.a.
bekata, “Rasulullah saw datang ke Madinah dan tinggal di bagian atas madinah,
di sebuah daerah yang disebut Bani Amr bin Auf, Rasulullah saw tinggal di sana
selama empat belas malam. Kemudian beliau saw mengirim utusannya kepada para
pemimpin Bani an-Najjar. Mereka datang dengan membawa pedang.”
Anas berkata,
“Saya melihat seolah-olah aku melihat Rasulullah saw di atas untanya dan Abu
Bakar di belakangnya serta para pemimpin Bani an-Najjar di sekelilingnya sampai
dia berhenti di halaman Abu Ayyub. Kemudian Rasulullah saw shalat ketika tiba
saatnya untuk shalat dan beliau saw shalat di tempat kambing dan domba.
Selanjutnya, memerintahkan untuk membangun masjid. Dikirmlah seseorang kepada
para pemimpin Bani an-Najjar dan mereka datang (kepadanya). Nabi saw berkata
kepada mereka, “Wahai Bani an-Najjar, jual tanah ini kepadaku.” Mereka
menjawab, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan menuntut harga, hanya pahala dari
Allah.”
Anas berkata, “Di
tempat itu sebagaimana aku katakan kepada kalian, ada makam orang-orang
musyrik, reruntuhan bangunan, dan pohon kurma. Rasulullah saw memerintahkan
agar makam-makam itu digali (dan dipindahkan), reruntuhan bangunan diratakan,d
an pohon-pohon ditebang. Rasulullah berkata, “Sejajarkan pohon-pohon ke arah
kiblat.”
Anas berkata,
“Kemudian mereka menjadikan batu-batu itu sebagai kusen pintu. Mereka
memindahkan batu-batu itu seraya menyenandungkan sesuatu bersama dengan
Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Allah, tidak ada kebaikan melainkan
kebaikan akhirat, tolonglah kaum Anshar dan Muhajirin.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat
lain dikatakan bahwa Rasulullah tinggal di perkampungan Bani Amru bin Auf sekitar
sebelas malam. Lalu, mendirikan masjid yang dibangun di atas ketakwaan.
Rasulullah saw shalat di sana, kemudian mengendarai untanya dan orang-orang
berjalan bersamanya. Hingga untanya berhenti tepat di masjid Rasulullah saw di
Madinah saat ini. Di sanalah Rasulullah saw shalat bersama kaum muslimin.
Tempat itu merupakan penyimpanan kurma milik Suhail dan Sahl, dua anak yatim
yang diasuh oleh As’ad bin Zararah. Ketika untanya berhenti di tempat itu,
Rasulullah saw berkata, “Insya Allah tempat ini akan menjadi rumahku.” Kemudian
Rasulullah saw memanggil kedua yatim itu dan menawar harga tempat itu untuk
dijadikan masjid. Kedunya berkata, “Tidak, bahkan kami ingin menghadiahkan
tempat itu kepadamu, wahai Rasulullah.” Namun, Rasulullah saw enggan menerimanya,
kecuali mereka menjualnya. Dijuallah tempat itu dan beliau saw membangun masjid
di sana.
Imam ibnul Qayyim
berkata, “nabi sam menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblatnya dan membuat tiga
pintu pada masjid itu, yaitu pintu di bagian belakang, pintu yang dinamakan bab
ar-rahmah, dan pintu tempat Rasulullah saw masuk darinya. Dindingnya terbuat
dari abtang kurma, sedangkan atapnya dari pelepah. Dikatakan kepada beliau,
“Tak perlu diberi atap.” Beliau bersabda, “Tidak, (aku ingin) singgasana
seperti singgasana Musa.” Lalu, beliau membangun rumah-rumah untuk
istri-istrinya dari batu bata di sebelahnya, atapnya dari pelepah kurma dan
batangnya. Ketika selesai, beliau membangun rumah untuk Aisyah di timur masjid.
Dan disitulah beliau dimakamkan. Dan beliau juga membangun rumah untuk Saudah
binti Zam’ah.”
Kerja Sama Membangun Masjid
Rasulullah saw
gembira memindahkan batu bata-batu bata bersama mereka ketika membangun masjid.
Sambil mengangkat batu-batu bata itu, beliau berkata, “Pemanggul ini bukan
pemanggul Khaibar. Ini adalam rangka berbakti kepada Tuhan kami dan menyucikan.
Wahai Allah, pahala yang sebenarnya adalah pahala akhirat. Kasihilah kaum
Anshar dan Muhajirin.
Beliau
mehyenandungkan syair seorang laki-laki dari kaum muslimin yagn tak disebutkan
namanya. Ibnu Syihab berkata, “Dalam beberapa hadits tidak disebutkan bahwa
Rasulullah saw menyenandungkan syair utuh, hanya beberapa bait tersebut saja.”
(HR Bukhari).
Dari Safinah –
pelayan Rasulullah saw --- berkata, “Ketika Rasulullah saw membangun masjid,
Abu Bakar r.a. datang membawa batu dan meletakkannya, kemudian datang Umar
membawa batu juga dan meletakkannya, lalu datang Utsman demikian juga. Lalu,
Rasulullah saw bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudahku.” (HR Hakim).
Dari Abu Sa’id
al-Khudri r.a. berkata, “Masing-masing kami membawa bata satu per persatu,s
edangkan Ammar membawa dua bata dua bata sekaligus. Saat Nabi saw melihatnya,
beliau berkata sambil meniup debu yang ada padanya, “Kasihan Ammar, dia akan
dibunuh oleh golongan durjana. Dia mengajak mereka ke surga, sedangkan mereka
mengajaknya ke neraka.” Ammar lantas berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari
firnah tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Karakteristik Masjid Rasulullah
Dari Ibnu Umar
r.a. berkata, “Masjid itu selama hidup Rasulullah saw debangun dengan batu
bata, atapnya dengan cabang-cabang pohon kurma, dan pilar dengan kayu kurma.
Abu Bakar tidak menambahkan sesuatu untuk itu. Namun, Umar memperluasnya dan
membangunnya seperti masa Rasulullah saw, yaitu dengan batu bata dan cabang
pohon kurma, sedangkan pilarnya dari kayu. Adapun Utsman, ia memperluasnya
menjadi sangat luas. Ia membangun dindingnya dengan dihias batu berukir dan
kapur. Lalu, dibangun pilar dengan dihiasi batu berukir dan atapnya dari kayu
jati.” (HR Bukhari).
Nabi saw. Dijamu oleh Abu Ayyub
al-Anshari
Kaum Anshar
bukanlah golongan orang yang kaya raya, tetapi setiap orang dari mereka
memimpikan agar rasulullah menginap di rumahnya. Tidaklah Rasulullah saw
melewati rumah mereka, melainkan mereka mengambil tali kekang untanya (agar
untanya mau memasuki rumahnya), bahkan mereka juga memberinya raga, harta, senjata, dan perlindungan.
Rasulullah saw berkata, kepada mereka, “Biarkan unta itu berjalan karena dia
sudah diperintahkan.” Unta itu terus berjalan hingga mencapai tempat masjid
nabawi (saat ini) dan dia berhenti. Beliau saw, tidak turun dari unta itu
karena unta itu bangkit lagi dan berjalan sedikit. Lalu, unta itu menoleh dan
kembali ke tempat pertama dan berhenti. Rasulullah saw pun turun darinya dan
itu terjadi di rumah-rumah Bani an-Najjar, yang merupakan paman-paman
Rasulullah saw. Atas taufik Allah kepada keluarga Bani an-Najjar.
Rasulullah saw
lebih menyukai untuk menginap di rumah paman-pamannya, sebagai bentuk
penghormatan atas mereka. Orang-orang membicarakan perihal menginapnya
Rasulullah saw di tempat mereka. Abu Ayyub al-Anshari bersegera mengambil tali
kekang unta Rasulullah dan membawanya masuk ke rumahnya. Melihat itu,
Rasulullah saw berkata, “Seseorang bersama tunggangannya.” Lalu, As’ad bin Zararah
mengambil tali kekang untanya dan unta itu bersamanya.
Dalam riwayat
Anas yang ada pada Bukhari, Nabi saw bersabda, “Rumah mana yang secara
kekerabatan lebih dekat denganku?” Abu Ayyub berkata, “Aku, wahai Rasulullah.
Ini rumahku dan ini pintuku.” Rasulullah saw bersabda, “Pergilah dan siapkanlah
sambutan untuk kami.” Ia berkata, “Kaum yang diberkati Allah.” (HR Bukhari dan
Ahmad).
Ia menyeru kaum Quraisy beberapa
belas musim
Mengingatkan masa bertemu san
kekasih jika telah mati
Memaparkan dakwahnya pada musim haji
Meskipun ia tak tahu siapa yang akan
mendukung, siapa yang menyeru
Ketika ia datang kepada kami, dakwah
bersemi
Ia gembira dan ridha dengan tanah
ini
Ia menjadi tidak takut aniaya si
zalim nun jauh di sana
Tidak pula khawatir dengan kejahatan
seseorang
Kami mendukungnya dengan harta-harta
kami yang halal
Begitu juga jiwa kami, baik suka
maupun duka
Kami hadapi semua yang memusuhinya
Meskipun dia adalah orang yang kami
kasihi
Kami tahu Allah, tiada Tuhan selain
Dia
Dan Kitabullah menjadi petunjuk bagi
kami
Beginilah Sopan Santun terhadap
Rasulullah saw.
Abu Ayyub
al-Anshari berbicara tentang kegembiraannya yang meluap-luap yang meliputi
seluruh jiwa dan raganya karena Rasulullah saw menginap di rumahnya, “Ketika
Rasulullah saw singgah di rumahku dan ia berada di lantai bawah, sedangkan aku
dan Ummu Ayyub di lantai atas. Aku berkata kepada beliau saw, “Wahai Nabi
Allah, demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya, aku tidak suka dan merasa merasa
terhormat, aku berada di atasmu dan engkau di bawahku. Maka keluarlah dan
pindahlah ke atas, kami turun ke bawah.” Rasulullah saw berkata, “Wahai Abu
Ayyub, di abwah rumah aku merasa nyaman dan dilindungi.” (HR Muslim).
Dalam riwayat
lain dikatakan bahwa Rasulullah saw ketika tiba di Madinah, beliau menginap di
rumah Abu Ayyub. Rasulullah saw berada di lantai bawah, sedangkan Abu Ayyub di
lantai atas. Suatu malam Abu Ayyub bangun dan berkata, “Kita berjalan di atas
kepala Rasulullah saw.” Lalu, Abu Ayyub dan keluarganya pergi ke samping serta
menghabiskan malam di sudut. Kemudian pagi harinya ia mengatakan kepada
Rasulullah saw, tentang hal itu. Rasulullah saw berkata, “Lantai bawah lebih
nyaman untukku.” Abu Ayyub berkata, “Kami tidak mungkin di atas atap tempat
Anda tinggal!” Akhirnya Abu Ayyub al-Anshari pindah ke lantai bawah, sedangkan
Rasulullah saw pindah ke lantai atas.” (HR Muslim).
Dari Abu Ruhm
bahwa Abu Ayyub berkata kepadanya, “Rasulullah saw menginap di rumah kami di
lantai bawah. Ketika aku di kamar (atas), air mengalir ke kamar itu, kemudian
aku dan Ummu Ayuub berdiri mengikuti
aliran air itu dengan selimut (untuk mengelapnya). Lalu, aku turundan berkata,
“Wahai Rasulullah, tidak seharusnya kami berada di atasmu, pindahlah ke kamar
atas itu.” Lalu, beliau memerintahkan untuk memindahkan barang-barangnya dan
barangnya sedikit. Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw, ada makanan yang dikirim
untukmu, aku memeriksanya, jika aku lihat ada bekas jari-jarimu, aku letakkan
tanganmku di sana.” (HR Ahmad). Abu Ayyub mencari keberkahan al-Habib saw.
Keluarga Tercinta Berkumpul
Rasulullah saw
tinggal di rumah Abu Ayyub sampai rumah dan masjidnya siap di huni. Ketika
rasulullah saw masih berada di rumah Abu Ayyub al-Anshari, beliau mengutus Zaid
bin Harits dan Abu Rafi’ ke Makkah. Beliau saw membekali keduanya dengan dua
unta dan 500 dirham. Mereka pund atang bersama Fatimah dan Ummu Kultsum, dua
putrinya. Saudah binti Zam’ah, istrinya, serta Usamah bin Zaid dan ibu asuhnya,
Ummu Aiman. Sedangkan, Zainab binti Rasulullah saw, tidak diizinkan oleh
suaminya, Abu al-Ash bin Rabi’, untuk pergi. Adapaun Abdullah bin Abu Bakar
berangkat bersama keluarga Abu Bakar, di antara mereka ada Aisyah. Dan mereka
singgah di rumah Harits bin an-Nu’man.
Kisah Islamnya Abdullah bin Salam
Abdullah bin
Salam berkata, “Ketika Nabi saw datang di Madinah, roang-orang bergegas untuk
bertemu dengannya, dan aku salah satu di antara mereka. Ketika aku melihatnya,
aku tahu bahwa wajahnya bukanlah wajah pendusta. Hal pertama yang saya dengar
darinya ketika ia berkata, “Wahai manusia, sebarkan salam, berilah makan orang
lain, sambungkanlah ikatan kekerabatan, dan shalatlah pada malam hari ketika
orang-orang sedang tidur, dan Anda akan masuk surga dengan damai.” (HR Ahmad,
Turmudzi, dan Hakim).
Dari Anas bahwa
Abdullah bin Salam datang kepada Rasulullah saw ketika beliau tiba di Madinah.
Kemudian Abdullah berkata, “Aku ingin bertanya kepadamu tentang tiga hal, yang
hanya diketahui oleh seorang nabi, yaitu apa tanda eprtama hari kiamat, apa
yang pertama kali dimakan oleh penduduk surga, dan dari mana seorang anak
menyerupai ayahnya atau ibunya.”
Rasulullah saw
berkata, “Jibril baru saja memberitahuku.”
Abdullah berkata,
“Dia adalah malaikat musuh Yahudi.”
Rasulullah saw
bersabda, “Tanda pertama hari kiamat adalah api yang keluar dari arah timur,
yang menggirj gmanusia ke barat. Sedangkan makanan pertama penduduk surga
adalah hati hiu. Lalu, mengenai kemiripan, jika air mani laki-laki yang
mendahului, anaknya akan mirip dengan bapaknya, jika air perempuan yang
mendahului, anaknya akan mirip ibunya.”
Abdullah bin
Salam berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Abdullah juga
berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi adalah pendusta dan jika mereka
tahu bahwa saya telah memeluk Islam, mereka akan menuduh saya menjadi
pembohong. Utuslah seseorang kepada mereka, tanyakan mereka tentang aku.”
Nabi pun mengutus
seseorang untuk memanggil mereka. (Ketika mereka datang) Rasulullah berkata,
“Orang macam apa Abdullah bin Salam di antara kalian?”
Mereka menjawab,
“Dia adalah pendeta kami dan anak pendeta kami, orang yang terpelajar di antara
kami dan anak orang terpelajar.”
Nabi saw berkata,
“Bagaimana pendapat kalian jika Abdullah bin Salam memeluk Islam, apakah kalian
akan memeluk Islam juga>”
Mereka menjawab,
“Semoga Allah melindunginya dari hal itu.”
Kemudian Abdullah
keluar dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah Rasul Allah.”
Orang-orang
Yahudi pun berkata, “Abdullah adalah yang terburuk dari kami anak yang terburuk
dari kami, yang bodoh di antara kami dan anak dari yang bodoh di antara kami.”
Lalu, Abdullah
mengatakan, “Wahai Rasulullah, bukankah saya sudah memeberitahumu mereka adalah
kaum pendusta?” (HR Bukhari).
Dalam riwayat
lain, Abdullah bin Salam berkata, “Ketika aku mendengar kedatangan Rasululah
saw, aku tahu sifatnya, namanya, dan masanya yang telah kami lihat, tetapi aku
merahasiakannya dan diam. Hingga ketika Rasulullah saw tiba di Madinah dan
singgah di Quba, diperkampungan Bani Amru bin Auf. Seseorang datang dan
memberitahukan kedatangannya. Ketika itu aku sedang berada di atas pohon kurma
milikku. Aku sedang bekerja di sana dan bibiku. Khalidah binti al-Harits,
sedang duduk di bawah pohon. Ketika aku mendengar kabar kedatangan Rasulullah
saw, aku mengumandangkan takbir. Ia mendengar takbirku dan ebrkata, “Allah
menyia-nyiakanmu, demi Allah jika engkau mendengar Musa bin Imran datang,
engkau tidak akan begitu.” Lalu, kukatakan kepadanya, “Wahai Bibi, demi Allah,
dia adalah saudara Musa bin Imran,d engan agama yang sama, diutus dengan
sesuatu yang sama. Bibiku berkata, “Wahai keponakanku, apakah dia adalah nabi
yang dikabarkan kepada kita dan diutus di akhir zaman?” Abdullah berkata, “Ya.”
Bibiku berkata, “Jadi, memang dia.” Kemudian aku pergi ke tampat Rasulullah saw
dan aku memeluk Islam. Lalu aku pulang ke keluargaku, dan aku memerintahkan
mereka untuk memeluk Islam juga dan mereka melakukannya.”
Shuhaib Mendapat Untung
Penindasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum
musyrikin atas kaum muslimin dan sahabat Nabi saw terjadi di Makkah, begitu
jgua hinaan dan cercaan menjadi ujian mereka. Ketika Rasulullah saw mengizinkan
mereka untuk hijrah, ujian mereka adalah meninggalkan tanah air, harta, rumah,d
an barang-barang mereka. Kaum muslimin setia pada agama mereka dan ikhlas
kepada Tuhan mereka, baik itu pada ujian pertama maupun kedua.
Mereka menghadapi ujian-ujian itu dengan kesabaran
yang tak berubah dan menahannya dengan kuat. Ketika Rasulullah saw
mengisyaratkan untuk hijrah ke Madinah, mereka menujun ke sana dan meninggalkan
tanah air serta harta benda di sana. Hal itu dikarenakan mereka pergi secara
sembunyi-sembunyi dan tidak bersama-sama sehingga hal itu tidak mungkin
terjadi, kecuali jika mereka tidak membawa barang-barang yang berat. Mereka
meninggalkan itu semua di Makkah untuk menyelamatkan agama mereka. Mereka
mendapatkan gantinya dengan adanya saudara-saudara yang menanti mereka di
Madinah, yang akan memberi mereka ruangan dan membeeela mereka.
Ketika Suhaib pergi berhijrah, orang-orang Makkah
mengikutinya, lalu dia mengeluarkan tempat anak panahnya dan mengeluarkan 40
anak panah, sambil berseru, “Jangan mendekat kepadaku atau aku panahkan anak
panah ini pada tiap orang dari kalian. Lalu, aku akan hunuskan pedangku, kalian
semua tahu aku laki-laki pemberani. Dan telah kutinggalkan dua budak penyanyi
di Makkah untuk kalian.”
Ketika itu turun firman Allah SWT kepada Nabi saw,
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari
keridhaan Allah ......” (QS. al-Baqarah (2) : 207).
Ketika Nabi saw melihatnya, beliau bersabda, “Abu
Yahya telah beruntung dalam jual belinya (dengan Allah).” Kemudian beliau
membaca ayat tersebut (HR Hakim).
Dari Abu Utsman mengatakan bahwa ketika Shuhaib
pergi hijrah, penduduk Makkah berkata keapdanya, “Engkau pergi kepada bedebah
itu, keadaanmu akan berubah.” Shuhaib berkata, “Apakah jika aku meninggalkan
hartaku untuk kalian, kalian membiarkanku aku pergi?” Mereka berkata, “Y.”
Shuhaib pun melepas hartanya untuk mereka. Nabi saw mendengar berita itu dan
beliau berkata, “Shuhaib telah mendapat untung, Shuhaib telah mendapat untung.”
Kaum Muhajirin Terkena Demam Madinah
Dari Aisyah r.a. berkata, “Ketika Rasulullah saw
datang ke Madinah, Abu Bakar dan Bilal terkena Demam.” Aisyah berkata, “Maka
aku masuk ke ruangan mereka dan kukatakan, “Wahai ayah, bagaimana keadaanmu?”
Wahai Bilal, bagaimana keadaamu?” Aisyah berkata, “Abu Bakar jika terkena demam
beliau berkata, Setiap orang yang terbangun di pagi hari bersama keluarganya,
padahal maut lebih dekat dari pasangan sandalnya.”
Adapun bilal ketika demamnya makin meninggi, ia
akan meninggikan suaranya yang merdu, dan berkata, “
Andai orang tahu aku akan bermalam suatu hari di sebuah lembah
Dan di sekitarku ada rerumputan wangi dan seseorang yang agung
Apakah aku benar-benar menginginkan air Majinnah (pasar di Makkah)
Apakah mereka akan menampakkan kepdaku Syammah dan Thufail (dua
gunung di Makkah).
Aisyah berkata, “Lalu, aku mendatangi Rasulullah
saw dan memberi tahu beliau. Lalu, beliau berkata, “Duha Allah, jadikanlah
Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau
bahkan lebih dari itu, sehatkanlah (makmurkan) Madinah buat kami. Duhai Allah,
berikanlah barakah kepada kami dalam timbangan sha’ dan mud kami dan
pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah.”
Dalam riwayat Bukhari diaktakan bahwa Bilal berkta
setelah menyenandungkan syairnya, “Wahai Allah, laknatlah Syaibah bin Rabi’ah,
Uqbah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf yang telah mengusir kami dari negeri
kami ke negeri yang penuh dengan wabah
bencana ini.”
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Wahai Allah,
jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami emncintai
Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berikanlah berkah kepada kami
dalam timbangan sha’ dan mud kami, sehatkanlah (makmurkan) Madinah buat kami
dan pindahkan wabah demamnya ke Juhfah.”
Aisyah r.a. berkata, “Ketika kami tiba di Madinah,
saat itu Madinah adalah bumi Allah yang paling banyak wabah bencananya.”
Sambungnya lagi, “Lembah Bathhan mengalirkan air keruh yang mengandung kuman-kuman
penyakit.” (HR. Bukhari).
Aisyah, Ibunda Kaum Mukminin, Sakit
Dari al-Bara’ dari Abu Bakar r.a., al-Barra’
berkata, “Aku masuk bersama Abu Bakar menemui keluarganya, ternyata di sana
Aisyah r.a. putrinya, yang sedang berbaring sakit terkena demam. Aku melihat
bapaknya mencium pipinya, lalu berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai ananda?”
(HR Bukhari).
Wahai Allah, Jadikanlah Madinah Menyenangkan Bagi Kami
Ketika Nabi saw melihat sahabat-sahabatnya
terkenandemam, beliau berdoa kepada Rabb-nya agar membuat kota Madinah
menyenangkan untuk mereka dan memindahkan demam itu ke tempat lain.
Dari Aisyah r.a. berkata, “Ketika kami datang ke
Madinah, wabah sedang menjalar di sana, Abu Bakar jatuh sakit dan Bilal juga
jatuh sakit, ketika Rasulullah saw melihat penyakit dari sahabatnya, ia
berkata, “Duhai Allah, jadikanlah madinah sebagai kota yang kami cintai
sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu, sehatkanlah
(makmurkan) Madinah buat kami. Duhai Allah, berikanlah berkah kepada kami dalam
timbangan sha’ dan mud kami (sha’ dan mud adalah nama satuan timbangan pada
masa itu) dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Allah mengabulkan doa Nabi saw dan memindahkan
wabah itu ke Juhfah.
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw
berkata, “Aku bermimpi melihat wanita hitam, rambutnya acak-acakan keluar dari
Madinah hingga berdiri di Hay’ah, yaitu Juhfah, maka aku takwilkan bahwa wabah
penyakit Madinah telah berpindah ke sana.” (HR Bukhari dan Turmudzi).
Keutamaan Madinah al-Munawwarah
Dari Anas r.a. dari Nabi saw bersabda, “Wahai
Allah, jadikanlah keberkahan di Madinah dua kali lipat dari keberkahan yang
Kauberikan pada Makkah.” (HR Bukhari).
Menurut al-Hafizh, “Maksdunya adalah kebekahan
dunia,s ebagaimana ditunjukkan hadits lain, “Wahai Allah, berkahilah dalam
timbangan sha’ dan mud kami.” Mungkin
juga beliau menginginkan hal yang lebih umum dari itu, namun,
dikecualikan dari hal itu pelipatgandaan shalat di Makkah atas Madinah.”
An-Nawawi berkata, “Tampaknya berkah itu diperoleh
dari timbangan itu, dengan cukup disebutnya mud di sana, dan tidak cukup
hanya di situ. Hal ini dapat dirasakan
oleh mereka yang tinggal di Madinah.”
Nabi saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang
memperdaya (membuat tipu daya) bagi penduduk Madinah, kecuali dia akan binasa,
sebagaimana binasanya garam yang larut dalam air.” (HR Bukhari).
Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaannya dan
keutamaan yang tinggal di sana banyak.
Al-Jaza’iry berkata, “hal yang membuat hati kaum
mukminin makin mencintai Madinah dan keinginan kuat mereka untuk tinggal di
sana hingga ajal menjemput adalah sabda Nabi saw, “Barangsiapa yang ingin
meninggal di Madinah, hendaklah ia mati di sana karena aku akan menjadi saksi
baginya dan memberinya safaat di hari kiamat nanti.” (HR Turmudzi dan Ibnu
Majah).
Umar r.a. memahami hal itu, kemudian berdoa, “Wahai
Allah, aku memohon kepada-Mu untuk menjadi syahid di jalan-Mu dan mati di
negeri Rasul-Mu.”
Bagaimana Nabi saw. Membangun Negara Untuk Islam
Umat Islam bukanlahekumpulan manusia yang mau hidup
dengan cara apa pun, atau menggariskan jalan hidupnya ka arah mana pun, selama
masih ada kekuatan dan kenyamana, ia akan hidup senang dan tenteram.
Bukanlah seperti itu karena kaum muslimin memiliki
akidah yang menghubungkan mereka dengan Allah, yang menjelaskan pandangan
mereka tentang hidup, yang mengatur segala urusan internal mereka, dan
mendorong mereka untuk berhubungan dengan dunia luar untuk tujuan-tujuan
tertentu.
Berbeda seseorang yang berkata keapdamu, “Aku hanya
ingin hidup di dunia ini.” Dengan seseorang yang berkata, “Jika aku tidak bisa
menjaga kemuliaan, menjaga hak-hak, dan membuat Allah ridha, dan aku marah
karena-Nya, kakuku tak akan melankgah untukku, tidak juga mataku akan
berkedip.”
Orang-orang yang berhijrah ke Madinah pergi dari
negerinya bukan dalam rangka mencari kekayaan atau kejayaan.
Kaum Anshar yang menyambut mereka dan menganggap
kaum mereka adalah musuh, dan berniat untuk membunuh mereka, baik itu yang jauh
maupun yang dekat, mereka tidak melakukan itu
untuk hidup semau mereka. Mereka semua menginginkan untuk tercerahkan dengan
wahyu, mendapat ridha Allah, merealisasikan hikmah tertinggi dari penciptaan
manusia, dan bagaimana hidup ini tegak.
Ketika Rasulullah saw sudah hidup stabil di
Madinah, beliau berpikir keras untuk meletakkan dasar-dasar yang seharusnya ada
untuk mengukuhkan risalahnya. Hal itunterlihat dalam hal-hala berikut ini :
1. Hubungan umat dengan Allah.
2. Hubungan umat satu sama lain.
3. Hubungan umat dengan mereka yang jauh, yang
tidak beragama Islam.
Hal
yang pertama, Rasulullah
saw mewujudkannya dengan bersegera membangun masjid untuk menampakkan
syiar-syiar Islam yang telah lama diperangi, mendirikan shalat yang mengikat
seseorang dengan Tuhan semesta alam, serta membersihkan hati dari debu-debu
bumi dan tuntutan-tuntutan dunia.
Hal
yang kedua, Rasulullah
saw telah menegakkannya dengan persaudaraan yang sempurna. Persaudaraan yang
menghapus kata ‘saya’ dan setiap individu di sana bergerak dengan roh jamaah
serta demi kebaikan.jamaah dan cita-citanya. Dia tidak melihat dirinya tidak
menjadi sebuah entitas tanpa daya, tidak pula akan berkembang kecuali di
dalamnya.
Arti persaudaraan ini adalah mencairnya fanatisme
jahiliah, tidak ada pembelaan kecuali untuk Islam, dan runtuhnya perbedaan
keturunan, kulit, dan negara. Oleh karena itu, seseorang danggap terbelakang
atau maju dilihat dari kepribadian dan ketakwaannya.
Rasulullah saw telah menjadikan persaudaraan ini
akad yang terlaksana, bukan kata-kata kosong dan amal yang berhubungan dengan
darah dan harta. Bukan penghormatan yang diulang-ulang oleh lisan dan tak
terpengaruh sama sekali.
Perasaan mendahulukan orang lain atas dirinya,
saling menolong, saling mengasihi bercampur dalam persaudaraan, dan komunitas
baru ini dipenuhi dengan perumpamaan-perumpamaan yang indah.
Hal
yang ketiga, yakni
hubungan uamt dengan mereka yang jauh,
yang tidak beragama Islam. Rasulullah saw telah menyunnahkan aturan-aturan
toleransi dan memaafkan yang selama ini belum pernah dikenal di alam yang penuh
fanatisme. Mereka yang mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat
berdampingan dengan agama lain dan orang muslim tidak dapat hidup tenang
kecuali dengan komunitas yang sama dan mendominasi adalah orang yang salah,
bahkan tuduhannya terlalu berani.
Ketika Nabi saw datang ke
Madinah, ia mendapati orang-orang Yahudi dan Kaum musyrikin hidup bersama.
Bahkan, tidak pernah terlintas dalam pikiran beliau untuk membuat keputusan
politik yang menjauhkan atau melakukan penyitaan, berseteru, bahkan sebelum ---
dari lubuk hatinya yang bersih ---- adanya Judaisme dan paganism. Beliau
membuka dua kelompok perjanjian teman dengan teman dalam kesetaraan bahwa bagi
mereka agama mereka dan agamanya adalah agamanya.
Kaum muslimin dan Yahudi bersepakat untuk membela Yatsrib
jika musuh menyerangnya. Mereka juga menetapkan kebebasan bagi siapa saja yang
ingin keluar dari Madinah, bagi yang mau meninggalkannya, atau menetap di sana
bagi yang mau menjaga kehormatannya.
Ibnul Qayyimberkata, “Rasulullah memperlakukan
orang-orang Yahudi di Madinah dengan baik. Beliau menulis perjanjian antara dia
dan mereka, yaitu pendeta dan yang paling tahu di antara mereka. Abdullah bin
Salam pun masuk Islam meskipun sebagian besar mereka tidak. Mereka terdiri atas
tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqa’, Bani an-Nadhir, dan Bani Quraizhah.
Ketiganya memerangi beliau, lalu beliau membinasakan bani Qainuqa’, beliau usir
bani an-Nadhir, serta beleiau bunuh bani Quraizhah dan beliau menawan keturunan
mereka. Sirat al-Hasyr turun karena Bani an-Nadhir, sedangkan Surat al-Ahzab
karena bani Quraizhah.
Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar
Allah SWT memuji kaum Anshar dengan firman-Nya,
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang
berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga
memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS al-Hasyr (59) : 9).
Nabi saw telah mempersaudarakan antara kaum
Muhajirin dan Anshar. Hal ini untuk menguatkan kekuatan internal dan menambah
ikatannya. Begitu juga agar kaum Anshar membantu saudaranya, kaum Muhajirin,
yang meninggalkan rumah dan harta benda mereka untuk memenangkan agama Allah
dan memuliakan syariatnya.
Meskipun kaum Anshar telah mengeluarkan segenap
kekuatannya dan memuliakan Muhajirin, kebutuhan untuk mewujudkan sebuah sistem
yang melingkupi kehidupan ekonomi kaum Muhajirin yang lebih baik tetap
diperlukan. Khususnya ketika kondisi Muhajirin memerlukan solusi aturan yang
menjauhkan diri mereka dari perasaan bahwa mereka hanya menjadi beban bagi kaum
Anshar.
Meskipun demikian, riwayat disyariatkan Mu’akhah
(menjadikan satu dan lain saudara) itu terdapat sedikit perbedaan. Sebagian
besar mengatakan bahwa mu’akhah ini terjadi pada tahun pertama hijrah.
Perbedaanya hanya pada apakah ia terjadi setelah pembangunan masjid atau di
sela-sela itu. Pengumuman aturan ini terjadi di rumah Anas bin Malik,
sebagaimana yang dijelaskan riwayat-riwayat yang ada. Mu’akhah terjadi antara
dua pihak Muhajirin dan Anshar. Rasulullah saw mempersaudarakan setiap
Muhajirin dan Anshar dua orang-dua orang. Peristiwa ini mempersaudarakan 90
orang; 45 dari Muhajirin dan 45 orang Anshar.
Persyariatan aturan ini melahirkan hak-hak khusus
antara dua orang yagn dipersaudarakan, seperti saling menolong antara keduanya.
Saling menolong di sini tidak terbatas pada hal-hal tertentu, tetapi mutlak
dalam hal apa pun dalam menanggung beban kehidupan, baik itu materi maupun
perlindungan, nasihat, saling mengunjungi, dan mencintai. Mu’akhah juga
menerbitkan hak saling mewarisi antar mereka yang dipersaudarakan, bukan
kerabat mereka.
Hal ini makin menaikkan hubungan mereka yang
dipersaudarakan hingga pada tingkatan yang lebih dalam dan tinggi daripada
persaudaraan sedarah meskipun kemudian sistem pewarisan seperti ini dihapus dengan
firman Allah, “...... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)
menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.
al-Anfal (8) : 75).
Hal itu setelah kondisi Muhajirin berubah dengan
perolehan harta rampasan dan mereka dapat menghidupi diri mereka di tanah baru
tersebut. ini bentuk mulia dari cinta Anshar kepada saudara mereka, kaum
Muhajirin.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Kaum Anshar
berkata kepada Nabi saw, “Bagilah pohon-pohon kurma itu antara kami dan
saudara-saudara kami.” Nabi berkata, “Tidakkah pertolongan dan bersama-sama
menikmati buahnya, cukup bagi kami?” Mereka berkata, “Kami mendengar dan kami
taat.” (HR Bukhari).
Dari Anas r.a. berkata, “Kaum Muhajirin berkata,
“Wahai Rasulullah, kami belum pernah melihat kaum yang kami datangi, yang
berupaya sangat baik ketika mendapatkan banyak (rezeki). Baik pula ketika
mendapatkan sedikit, kami tercukupi dengan pertolongan mereka, dan mereka bersama
kita dalam kesenangan. Kami khawatir mereka mengambil semua pahala.” Rasulullah
lalu berkata, “Tidak, kalian memuji mereka dan kalian berdoa kepada Allah SWT
untuk mereka,” (HR Ahmad).
Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakekny
bahwa Nabi saw menulis perjanjian antara Muhajirin dan Anshar untuk membayarkan
diyat (denda) mereka dan membayar tebusan jika ada di antara mereka yang
tertawan atas nama kebaikan serta saling memperbaiki hubungan antara kaum
muslimin. I(HR Ahmad).
Sa’ad bin ar-Rabi’ dan Abdurrahman bin Auf
Inilah Sa’ad bin ar-Rabi’ yang senantiasa
berinteraksi dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan setiap hadits-hadits Nabi saw. Ia
merealisasikan persaudaraan sebagaimana yang dikehendaki Sang Mahabenar.
Anas r.a. berkata, “Abdurrahman bin Auf datang
kepada kami (ke Madinah) dan Nabi saw mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin
ar-Rabi’, yang memiliki banyak harta.” Sa’ad berkata, “Kaum Anshar tahu akulah
yang paling kaya di antara mereka, aku akan membagi harta, setengahnya untukmu.
Dan aku juga memiliki dua orang istri, lihatlah siapa di antara keduanya yang
engkau sukai, aku akan ceraikan dia, hin gga ketika iddahnya selesai, kau bisa
menikahinya.” Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahimu dan keluargamu.”
Dia tidak kembali ke rumah Sa’ad lagi setelah itu. Ia hanya mengambil minyak
samin dan keju serta tinggal di sana hanya sebentar. Sampai pada suatu hari ia
datang kepada Rasulullah saw dengan baju yang penuh aroma wewangian. Lalu, Nabi
saw bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah menikah?” Dia menjawab, “Ya.” Aku
sudah menikah dengan seorang wanita Anshar.” Beliau bertanya lagi, “Dengan
mahar apa engkau melakukan akad nikah?” Dia menajwab, “Dengan perhiasan sebiji
emas atau sebiji emas.” Lalu, Nabi saw berkata kepadanya, “Adakanlah walimah
walau dengan seekor kambing.” (HR Bukhari dan Thabrani).
Jika seseorang takjub dengan kedermawanan Sa’ad,
hal itu sebanding dengan ketakjuban pada kemuliaan Abdurrahman yagn mau
bersusah payah bersaing dengan orang-orang Yahudi di pasar mereka dan di
lapangan mereka. Dalam beberapa hari kemudian ia memperoleh banyak untung yagn
dengannya ia dapat menjaga dirinya dan kemaluannya. Itu semua disebabkan
tingginya motivasi dari iman mereka.
Para Sahabat Nabi dan Akidah Mereka yang Mengakar
Para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar
menghadapi cobaan yang berat pada akidah mereka ketika Allah memberi tahu
mereka antara komitmen dengan kepentingan-kepentingan dunia dan hubungan
keluarga dari satu sisi serta komitmen dengan akidah.
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Jika
bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiaannya,
dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik.” (QS. at-taubah (9) : 24).
Para sahabat Nabi saw lulus dalam ujian berat ini.
Mereka dapat menempatkan cinta Allah dan Rasul-Nya serta ikatan akidah atas
segala sesuatu selain itu. Masyarakat baru Madinah adalah masyarakat yang
berbasis akidah, yang terikat dengan Islam, dan tidak mengenal loyalitas
melainkan hanya kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin. Di samping itu,
mereka adalah masyarakat terbuka bagi siapa saja yang ingin berafiliasi ke
dalamnya, beriman dengan akidahnya. Setelah ia melepaskan akidah dan
sifat-sifat jahiliah dari dirinya, tanpa melihat sukunya, warna kulitnya, dan
afiliasinya yang terdahulu.
Bayi Pertama di Negeri Hijrah
Dari hadits Asma r.a. menyatakan bahwa dia hamil
dari buah pernikahannya dengan Abdullah bin az-Zubair. Asma’ berkata, “Saya
aberangkat hijrah ke Madinah dalam keadaan hamil tua. Aku tiba di Madinah,
singgah di Quba, dan melahirkan anak di sana. Kemudian aku datang ke tempat
Rasulullah saw dan menempatkannya (anak) di pangkuannya. Beliau meminta kurma
dan mengunyahnya. Kemudian menemaptkan air liur di mulutnya. Jadi hal pertama
yang masuk ke perutnya adalah air liur Rasulullah saw. Kemudian beliau suapkan
kurma (yang telah dikunyah), lalu beliau berdoa dan memohon berkah untuknya.
Dia adalah anak pertama yang lahir dalam Islam (setelah hijrah).” (HR Bukhari
dan Muslim).
Berita Adzan
Ibnu Hisyam menukil riwayat dari Ibnu Ishaq yang
menyatakan bahwa ketika Rasulullah hidup tenang di Madinah, di sisinya ada
saudara-saudaranya kaum Muhajirin dan Anshar. Hal-hal yang berhubungan dengan
Islam terlaksana dengan baik. Shalat didirikan, zakat dan puasa ditunaikan,
begitu juga hudud, halal, dan haram. Mereka telah menempatkan Islam di
punggung-punggung mereka. Di daerah milik Anshar, yang mereka tempati dan
menetapkan iman. Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, kaum muslimin
berkumpul untuk melaksanakan shalat pada waktu-waktu yang telah ditetapkan,
tanpa adanya panggilan. (HR. Tumudzi dan Muslim).
Dari Abdullah bin Zaid berkata, “Ketika Rasulullah
saw memerintahkan untuk membunyikan lonceng agar mengumpulkan orang pada waktu
shalat, aku bermimpi ada seorang laki-laki membawa lonceng. Maka kukatakan
kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah kau menjual lonceng?” Dia berkata, “Apa
yang akan kaulakukan dnegan lonceng itu?” Aku berkata, “Dengannya kami akan
memanggil orang-orang untuk shalat.” Dia berkata, “Maukah kamu aku tunjuki
sesuatu yang lebih baik dari itu?” Aku menjawab, “Tentu.” Dia berkata,
“Katakan” :
Allaaahu
Akbar, Allaaahu Akbar (2X)
Asyhadu
an laa ilaaha illallaah (2x)
Asyhadu
anna Muhammmadar Rasuulullah (2x)
Hayya
‘alas-shalaah (2x)
Hayya
‘alal falaah (2x)
Allaahu
Akbar, Allaahu Akbar (1x)
Laa
ilaaha illallaah (1x)
Kemudian ia berhenti sejenak dan berkata, “Jika kau
berdiri akan menunaikan shalat, katakan
:
Allaaahu
Akbar, Allaaahu Akbar
Asyhadu
an laa ilaaha illallaah
Asyhadu
anna Muhammmadar Rasuulullah
Hayya
‘alas-shalaah
Hayya
‘alal falaah
Qad
qaamatish-shalaah, qad qaamatish-shalaah
Allaahu
Akbar, Allaahu Akbar
Laa
ilaaha illallaah
Ketika aku bangun di pagi hari, aku didatangi
Raulullahm saw dan aku beritahu tentang mempiku keapda beliau. Beliau berkata,
“Itu mimpi kebenaran, Insya Allah, berdirilah bersama Bilal. Katakan keapdanya
apa yang kamu lihat dalam mimpimu dan hendaklah dia yang melakukan adzan karena
suaranya lebih bagus darimu.”
Ahmad, dalam rwayatnya menambahkan, “Aku berdiri
bersama Bilal dan aku memberitahunya kalimat-kalimat itu, lalu ia pun
mengumandangkan adzan.” Abdullah berkata, “Umar mendengar Adzan itu dari
rumahnya, ia pun pergi seraya menarik selendanngya, dan berkata, “Demi Dzat
yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku juga bermimpi hal yang
sama dengannya.” Rasulullah saw berkata, “Maka milik Allah-lah segala puji.”
(HR Abu Dawud, Ahmad, dan Turmudzi).
Peristiwa Pengalihan Kiblat
Dari Anas berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw
shalat ke arah Baitula Maqdis, maka turunlah ayat, “Kami melihat wajahmu
(Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke
kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram
....” (QS. al-Baqarah (2) 144).
Kemudian lewatlah seseorang dari bani Salamah. Saat
itu mereka sedang ruku’ shalat Subuh dan mereka telah menunaikan rakaat
pertama. Laki-laki itu berkata, “Bukankah kiblat sudah dialihkan.” Kemudian
mereka pun mengarah ke kiblat saat ini.” (HR Muslim).
Dari al-Barra’ bin Azib bahwa Nabi saw saat pertama
kali datang di Madinah, singgah di tempat kakek-kakeknya atau paman-pamannya
dari kaum Anshar. Saat itu beliau saw sudah shalat menghadap Baitul Maqdis
selama enambelas bulan atau tujuhbelas bulan. Lalu, beliau sangat senang kalai
shalat menghadap Baitullah (Ka’bah). Shalat yang dilakukan beliau pertama kali
(menghadap Ka’bah) itu adalah shaalt Ashar dan orang-orang juga ikut shalat
bersama beliau. Pada suatu hari sahabat yang ikut shalat bersama Nabi saw pergi
melewati orang-orang di masjid lain saat mereka sedang ruku’ kemudian dia
berkata, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku ikut shalat bersama Rasulullah
saw menghadap Makkah.” Kemudian orang-orang yang sedang (ruku’) tersebut
berputar menghadap Baitullah. Orang-orang Yahudi dan Ahlul Kitab menjadi heran
sebab sebelumnya Nabi saw shalat mengahadap Baitul Maqdis. Ketika melihat Nabi
saw menghadapkan wajahnya ke baitullah mereka mengingkari hal itu.
Zuhair berkata, “Telah menceritakan kepada kami
Ishaq dan al-Barra’. Dalam haditsnya ini menerangkan tentang (hukum) seseorang
yang meninggal dunia pada saat arah kiblat belum dialihkan dan juga banyak
orang yang terbunuh pada masa itu. Kami tidak tahu apa yang harus kami sikapi
tentang mereka hingga akhirnya Allah SWT menurunkan firman-Nya, “.... Dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu .....” (QS al-Baqarah (2) 143) (HR Bukhari dan
Muslim).
Hikmah Pengalihan Kiblat
Dalam menjadikan Baitul
Maqdis sebagai kiblat dan pengalihannya ke Ka’bah, Allah menitipkan banyak
hikmah besar dan ujian bagi kaum muslim, musyrik, Yahudi, dan munafik. Adapun
kaum muslim, mereka berkata, “Kami mendengar dan kami taat.” Dan mereka
berkata, “Kami beriman keapdanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.”
(QS Ali ‘Imran (3) : 7). Mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk. Itu
bukanlah hal yang berat bagi mereka. Adapun orang-orang musyrikin berkata, “Seperti halnya ia kembali pada
kiblat kita hampir=hampir ia akan kembali pada agama kita. Tidaklah ia kembali
pada kejahilan, melainkan hal itu adalah kebenaran.” Sementara, orang-orang
yahudi berkata, “Muhammad telah berbeda kiblat dengan nabi-nabi sebelumnya.
Jika ia benar-benar seorang Nabi, seharusnya ia shalat ke kiblatnya para nabi.
Sedangkan, kaum mujnafik berkata, “Muhammad tidak tahu ke mana ia harus
menghadap. Jika yang pertama benar, berarti ia telah meninggalkannya. Jika yang
kedua benar, berarti dahulu ia berada dalam kebatilan.”
Banyak lagi perkataan
orang-orang bodoh lainnya, seperti yang tertera dalam firman Allah, “.....
Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah. .....” (QS. al-Baqarah (2) L 143).ini merupakan
ujian yang Allah kirimkan kepada hamba-hamba-Nya untuk melihat siapa yang
benar-benar megnikuti Rasul-Nya dan siapa yang membelot.
Dalam pengalihan kiblat
itu ada isyarat halus akan adanya peran baru yang tidak akan berakhir, kecuali
dengan dikuasainya kiblat tersebut oleh kaum muslim. Tentunya mengherankan jika
kiblat suatu kaum berada di tangan musuh mereka. Jika memang berada di tengah
musuh, harus ada upaya pembebasannya suatu hari.
Perintah Puasa dan Zakat
Pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriah, Allah mewajibkan puasa bulan
Ramadhan kepada umat Islam. Sebelum itu, Rasulullah saw berpuasa tiga hari pada
setiap bulan. Puasa adalah salah satu tiang agama dan kewajiban yang
menyempurnakan tatanan ini. Manusia biasanya terbawa pada cinta diri sendiri
dan berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang memberinya manfaat serta tidak
memikirkan kebutuhan kaum lemah dan miskin. Jadi, harus ada seseorang yang berbagi
untuk memenuhi kebutuhan kaum yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Tidak ada
sesuatu yang lebih dapat merasakan lemahnya mereka daripada orang yang sedang
merasakan lapar dan haus. Dengan keduanya, jika menjadi lembut dan beradab
sehingga dengan mudah ia akan bersedekah. Oleh karena itu, Dzat Yang
Mahabijaksana memerintahkannya dan mewajibkan zakat fitri setelah puasa. Saat
itu, tampaklah orang-orang mengeluarkan zakatnya dengan jiwa yang lapang dan
penuh cinta kasih.
Quraisy Menghubungi Kepala Kaum Munafik untuk Bekerjasama Menyakiti Nabi
saw.
Kita telah membahas penindasan dan siksaan yang
dilakukan kaum kafir Makkah terhadap kaum muslimin dan apa yang mereka lakukan
sewaktu kaum muslimin Hijrah. Oleh karena itu, mereka pantas untuk disita (hartanya)
dan diperangi. Hanya saja, mereka belum sadar dengan keberingasan mereka dan
menghindar dari memusuhi kaum muslimin. Namun, ketika kaum muslimin pergi dan
mendapat tempat yang aman dan menetap di Madinah, mereka makin murka. Mereka
menulis surat kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, yang pada saat itu merupakan
orang musyrikin yang menjadi kepala Anshar sebelum hijrah. Wajar saja jika
banyak orang berkumpul di sekitarnya dan hampir-hampir mereka menjadikannya
raja atas diri mereka seandainya Rasulullah saw tidak hijrah ke sana dan mereka
beriman kepadanya. Dalam surat yang dikirim kaum kafir Makkah berkata, “Kalian
melindungi sahabat kami (Muhammad), sungguh kami bersumpah demi Allah, kalian
akan membunuhnya, atau kalian mengusirnya, atau kami akan menuju ke sana dengan
segenap jumlah kami. Kami akan bunuh kalian semua dan kami halalkan istri-istri
kalian.”
Ketika surat itu sampai di tangannya, Abdullah
bangkit untuk melaksanakan perintah saudara-saudaranya – kaum musyrikin
penduduk Makkah – saat itu ia sedang dengki kepada Nabi saw, yang merampas
kepemimpinannya. Abdurrahman bin Ka’ab berkata, “Ketika surat itu sampai kepada
Abdullah bin Ubay dan teman-temannya sesama penyembah berhala, mereka berkumpul
untuk membunuh Rasulullah saw. Ketika kabar itu sampai kepada Rasulullah saw,
beliau menemuinya dan berkata, “Ancaman Quraisy sduah sampai kepada kalian.
Mereka memperdaya kalian lebih dari kalian memperdaya diri sendiri, kalian
ingin membunuh anak-anak dan saudara-saudara kalian?!” Ketika mereka mendengar
itu dari Nabi saw, mereka terpecah.”(HR Abdurrazaq, Abu Dawud, dan Baihaqi).
Ketika itu Abdullah bin Ubay bin Salul mengurungkan
niat untuk perang karena dia melihat kelemahan para pendukungnya. Namun,
tampaknya ia sudah sepaham dengan
Quraisy. Begitu ada kesempatan, ia selalu memanfaatkannya untuk mengadu antara
kaum muslimin dan musyrikin (Madinah). Kaum yahudi pun bergabung bersamanya,
membantunya melaksanakan niatnya. Namun, bijaksananya Nabi saw memadamkan api
kejahatan mereka dari waktu ke waktu.
Dari Usamah bin Zaid mengatakan bahwa Nabi saw
mengendarai keledai milik beliau, di atasnya ada pelana bersulam beledu Fadaki.
Sementara itu, Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak
menjenguk Sa’ad bin Ubadah di Bani al-Harits al-Khazraj. Peristiwa itu terjadi
sebelum Perang Badar. Lalu, berjalan hingga melewati suatu majelis, yang di
situ telah bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik penyembah
patung,d an orang-orang yahudi. Dalam majelis tersebut terdapat Abdullah bin
Ubay dan Abdullah bin Rawahah. Saat majelis itu dipenuhi kepulan debu hewan
kendaraan, Abdullah bin Ubai menutupi hidungnya dengan selendang sambil
berkata, “Jangan mengepuli kami dengan debu.”
Kemudian Nabi saw mengucapkan salam kepada mereka,
lelu berhenti dan turun. Nabi saw mengajak mereka pada agama Allah, sambil
membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Abdullah bin Ubay berkata kepada beliau
saw, “Wahai Saudara! Sesungguhnya apa yang kamu katakan tidak ada kebaikannya
sedikit pun. Jika apa yang kau katakan itu benar, janganlah kamu mengganggu
kami di majelis ini. Silahkan kembali ke kendaraanmu, lalu siapa saja dari kami
mendatangimu, silahkan kau sampaikan kepadanya.”
Abdullah bin Rawanah berkata, “Wahai Rasulullah,
bergabunglah dengan kami di majelis ini karena kami menyukai hal itu.” Kemudian
kaum muslimin, orang-orang musyrikin, dan orang-orang yahudi pun saling
mencaci, hingga mereka hendak saling menyerang. Nabi saw terus menenangkan
mereka hingga mereka semua diam.
Kemudian beliau naik kendaraan, hingga tiba di
kediaman Sa’ad bin Ubadah, lalu beliau bersabda, “Hai Sa’ad, apa kau tidak
mendengar ucapan Abu Hubab?” Maksud beliau tentang ucapan Abdullah bin Ubay.
Belikau bersabda, “Dia telah mengatakan ini dan ini.” Sa’ad berkata, “Maafkan
dia, wahai Rasulullah, san berlapangdadalah kepadanya. Demi Allah, Allah telah
memberi Anda apa yang telah diberikan kepada Anda. (Dahulu) penduduk telaga ini (penduduk Madinah)
bersepakat untuk memilihnya dan mengangkatnya, tetapi karena kebenaran yang
diberikan kepada Anda itu muncul sehingga menghalanginya (Abdullah bin Ubay)
menjabat sebagai pemimpin. Maka seperti itulah perbuatannya sebagaimana yang
Anda lihat.” Akhirnya, beliau pun memaafkannya.” (HR Bukhari).
Sa’ad bin Mu’adz r.a. dan Upaya Melarangnya untuk Thawaf
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sa’ad bin
Mu’adz berangkat untuk melaksanakan umrah. Lalu, dia singgah di tempat Umayyah
bin Khalaf Abu Shafwan. Biasanya Umayyah bin Khalaf ketika bepergian ke negeri Syam, dia melewati
madinah dan singgah menemui Sa’ad di Madinah. Umayyah berkata kepada Sa’ad,
“Tunggulah hingga pertengahan (siang) hari dan saat orang-orang sduah lengah
makaengkau dapat melakukan thawaf.” Tatkala Sa’ad sedang melaksanakan Thawaf,
tiba-tiba muncul Abu Jahal seraya bertanya, “Siapa ini yang sedang Thawaf di
Ka’bah?” Spontan Sa’ad menjawab sendiri, “Aku, Sa’ad.” Abu Jahal berkata, “Kamu
dapat Thawaf di Ka’bah dengan aman, sementara kalian telah memberi perlindungan
kepada Muhammad dan sahabt-sahabatnya?” Sa’ad berkata, “Ya, benar.” Lalu, keduanya
beradu mulut hingga Umayyah berkata kepada Sa’ad, “Jangan kamu tinggikan
suaramu di hadapan Abu al-Hakam karena dia adalah pemimpin penduduk lembah
ini.” Kemudian Sa’ad berkata, “Demi Allah seandainya kamu menghalangiku untuk
thawaf di Baitullah, sungguh aku akan memutus jalur perdaganganmu ke negeri
Syam.” (HR Bukhari).
Allah Menjagamu dari (Gangguan) Manusia
Kaum Quraisy mengutus seseorang kepada kaum
muslimin. Ia berkata, “janganlah kalian terperdaya (merasa aman) ketika kalian
telah pergi ke Yatsrib, kami akan mendatangi kalian dan kami akan terus
mengikuti kalian, kami hancurkan perkebunan kalian di dalam rumah-rumah
kalian.”
Ini bukan sekedar ancaman belaka, Rasulullah saw
telah memastikan adanya tipu daya Quraisy dan keinginan jahatnya. Dikarenakan
hal ini Rasulullah selalu terjaga malam harinya atau dalam penjagaan para
sahabat. Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Shahih-nya, dari Aisyah r.a.
berkata, “Rasulullah saw terjaga di suatu malam, setelah kedatangannya di
Madinah. Beliau berkata, “Adakah orang yang shalih dari apra sahabatku yang
berjaga untukku malam ini?” Ketika itu kami mendengar suara tiupan senjata,
Nabi saw berkata, “Siapa itu?” Seseorang berkata, “Sa’ad bin Abi Waqqash.”
Rasulullah berkata kepadanya, “Apa yang membawamu kemari?” Kemudian ia berkata,
“Aku mengkhawatirkan keadaan rasulullah, jadi aku datang untuk menjaganya.”
Rasulullah saw mendoakannya, kemudian beliau tidur.” (HR Bukhari, Muslim, dan
Turmudzi).
Penjagaan atas Rasulullah saw ini tidak terjadi
beberapa malam saja, tetapi terus-menerus. Diriwayatkan dari Aisyah r.a.
berkata, “suatu malam Nabi saw sedang dijaga, sampai turunlah ayat, “ .... Dan
Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia .....” (QS. al-Maidah (5) :
667). Lalu, Rasulullah saw menjulurkan kepalanya keluar dari ruangan dan
ebrkata, “Wahai manusia (sahabt-sahabatnya), pulanglah karena Allah akan
melindungi saya.” (HR Turmudzi dan hakim).
Meskipun demikian, bahaya tiak hanya mengintai
Rasulullah saw, melainkan seluruh kaum muslimin. Ubay bin Ka’ab meriwayatkan
bahwa ketika Rasulullah saw dan para sahabatnya datang ke Madinah, kaum Anshar
melindungi mereka. Kaum Arab (kafir) pernah mengancam mereka sekali, sejak itu
mereka tidur dengan senjata dan bangun di pagi hari juga dengannya.
Izin untuk Berperang
Az-Zuhry berkata, “Ayat pertama yang turun mengenai
peperangan, sebagaimana Urwah menceritakan kepadaku dan Aisyah r.a. adalah,
“Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya
mereka dizalimi ....” (QS. al-Hajj (22) : 39) (HR Nasa’i).
Imam Ibnur Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah saw
menetap di Madinah, Allah menguatkan beliau dengan menurunkan pertolongan
untuknya dan hamba-hamba-Nya kaum mukminin penolong (agama Allah). Allah
menyatukan hati-hati mereka setelah permusuhan dan dengki yang terjadi antara
mereka (dahulu). Kemudian pembela-pembela Allah dan tentara-tentara Islam
melindungi beliau saw dari golongan hitam ataupun merah. Mereka mengeluarkan
segenap daya mereka untuknya. Mereka mendahulukan cinta kepada beliau saw
daripada cinta kepada ayah, anak, dan istri mereka. Rasulullah lebih utama bagi
mereka daripada diri mereka sendiri. Bangsa Arab (Quraisy) melempar panah
kepada mereka sekali dan memperdaya mereka dengan permusuhan dan peperangan
serta meneriaki mereka dari segala sisi. Namun, Allah memerintahkan mereka
untuk bersabar, memaafkan, dan berlapang dada. Hingga ketika taring (kaum
muslim) itu makin tajam, sayap itu makin menguat, mereka diizinkan untuk
berperang dan tidak diwajibkan.
Beberapa kelompok mengatakan bahwa izin itu turun
di Makkah dan surat ini (QS. al-Hajj (22) : 39) dinamakan Surat Makkiyah.
Pendapat ini salah dilihat dari beberapa sisi berikut :
Pertama
: Allah belum mengizinkan mereka untuk berperang di Makkah, lagi pula kaum
muslimin belum mempunyai kekuatan yang memungkinkan mereka untuk berperang di
Makkah.
Kedua
: Susunan ayat menunjukkan bahwa izin untuk berperang itu turun setelah
hijrah dan setelah mereka terusir dari negeri mereka. Allah berfirman, “(Yaitu)
orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya
karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah ....” (QS al-Hajj (22) : 40).
Mereka itu adalah kaum Muhajirin.
Ketiga
: Firman Allah, “Inilah dua
golongan (golongan mukminn dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar
mengenai Tuhan mereka....” (QS al-Hajj (22) : 19). Turun bagi mereka yang
sedang bertemu untuk berperang di Badar dari dua kelompok (Muslim dan kafir).
Keempat
: Allah menyebut mereka di akhir ayat, dengan firman-Nya, “Wahai
orang-orang yang beriman ....” (QS al-Hajj (22) : 77). Penyebutan ini adalah
untuk Madaniyyah, sedangkan “Wahai Manusia” untuk semua kalangan.
Kelima
: Allah memerintahkan jihad dalam bentuk umum yang mencakup jihad dengan
tangan dan yang lainnya. Tak diragukan lagi bahwa perintah jihad yang mutlak
terjadi setelah hijrah. Adapun jihad dalam bentuk debat diperintahkan di
Makkah. Hal itu tersirat dalam firman-Nya, “Maka janganlah engkau taati
roang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan
(semangat) perjuangan yang besar.” (QS al-Furqan (25) : 52). Ini termasuk Surat
Makkiyah. Jihad di situ adalah menyampaikan risalah dan jihad debat. Adapun jihad
yang diperintahkan dalam Surat al-hajj sudah termasuk jidah dengan pedang.
Keenam
: Hakim meriwayatkan dalam Mustadrak-nya, dari hadits al-A’masy dari Sa’id
bin Jubair, dari Ibnu Abbas berkata, “Ketika
Rasulullah pergi dari Makkah, Abu Bakkr berkata, “Mereka mengusir Nabi mereka. Sungguh
kita milik Allah dan sungguh kita akan kembali kepada-Nya, mereka pasti akan
dibinasakan.” Lalu, Allah menurunkan firman-Nya, “Diizinkan (berperang) kepada
orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi ....” (QS
al-Hajj (22) : 39). Ayat ini adalah yang pertama turun tentang perang. Sanad
hadits ini berdasarkan syarat dua kitab shahih (shahihain), sedangkan susunan
ayat pada sura tini menunjukkan ada yang makkiyah dan Madaniyah.
Kemudian perang diwajibkan setelah itu kepada
mereka yang memerangi kaum muslimin, bukan kepada mereka yang tidak memerangi
kaum muslimin. Allah berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu ....” (QS al-Baqarah (2) : 190). Kemudian diwajibkan atas mereka
untuk memerangi kaum musyrikin secara keseluruhan. Pada tahap awal, perang
tidak diperbolehkan, kemudian diizinkan, lalu diperintahkan kepada mereka yang
memulai peperangan terlebih dahulu. Selanjutnya, diperintahkan untuk memerangi
seluruh kaum musyrik, baik itu fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Yang terakhir
ini lebih masyhur di kalangan ulama.
Ghazwah dan Sariyyah, sebelum Badar
Dalam seni berperang, menyerang adalah sarana
terkuat dalam membela diri. Kaum Quraisy berambisi untuk menguasai medan
peperangan dengan Rasulullah saw. Kemudian beliau ingin inisiatif itu berawal
darinya. Oleh karena itu, pada tahun pertama Hijrah merupakan tahun penyerangan
terhadap kafilah-kafilah Quraisy, kecuali satu yang merupakan reaksi atas
serangan yang dilakukan oleh Karaz bin Jabir al-Fuhry, Sariyyah ini terus
dilakukan dari Ramadhan tahun pertama sampai Ramadhan tahun kedua Hijriah. Semua
Panglima Sariyyah ini dari kalangan Muhajirin. Hal ini membuat arti khusus pada
peperangan ini.
Pertama
: Dasar perjanjian bersama Anshar adalah melindungi Rasulullah saw, dan
para sahabatnya di Madinah, sedangkan sariyyah-sariyyah itu dilakukan di luar
Madinah.
Kedua
: Harus ada upaya untuk melatih pemuda pembela dakwah untuk berperang,
setelah mereka diminta untuk menahan tangan mereka sekiat 13 tahun pada periode
Makkah.
Ketiga
: kaum Quraisy harus tahu bahwa orang-orang yang hijrah itu lari dari
penindasan mereka di Makkah, bukanlah orang-orang lemah tak berdaya, tetapi
mereka adalah kekuatan yang mampu menggetarkannya. Mereka harus berpikir seribu
kali sebelum berpikir untuk menghadapi kaum muslimin.
Keempat
: kaum Quraisy harus merasakan akibat dari perbuatan mereka. Sikap mereka
yang beringas terhadap dakwah dan mereka harus menelan pahitnya akibat sikap
mereka itu. Selanjutnya, kaum Quraisy tahu bahwa kepentingan-kepentingannya dan
perdagangannya menjadi embusan angin belaka, setelah kaum muslimin menguasai
urat nadi kehidupan mereka, yaitu kafilah-kafilah yang menuju Syam. Di mana
mereka terbiasa ke sana pada musim panas, melewati Madinah, begitu juga
kemah-kemah persinggahannya.
Ghazwah Wuddan, al-Abwa’
Ghazwah Wuddan merupakan Ghazwah pertama
Rasulullah. Beliau pergi dari Madinah untuk berperang pada bulan Afar, tepat
satu tahun setelah kedatangan beliau ke Madinah (tahun 2 H). Ketika tiba di
Wuddan (sebuah desa yang berada di wilayah al-Far’, sekitar 24 mil dari
Madinah), beliau sedang mengincar Quraisy dan bani Dhamrah bin Bakar bin Abdu
Munah bin Kinanah. Namun, Makhsya bin Amru adh-Dhamry dari Bani Dhamrah telah
ebrdamai dengan beliau, dengan syarat mereka tidak lagi memeranginya dan tidak
membantu seseorang memeranginya. Akhirnya, Nabi saw kembali ke Madinah tanpa
terjadi peperangan. Beliau berada di Madinah di sisa-sisa bulan Safar dan di
awal bulan Rabi’ul Awal. (HR Bukhari).
Saryiyah Ubaidah bin al-Harits
Panji pertama yang diresmikan Nabi saw adalah panji
Sariyyah Ubaidah bin al-Harits yang beliau utus bersama 60 orang dari kaum
Muhajirin. Itu terjadi setelah kembalinya beliau dari Wuddan. Mereka berjalan
hingga mencapai sumebr air di Hijaz, di bawah Tsaniyyah al-Murrah. Di sana
mereka bertemu dengan banyak sekali orang-orang Quraisy yang dimpimpin oleh
Ikrimah bin Abu Jahal. Tidak terjadi peperangan di antara mereka, tetapi mereka
saling melempar anak panah. Sa’ad bin Abi Waqqash merupakan orang yang pertama
kali melesatkan anak panah dalam sejarah peperangan Islam, pada Sariyyah ini. Mereka
pun bubar dan kaum muslimin terlindungi. Dari kaum musyrikin ada yang melarikan
diri dan bergabung bersama kaum muslimin yaitu Miqdad bin Amru al-Bahrany,
sekutu Bani Zuhrah, dan Utbah bin Ghazawan bin Jabir al-Maziny, sekutu Bani
Naufal bin Abdu Manaf. Mereka berdua adalah muslim, tetapi mereka berdua
membuat kepergian mereka bersama kaum kafir hanya sebagai wasilah untuk dapat
berkumpul dengan kaum muslimin.
Sarriyyah Hamzah ke Saif al-bahr
Rasulullah saw juga mengutus 30 orang yang dipimpin
oleh pamannya – Hamzah bin Abdul Muthalib --- ke Saif al-Bahr untuk menghadang
kafilah Quraisy yang datang dari Syam. Dalam kafilah itu ada Abu Jahal dengan
300 orang. Namun, tidak terjadi bentrokan antara keduanya karena Majdy bin Amru
al-Juhny, sekutu keduanya yang menengahi dua kelompok ini.
Ghazwah Buwath
Rasulullah saw memimpin peperangan yang diikuti
oleh 200 orang sahabat. Kali ini mereka ingin menghadang kafilah dagang Quraisy
yang dipimpin oleh Umayyah bin Khalaf. Ia membawa 100 orang kaum Quraisy. Dalam
kafilah ini ada 2.500 ekor unta yang membawa berbagai macam barang. Nabi saw
bersama bala tentaranya sampai di Buwath, daerah di pegunungan Juhainah dari
arah Radhwa. Ketika beliau tidak menemukan kafilah itu, beliau pulang dan tidak
ada pertempuran. Pada saat itu beliau menunjuk as-Sa’ib bin Utsman bin Mazh’un
sebagai wakil beliau di Madinah.
Ghazwah al-Asyirah
Rasulullah saw pergi untuk menghadang kafilah
dagang Quraisy. Bersama beliau 150 orang dari sahabatnya. Ketika tiba di
al-Asyirah di sebelah mata air, kafilah itu sudah lewat. Dalam Ghazwah ini
beliau berhasil membuat perdamaian dengan Bani Mudlij dan sekutu-sekutunya dari
Bani Dhamrah. Lalu, beliau kembali ke Madinah dan tidak terjadi peperangan. (HR
Bukhari).
Sariyyah Sa’ad bin Abi Waqqash ke al-Kharrar
Nabi mendengar kabar bahwa kafilah Quraosy dalam
perjalanannya menuju Makkah dan mengambil jalur al-Kharrar. Kemudian Sa’ad bin
Abi Waqqash menawarkan dirinya untuk memimpin tentara yang akan menghadang
kafilah itu. Sa’ad berkata, “Aku pergi bersama 20 atau 21 orang. Kami berjalan
kaki, kami beristirahat di siang hari, lalu melanjutkan perjalanan di malamhari.
Pada hari ke lima mendapati bahwa kafilah itu telah lewat kemarin. Padahal Rasulullah
saw berpesan kepadaku agar aku tidak pergi melebihi al-Karrar. Jika tidak, aku
sangat berharap dapar bertemu mereka.”
Ghazwah Badar Pertama (Kecil)
Karaz bin Jabir al-Fuhry menyerang sampai ke Madinah
setelah Ghazwah al-Asyirah. Dia merampas beberapa unta dan binatang ternak
lainnya. Kemudian Rasulullah pergi mengusirnya bersama para sahabat. Ketika mereka
sampai di Lembah Safwan dari arah Badar, Karaz dapat melarikan diri dari
kejaran pasukan Rasulullah. Dari situlah ditegaskan tentang pentingnya kaum
muslimin mengukuhkan hubungan bersama kabilah-kabilah yang berdekatan dengan
Madinah. Pada peristiwa ini Rasulullah menempatkan Zaid bin Harits sebagai penggantinya
di Madinah.
Sariyyah Abdullah bin jahsy
Rasulullah saw mengutus Abdullah bin Jahsy bin Ri’ab
al-Asady pada bulan Rajab,s ebagai kelanjutan Perang Badar I. Beliau mengutus 8
orang dari kaum Muhajirin untuk bersama beliau, tak seorang pun dari kalangan
Anshar. Bersama itu pula, beliau saw menitipkan sebuah surat, yang tak boleh
dibuka kecualis etelah dua hari. Hendaknyania melakukan apa yang
diperintahkannya dan tidak memaksa seoarng pun dari sahabatnya.
Ketika Abdullah bin Jahsy berjalan selama dua hari,
dia membuka surat itu dan membacanya. Ternyata di sana tertulis, “Jika kamu
membaca sura tini, teruslah berjalan hingga kau sampai ke Nakhlah antara Makkah
dan Thaif. Di sana tangkaplah seorang Quraisy dan memberi tahu kita kabar
mereka.” Setelah membacanya, Abudllah bin Jahsy berkata, “Aku mendengar dan aku
taat.” Kemudian ia berkata, kepada para
sahabatnya, “Rasulullah saw telah memerintahkan aku untuk terus berjalan hingga
mencapai nakhlah. Aku akanmenangkap salah seorang Quraisy di sana agar bisa
mengorek keterangan tentang mereka. Beliau saw, juga melarangku untuk memaksa
kalian. Jadi barangsiapa yang menginginkan kesyahidan dan benar-benar
merindukannya, dia boleh ikut pergi. Namun barangsiapa yang enggan, hendaknya
ia pulang. Aku sendiri akan melanjutkan apa yang diperintahkan Rasulullah saw.”
Ia pun melanjutkan perjalanan dan tak satu pun dari para sahabatnya yang
enggan, semua pergi.
Mereka berjalan melewati Hijaz, hingga ketika sampai
di Ma’din – di atas al-Fur’ yang dinamakan Bahran – Sa’ad dan Uthbah bin
Ghazawan membuat unta mereka tersesat. Mereka berdua mengikuti Abdullah, tetapi
mereka berdua kembali untuk mencarinya. Kemudian Abdullah bin Jahsy meneruskan
perjalanannya dengan sahabt-sahabatnya yang lain hingga mereka tiba di Nakhlah.
Di sana lewat kafilah Quraisy membawsa kismis dan kulit, pedagang Quraisy
lainnya, dan di sana ada Amru bin al-Hadramy.
Ketika mereka meliahtnya, mereka takut untuk
singgah di dekat mereka. Ukasyah bin Mahshan menyembut baik mereka dan dia
telah mencukur rambutnya. Ketika Absullah dan teman-temannya melihat mereka
melihatnya, mereka merasa aman. Mereka berkata, “Kalian hendak menunaikan
umrah, tidak mengapa.” Lalu, mereka berbicara tentang maksud mereka. Peristiwa ini
terjadi pada bulan Rajab. Mereka berkata, “Demi Allah, jika kalian membairkan
kafilah ini memasuki wilayah Haram malam ini, mereka terlindungi dari kalian. Namun,
jika kalian membunuh mereka, kalian telah membunuh pada bulan Haram. Abdullah dan
kawan-kawan ragu sehingga takut memulai serangan. Namun, kemudian mereka
memberanikan diri untuk itu. Mereka pun sepakat untuk membunuh siapa saja yang
dapat mereka tangani. Mereka merampas barang kafilah. Semetara itu, Waqid bin
Abdullah at-Taimy melepaskan anak panahnya dan mengenai Amru bin al-Hadramy. Ia
pun mati. Adapun Utsman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kaysan tertawan. Naufal bin
Abdullah melarikan diri dan tidak dapat terkejar. Lalu, Abdulallah bin Jahsy
dan para sahabatnya pulang dengan membawa barang-barang kafilah dan dua
tawanan, lalu mereka pun menemui Rasulullahn saw. Di Madinah.
Sebagian keluarg Abdullah bin Jahsy menyebutkan
bahwa Abdullah berkata kepada para sahabatnya, “bagain untuk Rasulullah saw
dari harta rampasan kita seperlima.” Hal itu sebelum Allah mewajibkan
sepertlima dari harta rampasan. Namun Rasulullah saw enggan dan membaginya
kepada semua sahabatnya.
Ketika mereka datang menemui Rsulullah saw di
Madinah, beliau berkata “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang di bulan
Haram. Beliau menahan barang itu dan kedua tawanan mereka. Beliau juga tak
sedikit pun ingin mengabil bagian. Ketika Rasulullah saw mengatakan itu, mereka
menyesal. Mereka merasa akan mati dan saudara-saudara mereka sesama muslim aan
menghukum atas perbuatan mereka. Sementara itu, kafir Quraisy berkata, “Muhammad
dan sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram dan mereka telah menumpahkan
darah, merampas harta, dan menawan orang orang-orang kita.” Seseorang dari
mereka berkata, “Siapakah yang dapat membalas mereka dengan melakukan hal yang
sama kepada kaum muslimin yang ada di Makkah.” Mereka ingin menimpakan hal yang
sama di bulan Sya’ban.
Ketika telah banyak orang membicarakan hal itu,
Allah menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu
adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang0 dari jalan Allah, ingkar
kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidil; haram,d an mengusir penduduk
dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah .....” (QS
al-Baqarah (2) : 217).
Maksudnya, jika kalian membunuh pada bulan Haram,
sementara mereka menghalangimu dari jalan Allah, mereka kufur tehadap-Nya,
menghalangi kalian masuk Masjidil Haram,d an mengeluarkan kalian dari tanah
suci. Padahal, kalian yang lebih berhak. Bagi Allah itu lebih besar (dosanya)
daripada, pada pembunuhan yang telah kalian lakukan. “..... Sedangkan fitnah
lebih kejam daripada pembunuhan....” (QS al-Baqarah (2) 217). Maksudnya, mereka
memfitnah agama kaum muslimin agar dapat mengembalikan mereka dari iman ke
kufur. Hal itu lebih besar (dosanya) di sisi Allah.
... Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu
sampai kamu murtad 9keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup ..... (QS
al-Baqarah (2) 217).
Maksudnya, mereka tetap akan melakukan hal-hal yang
lebih buruk dan lebih besar lagi, tanpa tobat dan melepaskan diri dari
perbuatan buruk itu.
Ketika Al-Qur’an turun berbicara tentang hal ini,
Allah memberi kegembiraan kepada kaum setelah kegelisahan mereka. Rasulullah saw
memegang kendali atas barang kafilah dan kedua tawanannya. Sementara itu,
Quraisy mengirim tebusan untuk kedua tawanan itu, Utsman bin Abdullah dan
al-Hakam bin Kaysan. Kemujdian Rasulullah saw berkata, “Kami tidak akan
menerima tebusan itu sampai datang dua sahabat kami – Sa’ad bin Abi Waqqah dan
Utbah bin Ghazawan – kami khawatir atas keselamatan mereka. Jika kalian
membunuh mereka, kami akan bunuh dua sahabat kalian ini.” Sa’ad dan Utbah pund
atang. Akhirnya, Rasulullah saw menerima tebusan mereka.
Al-Hakam bin Kaysan memeluk Islam dan menjadi
seorang muslim yang baik. Ia tinggal bersama Rasulullah saw dan mati syahid
pada peristiwa Bi’r ma’unah, sedangkan Utsman bin Abdullah mati dalam keadaan
kafir.
Setelah jelas perkara mereka, Abdullah dan para
sahabatnya sangat tamak akan pahala. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah
boleh kami menginginkan perang agar diberi pahala sebagai orang-orang yang
berjuang (jihad(?”
Kemudian Allah menurunkan tentang mereka dalam
firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman,d an orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat
Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah (2) : 218).
Akhirnya, Allah menempatkan mereka pada harapan seagung-agungnya akan hal itu.
Sepanjang, 19/11/2018, Malam Maulid Nabi Muhammad saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar