Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Jumat, 09 November 2018

Sirah Nabawiyah Hijrah ke Habasyah (Etiopia) Hingga Baiat Aqabah


 SIRAH  RASULULLAH

Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : HIJRAH  KE  HABASYAH (ETIOPIA)
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Penindasan mulai terjadi pada pertengahan atau akhir tahun keempat kenabian. Awalnya hanya penindasan ringan. Namun, hari demi hari, bulan demi bulan, makin kuat dan mencapai puncaknya pada pertengahan tahun ke lima kenabian. Hidup di Makkah menjadi sulit dan mendorong mereka untuk memikirkan cara yang dapat menyelamatkan mereka dari penindasan-penindasan yang ada. Di masa-masa sulit ini, turun Surat al-Kahfi sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin kepada Nabi saw. Namun, di dalamnya terdapat 3 kisah, yang mengandung isyarat-isyarat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
1. Dalam kisah Ashhabul Kahfi ada isyarat untuk hijrah dari lingkaran kekufuran dan permusuhan. Jika khawatir timbul fitnah atas agama,  mereka berserah diri kepada Allah.
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan ayang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat perlindungan ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagaian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu. (QS. al-Kahfi (18) : 16).
2. Khisah Khidir dan Musa menerangkan bahwa beberapa situasi tidak selalu berjalan dan tidak mengakibatkan sesuatu yang biasanya tampak. namun, bisa jadi berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya tampak. dalam kisah ini terdapat isyarat halus bahwa perang yang dilakukan terhadap kaum muslimin akan sepenuhnya terbalik. Kaum musyrikin penindas itu --- jika tidak ebriman --- akan memohon di hadapan orang-orang lemah tak berdaya dari kaum muslimin.
3. Kisah Zulkarnain mengajarkan bahwa bumi ini miliki Allah yang akan diwariskan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya. begitu juga, kesuksesan itu ada pada jalan iman, bukan kufur. Dikisahkan juga bahwa Allah masih mengutus dari hamba-Nya – dari masa ke masa – yang dapat menyelamatkan orang-orang lemah dari Ya’juj dan Ma’juj di masanya. Sesungguhnya yang paling berhak untuk mewarisi bumi hanyalah hamba-hamba Allah yang salih.

Kemudian turun Surat az-Zumar yang mengisyaratkan hijrah dan menyatakan bahwa bumi Allah tidak sempit.” ..... Bagi orang-orang yang beriat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. az-Zumar (39) : 10).

Hijrah  Pertama ke Habasyah

Ketika Rasulullah melihat siksaan yang menimpa para sahabatnya, beliau tidak mengalaminya karena derajatnya di sisi Allah dan pamannya, Abu Thalib. Beliau sendiri tidak mampu melindungi mereka dari siksaan tersebut dengan ebrkata, “Jika kalian pergi ke Habasyah, di sana terdapat seorang raja yang tak pernah menzalimi seseorang, negeri yang tulus, hingga Allah melapangkan kondisi kalian di saat ini.”
Saat itulah kaum muslimin dari sahabat Rasulullah pergi ke negeri Habasyah, takut akan fitnah yang menimpa, dan ebrlari menuju Allah dengan agama mereka. Itulah hijrah pertama dalam Islam.
Rombongan yang pergi ke Habasyah berangkat secara bergantian dalam keheningan agar tidak membangunkan kaum Quraisy dan menggagalkan misi mereka. Hijrah ini juga tidak dalam skala luas. Rombongan pertama ini hanya terdiri atas beberapa keluarga, di antaranya Ruqayyah, putri Rasulullah, dan suaminya. Utsman bin Affan, serta beberapa orang dari Muhajirin yang jumlahnya tidak lebih dari 16 orang. Mereka mencapai garis pantai dan takdir pun membawakan mereka dua buah kapal, yang mengarungi samudra menuju Habasyah. Ketika Quraisy mengikuti jejak-jejak mereka sampai ke pantai, mereka telah melaut.

Kejutan  yang Tak Terkira

Pada Ramadhan tahun yang sama, Nabi saw, keluar menuju tanah Haram. Di sana terdapat sejumlah ebsar kaum Quraisy, di antara mereka ada pembesar-pembesarnya. Beliau berdiri di antara merekad an tiba-tiba membaca Surat an-Najm.
Orang-orang kafirtidak pernah menyimak kalam Allah sebelum itu. Sebab, cara mereka terus-menerus dilakukan adalah saling menasihati satu sama lain. Di antara perkataan mereka adalah “.... Jangalah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya agar kamu dapat mengalahkan (mereka).” (QS. Fushshilat (41) : 26).
Ketika dibacakan Surat az-Zumar dan kalam Ilahi yang indah menawan – karena penjelasan apa pun belum mampu melingkupi keindahan dan keagungannya --- sikap mereka selam ini terhadap Al-Qur’an dan setiap orang menyimak dengan saksama padanya lenyap seketika, tak terbetik apa pun selainnya dalam hati mereka. Hingga pada saat Rasulullah sampai pada penghujung surat ini dan mengirimkan pengetuk hati-hati mereka pada bacaannya, “Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).”
Mereka pun bersujud. Setiap orang tak mampu menguasai dirinya, hingga akhirnya ia pun tersungkur dan bersujud. Pada hakikatnya indahnya kebenaran itu telah mengalahkan pembangkangan di jiwa-jiwa mereka yang sombong lagi mencela.  Akhirnya, mereka tak mampu menguasai diri dan tersungkur sujud kepada Allah. (HR Bukhari, Muslim dan Turmudzi).
Mereka menyadar ketika keagungan kalam Allah menguasai alam sadar mereka, mereka melakukan sesuatu yang selama ini berupaya keras mereka hapus dan binasakan. Mereka pun mendapat cela dan hinaan dari setiap orang musyrik yang tak hadir dalam momen itu. Ketika itu, mereka berdusta atas Rasulullah bahwa itu merupakan permohonan apda berhala-berhala mereka dengan kata takdir. Ia pun berkata tentang itu, “Itu adalah petikan-petikan syair yang mulia dan pertolongan (berhala)  diharapkan.” (Dalam hal ini, para musafir lebih condong pada kabar al-Gharaniqah (ketika kafir Quraisy mengatakan Al-Qur’an yang mereka dengar adalah syair-syair/mantra).
Mereka mengabarkan dusta nyata itu untuk berapologi atas sujud mereka bersama Rasulullah saw. Tidak heran jika itu terjadi pada kaum yang telah mengarang kebohongan dan berlama-lama dalam lebohongan dan tipuan.
Kabar ini sampai kepada mereka yang berhijrah ke Habasyah, tetapi dalam betnuk yang berlawanan dengan faktanya. Kabar yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Akhirnya, mereka kembali ke Makkah pada bulan Syawal di tahun yang sama. Ketika mereka hampir tiba di Makkah dan mengetahui perkara yang sebenarnya, beberapa orang kembali ke Habasyah dan tak seorang pun dari mereka memasuki Makkah, kecuali dengan sembunyhi-sembunyi, atau di bawah perlindungan seseorang dari Quraisy.

Hijrah Kedua ke Habasyah

Mereka yagn kembali ke Habasyah, bahkan dikejutkan lagi akan penindasan yang terjadi pada umat Islam secara lebih kejam dan keras. Akhirnya, sebagian dari mereka masuk ke Makkah dengan perlindungan pembesar-pembesar Quraisy yang mereka kenal, sebagian lagi bersembunyi.
Kaum Quraisy tetap bersikukuh untuk menindas umat Islam dan memprovokasi seluruh kabilah untuk memperberat penindasan mereka ata kaum muslimin. Rasulullah tentu saja tidak melarang para sahabatnya hijrah kembali ke Habasyah.
Hijrah yang kedua ini lebih banyak dari sebelumnya. Quraisy sduah mengetahuinya dan berniat menggagalkannya meskipun kaum muslimin bergerak lebih cepat. Dalam rombongan ini ada 83 laki-laki dan 19 perempuan. Allah memudahkan perjalanan mereka dan mereka menemui Najazy, raja negeri Habasyah. Di sana mereka mendapatkan apa yang mereka dambakan, yaitu keamanan, lingkungan, dan perlakuan yang baik.
Faktanya memang Raja Najasy adalah laki-laki yang cerdas, caara berpikirnya baik, mengenal Allah, serta berakidah munri bahwa Isa a.s. adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. pemikirannya yang progrsif di balik perlakuan baik yang ia berikan kepada para imigran yang datang ke kerajaannya, yang lari dari negerinya demi agama.
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah mengirim kami ke Najasy dan kami sekumpulan orang berjumlah 83 laki-laki. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Mas’ud, Ja’far, Abdullah bin Arfathah, Utsman bin Mazh’un, Abu Musa, dan mereka mendatangi Najasy.” (HR Ahmad).
Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari Ibunya, Laila, berkata, “Umar bin Khaththab adalah orang yang paling keras dalam menyikapi keislaman kami. Ketika kami siap untuk hijrah ke bumi Habasyah, Umar bin Kaththab datang dan aku berada di atas untaku ketika aku hendak pergi. Lalu, ia ebrtanya, “Kemana, wahai Ummu Abdillah?” Aku menjawab, “Kalian menyiksa kami, maka kami pergi ke bumi Allah sebab di sana kami tidak ditindas (dalam beribadah kepada Allah) : Umar pun berkata, “Semoga Allah menyertai kalian.” Kemudiand atang suamiku, Amir bin Rabi’ah. Aku pun memberi tahu lembutnya sikap Umar yang kulihat tadi.” Engkau mengharap ia masuk Islam?” Jawabku, “Ya”. Suamiku berkata, Demi Allah, ia tidak akan masuk Islam sampai keledai al-Khaththab masuk Islam.” (Menurut al-Haitsamy dalam al-Majma.” (6/24), diriwayatkan oleh Thabrani, Ibnu Ishaq mengatakan dengan kata, “Aku mendengar”, dan drajatnya shahih).
Dari Ummu Salamah, putri Abu Umayyah bin Mugirah, Istri Rasulullah saw, berkata, “Ketika kami sampai di negeri Habasyah, kami mendapat penolong yang baik, yaitu Raja Najasy. Kami pun aman dalam menjalankan ibadah kami, menyembah Allah semata, kami tidak disakiti, kami juga tidak pernah mendengar apa yang kami benci. Ketika hal itu sampai ke telinga kaum Quraisy, mereka mengutus dua orang laki-laki untuk bertemu dengan Najasy membicarakan tentang kami. Mereka memberi Najasy hadiah-hadiah terbaik dari perhiasan-perhiasan di Makkah. Najasy sangat menyukai kulit sehingga mereka mengumpulkan banyak kulit. Setiap pejabat militer (Patick : orang yang sangat pandai dalam strategi peperangan, komando-komandonya menggunakan bahasa Romawi, dan jabatan ini sangat tinggi di zaman itu) juga mereka beri hadiah. Mereka mengirim hadiah-hadiah itu bersama Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumy dan Amru bin Ash bin Wail as-Sahmy, yang menjadi delegasi mereka. Kaum Quraisy berkata kepada keduanya, “Berilah setiap pejabat hadiah sebelum kalian menemui Najasyi, kemudian berilah Najasyi hadiah, lalu mintalah ia untuk menyerahkan kaum muslimin kepada kalian, sebelum Najasyi bericara kepada mereka (kaum muslimin).
Ummu Salamah melanjutkan, “Dua orang itu pergi dan mendatangi Najasyi dan kami berada di sebaik-baik rumah dan sebaik-baik pelindung. Tak seorang pun dari pejabat-pejabat tinggi yang tak mereka beri hadiah, sebelum mereka menemui Najasyi. Kemudian keduanya berkata kepada mereka, “Telah datang ke negeri kalian anak-anak bodoh. Mereka berpaling dari agama kaumnya. Mereka tidak masuk agama kalian, tetapi mereka datang dengan agama baru yang tidak kami ketahui, tidak juga kalian. Kami diutus oleh para pembesar kaum untuk bertemu raja dan membawa mereka pulang. Jika kami berbicara kepada raja tentang mereka, bantulah kami agar ia mau menyerahkan mereka dan tidak berbicara kepada mereka. Sebab, kaum mereka lebih tahu tentang siapa mereka dan kejelekan-kejelekan mereka.” Jawab para pejabat, “Ya, baiklah.” Mereka membawa hadiah itu kepada Najasyi dan ia menerimanya. Kemudian kedua utusan itu berbicara kepada Najasyi, “Wahai Raja, di antara kaum kai ada anak-anak bodoh yang datang ke negri Anda. Mereka tidak masuk Agama Anda, tetapi mereka datang dengan agama baru yang tidak kami ketahui, tidak juga Anda. Kami diutus oleh para pembesar kaum, di antara mereka ada ayah, paman, dan kerabat mereka agar engkau menyerahkan anak-anak bodoh itu kepada mereka. Sebab, kaum mereka lebih tahu tentang siapa mereka, dan kejelekan-kejelekan mereka. Dan mereka mencela perbuatan mereka itu.” Tak ada satu hal pun yang lebih membuat Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amru bin Ash marah, selain reaksi Najasyi setelah mendengar perkataan para pejabat militer. Mereka berkata, “Percayalah, wahai Raja, kaum mereka lebih tahu tentang siapa mereka dan kejelekan-kejelekan mereka. Maka serahkanlah mereka kepada kedua utusan ini agar mereka berdua mengembalikan mereka ke negeri dan kaum mereka.” Najasyi marah dan berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada dua orang ini. Aku tidak akan memperdaya kaum yang telah hidup berdampingan denganku, datang ke negeriku, dan memilihku, bukan orang selain aku, hingga aku memanggil dan bertanya kepada mereka, apa yang mereka berdua katakan tentang mereka. Jika mereka seperti apa yang dikatakan dua utusan ini, aku akan menyerahkan mereka, dari kedua orang ini. Aku akan tetap memperlakukan mereka dengan baik, sebagaimana mereka demikian kepadaku.”
Ummu Salamah berkata, “Kemudian diutus seseorang untuk memanggil para sahabat Rasulullah saw. Ketika datang utusan Najasyi, mereka berkumpul. Sebagian berkata kepada yang lain, “Apakah yang akan kalian katakan kepada Najasyi ketika kalian datang kepadanya?” Jawab yang lain, “Kami katakan, demi Allah kami tidak tahu, Nabi kami saw, tidak memerintahkan kami untuk itu, terjadilah apa yang terjadi.” Ketika mereka datang kepada Najasyi, ada para uskup yang telah dipanggil olehnya dan menyebarkan lembaran-lembaran (kitab) di sekitarnya. Najasyi bertanya kepada para sahabat Rasulullah, “Agama apa yang kalian anut, di mana kalian berpaling dari kaum kalian, kalian juga bukan penganut agamaku, tidak pula agama siapa pun dari umat manusisa?”
Ummu Salamah berkata, “Yang diajak bicara oleh Najasyi waktu itu adalah Ja’far bin Abi Thalib r.a. Ia berkata, “Wahai Raja, dulu kami adalah kaum yang bodoh, kami menyembah patung, memakan bangkai, melakukan hal keji, memutus tali persaudaraan, beruat buruk pada tetangga, yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Begitulah kami apda waktu itu, hingga Allah mengutus seorang Rasul dari kaum kami. Kami tahu garis keturunan dan kejujurannya. Ia terpercaya dan terhormat. Ia menyeru kami kepada Allah SWT untuk mengesakan dan menyembah-Nya serta melepaskan sesembahan kami dan nenek moyang kami, batu dan berhala. Ia memerintahkan kami untuk berkata jujur, melaksanakan amanah, bersilaturahmi, beruat baik kepada tetangga, serta menjauh dari yang diharamkan,d an eprtumpahan darah. Ia melarang kami berbuat keji, bersumpah palsu, memakan harta anak yatim, dan qadzaf (menuduh zina) perempuan bersuami. Dan ia memerintahkan kami untuk tidak meneykutukan Allah dengan apa pun, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.”
Ummu Salamah berkata, “Ja’far menyebut berbagai perintah Islam, “Kami memercayainya dan mengimaninya, kami mengikutinya pada apa yang datang kepadanya. Maka kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan apa pun. Kami mengharamkan apa yang diharamkannya dan menghalalkan apa yang dihalalkannya. Lalu, kaum kami memusuhi kami, menyiksa kami, memfitnah kami atas agama kami agar kami kembali pada agama berhala daripada menyembah Allah SWT dan menghalalkan kekejian yang pernah kami halalkan. Ketika mereka memaksa kami, menzalimi kami, menyusahkan kami, membuat batas antara kami dan agama kami, kami pergi ke negerimu, kami pilih engkau, bukan selain engkau. Kami ingin hidup di sampingmu. Dan kami berharap agar kami tidak dizalimi di sisi engkau, wahai Raja.” Lanjut Ja’far. Najasyi berkata, “Apakah bersamamu ada sesuatu yang datang dari Allah?” Ja’far pun menjawab, “Ya.” Najasyi memerintahkannya, “Bacalah!” Ja’far pun membaca bagian awal surat dari Surat Kaf Ha Ya ‘Ain Shad .......”
“Demi Allah, Najasyi menangis, hingga basah jenggotnya. Begitu pula para uskup air mata mereka membasahi lembaran-lembaran kitab suci mereka ketika mereka mendengar apa yang dibacakan kepada mereka.” Lanjut Ummu Salamah, “Kemudian najasyi berkagta,”Sungguh inilah yang dibawa oleh Musa, yang keluar dari satu Misykat. Pergilah kalian ebrdua 9Abdullah dan Amru). Dami Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian dan aku tidak akan terpedaya.
Ummu Salamah berkata, “Ketika keduanya keluar dari ruangan Najasyi, Amru bin Ash berkata, “Demi Allah, aku akan mendatanginya kembali esok dan kuhina mereka di depannya apa yang dilakukan kumpulan mereka.” Kemudian Abdullah bin Abi Rabi’ah, dalam hal ini dia lebih baik dariapda Amru, berkata, “Jangan lakukan itu, bagaimana pun mereka saudara-saudara kita meskipun mereka berseberangan dengan kita.” Amru pun berkata, “Demi Allah, aku akan memberi tahu Najasyi bahwa mereka menganggap Isa Putra Maryam itu seorang hamba.” Esoknya ia mendatangi najasyi, “Wahai Raja, mereka mengatakan sesuatu yang besar tentang Isa Putra Maryam, kirimlah seseorang untuk bertanya kepada mereka, apa pendapat mereka tentang Isa, kata Amru. Lalu, diutuslah seseorang untuk menanyakan hal itu. Pada saat itu belum turun sesuatu ayat pun mengenai hal itu, maka berkumpullah kaum muslimin. Sebagian mereka berkata, “Apa yang akan kalian katakan, “Demi Allah, apa yang difirmankan oleh Allah dan apa yang di bawa oleh Nabi kami, terjadi dalam hal itu apa yang terjadi.” Ketika mereka memasuki ruangan Najasyi, ia berkata, “Apa kata kalian tentang Isa bin Maryam?” Ja’far berkata, “Kami katakan dengan apa yang di abwah oleh Nabi kami. Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, roh-Nya, dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam al-Adzra al-Batul (Perawan Suci).” Kemudian Najasyi memukulkan tangannya ke tanah dan mengambil sebuah ranting. Kemudian berkata, “Selain Isa putra Maryam, aku tidak katakan ini ranting.” Para pejabat sekitarnya saling bergumam marah, demi Allah, pergilah, kalian aman di negeriku, siapa yang mencela kalian bersalah, kemudian siapa yang mencela kalian bersalah, kemudian siapa yang mencela kalian bersalah. Aku tidak suka memiliki segunung emas, tetapi menyakiti seseorang di antara kalain. Kembalikan hadiah-hadiah mereka, aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tidak mengambil dariku Sisywah (harta suap) ketika Dia mengembalikan kerajaanku. Jika Aku mengambil risywah, rakyat tidak akan taat kepadaku, tetapi akulah yang tunduk kepada mereka.”
Mereka berdua keluar dari ruangan itu dengan terhina dan tertolak hadiah mereka. Kami pun tinggal di negeri Najasyi pada sebaik-baik rumah dan sebaik-baik pelindung. Demi Allah, begitulah keadaannya ketika seseorang ingin merampas kerajaannya dengan menyerangnya. Dami Allah, kami belum pernah sesedih itu. Kami takut orang itu mengalahkan Najasyi dan tidak memberi kami hak apa pun yang telah diberikan Najasyi kepada kami.
Najasyi dan tentaranya keluar, dua kelompok bertemu di bantaran Nil. Para sahabat berkata, “Siapa di antara kita yang dapat memantau perang itu. Lalu kembali kepada kami?” Az-Zubair bin al- Awwam berakta, “Aku.” Dia orang yang paling muda di antara kami. Kemudian para sahabat meniupkan untuknya pelampung dan meletakkannya di dadanya. Az-Zubair berenang sampai di titik tempat peperangan itu berlangsung di Sungai Nil dan meemantaunya.
Kami berdoa kepada Allah SWT untuk Najasyi agar ia dimenangkan atas musuhnya, diteguhkan kerajaannya. Akhirnya, segala sesuatun kembali seperti semula di Habasyah. Kami berada bersamanya di rumah yang terbaik, hingga kami kembali kepada Rasulullah di Makkah.” (HR Ahmad).
Dalam ad-Dala’il karya Abu Na’im dikatakan bahwa Quraisy mengutus delegasinya kepada Najasyi mengenai para imigran itu dua kali. Pertama, mengutus Amru bin Ash dan Imarah bin Walid. Kedua Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Delegasi kedua ini datang setelah Pearang Badar. Dalam hal ini az-Zuhry berkata, “Agar mereka mendapat dukungan, teatpi Najasyi menolak apa yang mereka pinta.”

Umar bin Khaththab r.a. Masuk Islam

Banyak riwayat yang menceritakan tentang keislaman Umar bin Khaththab r.a. Sebagian besar riwayat-riwayat itu lemah, tetapi populer. Misalnya, kisah yagn diriwayatkan banyak orang bahwa ia pergi menemui saudara perempuan beserta suaminya. Said bin Zaid. Demikian juga, riwayat bahwa ia mendengarkan Al-Qur’an dari Rasulullah saw., di balik tirai Ka’bah.
Riwayat yang kuat – hanya Allah yang lebih tahu – bahwa faktor utama Islam-nya Umar bin Khaththab r.a. adalah dia Nabi saw., untuknya ketika beliau berkata, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua laki-laki ini yang lebih engkau cintai, Abu Jahal bin Hisyam atau Umar bin Khaththab.” Beliau saw, berkata, “Umar ternyata lebih dicintai oleh-Nya.” (HR. Turmudzi).
Imam Bukhari menerangkan sebab lain masuknya Umar bin Khaththab r.a. ke Islam. Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata,”:Aku belum pernah mendengar Umar berkata hal ini sebelumnya. Ia berkata, “Sungguh aku mengira dia begitu melainkan seperti yagn ia kira.” Ketika Umar duruk,d atang seorang laki-laki tampan lewat di depannya. Umar berkata, “Aku sudah salah mengira, atau dia berada dalam agamanya pada saat jahiliah, atau ia adalah dukun mereka, aku harus memanggil laki-laki itu.” Kemudian dipanggilnya laki-laki itu. Ia pun megnatakan hal itu keapdanya. Laki-laki itu berkata, “Aku belum pernah melihat seperti saat ini, laki-laki itu disampbut.” Umar berkata, “Aku menginginkanmu, kecuali apa yang kau katakan kepadaku (benar).”. Laki-laki itu pun berkata, “Aku adalah dukun mereka pada masa jahiliah.” Umar bertanya, “Apa yang menakjubkan dari yang dikatakan oleh jinmu?” Ia pun berkata, “Ketika aku berada di pasar, jin (perempuan) datang ketakutan, ia berkata, “Apakah kamu tidak tahu jin dan kegalauannya, putus asa setelah berharap , pergi dengan hewan dan pelana?” Umar berkata, “Percayalah, ketika aku tertidur di antara tuhan-tuhan mereka, datang seorang laki-laki membawa anak kambing, ia menyembelihnya, lalu seseorang berteriak. Aku belum pernah mendengar seseorang berteriak sekencang itu.” Laki-laki berkata, “Wahai jalih (kejelekan yang dibinasakan dengan permusuhan), urusan yang tuntas, ada seseorang yang fasih berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.” Oerang-orang berlompatan. Kukatakan, “Aku tidak akan berhenti sampai aku tahu ada apa di balik semua ini.” Kemudian seseorang memanggil, “Wahai Jalih (kejelekan yang dibinasakan dengan permusuhan), urusan yang tuntas, ada seseorang yang fasih mengatakan, “Tiada Tuhan selain Allah.” Lalu, aku berdiri dan belum juga kami sempat berkomentar ketika dikatakan, “Ini Nabi (bahwa kebangkitan Nabi saw., sudah dekat).” (HR. Bukhari).

Umar Menyatakan Keislamannya di Hadapan Kaum Musyrikin

Dari Ibnu Umar r.a. berakta, “Ketika Umar masuk Islam,orang-orang berdatangan ke rumahnya dan berkata, “Umar telah keluar dari agamanya.” Saat itu aku masih kecil, aku sedang berada di atas atap rumahku. Datangseorang laki-laki memakai pakaian dari sutra dan berkata, “Umar telah keluar dari agamanya.” Aku melihat orang-orang menyanggahnya. Aku bertanya, “Siapa dia?” Mereka berkata, “Ash bin Wail.” (HR. Bukhari).
Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Ketika Umar masuk Islam, ia bertanya, “Siapa di antara laki-laki Quraisy yang paling cepat menyampaikan berita?” Dikatakan kepadanya, “Jamil bin Muammar al-Jamhi’. Umar pun pergi menemuinya. Aku pun mengikuti ayahku dan melihat apa yang dilakukannya. Saat itu aku anak kecil yang sudah mengerti apa yang kulihat. Ketika ayahku mendatanginya, ia berkata, “Wahai Jamil, apakah engkau tahu aku telah ber-Islam, aku masuk ke agama Muhammad saw.?”
“Demi Allah, Jamil tidak meminta ayahku mengulangi perkataannya, ia lalu menarik selendangnya dan pergi. Ayahku mengikutinya, aku juga. Ketika ia sampai di pintu Masjid Haram, Jamil berteriak dengan suaranya sekencang-kencangnya, “Wahai Quraisy (saat itu mereka sedang berada di perkumpulan mereka sekitar Ka’bah), bukankah putra Khaththab telah keluar dari agamanya?” Umar berkata di belakangnya, “Bohong, tetapi aku telah masuk Islam, dan aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Mereka menyerangnya dan ia menyerang balik, begitulah sampai ketika matahari di atas kepala mereka. Umar lelah dan terduduk, sementara kaum Quraisy berdiri di atas kepalanya. Umar pun berkata, “Lakukanlah apa yang menurut kalian perlu. Aku bersumpah, jika saja kami sudah mencapai 300 orang, aku tinggalkan mereka untuk kalian, atau kalian meninggalkannya untukku.”
Pada saat itu, datang orang tua dari kaum Quraisy, ia memakai perhiasan dan baju berukir, hingga ia berdiri di sekeliling mereka. Ia berkata, “Apa yang terjadi dengan kalian?” Mereka berkata, “Umar telah keluar dari agamanya.” Orang tua itu pun berkata, “(Jaga) mulutnya, seseorang telah menentukan pilihannya, apa mau kalian? Apakah menurut kalian Bani Addy menyerahkan teman kalian kepada kalian seperti ini? Biarkan dia!”
Demi Allah mereka bagaikan baju yang disingkap. Setelah hijrah ke Madinah, aku bertanya kepada ayahku, “Wahai Ayah, siapa laki-laki yang duilu menghardik Quraisy di Makkah di hari engkau masuk Islam dan mereeka menyerangmu?” Ayahku pun menjawab, “Itu adalah Ash bin Wail as-Sahmy (HR. Ibnu Hibban dan Hakim).

Nabi Mendoakan Umar setelah Keislamannya

Dari Ibnu Umar r.a. “Sesungguhnya Rasulullah menepuk dada Umar dengan tangannya ketika ia menyatakan keislamannya tiga kali dan barkta, “Wahai Allah, keluarkan dari dada Umar segala beban dan gantilah dengan keimanan.” Rasulullah mengatakan hal itu tiga kali. “ (HR Thabrani).

 Islamnya Umar Membukan Jalan

Masuknya Umar ke dalam Islam merupakan faktor penting keunggulan Islam dan kekuatannya. Sebab, Umar dengan karakter dominannya --- yakni kekuatan dan keberanian – sehingga ia tidak takut akan celaan di jalan Allah.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Kami masih termuliakan, sejak Umar memeluk Islam.” (HR Bukhari).
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Islamnya Umar membuka jalan (dakwah), Hijrahnya adalah pertolongan, dan di bawah kepemimpinannya rahmat. Kami sebelumnya belum pernah shalat di depan Ka’bah hingga Umar memeluk Islam. Ketika ia memeluknya, ia memerangi Quraisy dan ia shalat di depan Ka’bah dan kami shalat bersamanya.” (HR Ibnu Sa’ad dan al-Hakim).
Islamnya Umar terjadi ketika para sahabat Rasulullah hijrah ke Habasyah.

Selebaran Zalim dan Embargo

Ketika Quraisy melihat bahwa Rasulullah saw, meningkat dan beberapa hal terus bertambah, mereka sepakat untuk tidak berintaraksi dengan Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan Bani Abd Manaf. Mereka tidak akan berjual beli, tidak menikahi, dan mendiamkan mereka, sampai mereka mau menyerahkan Rasulullah saw. Mereka menulisnya di sebuah lembaran dan menggantungkannya di atap Ka’bah.
Diktakan bahwa Mansur bin Ikrimah bin Amir bin Hasyim yang menulisnya. Ada pula yang mengatakan Nadhr bin Harits. Riwayat yagn shahih adalah Baghid bin Amir bin Hasyim.
Rasulullah berdoa untuk keburukannya, akhirnya tangannya pun lumpuh. Bani Hasyim dan Bani Muthalib bersatu, baik yang mukmin dan kafir, kecuali Abu Lahab. Ia memihak kafir Quraisy daripada Rasulullah. Bani hasyim, dan Bani Muthalib, Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya terkurung di kaki gunung (milik Abu Thalib) pada malam awal bulan Muharam, tahun ketujuh kenabian. Lembaran itu digantung di Ka’bah. Mereka terkurung dan terisolasi. Kondisinya sangat menyusahkan bagi mereka. Mereka terputus dari masyarakat dan materi,sekitar 3 tahun. Hingga lelah menimpa mereka dan terdengar tangisan anak-anak mereka dari balik kaki gunung. Di sanalah Abu Thalib membuat syairnya yang terkenal, al-Lamiyah. Bait pertamanya berbunyi, “Allah membalas kita. Wahai Abd Syams dan Naufal, hukuman keburukan dengan cepat tak tertunda.”
Menurut as-Suhaily, “Para sahabat jika datang kafilah (pedagang) ke Makkah, salah seorang dari mereka pergi kepasar untuk membeli sedikit makanan untuk keluarganya. Kemudian Abu Lahab berkata, “Wahai para pedagang, mahalkanlah harga kepada pengikut-pengikut Muhammad agar mereka tak bisa membeli apa pun. Kalian semua tahu hartaku dan aku selalu menepati janjiku. Aku akan menjamin kalau kalian tidak akan rugi.” Jadilah para pedagang menaikkan harga dagangan mereka berlipat-lipat, hingga salah seorang dari sahabat pulang tanpa membawa makanan apa pun di tangannya, sedangkan anaknya makin kelaparan. Para pedagang datang menghadap Abu Lahab meminta janjinya. Abu lahab memberi mereka harga yang menguntungkan untuk makanan dan pakaian yang mereka jual. Hal ini membuat kaum mukminin dan orang-orang yang bersama mereka letih kelaparan dan compang camping.”
Yunus meriwayatkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Aku keluar pada suatu malam untuk buang air kecil, lalu aku mendengar  suara sesuatu yang terkena air seniku, ternyata sepotong kulit unta kering. Aku mengambilnya dan mencucinya, kemudian aku bakar dan kutumbuk dengan air. Badanku kuat hingga tiga hari (tanpa makan).
Al-Ghazali berkata, “Lihatlah bagaimana isolasi pada kaum muslimin berakhir dan bagaimana isolasi menyakiti mereka itu, yang membuat mereka mengkonsusmi sesuatu yang ia sendiri tidak terbiasa.”

Quraisy Antara Tega dan Tak Tega

Quraisy sebenarnya antara tega dan tidak tega dengan embargo tersebut. kepedihan  kaum muslimin membuat sedih beberapa orang Quraisy yag masih memiliki empati. Seseorang di antara mereka ada yang membekali untanya dengan banyak makanan. Kemudian menggiringnya menuju kaki gunung dan melepas tali keangnya agar sampai kepada mereka yang terkurung di dalamnya untuk meringankan sedikit beban kelemahan dan kemiskinan.

Pembatalan Embargo

Ibnu Katsir – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Beberapa orang dari Quraisy berusaha untuk mengakhiri isi dari lembaran (mebargo) itu. Orang yang memprakarsai hal itu adalah Hisyam bin Amru bin Rabi’ah bin Harits bin Hubaib bin Jadzimah bin Malik bin Hasil – bin-Amir bin Luay. Ia pergi menemui Muth’im bin Addy dan beberapa orang Quraisy, mereka sepakat dengannya. Rasulullah sendiri memberi tahu kaumnya bahwa Allah mengirim rayap yang memakan semua catatan di lembaran itu, kecuali lafal Allah SWT. Begitulah, kemudian Bani Hasyim dan Bani Muthalib pulang ke Makkah. Perdamaian pun tercapai meskipun Abu Jahal dan Amru bin Hisyam mementang.
Dari Abu Hurairah r.a. berakta, “Rasulullah bersabda ketika kami berada di Mina, “Besok kita akan pergi ke Khayf Bani Kinanah karena mereka bersekongkol dengan orang kafir.” Itu dikarenakan Quraisy dan Bani Kinanah bersekutu untuk tidak melakukan pernikahan dan jual-beli dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib, hingga mereka mau menyerahkan Rasulullah saw, yaitu dengan isolasi itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tahun Kesedihan

Menurut Ibnu Ishaq, “Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib meninggal di tahun yang sama sehingga musibah datang beruntun pada diri Rasulullah dengan wafatnya Khadijah. Khadijah merupakan penasihat tulus, tempat beliau mengadu tentang dakwah Islam. Demikian juga wafatnya Abu Thalib, yang merupakan kekuatan dan tameng dalam perkaranya serta pelindung dan penolong atas tindakan kaumnya. Peristiwa ini terjadi tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Wafatnya Abu Thalib memberi kesempatan luas bagi Quraisy untuk makin menyakiti Rasulullah. Mereka belumpernah seberingas itu di masa hidupnya Abu Thalib.
Khadijah merupakan satu dari sekian banyak nikmat-nikmat Allah yang besar bagi Muhammad saw. Ia membantu Rasulullah di amsa-masa sulitnya, menolong beliau menyampaikan risalah-Nya, menemaninya lika-liku (magharim) kepedihan yang pahit, mempersrembahkan dirinya dan hartanya. Betapa besar nikmat ini, sementara istri-istri para nabi yang lain ada yang berkhianat pada risalah dan tidak berikan kepada suami-suaminya. Mereka bersama kaum musyrikin dan memproklamirkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Lut. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (QS. at-Tahrim (66) : 10).
Sebaliknya, Khadijah adalah setulus-tulusnya perempuan, merengkuh suaminya di saat gelisah. Ia tempat damai yang penuh kebaikan. Ia mengusap kening Rasulullah yang bercucuran karena wahyu. Ia menjalani seperempat abad bersamanya. Sebelum turun risalah, ia menghormati keputusannya untuk ber-ta’ammul dan mengasingkan diri (di Gua Hira) dan segala sesuatunya. Setelah risalah turun, ia menanggung semua permusuhan pedihnya diasingkan dan kesulitan-kesulitan dakwah lainnya. Ia meninggal pada saat Rasulullah berumur 50 tahun dan sendiri lebih dari 65 tahun. Rasulullah setulus hati mengenang Khadijah sepanjang hayatnya.

Kesetiaan Itu seperti Ini

Rasulullah sangat sedih pasca wafat Khadijah. Ia sebaiik-baik istri yang sabar dan tulus, yang menolongnya sepanjang hayatnya, mengeluarkan apa pun yang berharga yang ada pada dirinya, demi menolong agama ini. Wajar jika Rasulullah tidak dapat melupakannya selamanya. Kesetiaannya tak dapat diukir dengan pena.
Dia yang terkasih saw, memujinya dan berkata, “Banyak pria yang mencapai kesempurnaan, sedangkan perempuan hanya Asiyah, istri Fir’aun, Maryam, putri Imran, dan Khadijah binti Khuwalid.” Keutamaan Aisyah atas para wanita, seperti keutamaan bubur dari seluruh makanan.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah, dan Abu Musa).
Para ulama-ulama memberi tanggapan yang bagus mengenai hadits ini, “Suatu kebetulan yang indah bahwa ketiga perempuan yang disebut dalam hadits itu merawat seorang Nabi yang tulus. Menemaninya dan beriman kepadanya. Aisyah mendidik Musa dan memperlakukannya dengan baik, lalu beriman kepadanya ketika ia diutus. Maryam merawat Isa dan mendidiknya, lalu beriman kepadanya ketika ia diutus. Begitu juga, Khadijah mencintai Nabi saw, dan mengorbankan diri dan hartanya, menemaninya dengan baik. Ia juga orang yang pertamakali beriman kepadanya, ketika wahyu diturunkan.”
Rasulullah belum pernah menikahi perempuan mana pun sebelumnya, bahkan tidak menikahi perempuan lain semasa hidupnya.
Dari Aisyah r.a. berkata, “Nabi saw, tidak pernah menikahi perempuan lain semasa Khadijah, sampai ia wafat.” (HR. Muslim dan Abd bin Humaid).
Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw, bersabda, “Cukuplah mereka ini perempuan-perempuan sejati di dunia, Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, dan Asiyah istri Fir’aun.” (HR Turmudzi, Ahmad, dan Hakim).
Dari Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw, bersabda “Pemimpin para wanita penghuni surga setelah Maryam binti Imran, Fatimah, Khadijah, dan Aisyah istri Fir’aun.” (HR. Thabrani).

Nabi saw. Terus Mendakwahi Pamannya hingga Saat Terakhir

Dari Musayyaib r.a. berkata, “Ketika kematiand atang pada diri Abu Thalib, Rasulullah saw, datang kepadanya. Di sana ia mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mugirah. Rasulullah saw, berkata, “Wahai Paman, katakan la ilaha illallah dengan kalimat ini aku bersaksi di hadapan Allah untukmu.”
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, engkau berpaling dari agama Abdul Muthalib!”
Rasulullah terus menuntunnya untuk bersyahadat dan terus mengulang-ulanginya. Namun, akhrinya Abu Thalib memilih untuk tetap pada agama Abdul Muthalib dan enggan mengatakan “la ilaha illallah.”
Rasulullah saw, berkata, “Demi Allah, aku akan meminta ampunan untukmu jika aku tidak dilarang untuk itu.” Lalu, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya :
“Taka pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam. (QS. at-Taubah (9) : 113).
Kaitannya dengan Abu Thalib, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. al-Qashash (28) : 56).
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah saw, berkata kepada pamannya “Katakan la ilaha illallah! Dengan kaliamt itu aku akan bersaksi untukmu di hari kiamat.”
Nabi saw, bersabda, “Kalau saja Quraisy tidak mengejekku ketika mereka berkata, “Muhammad beruat itu karena sedih; aku akan teguhkan matamu dengannya (syhahadat). Kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam QS al-Qashash (28) : 56.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia datang kepada Nabi saw, dan berkata, “Abu Thalib meninggal dunia.” Beliau saw, berkata, “Pergilah dan kuburkan dia.” Kemudian Ali berkata, “Tapi, ia mati dalam keadaan musyrik.” Rasulullah berkata, “Pergilah dan kuburkan dia.” Ketika aku telah menguburnya, aku kembali kepada Nabi saw, dan beliau mengatakan padaku, “Mandilah.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Ia Berada di Neraka Semata Kaki

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa ia mendengar Nabi saw, ketika itu menyebut pamannya dalam majelisnya. Beliau bersabda. “Mudah-mudahan syafaatku berlaku untuknya di hari kiamat sehingga ia di tempatkan di neraka yang mencapai dua mata kakinya (saja), yang mendidihkan otaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abbas bin Abdul Muthalib r.a. ia berkata kepada Nabi saw., “Tidakkah enggkau dapat menolong pamanmu, dulu ia melindungimu dan marah untuk (melindungimu?” Nabi saw., berkata, “Dia berada di neraka sebatas mata kaki. Kalau saja bukan karena aku, ia sudah berada di kerak terbawah di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pernikahan Nabi saw. Dengan Saudah dan Aisyah

Para sahabat Rasulullah saw., mengetahui betul kedudukan Khadijah r.a. di hati Nabi saw. Ketika Khadijah wafat, mereka mengharap kepada Allah agar diringankan kepedihan dan kesedihannya. Tak seorang pun yang berani membicarakan perlihal pernikahan dengan beliau saw. Namun, Allah Maha Berkehendak, salah seorang dari istri sahabat yang utama, yaitu Khaulah binti Hakim. Ia membicarakan hal ini kepada Rasulullah hanya untuk membawakan suka cita di hati beliau yagn dirundung kesedihan.
Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya berkata, “Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrahnya ke Madinah. Beliau menyendiri lebih kurang dua tahun, lalu menikahi Aisyah ketika ia berusia 6 tahun dan serumah dengannya ketika ia berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain yang lebih panjang dari hadits riwayat Aisyah, Abu Salamah, dan Yahya berkata, “Ketika Khadijah meninggal, Khaulan binti Hakim, istri Utsman bin Mazh’un, datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menikah? Rasulullah bertanya, “Dengan siapa? Khaulah menjawab, “Jika engkau mau, ada seorang gadis, ada juga janda.” Rasulullah bertanya lagi, “Kalau gadis, siapa?” Khaulah menjaab, “Putri dari hamba Allah yang paling kau cintai, Aisyah binti Abu Bakar.” Rasulullah lanjut bertanya, “Sedangkan janda, siapa?” Khaulah pun menyebutkan, “Saudah binti Zam’ah, ia telah beriman kepadamu dan mengikuti apa yagn kau katakan.” Rasulullah pun menyuruh Khaulah, “Pergilah dan lamarlah keduanya untuuku!” Khaulah pun pergi ke rumah Abu Bakar dan berkata, “Wahai Ummu Rumman, kebaikan dan berkah apa yang telah Allah kirimkan untuk kalian?” Ummu Rumman berkata,”Apakah itu?” Khaulah melanjutkan, “Rasulullah mengutusku meminang Aisyah untuknya.” Ummu Rumman pun menjawab, “Tunggulah Abu Bakar sampai ia datang.” Kemudian datanglah Abu Bakar dan Khaulah berkata, “Wahai Abu Bakar, kebaikan dan berkah apa yang telah Allah kirimkan untuk kalian?” Abu Bakar bertanya, “Apakah itu?” Lanjut Khaulah, “Rasulullah mengutusku meminangAisyah untuknya.” Abu Bakar pun bertanya dengan nada heran.” Apakah itu boleh, sedangkan ia adalah anak saudaranya.” Khaulah pun menghadap Rasulullah saw., dan menanyakan hal itu, lalu beliau berkata, “Kembalilah kepadanya dan katakan, “Aku saudaramu, dan engkau saudaraku dalam Islam danputrimu boleh kunikahi.”
Khaulah kembali menuju Abu Bakar dan menyampaikan pesan Rasulullah saw., kepada Abu Bakar. “Tunggulah,” Kata Abu Bakar seraya keluar. Ummu Rumman berkata, “Sesungguhnya Muth’im bin Addy telah meminang Aisyah untuk anaknya dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah berjanji, lalu mengingkarinya.” Abu Bakar menuju rumah Muth’im bin Addy. Di sana ada dia dan istrinya. Ummu al-Fata. Istrinya berkata, “Wahai Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar), mungkin engkau akan membuat anak kami berpindah agama, apakah engkau akan menyuruhnya untuk masuk ke agamamu saat ini jika ia menikahi putrimu?” Abu Bakar berkata kepada Muth’im bin Addy, “Menurutku begitu, seperti yang istrimu katakan.” Abu Bakar pun keluar dari rumahnya dan Allah telah melenyapkan segala janji yang pernah ia katakan kepada Muth’im. Lalu, ia pulang dan berkata kepada Khaulah.” “Panggilah Rasulullah saw., kemari.” Khaulah memanggil beliau saw., kemudian Abu Bakar menikahkannya dengan Aisyah, yang pada saat itu berumur 6 tahun.
Selanjutnya, Khaulah pergi ke rumah Saudah binti Zam’ah dan berkata, “Kebaikan dan berkah apa yang telah Allah kirimkan untukmu!” Saudah berkata, “Apakah itu?” Lanjut Khaulah, “Rasulullah mengutusku meminangnmu untuknya.” Saudah pun menjawab, “Aku menginginkan itu, pergilah ke ayah dan katakan tentang hal itu.” Ayah Saudah sudah tua renta, dia tertinggal rombongan haji. Khaulah menemuinya dan mengucapkan penghormatan cara jahiliah, “Siapa ini?” katanya. Khaulah binti Hakim. Jawab Khaulah, “Ada apa?” kata ayah Saudah.”Muhammad , hamba Allah saw., mengutusku meminang Saudah.” Kata Khaulah. “Anugerah yang mulia dan apa kata temanmu (Saudah)?” kata ayah Saudah. “Dia menyukai hal itu.” Kata Khaulah. “Panggilah ia ke sini.” Perintah ayah Khaulah. Khaulah pun memanggil Saudah, lalu ayahnya berkata, “Wahai putriku, dia (Khaulah) mengatakan bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abu Muthalib mengutusnya untuk meminangnmu, dan in i anugerah mulia, apakah kau suka jika aku menikahkanmu dengannya?” Saudah menjawab, “Y”. Ayah Saudah pun menyuruh Khaulah untuk memanggil Nabi saw., “Panggilah Muhammad ke sini!” Rasulullah saw., datang, lalu ayah Saudah menikahkannya dengan putrinya. Lalu, datanglah saudaranya, Abd bin Zam’ah, pulang dari haji. Ia menaburkan pasir ke atas kepalanya sendiri. Dia berkata setelah memeluk Islam. “Sesungguhnya aku bodoh ketika menaburkan pasir ke atas kepalaku ketika Rasulullah menikahi Saudah binti Zam’ah.
Aisyah berkata, “Kamid atang ke Madinah, lalu kami turun di perkampungan Bani Harits bin Khazraj di sana (tempat di sekitar Madinah, terdapat kampung Bani Harits bin Khazraj).”
Aisyah berkata, “Lalu, Rasulullah datang dan memasuki rumah kami. Di situ berkumpul kaum Anshar, laki-laki dan perempuan. Ibuku datang kepadaku ketika aku berada di atas ayunan di antara dua pohon kurma, yagn dibuatkan untukku. Kemudian ibuku menurunkanku dari ayunan, beberapa helai rambutku jatuh di atas pundak, ibuku membersishkannya da mengusap wajahku dengan air. Lalu, ia menuntunku sampai ke pintu rumah. Kutarik nafas dalam-dalam sampai hatiku tenang, ibuku menemaniku masuk, di sana sudah ada Rasulullah saw., duduk di atas tempat tidur di rumah kami. Di sekeliling beliau ada kaum Anshar, laki-laki dan perempuan. Ibuku pun mendudukanku di samping beliau, lalu berkata, “Mereka adalah keluargamu, semoga Allah memberkahimu dengan mereka.” Para undangan laki-laki dan perempuan pamit, lalu keluar. Itulah malam pengantinku bersama Rasulullah, tidak ada sembelihan tidak juga kambing yang dipotong (sebagai hidangan). Namun, beberapa saat kemudian, Sa’ad bin Ubadah mengirim sepiring besar penuh dengan makanan. Dia juga kerap mengirimnya kepada Rasulullah ketika Rasulullah sedang menggilir istri-istrinya. Saat itu umurku 9 tahun.” (HR Ahmad dalam al-Musnad (6/20 dan 21), menurut Ibnu Katsir dalam Sirahnya, tampaknya dari susunannya hukum hadits ini mursal, tetapi bersambung. Menurut adz-Dzahabi dalam as-Sirah (184) sanadnya hasan).

Kami Menjagamu dari Pengolok-olok

Setelah Abu Thalib wafat, kaum Quraisy makin berani dengan Nabi saw., dan para sahabatnya. Mereka berani melakukan apa yang tak pernah mereka lakukan semasa hidup Abu Thalib. Seseorang dari orang-orang bodoh itu berani menaburkan pasir ke kepala beliau saw.
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Sungguh Ash bin Wail mengambil sebuah tulang dari padang pasir dan memotongnya dengan tangannya. Lalu, ia berkata kepada Rasulullah saw., “Apakah Allah menghidupkan ini setelah binasa?” Rasulullah bersabda, “YA, Allah mematikanmu, kemudian menghidupkanmu, lalu memasukkanmu ke neraka Jahanam.” Lalu turunlah ayat-ayat terakhir dari Surat Yasin.” (HR Hakim dan Amru bin Aun).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Dalam firman Allah, Sesungguhnya Kami memelihara engkau (Muhammad) dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (engkau). (QS. al-Hijr (15) 95).” Orang yang mengolok-olok tersebut adalah al-Walid bin al-Mugirah, al-Aswad bin Yaguts az-Zuhri, Abu Zam’ah al- Aswad bin al-Muthalib dari Bani  Sa’ad bin Abdul Uzza, al-Harits bin ‘Aiythal as-Sahmy, dan al-Ash bin Wail. Lalu, Jibril mendatangi Rasulullah dan beliau mengadu kepadanya. Jibril pun memperlihatkan al-Walid dan menunjuik otot lengannya. Rasulullah bertanya, “Apa yang kau lakukan?” Jibril menjawab, “Aku sudah menghabisinya.” Lalu, dia memperlihatkan al-Aswad, Jibril menunjuk matanya. Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Jawab Jibril, “Aku sudah menghabisinya.” Kemudian diperlihatkan Abu Zam’ah kepada Nabi saw., dan Jibril menunjuk kepalanya. Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Jibril pun menjawab, “Aku sudah menghabisinya.” Kemudian diperlihatkan al-Harits kepada Nabi saw. Jibril menunjuk kepala atau perutnya. Lalu, Jibril berkata, “Aku menghabisinya.” Lalu, lewat di depannya al-Ash, Jibril menunjuk duburnya dan berkata, “Aku menghabisinya.” Al-Walid sendiri ketika melewati seorang laki-laki Khuza’ah yang sedang memanah, panahnya mengenai lengannya dan terputus. Sedangkan, al-Aswad matanya buta. Ibnu Abdul Yaguts, dari kepalanya keluar nanah, lalu mati. Adapun al-Harits ada air keuning diperutnya, hingga keluar sesuatu yang menjijikan dari mulutnya, lalu mati. Al-Ash, di kepalanya terdapat shibriqah (tumbuhan berduri) dan memenuhi kepalanya, lalu mati. Menurut riwayat lain, ia mengendari keledai menuju Thaif, lalu ia terjatuh dan mengenai duri-duri dan duri itu masuk ke dubur hingga ia mati.” (HR. Adz-Dzahabi).

Pada Hari Itu Orang Zalim Menggigit Dua Tangannya

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Abu Mu’ith duduk bersama Nabi saw, di Makkah dan ia tidak menyakitinya. Abu Mu’ith adalah pria yang baik, sedangkan kaum Quraisy yang lain jika duduk bersama beliau saw, mereka menyakitinya. Abu Mu’ith mempunyai seorang sahabat yang tinggal di Syam. Pada saat ia datang ke Makkah, seorang Quraisy berkata, “Abu Mu’ith telah berpindah agama.” Lalu, dia mendatangi istri Abu Mu’ith dan berkata, “Apa yang dilakukan Muhammad terhadapnya?”
“Perkaranya lebih buruk (dari yang kau kita).” Jawab istrinya.
“Memang apa yang dilakukan sahabatku?” tanya pria itu lagi.
“Ia telah berpindah agama.” Jawab istrinya.
Malam itu ia tak bisa memejamkan mata. Esoknya Abu Mu’ith mendatanginya dan mengucapkan salam hormatnya, tetapi ia tak mau membalasnya.
“Mengapa engkau tak membalas salamku?” tanya Abu Mu’ith.
“Bagaimana aku dapat membalasnya, sedangkan engkau berpindah agama?” kata pria itu.
“Apakah kaum Quraisy juga mengira aku telah berpindah agama? Apa yang harus kulakukan agar mereka mau menerimaku?” kata Abu Mu’ith.
“Datangi majelis Muhammad, ludahi wajahnya, dan ejek dia dengan seburuk-buruk kata yang kau tahu.” Kata sahabatnya.
Ia pun melakukannya. Rasulullah saw., hanya mengusap wajahnya, membersihkan ludah itu, kemudian menoleh ke arahnya dan berkata, “Aku bersabar sampai nanti ketika aku mendapatkanmu berada di pegunungan Makkah, aku akan membunuhnmu.”
Pada saat Perang Badar dan teman-temannya ikut serta dalam peperangan ini, Abu Mu’ith enggan untuk turut. Kawan-kawannya berkata, “Ikutlah bersama kami.”
“Muhammad telah mengancamku, ia akan bersabar (dalam membalas perbuatanku) sampai jika ia mendapatkan aku pergi ke pegunungan Makkah, ia akan menebas leherku.” Kata Abu Mu’ith.
“Bagimu unta merah yang tak pernah ada sebelumnya. Jika (Muhammad) kalah, unta itu milikmu.” Kata sahabat-sahabatnya.
Ia pun turut  bersama mereka. Ketika Allah menakdirkan kaum musyrikin kocar-kacir di Perang Badar, unta Abu Mu’ith jatuh di lumpur di sebuah tempat yang belum terjamah. Rasulullah menawannya di antara 70 orang musyrik lainnya. Abu Mu’ith mendatangi Rasulullah dan berkata, “Apakah engkau akan membunuhku di antara mereka?” Rasulullah berkata, “Ya karen kau sudah meludahi wajahku. Maka Allah menurunkan firman-Nya berkenaan dengan Abu Mu’ith QS. al-Furqan (25) 27 – 29).”

Nabi saw. Berdoa untuk Kehancuran Quraisy

Dari Masruq berkata, “Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Karena Quraisy membantah Nabi saw, beliau mendoakan agar mereka ditimpa paceklik seperti masa Nabi Yusuf. Akhirnya, mereka ditimpa kelaparan dan kesusahan hingga mereka makan tulang belulang. Begitu laparnya mereka, seorang laki-laki melihat ke langit, di matanya anatara dia dan langit seperti asap. Kemudian Allah menurunkan ayat, “Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas yang melipat manusia. Inilah azab yang pedih.” (QS ad-Dukhan (44) 10-11).
Seseorang mendatangi Rasulullah saw,d an berkata, “Wahai Rasulullah, mintalah kepada Allah untuk menurunkan hujan karena keadaan telah genting, Quraisy telah binasa (kelaparan).” Rasulullah berkata, “Karena keadaan genting?” Engkau betul-betul berani (memohon).” Kemudian Rasulullah berdoa meminta hujan dan mereka diberi hujan (oleh Allah). Dalam hal ini Allah berifrman, “Sungguh (kalau) Kemi melenyapkan azab itu sedikit saja, tentu kamu akan kembali (ingkar).” (QS ad-Dhukhan (44) : 15).
Ketika mereka kembali diberi kesenangan dunia, mereka kembali pada keadaan semula. Kemudian Allah SWT berfirman, “(ingatlah) pada hari (ketika) Kami emnghantam mereka dengan keras. Kami pasti memberi balasan.” (QS. ad-Dukhan (44) : 16).
Hantaman yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Perang Badar.” )HR Bukhari dan Muslim).

Ridha dalam Perlindungan Allah SWT.

Penduduk Makkah makin memusuhi Nabi saw, begitu juga kepada sahabatnya. Hal itu membuat Abu Bakar berpikir untuk meninggalkan Makkah. Ia pun pergi hingga mencapai Barkal-Ghamad karena ia ingin pergi ke Habasyah. Namun, Ibnu ad-Daghinah membuatnya kembali ke Makkah dengan jaminan perlindungannya.
Dari Aisyah r.a. berkata, “Aku tidak mengerti apa yang dilakukan kedua orang tuaku, kecuali bahwa mereka telah memeluk Islam. Tidak satu hari pun Rasulullah tidakd atang kepada kami, baik itu pagi ataupun petang. Ketika kaum muslimin dimusuhi, Abu Bakar pergi berhijrah ke Habasyah. Ketika ia sampai di Barkal al-Ghamad, ia bertemu Ibn ad-Daghinah – seorang kepala suku – dan berkata, “Hendak ke mana wahai Abu Bakar?” Ayahku menjawab, “Kaumku yang menyebabkan aku pergi. Aku ingin melancong di bumi dan menyembah Tuhanku.” Karanya, “Orang sepertimu tidak (boleh) keluar dan dikeluarkan. Engkau menolong yang tidak mampu, menyambung tali silaturahmi, menanggung beban (banyak orang), menghormati tamu,d an menolong orang-orang yang benar. Aku bersaksi untukmu. Pulanglah dan sembahlah tuhanmu di negerimu. “Ayahku pun pulang dan Ibnu As-Daghinah menemaninya. Ibnu ad-Daghinah berkeliling sore itu dari rumah ke rumah para pembesar Quraisy. Ia berkata kepada mereka. “Orang seperti Abu Bakar seharusnya tidak (boleh) keluar dan dikeluarkan. Dia menolong yang tak mampu, menyambung tali silaturahmi, menanggung beban (banyak orang), menghormati tamu, dan menolong orang-orang yang benar.” Tak seorang pun dari orang Quraisy mengingkari hal itu. Mereka berkata kepada Ibnu ad-Daghinah, “Perintahkan kepada Abu Bakar agar ia menyembah tuhannya di rumahnya dan shalat di sana. Ia boleh membaca apa yang ia mau. Kami tidak mempermasalahkan itu, sepanjang ia tidak mengeraskan (ritual) ibadahnya. Kami takut hal itu memengaruhi istri-istri dan anak-anak kami.”
Ibnu ad-Daghinah menyampaikan hasil percakapan dengan kaum Quraisy kepada Abu Bakar. Abu Bakar pun melakukan hal itu hingga beberapa waktu, menyembah Allah di rumahnya, tidak mengeraskan bacaan shalatnya. Dan membaca Al-Qur’an hanya di rumahnya. Selang beberapa waktu, ia pun membangun masjid di halaman rumahnya. Ia shalat dan membaca Al-Qur’an di sana. Para istri kaum musyrikin dan anak-anak ramai memadati masjid itu. Mereka takjub dan melihatnya. Apalagi Abu Bakar adalah pribadi yang mudah menangis jika membaca Al-Qur’an. Kaum musyrikin khawatir akan hal itu, lalu mereka mengutus seseorang untuk memanggil Ibnu ad-Daghinah. Ia pun datang.
Mereka berkata kepada Ibnu ad-Daghinah, “Kami membiarkan Abu Bakar dalam perlindunganmu agar ia menyembah Tuhannya di rumahnya. Kami membolehkan itu, tetapi ia membangun masjid di halaman rumahnya, lalu dia shalat dan membaca (Al-Qur’an) di situ. Sungguh, kami khawatir istri-istri dan anak-anak kami (akan terpengaruh). Jadi, laranglah ia! Jika ia lebih menyukai untuk menyembah tuhannya hanya di rumahnya, ia teap boleh melakukan hal itu. Namun, jika dia hanya mau mengeraskan bacaannya, katakan kepadanya bahwa engkau mencabut jaminan perlindunganmu. Kami tidak mau menghianatimu (karena kami telah berjanji tidak mengganggu Abu Bakar). Namun, kami tidak tenang dengan cara beribadah Abu Bakar yang mengeraskan suaranya.”
Ibnu ad-Daghinah pun mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Engkau telah mengetahui akad perjanjianku dengan Quraisy untukmu. Engkau tetap pada perjanjian itu atau engkau tak menginginkan jaminan perlindunganku lagi. Aku tidak suka orang-orang Arab mendengar berita bahwa aku telah melanggar janji atas seseorang yang telah aku jamin kepercayaannya dalam ikatan perjanjian.”
Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya aku tak menginginkan perlindunganmu lagi. Aku ridha dengan perlindungan Allah SWT.” (HR. Bukhari).

Utsman bin Mazh’un Menolak Jaminan al-Walid bin al-Mugirah

Utsman bin Mazh’un  r.a. adalah salah satu dari di antara orang-orang yang kembali dari Habasyah. Ia memasuki Makkah dengan jaminan al- Walid bin al-Mugirah agar tidak diganggu oleh kaum Musyrikin. Namun, beberapa saat kemudian, ia ingin mengembalikan jaminan itu. Sebab, ia melihat eman-temannya (sesama muslim) disiksa di jalan Allah, sementara dia aman dan sejahtera. Ia tidak rela dengan hal itu.
Dari Ibnu Ishaq berkata, “Shalih bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf berkata kepadaku dari seseorang yang meriwayatkan tentang Utsman.” Ketiia Utsman bin Mazh’un melihat ujian yang dihadapi para sahabat Rasulullah saw., sedangkan ia pulang dan pergi dalam keadaan aman di bawah jaminan al-Walid bin al-Mugirah, dia berkata, “Demi Allah, sungguh aku pulang dan pergi (ke mana pun) dengan aman dan tenang karena jaminan seorang musyrik. Sedangkan, teman-temanku, mereka yang seagama denganku menghadapi berbagai ujian dan siksaan di jalan Allah, tetapi aku tidak. Aku merasa ada kekurangan yang besar dalam diriku.” Kemudian ia berjalan menuju al-Walid bin al-Mugirah, lalu ia berkata kepadanya,” Wahai Abdu Syams, cukup sampai di sini jaminanmu untukku dan aku ingin mengembalikannya.” Al-Walid bertanya heran, “Mengapa, waai anak saudaraku?” Apakah salah seorang dari kaumku menyakitimu?” Utsman menjawab, “Tidak, aku rela dengan perlindungan Allah saja. Aku tidak ingin meminta perlindungan selain kepada-Nya.” Al-Walid pun memintanya untuk mengumumkan hal itu, “Pergilah ke masjid (al-haram). Umumkanlah bahwa engkau mengembalikan jaminanku, sebagaimana aku mengumumkan jaminanku terhadapmu.” Merekan pun pergi ke masjid. Sesampainya di sana, a;-Walid berkata, “Ini Utsman, datang kepadaku untuk mengembalikan perindunganku.” Utsman menyambungnya, “Ya”, dia benar dan ia seorang yang setia dan baik dalam melindungiku. Namun, aku lebih menyukai untuk meminta perlindungan kepada Allah dan aku mengembalikan jaminan al-Walid.” Kemudian Utsman pulang.”
Suatu hari Labid bin Rabi’ah bin Malik bin Ja’far bin Kilab majelis Quraisy menyenandungkan syair. Lalu, Utsman duduk bersama mereka. Labid berkata, “Bukankah semua hal selain Allah batil?” Utsman menjawab, “Kamu benar.” Labid berkata, “Semua kenikmatan tidak dipungkiri akan lenyap.” Utsman berkata, “Kamu salah ... kenikmatan surga tidak akan lenyap.” Lanjut Labid, “Wahai kaum Quraisy, demi Alalh kalian tidak pernah menyakiti teman, sejak kapan hal itu terjadi pada kalian?” Seseorang dari kaum Quraisy berkata, “Orang bodoh ini bersama teman-temannya yang bodoh itu. Mereka berpaling dari agama kami, engkau tidak akan mendapatkan kebenaran pada eprkataannya.”
Utsman beradu mulut dengannya hingga pertengkaran mereka semakin menjadi. Lalu laki-laki itu berdiri dan memukul matanya hingga lebam. Pada saat itu al-Walid bin al-Mugirah sedang berada dekat tempat itu dan mengetahui kejadddian yang menimpa Utsman. Ia berkata, “Demi Allah, wahai anak saudaraku, matamu tidak eprnah demikian ketika engkau dalam jaminan perlindunganku.”
“Namun, demi Alalh, sungguh (sebelah) mataku yang sehat menginginkan sesuatu yang sama yang menimpa saudaranya (mata yang lebam). Dan sungguh aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia dan kuat daripada engkau, wahai Abdu Syams.” Kata Utsman.
“Marilah, jika kau mau, wahai anak saudaraku, kembalilah pada jaminanku.” Kata al-Walid.
“Tidak.” Jawab Utsman (HR Abu Na’im dan baihaqi).

Kisah Ibnu Ummu Maktum r.a.

Dari Aisyah r.a. berkata, “Awal turunnya Surat Abasa untuk Ibnu Ummi Maktum yang buta. Ia datang kepada Rasulullah saw, dan berkata, “Wahai Rasulullah, bimbinglah aku.” Pada saat itu bersama Rasulullah ada pembesar musyrik. Rasulullah berpaling darinya dan menghadap ke arah lain dan berkata, “Kau tahu ba’s yang kukatakan.” Dalam hal ini turunlah awal Surat ‘Abasa. “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling.” (QS. “Abasa (80) 1).”

Nabi Berdakwah ke Thaif

Perlawanan  Quraisy terhadap dakwah makin menjadi. Mereka menyerang Rasulullah dengan sesuatu yang belum pernah mereka lakukan semasa hidup paman Nabi saw. Abu Thalib. Kemudian Rasulullah pergi sendiri ke Taif – untuk mendapatkan markas baru dakwahnya – mencari pertolongan dan perlindungan dari kabilah Tsaqif. Rasulullah saw, berharap mereka mau menerima apa yang datang padanya dari Allah SWT. Namun, Tsaqif tidak menerimanya. Mereka – para pemimpin, tokoh, anak-anak, hamba sahaya, dan orang-orang bodoh dari kabilah ini – mengejek dan meneriakinya. Mereka berdatangan dan melempari Nabi saw, dengan batu.
Dari Muhammad bin Ka’ab al-Quraizhy berkata, “Ketika Rasulullah saw, sampai ke Thaif, beliau mengunjungi beberapa orang dari Bani Tsaqif. Mereka adalah pemimpin dari tokoh Tsaqif. Mereka adalah tiga orang bersaudara, yaitu Abdu Yalil bin Amru bin Umair, Mas’ud bin Amru, dan Habib bin Amru bin Umair bin Auf bin Uqdah bin Ghirah bin Auf bin Tsaqif. Saat itu ada seorang perempuan Quraisy dari Bani Jamah sedang bersama mereka. Rasulullah duduk bersama mereka dan menyeru pada agama Allah. Beliau menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminta dukungan pada Islam dan bertindak kepada mereka yang memusuhinya. Salah satu di antara mereka berkata, “Dia telah menyobek-nyobek penutup Ka’bah. Jika Allah mengutusmu.” Sedangkan yang lain berkata, “Apakah Allah tidak mendapatkan seseorang selainmu?!” Yang ketiga berkata, “Aku tidak akan pernah berbicara denganmu selamanya jika engkau adalah utusan Allah seperti yang kau katakan. Engkau adalah bahaya yang besar jika aku menolak perkataanmu. Namun, jika kau berdusta atas nama Allah, tidak pantas bagiku untuk berbicara kepadamu.” Rasulullah saw. Pun bangkit dan tidak lagi mengharap kebaikan Tsaqif. Kemudian beliau mengatakan sebagaimana diriwayatkan kepadaku. “Jika demikian keputusan kalian, aku memohon kepada kalian untuk menutupi hal ini.”
Rasulullah tidak ingin penolakan mereka sampai ke kaumnya, lalu memprovokasi mereka (untuk terus memusuhi dakwahnya). Namun, mereka tidak melakukannya, bahkan mereka mendorong kaum mereka – yang bodoh dan hamba sahaya – untuk mengumpat dan meneriaki Nabi saw., hingga orang-orang berdatangan. Akhirnya, Rasulullah sampai di dinding rumah Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah. Saat itu keduanya berada di dalam rumah. Orang-orang bodoh Bani Tsaqif yang mengikutinya pun pulang. Lalu, Rasulullah saw., berlindung di bawah pohon anggur dan duduk. Kedua anak Rabi’ah melihat dan menyaksikan apa yang dilakukan orang-orang bodoh penduduk Thaif. Di sana Rasulullah bertemu perempuan Quraisy dari Bani Jamah. Beliau saw., berkata kepadanya, “(Lihatlah) apa yagn dilakukan orang-orang bodoh dari kaummu?” (HR. Ibnu Hisyam, Thabari, Thabrani dengan sanad shahih dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurdly secara mursal, dan baihaqi).

Duhali Allah, Aku Mengadu kepada Mu atas Kelemahanku

Rasulullah sae, terluka dan darah mengalir dari kakinya. Orang-orang yang mengusirnya membuat beliau berlindung di sebuah kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah. Beliau duduk di bawah pohon anggur dan beristirahat.
Pemilik kebun ada di dalamnya. Mereka menghalau mereka yang mengusirnya. Masih terpatri dalam ingatan Rasulullah kenangan pahit itu. Beliau saw, selalu mengingat hari-hari penderitaannya bersama penduduk Makkah. Ada rangkaian kesedihan yang berat, yang datang bertubi-tubi.
Dari Abdullah bin Ja’far r.a. berkata, “Setelah Abu Thalib wafat, Nabi saw., pergi ke Thaif dengan berjalan kaki. Ia ingin menyeru ,mereka pada Islam, tetapi mereka tidak memeniramanya. Beliau saw., kembali dan menuju sebuah pohon. Di sana beliau shalat dua rakaat, lalu berdoa. :
Wahai Allah, aku mengaku kepada-Mu akan lemahnya kekuatanku, sedikitnya usahaku, dan kelemahanku di depan orang. Engkaulah sebaik-baik Penyayang. Kepada siapa Engkau menyerahkan aku? Kepada musuh yang murka kepadaku atau kepada kerabat yang Engkau berikan kemampuan menanggung urusanku? Jika Engkau tak murka kepadaku, aku tidak peduli. Namun, kasih-Mu kepadaku lebih luas. Aku berlindung dengan Dzat-Mu yang menerangi kegelapan dan kebaikan urusan dunia akhirat, dari turunnya amarah-Mu, dari kemarahan-Mu yang melingkupi diriku. Untuk-Mu ketulusan(ku) sampai Engkau ridha, tidak ada kekuatan, melainkan dengan-Mu, ya Allah.” (HR. Thabrani dan al-Khathib).

Islamnya Addas

Dari riwayat Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhy yang tersebut di atas, ia berkata, “Ketika dua putra Rabi’ah – Utbah dan Syaibah – melihat apa yang menimpa Rasulullah, mereka terenyuh. Lalu, mereka memanggil pelayan mereka, seorang nasrani bernama Addas. Keduanya berkata kepadanya, “Ambillah buah anggur dari pohonnya dan letakkan di piring! Kemudian pergilah ke laki-laki itu dan katakan kepadanya agar ia memakannya.!
Addas melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Ia mengambil anggut iru dan membawanya ke hadapan Rasulullah saw., dan ia berkata “Makanlah!”
Ketika Rasulullah mengambilnya, beliau berucap, “Bismillah.” Lalu memakannya.
Addas melihat wajah beliau saw., dan berkata, “Demi Allah, di negeri ini tidak pernah ada seseorang yang mengatakan itu.”
Rasulullah bertanya kepadanya, “Dari negeri mana engkau? Dan apa agamamu?”
“Aku nasrani dan aku berasal dari Ninawa.” Jawab Addas.
“Oh .... dari desa seorang laki-laki shalih, Yunus bin Matta,” kata Rasulullah.
“Apa yang kau kethaui tentangn  Ynus bin Matta?” tanya Addas.
“Dia adalah saudaraku, dia adalah nabi dan aku juga seorang nabi.”
Mendengar jawaban Nabi saw, itu, tiba-tiba Addas menunduk ke arah Rasulullah saw., lalu mencium kepala, tangan, dan keuda kaki Nabi saw.
Kedua anak Rabi’ah berbicara satu sama lain,” Pelayanmu telah dirusaknya.”
Ketika Addas datang, mereka berkata, “Celaka kau, wahai Addas, mengapa kau mencium kepada, kedua tangan, dan kakinya?”
Ia menjawab, “Tuanku, tidak ada sesuatu pun di bumi yang lebih baik dari hal ini. Ia telah memberitahuku sesuatu yang diketahui, kecuali ia seorang nabi.”
Lalu keduanya berkata, “Celaka kau Addas, janganlah engkau berpaling dari agamamu. Agamamu lebih dari agamanya!”

Allah SWT Mengutus Jibril dan Malaikat Penjaga Gunung a.s.

Dari Aisyah r.a. berkata, “Aku bertanya kepada Nabi saw., “apakah ada hariamu yang lebih buruk dari (kekalahan kaum muslimin) pada Perang Uhud?” Rasulullah saw, pun menjawabnya, “Aku menghadapi apa yang dilakukan Quraisy dan hari paling pedih bagiku adalah hari Aqabah. Ketika aku berdakwah kepada Ibnu Abd Yalil bin Abd Kalal, ia menolak apa yang kuinginkan. Lalu, aku pergi dengan wajah sedih. Aku baru menyadari keadaanku ketika aku sampai di Qarn as-Sa’alib. Aku tengadahkan kepalaku dan kulihat awan menaungiku. Ku lihat Jibril di sana memanggilku dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu, dan tanggapan mereka atas dakwahmu. Telah diutus kepadamu malaikat penjaga gunug-gunung untuk kau perintahkan apa pun yang kau kehendaki atas mereka.” Kemudian malaikat gunung memanggilku. Ia mengucapkan salam dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu padamu dan aku malaikat gunung. Tuhanmu telah mengutusku agar kau menyuruhku apa pun yang kau kehendaki atas mereka. Jika kaumau, aku akan menghunjamkan dua gunung yang paling terjal (Gunung Abu Qays dan gunung yang menghadapnya).”
Aisyah melanjutkan, “Kemudian Rasulullah berkata kepada malaikat penjaga gunung, “Namun, aku hanya ingin agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka, generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Beberapa Jin Lembah Nakhlah Masuk Islam

Dalam perjalanan pulang dari Thaif, Rasulullah saw, bermalam beberapa hari di Lembah nakhlah, dekat Makkah. Pada saat itu Allah mengirim kepada beliau saw, beberapa jin yang menyimak Al-Qur’an. Mereka memeluk Islam dan kembali kepada kaumnya, lalu memberi peringatan dan kabar gembira.
Sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan keapdamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an, maka ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya, mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)!” Maka ketika telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Wahai kaum kami!! Sungguh , kami telah mendengarkan Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimnbing kepada kebenaran dan kepada jalan lurus. Wahai kaum kami!! Terimalah (seruan) orang (Muhammad) yang menyeru kepada Allah. Dan beriman kepada-Nya, discaya Dia akan mengampuni dosa-dosamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (QS. al-Ahqaf (46) : 29-31).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah tidak membacakan Al-Qur’an pada jin dan tidak melihatnya. Rasulullah saw, bersama para sahabatnya pergi menuju Pasar Ukazh. Pada saat itu ada penutup antara setan dan kabar langit. Mereka dihujani panah-panah api. Lalu setan-setan kembali pada kaumnya dan berkata, “Ada pembatas yang menutup antara kita dan kabar langit, kami juga dihujani panah-panah api.” Salah seorang dari mereka berkata, “Pasti ada penyebab yang membuat hal itu terjadi. Pergilah ke timur dan barat bumi, lihatlah apa yang menutup antara kita dan kabar langit!” Beberapa dari mereka pergi ke Timur dan barat bumi. Sebagian melewati Tihamah, tempat Rasulullah berada di nakhlah menuju Pasar Ukazh. Rasulullah sedang shalat Subuh bersama para sahabatnya. Ketika mereka mendengar Al-Qur’an dibacakan, mereka menyimak dan berkata, “Ini yang menutup antara ktia dan kabar langit.” Mereka pun segera kembali kepada kaum mereka dan berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami mendengar Al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk ke jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kamis ekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi saw.

Isra’ dan Mi’raj

Allah Ta’ala berfirman :
“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesarana) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. al-isra’(17) : 1).
Rasulullah sedang melalui masa-masa tersulitnya, yaitu rasa kehilangan atas wafatnya Paman dan istrinya, permusuhan Quraisy yang makin menjadi-jadi setelah keduanya wafat, serta iupaya berdakwah ke Thaif yang membuah kesedihan. Begitu juga, kesombongan yang dilakukan Quraisy ketika beliau kembali ke Makkah. Semua itu berpengaruh pada diri Nabi saw. Kita juga mengetahui bagaimana ia menghadap kepada Allah dengan mengadukan kesedhan dan penderitaannya. Beliau juga memohon pertolongan, menginginkan untuk memperbaharui niat agar senantiasa mampu menanggung beban dalam menyebarkan dakwah, dan menganggap remeh semua kesulitan, selama Allah ridha kepadanya.
Sykeh al-Jazairy – semoga Allah menjaganya – berkata tentang Isra’ dan Mi’raj, “Peristiwa ini merupakan hadiah dari Allah atas kepedihan  dan penderitaan yang beliau alami. Setelah embargo yang berlangsung selama tiga tahun di kaki Gunung Abu Thalib. Pada saat itu beliau merasakan kelaparan dan pengasingan. Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah kehilangan penolong yang setia dari Khadijah Ummul Muslimin. Peristiwa ini terjadi setelah harapan yang sia-sia di Tsaqif, celaan dan teriakan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, anak-anak kecil, dan hamba sahaya di sana. Setelah semua itu, Allah menghadiahi kekasih-Nya dengan mengangkatnya menuju tempat-Nya dan mendekatkannya. Allah menghadiahinya dengan keridhaan yang membuatnya lupa kesedihan dan keletihan yang telah dialaminya serta apa yang dialaminya ketika menyampaikan risalah-Nya dan menyebarkan dakwahnya. Allah bershalawat kepadanya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, sebanyak orang-orang yang berdzikir kepada Allah,d an sebanyak orang-orang yang lengah dalam mengingat-Nya.

Yang Disaksikan Rasulullah pada Isra’ dan Mi’raj

Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw., berkata, “Aku didatangi oleh Buraq. Dia adalah hewan putih, lebih tinggi dari keledai, tanpa sepatu yang dikenakan di ujung kukunya. Aku menungganginya hingga sampai ke Baitul Maqdis. Kemudian aku mengikatnya di pintu masjid, tempat para nabi mengikat (tunggangannya). Lalu aku memasuki masjid dan shalat dua rakat. Ketika aku keluar, kudapati Jibril membawa bejana berisi khamardan bejana berisi susu. Aku memilih susu dan Jibril berkata, “Engkau telah memilih fitrah (Islam dan istiqamah)” (HR Muslim).
Anas meriwayatkan dari Malik bin Sha’sha’ah r.a. Malik berkata, “Sesungguhnya Nabi saw., mengabarkan kepada mereka tentang malam Isra’nya. beliau bersabda, “Ketika aku berbaring di al-Hathim (tempat antara maqam Ibrahim dan rukun Yamani) --- dalam riwayat lain di tempat tidurnya – Jibril mendatangiku dan ia menuntunku .... (Aku mendengar Anas berkata, “Lalu tubuh Rasulullah dibelah dari ini ke ini.” Kemudian aku berkata kepada Garud (yang berada di sampingku), Apa maksudnya?” ia berkata, “Dari urat leher sampai rambut kemaluannya.” Aku juga mendengarnya berkata, “Dari pangkal tulang dada sampai rambut kemaluannya.”) ..... kemudian hatiku dikeluarkan, lalu didatangkan bejana dari emas yang dipenuhi iman, lalu dicuci ddengannya dan dikembalikan. Kemudian datang kepadaku seekor binatang yang tidak memakai sepatu kdua dan lebih tinggi dari keledai. (Garud berkata, “Apakah itu Buraq, wahai Abu Hamzah.”)Anas berakta, “Ya, hewan ini meletakkan kakinya di ujung penglihatannya.) ... lalu aku dibawa ke atas punggungnya, kemudian Jibril membawaku ke langit dunia. ia mengetuk pintu dan Jibril ditanya, “Siapa?” Jibril menjawab, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jawab Jibril, “Muhammad.” Tanya  lagi, “Apakah telah diutus padanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Lanjutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang  sudah datang.” Kemudian pintu dibuka, ternyata di sana ada Adam, Jibril berkata, “Ini Bapakmu, Adam, berilah salam.” Aku pun mengucapkan salam keapdanya dan ia menjawabnya. Kemudian ia berkata, “Selamat datang anak shalih dan nabi yang shalih.” Kemudian Jibril membawaku ke langit kedua, dan ia mengetuk pintunya dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.”  Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu di buka, ternyata di sana ada Yahya dan Isa, mereka adalah dua sepupu, Jibril berkata, “Ini yahya dan Isa, Ucapkan salam kepada keduanya.” Aku pun mengucapkan salam kepada mereka dan mereka menjawabnya. Kemudian mereka berkata, “Selamat datang saudara yagn shalih dan nabi yang shalih.” Lalu aku di abwa ke langit dunia ketiga. Ia mengetuk pintu dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “ Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang  sudah datang.” Kemudian pintu dibuka, ternyata di sana ada Yusuf. Jibriil berkata, “Ini Yusuf, ucapkan salam kepadanya.” Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawabnya. Kemudia ia berkata, “ Selamat datang saudara yagn shalih dan nabi yang shalih.” Lalu aku dibawa ke langit dunia keempat. Ia mengetuk pintuk dan diaktakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu di buka, ternyata di sana ada Isris. Jibril berkata, “Ini Idris, ucapkan kepadanya salam.” Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawabnya. Kemudian Idris berkata, “Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih.” Lalu aku di bawa ke langit dunia kelima, ia mengetuk pintu dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang berrsamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “ Apakah telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sduah datang. Kemudian pintu dibuka ternyata di sana ada Harun. Jibril berkata, “Ini Harun.” Berilah ia salam.” Aku mengucapkan salam kepadanya, dan ia menjawabnya. Kemudian Harun berkata, “Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih. Lalu aku di bawa ke langit dunia keenam. Ia mengetuk pintu dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi. “ Apakah telah diutus kepadanya?”
 Jawab Jibril, “Ya”. Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu di buka, ternyata di sana ada Musa. Jibril berkata, Ini Musa, ucapkan salam.” Aku mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawabnya. Kemudian ia berkata, Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih.” Ketika aku sudah melewatinya, ia menangis. Dikatakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” jawabnya, “Aku menangis karena seorang anak.” (Muhammad) diutus setelah aku, umatnya yang masuk surga lebih banyak dari umatku.” Lalu, aku dibawa ke langit dunia ketujuh. Ia mengetuk pintu, dan dikatakan kepadanya, “Siapa?
 Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu dibuka, ternyata di sana ada Ibrahim. Jibril berkata, “Ini Ayahmu, ucapkan salam kepadanya.”  Aku mengucapkan salam keapdanya dan ia menajwabnya. Kemudian ia berkata, “Selamat datang anak yang zhalih dan nabi yang shalih.” Kemudian aku dibawa ke Sidratul Muntaha, buahnya besar seperti guci-guci, daunnya sperti telinga gajah. Jibril berkata, “Ini Sidratul Muntaha.”. Lalu, ada empat sungai : Dua sungai di dalam dan dua sungai nampak di luar. Aku bertanya, “Wahai Jibril, sungai apa yang dua ini?” Jibril menjawab, “Yang di dalam itu, sungai surga, sedangkan yang nampak di luar itu Nil dan Eufrat.” Kemudian aku dibawa ke Baitul Ma’mur. Lalu, aku diberi segelas khamar, segelas susu,d an segelas madu. Aku mengambil susu. Jibril berkata, “Itu fitrah (agama Islam) dimana engkau dan umatmu berada.” Kemudian diwajibkan keadaku shalat 50 waktu setiap hari. Dalam perjalanan pulang, aku melewati Musa, lalu ia bertanya, “Apa yang diperintahkan kepadamu?” Jawabku, “Aku diperintahkan untuk shalat 50 waktu setiap hari.” Musa menyanggahnya.” “Sungguh umatmu tidak akan mampu menunaikan shalat 50 waktu setiap hari. Demi Allah, sesungguhnya ku telah berdakwah kepada manusia sebelummu. Dan, aku sudah mempraktikkannya kepada Bani Israil dengan upaya yang keras. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan untuk umatmu.” Aku pun kembali, lalu Allah mengurangi sepuluh waktu. Aku kembali kepada Musa dan ia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku kembali kepada Allah dan Allah mengurangi seupuluh waktu shalat lagi. Aku kembali kepada Musa dan ia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku kembali kepada Allah dan Allah memerintahkanku dengan lima waktu shalat setiap hari. Aku kembali kepada Musa, lalu ia bertanya, “Apa yang diperintahkan kepadamu? Jawaku, “Aku diperintahkan untuk shalat lima waktu setiap hari/” Kata Musa, “Sungguh umatmu tidak akan mampu menunaikan shalat 5 waktu setiap hari. Demi Allah, sesungguhnya aku telah berdakwah pada manusia sebelummu. Dan aku sudah mempraktikkannya kepada Bani Israil dengan upaya yang keras. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan untukmu.”
Rasulullah berkata, “Aku telah (banyak) meminta kepada Tuhanku hingga aku malu, tetapi aku rela dan berserah diri. Ketika aku sduah lewat, ada suara memanggil, “Aku telah memerintahkan sebuah kewajiban dan Aku telah meringankan hamba-Ku.” (HR Bukhari dan Muslim).

Perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw.

1. Langit pertama, Nabi Muhammad saw., bertemu dengan Nabi Adam a.s.
2. Langit Kedua , Nabi Muhammad saw., bertemu dengan Nabi Yahya a.s. dan Nabi Isa a.s.
3. Langit Ketiga , Nabi Muhammad saw., bertemu dengan Nabi Yusuf a.s.
4. Langit keempat, Nabi Muhammad saw., bertemu dengan Nabi Isris a.s.
5. Langit kelima, Nabi Muhammad saw., bertemu dengan Nabi Harun a.s.
6. Langit keenam, Nabi Muhammad saw., bertemu dengan Nabi Musa a.s.
7. Langit ketujuh, Nabi Muhammad saw., bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s.
Dalam perjalan pulang setelah mendapat perintah shalat selama 50 kali, Nabi Musa memperingatkan hal itu, hingga Nabi Muhammad saw, mendapat keringanan dari Allah menjadi 5 kali sehari dalam perintah shalat untuk umat Muhammad saw.
Demi hikmah ini dan semacamnya, kita meliaht bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi beberapa masa sebelum Baiat Aqabah I atau antara dua baiat Aqabah. Allahu a’lam.

Apakah Rasulullah Melihat Allah SWT?

Para sahabat berselisih tentang apakah Rasulullah melihat Rabb-nya pada malam itu atau tidak?
Sebuah riwayat yagn shahih dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa ia melihat Tuhannya. Dan riwayat lain yang juga shahih darinya mengatakan bahwa ia melihat Allah dengan hatinya. (HR Muslim).
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan dari Aisyah dan Ibnu Mas’ud yang mengingkari hal itu. Keduanya berkata bahwa firman Allah, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu di Sidratul Muntaha ..... Kata ganti orang ketiga di ayat tersebut, yakni Jibril. (HR. Bukhari dan Muslim).
Riwayat yang shahih dari Abu Dzar menyebutkan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah engkau melihat  Rabb-mu?” Beliau bersabda, “Sebuah cahaya, bagaimana aku bisa melihat-Nya.” Maksudnya, ada cahaya yang menghalangi antara akud an Dia.s ebagaimana tertera dalam riwayat lain. “Aku melihat cahaya.” (HR Muslim).

BEBERAPA HAL YANG DILIHAT NABI SAW.
Allah SWT Memperlihatkan Baitul Maqdis kepada Rasulullah saw.

Di pagi hari Rasulullah saw., menyampaikan risalah-risalah yang telah beliau terima dari Allah SWT tentang ayat-ayat-Nya yagn agung kepada umatnya setelah perjalan Isra’ dan Mi’raj. Namun mereka makin mendustakannya, menyakitinya, dan membahayakannya. Bahkan, mereka memintanya untuk menjelaskan detail Baitul Maqdsis. Akhirnya Allah memperlihatkan kepada Nabi saw., sehingga beliau dapat menjelaskannya dengan detail. Lalu, diterangkanlah tanda-tanda kebesarn-Nya dan mereka tak dapat mengingkarinya sedikit pun (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw, juga menjelaskan tentang kafilah yang melakukan perjalanan dan akan kembali. Beliau memberi tahu tentang waktu kedatangan mereka dan unta yang mereka tunggangi. Dan begitulah faktanya seperti apa yang ia sampaikan (HR Ahmad).
Meskipun demikian, ternyata hal itu makin membuat mereka jauh dari kebenaran dan orang-orang yagn zalim makin kufur.
Dari Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw, bersabda, “Ketika aku dinaikkan ke langit; di saat aku berjalan-jalan di surga, aku melewati sebuah sungai yang di kedua sisinya terdapat kubah-kubah permata berongga. Aku bertanya, “Wahai Jibril, apa ini?” Jibril menjawab, ini adalah Kautsar yang dijanjikan Tuhanmu.” Dan ternyata tanahnya terdiri atas misik yang sangat harum.” (HR Bukhari dan Turmudzi).
Dari Sulaiman asy-Syaibany berkata, “Aku bertanya inti dari firman Allah Ta’ala, “Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat lagi.” (QS an-najm (53) 9). Abdullah memberi tahu bahwa Muhammad saw., melihat Jibril dan ia memiliki 600 sayap.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, “Dalam perjalanan Isra’ Rasulullah saw, sampai menuju Sidratul Muntaha, yang berada di langit keenam. Di sanalah semua yang naik dari bumi berakhir perjalanannya dan digenggam (semua yang darang) darinya. Di sana pula semua yang turun dari atasnya berhenti, lalu digenggam. Allah berfirman, “(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.” (QS. an-Najm (53) : 16). Rasulullah berkata, (Yang meliputi Sidratul Muntaha) kasur-kasur dari emas.” Lalu, Rasulullah saw, diberi tiga hal : diwajibkan atasnya shalat lima waktu, diturunkan kepadanya ayat-ayat terakhir Surat al-Baqarah, dan diampuni orang-orang yang beruat sesuatu yang menjerumuskannya ke neraka selama ia tidak menyekutukan Allah.” (HR Muslim).
Dari Ibunu Abbas r.a. tentang firman Allah, “ .... Dan Kami tidak menjadikan ru’ya yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia .... (QS al-Isra’ (17) : 60).” Ru’ya di ayat tersebut adalah sesuatu yang dilihat Rasulullah dengan mata kepala beliau pada malam Isra’ ke Baitul Maqdis. Adapun  “..... dan (begitupula) pohon yang terkutuk dalam Al-Qur’an ....” pohon itu adalah az-Zaqqun. (HR Bukhari).
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi satu tahun sebelum hijrah Rasulullah. Demikian menurut al-Qadhy Iyyadh dalam Asy-Syafa bil Huquq al-Mushtafa.

Sikap Abu Bakar ash-Shiddiq dalam Kisah Ira’ dan Mi’raj

Tentang perjalanan Isra’ dan Mi’raj, kaum musyrikin datang kepada Abu Bakar. Mereka berkata, “Sahabatmu mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan menuju Masjid al-Aqsha pada malam kemarin, sedangkan kami menempuh jarak itu dengan unta selama sebulan penuh.”
Abu Bakar berkata, “Jika ia mengatakan begitu, ia telah benar (dalam perkataannya).”
Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa ash-Shiddiq segera membenarkan apa yang dikatakan Rasulullah. Ia berkata, “Aku mempercayai kabar langit pagi atau sore, apakah aku tidak memercayai kabar tentang Baitul Maqdis!?”
Dari peristiwa itulah ia diberi gelar ash-Shiddiq (orang yang senantiasa memercayai). Sebab, pada saat perjalanan Isra’ Nabi saw, berkata, “Sungguh kaumku tidak akan memercayaiku.” Maka Jibril berkata, “Abu Bakar akan memercayaimu. Ia adalah ash-Shiddiq. Dan Ali bin Abi Thalib bersumpah bahwa Allah memberi gelar ash-Shiddiq kepada Abu Bakar dari langit.” (HR Thabrani).

Masjid al-Aqsha yang Kami Berkahi Sekelilingnya

Al-Qasimy berkata, “Al-Aqsha berarti yagn paling jauh. Disebut demikian karena jaraknya yang jauh dari Makkah. Dan Firman-Nya, “.... Yang telah Kami berkahi sekelilingnya...” (QS. al-Isra’ (17), yakni sisi-sisinya dengan keberkahan agama dan dunia. Sebab, tanah suci tersebut adalah tempat tinggal para Nabi, tempat turunnya wahyu untuk mereka, serta tempat tumbuhnya berbagai tanaman dan buah-buahan. Keberkahan Ilahi melingkupi semua arahnya. Jadi, keberkahannya berlipat-lipat karena ia terletak di tanah yang berkah. Begitu juga, entitasnya sebagai satud ari Masjid Allah yang paling agung. Masjid adalah rumah Allah dan karena ia tempat ibadah para nabi, tempat tinggal mereka, dan tempat turunnya wahyu untuk mereka sehingga masjid ini diberkahi oleh Allah dengan keberkahan para nabi. Begitu juga, masjid ini juga memberikan keberkahannya untuk mereka.”

Karakteristik al-Aqsha

- Tempat beribadah para nabi
- Tempat Isra’ penutup Nabi.
- Dari sanalah Mi’raj Rasulullah saw dimulai menuju langit-langit yang tinggi.
- Tempat terjadinya peristiwa teragung.
- Rumah tempat Allah memuliakan ayat-ayat-Nya yang jelas.
- Tempat dibacakannya empat kitab yang telah diturunkan oleh Allah kepada nabi-nabi-Nya. oleh karena itu, Allah menggenggam matahari melalui Yusya’ dengan tidak membenamkannya agar mudah menaklukkannya bagi mereka yang dijanjikan oleh Allah dan mendekat.
- Kiblat shalat bagi dua agama sebelum Islam dan bagi kaum muslimin pada awal munculnya Islam setelah dua periode hijrah.
- Kiblat yang pertama bagi kaum muslimin.
- Masjid yang kedua setelah Masjid al-haram.
- Tempat suci ketiga setelah Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi.
- Tentangnya Rasulullah bersabda, “Hendaknya suatu perjalanan tidak dilakukan setelah perjalanan ke dua masjid, kecuali ke Masjid al-Aqsha, setelah dua tempat itu, tidak ada tempat lain yang harus dijaga, kecuali Masjid al-Aqsha.”

Keutamaan Masjid al-Aqsha

Di antara keutamaannya, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa’, Hakim,dan ia menshahihkannya. Dan Ibnu Umar mengatakanb bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sulaiman ketika membangun Baitul Maqdis, ia meminta Allah tiga hal. Allah mengabulkan dua permintaannya, dan aku mengaharap yang ketiga.
1. Ia meminta hukum yangs esuai dengan hukumnya, Allah mengabulkannya.
2. Ia meminta kerajaan yang tidak akan pernah dimiliki seseorang sesudahnya, Allah pun mengabulkannya.
3. Ia meminta siapa pun yang pergi dari rumahnya, ia hanya ingin sahalt di masjid ini (Baitul Maqdis), ia keluar dari masjid itu seperti pada hari ia dilahirkan ibunya.
Nabi saw berkata, “Kita berharap semoga Allah mengabulkan hal itu.” (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim).
Kita memohon kepada Allah SWT agar menyucikan Masjid al-Aqsha dari orang-orang yahudi yang kotor dan mengembalikannya kepada kaum muslimin, setelah mengembalikan kaum muslimin pada gama-Nya dan sunnah Rasul-Nya saw.

Nabi saw. Berdakwah kepada Kabilah-Kabilah

Rasulullah saw sangat menginginkan dapat berkumpul dengan orang banyak dan menyampaikan kepada mereka tentang dakwah Islam. Beliau saw selalu mencari tempat-tempat berkumpul kabilah-kabilah, khususnya di musijm haji dan waktu-waktu diadakannya pasar-pasar  Arab. Ketika beliau dapat bertemu dengan para kepala kabilah sebagai pemegang kebijakan, beliau meminta kepada mereka untuk melindunginya, tanpa memaksa seorang pun untuk menerima dakwahnya.
Seseorang dari Bani Malik bin Kinanah berkata, “Aku melihat Rasulullah di Pasar Dzu al-Majaz menyusurinya, sambil berkata,”Wahai manusia, katakan tiada Tuhan selain Allah, maka kalian akan beruntung.” Abu Jahal menaburinya dengan pasir dan berkata, “Jangan sampai orang ini memalingkan kalian dari agama kalian. Dan menginginkan kalian meninggalkan tuhan-tuhan kalian, meninggalkan Latta dan Uzza.” Rasulullah saw sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Aku berkata, “Ceritakan tentang Rasulullah saw.” Ia berkata, “Mengenakan dua potong pakaian berwarna merah, berperawakan sedanf dan tegap, tampan, rambutnya sangat hitam, kulitnya putih, dan rambutnya diwarnai.” (HR Ahmad).
Dari al-Harits bin al-Harits berkata, “Aku bertanya kepada ayahku, “Ada apa di kerumunan itu?” Jawabnya, “Mereka sedang berkumpul dengan seorang yang beralih agama.” Lalu, kami turun. Ada Rasulullah di sana sedang menyeru manusia untuk mengesakan Allah SWT dan beriman kepadanya. Namun, mereka menolaknya dan menyakitinya sampai tengah hari. Keramaian itu bubar, lalu datang seorang perempuan yang tulang dada atasnya terlihat membawa bejana air dan sapu tangan. Lalu, Rasulullah mengambilnya dari perempaun itu, kemudian minum dan wudhu. Kemudian Rasulullah mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai anakku, tutuplah dadamu (berkerudunglah) dan jangan kamu khawatirkan ayahmu.” Kami bertanya, “Siapa perempaun itu?” Mereka berkata, “Dia Zainab, putrinya.” (HR Ahmad).
Dari mudrak berkata, “Aku pergi haji bersama ayahku. Ketika aku sampai di Mina, kami melihat sekelompok orang. Aku bertanya keapda ayahku, “Ada apa di kerumunan itu?” Jawab ayahku, “Dia adalah orang yang berpaling dari agama kaumnya.” Ternyata dia adalah Rasulullah saw sedang berdakwah, “Wahai manusia, katakan, “Tiada Tuhan selain Allah” maka kalian akan beruntung.” (HR Ahmad).
Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Rasulullah menyeru manusia di tempat wukuf, Arafah. Ia berkata, “Apakah ada seseorang yang mau membawaku pada kaumnya karena Quraisy melarangku menyampaikan kala Tuhanku SWT. Kemudian datang kepada beliau seseorang dari Hamadzan. “Anda dari kabilah mana?” tanya Rasulullah.
“Dari Hamadzan.” Kata laki-laki itu.
“Apakah kaummu mau melindungku?” tanya Rasulullah lagi.
“Ya.” Jawabnya.
Namun, laki-laki ini takut jika kaumnya mengkhianatinya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Aku akan mendatangi mereka dan memberi tahu mereka, kemudian aku akan datang kepadamu bersama yang lain.”
“YA.” Jawabnya. Kemudian ia pergi dan pada bulan Rajab,d atanglah utusan Anshar.” (HR Ahmad).

Islamnya Iyyas bin Mu’adz

Dari mahmud bin Labid, dua saudara Bani Abdul Asyhal berkata, “Ketika Abu al-haysar  Anas bin Nafi’ (ke Makkah), bersamanya ada beberapa pemuda dari Bani al-Asyhal, di antara mereka ada Iyyas bin Mu’adz. Mereka datang untuk mencari dukungan dari Quraisy untuk kaum mereka al-Khazraj. Rasulullah saw mendengar tentang mereka, lalu mendatangi mereka dan duduk di majelis mereka. Beliau saw, berkata, “Apakah kalian menginginkan sesuatu yang lebih baik dari tujuan kalian datang ke sini?” mereka berkata, “Apakah itu?” Rasulullah berkata, “Aku utusan Allah yang diutus kepada hamba-hamba-Nya. aku menyeru kepada mereka menyambah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan apa pun serta menurunkan kepadaku sebuah kitab.” Kemudian beliau menerangkan Islam dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Lalu, Iyyas bin Mu’adz – yang pada saat itu hanya anak kecil – berkata, “Wahai kaumku, demi Allah, ini lebih baik daripada apa yang kalian cari di sini.” Abu al-Haysar Anas bin Nafi’ mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke wajah Iyyas bin Mu’adz dan berkata, “(Cukup) Biarkan kami, demi hidupku, kita datang kemari untuk selain itu.” Iyyas pun terdiam. Rasulullah saw pun bangkit dan mereka pun pulang ke Madinah. Pada saat itu terjadi peperangan Bu’ats antara Aus dan Khazraj . beberapa saat kemudian, Iyyas bin Mu’adz meninggal. Muhammad bin Labid berkata, “Mereka dari kaumku yagn hadir di saat ajalnya datang memberitahuku bahwa mereka mendengar ia mengucapkan tahlil, takbir, tahmid, dan tasbih, hingga ia meninggal!” Mereka tidak meragukan lagi bahwa Iyyas mati sebagai muslim. Ia telah memancarkan Islam di Majelis itu ketika iia mendengar dakwah Rasulullah.”  (HR Ahmad dan Thabarani).

Suwaid bin Shamit Memeluk Islam

Suwaid bin Shamit adalah pernyair cerdas dari penduduk yatsrib. Kaumnya menamainya dengan al-Kamil (yang sempurna, karena kulitnya, rambutnya, kemuliaannya, dan nasabnya). Ia datang ke Makkah untuk menunaikan haji atau umrah. Kemudian Rasulullah saw menyerunya pada Islam. Suwaid berkata, “Sepertinya apa yang ada padamu seperti yang ada padaku.”
“Apa yang ada kepadamu?” tanya Rasulullah.
“Hikmah Luqman.” Jawabnya.
“Paparkan kepadaku.” Pinta Rasulullah.
Maka dia pun membacakannya untuk Rasulullah, lalu beliau saw berkata, “Ini perkataan yang baik, tetapi yang ada pada diriku lebih baik dari itu. Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah untukku adalah petunjuk dan cahaya.”
Lalu, Rasulullah membacakan Al-Qur’an dan menyerunya pada Islam, akhirnya ia pun memeluknya. Ia berkata, “Sesungguhnya ini benar-benar perkataan yang baik.” Ketika ia pulang ke Madinah, tak lama kemudian ia terbunuh pada peperangan Bu’ats. Ia memeluk Islam di awal tahun ke-11 kenabian.

Enam Orang Penduduk Yatsrib yang Baik

Pada musim haji tahun 11 kenabian, tepatnya pada bulan Juli 610 M, dakwah Islamiyah mulai mendapat benih=benih baik yang dalam waktu cepat berubah menjadi pohon-pohon yang berbuah lebat. Kaum muslimin terlindungi dalam naungannya yang teduh dari kezaliman dan penindasan yang berlangsung bertahun-tahun.
Di antara hikmah yang didapat oleh Rasulullah terhadap pengingkaran dan perlawanan penduduk Makkah, yaitu :
1. Rasulullah menemui kabilah-kabilah di kegelapan malam agar tidak ada seorang pun dari penduduk Makkah yang menghalangi antara beliausaw dan kabilah-kabilah itu.
2. Beliau saw juga pernah pergi di malam hari bersama Abu Bakar dan Ali. Mereka melewati rumah-rumah Dzuhl dan Syaiban bin Tsa’labah, kemudian berbicara tentang Islam kepada mereka.
3. Terjadi diskusi yang seru antara Abu Bakar dan seseorang dari Dzuhl Bani Syaiban membalas dengan baik dakwah ini, hanya saja mereka tidak menerima Islam sebagai agama mereka.
4. Rasulullah lewat di perkampungan Aqabah, Mina. Beliau mendengar beberapa orang bercakap-cakap, kemudian beliau pergi menemui mereka. Mereka adalah enam orang pemuda Yatsrib dari Khazraj. :
a. As’ad bin Zararah (dari Bani an-Najjar).
b. Auf bin al-Harits bin Rifa’ah, putra Afra’ (dari Bani an-Najjar).
c. Rafi’ bin Malik bin al-‘Ajlan (dari Bani Zuraiq).
d. Qutbah bin Amir bin Hadidah (dari Bani Salamah).
e. Uqbah bin Amir bin Nabi (dari Bani Haram bin Ka’l).
f. Jabir bin Abdullah bin Ri’ab (dari Bani Ubaid bin Ghanam).
Ibnu Ishaq berkata, “Ashim bin Umar bin Qatadah megnatakan kepadaku dari tokoh-tokoh dari kaumnya. Mereka berkata, “Ketika Rasulullah menemui mereka, beliau bertanya, “Siapa kalian? Mereka berkata, “Kami dari Khazraj.” Tanyanya lagi, “Apakah kalian pelayan-pelayan orang yahudi?” Jawab mereka, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Maukah kalian duduk bersamaku, aku ingin becara kepada kalian?” Mereka menyahut, “Tentu.” Lalu, Rasulullah duduk bersama mereka dan menyeru mereka kepada Allah SWT, menawarkan kepada mereka Islam, dan membcakan kepada mereka Al-Qur’an.”
Menurut Ibnu Ishaq, “Dari yang telah Allah buat pada mereka dalam Islam bahwa orang-orang Yahudi yang ahli kitab dan ilmu telah bersama mereka di negeri mereka. Merka adalah orang-orang musyrikin dan pagan. Kaum Yahudi mendominasi atas mereka di negara mereka. Ketika terjadi sesuatu di antara mereka, nereka berkata, “Sesungguhnya seorang nabi diutus saat ini dan telah datang waktunya. Kami akan mengikutinya dan kami akan membunuh kalian, sebagaiman terbunuhnya ‘Ad dan Iram.”
Ketika Rasulullah berbicara dengan mereka dan menyeru mereka kepada Allah, sebagian dari mereka berkata, “Wahai kaumku, demi Allah, kalian tahu bahwa dia adalah Nabi yang disebut oleh orang-orang Yahudi, jangan sampai mereka mendahului kita. Mereka menerima dakwah Rasulullah, beriman kepadanya dan menerima Islam yang dipaparkan olehnya.”
Mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah meninggalkan kaum kami dan tidak ada kaum yang tak bermusuhan dan berbuat kejahatan. Mduah-mudahan Allah mengumpulkan mereka di tanganmu. Kami akan datang kepada mereka dan menyeru mereka pada dakwahmu, lalu menawarkan kepada mereka agama yang telah kami anut. Jika Allah menyatukan mereka, tak ada seseorang yang lebih mulia dari engkau.”

Baiat Aqabah Pertama

Enam orang dari penduduk Yatsrib telah menyatakan keislamannya pada musim haji tahun 11 kenabian. Mereka menjajikan kepada Rasulullah untuk menyampaikan risalah kepada kaum mereka. Hasilnya, pada musim haji tahun berikutnya, yaitu tahun ke-12 kenabian, bertepatan dengan bulan Juli 621 M, datanglah 12 orang laki-laki. Lima dari mereka adalah enam orang yang pernah bertemu Rasulullah saw, pada tahun yang lalu. Satu dari enam orang itu yang tidak hadir adalah Jabir bin Abdullah bin Ri’ab. Sedangkan, tujuh orang lainnya adalah Mu’adz bin al-Harits, Dzakwan bin Abdul Qayyis, Ubadah bin ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abbas bin Ubadah bin Nadillah, Abu al-Haitsam bin at-Tihan, dan Uwaimar bin Sa’idah.
Dari Utbah bin ash-Shamit r.a. berkata, “Aku di antara mereka yang hadir di Perjanjian Aqabah I, kami berjumlah 12 orang. Kami berbaiat kepada Rasulullah saw, atas kaum wanita dan itu terjadi sebelum peperangan disyariatkan. Kami berbaiar untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak melakukan kekejian yang dilakukan oleh tangan ataupun kaki, dan tidak mendurhakai Allah dalam kebaikan. “Jika kalian setia pada janji ini, untuk kalian surga. Namun, jika kalian menghianatinya satu di antaranya, urusan kalian kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia menyiksa kalian. Jika Dia berkehendak, Dia mengampuni kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Perjanjian Aqabah I

1. Tidak menyekutukan Allah dengan apa pun.
2. Tidak mencuri.
3. Tidak berzina.
4. Tidak membunuh anak-anak.
5. Tidak melakukan kekejian oleh tangan dan kaki.
6. Tidak mendurhakai Allah dalam kebaikan.

Duta Dakwah Pertama ke Madinah

Utusan al-Anshar menyelesaikan baiatnya, kemudian kafilah mereka kembali ke Yatsrib. Nabi berpikir untuk mengirim seseorang yang dipercaya dari para pengikutnya kepada mereka agar dapat memantau perkembangan Islam di Madinah, membacakan Al-Qur’an kepada penduduknya, dan makin memahamkan kepada mereka tentang agama ini. Akhirnya, jatuhlah pilihan beliau pada diri Mush’ab bin Umar untuk menjadi pengajar yang terpercaya itu.
Mush’ab pun sangat sukses dalam mengamban dakwah Islam dan membuat banyak orang berkumpul kepadanya. Ia juga dapat melalui segala kesulitan yang selalu menghadang setiap orang asing yang baru menapakkan kaki di negeri orang. Ia berusaha untuk mengalihkan orang dari nilai-nilai warisan yagn mereka karang ke sebuah tatanan baru, yagn melingkupi era saat ini dan masa depan, yang mencakup iman dan amal, moral dan perilaku.
Dari riwayat Ibnu Ishaq, ia berkata, “Ashim bin Umar bin Qatadah mengabarkan kepada saya bahwa Rasulullah mengutus Mush’ab ketika mereka menulis surat meminta beliau untuk mengutusnya kepada mereka karena ia pernah mengimami mereka shalat. Hal itu karena Aus dan Khazraj tidak suka jika salah satu dari mereka mengimami yang lain --- mereka yang dari kabilah Khazraj tidak mau diimami oleh Kabilah Aus dan sebaliknya – semoga Allah meridhai mereka semua.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Ubaidillah bin Mugirah bin Mu’aiqib dan Abduillah bin Abi Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm mengabarkan, ‘As’ad bin Zararah keluar bersama Mush’ab dan Umair ingin berkunjung ke perkampungan Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar. Sa’ad bin Mu’adz an-Nu’man putra Umru’ul Qays bin Zubair bin Abdul Asyhal adalah putra bibi As’ad bin Zararah. Lalu, ia memasuki sebuah rumah di perkampungan Bani Zhafar, yang dinamakan Bi’r Maraq. Keduanya duduk di sana, yang sudah ebrkumpul juga beberapa pemeluk Islam. Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Khudair, yang pada saat itu adalah pemimpin kaumnya dari Bani Abdul Asyhal. Kedua orang ini musyrik, yang mengikuti agama kaumnya. Kedika keduanya mendengar tentang Mush’ab, Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada usaid bin Khudair, “Aku berdoa untukmu, pergilah kepada kedua orang yang telah datang ke rumah kita untuk membodohi orang-orang yang lemah di antara kita. Bentaklah mereka dan laranglah untuk tidak mendatangi rumah-rumah kita. Kalau saja bukan karena As’ad bin Zararah kerabatku, dan kau tahu itu, maka kau bisa membunuhnya. Namun, dia adalah anak bibiku, aku tidak punya celah untuk itu.”
Kemudian Usaid bin Khudair pun mengambil tombaknya dan mendatangi mereka. Ketika As’ad bin Zararah melihatnya, ia berkata kepada Mush’ab, “Ini adalah pemimpin kaumnya telah datang kepadamu, minta tolonglah kepada Allah dalam hal ini.”
Mush’ab berkata, “Jika ia duduk, aku akan berbicara dengannya.”
Usaid datang dengancelaan dan hinaan pada mereka, ia berkata, “Ada apa kalian datang kemari, mau memperdaya orang-orang yang lemah di antara kami? Tinggalkan kami jika kalian masih membutuhkan diri kalian.”
Mush’ab berkata, “Tak maukah kamu duduk sejenak dan mendengarkan kami? Jika kamu suka dengan perkara ini, kamu bisa menerimanya, tetapi jika tidak, tinggalkan saja.”
“Kau benar.” Kata Usaid. Lalu, ia meletakkan tombaknya dan duduk bersama kedua orang itu. Mush’ab memberitahunya tentang Islam dan membacakan Al-Qur’an untuknya.
Menurut riwayat dari Sa’d dan usaid, keduanya berkata, “Demi Allah, kami telah melihat Islam di wajah Mush’ab sebelum ia berbciara, dalam pancaran wajahnya dan keramahannya.”
Setelah dibacakan Al-Qur’an, ia berkata, “Alangkah bagusnya kalam ini dan alangkah cantiknya. Apa yang kalian lakukan jika kalian ingin masuk pada agama ini?”
 Mush’ab menjawab, “Kau mandi, bersuci, dan sucikan pakaianmu, kemudian kauucapkan syahadat kebenaran, lalu shalat.”
Usaid pun bangkit untuk mandi dan menyucikan badan dan pakaiannya, bersyahadat, lalu berdiri menunaikan dua rakaat shalat. Kemudian ia berkata kepada keduanya, “Di belakangku ada seseorang yang mana jika ia mengikutimu maka tak seorang pun dari kaumnya yang menetangnya. Aku akan memanggilnya untuk kalian sekarang ... Sa’ad bin Mu’adz.”
Lalu, Usaid mengambil tombaknya dan pergi menuju Sa’ad dan kaumnya. Mereka sedang dududuk di balai pertemuan mereka. Ketika Sa’ad melihatnya datang, ia berkata, “Aku bersumpah demi Allah, Usaid datang kepada kalian bukan dengan wajah ketika ia pergi dari sini.” Ketika ia sampai ke balai itu, Sa’ad berkata keepada Usaid, “Apa yang terjadi?”
“Aku telah berbincang-bincang dengan mereka, demi allah, aku tidak melihat sesuatu yang membahayakan dari mereka dan aku telah mearang mereka. Kita lakukan apa yang kau mau. Ada yang mengatakan kepadaku bahwa Bani Haritsah telah pergi menuju As’ad bin Zararah untuk membunuhnya dan itu terjadi karena mereka tahu bahwa dia adalah anak bibinya. Mereka ingin membatalkan perjanjian denganmu.”
Seketika Sa’ad bangkit marah, khawatir atas apa yang hendak dilakukan Bani Haritsah. Lalu, ia mengambil tombaknya, kemudian berkata, “Demi Allah, Aku tidak melihatmu tidak membutuhkan sesuatu.” Kemudian ia pergi menuju Mush’ab dan As’ad. Ketika As’ad melihat mereka berdua tenang. Sa’ad tahu bahwa Usaid hanya ingin ia mendengarkan dari mereka berdua. Ia pun berdiri di depan mereka sambil menghina mereka. Kemudian ia berkata kepada As’ad bin Zararah, “Wahai Abu Umamah, demi Allah, jika bukan karena hubungan kerabat antara kau dan aku, aku tidak akan melakukan hal ini. Apakah kalian hendak memperdaya kamid i rumah kami dengan sesuatu yang dibenci?” As’ad bin Zararah sebelumnya telah mengatakan kepada Mush’ab bin Umair, “Wahai Mush’ab, demi Allah, telah datang kepadamu seorang pemimpin kaumnya. Ia ia mengikutimu, maka tak seorang pun dari kamunya yang berseberangan dengan mereka berdua (Sa’ad dan usaid).”
Mush’ab berkata kepada Sa’ad, “Maukah kamu duduk dan mendengar? Jika kau rela dan menginginkan perkara ini, kau dapat menerimanya. Jika kau tidak menyukainya, kami tak kan memaksamu.”
“Kau benar,” kata Sa’ad. Lalu, ia melatakkan tombaknya dan duduk. Mush’ab menawarkan Islam kepada dan membacakan Al-Qur’an.
Menurut riwayat dari Sa’ad dan Usaid, keduanya berkata, “Demi Allah kami telah melihat Islam di wajah Mush’ab sebelum ia berbicara, dalam pancaran wajahnya dan keramahannya.”
Setelah dibacakan Al-Qur’an, Sa’ad berkata, “Alangkah bagusnya kalam ini dan alangkah cantiknya. Apa yang kalian lakukan jika kalian ingin masuk pada agama ini?”
Mush’ab menjawab, “Kau mandi, bersuci, dan sucikanlah pakaianmu, kemudian kau ucapkan syahadat kebenaran, lalu shalat.”
Sa’ad bergegas mandi, menyucikan badan dan pakaiannya, bersyahadat, lalu berdiri menunaikan dua rakaat shalat. Setelah itu, ia mengambil tombaknya dan pergi menuju balai pertemuan kaumnya dan bersamanya ada usaid bin Khudair.
Ketika ia datang kepada kaumnya, mereka berkata, “ Kami bersumpah, demi Allah, Sa’ad datang kepada kalian bukan dengan wajah ketika ia pergi dari sini.” Ketika Sa’ad sampai ke balai itu, ia berkata, “Wahai Bani Abdul Asyhal, apa pendapat kalian tentang diriku?”
“Engkau tuan kami dan pendapatmu paling bijak di antara kami, selalu memperhatikan tuntutan kami,” kata kaumnya.
“Oleh karena bericara dengan kalian, laki-laki dan perempauan, terlarang bagiku sampai kalian belum beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Keduanya berkata, “Sore itu, tak satu rumahpun di perkampungan Bani Abdul Asyhal, baik laki-laki maupun perempuan, melainkan mereka telah menjadi muslim dan muslimah. As’ad dan Mush’ab pulang ke rumah As’ad dan bermukim di sana, menyeru manusia pada Islam. Hingga tak ada lagi rumah-rumah Anshar, melainkan di sana terdapat muslim dan muslimah. Kecuali rumah Bani Umayyah bin Zaid, Khatmah, Wa’il, dan Waqif. Mereka berasal dari keturunan Aus bin Haritsah. Itu disebabkan adanya Abu Qays bin al-Aslat, namanya Shayfi. Ia penyair dan pemimpin bagi mereka. Mereka mendengarkannya, menaatinya, hingga Perang Khandaq terjadi, mereka belum menerima Islam.” (HR. Ibnu Ishaq).

Baiat Aqabah Kedua

Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Rasulullah saw, selama sepuluh tahun terus mendatangi tempat-tempat mereka di Ukaz dan Majnah. Pada musim haji di Mina, beliau berkata, “Barangsiapa mendukungku, menolongku hingga aku dapat menyampaikan risalah Tuhanku, baginya surga.” Hingga ketika seorang laki-laki yang dari Yaman atau Mudhar (begitu beliau mengatakan), lalu kaumnya datang kepadanya dan mengatakan, “Hati-hati dengan seseorang anak dari Quraisy. Jangan sampai ia memperdayamu, ia berjalan di antara para pelancong dan menunjukkan jari. Sampai ketika Allah mengutus kami dari Yatsrib, kami melindunginya dan beriman kepadanya. Seseorang dari kami pergi bertemu dengannya, lalu beriman kepadanya. Ia membacakan Al-Qur’an untuknya. Lalu, laki-laki itu kembali kepada kaumnya dan mereka memeluk Islam dengan keislamannya. Hingga tidak ada lagi rumah-rumah Anshar, melainkan di dalamnya terdapat sekumpulan muslim, yang berjuang untuk Islam, kemudian semuanya bersatu membela urusan mereka.”
Kemudian kami katakan, “Sampai kapan kita membiarkan Rasulullah diusir di pegunungan Makkah dan dalam keadaan takut?”
Kemudian 70 orang laki-laki dari kami pergi menemuinya pada musim haji. Kami menjanjikan beliau bertemu di lembah Aqabah. Kami berkumpul di sana, satu dua orang datang, hingga genap jumlah kami. Kami katakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pada apa kami berbaiat kepadamu?”
Rasulullah menjawab, “Berjanjilah kepadaku untuk senantiasa mendengar dan taat kepadaku, baik ketika rajin maupun malas, selalu memerintahkan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan hendaknya kalian mengatakan kepada Allah, “Kami tidak takut celaan orang-orang yang mencela di jalan Allah.” Selalu menolongku dan melindungiku jika aku datang kepada kalian, sebagaimana kalian melindungi diri kalian, istri-istri kalian, dan anak-anak kalian ...... maka bagi kalian surga.” Kami pun bangkit dan berbaiat kepadanya.
Lalu, As’ad bin Zararah memegang tangan Rasulullah, ia orang yang paling muka di antara mereka. Ia berkata, “Sebentar, wahai penduduk yatsrib. Kita tidak melecut unta (pergi) kepadanya, melainkan kita tahu bahwa ia utusan Allah, mengeluarkannya (dari Makkah) saat ini berarti pernyataan perang dan permusuhan terhadap bangsa Arab seluruhnya, pembunuhan atas orang-orang terpilih di antara kalian, dan pedang-pedang akan menebas leher kalian. Jika kalian kaum yang sabar atas itu semua, pahala kalian dari Allah. Jika kalian khawatir atas diri kalian dan pengecut, ketahuilah itu menjadi halangan kalian di sisi Allah.”
Mereka berkata, “Menjauhlah, ya As’ad. Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan baiat ini selamanya dan juga tidak akan menolaknya selamanya.”
Kemudian kami berbaiat kepadanya. Beliau pun menggenggam janji kami dan mengikatnya, lalu beliau saw, memberi kami surga.” (HR Ahmad, Baihaqi, Hakim, dan adz-Dzahabi).

Barang Dijual Seharga Surga

Dari Jabir bin Abdullah r.a., “Pamanku, kakek Ibnu Qais, membawaku dalam rombongan 70 orang berkendara dari kaum Anshar, yang akan mendatangi Rasulullah pada malam hari di Aqabah. Lalu, Rasulullah datang kepada kami dan bersamanya ada pamannya. Abbas bin Abdul Muthalib. Dia berkata, “Wahai paman, perhatikan paman-pamanmu (berjagalah) jika ada orang Quraisy datang).”
Kemudian 70 orang itu berkata kepada beliau saw, “Wahai Muhammad, mintalah untuk Tuhamu dan untuk dirimu apa pun yang kau inginkan.”
“Yang aku minta dari kalian untuk Tuhanku, kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Adapun yang kuminta dari kalian untuk diriku adalah kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri kalian,” sabda Rasulullah.
“Lalu, apa balasan untuk kami jika melakukan semua itu?” tanya mereka.
Rasulullah bersabda, “Surga.” (HR Thabrani).
Dari Anas dari Tsabit dari Qays r.a. ia adalah orang yang mempersembahkan diri kepada Rasulullah ketika berkhotbah dan berkata, “Ssungguh kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi diri kami dan anak-anak kami, lalu apa yang kami dapatkan, wahai Rasulullah?”
“Bagi kalian surga.” Jawab Rasulullah.
“Kami ridha,” kata mereka (HR Abu Ya’la dan Hakim).

Ka’ab bin Malik Menceritakan Peristiwa Bersejarah Agung Itu

Ka’ab bin Malik r.a. menceritakan tentang baiat yang penuh berkah itu. Ia berkata, “Kami pergi berhaji dan Rasulullah berjanji akan menemui kami di Aqabah pada saat hari Tasyriq. Ketika kami selesai melakukan haji dan tibalah malam yang dijanjikan Rasulullah. Bersama kami terdapat Abdullah bin Amru bin Haram Abu Jabir, salah satu pemimpin dari pemimpin-pemimpin kami, salah satu dari tokoh-tokoh kami. Kami membawanya bersama kami. Kami menyembunyikan hal ini kepada orang-orang musyrik di antara kami. Kemi berbicara kepadanya, kami katakan, “Wahai Abu Jabir, sungguh engkau adalah pemimpin di antara pemimpin-pemimpin kami, yang mulia di antara mereka yang mulia di kaum kami. Kami tidak menginginkan dengan apa yang kau anut saat ini (syirik) karena engkau akan menjadi kayu  bakar di neraka kelak.” Kemudian kami menyerunya memeluk Islam dan kami beritahu tentang rencana pertemuan kami nanti dengan Rasulullah di Aqabah. Ia pun memeluk Islam dan menyaksikan peristiwa Aqabah, bahkan ia menjadi pemimpin. Lalu, kami tidur malam itu bersama kaum kami di kendaraan kami. Memasuki sepertiga malam, kami keluar dari tempat kami bermalam untuk bertemu Rasulullah. Kami mengendap-endap seperti kucing pergi satu demi satu (tidak bergerombol) ketika kami berkumpul di lembah Aqabah. Jumlah kami 73 orang laki-laki dan 2 orang istri kami, yakni Nusaibah binti Ka’ab Ummu Umarah – seorang wanita dari Bani Mazin an-Najjar --- dan Asma’ binti Amru bin Addy bin Nabi --- ia berasal dari Bani Salamah --- dia adalah Ummu Muni.”

Abbas Hadir Bersama Rasulullah dan Meminta Kejujuran Baiat Al-Anshar

Ka’ab berkata, “Lalu kami berkumpul di Aqabah menunggu Rasulullah saw hingga beliau datang bersama pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, yang pada saat itu masih memeluk agama kaumnya. Hanya saja ingin mengetahui perkara keponakannya dan ia duduk tenang dengan keadaannya. Ketika ia duduk, orang yang pertama kali berbicara adalah Abbas bin Abdul Muthalib. Ia berkata, “Wahai kaum Khazraj (pada saat itu mereka menamakan daerah Anshar itu Khazraj), sesungguhnya Muhammad itu adalah bagian dari kami sebagaimana kalian kethaui, kami telah melindunginya dari kaum kami, yang mana mereka masih seperti kami (dalam beragama). Muhammad termuliakan di kaumnya, terlindungi di negerinya. Hanya saja ia enggan kecuali bersama kalian, menemui kalian. Jika kalian melihat bahwa kalian akan setia kepadanya dengan dakwah dan kalian menyeru kepadanya, melindunginya dari orang yang berseberangan dengannya, kalian dan apa yang kalian emabn dari dakwah itu. Jika kalian akan menyerahkannya, menghianatinya, setelah ia pergi bersama kalian, dari sekarang tingglkan ia dalam kemuliaan, perlindungan dari kaumnya, dan negerinya.”

Merekalah Sebenar-benarnya Pria

Kami katakan kepadanya, “Kami telah mendengar apa yang telah kaukatakan maka bicaralah, wahai Rasulullah, ambilah (dari kami) apa pun yang kau sukai untuk dirimu dan tuhanmu.”
Lalu, Rasulullah berbicara, membaca Al-Qur’an, berdoa kepada Allah SWT, dan menyemangati untuk senantiasa cinta pada Islam. Kemudian beliau bersabda, “Aku membaiat kalian untuk melindungiku sebagaimana kalian melindun gi istri-istri dan anak-anak kalian.”
Al-Barra’ bin Ma’rur mengambil tangannya, dan berkata, “Ya.” Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran sebagai nabi, kami akan senantiasa melindungimu sebagaimana kami melindungi istri-istri kami maka kami berbaiat, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah bangsa yang cerdik berperang dan lihai dalam menggunakan senjata. Kami mewarisinya dari pembesar ke pembesar yang lain.”
Ketika al-Barra’ berbicara kepada Rasulullah, Abu al-Haitsam bin at-Tihan menyanggah pernyataan Barra’, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anatara kami dan orang-orang yang ada di sini masih kerabat dan kami akan mengalahkan yahudi. Apakah jika kami dapat melakukan itu, lalu Allah memenangkannya, engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?”
Rasulullah saw tersenyumdan bersabda, “Tapi darah dengan darah, tanggunganku tanggungan kalian, aku adalah bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dariku, aku memerangi yang kalian perangi, dan berdamai dengan yang berdamai dengan kalian. Berikan kepadaku dua belas orang wakil dari kalian, yang mewakili kaumnya.”
Kemudian mereka memutuskan kedua belas orang itu sebagai wakil mereka; sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aus.

Setan Mengungkap Perjanjian

Ka’ab berkata, “Orang yang pertama kali menyambut tangan Rasulullah untuk berbaiat adalah al-Barra’ bin Ma’rur, kemudian semua orang mengikutinya. Ketika kami beraiat kepada Rasulullah saw’, setan berteriak dari puncak Aqabah dengan suara keras yang aku juga mendengarnya, “Wahai Ahl al-Habahib al-Manazil, apakah pada kalian terdapat pencela dan mereka yang berpaling dari agamanya (ash-Shabi’, sebutan untuk kaum muslimin di zaman Rasulullah)  ada bersamanya? Mereka telah ebrsatu untuk memanggil kalian.” Kemudian Rasulullah saw, bersabda, “Itu adalah setan Azabbul Aqabah, putra Azib .... apakah engkau mendengar, wahai musuh Allah? Demi Allah, aku akan menyelesaikan urusanku denganmu.”
                                                                
Kecerdasan Rasulullah dan Kebijaksanaannya

Rasulullah saw bersabda, “Berpencarlah menuju kendaraan-kendaraan kalian.”
Abbas bin Ubadah bin Nidhlah berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran. Jika engkau menghendaki, kami akan memerangi penduduk Mina besok dengan pedang-pedang kami.”
Rasulullah saw bersabda, “Kita belum diperintahkan untuk itu, sekarang pulanglah ke kendaraan kalian.”
Kami pun pulang ke tempat tidur kami dan kami tertidur di sana sampai pagi.

Quraisy dan Ketakutannya terhadap Baiat Itu

Kabar pembaiatan ini mengetuk telinga orang-orang Quraisy, kemudian terjadi kericuhan yang memicu kegelisahan dan kesedihan di kalangan mereka. Sebab, mereka betul-betul mengetahui dampak-dampak yang akan muncul dengan adanya baiat seperti ini, baik itu bagi diri mereka maupun harta mereka. Begitu pagi menjelang, para pemimpin Makkah dan pembesar-pembesarnya yang jahat datang ke perkemahan penduduk Yatsrib dalam jumlah banyak untuk mengungkapkan protes keras mereka terhadap perjanjian ini.
Ka’ab berkata, “Ketika pagi, orang-orang Quraisy datang kepada kami dalam jumlah banyak dan mereka sampai ke perkemahankami. Mereka berkata, “Wahai kabilah Khazraj, telah sampai kepada kami bahwa kalian telah datang kepada teman kami (Rasul saw.). kalian memintanya keluar dari belakang kami dan kalian berbaiat kepadanya untuk memerangi kami. Demi Allah, tidak ada satu daerah pund ari bangsa Arab yang membuat kami lebih murka dariapda pecahnya sebuah peperangan antara kami dan mereka, dibandingkan dengan kalian.”
Orang-orang musyrik dari kabilah kami bersumpah, “Demi Allah, tidak terjadi sesuatu yang mereka sampaikan tadi.” Ungkap mereka, “Kami tidak tahu.” Ka’ab berkata, “Mereka benar dan mereka juga tidak mengetahui. Dan kami saling memandang satu sama lain.” (HR. Ahmad dan Hakim).

Nama-Nama Wakil Kabilah

1. Wakil Kabilah Bani an-Najjar adalah As’ad bin Zararah.
2. Wakil Kabilah Bani Salamah adalah al-Barra’ bin Ma’rur dan Abdullah bin Amru bin Haram.
3. Wakil Kabilah Bani Sa’idah adalah Sa’ad bin Ubadah dan al-Mundzir bin Amru.
4. Wakil Kabilah Bani Zuraiq adalah Rafiq bin Malik bin al-‘Ajalan.
5. Wakil Kabilah Bani harits bin al-Khazraj adalah Abdullah bin Rawahan.
6. Wakil Kabilah Bani Auf bin al-Khazraj adalah Ubadah bin Shamit.
7. Wakil Kabilah Bani Abdul Asyhal adalah Usaid bin Hudair dan Abu al-Haitsman bin at-Tihan.
8. Wakil Kabilah Bani Amru bin Auf adalah Sa’ad bin Kaitsamah.

Baiat Aqabah

Itulah Baiat Aqabah, yang tercatat dalam dokumen dan tidak juga terjadi pembahasan (sidang) di sana. Spirit keyakinan, perngorbanan, dan keuletan yang mendominasi perkumpulan ini dan terefleksikan dalam setiap kata yang terucap. Tampak bahwa perasaan yang mendominasi bukan satu-satunya yang mengarahkan sebuah pembicaraan atau terdiktenya sebuah perjanjian ..... bukan, kalkulasi yang terjadi di masa depan dihitung dengan yang terjadi pada hari ini. Sesuatu yang dicintai diharapkan lebih dilihat terlebih dahulu, sebelum harta rampasan yang diragukan perolehannya.
Mereka datang dari Yatsrib dalam keadaan iman yang kuat dengan merespons panggilan untuk berkorban. Padahal, mereka mengenal Nabi saw, hanya sekilas, tetapi waktu memupuk iman mereka dan prasangka akan hal itu menghilang.
Meskipun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa sumber energi keberanian yang meletup dan kepercayaan ini berasal dari A;-Qur’an. Kalau saja Anshar sebelum baiat terbesar itu mereka belum menemani Rasulullah, kecuali beberapa saat, wahyu yang terpancar dari langit akan menerangi jalan bagi mereka dan menjelaskan tujuannya.
Pada periode Makkah hampir setengah Al-Qur’an telah turun, mengalir di lisan-lisan para penghafal Al-Qur’an, dan terekam dalam lembaran-lembaran di tangan penulis-penulis yang mulia dan berbakti. Al-Qur’an yang turun di Makkah menggambarkan pahala akhirat seakan-akan terlihat di depan mata.
Digambarkan seakan-akan engkau sedang memetik buah surga. Orang-orang Badui yang sedang bercinta dengan kebenaran itu dapat beralih sejenak dari detik-detik perjuangan di tengah gersangnya jazirah Arab ke sungai-sungai surga yang penuh kenikmatan dan minuman khamar yang tempatnya sudah dibeli (dengan nama-nama penghuninya).
Al-Qur;an menceritakan kisah-kisah para pendahulu, bagaimana kaum mukmin ikhlas kepada Allah sehingga mereka selamat bersama para rasul, begitu juga bagaimana kaum kafir menindas. Kelengahan memabukkan mereka, hingga mereka berbuat kerusakan dan menindas, lalu keadilan Tuhan datang. Akhirnya, orang-orang zalim itu musnah dan meninggalkan di belakang mereka dunia yang diatur (pencipta), tetapi mereka membinasakannya.
Mereka pergi dan mereka yang di bumi melaknat mereka seperti kebatilan yang kocar-kacir di depan kebenaran yang agung.
Kemudian Rasul membuat korelasi dengan keimanan ini, yang keluar dari dirinya hubungan cinta dan saling memenangkan antara berbagai macam karakter mukmin di Timur dan Barat.
Kaum muslimin di Madinah meskipun belum pernah melihat saudaranya yang lemah di Makkah, ia tetap cinta kepadanya, membelanya dan marah terhadap yang zalim kepadanya, serta berperang karenanya. Hal itu ketika kaum Anshar datang dari Yatsrib, dari kasih itu meluapkan loyalitas kepada orang yang mereka cintai karena Allah, tanpa harus bertatap mata.
Iman kepada Allah dan cinta karena-Nya, persaudaraan yang berasaskan agama-Nya, serta saling menolong dengan nama-Nya. semua itu berpadu dalam jiwa-jiwa yang bertemu dalam kegelapan malam, di pinggiran Kota Makkah, yang sedang bingung dalam keremangannya, bertemu untuk memproklamirkan bahwa penolong-penolong Allah akan menjaga Rasul-Nya, sebagaimana menjaga harga diri mereka. Mereka akan melindunginya dengan nyawa-nyawa, bahkan mereka tidak akan rela jika ada yang menyakitinya, selagi mereka hidup.
Kaum musyrikin di Makkah mengira bahwa mereka telah mengepung Islam di wilayah yang tidak mereka anggap dan membuat kaum muslimin letih hingga hal itu menyibukkan mereka. Mereka tidur seperti tidurnya seorang kriminal yang melakukan perbuatan dosa dan selamat dari hukuman.
Prasangka terhadap zaman baik jika zaman baik terhadapmu
Engkau tidak takut buruknya takdir yang akan datang karenanya
Gelapnya malam menyelematkanmu dan engkau tertipu olehnya
Hingga ketika malam menjadi terang, terjadilah bencana itu
Begitulah, di malam itu laskar pembela kebenaran bersekutu untuk menghancurkan pusat paganisme, membawa kejahilan dan pembelanya pada kehancuran.

Catatan  Penting

Para pemikir instan yagn menyangka bahwa Islam diteguhkan dengan perang dapat mengambil pelajaran dari perjanjian ini. Kaum Anshar yang gemar berperang dan menguasai ilmu, mereka sudah menyampaikan kepada Rasulullah kecenderungan untuk memerangi penduduk Makkah, tetarpi beliau saw, melarangnya, dengan pernyataannya, “Aku belum diperintahkan untuk itu. Ketergesa-gesaan dalam memetik buah perjuangan bisa jadi akan menghilangkan buahnya pergerakn Islam. Hasilnya, kerugian bagi individu-individu yang ada dan kesia-siaan dakwah mereka daripada maslahat yang diharapkan. Hal ini menguatkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah kepada Khabbab, “Namun, kalian adalah kaum yang tergesa-gesa.” (HR Bukhari).

Sepanjang, 09 – 11 - 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar