Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Senin, 19 November 2018

Kisah Hijrah dari Makkah ke Madinah dalam Sirah Nabawiyyah


 SIRAH  RASULULLAH

Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : HIJRAH  DARI MAKKAH KE MADINAH
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Kesuksesan Islam dalam membuat fondasi bagi negeri untuknya – di tengah sahara yang bergelimang kekufuran dan kebodohan – adalah hasil paling penting yang didapat sejak dakwah Islam dimulai. Kaum dari berbagai tempat saling menyeru, “Mari kita ke Yatsrib.” Hijrah tidak hanya menyelamatkan diri dari fitnah dan celaan, tetapi juga kerja sama semua dalam mendirikan komunitas baru di negeri yang aman.
Kewajiban bagi setiap muslim yang mampu untuk berkontribusi dalam membangun negeri baru ini untuk mengeluarkan segala upaya dalam menjaganya dan meninggikan panjinya. Jadi, meninggalkan Madinah setelah hijrah ke sana adalah berpaling dari pembebanan (taklif) kebenaran, dari pemenangan Allah dan Rasul-Nya. hidup di sana adalah bagian dari agama karena penegakan agama bergantung pada penegakan negara.
Setelah Baiat Aqabah II terselenggara dan Islam sukses membangun fondasi negeri untuknya di tengah gelombang kufur dan kebodohan, hal itu adalah hasil paling penting yang diperoleh oleh Islam, sejak permulaan dakwahnya. Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke negeri ini.

Nabi Bermimpi Melihat Negeri Hijrahnya

Terpilihnya Yatsrib sebagai tempat hijrah bukan hanya disebabkan kondisi dakwah saja, melainkan juga karena ada wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Dari Abu Musa al-Asy’ary r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku melihat dalam tidurku bahwa aku berhijrah dari Makkah ke tanah yang terdapat pohon kurma. Sebelumnya aku yakin bahwa itu adalah Yamamah atau Hajar (Kota bahrain), ternyata negeri itu adalah Yatsrib.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah bersabda, “Aku sudah melihat tempat hijrah bagi kalian. Aku diperlihatkan suatu tempat yang tandus yang ditumbuhi pohon kurma di antara dua tanah ebrbatu.” Lalu, pergilah mereka berhijrah menuju Madinah ketika Rasulullah saw, menyebutnya. Bagitu juga, mereka yang pernah berhijrah ke Habasyah.” (HR Ahmad dan Hakim).

Nabi saw. Mengizinkan Para Sahabatnya untuk Berhijrah

Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Mereka pun bersegera untuk itu. Adapun orang yang pertama kali pergi ke Madinah adalha Abu Salamah bin Abdul Asad dan istrinya Ummu Salamah. Namun, ia tidak pergi dengan suaminya karena ia dilarang untuk menemuinya selama setahun lamanya. Dia juga tidak bisa bertemu dengan anaknya, Salamah. Kemudian ia pergi setahun setelah itu bersama anaknya ke Madinah dan Utsman bin Abi Thalib sebagai penunjuk jalannya.
Selanjutnya, kaum muslimin pergi berkelompok satu demi satu, hingga tidak ada lagi kaum muslimin di Makkah, kecuali Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali. Mereka tetap di Makkah seperti yang diperintahkan, kecuali beberapa orang yang terpaksa belum bisa berhijrah karena dikekang oleh kaum musyriki. Rasulullah menyiapkan segala keperluannya, menunggu perintah untuk pergi, dan Abu Bakar menyiapkan keperluan beliau.

Mereka yang Pertama Berhijrah

Dari al-Barra’ bin Azib r.a. berkata, “Sahabat Nabi saw, yang pertama kali datang kepada kami adalah Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Merekalah yang membacakan Al-Qur’an untuk kami. Selanjutnya, Ammar, Bilal, dan Sa’ad. Dua puluh hari kemudian datang Umar bin Khathathab, lalu Rasulullah. Aku tidak pernah melihat penduduk Madinah segembira itu. Sampai-sampai aku melihat hamba sahaya dan anak-anak berkata, “Ini Rasulullah sudah datang.” (HR Bukhari dan Hakim).

Bagaimana Kita Menggabungkan Kedua Riwayat?

Dalam beberapa riwayat dikataka bahwa Abu Salamah adalah orang yang pertama kali berhijrah, sementara dalam riwayat lain yang pertama kali datang ke Madinah adalah Mush’ab. Al-Hafizh Ibnu Hajar menggabungkan antara dua riwayat ini. Ia berkata, “Ibnu Aqabah meyakini bahwa yang pertama kali datang ke Madinah dari kaum Muhajirin secara mutlak adalah Abu Salamah bin Abdul Asad. Sepulangnya dari Habasyah ke Makkah, ia ditindas di Makkah. Lalu, sampai kepadanya kabar tentang kedua belas orang Anshar pada baiat Aqabah I, kemudian ia menuju ke Madinah di tahun yang sama. Selanjutnya, digabungkan antara dua riwayat tersebut bahwa Abu Salamah pergi ke Madinah  bukan untuk menetap, melainkan lari dari kaum musyrik. Sebaliknya, Mush’ab bin Umair pergi ke sana dengan tujuan menetap dan mengajari siapa saja yang masuk Islam atas perintah Nabi saw. Jadi, keduanya sama-sama pertama dari sisi yang berbeda.”

Dialah Iman yang Setara dengan Gunung-Gunung

Hijrah bukanlah perpindahan seorang pekerja dari negeri yang dekat ke negeri yang jauh, bukan juga perginya seorang pencari sesuap nasi dari negeri tandus ke negeri yang subur.
Hijrah adalah pemaksaan terhadap seseorang yang aman di negerinya, yang memiliki akar panjang di tempatnya, yang memporak-porandakan kehidupannya (dunia), mengorbankan hartanya, dan keselamatan dirinya sendiri, dengan kesadaran penuh membuatnya merasa bahwa ia begitu hina dan terampas, ia bisa saja celaka di awal perjalan atau di penghujungnya. Hijrah adalah ia berjalan menuju masa depan yang masih temaram, ia tidak tahu kegelisahan dan kesedihan yang akan dihadapinya. Jika perkaranya adalah petualangan diri pribadi, akan dikatakan kepadanya, “Seorang petualang yang mengembara.” Tetapi jika ia pergi mengarungi panjangnya perjalanan dan ia membawa keluarga dan anak-anaknya? Dan bagaimana ia melakukan hal itu dengan kerelaan hati dan wajah yang cerah-ceria?
Itulah Iman yang setara gunung-gunung, bukan pengembaraan. Iman dengan siapa? Dengan Allah Sang Pemilik segala apa yagn di langit dan bumi, bagi-Nya puji di awal dan akhir, serta Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui.
Kesulitan-kesulitan itu, tak akan ada yang menyanggupinya, kecuali seorang yang beriman. Adapun seorang penakut, lemah, gelisah, tidak akan mampu menghadapinya. Tentang mereka Allah berfirman, “Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,’ ternyata mereka tidak melakukannya, kecuali sebagian kecild ari mereka......” (QS. an-Nisa’ (4) : 66).

Hijrahnya Abu Salamah dan Istrinya r.a.

Sumber-sumber yang terpercaya menyebut banyak informasi tentang cara-cara Quraisy dalam menggagalkan hijrah kaum muslimin ke Yatsrib serta menghadang hijrah ini dengan berbagai kesulitan dan ketakutan. Mereka menahan istri-istri kaum muslimin, anak-anak, merampas harta, atau memperdaya mereka yang telah berhijrah agar kembali lagi. Namun, semua itu tidak dapat menghalangi rombongan hijrah. Mereka yang berhijrah sangat siap untuk melepas dunia dan kemegahannya, lari dari hal itu semua demi agama. Sumber-sumber yang terpercaya menceritakan tentang kisah-kisah kepahlawanan dan pengorbanan dalam hal ini. Ummu Salamah, Ummul Mukmin, mengisahkan hijrahnya dengan suaminya yang pertama, bagaimana Quraisy memisahkan ia dan anaknya dari suaminya.
Dari Salamah bin Abdullah bin Umar bin Abu Salamah,d ari neneknya, istri Rasulullah saw, berkata, “Ketika AbuSalamah setuju untuk pergi ke Madinah, ia pergi bersamaku,d an mendudukanku di atas untanya. Aku juga membawa anakku, Salamah bin Abu Salamah, di pangkuanku. Kemudian ia menunggangi untanya bersamaku. Namun, ketika sejumlah laki-laki dari Bani al-Mugirah bin Abdullah bin Amru bin Makhzum melihat kami, mereka bangkit menuju Abu Salamah. Mereka berkata, “Jiwamu ini telah mengalahkan kami atas dirinya, apakah kamu istrimu ini?  Atas dasar apa kami membiarkanmu pergi bersamanya ke negeri itu?” Ummu Salamah berkata, “Mereka mencabut tali unta dari tangannya dan mereka mengambil diriku darinya. Pada saat itu kabilah Abdul Asad, keluarga Abu Salamah marah. Mereka berkata, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan membiarkan putra kami bersamanya (Ummu Salamah) jika kalian mengambilnya dari ptra kami.” Mereka saling mearik anakku, Salamah, sehingga mereka melemparkan tangannya. Bani Abdul Asad mengambilnya dan bani al-Mugirah mengekangku di rumah mereka. Sementara itu, suamiku, Abu Salamah, pergi ke Madinah. Kami terpisah : Aku, suamiku, dan anakku.
Pada saat itu, setiap hari aku keluar rumah duduk di Abthah, terus menangis. Hingga kurang lebih satu tahun berlalu, seseorang dari anak pamanku (seseorang dari Bani al-Mugirah) lewat di depanku. Ia melihat keadaanku dan iba. Ia berkata kepada Bani al-Mugirah, “Tdiaklah kalian membiarkan perempuan yang menderita ini pergi, kalian telah memisahkannya dari suaminya dan anaknya.” Lalu, mereka berkata keapdaku, “Temuilah suamimu jika kau menginginkan itu.”
Pada saat itu, Bani Abdul Asad mengembalikan anakku. Aku pergi menunggangi untaku, lalu aku ambil anakku, dan kuletakkan ia dipangkuanku. Aku pergi ke Madinah, aku menginginkan suamiku. Aku tidak bersama siapa pun dari makhluk Allah. Lalu, aku berkata, “Apakah aku akan bertemu dengan seseorang yang menolongku sampai aku bisa bertemu suamiku?” Ketika aku sampai di Tan’im, aku bertemu Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah, saudara Bani Abduddar. Ia berkata, “Mau ke mana, wahai putri Abu Umayyah?”
Aku menjawab, “Aku ingin bertemu suamiku di Madinah.”
“Tidak adakah seseorang menemanimu?” katanya lagi.
“Tidak, demi Allah, hanya Allah dan anakku ini.”
“Demi Allah, engkau tak berhak ditelantarkan.” Kata Utsman.
Lalu ia mengambil tali kekang unta dan ia ikut pergi denganku berjalan menuntun untaku. Demi Allah, aku tidak pernah ditemani seorang laki-laki Arab sama sekali. Aku melihat Utsman seorang yang mulia. Jika sampai di sebuah perkampungan, ia mendudukkan untaku dengan pelan dan ketika aku hendak turun, ia menuntun untaku pelan-pelan.
Kemudian ia meletakkannya dan mengikatnya di pohon, kemudian ia menjauh dariku menuju pohon dan dia tidur di bawahnya. Jika waktunya melanjutkan perjalanan, ia pergi mengambil untaku dan menuntunnya kemudian pelan-pelan dibawanya kepadaku, dan ia berkata, “Naiklah.” Jika aku sudah naik dan duduk di atas untaku, ia pun mengambil tali kekangnya dan menuntunnya sampai aku turun lagi ... begitu seterusnya hingga kami mencapai Madinah. Ketika ia melihat perkampungan Bani Amru bin Auf di Quba, ia berkata, “Suamimu ada di kampung ini (dan memang di situlah Abu Salamah tinggal) masuklah dengan keberkahan Allah.” Lalu, ia pulang ke Makkah.”
Ka’ab berkata, “Ummu Salamah pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui ada keluarga muslim yang mengalami seperti apa yang dialami oleh keluarga Abu Salamah, dan aku tidak melihat seorang teman perjalanan yang lebih mulia dibandingkan Utsman bin Thalhah.” (HR Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq).

Kisah Ayyash bin Abi Rabiah dan Hisyam bin al-Ash

Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Kami sepakat untuk hijrah. Kami bertiga, yaitu aku, Ayyash bin Abi Rabiah, dan Hisyam bin al-Ash berjanji untuk bertemu di penampungan air milik Bani Ghaffar, yang terletak di atas Saraf (tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah). Kami telah sepakat, “Siapapun yang tidak datang pagi harinya di tempat itu, tak bisa keluar dari Makkah, maka dua orang yang lain meneruskan perjalanannya.” Ternyata, Hisyam bin al-Ash tak bisa keluar. Ketika sampai di rumah kami di Bani Amru bin Auf, Abu Jahal bin Hisyam dan al-Harits bin Hisyam mendatangi Ayyash bin Abi Rabiah, yang merupakan sepupu  mereka berdua, dan saudara seibu bagi keduanya, sampai ketika kami tiba di Madinah, keduanya berbicara kepada Ayyash. Mereka berkata kepadanya, “Sesungguhnya ibumu bernazar, tidak akan menyisir rambutnya sampai ia meliahtmu.” Ayyash pun iba mendengarnya.
Kemudian kukatakan kepadanya, “Wahai Ayyash, demi Allah, mereka hanya ingin agar engkau berpaling dari agamamu, berhati-hatilah. Demi Allah, jika kutu sudah menyakiti ibumu, dia akan menyisir rambutnya. Jika Makkah sudah makin panas, aku kira dia akan menyisir rambutnya.”
Ayyash berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai harta di sana, aku akan mengambilnya.”
Kukatakan kepadanya, “Demi Allah, engkau tahu aku termasuk golongan Quraisy yang banyak harta, untukmu setengah hartaku, jangan pergi bersama mereka.”
Namun, ia enggan kecuali pergi bersama keduanya. Ketika ia enggan, kukatakan kepadanya, “Jika begitu maumu, ambillah untaku ini, unta ini sangat jinak, kau harus tetap di punggungnya. Jika kau ragu akan sesuatu yang dilakukan merka, pecutlah dia.”
Ayyash pun pergi bersama mereka hingga ketika mereka sampai di setengah perjalanan, Abu Jahal bin Hisyam berkata, “Demi Allah, untaku mulai berjalan lambat, tidakkah engkau mau membawaku dengan untamu?”
“Tentu,” kata Ayyash. Ia pun merundukkan untanya, begitu juga keduanya untuk pindah ke unta Ayyash. Namun, ketika mereka menginjak tanah, mereka melompat dan mengikatnya. Kemudian ia dimasukkan ke Makkah. Keduanya memperdayanya dan Ayyash terperdaya.
Umar berkata, “Dulu kami penah berkata, “Demi Allah, Allah tidak menerima  seseorang yang terperdaya, baik itu karena tak mampu menolaknya maupun tertipu. Allah juga tidak akan menerima tobat suatu kaum yang mengenal-Nya, kemudian mereka kembali kepada kekufuran karena cobaan yang menimpa mereka.”
Umar berkata, “Mereka mengatakan itu untuk diri mereka sendiri. Ketika Rasulullah datang ke Madinah. Allah SWT menurunkan ayat tentang mereka, pernyataan kami untuk mereka, dan pernyataan mereka untuk diri mereka sendiri pada QS az-Zumar (39) : 53 – 55).
Umar berkata, “Aku pun menulis ayat itu di sebuah lembaran dan aku mengirimnya kepada Hisyam bin al-Ash.”
Hisyam berkata, “Aku masi membacanya hingga aku sampai di Dzu Thuwa, aku naik kendaraanku sambil membawa lembaran itu, sampai aku memahaminya. Terbersit dalam  pikiranku bahwa ayat itu turun untuk kami serta tentang apa yang  kami katakan pada diri kami sendiri dan dikatakan untuk kami. Lalu, aku pulang dan duduk di atas untaku menyusul Rasulullah saw, ke Madinah.” (HR al-Bazzar dan al-Hakim, menurutnya hadits ini shahih, dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Hijrah di Depan Hidung Orang-Orang Musyrik

Ketika Umar ingin hijrah di belakang Rasulullah saw, ia berdiri di depan orang-orang musyrik dengan sikap merendahkan diri mereka, menampakkan kelemahan mereka, dan menggetarkan hati mereka.
Dari Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa seseorang dari mereka yang berhijrah pergi, melainkan dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Khaththab. Ketika ia ingin hijrah, ia gmembawa pedangnya, meletakkan busurnya di belakangnya, serta di tangannya terdapat beberapa anak panah dan tombak pendek, ia pergi menuju Ka’bah, sementara sejumlah orang Quraisy sedang berada di pelatannya. Lalu, Umar thawaf tujuh putaran, setelah itu shalat di belakang maqam dua rakaat. Kemudian ia menghadapi mereka satu per satu dan berkata, “Wajah-wajah yang jelek, Allah menghinakan hidung-hidung (kalian) barangsiapa yang ingin ibunya menderita, anaknya menjadi yatim, istrinya menjadi janda, temui aku di belakang lembah ini.” Alu berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengikutinya, kecuali kaum lemah. Kemudian ia mengajari dan membimbing mereka, lalu ia pun pergi.”

Sikap yang Agung

Soerang muslim bisa saja membandingkan cara Umar bin Kaththab r.a. hijrah dengan hijrahnya Nabi saw., kemudian ebrtanya-tanya, “Mengapa Umar hijrah terang-terangan, menentang kaum musyrik, tanpa takut dan gentar, sedangkan Rasulullah sembunyi-sembunyi, penuh kehati-hatian?” Apakah Umar lebih berani daripada Nabi saw?”
Jawabannya : Sesungguhnya Umar bin Khaththab dan muslim manapun – selain Rasulullah saw., --- segala tindak-tanduknmya adalah keputusan pribadi, bukan bukti-bukti hukum syar’i (hujjah tasyri’iyyah). Siapa saja bisa memilih cara dan sarana yang ia sukai, yang sesuai dengan keberanian dan keimanan kepada Allah SWT.
Adapun Rasulullah saw., sebagai sumber syariah. Dengan kata lain, semua perilakunya korelatif dengan agama dan dianggap sebagai sebuah aturan syariah bagi kita. Oleh karena itu, sunnahnya adalah sumber kedua dari sumber-sumber hukum syariah, yaitu kumpulan sabdanya, perbuatannya, sifatnya, dan ketentuannya. Jika beliau saw., melakukan seperti apa yang dilakukan Umar, umatnya akan mengira bahwa inilah yang wajib. Yaitu, tidak boleh berhati-hati dan sembunyi-sembunyi dalam keadaan takut.padahal, Allah SWT menegakkan syariat-Nya di dunia ini berdasarkan sebab dan musababnya. Jadi, sebuah kenyataan yang tak diragukan lagi bahwa itu terjadi dan itu berasal dari Allah dan kehendak-Nya.
Dengan demikian, Rasulullah saw., memakai semua cara dan sarana materi yang terpikirkan oleh akal manusia dalam perkara seperti ini agar tak ada satu pun sarana yang tertinggal, semua digunakan. Itulah sebabnya mengapa beliau saw., meninggalkan Ali bin Abi Thalib tidur di atas kasurnya dan menutupi tubuhnya dengan selimutnya. Beliau saw., pun meminta bantuan dari seorang musyrik, yang telah ia percaya sebagai penunjuk jalan-jalan alternatif yang tak terpikirkan oleh musuh. Beliau saw., juga bermalam tiga hari bersembunyi di gua. Sampai hal terakhir dari materi dari yang dipersiapkan yang mungkin terbtik dalam pikiran. Hal itu menjelaskan bahwa iman kepada Allah SWT tidak menafikan penggunaan faktor-faktor materi yang dikehendaki oleh Allah dengan keagungan hikmah-Nya, dijadikan sebagai sarana.

Pelayan Abu Hudaifah Menjadi Imam bagi kaum Muslimin sebelum Kedatangan Nabi saw.

Ibnu Umar r.a. berkata, “Ketika kaum Muhajirin yang pertama sampai ke al-Ushbah – sebuah tempat di Quba – sebelum kedatangan Rasulullah saw., Salim – pelayan Abu Hanifah – yang mengimami mereka. Dia yang paling banyak menghafal surat-surat Al-Qur’an” (HR Bukhari).

Hijrah Rasulullah saw. Dan Sahabatnya

Kaum Muhajirin meninggalkan Makkah secara berkelompok ataupun sendiri-sendiri, hingga Makkah hampir lengang dari kaum mujslimin. Kaum Quraisy merasa bahwa Islam di tengah perjalanannya mendapat rumah, sebagai tempat bernaungnya. Islam mendapat benteng tempat ia berlindung dan menyembunyikan rasa takut dari hal-hal berbahaya yang dihadapi dalam perjalanan dakwah Muhammad. Did alam darah mereka menyeruak insting-insting hewan buas ketika mereka khawatir atas kehidupannya.
Sesungguhnya Mhammad saw., masih di Makkah dan pasti akan menyusul para sahabatnya hari ini atau esok, kaum Quraisy bersegera menyruh kaumnya untuk menghadang sebelum beliau saw., berbalik arah menuju tempat hijrah itu.

Meminta Izin kepada Nabi untuk Berhijrah

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saat itu masih di Makkah, lalu beliau diperintahkan untuk hijrah, dan diturunkan kepadanya firman Allah, “Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula ) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku).” (QS. al-Asra’ (17) :80). Abu Bakar sering meminta izin kepada Rasulullah saw., untuk hijrah, tetapi Rasulullah saw berkata, “Jangan tergesa-gesa --- mudah-mudahan Allah memberimu seorang teman dalam perjalanan.” Abu Bakar sangat menginginkan bahwa teman itu adalah beliau.” (HR Turmudzi dan al-Hakim, menurutnya shahih dan adz-Dzahabi sepakat dengannya).

Jibril Mengabarkan kepada Nabi saw. Bahwa Abu Bakar Menjadi Teman Hijrahnya

Dari Ali bin Abi Thalib Karramullahu wajha, sesungguhnya Nabi saw bertanya kepada Jibril, “Siapa yang pergi hijrah denganku?” Jibril menjawab “Abu Bakar.” (HR Hakim dalam al-Mustadrak, menurutnya sanad dan matannya shahih dan adz-Dzhzabi sepakat dengannya,d an dia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” ).

Di Dar an-Nadwah (Balai Pertemuan Quraisy).

Ketika Rasulullah menyiapkan dirinya untuk hijrah, ternyata kaum musrikin merencanakan konspirasi jahat untuk membunuh Nabi saw.
Syekh al-Ghazali berkata, “Berkumpullah para penjahat Makkah di Dar an-Nadwah untuk mengambil keputusan penting dalam hal ini. Beberapa ada yang berpendapat untuk mengikat tangan Muhammad saw, dengan sangat kencang,  lalu dimasukkan ke dalam penjara. Mereka hanya akan memberinya makan dan dibiarkan seperti itu sampai mati. Sebagian lagi berpendapat dengan mengasingkannya dari Makkah dan ia tidak boleh memasukinya setelah itu, kemudian Quraisy akan lepas tangan dari segala urusannya.”
Meskipun demikian, dua pendapat itu diabaikan karena tidak berguna. Akhirnya, diputuskan cara yang disetujui adalah ide yang ilontarkan Abu Jahal. Ia berkata, “Sebaiknya kalian memilih prmdua dari setiap kabilah Quraisy, seorang pemuda cakap dari keturunan mulia. Kemudian kita beri mereka pedang yang tajam, dengan pedang itu, mereka membunuh satu orang. Jika mereka membunuhnya, pembayaran dam (denda untuk keluarga, yang anggotanya dibunuh) akan ditanggung oleh semua kabilah. Aku tidak yakin jika Bani Hasyim mampu memerangi seluruh kabilah Quraisy. Dengan begitu, mereka akan menerima dam yang kita bayarkan/”
Para konspirator setuju dengan ide solutif untuk melaksanakannya. Al-Qur’an sendiri mencatat rencana jahat itu, sebagaimana dalam firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu, Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. al-Anfal (8) : 30).

Ali r.a. Tidur di Atas Kasur Nabi saw. Pada Malam Hijrah

Pada malam hijrah, kaum musyrikin berkumpul di depan rumah Rasulullah saw. Mereka menunggunya sampai tidur dan memastikannya. Ketika Rasulullah saw, tahu posisi mereka, beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah di atas kasurnku dan berselimutlah dengan sorban hadrami hijau ini. Tidurlah di sana, mereka tidak akan melakukan sesuatu yang kau benci pada dirimu.” Rasulullah memang selalu memakai kain sorban itu jika hendak tidur.
Kemudian Rasulullah saw, keluar rumah seraya membaca ayat-ayat ini, “Ya Sin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sungguh engkau (Muhammad) adalah salam seorang dari rasul-rasul, (yang berada) di atas jalan yang lurus, (Sebagai wahyu) yang dirutunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek-moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyak mereka, karena mereka tidak beriman. Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah. Dan kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin (36) 1 – 9).
Tak seorang pun dari mereka, melainkan Rsulullah saw, telah menaburi kepala mereka dengan pasir. Kemudian ia pergi ke tempat yang ia kehendaki. Lalu, datanglah seseorang kepada mereka, yang sebelumnya tak berada di situ, berkata, “Apa yang kalian tunggu?”
“Muhammad,” kata mereka.
“Allah telah memutuskan harapan kalian, demi Allah, Muhammad sduah keluar dari rumahnya. Kemudian ia menaburi kalian semua dengan pasir dan pergi untuk urusannya. Apakah kalian tidak tahu apa yang terjadi pada diri kalian?” kata laki-laki itu lagi.
Setiap orang menggerakkan tangannya ke atas kepala, mereka mendapati pasir di sana. Lalu, mereka mengintip dan melihat Ali di atas kasur berselimut sorban Rasulullah saw, lalu mereka berkata, “Demi Allah, sungguh itu Muhammad sedang tidur dengan sorbannya.” Begitulah mereka tetap diam di sana hingga pagi. Ali bangun dari tempat tidurnya dan mereka berkata, “Demi Allah, benar apa yang dikatakan orang itu.” (HR Thabari dan Abu Na’im).
Al-Mighwar Haidarah, telah melindungi dakwah ini pada pribadi Nabi. Ia tidur di atas kasur beliau pada malam yang sangat sulit. Seseorang yang mau tidur di atas kasur seorang laki-laki, yang ia tahu di depan pintu rumahnya ada banyak orang yang tak menginginkan apa pun, kecuali kepala, sedangkan ia tidur di atas kasur itu, tetapi itu demi nabinya sehingga Allah membahagiakan pernikahannya dengan Fatimah, putri Nabinya, wanita yang menjilbabi dirinya dengan kesempurnaannya. Rasulullah saw, menghadiahi Ali keluarga dan tangan yang selalu terbuka. Beliau saw, juga memercayakannya perisai al-Huthamiyyah. Fatimah dinikahkan dengan Ali, bersamanya ada selimut dan bantal dari kulit, di dalamnya diisi pelepah. Di samping itu juga, ada tempat mengambil air dari sumur, pengayak tepung, tungku, pemetik api, batu giling, dan dua kendi. Ia menikah dengannya. Mereka tak memiliki kasur, kecuali kulit kabing, tempat mereka tidur di malam hari dan sebagai alas di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Fatimah tidak memiliki pelayan. Namun, itu tak dikeluhkannya.
Dalam ash-shahihain, dari al-Musawwir bin Makhramah sesungguhnya Rasulullah saw, bersabda kepada Fatimah, “Tidakkah engkau ridha menjadi pemimpin para wanita umat ini dan wanita-wanita mukmin?”
Dalam ash-shahihain juga al-Musawwir bin Makhramah sesungguhnya Rasulullah saw, bersabda, “Fatimah adalah bagian dariku, barang siapa yang membuatnya marah maka ia membuatku marah.”
Dari Anas r.a. berkata, “Sesungguhnya surga merindukan tiga orang, yaitu Ali, Ammar, dan Salman.” (HR Turmudzi dan Hakim).
Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata, “Ali mengorbankan dirinya, ia memakai pakaian Nabi saw, kemudian tidur di tempat beliau. Saat itu orang-orang musyrik merasa telah melempari Rasulullah yang berselimut burdah. Orang-orang Quraisy ingin membunuh Nabi saw, ternyata mereka melempari Ali yang mereka kira Nabi saw, yang memakai burdahnya. Ali pun berteriak kecnang. Mereka pun masuk dan mereka mendapatkan Ali. Mereka pun berkata, “Sungguh engkau tercela karena engkau berteriak, sedangkan temanmu (Nabi saw.) tidak ebrteriak. Maka kami curiga kepadamu.” (HR. Hakim dan Abu Dawud).
Sungguh dialah prajurit sejati yang ikhlas menyerukan perbaikan dan berkorban untuk panglimanya dalam hidupnya. Sebab, keselamatan pemimpin merupakan keselamatan dakwah. Begitu juga, kehancuran pemimpin adalah kemunduruan dan kelemahan dakwah. Apa yang dilakukan Ali pada malam hijrah – dengan bermalam di tempat tidur Rasul saw, ---- adalah pengorbanan hidupnya demi keselamatan Rasulullah saw. Sebab bisa saja pedang pemuda Quraisy mengenai kepala Ali r.a. untuk balas dendam karena ia telah menyelamatkan Rasulullah saw. Ali r.a. tidak peduli dengan itu, cukuplah ia telah menyelamatkan Rasulullah saw, sebagai Nabi umat ini dan panglima dakwah.

Hadits tentang Hijrah yang Penuh Berkah

Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, dari Aisyah r.a. – setelah beliau mengisahkan jaminan perlindungan Ibnu ad-Daghinah untuk Abu Bakar, yang di kemudian hari ditolaj oleh Abu Bakar – berkata, “Abu Bakar bersiap menuju Madinah, lalu Rasulullah saw, berkata kepadanya, “Jangan tergesa-gesa karena aku berharap aku akan dizinkan (untuk hijrah).” Lalu, Abu Bakar berkata, “Demi bapakku sebagai tanggungannya, apakah benar engkau mengahrapkan itu?” Rasulullah saw, menjawab, “Ya”. Kemudian Abu Bakar menundanya dan ebrharap agar ia bisa menemani Rasulullah saw. Ia pun memberi dua unta tunggangannya di dimilikinya dengan daun Samur, selama empat bulan.
Aisyah r.a. berkata, “Pada tengah siang hari ketika kamis edang duduk di rumah Abu Bakar, tiba-tiba ada orang yang berkata bekapa Abu Bakar, “Ini ada Rasulullah saw, datang pada waktu yang sebelumnya tidak pernah datang kepada kami di saat seperti ini.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Bapak Ibuku menjadi tebusan untuk beliau. Demi Allah, tidaklah beliau datang pada waktu seperti ini, melainkan pasti ada urusan penting. Rasulullah saw, datang dan meminta izin, lalu beliau dipersilahkan masuk. Beliau masuk dan berkata kepada Abu Bakar, “Perintahkan orang-orang yang ada di rumahmu untuk keluar.” Abu Bakar berkata, “Mereka itu dari keluarga Anda juga, bapakku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah.” Beliau saw, berkata, “Sungguh aku telah diizinkan untuk keluar berhijrah.” Abu Bakar bertanya, “Apakah aku akan menjadi pendamping demi bapakku sebagai tebsuanmu, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw, menajwab, “Ya benar.” Abu Bakar berkata, “Demi bapakku sebagai tebusanmu, ambillah salah satu dari unta tungganganku ini.” Rasulullah saw, bersabda, “(Harus) dengan harga.” Kamudian kami pun mempersiapkan untuk keduanya dengan baik dan kami buatkan bekal makanan yang kami simpan dalam kantung kulit. Sementara itu, Asma’ binti Abu Bakar memotong kain ikat pinggangnya menjadi dua bagian, lalu satu baginya digunakan untuk mengikat kantung kulit itu. Dari peristiwa inilah kemudian dia dikenal sebagai Dzatu an-Nathaqain (wanita yang mempunyai dua potong ikat pinggang).

Di Dalam Gua

Semua perkara berjalan sesuai dengan yagn direncanakan. Abu Bakar pun memerintahkan anaknya, Abdullah untuk mendengarkan apa yang diaktakan orang-orang tentang mereka berdua. Jika sore datang, Abdullah melaporkan kepada mereka kabar berita yang terjadi hari itu. Ia juga memerintahkan Amir bin Fuhairah, pelayannya, untuk menggembalakan kambingnya di siang hari dan membawakannya untuk mereka pada sore harinya. Kemudian Abdullah bin Abu Bakar pun berkeliling mendengarkan apa diperintahkan dan apa yang dikatakan oleh mereka tentang Rasulullah saw, dan Abu Bakar. Sore harinya ia mendatangi keduanya dan menceritakan apa yang ia ketahui. Begitu jgua Amir menggemebala di tempat penduduk Makkah menggembala. Pada sore harinya ia membawa kambing-kambing itu kepada mereka. Mereka pun memerah susu dan menyembelihnya. Jika Abdullah hendak kembali ke Makkah, Amir mengikutinya dengan kambing-kambing Abu Bakar untuk menghilangkan jejak Abdullah. Itulah strategi sempurna, kondisi darurat yang membuat semua orang melakukannya.
Dari Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw, dan Abu Bakar samp;ai di gua di bukit Tsur. Mereka bersembunyi di sana selama tiga malam. Abdullah bin Abu Bakar, seorang pemuda yagn cerdik dan cepat tanggap ikut bersama keduanya bermalam di sana. Pada waktu sahur (akhir malam) dia keluar meninggalkan keduanya dan pada pagi harinya dia ebrbaur dengan orang-orang Quraisy, sebagaimana layaknya orang yang bermalam di Makkah. Tidaklah dia mendengar suatu rahasia yang dapat memperdaya keduanya, melainkan dia akan mengingatnya hingga dia datang menemui keduanya dengan membawa kabar ketika hari mulai gelap. Kemudian Amir bin Fuhairah, mantan Budak abu Bakar, menggembalakan kambing untuk diperah susunya dan diberikan kepada keduanya sesaat setelah berlalu waktu Isya’. Kemudian Nabi saw, dan Abu Bakar dapat bermalam dengan tenang dan mendapat susu segar, yaitu susu hasil perahan kambing itu hingga Amir bin Fuhairah menggiring kambing-kambing tersebut untuk digembalakan saat menjelang pagi. Dia melakukan ini pada setiap malam selama tiga malam persembunyian itu. Kemudian Rasulullah saw, dan Abu Bakar mengupah seseorang dari suku Bani ad-Dil, yaitu suku keturunan Bani Abdu Addy sebagai pemandu jalan. Orang itu adalah orang yang mengerti tentang jalur perjalanan. Orang ini telah ikut bersumpah dengan keluarga al-‘Ash bin Wa’il Sahmy dan dia juga seorang yang beragama dengan agamamya orang-orang kafir Quraisy. Namun, Rasulullah saw, dan Abu Bakar memercayainya dan menyerahkan kedua unta tunggangannya serta membuat perjanjian dengannya untuk membawa kembali unta tunggangan tersebut di Gua Tsur setelah tiga malam pada waktu subuh di malam ketiga. Kemudian Amin bin Fuhairah berangkat bersama keduanya dan seorang penunjuk jalan tadi. Pemandu jalan itu mengambil jalan di pesisir bersama mereka.” (HR Bukhari).

Cinta yang Mendahului Imajinasi

Dari Muhammad bin Sirin berkata, “Beberapa orang pada masa Umar r.a. bercakap-cakap, seakan-akan mereka lebih mengutamakan Umar daripada Abu Bakar r.a. Sampai kabar itu kepada Umar r.a. lalu ia berkata, “Dimei Allah, (apa yang dilakukan) semalam oleh Abu Bakar lebih baik daripada  keluarga Umar. Satu hari Abu Bakar lebih baik dariapda keluarga Umar. Rasulullah saw, pergi menuju gua bersama Abu Bakar, sesaat ia berjalan di depan Rasulullah saw, sesaat kemudian di belakang beliau. Rasulullah saw, ingin tahu dan bertanya “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau berjalan di depanku sesaat kemudian di belakangku?” Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasulullah, aku ingat mereka yang mengusirmu, maka aku berjalan di belakangmu. Kemudian aku ingat mereka yang sedang mengintai dan mencarimu, maka aku berjalan di depanmu.” Lalu, Rasulullah saw, berkata, “Wahai Abu Bakar, jika aku diminta memohon, maka aku memohon agar selalu bersamamu.”  Abu Bakar berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada musibah selain jika aku tanpamu.” Ketika mereka telah sampai di gua, Abu Bakar berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Rasulullah, hingga aku memeriksa gua ini untukmu.” Abu Bakar pun memasuki dan memeriksanya sampai ke atasnya.”.elihat di pintunya
Dalam riwayat laind isebutkan, Abu Bakar tidak memeriksa ruangan itu. Ia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Rasulullah, sampai aku memeriksa ruangan ini.” Lalu, ia masuk dan memeriksanya. Kemudian ia berkata, “Turunlah, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun turun memasukinya. Umar berkata, “Demi jiwaku yang digenggam di tangan-Nya, malam itu lebih baik dariapda keluarga Umar.” (HR Hakim, disebutkan oleh adz-Dzahabi bahwa ahadits ini shahih mursal).

Tidak Ada Yang Tahu Tentara-Tentara Tuhanmu, kecuali Dia Saja.

Dari Ibnu Abbas r.a. megnatakan tentang firman Allah SWT, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu ....” (QS. al-Anfal (8) : 30).
Ibnu Abbas berkata, Quraisy berkumpul suatu malam di Makkah, sebagian mereka berkata, “Jika pagi menjelang, ikatlah ia --- Muhammad saw. --- dengan tali. Sebagian lagi berkata, “Bunuhlah dia!” Sebagian yang lain mengatakan, “Usirlah dia.” Allah memberi tahu hal itu kepada nabi-Nya. lalu, diperintahkan Ali untuk tidur di tempat tidur Nabi saw, malam itu. Nabi pun keluar hingga mencapai gua. Kemudian orang-orang musyrik menjaga Ali yang mereka kira Nabi saw. Ketika pagi menjelang, mereka menyerangnya. Dan ketika mereka tahu itu Ali, Allah menggagalkan makar mereka. Mereka bertanya kepada Ali, “Di mana temanmu?” Ali berkata, “Aku tidak tahu.” Mereka pun pergi mengikuti jejaknya. Ketika mereka sampai di gunung, mereka bingung, kemudian mereka naik gunung dan melewati gua itu. Mereka melihat di pintunya terdapat jaring laba-laba. Mereka berkata, “Jika Muhammad masuk ke sini, tidak mungkin ada jaring laba-laba di pintunya.” Kemudian Rasulullah tinggal di sana selama tiga hari.” (HR Ahmad).
Tentara yang memorak-porandakan kebatilan dan membela kebenaran tidak hanya dalam bentuk senjata tertentu, atau pun bentuk khusus yang luar biasa. Tentara itu, bentuknya lebih umum, baik dalam bentuk materi maupun non materi. Jika dalam bentuk materi, kadar bahayanya tidak selalu selaras dengan ukurannya. Virus yang tidak terlihat oleh mata, dapat menghancurkan pasukan yang berjumlah besar.
..... Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri ..... (QS. al-Muddatsir (74) : 31).
Di antara kebesaran Allah yang dibuatnya untuk Nabi-Nya adalah ketika mata musuh dibutakan sedangkan Nabi saw. Berada di tengah mereka dan mata mereka mlotot. Hal itu bukan pemberian kekuatan pada kaum yang tidak mau menyempurnakan upaya dalam mengupayakan semua faktor keselamatan. Akan tetapi hadiah,yang ditentukan untuk kaum yang tak meninggalkan satupun sarana untuk berhati-hati, melainkan mereka mengambilnya. Betapa banyak rencana yang diputuskan oleh pada pengambil kebijakan. Mereka telah mengaturnya dengan sangat profesional, melewatinya di saat-saat sulit untuk hal-hal yang mereka inginkan, atau di luar perkiraan, yang apda akhirnya berlangsung sesuai dengan kebijjakan tertinggi (milik Allah) dan pada batasan firman-Nya, “.... Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf (12) : 21).

Bagaimana Menurutmu Dua Orang dan Ketiganya Allah?

Nabi Muhammad saw, dan Abu Bakar ash-Shiddiq tinggal di gua itu selama tiga hari, hingga ambisi untuk mencari keduanya padam. Kemudian datanglah Abdullah bin Uraiqith dengan dua ekor unta menjemput mereka berdua. Keduanya pun pergi, Abu Bakar duduk di belakang Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan berada di depan mereka. Maka Allah megnawasi mereka, dukungan-Nya menemani mereka, dan Allah membahagiakan mereka saat pergi dan turun.
Kaum Quraisy memutuskan untuk segera megnadakan rapat darurat dengan mengumpulkan berbagai saran agar dapat menangkap keduanya. Lalu,diletakanlah pengawas yang bersenjata berat di setiap penjuru yagn memungkinkan keluar dari Makkah. Sebagaimana diputuskan untuk memberi hadiah besar, sejumlah 100 unta untuk setiap kepala, bagi siapa saja yang bisa menyerahkan keduanya kepada Quraisy, hidup atau mati ..... siapa pun. (HR Bukhari dan Ahmad).
Kaum musyrikin Makkah pergi dengan mengikuti jejak Muhajirin yang mengarungi jarak. Mereka memeriksa setap tempat pelarian. Mereka juga mendaki gunung-gunung dan gua-gua di sana. Ketika mereka sampai di dekat Gua Tsur, Rasulullah saw, dan teman hijrahnya (Abu Bakar) diam setelah terdengar suara tapak kaki para pengusir itu mendekat. Abu Bakar gemetar dan ebrbisisik kepada Rasulullah saw, “Jika salah satu dari mereka melihat ke bawah kakinya, dia akan melihat kita.” Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Bakar, bagaimana menurutmu dua orang dan ketiganya Allah?” (HR Bukhari dan Muslim).
Kita harus menggunakan sarana dan menggantungkan hati kita kepada yang menyebabkan adanya sarana itu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Kita tidak melihat adanya seseorang yang lebih berhak atas pertolongan Allah dan dukungan-Nya, sebagaimana Rasulullah saw, yang mengahadapi apa yang beliau hadapi di sisi Allah. Namun, beliau berhak atas pertolongan dari Yang Mahatinggi, tidak berarti menyepelekan hal kecil dalam penghimpun semua faktor dan mengumpulkan sarananya.
Rasulullah saw, sendiri menyiapkan rencana hijtahnya dan menyiapkan setiap hal yang wajib disiapkan. Beliau tidak membiarkan satu celah pun bagi sesuatu yang masih buram dalam prediksinya.
Begitu juga, seorang mukminharus sanggup membuat perencanaan yang baik dan matang. Kemudian ia bertawakal kepada Allah SWT karena segala sesuatu itu bisa terlaksana atas kehendak Allah SWT.
Jika seseorang sudah berusaha mengeluarkan daya upaya dengan sungguh-sungguh dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan perintah, tetapi ia tumbang atau gagal, Allah SWT tidak akan mencela atas kegagalannya itu dan dijadikan cobaan baginya. Semua itu adalah kehendak Allah SWT, Dzat Yang Mahaperkasa, tak seorang makhlukpun berkuasa atas hal itu.
Sebagian besar ketika manusia menyusun dengan baik permulaan-permulaan kemenagnan, datanglah pertolongan tingkat tinggi yang membuat kemenangan itu berlipat-lipat buahnya. Sebagaimana kapal yang mengarungi samudra, di belakang kemudi ada seorang nahkoda yang mahir. Ternyata aliran air membantunya dan angin berhembus ke arah yang ditujunya. Ia tidak ebrlama-lama di sana hingga akhirnya mencapai tujuannya, pada waktu terpendek yang telah ditentukan.
Hijrah rasulullah saw, dari Makkah ke Madinah berlaku juga aturan ini. Beliau tetap tinggal di Makkah dulu bersama Ali dan Abu Bakar, lalu mengizinkan seluruh kaum mukminin untuk mendahuluinya hijrah ke Makkah.

Dzatu an-Nithaqain

Ketika ambisi untuk mencari Rasulullah sudah padam, segala upaya pencarian pun dihentikan. Para pencari pun istirahat, setelah pencarian yang berlangsung tiga hari tanpa hasil. Rasulullah saw, dan teman perjalanannya bersiap untuk pergi ke Madinah.
Dari Aisyah r.a. berkata, “Maka kami mempersiapkan untuk keduanya dengan baik dan kami buatkan bagi keduanya bekal makanan yang kami simpan dalam kantung kulit. Sementara itu, Asma’ binti Abu Bakar memotong kain ikat pinggangnya menjadi dua bagian, lalu satu bagiannya digunakan untuk mengikat kantung kulit itu. Dari peristiwa inilah kemudian dia dikenal sebagai Dzatu an Nithaqain (wanita yang mempunyai dua potongan ikat pinggang).” (HR Bukhari).
Dari Asma’ r.a. berkata, “Aku membuatkan bekal perjalanan untuk Nabi saw, dan Abu Bakar ketika keduanya hendak berangkat Hijrah menuju Madinah. Aku aktakan kepada bapakku, “Aku tidak mendapatkan sesuatu untuk mengikat, melainkan kain ikat pinggangku.” Bapakkau berkata, “Potonglah kain ikat pinggang itu!” Dari situlah kemudian aku dijuluki dengan Dzatu an-Nithaqain (wanita yang mempunyai dua potongan ikat pinggang).” (HR Bukhari).
Az-Zubair bin Bakkar berkata tentang kisah ini, “Rasulullah saw., bersabda kepada Asma’, “Allah akan menggantikan ikat pinggangmu di surga dengan dua ikat pinggang.” Kemudian ia diberi gelar Dzatu-an-Nithaqain.”

Kecepatan Berpikir dan Penanggulangan yang  Baik

Inilah sikap yang memancarkan iman yang agung, sikap yang mengungkapkan ketulusan iman dan kecepatan berpikir, serta penanggulangan yang baik dalam perkara darurat.
Dari Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Ketika Rasulullah pergi bersama Abu Bakar, Abu Bakar membawa semua hartanya bersamanya, 5.000 Dirham atau 6.000 Dirham.”
Asma’’kata, “Ia pergi dengan membawa semua itu.” Asma’ berkata, “Kemudian kakekku, Abu Quhafah, yang telah hilang penglihatannya datang kepada kami dan berkata, “Dimi Allah, aku melihat ia sudah menyusahkan kalian dengan membawa semua hartanya.”
Asma’ berkata, “Kemudian kukatakan, “Tidak, wahai kakek, dia meninggalkan untuk kami kebaikan yang banyak (harta).”
Asma’ berkata, “Lalu aku ambil beberapa batu dan aku letakkan di sebuah lubang dinding di rumah, tempat ayahku meletakkan uangnya, lalu aku tutup dengan kain. Kemudian aku meraih tangan kakek dan kukatakan kepadanya “Wahai Kakek, letakkan tanganmu di atas harta ini.”
Asma’ berkata, “Kakek meletakkan tangannya di atas batu itu, lalu berkata, “Tidak mengapa jika ia meninggalkan sesuatu untuk kalian, berarti dia sudah ebruat baik, jadi kalian bisa hidup ....”
Asma’ berkata, “Padahal demi Allah, ayah tidak meninggalkan apa-apa buat kami, aku hanya ingin menennangkan orang tua itu.” (HR. Hakim, dengan sanand shahih).

Mukjizat Nabi saw,d an Karunia Tertinggi dari Allah

Dari hadits Qays bin an-Nu’man r.a. berkata, “Ketika Nabi saw, dan Abu Bakar pergi secara sembunyi-sembunyi, keduanya memerintahkan seorang hamba sahaya untuk menggembalakan kambing, kemudian mereka memerahnya dan minum darinya. Ia berkata, “Aku tidak memiliki kambing untuk diperah susunya, kecuali si betina ini. Dia hamil awal musim dingin lalu dan sudah melahirkan, tetapi tidak ada susu yang tersisa.” Rasulullah berkata, “Bawalah kambing itu kemari.” Lalu, dibawanya kambing itu. Nabis aw. Mengikatnya, lalu mengusap-usap puntingnya dan ditarik-tarik hingga keluar  air susunya. Kemudian Abu Bakar datang dengan membawa wadah, Rasulullah memerahnya dan memberinya kepada Abu Bakar, lalu, memerahnya lagi untuk ia minum. Penggembala itu berkata, “Demi Allah, siapa engkau? Aku tidak pernah melihat orang sepertimu.” Rasulullah berkata, “Jika aku katakan, apakah kau mau menjaga rahasia?” Ya.” Kata penggembala itu. “Aku adalah Muhammad utusan Allah.” Kata Rasulullah. Penggembala itu berakta, “Engkau adalah orang yang dianggap orang Quraisy shabi.” (yang berpaling dari agama kaumnya).” Nabi saw, berkata, “Ya, begitulah mereka mengatakan itu.” Penggembala itu berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah nabi dan aku bersaksi bahwa engkau membawa kebenaran. Dan tidak ada yang bisa melakukan hal itu selain seorang nabi dan akan mengikutimu.” Tidak untuk saat ini, jika kau mendengar kabar bahwa aku telah memang, datanglah kepada kami.” Kata Nabi saw.” (HR. Hakim).
Dari al-Barra’ bin ‘Azib r.a. berkata, “Abu Bakar membeli dari ‘Azib seperangkat pelana unta dengan harga tiga belas dirham, lalu Abu Bakar berkata kepada ‘Azib, Perintahkanlah al-Barra’ untuk membawa pelana ini kepadaku.” Namun, ‘Azib berkata, “Tidak, kecuali kamu mau bercerita apa ayang kamu dan Rasulullah saw, lakukan saat kelian ebrdua keluar untuk berhijrah dari Makkah, sementara orang-orang musyrik mencari-cari kalian.”
Abu Bakar berkata, “Baiklah ..... kami berangkat dari Makkah melalui perjalanan atau menempuh perjalanan siang  dan malam hingga ketika di siang hari saat cuaca sangat panas. Aku mencoba mengarahkan pandanganku untuk melihat-lihat apakah ada naungan untuk tempat berteduh. Akhirnya, ada sebuah batu, lalu aku datangi dan aku lihat di baliknya ada tempat untuk berteduh. Kemudian (kami singgah di batu tersebut), aku meratakan tempat dengan tanganku sendiri dan menghamparkan tikar  untuk Nabi saw., lalu aku katakan kepada beliau, “Berbaringlah, wahai Nabi Allah.” Nabi saw, pun berbaring, lalu aku beranjak sejenak untuk mengamati keadaan sekeliling tempat itu, apakah ada orang yang membuntuti kami. Ternyata, aku bertemu dengan seorang anak kecil, pengembala kambing yang sedang menggiring kambingnya menuju batu tersebut untuk bernaung, sebagaimana yang kami lakukan. Aku bertanya kepadanya, “Milik siapakah kamu ini, wahai ghulam (anak kecil).?” Anak kecil penggembala itu menjawab, “Aku ini milik seseorang dari suku Quraisy.” Dia menyebutkan nama bagindanya yang aku mengenalnya. Aku bertanya lagi, “Apakah kambingmu ini menghasilkan air susu?” Anak gembala itu menjawab, “Y.” Aku tanya lagi, “Apakah kamu bersedia memeras susunya?” Anak gembala itu kembali menjawab, “Ya.” Kemudian aku memerintahkannya, lalu dia menarik seekor kambing gembalaannya dan kuperintahkan agar dia membersihkan puting susunya dari debu. Kemudian aku memerintahkannya untuk membersihkan telapak tangannya.” (Abu Bakar) melanjutkan, “Kemudian anak gembala itu memeras sedikit susu dan memasukkannya ke dalam sebuah gelas. Sedangkan, aku membawa wadah kecil yang aku siapkan untuk Nabi saw., yang biasanya beliau gunakan untuk minum. Aku menuangkan (air) ke dalam susu itu agar dingin pada bagian bawahnya, lalu aku beranjak menemui Nabi saw. Dan aku dapatkan beliau sduah terbangun, lalu aku katakan, “Minumlah, wahai Rasulullah!” Beliau meminumnya hingga aku puas. Kemudian aku bertanya “Apakah sudah waktunya kita melanjutkan perjalanan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya.” Kemudian kami berangkat meneruskan perjalanan, sementara kaum musyrikin mencari-cari kami, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang mendapatkan kami, kecuali Suraqah bin Malik bin Ju’syam yang menunggang kudanya. Lalu, aku berkata, “Itu orang yang mengejar kita, dia akan menangkap kita, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita,” (HR Bukhari dan Muslim).

Kisah Suraqah bin Malik

Dari riwayat Suraqah bin Malik bin Ja’syam r.a. berkata, “Datang kepada kami beberapa orang utusan kafir Quraisy, yang menjadikan Rasulullah saw,d an Abu Bakar, sebagai sayembara berhadiah bagi orang yang membunuh atau menawan salah seorang dari keduanya. Ketika aku sedang duduk bermajelis di tengah majelis kaumku, Bani Mudlij, tiba-tiba datang menghadap seseorang dari mereka, lalu berdiri di hadapan kami yang sedang duduk bermajelis seraya berkata, “Wahai Suraqah, sungguh barusan aku melihat orang-orang hitam di pesisir. Aku kira mereka itu adalah Muhammad dan Sahabatnya.”
Suraqah berkata, “Saya tahu bahwa mereka itu adalah yang dimaksud, tetapi aku berkata keapdanya, “Sesungguhnya mereka itu bukan mereka (rombongan Rasulullah), tetapi kamu melihat fulan dan fulan, yang bergerak bersama-sama dengan mata-mata kami.”
Aku tetap berdiam di majelis itu beberapa saat, kemudian aku pergi pulan dan masuk ke rumah. Kemudian aku perintahkan pembantu wanitaku agar membawa keluar kudaku dari balik bukit dan menahannya hingga kau datang. Aku mengambil tombak, lalu keluar dari belakang rumah. aku menyembunyikan tombakku dengan meletakkan ujung bawah tombak itu ke tanah dan merendahkan ujung atasnya. Aku mempercepat lari kudaku agar aku dapat mendekati mereka. Ketika aku sudah dekat dengan mereka, kduaku terperosok ke tanah dan aku jatuh tersungkur. Aku bangun lalu aku mengepalkan tanganku ke tempat anak panahku, lalu aku keluarkan beberapa anak panah untuk aku jadikan alat pengundi nasib. Aku mencari penjelasan dengan cara mengundi anak panah itu, apakah aku akan mencelakai mereka atau tidak. Namun, undian yang keluar adalah apa yang tidak aku senangi.
Kemudian aku menunggangi kudaku lagi tanpa percaya dengan hasil undian tadi agar aku dapat mendekati mereka lagi. Ketika aku (mendekat) sampai dapat mendengar bacaan rasulullah saw, pada saat itu beliau tidak menoleh, sedangkan Abu Bakar seringkali menoleh ke sana ke mari. Kaki depan kudaku kembali terperosok did alam tanah hingga mencapai kedua lututnya dan aku terpelanting dari atasnya. Aku menghalau kudaku, lalu dia bangkit dan hampir saja dia tidak dapat mencabut kedua kakinya. Ketika kudaku sudah berdiri tegak, tiba-tiba pada bekas jejak kakinya keluar asap (yang tidak berasal dari api), lalu membumbung ke langit bagaikan awan. Kemudian aku kembali mencari penjelasan dengan undian dan lagi-lagi undian yang keluar adalah yang aku tidak sukai. Akhirnya, aku memanggil mereka dengan jaminan keamanan. Mereka pun berhenti. Lalu, aku menunggang kudaku hingga sampai kepada mereka. Ketika aku memperoleh kegagalan (membunuh mereka), terbetiklahd alam hatiku bahwa kelak urusan rasulullah saw, akan menang.  Aku berkata kepada mereka, “Sesungguhnya kaummu telah membuat sayembara berhadiah atas engkau.” Lalu, aku menceritakan kepada mereka apa yang sedang diinginkan oleh orang-orang atas diri beliau. Kemudian aku menawarkan kepada mereka perbekalan dan harta bendaku, tetapi keduanya tidaklah mengurangi dan meminta apa yang ada padaku. Akan teapi, belai berkata, “Rahasiakanlah keberadaan kami.” Lalu, aku meminta kepada beliau agar menulis surat jaminan keamanan, kemudian beliau menyuruh Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya pada kulit yang telah di samak. Lalu, Rasulullah saw.melanjutkan perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kelihaian dan Kecerdasan Abu Bakar r.a.

Anas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw, tiba di Madinah dengan membonceng Abu Bakar. Abu Bakar adalah seorang yang tua dan dikenali, sedangkan Nabi saw, masih muda dan belum dikenal. Anas r.a. berkata, “Maka datanglah seorang laki-laki kepada Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, siapakah laki-laki yang dihadapanmu ini?” Abu Bakar menjawab, “Dialah orang yang telah menunjukkan jalan kepadaku.” Orang itu menduga bahwa yang dimaksud Abu Bakar adalah penunjuk jalan yang dilalui. Padahal, yang sebenarnya adalah jalan kebaikan (Islam). Kemudian Abu Bakar menoleh, tiba-tiba ada seorang penunggang kuda yang menyusul mereka. Abu Bakar berkata, “ Wahai Rasulullah, ada seorang penunggang kuda yang menyusul kita.” Nabi saw, pun menoleh dan bersabda, “Ya Allah, sungkurkanlah ia ke tanah.” Kemudian orang itu dipelantingkan kudanya. Kuda itu berdiri sambil meringkik. Laki-laki itu berkata, “Wahai Nabi Allah, perintahkanlah aku apa saja yang engkau inginkan!”. Beliau berkata, “Tetaplah kamu di tempatmu sekarang dan jangan biarkan ada seorang pun yang menyusul kita.” Anas r.a. berkata, “Kemudian laki-laki itu berjuang di awal hari untuk membuntuti Nabi saw, dan pada akhir hari dia menjadi tameng bagi beliau.” (HR Bukhari).

Kisah Ummu Ma’bad al-Khuzaiyyah

Dari Hisyam bin Habisy dari bapaknya, Habisy bin Khalid, sahabat Rasulullah saw, berkata, “Sungguh Rasulullah saw pergi dari Makkah untuk berhijrah ke Madinah bersama Abu Bakar, pelayannya (Amir bin Fuhairah),d an penunjuk jalan mereka, (al-Laitsy Abdullah bin Uraiqith). Mereka melewati kemah Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah. Ia adalah seorang perempuan yang sudah tua, tidak menutup diri dari laki-laki, dan kuat sedang duduk-duduk di halaman perkemahannya. Ia seringkali memberi makan dan minum untuk orang-orang yang melewati kemahnya.
Kemudian rombongan itu meminta kepadanya daging dan kurma untuk dibeli. Namun, mereka tidak mendapatkan apa pun. Sebab, pada saat itu mereka sedang melewati masa kering dan paceklik. Lalu, Rasulullah melihat seekor kambing di samping kemah. Beliau saw, berkata, “Wahai Ummu Ma’bad, bagaimana dengan kambing betina ini?” Ummu Ma’bad berkata, “Kambing betina ini ditinggalkan jantannya karena ia mandul.” Rasulullah saw, bertanya lagi, “Apakah ia mengeluarkan susu?” Ummu Ma’bad berkata, “Dia lebih kering dari itu (tak pernah mengeluarkan susu).” Rasulullah saw, berkata, “Apakah kau mengizinkanku untuk memerahnya?” Ummu Ma’bad berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya. Jika engkau melihat ia mengeluarkan susu, perahlah.”
Rasulullah saw, mendekat ke kambing itu dan mengusap puting susunya. Beliau menyebut nama Allah SWT dan berdoa untuk hal itu. Kambing itu pun merenggangkan kakinya dan puting susunya mulai membesar, lalu meneteslah air susunya. Rasulullah saw, pun meminta wadah. Hal itu membuat orang-orang jongkok untuk melihatnya. Rasulullah saw, memerahnya sampai berkumpul lemak di atasnya. Rasulullah saw, memberi Ummu Ma’bad susu itu sampai dia kenyang, lalu para sahabat perjalanannya hingga mereka pun demikian. Mereka semua meminumnya berkali-kali sampai kekenyangan. Kemudian Rasulullah saw, memerahnya kembali hingga wadah itu penuh dan memberikannya kepada Ummu Ma’bad. Beliau pun membaiatnya untuk Islam dan mereka pun pergi untuk melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, daatang suami Ummu Ma’bad --- Abu ma’bad – dari menggembala kambing-kambingnya yang kurus kering.
Ketika ia melihat susu itu, ia terkejut dan berkata, “Dari mana kau mendapatkan susu ini, sedangkan kambing ini tak pernah merumput, belum pernah hamil, dan tak pernah memberikan susu untuk rumah ini?” Ummu Ma’bad berkata, “Tidak, demi Allah, melainkan tadi ada seorang laki-laki yang diberkahi, lewat di perkemahan kita, dia begini dan begitu.” Abu Ma’bad berkata, “Ceritakan tentangnya kepadaku, wahai Ummu Ma’bad.”
Ummu Ma’bad berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang wajahnya tampan, wajahnya bersinar, budi pekertinya bagus, tidak sombong dan juga tidak rendah diri, sangat tampan, bola matanya hitam, bulu matanya lentik, suaranya gagah, lehernya jenjang dan bersih, jenggotnya lebat, alisnya pun demikian. Ketika ia diam, ia tampak berwibawa, ketika ia berbicara, ia tampak agung. Paling tampan dan berwibawa dari jauh dan paling baik ketika mendekat. Pembicaraannya logis, perkataannya lugas tidak panjang juga tidak terlalu pelit berbicara, dan perkataannya tertata. Berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi, juga tidak gempal, di antara tiga orang itu dia seperti dahan di antara dua dahan, dia juga paling gagah di antara tiga orang yang bersamanya, dan dia juga yang paling baik kemampuannya, dia memiliki teman-teman yang melindunginya. Jika ia berkata, mereka mendengarkan perkataannya. Jika ia memerintahkan sesuatu, mereka bersegera melaksanakannya, terlayani dan terlindungi, tetapi ia tidak bermuka masam, tidak juga keterlaluan.”
Abu Ma’bad berkata, “Demi Allah, dia adalah orang Quraisy yang diceritakan kepada kita. Aku telah bertekad menemaninya, aku akan melakukannya jika ada jalan. Suara (penindasan) di Makkah makin meninggi, mereka mendengar suara itu, tetapi mereka tidak mengenal siapa pemilik suara itu.”
Allah, Tuhan manusia, membalas dengan sebaik-baik pahala.
Para teman perjalanan yang melewati kemah Ummu ma’bad
Mereka singgah padanya dengan petunjuk Ummu Ma’bad pun ber-Islam
Telah beruntung siapa yang menemani Muhammad
Duhai betapa mulianya sesuatu yang Allah tunjukkan kepada kalian
Perbuatan miulia tidak terbalas dengan hadiah-hadiah (dunia) dan tidak setara dengan kemuliaan apa pun.
Untuk Abu Bakar kebahagiaan akan keuletannya menemaninya
Barang siapa membaut Allah gembira, Dia pun akan bahagia
Bani Ka’ab, pemudi-pemudinya, memiliki kedudukan, dan derajatnya pada kaum mukmin telah tercatat
Tanyalah apda saudari kalian tentang kambing dan wadah itu
Jika kalian dapat bertanya pada kambning itu, ia akan bersaksi
Ia meminta didatangkan kepadanya kambing mandul itu, lalu ia mengeluarkan air susu
Di atasnya terdapat lemak berbuih.
Dia meninggalkan susu itu untuknya sebagai jaminan bagi sang pemerah
Yang akan mengembalikannya pada sumber yang mendatangkannya (HR Hakim).

Sikap az-Zubair r.a. Bersama Nabi dan Abu Bakar r.a.

Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “Urwah bin Zubair mengabariku bahwa Rasulullah saw, bertemu dengan az-Zubair dalam rombongan kafilah dagang kaum Muslimin. Mereka adalah para pedagang yang baru kembali dari negeri Syam. Az-Zubair memakaikan pakaian berwarna putih kepada Rasulullah saw.” (HR Bukhari).

Sunnah Para Nabi

Melalui hijrah ini Rasulullah tenah menunaikan sunnah para nabi sebelumnya. Tak seorang pun dari nabi, melainkan ia tumbuh di negerinya, lalu pergi berhijrah darinya. Dari Ibrahim, bapak para nabi dan kekasih Allah hingga Isa, yang merupakan tanda kebesaran Allah dan Ruh-Nya. mereka semua berada dalam derajat yang agung dan maqam yang tinggi. Mereka dihina oleh kaumnmya, tetapi mereka sabar agar menjadi teladan bagi orang-orang yang mengikuti mereka setelah masa mereka serta agar mereka senantiasa teguh dan sabar atas bencana yang menimpa selama mereka di jalan Allah.

Hijrah yang Tak Lekang hingga Akhir Zaman

Jika kita memahami hikmah yang terkandung dalam peristiwa hijrah ini, kita tahu bahwa Kitabullah (Al-Qur’an) yang kita baca telah membantah mereka yang menghina para sahabat Rasulullah saw. Mereka shalat dan puasa di Makkah, tetapi mereka rela untuk tetap tinggal di bawah sistem yang menindas Islam. Mereka tak memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Mereka juga tidak berhijrah ke negeri yang menjadi benteng bagi Islam agar mereka menjadi tentaranya yang siap untuk mengubah sistem itu. Kita akan tahu bahwa Islam tidak hanya shalat dan puasa, tetapi Islam menginginkan mereka mendirikan sistem itu dan aturan-aturannya di rumah, pasar, perkumpulan, lembaga, dan kantor pemerintahan mereka. Mereka juga harus menyelenggarakan semua sarana untuk mencapai tujuan, mulai dari rumah, yaitu dengan memperhatikan pendidikan anak-anak sebagai amanah yang dititipkan kepada mereka. Mereka harus bekerja sama dengan saudara-saudara mereka yang menginginkan Islam itu tinggi dan berkembang hingga reformasi ini menyeluruh di semua lini yang luas. Di bawah sinarnya, kegelapan hal-hal yang batil pun lenyap. Tatanan inilah yang dipakai dalam hijrah seperti yang dicontohkan oleh Nabi saw., dan para nabi sebelumnya.
Disebutkan dalam kitabnya Muslim, a;-Imarah, dari riwayat Abu Utsman an-nahdy bahwa Majasyi’ bin Mas’ud berkata, “Aku datang bersama saudara Abu Ma’bad kepada Rasulullah saw, setelah penaklukkan Makkah. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, baiatlah dia akan hijrah.” Rasulullah saw berkata, “Hijrah sudah berlalu oleh mereka yang berhijrah.” Majasyi’ berkata, “Lalu pada apa engkau akan membaiatnya?” Rasulullah saw bersabda, “Pada Islam, jihad, dan kebaikan.” Abu Utsman an-nahdy berkata, “Aku bertemu dengan Abu Ma’bad dan aku memberitahunya tentang perkataan Majasyi’, Abu Ma’bad berkata, “Dia benar.” (HR. Muslim).
Dalam beberapa buku sunnah yang sebagian diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Amru bin Ash, dan Maqalah bin Uba’id bin Naqid al-Anshari bahwa Nabi sawe bersabda, “Al-Muhajir adalah yang berhijrah dari keburukan.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).
Berhijrah juga bisa diartikan dengan menjauhi kesalahan dan dosa-dosa. Berhijrah dengan menjauhi sesuatu yang berlawanan dengan tatanan Islam di rumah kita, dalam pekerjaan kita. Berhijrah menjauhi kelemahan pengangguran, ketidakpedulian, bermewah-mewahan, bohong, riya, dan berhijrah dari menempatkan segala sesuatu tidak pada tempatnya.

Nabi saw. Tiba di Madinah

Kaum muslimin di Madinah mendengar kabar kepergian Rasulullah saw dai Makkah. Setiap hari mereka pergi ke padang pasir untuk menunggunya, hingga panasnya siang hari membuat mereka pulang. Setelah lama menanti dan tak kunjung datang, mereka menunggunya di rumah-rumah mereka. Ketika mereka berada di rumah-rumah mereka, seorang yahudi naik ke suatu benteng (puri) dan melihat seuatu. Ia melihat Rasulullah saw dan sahabatnya tampak putih, fatamorgana pun lenyap karena mereka. Yahudi itu tak kuasa lagi untuk berteriak sekencang-kencangnya, “Wahai kaum Arab, itu orang yang kalian tunggu-tunggu.”
Kaum muslimin pun mengambil senjata dan menemui Rasulullah saw, di tengah panasnya gurun. Beliau saw, menuju ke kanan dan singgah ke perkampungan Bani Amru bin Auf. Hal ini terjadi pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal. Abu Bakar berdiri menghadap orang-orang yang datang, sementara itu Rasulullah saw, memberi hormat kepda Abu Bakar. Hingga ketika Rasulullah terkena panas matahari, Abu Bakar menaunginya dengan sorbannya. Pada saat itu, orang-orang baru tahu mana Rasulullah saw.

Nabi saw. Membangun Masjid Quba

Menurut Imam Ibnul Qayyim, “Keriuhan dan takbir terdengar di perkampungan Bani Amru bin Auf. Kaum muslimin bergembira dengan kedatangan beliau saw. Mereka pun keluar untuk menemui dan menyambutnya dengan penghormatan kenabian. Mereka mengelilinginya dan ketenangan menaungi, wahyu pun turun kepada beliau saw.
“...... maka sungguh Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orag mukmin yang baik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya. (QS. at-Tahrim (66) : 4).
Rasulullah berjalan dan singgah di Quba di perkampungan Bani Amru bin Auf, lalu ke rumah Kultsum bin al-Hidam. Dalam riwayat lain, di rumah Sa’ad bin Khaytsamah. Namun, riwayat yang pertama lebih kuat. Rasulullah saw, tinggal di perkampungan Bani Amru bin Auf selama 14 hari. Di sana beliau membangun Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun setelah masa kenabian.

Shalat Jum’at Pertama Rasulullah saw.

Ketika tiba hari Jum’at, beliau masih dalam perjalanan. Lalu, beliau berhenti di perkampungan bani Salim bin Auf. Rasulullah saw, pun shalat Jum’at bersama mereka di sebuah masjid di tengah sebuah lembah.

Rasulullah saw. Masuk ke kota Madinah

Dari Ashim bin Addy r.a. berkata, “Rasulullah datang pada hari Senin malam ke 12 dan bulan Rabi’ul Awwal, beliau menetap di Madinah selama 10 tahun.” (HR. Thabrani).

Penduduk Madinah Gembira dengan Kedatangan Rasulullah saw.

Apakah seseorang di dunia ini bisa menggambarkan atau berkhayal bagaimana gembiranya seseorang yang melihat Nabi saw, pada saat tidur meskipun hanya sekali. Lalu, bagaimana dengan mereka yang melihatnya dalam keadaan sadar?
Dari al-Barra’ bin ‘Azib dari Abu Bakar tentang hadits hijrah, ia berkata, “Kami tiba di Madinah malam hari. Mereka berebut dan semua ingin Rasulullah saw, menginap di rumah mereka. Namun Rasulullah saw, berkata, “Aku menginap di Bani an-Najjar, paman-paman Abdul Muthalib, aku ingin menghormati mereka dengan menginap di sana. Kaum laki-laki dan perempuan naik ke atas rumah mereka, sementara anak-anak kecil dan budak-budak bertebaran di jalan dan memanggil, “Wahai Muhammad, wahai Rasulullah, wahai Muhammad, wahai rasulullah.” (HR Bukhari dan Muslim, Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Nabi saw disambut dengan sebuah lagu “Thala’a al-badru alaina” tidak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkannya).
Ketika Rasulullah tampak di amta mereka, kasih sayang meliputi dada mereka. Bibir-bibir mereka menyenandungkan syair-syair dan nyanyian-nyanyian gembira karena telah melihat kedatangan Nabi saw di hadapan mereka. Rasulullah saw pun membalas dengan cinta yang sama. Hingga beliau melihat putri-putri Bani an-Najjar yang ada di sekitarnya bersenandung dan bernyanyi ketika beliau datang. Beliau saw berkata, “Kalian mencintaiku? Demi Allah, sungguh hatiku juga sangat mencintai kalian.”

Orang-Orang habasyah Gembira karena Rasulullah saw.

Dari Anas r.a. berkata, “Ketika Rasulullahd atang, orang-orang habasyah mainkan perang-perangan gembira karena kedatangan beliau saw.” (HR Abu Dawud).

Madinah Bersinar karena Kedatangan Rasulullah saw.

Dari Anas bin Malik berkata, “Pada hari Rasulullah saw memasuki Madinah, beliau menyinari segala sesuatu yang ada di dalamnya. Sebaliknya, pada hari beliau wafat, madinah gelap, kami tidak mencabut baiat kami padanya, hingga kami mengingkari hati kami (kesedihan yang berlarut).” (HR Turmudzi dan Hakim).
Al-Ghazali berkata, “Kenyataan hidup yang berlawanan dan perbedaan pendapat orang cukup mengherankan. Sungguh, beliau saw ketika berada di Makkah akan dibunuh dan tidak akan berubah pandangannya terhadapnya, kecuali terpaksa. Namun, di Madinah beliau saw disambut dengan penuh keceriaan, orang-orangnya berlomba untuk menawarkan kepadanya perlindungan, harta, dan nyawa.”

Rasulullah Memilih Halaman Ayyub dan Pembangunan Masjid

Dari Anas r.a. bekata, “Rasulullah saw datang ke Madinah dan tinggal di bagian atas madinah, di sebuah daerah yang disebut Bani Amr bin Auf, Rasulullah saw tinggal di sana selama empat belas malam. Kemudian beliau saw mengirim utusannya kepada para pemimpin Bani an-Najjar. Mereka datang dengan membawa pedang.”
Anas berkata, “Saya melihat seolah-olah aku melihat Rasulullah saw di atas untanya dan Abu Bakar di belakangnya serta para pemimpin Bani an-Najjar di sekelilingnya sampai dia berhenti di halaman Abu Ayyub. Kemudian Rasulullah saw shalat ketika tiba saatnya untuk shalat dan beliau saw shalat di tempat kambing dan domba. Selanjutnya, memerintahkan untuk membangun masjid. Dikirmlah seseorang kepada para pemimpin Bani an-Najjar dan mereka datang (kepadanya). Nabi saw berkata kepada mereka, “Wahai Bani an-Najjar, jual tanah ini kepadaku.” Mereka menjawab, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan menuntut harga, hanya pahala dari Allah.”
Anas berkata, “Di tempat itu sebagaimana aku katakan kepada kalian, ada makam orang-orang musyrik, reruntuhan bangunan, dan pohon kurma. Rasulullah saw memerintahkan agar makam-makam itu digali (dan dipindahkan), reruntuhan bangunan diratakan,d an pohon-pohon ditebang. Rasulullah berkata, “Sejajarkan pohon-pohon ke arah kiblat.”
Anas berkata, “Kemudian mereka menjadikan batu-batu itu sebagai kusen pintu. Mereka memindahkan batu-batu itu seraya menyenandungkan sesuatu bersama dengan Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan akhirat, tolonglah kaum Anshar dan Muhajirin.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah tinggal di perkampungan Bani Amru bin Auf sekitar sebelas malam. Lalu, mendirikan masjid yang dibangun di atas ketakwaan. Rasulullah saw shalat di sana, kemudian mengendarai untanya dan orang-orang berjalan bersamanya. Hingga untanya berhenti tepat di masjid Rasulullah saw di Madinah saat ini. Di sanalah Rasulullah saw shalat bersama kaum muslimin. Tempat itu merupakan penyimpanan kurma milik Suhail dan Sahl, dua anak yatim yang diasuh oleh As’ad bin Zararah. Ketika untanya berhenti di tempat itu, Rasulullah saw berkata, “Insya Allah tempat ini akan menjadi rumahku.” Kemudian Rasulullah saw memanggil kedua yatim itu dan menawar harga tempat itu untuk dijadikan masjid. Kedunya berkata, “Tidak, bahkan kami ingin menghadiahkan tempat itu kepadamu, wahai Rasulullah.” Namun, Rasulullah saw enggan menerimanya, kecuali mereka menjualnya. Dijuallah tempat itu dan beliau saw membangun masjid di sana.
Imam ibnul Qayyim berkata, “nabi sam menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblatnya dan membuat tiga pintu pada masjid itu, yaitu pintu di bagian belakang, pintu yang dinamakan bab ar-rahmah, dan pintu tempat Rasulullah saw masuk darinya. Dindingnya terbuat dari abtang kurma, sedangkan atapnya dari pelepah. Dikatakan kepada beliau, “Tak perlu diberi atap.” Beliau bersabda, “Tidak, (aku ingin) singgasana seperti singgasana Musa.” Lalu, beliau membangun rumah-rumah untuk istri-istrinya dari batu bata di sebelahnya, atapnya dari pelepah kurma dan batangnya. Ketika selesai, beliau membangun rumah untuk Aisyah di timur masjid. Dan disitulah beliau dimakamkan. Dan beliau juga membangun rumah untuk Saudah binti Zam’ah.”

Kerja Sama Membangun Masjid

Rasulullah saw gembira memindahkan batu bata-batu bata bersama mereka ketika membangun masjid. Sambil mengangkat batu-batu bata itu, beliau berkata, “Pemanggul ini bukan pemanggul Khaibar. Ini adalam rangka berbakti kepada Tuhan kami dan menyucikan. Wahai Allah, pahala yang sebenarnya adalah pahala akhirat. Kasihilah kaum Anshar dan Muhajirin.
Beliau mehyenandungkan syair seorang laki-laki dari kaum muslimin yagn tak disebutkan namanya. Ibnu Syihab berkata, “Dalam beberapa hadits tidak disebutkan bahwa Rasulullah saw menyenandungkan syair utuh, hanya beberapa bait tersebut saja.” (HR Bukhari).
Dari Safinah – pelayan Rasulullah saw --- berkata, “Ketika Rasulullah saw membangun masjid, Abu Bakar r.a. datang membawa batu dan meletakkannya, kemudian datang Umar membawa batu juga dan meletakkannya, lalu datang Utsman demikian juga. Lalu, Rasulullah saw bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudahku.” (HR Hakim).
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. berkata, “Masing-masing kami membawa bata satu per persatu,s edangkan Ammar membawa dua bata dua bata sekaligus. Saat Nabi saw melihatnya, beliau berkata sambil meniup debu yang ada padanya, “Kasihan Ammar, dia akan dibunuh oleh golongan durjana. Dia mengajak mereka ke surga, sedangkan mereka mengajaknya ke neraka.” Ammar lantas berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari firnah tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).

Karakteristik Masjid Rasulullah

Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Masjid itu selama hidup Rasulullah saw debangun dengan batu bata, atapnya dengan cabang-cabang pohon kurma, dan pilar dengan kayu kurma. Abu Bakar tidak menambahkan sesuatu untuk itu. Namun, Umar memperluasnya dan membangunnya seperti masa Rasulullah saw, yaitu dengan batu bata dan cabang pohon kurma, sedangkan pilarnya dari kayu. Adapun Utsman, ia memperluasnya menjadi sangat luas. Ia membangun dindingnya dengan dihias batu berukir dan kapur. Lalu, dibangun pilar dengan dihiasi batu berukir dan atapnya dari kayu jati.” (HR Bukhari).

Nabi saw. Dijamu oleh Abu Ayyub al-Anshari

Kaum Anshar bukanlah golongan orang yang kaya raya, tetapi setiap orang dari mereka memimpikan agar rasulullah menginap di rumahnya. Tidaklah Rasulullah saw melewati rumah mereka, melainkan mereka mengambil tali kekang untanya (agar untanya mau memasuki rumahnya), bahkan mereka juga memberinya  raga, harta, senjata, dan perlindungan. Rasulullah saw berkata, kepada mereka, “Biarkan unta itu berjalan karena dia sudah diperintahkan.” Unta itu terus berjalan hingga mencapai tempat masjid nabawi (saat ini) dan dia berhenti. Beliau saw, tidak turun dari unta itu karena unta itu bangkit lagi dan berjalan sedikit. Lalu, unta itu menoleh dan kembali ke tempat pertama dan berhenti. Rasulullah saw pun turun darinya dan itu terjadi di rumah-rumah Bani an-Najjar, yang merupakan paman-paman Rasulullah saw. Atas taufik Allah kepada keluarga Bani an-Najjar.
Rasulullah saw lebih menyukai untuk menginap di rumah paman-pamannya, sebagai bentuk penghormatan atas mereka. Orang-orang membicarakan perihal menginapnya Rasulullah saw di tempat mereka. Abu Ayyub al-Anshari bersegera mengambil tali kekang unta Rasulullah dan membawanya masuk ke rumahnya. Melihat itu, Rasulullah saw berkata, “Seseorang bersama tunggangannya.” Lalu, As’ad bin Zararah mengambil tali kekang untanya dan unta itu bersamanya.
Dalam riwayat Anas yang ada pada Bukhari, Nabi saw bersabda, “Rumah mana yang secara kekerabatan lebih dekat denganku?” Abu Ayyub berkata, “Aku, wahai Rasulullah. Ini rumahku dan ini pintuku.” Rasulullah saw bersabda, “Pergilah dan siapkanlah sambutan untuk kami.” Ia berkata, “Kaum yang diberkati Allah.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Ia menyeru kaum Quraisy beberapa belas musim
Mengingatkan masa bertemu san kekasih jika telah mati
Memaparkan dakwahnya pada musim haji
Meskipun ia tak tahu siapa yang akan mendukung, siapa yang menyeru
Ketika ia datang kepada kami, dakwah bersemi
Ia gembira dan ridha dengan tanah ini
Ia menjadi tidak takut aniaya si zalim nun jauh di sana
Tidak pula khawatir dengan kejahatan seseorang
Kami mendukungnya dengan harta-harta kami yang halal
Begitu juga jiwa kami, baik suka maupun duka
Kami hadapi semua yang memusuhinya
Meskipun dia adalah orang yang kami kasihi
Kami tahu Allah, tiada Tuhan selain Dia
Dan Kitabullah menjadi petunjuk bagi kami

Beginilah Sopan Santun terhadap Rasulullah saw.

Abu Ayyub al-Anshari berbicara tentang kegembiraannya yang meluap-luap yang meliputi seluruh jiwa dan raganya karena Rasulullah saw menginap di rumahnya, “Ketika Rasulullah saw singgah di rumahku dan ia berada di lantai bawah, sedangkan aku dan Ummu Ayyub di lantai atas. Aku berkata kepada beliau saw, “Wahai Nabi Allah, demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya, aku tidak suka dan merasa merasa terhormat, aku berada di atasmu dan engkau di bawahku. Maka keluarlah dan pindahlah ke atas, kami turun ke bawah.” Rasulullah saw berkata, “Wahai Abu Ayyub, di abwah rumah aku merasa nyaman dan dilindungi.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah saw ketika tiba di Madinah, beliau menginap di rumah Abu Ayyub. Rasulullah saw berada di lantai bawah, sedangkan Abu Ayyub di lantai atas. Suatu malam Abu Ayyub bangun dan berkata, “Kita berjalan di atas kepala Rasulullah saw.” Lalu, Abu Ayyub dan keluarganya pergi ke samping serta menghabiskan malam di sudut. Kemudian pagi harinya ia mengatakan kepada Rasulullah saw, tentang hal itu. Rasulullah saw berkata, “Lantai bawah lebih nyaman untukku.” Abu Ayyub berkata, “Kami tidak mungkin di atas atap tempat Anda tinggal!” Akhirnya Abu Ayyub al-Anshari pindah ke lantai bawah, sedangkan Rasulullah saw pindah ke lantai atas.” (HR Muslim).
Dari Abu Ruhm bahwa Abu Ayyub berkata kepadanya, “Rasulullah saw menginap di rumah kami di lantai bawah. Ketika aku di kamar (atas), air mengalir ke kamar itu, kemudian aku dan Ummu  Ayuub berdiri mengikuti aliran air itu dengan selimut (untuk mengelapnya). Lalu, aku turundan berkata, “Wahai Rasulullah, tidak seharusnya kami berada di atasmu, pindahlah ke kamar atas itu.” Lalu, beliau memerintahkan untuk memindahkan barang-barangnya dan barangnya sedikit. Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw, ada makanan yang dikirim untukmu, aku memeriksanya, jika aku lihat ada bekas jari-jarimu, aku letakkan tanganmku di sana.” (HR Ahmad). Abu Ayyub mencari keberkahan al-Habib saw.

Keluarga Tercinta Berkumpul

Rasulullah saw tinggal di rumah Abu Ayyub sampai rumah dan masjidnya siap di huni. Ketika rasulullah saw masih berada di rumah Abu Ayyub al-Anshari, beliau mengutus Zaid bin Harits dan Abu Rafi’ ke Makkah. Beliau saw membekali keduanya dengan dua unta dan 500 dirham. Mereka pund atang bersama Fatimah dan Ummu Kultsum, dua putrinya. Saudah binti Zam’ah, istrinya, serta Usamah bin Zaid dan ibu asuhnya, Ummu Aiman. Sedangkan, Zainab binti Rasulullah saw, tidak diizinkan oleh suaminya, Abu al-Ash bin Rabi’, untuk pergi. Adapaun Abdullah bin Abu Bakar berangkat bersama keluarga Abu Bakar, di antara mereka ada Aisyah. Dan mereka singgah di rumah Harits bin an-Nu’man.

Kisah Islamnya Abdullah bin Salam

Abdullah bin Salam berkata, “Ketika Nabi saw datang di Madinah, roang-orang bergegas untuk bertemu dengannya, dan aku salah satu di antara mereka. Ketika aku melihatnya, aku tahu bahwa wajahnya bukanlah wajah pendusta. Hal pertama yang saya dengar darinya ketika ia berkata, “Wahai manusia, sebarkan salam, berilah makan orang lain, sambungkanlah ikatan kekerabatan, dan shalatlah pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur, dan Anda akan masuk surga dengan damai.” (HR Ahmad, Turmudzi, dan Hakim).
Dari Anas bahwa Abdullah bin Salam datang kepada Rasulullah saw ketika beliau tiba di Madinah. Kemudian Abdullah berkata, “Aku ingin bertanya kepadamu tentang tiga hal, yang hanya diketahui oleh seorang nabi, yaitu apa tanda eprtama hari kiamat, apa yang pertama kali dimakan oleh penduduk surga, dan dari mana seorang anak menyerupai ayahnya atau ibunya.”
Rasulullah saw berkata, “Jibril baru saja memberitahuku.”
Abdullah berkata, “Dia adalah malaikat musuh Yahudi.”
Rasulullah saw bersabda, “Tanda pertama hari kiamat adalah api yang keluar dari arah timur, yang menggirj gmanusia ke barat. Sedangkan makanan pertama penduduk surga adalah hati hiu. Lalu, mengenai kemiripan, jika air mani laki-laki yang mendahului, anaknya akan mirip dengan bapaknya, jika air perempuan yang mendahului, anaknya akan mirip ibunya.”
Abdullah bin Salam berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Abdullah juga berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi adalah pendusta dan jika mereka tahu bahwa saya telah memeluk Islam, mereka akan menuduh saya menjadi pembohong. Utuslah seseorang kepada mereka, tanyakan mereka tentang aku.”
Nabi pun mengutus seseorang untuk memanggil mereka. (Ketika mereka datang) Rasulullah berkata, “Orang macam apa Abdullah bin Salam di antara kalian?”
Mereka menjawab, “Dia adalah pendeta kami dan anak pendeta kami, orang yang terpelajar di antara kami dan anak orang terpelajar.”
Nabi saw berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika Abdullah bin Salam memeluk Islam, apakah kalian akan memeluk Islam juga>”
Mereka menjawab, “Semoga Allah melindunginya dari hal itu.”
Kemudian Abdullah keluar dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”
Orang-orang Yahudi pun berkata, “Abdullah adalah yang terburuk dari kami anak yang terburuk dari kami, yang bodoh di antara kami dan anak dari yang bodoh di antara kami.”
Lalu, Abdullah mengatakan, “Wahai Rasulullah, bukankah saya sudah memeberitahumu mereka adalah kaum pendusta?” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Salam berkata, “Ketika aku mendengar kedatangan Rasululah saw, aku tahu sifatnya, namanya, dan masanya yang telah kami lihat, tetapi aku merahasiakannya dan diam. Hingga ketika Rasulullah saw tiba di Madinah dan singgah di Quba, diperkampungan Bani Amru bin Auf. Seseorang datang dan memberitahukan kedatangannya. Ketika itu aku sedang berada di atas pohon kurma milikku. Aku sedang bekerja di sana dan bibiku. Khalidah binti al-Harits, sedang duduk di bawah pohon. Ketika aku mendengar kabar kedatangan Rasulullah saw, aku mengumandangkan takbir. Ia mendengar takbirku dan ebrkata, “Allah menyia-nyiakanmu, demi Allah jika engkau mendengar Musa bin Imran datang, engkau tidak akan begitu.” Lalu, kukatakan kepadanya, “Wahai Bibi, demi Allah, dia adalah saudara Musa bin Imran,d engan agama yang sama, diutus dengan sesuatu yang sama. Bibiku berkata, “Wahai keponakanku, apakah dia adalah nabi yang dikabarkan kepada kita dan diutus di akhir zaman?” Abdullah berkata, “Ya.” Bibiku berkata, “Jadi, memang dia.” Kemudian aku pergi ke tampat Rasulullah saw dan aku memeluk Islam. Lalu aku pulang ke keluargaku, dan aku memerintahkan mereka untuk memeluk Islam juga dan mereka melakukannya.”

Shuhaib Mendapat Untung

Penindasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum musyrikin atas kaum muslimin dan sahabat Nabi saw terjadi di Makkah, begitu jgua hinaan dan cercaan menjadi ujian mereka. Ketika Rasulullah saw mengizinkan mereka untuk hijrah, ujian mereka adalah meninggalkan tanah air, harta, rumah,d an barang-barang mereka. Kaum muslimin setia pada agama mereka dan ikhlas kepada Tuhan mereka, baik itu pada ujian pertama maupun kedua.
Mereka menghadapi ujian-ujian itu dengan kesabaran yang tak berubah dan menahannya dengan kuat. Ketika Rasulullah saw mengisyaratkan untuk hijrah ke Madinah, mereka menujun ke sana dan meninggalkan tanah air serta harta benda di sana. Hal itu dikarenakan mereka pergi secara sembunyi-sembunyi dan tidak bersama-sama sehingga hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali jika mereka tidak membawa barang-barang yang berat. Mereka meninggalkan itu semua di Makkah untuk menyelamatkan agama mereka. Mereka mendapatkan gantinya dengan adanya saudara-saudara yang menanti mereka di Madinah, yang akan memberi mereka ruangan dan membeeela mereka.
Ketika Suhaib pergi berhijrah, orang-orang Makkah mengikutinya, lalu dia mengeluarkan tempat anak panahnya dan mengeluarkan 40 anak panah, sambil berseru, “Jangan mendekat kepadaku atau aku panahkan anak panah ini pada tiap orang dari kalian. Lalu, aku akan hunuskan pedangku, kalian semua tahu aku laki-laki pemberani. Dan telah kutinggalkan dua budak penyanyi di Makkah untuk kalian.”
Ketika itu turun firman Allah SWT kepada Nabi saw, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah ......” (QS. al-Baqarah (2) : 207).
Ketika Nabi saw melihatnya, beliau bersabda, “Abu Yahya telah beruntung dalam jual belinya (dengan Allah).” Kemudian beliau membaca ayat tersebut (HR Hakim).
Dari Abu Utsman mengatakan bahwa ketika Shuhaib pergi hijrah, penduduk Makkah berkata keapdanya, “Engkau pergi kepada bedebah itu, keadaanmu akan berubah.” Shuhaib berkata, “Apakah jika aku meninggalkan hartaku untuk kalian, kalian membiarkanku aku pergi?” Mereka berkata, “Y.” Shuhaib pun melepas hartanya untuk mereka. Nabi saw mendengar berita itu dan beliau berkata, “Shuhaib telah mendapat untung, Shuhaib telah mendapat untung.”

Kaum Muhajirin Terkena Demam Madinah

Dari Aisyah r.a. berkata, “Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, Abu Bakar dan Bilal terkena Demam.” Aisyah berkata, “Maka aku masuk ke ruangan mereka dan kukatakan, “Wahai ayah, bagaimana keadaanmu?” Wahai Bilal, bagaimana keadaamu?” Aisyah berkata, “Abu Bakar jika terkena demam beliau berkata, Setiap orang yang terbangun di pagi hari bersama keluarganya, padahal maut lebih dekat dari pasangan sandalnya.”
Adapun bilal ketika demamnya makin meninggi, ia akan meninggikan suaranya yang merdu, dan berkata, “
Andai orang tahu aku akan bermalam suatu hari di sebuah lembah
Dan di sekitarku ada rerumputan wangi dan seseorang yang agung
Apakah aku benar-benar menginginkan air Majinnah (pasar di Makkah)
Apakah mereka akan menampakkan kepdaku Syammah dan Thufail (dua gunung di Makkah).
Aisyah berkata, “Lalu, aku mendatangi Rasulullah saw dan memberi tahu beliau. Lalu, beliau berkata, “Duha Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu, sehatkanlah (makmurkan) Madinah buat kami. Duhai Allah, berikanlah barakah kepada kami dalam timbangan sha’ dan mud kami dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah.”
Dalam riwayat Bukhari diaktakan bahwa Bilal berkta setelah menyenandungkan syairnya, “Wahai Allah, laknatlah Syaibah bin Rabi’ah, Uqbah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf yang telah mengusir kami dari negeri kami ke negeri yang  penuh dengan wabah bencana ini.”
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Wahai Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami emncintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berikanlah berkah kepada kami dalam timbangan sha’ dan mud kami, sehatkanlah (makmurkan) Madinah buat kami dan pindahkan wabah demamnya ke Juhfah.”
Aisyah r.a. berkata, “Ketika kami tiba di Madinah, saat itu Madinah adalah bumi Allah yang paling banyak wabah bencananya.” Sambungnya lagi, “Lembah Bathhan mengalirkan air keruh yang mengandung kuman-kuman penyakit.” (HR. Bukhari).

Aisyah, Ibunda Kaum Mukminin, Sakit

Dari al-Bara’ dari Abu Bakar r.a., al-Barra’ berkata, “Aku masuk bersama Abu Bakar menemui keluarganya, ternyata di sana Aisyah r.a. putrinya, yang sedang berbaring sakit terkena demam. Aku melihat bapaknya mencium pipinya, lalu berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai ananda?” (HR Bukhari).

Wahai Allah, Jadikanlah Madinah Menyenangkan Bagi Kami

Ketika Nabi saw melihat sahabat-sahabatnya terkenandemam, beliau berdoa kepada Rabb-nya agar membuat kota Madinah menyenangkan untuk mereka dan memindahkan demam itu ke tempat lain.
Dari Aisyah r.a. berkata, “Ketika kami datang ke Madinah, wabah sedang menjalar di sana, Abu Bakar jatuh sakit dan Bilal juga jatuh sakit, ketika Rasulullah saw melihat penyakit dari sahabatnya, ia berkata, “Duhai Allah, jadikanlah madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu, sehatkanlah (makmurkan) Madinah buat kami. Duhai Allah, berikanlah berkah kepada kami dalam timbangan sha’ dan mud kami (sha’ dan mud adalah nama satuan timbangan pada masa itu) dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Allah mengabulkan doa Nabi saw dan memindahkan wabah itu ke Juhfah.
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw berkata, “Aku bermimpi melihat wanita hitam, rambutnya acak-acakan keluar dari Madinah hingga berdiri di Hay’ah, yaitu Juhfah, maka aku takwilkan bahwa wabah penyakit Madinah telah berpindah ke sana.” (HR Bukhari dan Turmudzi).

Keutamaan Madinah al-Munawwarah

Dari Anas r.a. dari Nabi saw bersabda, “Wahai Allah, jadikanlah keberkahan di Madinah dua kali lipat dari keberkahan yang Kauberikan pada Makkah.” (HR Bukhari).
Menurut al-Hafizh, “Maksdunya adalah kebekahan dunia,s ebagaimana ditunjukkan hadits lain, “Wahai Allah, berkahilah dalam timbangan sha’ dan mud kami.” Mungkin  juga beliau menginginkan hal yang lebih umum dari itu, namun, dikecualikan dari hal itu pelipatgandaan shalat di Makkah atas Madinah.”
An-Nawawi berkata, “Tampaknya berkah itu diperoleh dari timbangan itu, dengan cukup disebutnya mud di sana, dan tidak cukup hanya  di situ. Hal ini dapat dirasakan oleh mereka yang tinggal di Madinah.”
Nabi saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang memperdaya (membuat tipu daya) bagi penduduk Madinah, kecuali dia akan binasa, sebagaimana binasanya garam yang larut dalam air.” (HR Bukhari).
Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaannya dan keutamaan yang tinggal di sana banyak.
Al-Jaza’iry berkata, “hal yang membuat hati kaum mukminin makin mencintai Madinah dan keinginan kuat mereka untuk tinggal di sana hingga ajal menjemput adalah sabda Nabi saw, “Barangsiapa yang ingin meninggal di Madinah, hendaklah ia mati di sana karena aku akan menjadi saksi baginya dan memberinya safaat di hari kiamat nanti.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah).
Umar r.a. memahami hal itu, kemudian berdoa, “Wahai Allah, aku memohon kepada-Mu untuk menjadi syahid di jalan-Mu dan mati di negeri Rasul-Mu.”

Bagaimana Nabi saw. Membangun Negara Untuk Islam

Umat Islam bukanlahekumpulan manusia yang mau hidup dengan cara apa pun, atau menggariskan jalan hidupnya ka arah mana pun, selama masih ada kekuatan dan kenyamana, ia akan hidup senang dan tenteram.
Bukanlah seperti itu karena kaum muslimin memiliki akidah yang menghubungkan mereka dengan Allah, yang menjelaskan pandangan mereka tentang hidup, yang mengatur segala urusan internal mereka, dan mendorong mereka untuk berhubungan dengan dunia luar untuk tujuan-tujuan tertentu.
Berbeda seseorang yang berkata keapdamu, “Aku hanya ingin hidup di dunia ini.” Dengan seseorang yang berkata, “Jika aku tidak bisa menjaga kemuliaan, menjaga hak-hak, dan membuat Allah ridha, dan aku marah karena-Nya, kakuku tak akan melankgah untukku, tidak juga mataku akan berkedip.”
Orang-orang yang berhijrah ke Madinah pergi dari negerinya bukan dalam rangka mencari kekayaan atau kejayaan.
Kaum Anshar yang menyambut mereka dan menganggap kaum mereka adalah musuh, dan berniat untuk membunuh mereka, baik itu yang jauh maupun yang dekat, mereka tidak melakukan itu untuk hidup semau mereka. Mereka semua menginginkan untuk tercerahkan dengan wahyu, mendapat ridha Allah, merealisasikan hikmah tertinggi dari penciptaan manusia, dan bagaimana hidup ini tegak.
Ketika Rasulullah saw sudah hidup stabil di Madinah, beliau berpikir keras untuk meletakkan dasar-dasar yang seharusnya ada untuk mengukuhkan risalahnya. Hal itunterlihat dalam hal-hala berikut ini :
1. Hubungan umat dengan Allah.
2. Hubungan umat satu sama lain.
3. Hubungan umat dengan mereka yang jauh, yang tidak beragama Islam.
Hal yang pertama,  Rasulullah saw mewujudkannya dengan bersegera membangun masjid untuk menampakkan syiar-syiar Islam yang telah lama diperangi, mendirikan shalat yang mengikat seseorang dengan Tuhan semesta alam, serta membersihkan hati dari debu-debu bumi dan tuntutan-tuntutan dunia.
Hal yang kedua,  Rasulullah saw telah menegakkannya dengan persaudaraan yang sempurna. Persaudaraan yang menghapus kata ‘saya’ dan setiap individu di sana bergerak dengan roh jamaah serta demi kebaikan.jamaah dan cita-citanya. Dia tidak melihat dirinya tidak menjadi sebuah entitas tanpa daya, tidak pula akan berkembang kecuali di dalamnya.
Arti persaudaraan ini adalah mencairnya fanatisme jahiliah, tidak ada pembelaan kecuali untuk Islam, dan runtuhnya perbedaan keturunan, kulit, dan negara. Oleh karena itu, seseorang danggap terbelakang atau maju dilihat dari kepribadian dan ketakwaannya.
Rasulullah saw telah menjadikan persaudaraan ini akad yang terlaksana, bukan kata-kata kosong dan amal yang berhubungan dengan darah dan harta. Bukan penghormatan yang diulang-ulang oleh lisan dan tak terpengaruh sama sekali.
Perasaan mendahulukan orang lain atas dirinya, saling menolong, saling mengasihi bercampur dalam persaudaraan, dan komunitas baru ini dipenuhi dengan perumpamaan-perumpamaan yang indah.
Hal yang ketiga,  yakni hubungan uamt dengan  mereka yang jauh, yang tidak beragama Islam. Rasulullah saw telah menyunnahkan aturan-aturan toleransi dan memaafkan yang selama ini belum pernah dikenal di alam yang penuh fanatisme. Mereka yang mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat berdampingan dengan agama lain dan orang muslim tidak dapat hidup tenang kecuali dengan komunitas yang sama dan mendominasi adalah orang yang salah, bahkan tuduhannya terlalu berani.
Ketika Nabi saw datang ke Madinah, ia mendapati orang-orang Yahudi dan Kaum musyrikin hidup bersama. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam pikiran beliau untuk membuat keputusan politik yang menjauhkan atau melakukan penyitaan, berseteru, bahkan sebelum --- dari lubuk hatinya yang bersih ---- adanya Judaisme dan paganism. Beliau membuka dua kelompok perjanjian teman dengan teman dalam kesetaraan bahwa bagi mereka agama mereka dan agamanya adalah agamanya.
Kaum muslimin dan Yahudi bersepakat untuk membela Yatsrib jika musuh menyerangnya. Mereka juga menetapkan kebebasan bagi siapa saja yang ingin keluar dari Madinah, bagi yang mau meninggalkannya, atau menetap di sana bagi yang mau menjaga kehormatannya.
Ibnul Qayyimberkata, “Rasulullah memperlakukan orang-orang Yahudi di Madinah dengan baik. Beliau menulis perjanjian antara dia dan mereka, yaitu pendeta dan yang paling tahu di antara mereka. Abdullah bin Salam pun masuk Islam meskipun sebagian besar mereka tidak. Mereka terdiri atas tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqa’, Bani an-Nadhir, dan Bani Quraizhah. Ketiganya memerangi beliau, lalu beliau membinasakan bani Qainuqa’, beliau usir bani an-Nadhir, serta beleiau bunuh bani Quraizhah dan beliau menawan keturunan mereka. Sirat al-Hasyr turun karena Bani an-Nadhir, sedangkan Surat al-Ahzab karena bani Quraizhah.

Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar

Allah SWT memuji kaum Anshar dengan firman-Nya, “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Hasyr (59) : 9).
Nabi saw telah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Hal ini untuk menguatkan kekuatan internal dan menambah ikatannya. Begitu juga agar kaum Anshar membantu saudaranya, kaum Muhajirin, yang meninggalkan rumah dan harta benda mereka untuk memenangkan agama Allah dan memuliakan syariatnya.
Meskipun kaum Anshar telah mengeluarkan segenap kekuatannya dan memuliakan Muhajirin, kebutuhan untuk mewujudkan sebuah sistem yang melingkupi kehidupan ekonomi kaum Muhajirin yang lebih baik tetap diperlukan. Khususnya ketika kondisi Muhajirin memerlukan solusi aturan yang menjauhkan diri mereka dari perasaan bahwa mereka hanya menjadi beban bagi kaum Anshar.
Meskipun demikian, riwayat disyariatkan Mu’akhah (menjadikan satu dan lain saudara) itu terdapat sedikit perbedaan. Sebagian besar mengatakan bahwa mu’akhah ini terjadi pada tahun pertama hijrah. Perbedaanya hanya pada apakah ia terjadi setelah pembangunan masjid atau di sela-sela itu. Pengumuman aturan ini terjadi di rumah Anas bin Malik, sebagaimana yang dijelaskan riwayat-riwayat yang ada. Mu’akhah terjadi antara dua pihak Muhajirin dan Anshar. Rasulullah saw mempersaudarakan setiap Muhajirin dan Anshar dua orang-dua orang. Peristiwa ini mempersaudarakan 90 orang; 45 dari Muhajirin dan 45 orang Anshar.
Persyariatan aturan ini melahirkan hak-hak khusus antara dua orang yagn dipersaudarakan, seperti saling menolong antara keduanya. Saling menolong di sini tidak terbatas pada hal-hal tertentu, tetapi mutlak dalam hal apa pun dalam menanggung beban kehidupan, baik itu materi maupun perlindungan, nasihat, saling mengunjungi, dan mencintai. Mu’akhah juga menerbitkan hak saling mewarisi antar mereka yang dipersaudarakan, bukan kerabat mereka.
Hal ini makin menaikkan hubungan mereka yang dipersaudarakan hingga pada tingkatan yang lebih dalam dan tinggi daripada persaudaraan sedarah meskipun kemudian sistem pewarisan seperti ini dihapus dengan firman Allah, “...... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Anfal (8) : 75).
Hal itu setelah kondisi Muhajirin berubah dengan perolehan harta rampasan dan mereka dapat menghidupi diri mereka di tanah baru tersebut. ini bentuk mulia dari cinta Anshar kepada saudara mereka, kaum Muhajirin.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Kaum Anshar berkata kepada Nabi saw, “Bagilah pohon-pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami.” Nabi berkata, “Tidakkah pertolongan dan bersama-sama menikmati buahnya, cukup bagi kami?” Mereka berkata, “Kami mendengar dan kami taat.” (HR Bukhari).
Dari Anas r.a. berkata, “Kaum Muhajirin berkata, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah melihat kaum yang kami datangi, yang berupaya sangat baik ketika mendapatkan banyak (rezeki). Baik pula ketika mendapatkan sedikit, kami tercukupi dengan pertolongan mereka, dan mereka bersama kita dalam kesenangan. Kami khawatir mereka mengambil semua pahala.” Rasulullah lalu berkata, “Tidak, kalian memuji mereka dan kalian berdoa kepada Allah SWT untuk mereka,” (HR Ahmad).
Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakekny bahwa Nabi saw menulis perjanjian antara Muhajirin dan Anshar untuk membayarkan diyat (denda) mereka dan membayar tebusan jika ada di antara mereka yang tertawan atas nama kebaikan serta saling memperbaiki hubungan antara kaum muslimin. I(HR Ahmad).

Sa’ad bin ar-Rabi’ dan Abdurrahman bin Auf

Inilah Sa’ad bin ar-Rabi’ yang senantiasa berinteraksi dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan setiap hadits-hadits Nabi saw. Ia merealisasikan persaudaraan sebagaimana yang dikehendaki Sang Mahabenar.
Anas r.a. berkata, “Abdurrahman bin Auf datang kepada kami (ke Madinah) dan Nabi saw mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin ar-Rabi’, yang memiliki banyak harta.” Sa’ad berkata, “Kaum Anshar tahu akulah yang paling kaya di antara mereka, aku akan membagi harta, setengahnya untukmu. Dan aku juga memiliki dua orang istri, lihatlah siapa di antara keduanya yang engkau sukai, aku akan ceraikan dia, hin gga ketika iddahnya selesai, kau bisa menikahinya.” Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahimu dan keluargamu.” Dia tidak kembali ke rumah Sa’ad lagi setelah itu. Ia hanya mengambil minyak samin dan keju serta tinggal di sana hanya sebentar. Sampai pada suatu hari ia datang kepada Rasulullah saw dengan baju yang penuh aroma wewangian. Lalu, Nabi saw bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah menikah?” Dia menjawab, “Ya.” Aku sudah menikah dengan seorang wanita Anshar.” Beliau bertanya lagi, “Dengan mahar apa engkau melakukan akad nikah?” Dia menajwab, “Dengan perhiasan sebiji emas atau sebiji emas.” Lalu, Nabi saw berkata kepadanya, “Adakanlah walimah walau dengan seekor kambing.” (HR Bukhari dan Thabrani).
Jika seseorang takjub dengan kedermawanan Sa’ad, hal itu sebanding dengan ketakjuban pada kemuliaan Abdurrahman yagn mau bersusah payah bersaing dengan orang-orang Yahudi di pasar mereka dan di lapangan mereka. Dalam beberapa hari kemudian ia memperoleh banyak untung yagn dengannya ia dapat menjaga dirinya dan kemaluannya. Itu semua disebabkan tingginya motivasi dari iman mereka.

Para Sahabat Nabi dan Akidah Mereka yang Mengakar

Para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar menghadapi cobaan yang berat pada akidah mereka ketika Allah memberi tahu mereka antara komitmen dengan kepentingan-kepentingan dunia dan hubungan keluarga dari satu sisi serta komitmen dengan akidah.
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiaannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. at-taubah (9) : 24).
Para sahabat Nabi saw lulus dalam ujian berat ini. Mereka dapat menempatkan cinta Allah dan Rasul-Nya serta ikatan akidah atas segala sesuatu selain itu. Masyarakat baru Madinah adalah masyarakat yang berbasis akidah, yang terikat dengan Islam, dan tidak mengenal loyalitas melainkan hanya kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin. Di samping itu, mereka adalah masyarakat terbuka bagi siapa saja yang ingin berafiliasi ke dalamnya, beriman dengan akidahnya. Setelah ia melepaskan akidah dan sifat-sifat jahiliah dari dirinya, tanpa melihat sukunya, warna kulitnya, dan afiliasinya yang terdahulu.

Bayi Pertama di Negeri Hijrah

Dari hadits Asma r.a. menyatakan bahwa dia hamil dari buah pernikahannya dengan Abdullah bin az-Zubair. Asma’ berkata, “Saya aberangkat hijrah ke Madinah dalam keadaan hamil tua. Aku tiba di Madinah, singgah di Quba, dan melahirkan anak di sana. Kemudian aku datang ke tempat Rasulullah saw dan menempatkannya (anak) di pangkuannya. Beliau meminta kurma dan mengunyahnya. Kemudian menemaptkan air liur di mulutnya. Jadi hal pertama yang masuk ke perutnya adalah air liur Rasulullah saw. Kemudian beliau suapkan kurma (yang telah dikunyah), lalu beliau berdoa dan memohon berkah untuknya. Dia adalah anak pertama yang lahir dalam Islam (setelah hijrah).” (HR Bukhari dan Muslim).

Berita Adzan

Ibnu Hisyam menukil riwayat dari Ibnu Ishaq yang menyatakan bahwa ketika Rasulullah hidup tenang di Madinah, di sisinya ada saudara-saudaranya kaum Muhajirin dan Anshar. Hal-hal yang berhubungan dengan Islam terlaksana dengan baik. Shalat didirikan, zakat dan puasa ditunaikan, begitu juga hudud, halal, dan haram. Mereka telah menempatkan Islam di punggung-punggung mereka. Di daerah milik Anshar, yang mereka tempati dan menetapkan iman. Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, kaum muslimin berkumpul untuk melaksanakan shalat pada waktu-waktu yang telah ditetapkan, tanpa adanya panggilan. (HR. Tumudzi dan Muslim).
Dari Abdullah bin Zaid berkata, “Ketika Rasulullah saw memerintahkan untuk membunyikan lonceng agar mengumpulkan orang pada waktu shalat, aku bermimpi ada seorang laki-laki membawa lonceng. Maka kukatakan kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah kau menjual lonceng?” Dia berkata, “Apa yang akan kaulakukan dnegan lonceng itu?” Aku berkata, “Dengannya kami akan memanggil orang-orang untuk shalat.” Dia berkata, “Maukah kamu aku tunjuki sesuatu yang lebih baik dari itu?” Aku menjawab, “Tentu.” Dia berkata, “Katakan” :
Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar (2X)
Asyhadu an laa ilaaha illallaah (2x)
Asyhadu anna Muhammmadar Rasuulullah (2x)
Hayya ‘alas-shalaah (2x)
Hayya ‘alal falaah (2x)
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar (1x)
Laa ilaaha illallaah (1x)
Kemudian ia berhenti sejenak dan berkata, “Jika kau berdiri akan menunaikan shalat, katakan :
Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar
Asyhadu an laa ilaaha illallaah
Asyhadu anna Muhammmadar Rasuulullah
Hayya ‘alas-shalaah
Hayya ‘alal falaah
Qad qaamatish-shalaah, qad qaamatish-shalaah
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Laa ilaaha illallaah
Ketika aku bangun di pagi hari, aku didatangi Raulullahm saw dan aku beritahu tentang mempiku keapda beliau. Beliau berkata, “Itu mimpi kebenaran, Insya Allah, berdirilah bersama Bilal. Katakan keapdanya apa yang kamu lihat dalam mimpimu dan hendaklah dia yang melakukan adzan karena suaranya lebih bagus darimu.”
Ahmad, dalam rwayatnya menambahkan, “Aku berdiri bersama Bilal dan aku memberitahunya kalimat-kalimat itu, lalu ia pun mengumandangkan adzan.” Abdullah berkata, “Umar mendengar Adzan itu dari rumahnya, ia pun pergi seraya menarik selendanngya, dan berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku juga bermimpi hal yang sama dengannya.” Rasulullah saw berkata, “Maka milik Allah-lah segala puji.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Turmudzi).

Peristiwa Pengalihan Kiblat

Dari Anas berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw shalat ke arah Baitula Maqdis, maka turunlah ayat, “Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram ....” (QS. al-Baqarah (2) 144).
Kemudian lewatlah seseorang dari bani Salamah. Saat itu mereka sedang ruku’ shalat Subuh dan mereka telah menunaikan rakaat pertama. Laki-laki itu berkata, “Bukankah kiblat sudah dialihkan.” Kemudian mereka pun mengarah ke kiblat saat ini.” (HR Muslim).
Dari al-Barra’ bin Azib bahwa Nabi saw saat pertama kali datang di Madinah, singgah di tempat kakek-kakeknya atau paman-pamannya dari kaum Anshar. Saat itu beliau saw sudah shalat menghadap Baitul Maqdis selama enambelas bulan atau tujuhbelas bulan. Lalu, beliau sangat senang kalai shalat menghadap Baitullah (Ka’bah). Shalat yang dilakukan beliau pertama kali (menghadap Ka’bah) itu adalah shaalt Ashar dan orang-orang juga ikut shalat bersama beliau. Pada suatu hari sahabat yang ikut shalat bersama Nabi saw pergi melewati orang-orang di masjid lain saat mereka sedang ruku’ kemudian dia berkata, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku ikut shalat bersama Rasulullah saw menghadap Makkah.” Kemudian orang-orang yang sedang (ruku’) tersebut berputar menghadap Baitullah. Orang-orang Yahudi dan Ahlul Kitab menjadi heran sebab sebelumnya Nabi saw shalat mengahadap Baitul Maqdis. Ketika melihat Nabi saw menghadapkan wajahnya ke baitullah mereka mengingkari hal itu.
Zuhair berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ishaq dan al-Barra’. Dalam haditsnya ini menerangkan tentang (hukum) seseorang yang meninggal dunia pada saat arah kiblat belum dialihkan dan juga banyak orang yang terbunuh pada masa itu. Kami tidak tahu apa yang harus kami sikapi tentang mereka hingga akhirnya Allah SWT menurunkan firman-Nya, “.... Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu .....” (QS al-Baqarah (2) 143) (HR Bukhari dan Muslim).

Hikmah Pengalihan Kiblat

Dalam menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblat dan pengalihannya ke Ka’bah, Allah menitipkan banyak hikmah besar dan ujian bagi kaum muslim, musyrik, Yahudi, dan munafik. Adapun kaum muslim, mereka berkata, “Kami mendengar dan kami taat.” Dan mereka berkata, “Kami beriman keapdanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” (QS Ali ‘Imran (3) : 7). Mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk. Itu bukanlah hal yang berat bagi mereka. Adapun orang-orang musyrikin berkata, “Seperti halnya ia kembali pada kiblat kita hampir=hampir ia akan kembali pada agama kita. Tidaklah ia kembali pada kejahilan, melainkan hal itu adalah kebenaran.” Sementara, orang-orang yahudi berkata, “Muhammad telah berbeda kiblat dengan nabi-nabi sebelumnya. Jika ia benar-benar seorang Nabi, seharusnya ia shalat ke kiblatnya para nabi. Sedangkan, kaum mujnafik berkata, “Muhammad tidak tahu ke mana ia harus menghadap. Jika yang pertama benar, berarti ia telah meninggalkannya. Jika yang kedua benar, berarti dahulu ia berada dalam kebatilan.”
Banyak lagi perkataan orang-orang bodoh lainnya, seperti yang tertera dalam firman Allah, “..... Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. .....” (QS. al-Baqarah (2) L 143).ini merupakan ujian yang Allah kirimkan kepada hamba-hamba-Nya untuk melihat siapa yang benar-benar megnikuti Rasul-Nya dan siapa yang membelot.
Dalam pengalihan kiblat itu ada isyarat halus akan adanya peran baru yang tidak akan berakhir, kecuali dengan dikuasainya kiblat tersebut oleh kaum muslim. Tentunya mengherankan jika kiblat suatu kaum berada di tangan musuh mereka. Jika memang berada di tengah musuh, harus ada upaya pembebasannya suatu hari.

Perintah Puasa dan Zakat

Pada bulan Sya’ban tahun  ke-2 Hijriah, Allah mewajibkan puasa bulan Ramadhan kepada umat Islam. Sebelum itu, Rasulullah saw berpuasa tiga hari pada setiap bulan. Puasa adalah salah satu tiang agama dan kewajiban yang menyempurnakan tatanan ini. Manusia biasanya terbawa pada cinta diri sendiri dan berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang memberinya manfaat serta tidak memikirkan kebutuhan kaum lemah dan miskin. Jadi, harus ada seseorang yang berbagi untuk memenuhi kebutuhan kaum yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Tidak ada sesuatu yang lebih dapat merasakan lemahnya mereka daripada orang yang sedang merasakan lapar dan haus. Dengan keduanya, jika menjadi lembut dan beradab sehingga dengan mudah ia akan bersedekah. Oleh karena itu, Dzat Yang Mahabijaksana memerintahkannya dan mewajibkan zakat fitri setelah puasa. Saat itu, tampaklah orang-orang mengeluarkan zakatnya dengan jiwa yang lapang dan penuh cinta kasih.

Quraisy Menghubungi Kepala Kaum Munafik untuk Bekerjasama Menyakiti Nabi saw.

Kita telah membahas penindasan dan siksaan yang dilakukan kaum kafir Makkah terhadap kaum muslimin dan apa yang mereka lakukan sewaktu kaum muslimin Hijrah. Oleh karena itu, mereka pantas untuk disita (hartanya) dan diperangi. Hanya saja, mereka belum sadar dengan keberingasan mereka dan menghindar dari memusuhi kaum muslimin. Namun, ketika kaum muslimin pergi dan mendapat tempat yang aman dan menetap di Madinah, mereka makin murka. Mereka menulis surat kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, yang pada saat itu merupakan orang musyrikin yang menjadi kepala Anshar sebelum hijrah. Wajar saja jika banyak orang berkumpul di sekitarnya dan hampir-hampir mereka menjadikannya raja atas diri mereka seandainya Rasulullah saw tidak hijrah ke sana dan mereka beriman kepadanya. Dalam surat yang dikirim kaum kafir Makkah berkata, “Kalian melindungi sahabat kami (Muhammad), sungguh kami bersumpah demi Allah, kalian akan membunuhnya, atau kalian mengusirnya, atau kami akan menuju ke sana dengan segenap jumlah kami. Kami akan bunuh kalian semua dan kami halalkan istri-istri kalian.”
Ketika surat itu sampai di tangannya, Abdullah bangkit untuk melaksanakan perintah saudara-saudaranya – kaum musyrikin penduduk Makkah – saat itu ia sedang dengki kepada Nabi saw, yang merampas kepemimpinannya. Abdurrahman bin Ka’ab berkata, “Ketika surat itu sampai kepada Abdullah bin Ubay dan teman-temannya sesama penyembah berhala, mereka berkumpul untuk membunuh Rasulullah saw. Ketika kabar itu sampai kepada Rasulullah saw, beliau menemuinya dan berkata, “Ancaman Quraisy sduah sampai kepada kalian. Mereka memperdaya kalian lebih dari kalian memperdaya diri sendiri, kalian ingin membunuh anak-anak dan saudara-saudara kalian?!” Ketika mereka mendengar itu dari Nabi saw, mereka terpecah.”(HR Abdurrazaq, Abu Dawud, dan Baihaqi).
Ketika itu Abdullah bin Ubay bin Salul mengurungkan niat untuk perang karena dia melihat kelemahan para pendukungnya. Namun, tampaknya  ia sudah sepaham dengan Quraisy. Begitu ada kesempatan, ia selalu memanfaatkannya untuk mengadu antara kaum muslimin dan musyrikin (Madinah). Kaum yahudi pun bergabung bersamanya, membantunya melaksanakan niatnya. Namun, bijaksananya Nabi saw memadamkan api kejahatan mereka dari waktu ke waktu.
Dari Usamah bin Zaid mengatakan bahwa Nabi saw mengendarai keledai milik beliau, di atasnya ada pelana bersulam beledu Fadaki. Sementara itu, Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin Ubadah di Bani al-Harits al-Khazraj. Peristiwa itu terjadi sebelum Perang Badar. Lalu, berjalan hingga melewati suatu majelis, yang di situ telah bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik penyembah patung,d an orang-orang yahudi. Dalam majelis tersebut terdapat Abdullah bin Ubay dan Abdullah bin Rawahah. Saat majelis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, Abdullah bin Ubai menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata, “Jangan mengepuli kami dengan debu.”
Kemudian Nabi saw mengucapkan salam kepada mereka, lelu berhenti dan turun. Nabi saw mengajak mereka pada agama Allah, sambil membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Abdullah bin Ubay berkata kepada beliau saw, “Wahai Saudara! Sesungguhnya apa yang kamu katakan tidak ada kebaikannya sedikit pun. Jika apa yang kau katakan itu benar, janganlah kamu mengganggu kami di majelis ini. Silahkan kembali ke kendaraanmu, lalu siapa saja dari kami mendatangimu, silahkan kau sampaikan kepadanya.”
Abdullah bin Rawanah berkata, “Wahai Rasulullah, bergabunglah dengan kami di majelis ini karena kami menyukai hal itu.” Kemudian kaum muslimin, orang-orang musyrikin, dan orang-orang yahudi pun saling mencaci, hingga mereka hendak saling menyerang. Nabi saw terus menenangkan mereka hingga mereka semua diam.
Kemudian beliau naik kendaraan, hingga tiba di kediaman Sa’ad bin Ubadah, lalu beliau bersabda, “Hai Sa’ad, apa kau tidak mendengar ucapan Abu Hubab?” Maksud beliau tentang ucapan Abdullah bin Ubay. Belikau bersabda, “Dia telah mengatakan ini dan ini.” Sa’ad berkata, “Maafkan dia, wahai Rasulullah, san berlapangdadalah kepadanya. Demi Allah, Allah telah memberi Anda apa yang telah diberikan kepada Anda. (Dahulu)  penduduk telaga ini (penduduk Madinah) bersepakat untuk memilihnya dan mengangkatnya, tetapi karena kebenaran yang diberikan kepada Anda itu muncul sehingga menghalanginya (Abdullah bin Ubay) menjabat sebagai pemimpin. Maka seperti itulah perbuatannya sebagaimana yang Anda lihat.” Akhirnya, beliau pun memaafkannya.” (HR Bukhari).

Sa’ad bin Mu’adz r.a. dan Upaya Melarangnya untuk Thawaf

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sa’ad bin Mu’adz berangkat untuk melaksanakan umrah. Lalu, dia singgah di tempat Umayyah bin Khalaf Abu Shafwan. Biasanya Umayyah bin Khalaf  ketika bepergian ke negeri Syam, dia melewati madinah dan singgah menemui Sa’ad di Madinah. Umayyah berkata kepada Sa’ad, “Tunggulah hingga pertengahan (siang) hari dan saat orang-orang sduah lengah makaengkau dapat melakukan thawaf.” Tatkala Sa’ad sedang melaksanakan Thawaf, tiba-tiba muncul Abu Jahal seraya bertanya, “Siapa ini yang sedang Thawaf di Ka’bah?” Spontan Sa’ad menjawab sendiri, “Aku, Sa’ad.” Abu Jahal berkata, “Kamu dapat Thawaf di Ka’bah dengan aman, sementara kalian telah memberi perlindungan kepada Muhammad dan sahabt-sahabatnya?” Sa’ad berkata, “Ya, benar.” Lalu, keduanya beradu mulut hingga Umayyah berkata kepada Sa’ad, “Jangan kamu tinggikan suaramu di hadapan Abu al-Hakam karena dia adalah pemimpin penduduk lembah ini.” Kemudian Sa’ad berkata, “Demi Allah seandainya kamu menghalangiku untuk thawaf di Baitullah, sungguh aku akan memutus jalur perdaganganmu ke negeri Syam.” (HR Bukhari).

Allah Menjagamu dari (Gangguan) Manusia

Kaum Quraisy mengutus seseorang kepada kaum muslimin. Ia berkata, “janganlah kalian terperdaya (merasa aman) ketika kalian telah pergi ke Yatsrib, kami akan mendatangi kalian dan kami akan terus mengikuti kalian, kami hancurkan perkebunan kalian di dalam rumah-rumah kalian.”
Ini bukan sekedar ancaman belaka, Rasulullah saw telah memastikan adanya tipu daya Quraisy dan keinginan jahatnya. Dikarenakan hal ini Rasulullah selalu terjaga malam harinya atau dalam penjagaan para sahabat. Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Shahih-nya, dari Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw terjaga di suatu malam, setelah kedatangannya di Madinah. Beliau berkata, “Adakah orang yang shalih dari apra sahabatku yang berjaga untukku malam ini?” Ketika itu kami mendengar suara tiupan senjata, Nabi saw berkata, “Siapa itu?” Seseorang berkata, “Sa’ad bin Abi Waqqash.” Rasulullah berkata kepadanya, “Apa yang membawamu kemari?” Kemudian ia berkata, “Aku mengkhawatirkan keadaan rasulullah, jadi aku datang untuk menjaganya.” Rasulullah saw mendoakannya, kemudian beliau tidur.” (HR Bukhari, Muslim, dan Turmudzi).
Penjagaan atas Rasulullah saw ini tidak terjadi beberapa malam saja, tetapi terus-menerus. Diriwayatkan dari Aisyah r.a. berkata, “suatu malam Nabi saw sedang dijaga, sampai turunlah ayat, “ .... Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia .....” (QS. al-Maidah (5) : 667). Lalu, Rasulullah saw menjulurkan kepalanya keluar dari ruangan dan ebrkata, “Wahai manusia (sahabt-sahabatnya), pulanglah karena Allah akan melindungi saya.” (HR Turmudzi dan hakim).
Meskipun demikian, bahaya tiak hanya mengintai Rasulullah saw, melainkan seluruh kaum muslimin. Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw dan para sahabatnya datang ke Madinah, kaum Anshar melindungi mereka. Kaum Arab (kafir) pernah mengancam mereka sekali, sejak itu mereka tidur dengan senjata dan bangun di pagi hari juga dengannya.

Izin untuk Berperang

Az-Zuhry berkata, “Ayat pertama yang turun mengenai peperangan, sebagaimana Urwah menceritakan kepadaku dan Aisyah r.a. adalah, “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi ....” (QS. al-Hajj (22) : 39)  (HR Nasa’i).
Imam Ibnur Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah saw menetap di Madinah, Allah menguatkan beliau dengan menurunkan pertolongan untuknya dan hamba-hamba-Nya kaum mukminin penolong (agama Allah). Allah menyatukan hati-hati mereka setelah permusuhan dan dengki yang terjadi antara mereka (dahulu). Kemudian pembela-pembela Allah dan tentara-tentara Islam melindungi beliau saw dari golongan hitam ataupun merah. Mereka mengeluarkan segenap daya mereka untuknya. Mereka mendahulukan cinta kepada beliau saw daripada cinta kepada ayah, anak, dan istri mereka. Rasulullah lebih utama bagi mereka daripada diri mereka sendiri. Bangsa Arab (Quraisy) melempar panah kepada mereka sekali dan memperdaya mereka dengan permusuhan dan peperangan serta meneriaki mereka dari segala sisi. Namun, Allah memerintahkan mereka untuk bersabar, memaafkan, dan berlapang dada. Hingga ketika taring (kaum muslim) itu makin tajam, sayap itu makin menguat, mereka diizinkan untuk berperang dan tidak diwajibkan.
Beberapa kelompok mengatakan bahwa izin itu turun di Makkah dan surat ini (QS. al-Hajj (22) : 39) dinamakan Surat Makkiyah. Pendapat ini salah dilihat dari beberapa sisi berikut :
Pertama : Allah belum mengizinkan mereka untuk berperang di Makkah, lagi pula kaum muslimin belum mempunyai kekuatan yang memungkinkan mereka untuk berperang di Makkah.
Kedua : Susunan ayat menunjukkan bahwa izin untuk berperang itu turun setelah hijrah dan setelah mereka terusir dari negeri mereka. Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah ....” (QS al-Hajj (22) : 40). Mereka itu adalah kaum Muhajirin.
Ketiga :  Firman Allah, “Inilah dua golongan (golongan mukminn dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka....” (QS al-Hajj (22) : 19). Turun bagi mereka yang sedang bertemu untuk berperang di Badar dari dua kelompok (Muslim dan kafir).
Keempat : Allah menyebut mereka di akhir ayat, dengan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman ....” (QS al-Hajj (22) : 77). Penyebutan ini adalah untuk Madaniyyah, sedangkan “Wahai Manusia” untuk semua kalangan.
Kelima : Allah memerintahkan jihad dalam bentuk umum yang mencakup jihad dengan tangan dan yang lainnya. Tak diragukan lagi bahwa perintah jihad yang mutlak terjadi setelah hijrah. Adapun jihad dalam bentuk debat diperintahkan di Makkah. Hal itu tersirat dalam firman-Nya, “Maka janganlah engkau taati roang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” (QS al-Furqan (25) : 52). Ini termasuk Surat Makkiyah. Jihad di situ adalah menyampaikan risalah dan jihad debat. Adapun jihad yang diperintahkan dalam Surat al-hajj sudah termasuk jidah dengan pedang.
Keenam : Hakim meriwayatkan dalam Mustadrak-nya, dari hadits al-A’masy dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas berkata,  “Ketika Rasulullah pergi dari Makkah, Abu Bakkr berkata, “Mereka mengusir Nabi mereka. Sungguh kita milik Allah dan sungguh kita akan kembali kepada-Nya, mereka pasti akan dibinasakan.” Lalu, Allah menurunkan firman-Nya, “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi ....” (QS al-Hajj (22) : 39). Ayat ini adalah yang pertama turun tentang perang. Sanad hadits ini berdasarkan syarat dua kitab shahih (shahihain), sedangkan susunan ayat pada sura tini menunjukkan ada yang makkiyah dan Madaniyah.
Kemudian perang diwajibkan setelah itu kepada mereka yang memerangi kaum muslimin, bukan kepada mereka yang tidak memerangi kaum muslimin. Allah berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu ....” (QS al-Baqarah (2) : 190). Kemudian diwajibkan atas mereka untuk memerangi kaum musyrikin secara keseluruhan. Pada tahap awal, perang tidak diperbolehkan, kemudian diizinkan, lalu diperintahkan kepada mereka yang memulai peperangan terlebih dahulu. Selanjutnya, diperintahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrik, baik itu fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Yang terakhir ini lebih masyhur di kalangan ulama.

Ghazwah dan Sariyyah, sebelum Badar

Dalam seni berperang, menyerang adalah sarana terkuat dalam membela diri. Kaum Quraisy berambisi untuk menguasai medan peperangan dengan Rasulullah saw. Kemudian beliau ingin inisiatif itu berawal darinya. Oleh karena itu, pada tahun pertama Hijrah merupakan tahun penyerangan terhadap kafilah-kafilah Quraisy, kecuali satu yang merupakan reaksi atas serangan yang dilakukan oleh Karaz bin Jabir al-Fuhry, Sariyyah ini terus dilakukan dari Ramadhan tahun pertama sampai Ramadhan tahun kedua Hijriah. Semua Panglima Sariyyah ini dari kalangan Muhajirin. Hal ini membuat arti khusus pada peperangan ini.
Pertama : Dasar perjanjian bersama Anshar adalah melindungi Rasulullah saw, dan para sahabatnya di Madinah, sedangkan sariyyah-sariyyah itu dilakukan di luar Madinah.
Kedua : Harus ada upaya untuk melatih pemuda pembela dakwah untuk berperang, setelah mereka diminta untuk menahan tangan mereka sekiat 13 tahun pada periode Makkah.
Ketiga : kaum Quraisy harus tahu bahwa orang-orang yang hijrah itu lari dari penindasan mereka di Makkah, bukanlah orang-orang lemah tak berdaya, tetapi mereka adalah kekuatan yang mampu menggetarkannya. Mereka harus berpikir seribu kali sebelum berpikir untuk menghadapi kaum muslimin.
Keempat : kaum Quraisy harus merasakan akibat dari perbuatan mereka. Sikap mereka yang beringas terhadap dakwah dan mereka harus menelan pahitnya akibat sikap mereka itu. Selanjutnya, kaum Quraisy tahu bahwa kepentingan-kepentingannya dan perdagangannya menjadi embusan angin belaka, setelah kaum muslimin menguasai urat nadi kehidupan mereka, yaitu kafilah-kafilah yang menuju Syam. Di mana mereka terbiasa ke sana pada musim panas, melewati Madinah, begitu juga kemah-kemah persinggahannya.

Ghazwah Wuddan, al-Abwa’

Ghazwah Wuddan merupakan Ghazwah pertama Rasulullah. Beliau pergi dari Madinah untuk berperang pada bulan Afar, tepat satu tahun setelah kedatangan beliau ke Madinah (tahun 2 H). Ketika tiba di Wuddan (sebuah desa yang berada di wilayah al-Far’, sekitar 24 mil dari Madinah), beliau sedang mengincar Quraisy dan bani Dhamrah bin Bakar bin Abdu Munah bin Kinanah. Namun, Makhsya bin Amru adh-Dhamry dari Bani Dhamrah telah ebrdamai dengan beliau, dengan syarat mereka tidak lagi memeranginya dan tidak membantu seseorang memeranginya. Akhirnya, Nabi saw kembali ke Madinah tanpa terjadi peperangan. Beliau berada di Madinah di sisa-sisa bulan Safar dan di awal bulan Rabi’ul Awal. (HR Bukhari).

Saryiyah Ubaidah bin al-Harits

Panji pertama yang diresmikan Nabi saw adalah panji Sariyyah Ubaidah bin al-Harits yang beliau utus bersama 60 orang dari kaum Muhajirin. Itu terjadi setelah kembalinya beliau dari Wuddan. Mereka berjalan hingga mencapai sumebr air di Hijaz, di bawah Tsaniyyah al-Murrah. Di sana mereka bertemu dengan banyak sekali orang-orang Quraisy yang dimpimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal. Tidak terjadi peperangan di antara mereka, tetapi mereka saling melempar anak panah. Sa’ad bin Abi Waqqash merupakan orang yang pertama kali melesatkan anak panah dalam sejarah peperangan Islam, pada Sariyyah ini. Mereka pun bubar dan kaum muslimin terlindungi. Dari kaum musyrikin ada yang melarikan diri dan bergabung bersama kaum muslimin yaitu Miqdad bin Amru al-Bahrany, sekutu Bani Zuhrah, dan Utbah bin Ghazawan bin Jabir al-Maziny, sekutu Bani Naufal bin Abdu Manaf. Mereka berdua adalah muslim, tetapi mereka berdua membuat kepergian mereka bersama kaum kafir hanya sebagai wasilah untuk dapat berkumpul dengan kaum muslimin.

Sarriyyah Hamzah ke Saif al-bahr

Rasulullah saw juga mengutus 30 orang yang dipimpin oleh pamannya – Hamzah bin Abdul Muthalib --- ke Saif al-Bahr untuk menghadang kafilah Quraisy yang datang dari Syam. Dalam kafilah itu ada Abu Jahal dengan 300 orang. Namun, tidak terjadi bentrokan antara keduanya karena Majdy bin Amru al-Juhny, sekutu keduanya yang menengahi dua kelompok ini.

Ghazwah Buwath

Rasulullah saw memimpin peperangan yang diikuti oleh 200 orang sahabat. Kali ini mereka ingin menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Umayyah bin Khalaf. Ia membawa 100 orang kaum Quraisy. Dalam kafilah ini ada 2.500 ekor unta yang membawa berbagai macam barang. Nabi saw bersama bala tentaranya sampai di Buwath, daerah di pegunungan Juhainah dari arah Radhwa. Ketika beliau tidak menemukan kafilah itu, beliau pulang dan tidak ada pertempuran. Pada saat itu beliau menunjuk as-Sa’ib bin Utsman bin Mazh’un sebagai wakil beliau di Madinah.

Ghazwah al-Asyirah

Rasulullah saw pergi untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Bersama beliau 150 orang dari sahabatnya. Ketika tiba di al-Asyirah di sebelah mata air, kafilah itu sudah lewat. Dalam Ghazwah ini beliau berhasil membuat perdamaian dengan Bani Mudlij dan sekutu-sekutunya dari Bani Dhamrah. Lalu, beliau kembali ke Madinah dan tidak terjadi peperangan. (HR Bukhari).

Sariyyah Sa’ad bin Abi Waqqash ke al-Kharrar

Nabi mendengar kabar bahwa kafilah Quraosy dalam perjalanannya menuju Makkah dan mengambil jalur al-Kharrar. Kemudian Sa’ad bin Abi Waqqash menawarkan dirinya untuk memimpin tentara yang akan menghadang kafilah itu. Sa’ad berkata, “Aku pergi bersama 20 atau 21 orang. Kami berjalan kaki, kami beristirahat di siang hari, lalu melanjutkan perjalanan di malamhari. Pada hari ke lima mendapati bahwa kafilah itu telah lewat kemarin. Padahal Rasulullah saw berpesan kepadaku agar aku tidak pergi melebihi al-Karrar. Jika tidak, aku sangat berharap dapar bertemu mereka.”

Ghazwah Badar Pertama (Kecil)

Karaz bin Jabir al-Fuhry menyerang sampai ke Madinah setelah Ghazwah al-Asyirah. Dia merampas beberapa unta dan binatang ternak lainnya. Kemudian Rasulullah pergi mengusirnya bersama para sahabat. Ketika mereka sampai di Lembah Safwan dari arah Badar, Karaz dapat melarikan diri dari kejaran pasukan Rasulullah. Dari situlah ditegaskan tentang pentingnya kaum muslimin mengukuhkan hubungan bersama kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Madinah. Pada peristiwa ini Rasulullah menempatkan Zaid bin Harits sebagai penggantinya di Madinah.

Sariyyah Abdullah bin jahsy

Rasulullah saw mengutus Abdullah bin Jahsy bin Ri’ab al-Asady pada bulan Rajab,s ebagai kelanjutan Perang Badar I. Beliau mengutus 8 orang dari kaum Muhajirin untuk bersama beliau, tak seorang pun dari kalangan Anshar. Bersama itu pula, beliau saw menitipkan sebuah surat, yang tak boleh dibuka kecualis etelah dua hari. Hendaknyania melakukan apa yang diperintahkannya dan tidak memaksa seoarng pun dari sahabatnya.
Ketika Abdullah bin Jahsy berjalan selama dua hari, dia membuka surat itu dan membacanya. Ternyata di sana tertulis, “Jika kamu membaca sura tini, teruslah berjalan hingga kau sampai ke Nakhlah antara Makkah dan Thaif. Di sana tangkaplah seorang Quraisy dan memberi tahu kita kabar mereka.” Setelah membacanya, Abudllah bin Jahsy berkata, “Aku mendengar dan aku taat.” Kemudian ia berkata,  kepada para sahabatnya, “Rasulullah saw telah memerintahkan aku untuk terus berjalan hingga mencapai nakhlah. Aku akanmenangkap salah seorang Quraisy di sana agar bisa mengorek keterangan tentang mereka. Beliau saw, juga melarangku untuk memaksa kalian. Jadi barangsiapa yang menginginkan kesyahidan dan benar-benar merindukannya, dia boleh ikut pergi. Namun barangsiapa yang enggan, hendaknya ia pulang. Aku sendiri akan melanjutkan apa yang diperintahkan Rasulullah saw.” Ia pun melanjutkan perjalanan dan tak satu pun dari para sahabatnya yang enggan, semua pergi.
Mereka berjalan melewati Hijaz, hingga ketika sampai di Ma’din – di atas al-Fur’ yang dinamakan Bahran – Sa’ad dan Uthbah bin Ghazawan membuat unta mereka tersesat. Mereka berdua mengikuti Abdullah, tetapi mereka berdua kembali untuk mencarinya. Kemudian Abdullah bin Jahsy meneruskan perjalanannya dengan sahabt-sahabatnya yang lain hingga mereka tiba di Nakhlah. Di sana lewat kafilah Quraisy membawsa kismis dan kulit, pedagang Quraisy lainnya, dan di sana ada Amru bin al-Hadramy.
Ketika mereka meliahtnya, mereka takut untuk singgah di dekat mereka. Ukasyah bin Mahshan menyembut baik mereka dan dia telah mencukur rambutnya. Ketika Absullah dan teman-temannya melihat mereka melihatnya, mereka merasa aman. Mereka berkata, “Kalian hendak menunaikan umrah, tidak mengapa.” Lalu, mereka berbicara tentang maksud mereka. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab. Mereka berkata, “Demi Allah, jika kalian membairkan kafilah ini memasuki wilayah Haram malam ini, mereka terlindungi dari kalian. Namun, jika kalian membunuh mereka, kalian telah membunuh pada bulan Haram. Abdullah dan kawan-kawan ragu sehingga takut memulai serangan. Namun, kemudian mereka memberanikan diri untuk itu. Mereka pun sepakat untuk membunuh siapa saja yang dapat mereka tangani. Mereka merampas barang kafilah. Semetara itu, Waqid bin Abdullah at-Taimy melepaskan anak panahnya dan mengenai Amru bin al-Hadramy. Ia pun mati. Adapun Utsman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kaysan tertawan. Naufal bin Abdullah melarikan diri dan tidak dapat terkejar. Lalu, Abdulallah bin Jahsy dan para sahabatnya pulang dengan membawa barang-barang kafilah dan dua tawanan, lalu mereka pun menemui Rasulullahn saw. Di Madinah.
Sebagian keluarg Abdullah bin Jahsy menyebutkan bahwa Abdullah berkata kepada para sahabatnya, “bagain untuk Rasulullah saw dari harta rampasan kita seperlima.” Hal itu sebelum Allah mewajibkan sepertlima dari harta rampasan. Namun Rasulullah saw enggan dan membaginya kepada semua sahabatnya.
Ketika mereka datang menemui Rsulullah saw di Madinah, beliau berkata “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang di bulan Haram. Beliau menahan barang itu dan kedua tawanan mereka. Beliau juga tak sedikit pun ingin mengabil bagian. Ketika Rasulullah saw mengatakan itu, mereka menyesal. Mereka merasa akan mati dan saudara-saudara mereka sesama muslim aan menghukum atas perbuatan mereka. Sementara itu, kafir Quraisy berkata, “Muhammad dan sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram dan mereka telah menumpahkan darah, merampas harta, dan menawan orang orang-orang kita.” Seseorang dari mereka berkata, “Siapakah yang dapat membalas mereka dengan melakukan hal yang sama kepada kaum muslimin yang ada di Makkah.” Mereka ingin menimpakan hal yang sama di bulan Sya’ban.
Ketika telah banyak orang membicarakan hal itu, Allah menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang0 dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidil; haram,d an mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah .....” (QS al-Baqarah (2) : 217).
Maksudnya, jika kalian membunuh pada bulan Haram, sementara mereka menghalangimu dari jalan Allah, mereka kufur tehadap-Nya, menghalangi kalian masuk Masjidil Haram,d an mengeluarkan kalian dari tanah suci. Padahal, kalian yang lebih berhak. Bagi Allah itu lebih besar (dosanya) daripada, pada pembunuhan yang telah kalian lakukan. “..... Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan....” (QS al-Baqarah (2) 217). Maksudnya, mereka memfitnah agama kaum muslimin agar dapat mengembalikan mereka dari iman ke kufur. Hal itu lebih besar (dosanya) di sisi Allah.
... Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad 9keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup ..... (QS al-Baqarah (2) 217).
Maksudnya, mereka tetap akan melakukan hal-hal yang lebih buruk dan lebih besar lagi, tanpa tobat dan melepaskan diri dari perbuatan buruk itu.
Ketika Al-Qur’an turun berbicara tentang hal ini, Allah memberi kegembiraan kepada kaum setelah kegelisahan mereka. Rasulullah saw memegang kendali atas barang kafilah dan kedua tawanannya. Sementara itu, Quraisy mengirim tebusan untuk kedua tawanan itu, Utsman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kaysan. Kemujdian Rasulullah saw berkata, “Kami tidak akan menerima tebusan itu sampai datang dua sahabat kami – Sa’ad bin Abi Waqqah dan Utbah bin Ghazawan – kami khawatir atas keselamatan mereka. Jika kalian membunuh mereka, kami akan bunuh dua sahabat kalian ini.” Sa’ad dan Utbah pund atang. Akhirnya, Rasulullah saw menerima tebusan mereka.
Al-Hakam bin Kaysan memeluk Islam dan menjadi seorang muslim yang baik. Ia tinggal bersama Rasulullah saw dan mati syahid pada peristiwa Bi’r ma’unah, sedangkan Utsman bin Abdullah mati dalam keadaan kafir.
Setelah jelas perkara mereka, Abdullah dan para sahabatnya sangat tamak akan pahala. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah boleh kami menginginkan perang agar diberi pahala sebagai orang-orang yang berjuang (jihad(?”
Kemudian Allah menurunkan tentang mereka dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman,d an orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah (2) : 218). Akhirnya, Allah menempatkan mereka pada harapan seagung-agungnya akan hal itu.

Sepanjang, 19/11/2018, Malam Maulid Nabi Muhammad saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar