Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : HIJRAH
KE HABASYAH (ETIOPIA)
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Penindasan mulai
terjadi pada pertengahan atau akhir tahun keempat kenabian. Awalnya hanya
penindasan ringan. Namun, hari demi hari, bulan demi bulan, makin kuat dan
mencapai puncaknya pada pertengahan tahun ke lima kenabian. Hidup di Makkah
menjadi sulit dan mendorong mereka untuk memikirkan cara yang dapat
menyelamatkan mereka dari penindasan-penindasan yang ada. Di masa-masa sulit
ini, turun Surat al-Kahfi sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh kaum musyrikin kepada Nabi saw. Namun, di dalamnya terdapat 3
kisah, yang mengandung isyarat-isyarat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman.
1. Dalam kisah
Ashhabul Kahfi ada isyarat untuk hijrah dari lingkaran kekufuran dan
permusuhan. Jika khawatir timbul fitnah atas agama, mereka berserah diri kepada Allah.
“Dan apabila kamu
meninggalkan mereka dan ayang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat
perlindungan ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagaian
rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu.
(QS. al-Kahfi (18) : 16).
2. Khisah Khidir
dan Musa menerangkan bahwa beberapa situasi tidak selalu berjalan dan tidak
mengakibatkan sesuatu yang biasanya tampak. namun, bisa jadi berbanding
terbalik dengan apa yang seharusnya tampak. dalam kisah ini terdapat isyarat
halus bahwa perang yang dilakukan terhadap kaum muslimin akan sepenuhnya
terbalik. Kaum musyrikin penindas itu --- jika tidak ebriman --- akan memohon
di hadapan orang-orang lemah tak berdaya dari kaum muslimin.
3. Kisah Zulkarnain
mengajarkan bahwa bumi ini miliki Allah yang akan diwariskan kepada siapa saja
yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya. begitu juga, kesuksesan itu ada pada
jalan iman, bukan kufur. Dikisahkan juga bahwa Allah masih mengutus dari
hamba-Nya – dari masa ke masa – yang dapat menyelamatkan orang-orang lemah dari
Ya’juj dan Ma’juj di masanya. Sesungguhnya yang paling berhak untuk mewarisi
bumi hanyalah hamba-hamba Allah yang salih.
Kemudian turun
Surat az-Zumar yang mengisyaratkan hijrah dan menyatakan bahwa bumi Allah tidak
sempit.” ..... Bagi orang-orang yang beriat baik di dunia ini akan memperoleh
kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. az-Zumar (39) : 10).
Hijrah
Pertama ke Habasyah
Ketika Rasulullah
melihat siksaan yang menimpa para sahabatnya, beliau tidak mengalaminya karena
derajatnya di sisi Allah dan pamannya, Abu Thalib. Beliau sendiri tidak mampu
melindungi mereka dari siksaan tersebut dengan ebrkata, “Jika kalian pergi ke
Habasyah, di sana terdapat seorang raja yang tak pernah menzalimi seseorang,
negeri yang tulus, hingga Allah melapangkan kondisi kalian di saat ini.”
Saat itulah kaum
muslimin dari sahabat Rasulullah pergi ke negeri Habasyah, takut akan fitnah yang
menimpa, dan ebrlari menuju Allah dengan agama mereka. Itulah hijrah pertama
dalam Islam.
Rombongan yang
pergi ke Habasyah berangkat secara bergantian dalam keheningan agar tidak
membangunkan kaum Quraisy dan menggagalkan misi mereka. Hijrah ini juga tidak
dalam skala luas. Rombongan pertama ini hanya terdiri atas beberapa keluarga,
di antaranya Ruqayyah, putri Rasulullah, dan suaminya. Utsman bin Affan, serta
beberapa orang dari Muhajirin yang jumlahnya tidak lebih dari 16 orang. Mereka
mencapai garis pantai dan takdir pun membawakan mereka dua buah kapal, yang
mengarungi samudra menuju Habasyah. Ketika Quraisy mengikuti jejak-jejak mereka
sampai ke pantai, mereka telah melaut.
Kejutan yang Tak Terkira
Pada Ramadhan
tahun yang sama, Nabi saw, keluar menuju tanah Haram. Di sana terdapat sejumlah
ebsar kaum Quraisy, di antara mereka ada pembesar-pembesarnya. Beliau berdiri
di antara merekad an tiba-tiba membaca Surat an-Najm.
Orang-orang
kafirtidak pernah menyimak kalam Allah sebelum itu. Sebab, cara mereka
terus-menerus dilakukan adalah saling menasihati satu sama lain. Di antara
perkataan mereka adalah “.... Jangalah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini
dan buatlah kegaduhan terhadapnya agar kamu dapat mengalahkan (mereka).” (QS.
Fushshilat (41) : 26).
Ketika dibacakan
Surat az-Zumar dan kalam Ilahi yang indah menawan – karena penjelasan apa pun
belum mampu melingkupi keindahan dan keagungannya --- sikap mereka selam ini
terhadap Al-Qur’an dan setiap orang menyimak dengan saksama padanya lenyap
seketika, tak terbetik apa pun selainnya dalam hati mereka. Hingga pada saat
Rasulullah sampai pada penghujung surat ini dan mengirimkan pengetuk hati-hati
mereka pada bacaannya, “Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).”
Mereka pun
bersujud. Setiap orang tak mampu menguasai dirinya, hingga akhirnya ia pun
tersungkur dan bersujud. Pada hakikatnya indahnya kebenaran itu telah
mengalahkan pembangkangan di jiwa-jiwa mereka yang sombong lagi mencela. Akhirnya, mereka tak mampu menguasai diri dan
tersungkur sujud kepada Allah. (HR Bukhari, Muslim dan Turmudzi).
Mereka menyadar
ketika keagungan kalam Allah menguasai alam sadar mereka, mereka melakukan
sesuatu yang selama ini berupaya keras mereka hapus dan binasakan. Mereka pun
mendapat cela dan hinaan dari setiap orang musyrik yang tak hadir dalam momen
itu. Ketika itu, mereka berdusta atas Rasulullah bahwa itu merupakan permohonan
apda berhala-berhala mereka dengan kata takdir. Ia pun berkata tentang itu,
“Itu adalah petikan-petikan syair yang mulia dan pertolongan (berhala) diharapkan.” (Dalam hal ini, para musafir
lebih condong pada kabar al-Gharaniqah (ketika kafir Quraisy mengatakan
Al-Qur’an yang mereka dengar adalah syair-syair/mantra).
Mereka
mengabarkan dusta nyata itu untuk berapologi atas sujud mereka bersama
Rasulullah saw. Tidak heran jika itu terjadi pada kaum yang telah mengarang
kebohongan dan berlama-lama dalam lebohongan dan tipuan.
Kabar ini sampai
kepada mereka yang berhijrah ke Habasyah, tetapi dalam betnuk yang berlawanan
dengan faktanya. Kabar yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk
Islam. Akhirnya, mereka kembali ke Makkah pada bulan Syawal di tahun yang sama.
Ketika mereka hampir tiba di Makkah dan mengetahui perkara yang sebenarnya,
beberapa orang kembali ke Habasyah dan tak seorang pun dari mereka memasuki
Makkah, kecuali dengan sembunyhi-sembunyi, atau di bawah perlindungan seseorang
dari Quraisy.
Hijrah Kedua ke Habasyah
Mereka yagn
kembali ke Habasyah, bahkan dikejutkan lagi akan penindasan yang terjadi pada
umat Islam secara lebih kejam dan keras. Akhirnya, sebagian dari mereka masuk
ke Makkah dengan perlindungan pembesar-pembesar Quraisy yang mereka kenal,
sebagian lagi bersembunyi.
Kaum Quraisy
tetap bersikukuh untuk menindas umat Islam dan memprovokasi seluruh kabilah
untuk memperberat penindasan mereka ata kaum muslimin. Rasulullah tentu saja
tidak melarang para sahabatnya hijrah kembali ke Habasyah.
Hijrah yang kedua
ini lebih banyak dari sebelumnya. Quraisy sduah mengetahuinya dan berniat
menggagalkannya meskipun kaum muslimin bergerak lebih cepat. Dalam rombongan
ini ada 83 laki-laki dan 19 perempuan. Allah memudahkan perjalanan mereka dan
mereka menemui Najazy, raja negeri Habasyah. Di sana mereka mendapatkan apa
yang mereka dambakan, yaitu keamanan, lingkungan, dan perlakuan yang baik.
Faktanya memang
Raja Najasy adalah laki-laki yang cerdas, caara berpikirnya baik, mengenal
Allah, serta berakidah munri bahwa Isa a.s. adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.
pemikirannya yang progrsif di balik perlakuan baik yang ia berikan kepada para
imigran yang datang ke kerajaannya, yang lari dari negerinya demi agama.
Abdullah bin
Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah mengirim kami ke Najasy dan kami sekumpulan
orang berjumlah 83 laki-laki. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Mas’ud,
Ja’far, Abdullah bin Arfathah, Utsman bin Mazh’un, Abu Musa, dan mereka
mendatangi Najasy.” (HR Ahmad).
Abdullah bin Amir
bin Rabi’ah dari Ibunya, Laila, berkata, “Umar bin Khaththab adalah orang yang
paling keras dalam menyikapi keislaman kami. Ketika kami siap untuk hijrah ke
bumi Habasyah, Umar bin Kaththab datang dan aku berada di atas untaku ketika
aku hendak pergi. Lalu, ia ebrtanya, “Kemana, wahai Ummu Abdillah?” Aku
menjawab, “Kalian menyiksa kami, maka kami pergi ke bumi Allah sebab di sana
kami tidak ditindas (dalam beribadah kepada Allah) : Umar pun berkata, “Semoga
Allah menyertai kalian.” Kemudiand atang suamiku, Amir bin Rabi’ah. Aku pun
memberi tahu lembutnya sikap Umar yang kulihat tadi.” Engkau mengharap ia masuk
Islam?” Jawabku, “Ya”. Suamiku berkata, Demi Allah, ia tidak akan masuk Islam
sampai keledai al-Khaththab masuk Islam.” (Menurut al-Haitsamy dalam al-Majma.”
(6/24), diriwayatkan oleh Thabrani, Ibnu Ishaq mengatakan dengan kata, “Aku
mendengar”, dan drajatnya shahih).
Dari Ummu Salamah, putri Abu Umayyah bin
Mugirah, Istri Rasulullah saw, berkata, “Ketika kami sampai di negeri Habasyah,
kami mendapat penolong yang baik, yaitu Raja Najasy. Kami pun aman dalam
menjalankan ibadah kami, menyembah Allah semata, kami tidak disakiti, kami juga
tidak pernah mendengar apa yang kami benci. Ketika hal itu sampai ke telinga
kaum Quraisy, mereka mengutus dua orang laki-laki untuk bertemu dengan Najasy
membicarakan tentang kami. Mereka memberi Najasy hadiah-hadiah terbaik dari
perhiasan-perhiasan di Makkah. Najasy sangat menyukai kulit sehingga mereka
mengumpulkan banyak kulit. Setiap pejabat militer (Patick : orang yang sangat
pandai dalam strategi peperangan, komando-komandonya menggunakan bahasa Romawi,
dan jabatan ini sangat tinggi di zaman itu) juga mereka beri hadiah. Mereka
mengirim hadiah-hadiah itu bersama Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumy dan
Amru bin Ash bin Wail as-Sahmy, yang menjadi delegasi mereka. Kaum Quraisy
berkata kepada keduanya, “Berilah setiap pejabat hadiah sebelum kalian menemui
Najasyi, kemudian berilah Najasyi hadiah, lalu mintalah ia untuk menyerahkan
kaum muslimin kepada kalian, sebelum Najasyi bericara kepada mereka (kaum
muslimin).
Ummu Salamah
melanjutkan, “Dua orang itu pergi dan mendatangi Najasyi dan kami berada di
sebaik-baik rumah dan sebaik-baik pelindung. Tak seorang pun dari
pejabat-pejabat tinggi yang tak mereka beri hadiah, sebelum mereka menemui
Najasyi. Kemudian keduanya berkata kepada
mereka, “Telah datang ke negeri kalian anak-anak bodoh. Mereka berpaling dari
agama kaumnya. Mereka tidak masuk agama kalian, tetapi mereka datang dengan
agama baru yang tidak kami ketahui, tidak juga kalian. Kami diutus oleh para
pembesar kaum untuk bertemu raja dan membawa mereka pulang. Jika kami berbicara
kepada raja tentang mereka, bantulah kami agar ia mau menyerahkan mereka dan
tidak berbicara kepada mereka. Sebab, kaum mereka lebih tahu tentang siapa
mereka dan kejelekan-kejelekan mereka.” Jawab para pejabat, “Ya, baiklah.”
Mereka membawa hadiah itu kepada Najasyi dan ia menerimanya. Kemudian kedua
utusan itu berbicara kepada Najasyi, “Wahai Raja, di antara kaum kai ada
anak-anak bodoh yang datang ke negri Anda. Mereka tidak masuk Agama Anda,
tetapi mereka datang dengan agama baru yang tidak kami ketahui, tidak juga
Anda. Kami diutus oleh para pembesar kaum, di antara mereka ada ayah, paman,
dan kerabat mereka agar engkau menyerahkan anak-anak bodoh itu kepada mereka.
Sebab, kaum mereka lebih tahu tentang siapa mereka, dan kejelekan-kejelekan
mereka. Dan mereka mencela perbuatan mereka itu.” Tak ada satu hal pun yang
lebih membuat Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amru bin Ash marah, selain reaksi
Najasyi setelah mendengar perkataan para pejabat militer. Mereka berkata,
“Percayalah, wahai Raja, kaum mereka lebih tahu tentang siapa mereka dan
kejelekan-kejelekan mereka. Maka serahkanlah mereka kepada kedua utusan ini
agar mereka berdua mengembalikan mereka ke negeri dan kaum mereka.” Najasyi marah
dan berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada dua
orang ini. Aku tidak akan memperdaya kaum yang telah hidup berdampingan
denganku, datang ke negeriku, dan memilihku, bukan orang selain aku, hingga aku
memanggil dan bertanya kepada mereka, apa yang mereka berdua katakan tentang
mereka. Jika mereka seperti apa yang dikatakan dua utusan ini, aku akan
menyerahkan mereka, dari kedua orang ini. Aku akan tetap memperlakukan mereka
dengan baik, sebagaimana mereka demikian kepadaku.”
Ummu Salamah
berkata, “Kemudian diutus seseorang untuk memanggil para sahabat Rasulullah
saw. Ketika datang utusan Najasyi, mereka berkumpul. Sebagian berkata kepada
yang lain, “Apakah yang akan kalian katakan kepada Najasyi ketika kalian datang
kepadanya?” Jawab yang lain, “Kami katakan, demi Allah kami tidak tahu, Nabi
kami saw, tidak memerintahkan kami untuk itu, terjadilah apa yang terjadi.”
Ketika mereka datang kepada Najasyi, ada para uskup yang telah dipanggil
olehnya dan menyebarkan lembaran-lembaran (kitab) di sekitarnya. Najasyi
bertanya kepada para sahabat Rasulullah, “Agama apa yang kalian anut, di mana
kalian berpaling dari kaum kalian, kalian juga bukan penganut agamaku, tidak
pula agama siapa pun dari umat manusisa?”
Ummu Salamah berkata, “Yang diajak bicara oleh Najasyi
waktu itu adalah Ja’far bin Abi Thalib r.a. Ia berkata, “Wahai Raja, dulu kami
adalah kaum yang bodoh, kami menyembah patung, memakan bangkai, melakukan hal
keji, memutus tali persaudaraan, beruat buruk pada tetangga, yang kuat di
antara kami memakan yang lemah. Begitulah kami apda waktu itu, hingga Allah
mengutus seorang Rasul dari kaum kami. Kami tahu garis keturunan dan
kejujurannya. Ia terpercaya dan terhormat. Ia menyeru kami kepada Allah SWT
untuk mengesakan dan menyembah-Nya serta melepaskan sesembahan kami dan nenek
moyang kami, batu dan berhala. Ia memerintahkan kami untuk berkata jujur,
melaksanakan amanah, bersilaturahmi, beruat baik kepada tetangga, serta menjauh
dari yang diharamkan,d an eprtumpahan darah. Ia melarang kami berbuat keji,
bersumpah palsu, memakan harta anak yatim, dan qadzaf (menuduh zina) perempuan
bersuami. Dan ia memerintahkan kami untuk tidak meneykutukan Allah dengan apa
pun, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.”
Ummu Salamah
berkata, “Ja’far menyebut berbagai perintah Islam, “Kami memercayainya dan
mengimaninya, kami mengikutinya pada apa yang datang kepadanya. Maka kami
sembah Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan apa pun. Kami mengharamkan
apa yang diharamkannya dan menghalalkan apa yang dihalalkannya. Lalu, kaum kami
memusuhi kami, menyiksa kami, memfitnah kami atas agama kami agar kami kembali
pada agama berhala daripada menyembah Allah SWT dan menghalalkan kekejian yang
pernah kami halalkan. Ketika mereka memaksa kami, menzalimi kami, menyusahkan
kami, membuat batas antara kami dan agama kami, kami pergi ke negerimu, kami
pilih engkau, bukan selain engkau. Kami ingin hidup di sampingmu. Dan kami
berharap agar kami tidak dizalimi di sisi engkau, wahai Raja.” Lanjut Ja’far. Najasyi
berkata, “Apakah bersamamu ada sesuatu yang datang dari Allah?” Ja’far pun
menjawab, “Ya.” Najasyi memerintahkannya, “Bacalah!” Ja’far pun membaca bagian
awal surat dari Surat Kaf Ha Ya ‘Ain Shad .......”
“Demi Allah, Najasyi menangis, hingga basah jenggotnya.
Begitu pula para uskup air mata mereka membasahi lembaran-lembaran kitab suci
mereka ketika mereka mendengar apa yang dibacakan kepada mereka.” Lanjut Ummu
Salamah, “Kemudian najasyi berkagta,”Sungguh inilah yang dibawa oleh Musa, yang
keluar dari satu Misykat. Pergilah kalian ebrdua 9Abdullah dan Amru). Dami
Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian dan aku tidak akan
terpedaya.
Ummu Salamah
berkata, “Ketika keduanya keluar dari ruangan Najasyi, Amru bin Ash berkata,
“Demi Allah, aku akan mendatanginya kembali esok dan kuhina mereka di depannya
apa yang dilakukan kumpulan mereka.” Kemudian Abdullah bin Abi Rabi’ah, dalam
hal ini dia lebih baik dariapda Amru, berkata, “Jangan lakukan itu, bagaimana
pun mereka saudara-saudara kita meskipun mereka berseberangan dengan kita.”
Amru pun berkata, “Demi Allah, aku akan memberi tahu Najasyi bahwa mereka
menganggap Isa Putra Maryam itu seorang hamba.” Esoknya ia mendatangi najasyi,
“Wahai Raja, mereka mengatakan sesuatu yang besar tentang Isa Putra Maryam,
kirimlah seseorang untuk bertanya kepada mereka, apa pendapat mereka tentang
Isa, kata Amru. Lalu, diutuslah seseorang untuk menanyakan hal itu. Pada saat
itu belum turun sesuatu ayat pun mengenai hal itu, maka berkumpullah kaum
muslimin. Sebagian mereka berkata, “Apa yang akan kalian katakan, “Demi Allah,
apa yang difirmankan oleh Allah dan apa yang di bawa oleh Nabi kami, terjadi
dalam hal itu apa yang terjadi.” Ketika mereka memasuki ruangan Najasyi, ia
berkata, “Apa kata kalian tentang Isa bin Maryam?” Ja’far berkata, “Kami
katakan dengan apa yang di abwah oleh Nabi kami. Isa adalah hamba Allah,
Rasul-Nya, roh-Nya, dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam al-Adzra
al-Batul (Perawan Suci).” Kemudian Najasyi memukulkan tangannya ke tanah dan
mengambil sebuah ranting. Kemudian berkata, “Selain Isa putra Maryam, aku tidak
katakan ini ranting.” Para pejabat sekitarnya saling bergumam marah, demi
Allah, pergilah, kalian aman di negeriku, siapa yang mencela kalian bersalah,
kemudian siapa yang mencela kalian bersalah, kemudian siapa yang mencela kalian
bersalah. Aku tidak suka memiliki segunung emas, tetapi menyakiti seseorang di
antara kalain. Kembalikan hadiah-hadiah mereka,
aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tidak mengambil dariku Sisywah
(harta suap) ketika Dia mengembalikan kerajaanku. Jika Aku mengambil risywah,
rakyat tidak akan taat kepadaku, tetapi akulah yang tunduk kepada mereka.”
Mereka berdua
keluar dari ruangan itu dengan terhina dan tertolak hadiah mereka. Kami pun
tinggal di negeri Najasyi pada sebaik-baik rumah dan sebaik-baik pelindung.
Demi Allah, begitulah keadaannya ketika seseorang ingin merampas kerajaannya
dengan menyerangnya. Dami Allah, kami belum pernah sesedih itu. Kami takut
orang itu mengalahkan Najasyi dan tidak memberi kami hak apa pun yang telah
diberikan Najasyi kepada kami.
Najasyi dan
tentaranya keluar, dua kelompok bertemu di bantaran Nil. Para sahabat berkata,
“Siapa di antara kita yang dapat memantau perang itu. Lalu kembali kepada
kami?” Az-Zubair bin al- Awwam berakta, “Aku.” Dia orang yang paling muda di
antara kami. Kemudian para sahabat meniupkan untuknya pelampung dan
meletakkannya di dadanya. Az-Zubair berenang sampai di titik tempat peperangan
itu berlangsung di Sungai Nil dan meemantaunya.
Kami berdoa
kepada Allah SWT untuk Najasyi agar ia dimenangkan atas musuhnya, diteguhkan
kerajaannya. Akhirnya, segala sesuatun kembali seperti semula di Habasyah. Kami
berada bersamanya di rumah yang terbaik, hingga kami kembali kepada Rasulullah
di Makkah.” (HR Ahmad).
Dalam ad-Dala’il
karya Abu Na’im dikatakan bahwa Quraisy mengutus delegasinya kepada Najasyi
mengenai para imigran itu dua kali. Pertama, mengutus Amru bin Ash dan Imarah
bin Walid. Kedua Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Delegasi kedua ini
datang setelah Pearang Badar. Dalam hal ini az-Zuhry berkata, “Agar mereka
mendapat dukungan, teatpi Najasyi menolak apa yang mereka pinta.”
Umar bin Khaththab r.a. Masuk Islam
Banyak riwayat
yang menceritakan tentang keislaman Umar bin Khaththab r.a. Sebagian besar
riwayat-riwayat itu lemah, tetapi populer. Misalnya, kisah yagn diriwayatkan
banyak orang bahwa ia pergi menemui saudara perempuan beserta suaminya. Said
bin Zaid. Demikian juga, riwayat bahwa ia mendengarkan Al-Qur’an dari Rasulullah
saw., di balik tirai Ka’bah.
Riwayat yang kuat
– hanya Allah yang lebih tahu – bahwa faktor utama Islam-nya Umar bin Khaththab
r.a. adalah dia Nabi saw., untuknya ketika beliau berkata, “Ya Allah,
kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua laki-laki ini yang lebih engkau
cintai, Abu Jahal bin Hisyam atau Umar bin Khaththab.” Beliau saw, berkata,
“Umar ternyata lebih dicintai oleh-Nya.” (HR. Turmudzi).
Imam Bukhari
menerangkan sebab lain masuknya Umar bin Khaththab r.a. ke Islam. Dari Abdullah
bin Umar r.a. berkata,”:Aku belum pernah mendengar Umar berkata hal ini
sebelumnya. Ia berkata, “Sungguh aku mengira dia begitu melainkan seperti yagn
ia kira.” Ketika Umar duruk,d atang seorang laki-laki tampan lewat di depannya.
Umar berkata, “Aku sudah salah mengira, atau dia berada dalam agamanya pada
saat jahiliah, atau ia adalah dukun mereka, aku harus memanggil laki-laki itu.”
Kemudian dipanggilnya laki-laki itu. Ia pun megnatakan hal itu keapdanya.
Laki-laki itu berkata, “Aku belum pernah melihat seperti saat ini, laki-laki
itu disampbut.” Umar berkata, “Aku menginginkanmu, kecuali apa yang kau katakan
kepadaku (benar).”. Laki-laki itu pun berkata, “Aku adalah dukun mereka pada
masa jahiliah.” Umar bertanya, “Apa yang menakjubkan dari yang dikatakan oleh
jinmu?” Ia pun berkata, “Ketika aku berada di pasar, jin (perempuan) datang
ketakutan, ia berkata, “Apakah kamu tidak tahu jin dan kegalauannya, putus asa
setelah berharap , pergi dengan hewan dan pelana?” Umar berkata, “Percayalah,
ketika aku tertidur di antara tuhan-tuhan mereka, datang seorang laki-laki
membawa anak kambing, ia menyembelihnya, lalu seseorang berteriak. Aku belum
pernah mendengar seseorang berteriak sekencang itu.” Laki-laki berkata, “Wahai
jalih (kejelekan yang dibinasakan dengan permusuhan), urusan yang tuntas, ada
seseorang yang fasih berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.” Oerang-orang
berlompatan. Kukatakan, “Aku tidak akan berhenti sampai aku tahu ada apa di
balik semua ini.” Kemudian seseorang memanggil, “Wahai Jalih (kejelekan yang dibinasakan
dengan permusuhan), urusan yang tuntas, ada seseorang yang fasih mengatakan,
“Tiada Tuhan selain Allah.” Lalu, aku berdiri dan belum juga kami sempat
berkomentar ketika dikatakan, “Ini Nabi (bahwa kebangkitan Nabi saw., sudah
dekat).” (HR. Bukhari).
Umar Menyatakan Keislamannya di
Hadapan Kaum Musyrikin
Dari Ibnu Umar
r.a. berakta, “Ketika Umar masuk Islam,orang-orang berdatangan ke rumahnya dan
berkata, “Umar telah keluar dari agamanya.” Saat itu aku masih kecil, aku
sedang berada di atas atap rumahku. Datangseorang laki-laki memakai pakaian
dari sutra dan berkata, “Umar telah keluar dari agamanya.” Aku melihat
orang-orang menyanggahnya. Aku bertanya, “Siapa dia?” Mereka berkata, “Ash bin
Wail.” (HR. Bukhari).
Dari Abdullah bin
Umar r.a. berkata, “Ketika Umar masuk Islam, ia bertanya, “Siapa di antara
laki-laki Quraisy yang paling cepat menyampaikan berita?” Dikatakan kepadanya,
“Jamil bin Muammar al-Jamhi’. Umar pun pergi menemuinya. Aku pun mengikuti
ayahku dan melihat apa yang dilakukannya. Saat itu aku anak kecil yang sudah
mengerti apa yang kulihat. Ketika ayahku mendatanginya, ia berkata, “Wahai
Jamil, apakah engkau tahu aku telah ber-Islam, aku masuk ke agama Muhammad
saw.?”
“Demi Allah,
Jamil tidak meminta ayahku mengulangi perkataannya, ia lalu menarik
selendangnya dan pergi. Ayahku mengikutinya, aku juga. Ketika ia sampai di
pintu Masjid Haram, Jamil berteriak dengan suaranya sekencang-kencangnya,
“Wahai Quraisy (saat itu mereka sedang berada di perkumpulan mereka sekitar
Ka’bah), bukankah putra Khaththab telah keluar dari agamanya?” Umar berkata di
belakangnya, “Bohong, tetapi aku telah masuk Islam, dan aku bersaksi tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Mereka menyerangnya dan ia
menyerang balik, begitulah sampai ketika matahari di atas kepala mereka. Umar
lelah dan terduduk, sementara kaum Quraisy berdiri di atas kepalanya. Umar pun
berkata, “Lakukanlah apa yang menurut kalian perlu. Aku bersumpah, jika saja
kami sudah mencapai 300 orang, aku tinggalkan mereka untuk kalian, atau kalian
meninggalkannya untukku.”
Pada saat itu, datang orang tua dari kaum Quraisy, ia memakai
perhiasan dan baju berukir, hingga ia berdiri di sekeliling mereka. Ia berkata,
“Apa yang terjadi dengan kalian?” Mereka berkata, “Umar telah keluar dari agamanya.”
Orang tua itu pun berkata, “(Jaga) mulutnya, seseorang telah menentukan
pilihannya, apa mau kalian? Apakah menurut kalian Bani Addy menyerahkan teman
kalian kepada kalian seperti ini? Biarkan dia!”
Demi Allah mereka bagaikan baju yang disingkap. Setelah hijrah ke
Madinah, aku bertanya kepada ayahku, “Wahai Ayah, siapa laki-laki yang duilu
menghardik Quraisy di Makkah di hari engkau masuk Islam dan mereeka
menyerangmu?” Ayahku pun menjawab, “Itu adalah Ash bin Wail as-Sahmy (HR. Ibnu
Hibban dan Hakim).
Nabi Mendoakan Umar setelah
Keislamannya
Dari Ibnu Umar
r.a. “Sesungguhnya Rasulullah menepuk dada Umar dengan tangannya ketika ia
menyatakan keislamannya tiga kali dan barkta, “Wahai Allah, keluarkan dari dada
Umar segala beban dan gantilah dengan keimanan.” Rasulullah mengatakan hal itu
tiga kali. “ (HR Thabrani).
Islamnya Umar Membukan Jalan
Masuknya Umar ke
dalam Islam merupakan faktor penting keunggulan Islam dan kekuatannya. Sebab,
Umar dengan karakter dominannya --- yakni kekuatan dan keberanian – sehingga ia
tidak takut akan celaan di jalan Allah.
Ibnu Mas’ud r.a.
berkata, “Kami masih termuliakan, sejak Umar memeluk Islam.” (HR Bukhari).
Ibnu Mas’ud juga
berkata, “Islamnya Umar membuka jalan (dakwah), Hijrahnya adalah pertolongan,
dan di bawah kepemimpinannya rahmat. Kami sebelumnya belum pernah shalat di
depan Ka’bah hingga Umar memeluk Islam. Ketika ia memeluknya, ia memerangi
Quraisy dan ia shalat di depan Ka’bah dan kami shalat bersamanya.” (HR Ibnu
Sa’ad dan al-Hakim).
Islamnya Umar terjadi
ketika para sahabat Rasulullah hijrah ke Habasyah.
Selebaran Zalim dan Embargo
Ketika Quraisy
melihat bahwa Rasulullah saw, meningkat dan beberapa hal terus bertambah,
mereka sepakat untuk tidak berintaraksi dengan Bani Hasyim, Bani Abdul
Muthalib, dan Bani Abd Manaf. Mereka tidak akan berjual beli, tidak menikahi,
dan mendiamkan mereka, sampai mereka mau menyerahkan Rasulullah saw. Mereka
menulisnya di sebuah lembaran dan menggantungkannya di atap Ka’bah.
Diktakan bahwa
Mansur bin Ikrimah bin Amir bin Hasyim yang menulisnya. Ada pula yang
mengatakan Nadhr bin Harits. Riwayat yagn shahih adalah Baghid bin Amir bin
Hasyim.
Rasulullah berdoa
untuk keburukannya, akhirnya tangannya pun lumpuh. Bani Hasyim dan Bani
Muthalib bersatu, baik yang mukmin dan kafir, kecuali Abu Lahab. Ia memihak
kafir Quraisy daripada Rasulullah. Bani hasyim, dan Bani Muthalib, Rasulullah
dan orang-orang yang bersamanya terkurung di kaki gunung (milik Abu Thalib)
pada malam awal bulan Muharam, tahun ketujuh kenabian. Lembaran itu digantung
di Ka’bah. Mereka terkurung dan terisolasi. Kondisinya sangat menyusahkan bagi
mereka. Mereka terputus dari masyarakat dan materi,sekitar 3 tahun. Hingga
lelah menimpa mereka dan terdengar tangisan anak-anak mereka dari balik kaki
gunung. Di sanalah Abu Thalib membuat syairnya yang terkenal, al-Lamiyah. Bait
pertamanya berbunyi, “Allah membalas kita. Wahai Abd Syams dan Naufal, hukuman
keburukan dengan cepat tak tertunda.”
Menurut
as-Suhaily, “Para sahabat jika datang kafilah (pedagang) ke Makkah, salah
seorang dari mereka pergi kepasar untuk membeli sedikit makanan untuk
keluarganya. Kemudian Abu Lahab berkata, “Wahai para pedagang, mahalkanlah
harga kepada pengikut-pengikut Muhammad agar mereka tak bisa membeli apa pun.
Kalian semua tahu hartaku dan aku selalu menepati janjiku. Aku akan menjamin
kalau kalian tidak akan rugi.” Jadilah para pedagang menaikkan harga dagangan
mereka berlipat-lipat, hingga salah seorang dari sahabat pulang tanpa membawa
makanan apa pun di tangannya, sedangkan anaknya makin kelaparan. Para pedagang
datang menghadap Abu Lahab meminta janjinya. Abu lahab memberi mereka harga
yang menguntungkan untuk makanan dan pakaian yang mereka jual. Hal ini membuat
kaum mukminin dan orang-orang yang bersama mereka letih kelaparan dan compang
camping.”
Yunus
meriwayatkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Aku keluar pada suatu malam
untuk buang air kecil, lalu aku mendengar
suara sesuatu yang terkena air seniku, ternyata sepotong kulit unta
kering. Aku mengambilnya dan mencucinya, kemudian aku bakar dan kutumbuk dengan
air. Badanku kuat hingga tiga hari (tanpa makan).
Al-Ghazali
berkata, “Lihatlah bagaimana isolasi pada kaum muslimin berakhir dan bagaimana
isolasi menyakiti mereka itu, yang membuat mereka mengkonsusmi sesuatu yang ia
sendiri tidak terbiasa.”
Quraisy Antara Tega dan Tak Tega
Quraisy
sebenarnya antara tega dan tidak tega dengan embargo tersebut. kepedihan kaum muslimin membuat sedih beberapa orang
Quraisy yag masih memiliki empati. Seseorang di antara mereka ada yang
membekali untanya dengan banyak makanan. Kemudian menggiringnya menuju kaki
gunung dan melepas tali keangnya agar sampai kepada mereka yang terkurung di
dalamnya untuk meringankan sedikit beban kelemahan dan kemiskinan.
Pembatalan Embargo
Ibnu Katsir –
semoga Allah merahmatinya – berkata, “Beberapa orang dari Quraisy berusaha
untuk mengakhiri isi dari lembaran (mebargo) itu. Orang yang memprakarsai hal
itu adalah Hisyam bin Amru bin Rabi’ah bin Harits bin Hubaib bin Jadzimah bin
Malik bin Hasil – bin-Amir bin Luay. Ia pergi menemui Muth’im bin Addy dan
beberapa orang Quraisy, mereka sepakat dengannya. Rasulullah sendiri memberi
tahu kaumnya bahwa Allah mengirim rayap yang memakan semua catatan di lembaran
itu, kecuali lafal Allah SWT. Begitulah, kemudian Bani Hasyim dan Bani Muthalib
pulang ke Makkah. Perdamaian pun tercapai meskipun Abu Jahal dan Amru bin
Hisyam mementang.
Dari Abu Hurairah
r.a. berakta, “Rasulullah bersabda ketika kami berada di Mina, “Besok kita akan
pergi ke Khayf Bani Kinanah karena mereka bersekongkol dengan orang kafir.” Itu
dikarenakan Quraisy dan Bani Kinanah bersekutu untuk tidak melakukan pernikahan
dan jual-beli dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib, hingga mereka mau
menyerahkan Rasulullah saw, yaitu dengan isolasi itu.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Tahun Kesedihan
Menurut Ibnu
Ishaq, “Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib meninggal di tahun yang sama
sehingga musibah datang beruntun pada diri Rasulullah dengan wafatnya Khadijah.
Khadijah merupakan penasihat tulus, tempat beliau mengadu tentang dakwah Islam.
Demikian juga wafatnya Abu Thalib, yang merupakan kekuatan dan tameng dalam
perkaranya serta pelindung dan penolong atas tindakan kaumnya. Peristiwa ini
terjadi tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Wafatnya Abu Thalib memberi
kesempatan luas bagi Quraisy untuk makin menyakiti Rasulullah. Mereka
belumpernah seberingas itu di masa hidupnya Abu Thalib.
Khadijah
merupakan satu dari sekian banyak nikmat-nikmat Allah yang besar bagi Muhammad
saw. Ia membantu Rasulullah di amsa-masa sulitnya, menolong beliau menyampaikan
risalah-Nya, menemaninya lika-liku (magharim) kepedihan yang pahit,
mempersrembahkan dirinya dan hartanya. Betapa besar nikmat ini, sementara
istri-istri para nabi yang lain ada yang berkhianat pada risalah dan tidak
berikan kepada suami-suaminya. Mereka bersama kaum musyrikin dan
memproklamirkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah membuat perumpamaan
bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Lut. Keduanya berada di bawah
pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua
istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak
dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada
kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang
masuk (neraka).” (QS. at-Tahrim (66) : 10).
Sebaliknya,
Khadijah adalah setulus-tulusnya perempuan, merengkuh suaminya di saat gelisah.
Ia tempat damai yang penuh kebaikan. Ia mengusap kening Rasulullah yang
bercucuran karena wahyu. Ia menjalani seperempat abad bersamanya. Sebelum turun
risalah, ia menghormati keputusannya untuk ber-ta’ammul dan mengasingkan diri
(di Gua Hira) dan segala sesuatunya. Setelah risalah turun, ia menanggung semua
permusuhan pedihnya diasingkan dan kesulitan-kesulitan dakwah lainnya. Ia
meninggal pada saat Rasulullah berumur 50 tahun dan sendiri lebih dari 65
tahun. Rasulullah setulus hati mengenang Khadijah sepanjang hayatnya.
Kesetiaan Itu seperti Ini
Rasulullah sangat
sedih pasca wafat Khadijah. Ia sebaiik-baik istri yang sabar dan tulus, yang
menolongnya sepanjang hayatnya, mengeluarkan apa pun yang berharga yang ada
pada dirinya, demi menolong agama ini. Wajar jika Rasulullah tidak dapat
melupakannya selamanya. Kesetiaannya tak dapat diukir dengan pena.
Dia yang terkasih
saw, memujinya dan berkata, “Banyak pria yang mencapai kesempurnaan, sedangkan
perempuan hanya Asiyah, istri Fir’aun, Maryam, putri Imran, dan Khadijah binti
Khuwalid.” Keutamaan Aisyah atas para wanita, seperti keutamaan bubur dari seluruh
makanan.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah, dan Abu Musa).
Para ulama-ulama
memberi tanggapan yang bagus mengenai hadits ini, “Suatu kebetulan yang indah
bahwa ketiga perempuan yang disebut dalam hadits itu merawat seorang Nabi yang
tulus. Menemaninya dan beriman kepadanya. Aisyah mendidik Musa dan
memperlakukannya dengan baik, lalu beriman kepadanya ketika ia diutus. Maryam
merawat Isa dan mendidiknya, lalu beriman kepadanya ketika ia diutus. Begitu
juga, Khadijah mencintai Nabi saw, dan mengorbankan diri dan hartanya,
menemaninya dengan baik. Ia juga orang yang pertamakali beriman kepadanya,
ketika wahyu diturunkan.”
Rasulullah belum
pernah menikahi perempuan mana pun sebelumnya, bahkan tidak menikahi perempuan
lain semasa hidupnya.
Dari Aisyah r.a.
berkata, “Nabi saw, tidak pernah menikahi perempuan lain semasa Khadijah,
sampai ia wafat.” (HR. Muslim dan Abd bin Humaid).
Dari Anas r.a.
bahwa Nabi saw, bersabda, “Cukuplah mereka ini perempuan-perempuan sejati di
dunia, Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, dan
Asiyah istri Fir’aun.” (HR Turmudzi, Ahmad, dan Hakim).
Dari Ibnu Abbas
r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw, bersabda “Pemimpin para wanita penghuni
surga setelah Maryam binti Imran, Fatimah, Khadijah, dan Aisyah istri Fir’aun.”
(HR. Thabrani).
Nabi saw. Terus Mendakwahi Pamannya hingga
Saat Terakhir
Dari Musayyaib
r.a. berkata, “Ketika kematiand atang pada diri Abu Thalib, Rasulullah saw,
datang kepadanya. Di sana ia mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah
bin Mugirah. Rasulullah saw, berkata, “Wahai Paman, katakan la ilaha illallah
dengan kalimat ini aku bersaksi di hadapan Allah untukmu.”
Abu Jahal dan
Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, engkau berpaling dari agama
Abdul Muthalib!”
Rasulullah terus
menuntunnya untuk bersyahadat dan terus mengulang-ulanginya. Namun, akhrinya
Abu Thalib memilih untuk tetap pada agama Abdul Muthalib dan enggan mengatakan
“la ilaha illallah.”
Rasulullah saw,
berkata, “Demi Allah, aku akan meminta ampunan untukmu jika aku tidak dilarang
untuk itu.” Lalu, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya :
“Taka pantas bagi
Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas
bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam. (QS.
at-Taubah (9) : 113).
Kaitannya dengan
Abu Thalib, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya “Sungguh, engkau (Muhammad)
tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. al-Qashash (28) : 56).
Dari Abu Hurairah
r.a. berkata, “Rasulullah saw, berkata kepada pamannya “Katakan la ilaha
illallah! Dengan kaliamt itu aku akan bersaksi untukmu di hari kiamat.”
Nabi saw,
bersabda, “Kalau saja Quraisy tidak mengejekku ketika mereka berkata, “Muhammad
beruat itu karena sedih; aku akan teguhkan matamu dengannya (syhahadat).
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam QS al-Qashash (28) : 56.” (HR.
Muslim dan Ahmad).
Dari Ali bin Abi
Thalib bahwa ia datang kepada Nabi saw, dan berkata, “Abu Thalib meninggal
dunia.” Beliau saw, berkata, “Pergilah dan kuburkan dia.” Kemudian Ali berkata,
“Tapi, ia mati dalam keadaan musyrik.” Rasulullah berkata, “Pergilah dan
kuburkan dia.” Ketika aku telah menguburnya, aku kembali kepada Nabi saw, dan
beliau mengatakan padaku, “Mandilah.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Ia Berada di Neraka Semata Kaki
Dari Abu Sa’id
al-Khudri r.a. bahwa ia mendengar Nabi saw, ketika itu menyebut pamannya dalam
majelisnya. Beliau bersabda. “Mudah-mudahan syafaatku berlaku untuknya di hari
kiamat sehingga ia di tempatkan di neraka yang mencapai dua mata kakinya
(saja), yang mendidihkan otaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abbas bin
Abdul Muthalib r.a. ia berkata kepada Nabi saw., “Tidakkah enggkau dapat
menolong pamanmu, dulu ia melindungimu dan marah untuk (melindungimu?” Nabi
saw., berkata, “Dia berada di neraka sebatas mata kaki. Kalau saja bukan karena
aku, ia sudah berada di kerak terbawah di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pernikahan Nabi saw. Dengan Saudah dan
Aisyah
Para sahabat
Rasulullah saw., mengetahui betul kedudukan Khadijah r.a. di hati Nabi saw.
Ketika Khadijah wafat, mereka mengharap kepada Allah agar diringankan kepedihan
dan kesedihannya. Tak seorang pun yang berani membicarakan perlihal pernikahan
dengan beliau saw. Namun, Allah Maha Berkehendak, salah seorang dari istri sahabat
yang utama, yaitu Khaulah binti Hakim. Ia membicarakan hal ini kepada
Rasulullah hanya untuk membawakan suka cita di hati beliau yagn dirundung
kesedihan.
Dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya berkata, “Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrahnya ke
Madinah. Beliau menyendiri lebih kurang dua tahun, lalu menikahi Aisyah ketika
ia berusia 6 tahun dan serumah dengannya ketika ia berusia 9 tahun.” (HR.
Bukhari).
Dalam riwayat
lain yang lebih panjang dari hadits riwayat Aisyah, Abu Salamah, dan Yahya
berkata, “Ketika Khadijah meninggal, Khaulan binti Hakim, istri Utsman bin
Mazh’un, datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menikah?
Rasulullah bertanya, “Dengan siapa? Khaulah menjawab, “Jika engkau mau, ada
seorang gadis, ada juga janda.” Rasulullah bertanya lagi, “Kalau gadis, siapa?”
Khaulah menjaab, “Putri dari hamba Allah yang paling kau cintai, Aisyah binti
Abu Bakar.” Rasulullah lanjut bertanya, “Sedangkan janda, siapa?” Khaulah pun
menyebutkan, “Saudah binti Zam’ah, ia telah beriman kepadamu dan mengikuti apa
yagn kau katakan.” Rasulullah pun menyuruh Khaulah, “Pergilah dan lamarlah
keduanya untuuku!” Khaulah pun pergi ke rumah Abu Bakar dan berkata, “Wahai
Ummu Rumman, kebaikan dan berkah apa yang telah Allah kirimkan untuk kalian?”
Ummu Rumman berkata,”Apakah itu?” Khaulah melanjutkan, “Rasulullah mengutusku
meminang Aisyah untuknya.” Ummu Rumman pun menjawab, “Tunggulah Abu Bakar
sampai ia datang.” Kemudian datanglah Abu Bakar dan Khaulah berkata, “Wahai Abu
Bakar, kebaikan dan berkah apa yang telah Allah kirimkan untuk kalian?” Abu
Bakar bertanya, “Apakah itu?” Lanjut Khaulah, “Rasulullah mengutusku
meminangAisyah untuknya.” Abu Bakar pun bertanya dengan nada heran.” Apakah itu
boleh, sedangkan ia adalah anak saudaranya.” Khaulah pun menghadap Rasulullah
saw., dan menanyakan hal itu, lalu beliau berkata, “Kembalilah kepadanya dan
katakan, “Aku saudaramu, dan engkau saudaraku dalam Islam danputrimu boleh
kunikahi.”
Khaulah kembali
menuju Abu Bakar dan menyampaikan pesan Rasulullah saw., kepada Abu Bakar.
“Tunggulah,” Kata Abu Bakar seraya keluar. Ummu Rumman berkata, “Sesungguhnya
Muth’im bin Addy telah meminang Aisyah untuk anaknya dan demi Allah, Abu Bakar
tidak pernah berjanji, lalu mengingkarinya.” Abu Bakar menuju rumah Muth’im bin
Addy. Di sana ada dia dan istrinya. Ummu al-Fata. Istrinya berkata, “Wahai Ibnu
Abi Quhafah (Abu Bakar), mungkin engkau akan membuat anak kami berpindah agama,
apakah engkau akan menyuruhnya untuk masuk ke agamamu saat ini jika ia menikahi
putrimu?” Abu Bakar berkata kepada Muth’im bin Addy, “Menurutku begitu, seperti
yang istrimu katakan.” Abu Bakar pun keluar dari rumahnya dan Allah telah
melenyapkan segala janji yang pernah ia katakan kepada Muth’im. Lalu, ia pulang
dan berkata kepada Khaulah.” “Panggilah Rasulullah saw., kemari.” Khaulah
memanggil beliau saw., kemudian Abu Bakar menikahkannya dengan Aisyah, yang
pada saat itu berumur 6 tahun.
Selanjutnya,
Khaulah pergi ke rumah Saudah binti Zam’ah dan berkata, “Kebaikan dan berkah
apa yang telah Allah kirimkan untukmu!” Saudah berkata, “Apakah itu?” Lanjut
Khaulah, “Rasulullah mengutusku meminangnmu untuknya.” Saudah pun menjawab,
“Aku menginginkan itu, pergilah ke ayah dan katakan tentang hal itu.” Ayah
Saudah sudah tua renta, dia tertinggal rombongan haji. Khaulah menemuinya dan mengucapkan
penghormatan cara jahiliah, “Siapa ini?” katanya. Khaulah binti Hakim. Jawab
Khaulah, “Ada apa?” kata ayah Saudah.”Muhammad , hamba Allah saw., mengutusku
meminang Saudah.” Kata Khaulah. “Anugerah yang mulia dan apa kata temanmu
(Saudah)?” kata ayah Saudah. “Dia menyukai hal itu.” Kata Khaulah. “Panggilah
ia ke sini.” Perintah ayah Khaulah. Khaulah pun memanggil Saudah, lalu ayahnya
berkata, “Wahai putriku, dia (Khaulah) mengatakan bahwa Muhammad bin Abdullah
bin Abu Muthalib mengutusnya untuk meminangnmu, dan in i anugerah mulia, apakah
kau suka jika aku menikahkanmu dengannya?” Saudah menjawab, “Y”. Ayah Saudah
pun menyuruh Khaulah untuk memanggil Nabi saw., “Panggilah Muhammad ke sini!”
Rasulullah saw., datang, lalu ayah Saudah menikahkannya dengan putrinya. Lalu,
datanglah saudaranya, Abd bin Zam’ah, pulang dari haji. Ia menaburkan pasir ke
atas kepalanya sendiri. Dia berkata setelah memeluk Islam. “Sesungguhnya aku
bodoh ketika menaburkan pasir ke atas kepalaku ketika Rasulullah menikahi Saudah
binti Zam’ah.
Aisyah berkata,
“Kamid atang ke Madinah, lalu kami turun di perkampungan Bani Harits bin
Khazraj di sana (tempat di sekitar Madinah, terdapat kampung Bani Harits bin
Khazraj).”
Aisyah berkata,
“Lalu, Rasulullah datang dan memasuki rumah kami. Di situ berkumpul kaum
Anshar, laki-laki dan perempuan. Ibuku datang kepadaku ketika aku berada di
atas ayunan di antara dua pohon kurma, yagn dibuatkan untukku. Kemudian ibuku
menurunkanku dari ayunan, beberapa helai rambutku jatuh di atas pundak, ibuku
membersishkannya da mengusap wajahku dengan air. Lalu, ia menuntunku sampai ke
pintu rumah. Kutarik nafas dalam-dalam sampai hatiku tenang, ibuku menemaniku
masuk, di sana sudah ada Rasulullah saw., duduk di atas tempat tidur di rumah
kami. Di sekeliling beliau ada kaum Anshar, laki-laki dan perempuan. Ibuku pun
mendudukanku di samping beliau, lalu berkata, “Mereka adalah keluargamu, semoga
Allah memberkahimu dengan mereka.” Para undangan laki-laki dan perempuan pamit,
lalu keluar. Itulah malam pengantinku bersama Rasulullah, tidak ada sembelihan
tidak juga kambing yang dipotong (sebagai hidangan). Namun, beberapa saat
kemudian, Sa’ad bin Ubadah mengirim sepiring besar penuh dengan makanan. Dia
juga kerap mengirimnya kepada Rasulullah ketika Rasulullah sedang menggilir
istri-istrinya. Saat itu umurku 9 tahun.” (HR Ahmad dalam al-Musnad (6/20 dan
21), menurut Ibnu Katsir dalam Sirahnya, tampaknya dari susunannya hukum hadits
ini mursal, tetapi bersambung. Menurut adz-Dzahabi dalam as-Sirah (184)
sanadnya hasan).
Kami Menjagamu dari Pengolok-olok
Setelah Abu
Thalib wafat, kaum Quraisy makin berani dengan Nabi saw., dan para sahabatnya.
Mereka berani melakukan apa yang tak pernah mereka lakukan semasa hidup Abu
Thalib. Seseorang dari orang-orang bodoh itu berani menaburkan pasir ke kepala
beliau saw.
Dari Ibnu Abbas
r.a. berkata, “Sungguh Ash bin Wail mengambil sebuah tulang dari padang pasir
dan memotongnya dengan tangannya. Lalu, ia berkata kepada Rasulullah saw.,
“Apakah Allah menghidupkan ini setelah binasa?” Rasulullah bersabda, “YA, Allah
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu, lalu memasukkanmu ke neraka Jahanam.”
Lalu turunlah ayat-ayat terakhir dari Surat Yasin.” (HR Hakim dan Amru bin
Aun).
Dari Ibnu Abbas
r.a. berkata, “Dalam firman Allah, Sesungguhnya Kami memelihara engkau
(Muhammad) dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (engkau). (QS.
al-Hijr (15) 95).” Orang yang mengolok-olok tersebut adalah al-Walid bin
al-Mugirah, al-Aswad bin Yaguts az-Zuhri, Abu Zam’ah al- Aswad bin al-Muthalib
dari Bani Sa’ad bin Abdul Uzza,
al-Harits bin ‘Aiythal as-Sahmy, dan al-Ash bin Wail. Lalu, Jibril mendatangi
Rasulullah dan beliau mengadu kepadanya. Jibril pun memperlihatkan al-Walid dan
menunjuik otot lengannya. Rasulullah bertanya, “Apa yang kau lakukan?” Jibril
menjawab, “Aku sudah menghabisinya.” Lalu, dia memperlihatkan al-Aswad, Jibril
menunjuk matanya. Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Jawab Jibril,
“Aku sudah menghabisinya.” Kemudian diperlihatkan Abu Zam’ah kepada Nabi saw.,
dan Jibril menunjuk kepalanya. Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu lakukan?”
Jibril pun menjawab, “Aku sudah menghabisinya.” Kemudian diperlihatkan
al-Harits kepada Nabi saw. Jibril menunjuk kepala atau perutnya. Lalu, Jibril
berkata, “Aku menghabisinya.” Lalu, lewat di depannya al-Ash, Jibril menunjuk
duburnya dan berkata, “Aku menghabisinya.” Al-Walid sendiri ketika melewati
seorang laki-laki Khuza’ah yang sedang memanah, panahnya mengenai lengannya dan
terputus. Sedangkan, al-Aswad matanya buta. Ibnu Abdul Yaguts, dari kepalanya
keluar nanah, lalu mati. Adapun al-Harits ada air keuning diperutnya, hingga
keluar sesuatu yang menjijikan dari mulutnya, lalu mati. Al-Ash, di kepalanya
terdapat shibriqah (tumbuhan berduri) dan memenuhi kepalanya, lalu mati. Menurut
riwayat lain, ia mengendari keledai menuju Thaif, lalu ia terjatuh dan mengenai
duri-duri dan duri itu masuk ke dubur hingga ia mati.” (HR. Adz-Dzahabi).
Pada Hari Itu Orang Zalim Menggigit
Dua Tangannya
Dari Ibnu Abbas
r.a. bahwa Abu Mu’ith duduk bersama Nabi saw, di Makkah dan ia tidak
menyakitinya. Abu Mu’ith adalah pria yang baik, sedangkan kaum Quraisy yang
lain jika duduk bersama beliau saw, mereka menyakitinya. Abu Mu’ith mempunyai
seorang sahabat yang tinggal di Syam. Pada saat ia datang ke Makkah, seorang
Quraisy berkata, “Abu Mu’ith telah berpindah agama.” Lalu, dia mendatangi istri
Abu Mu’ith dan berkata, “Apa yang dilakukan Muhammad terhadapnya?”
“Perkaranya lebih
buruk (dari yang kau kita).” Jawab istrinya.
“Memang apa yang
dilakukan sahabatku?” tanya pria itu lagi.
“Ia telah
berpindah agama.” Jawab istrinya.
Malam itu ia tak
bisa memejamkan mata. Esoknya Abu Mu’ith mendatanginya dan mengucapkan salam
hormatnya, tetapi ia tak mau membalasnya.
“Mengapa engkau
tak membalas salamku?” tanya Abu Mu’ith.
“Bagaimana aku
dapat membalasnya, sedangkan engkau berpindah agama?” kata pria itu.
“Apakah kaum
Quraisy juga mengira aku telah berpindah agama? Apa yang harus kulakukan agar
mereka mau menerimaku?” kata Abu Mu’ith.
“Datangi majelis
Muhammad, ludahi wajahnya, dan ejek dia dengan seburuk-buruk kata yang kau
tahu.” Kata sahabatnya.
Ia pun
melakukannya. Rasulullah saw., hanya mengusap wajahnya, membersihkan ludah itu,
kemudian menoleh ke arahnya dan berkata, “Aku bersabar sampai nanti ketika aku
mendapatkanmu berada di pegunungan Makkah, aku akan membunuhnmu.”
Pada saat Perang
Badar dan teman-temannya ikut serta dalam peperangan ini, Abu Mu’ith enggan
untuk turut. Kawan-kawannya berkata, “Ikutlah bersama kami.”
“Muhammad telah
mengancamku, ia akan bersabar (dalam membalas perbuatanku) sampai jika ia
mendapatkan aku pergi ke pegunungan Makkah, ia akan menebas leherku.” Kata Abu
Mu’ith.
“Bagimu unta
merah yang tak pernah ada sebelumnya. Jika (Muhammad) kalah, unta itu milikmu.”
Kata sahabat-sahabatnya.
Ia pun turut bersama mereka. Ketika Allah menakdirkan kaum
musyrikin kocar-kacir di Perang Badar, unta Abu Mu’ith jatuh di lumpur di
sebuah tempat yang belum terjamah. Rasulullah menawannya di antara 70 orang
musyrik lainnya. Abu Mu’ith mendatangi Rasulullah dan berkata, “Apakah engkau
akan membunuhku di antara mereka?” Rasulullah berkata, “Ya karen kau sudah
meludahi wajahku. Maka Allah menurunkan firman-Nya berkenaan dengan Abu Mu’ith
QS. al-Furqan (25) 27 – 29).”
Nabi saw. Berdoa untuk Kehancuran Quraisy
Dari Masruq
berkata, “Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Karena Quraisy membantah Nabi saw,
beliau mendoakan agar mereka ditimpa paceklik seperti masa Nabi Yusuf.
Akhirnya, mereka ditimpa kelaparan dan kesusahan hingga mereka makan tulang
belulang. Begitu laparnya mereka, seorang laki-laki melihat ke langit, di
matanya anatara dia dan langit seperti asap. Kemudian Allah menurunkan ayat,
“Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas yang
melipat manusia. Inilah azab yang pedih.” (QS ad-Dukhan (44) 10-11).
Seseorang
mendatangi Rasulullah saw,d an berkata, “Wahai Rasulullah, mintalah kepada
Allah untuk menurunkan hujan karena keadaan telah genting, Quraisy telah binasa
(kelaparan).” Rasulullah berkata, “Karena keadaan genting?” Engkau betul-betul
berani (memohon).” Kemudian Rasulullah berdoa meminta hujan dan mereka diberi
hujan (oleh Allah). Dalam hal ini Allah berifrman, “Sungguh (kalau) Kemi
melenyapkan azab itu sedikit saja, tentu kamu akan kembali (ingkar).” (QS
ad-Dhukhan (44) : 15).
Ketika mereka
kembali diberi kesenangan dunia, mereka kembali pada keadaan semula. Kemudian
Allah SWT berfirman, “(ingatlah) pada hari (ketika) Kami emnghantam mereka
dengan keras. Kami pasti memberi balasan.” (QS. ad-Dukhan (44) : 16).
Hantaman yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah Perang Badar.” )HR Bukhari dan Muslim).
Ridha dalam Perlindungan Allah SWT.
Penduduk Makkah
makin memusuhi Nabi saw, begitu juga kepada sahabatnya. Hal itu membuat Abu
Bakar berpikir untuk meninggalkan Makkah. Ia pun pergi hingga mencapai
Barkal-Ghamad karena ia ingin pergi ke Habasyah. Namun, Ibnu ad-Daghinah
membuatnya kembali ke Makkah dengan jaminan perlindungannya.
Dari Aisyah r.a.
berkata, “Aku tidak mengerti apa yang dilakukan kedua orang tuaku, kecuali bahwa
mereka telah memeluk Islam. Tidak satu hari pun Rasulullah tidakd atang kepada
kami, baik itu pagi ataupun petang. Ketika kaum muslimin dimusuhi, Abu Bakar
pergi berhijrah ke Habasyah. Ketika ia sampai di Barkal al-Ghamad, ia bertemu
Ibn ad-Daghinah – seorang kepala suku – dan berkata, “Hendak ke mana wahai Abu
Bakar?” Ayahku menjawab, “Kaumku yang menyebabkan aku pergi. Aku ingin
melancong di bumi dan menyembah Tuhanku.” Karanya, “Orang sepertimu tidak
(boleh) keluar dan dikeluarkan. Engkau menolong yang tidak mampu, menyambung
tali silaturahmi, menanggung beban (banyak orang), menghormati tamu,d an
menolong orang-orang yang benar. Aku bersaksi untukmu. Pulanglah dan sembahlah
tuhanmu di negerimu. “Ayahku pun pulang dan Ibnu As-Daghinah menemaninya. Ibnu
ad-Daghinah berkeliling sore itu dari rumah ke rumah para pembesar Quraisy. Ia
berkata kepada mereka. “Orang seperti Abu Bakar seharusnya tidak (boleh) keluar
dan dikeluarkan. Dia menolong yang tak mampu, menyambung tali silaturahmi,
menanggung beban (banyak orang), menghormati tamu, dan menolong orang-orang
yang benar.” Tak seorang pun dari orang Quraisy mengingkari hal itu. Mereka
berkata kepada Ibnu ad-Daghinah, “Perintahkan kepada Abu Bakar agar ia
menyembah tuhannya di rumahnya dan shalat di sana. Ia boleh membaca apa yang ia
mau. Kami tidak mempermasalahkan itu, sepanjang ia tidak mengeraskan (ritual)
ibadahnya. Kami takut hal itu memengaruhi istri-istri dan anak-anak kami.”
Ibnu ad-Daghinah
menyampaikan hasil percakapan dengan kaum Quraisy kepada Abu Bakar. Abu Bakar
pun melakukan hal itu hingga beberapa waktu, menyembah Allah di rumahnya, tidak
mengeraskan bacaan shalatnya. Dan membaca Al-Qur’an hanya di rumahnya. Selang
beberapa waktu, ia pun membangun masjid di halaman rumahnya. Ia shalat dan membaca
Al-Qur’an di sana. Para istri kaum musyrikin dan anak-anak ramai memadati
masjid itu. Mereka takjub dan melihatnya. Apalagi Abu Bakar adalah pribadi yang
mudah menangis jika membaca Al-Qur’an. Kaum musyrikin khawatir akan hal itu,
lalu mereka mengutus seseorang untuk memanggil Ibnu ad-Daghinah. Ia pun datang.
Mereka berkata
kepada Ibnu ad-Daghinah, “Kami membiarkan Abu Bakar dalam perlindunganmu agar
ia menyembah Tuhannya di rumahnya. Kami membolehkan itu, tetapi ia membangun
masjid di halaman rumahnya, lalu dia shalat dan membaca (Al-Qur’an) di situ.
Sungguh, kami khawatir istri-istri dan anak-anak kami (akan terpengaruh). Jadi,
laranglah ia! Jika ia lebih menyukai untuk menyembah tuhannya hanya di
rumahnya, ia teap boleh melakukan hal itu. Namun, jika dia hanya mau
mengeraskan bacaannya, katakan kepadanya bahwa engkau mencabut jaminan
perlindunganmu. Kami tidak mau menghianatimu (karena kami telah berjanji tidak
mengganggu Abu Bakar). Namun, kami tidak tenang dengan cara beribadah Abu Bakar
yang mengeraskan suaranya.”
Ibnu ad-Daghinah
pun mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Engkau telah mengetahui akad
perjanjianku dengan Quraisy untukmu. Engkau tetap pada perjanjian itu atau
engkau tak menginginkan jaminan perlindunganku lagi. Aku tidak suka orang-orang
Arab mendengar berita bahwa aku telah melanggar janji atas seseorang yang telah
aku jamin kepercayaannya dalam ikatan perjanjian.”
Abu Bakar
berkata, “Sesungguhnya aku tak menginginkan perlindunganmu lagi. Aku ridha
dengan perlindungan Allah SWT.” (HR. Bukhari).
Utsman bin Mazh’un Menolak Jaminan
al-Walid bin al-Mugirah
Utsman bin
Mazh’un r.a. adalah salah satu dari di
antara orang-orang yang kembali dari Habasyah. Ia memasuki Makkah dengan
jaminan al- Walid bin al-Mugirah agar tidak diganggu oleh kaum Musyrikin.
Namun, beberapa saat kemudian, ia ingin mengembalikan jaminan itu. Sebab, ia
melihat eman-temannya (sesama muslim) disiksa di jalan Allah, sementara dia
aman dan sejahtera. Ia tidak rela dengan hal itu.
Dari Ibnu Ishaq
berkata, “Shalih bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf berkata kepadaku dari
seseorang yang meriwayatkan tentang Utsman.” Ketiia Utsman bin Mazh’un melihat
ujian yang dihadapi para sahabat Rasulullah saw., sedangkan ia pulang dan pergi
dalam keadaan aman di bawah jaminan al-Walid bin al-Mugirah, dia berkata, “Demi
Allah, sungguh aku pulang dan pergi (ke mana pun) dengan aman dan tenang karena
jaminan seorang musyrik. Sedangkan, teman-temanku, mereka yang seagama denganku
menghadapi berbagai ujian dan siksaan di jalan Allah, tetapi aku tidak. Aku
merasa ada kekurangan yang besar dalam diriku.” Kemudian ia berjalan menuju
al-Walid bin al-Mugirah, lalu ia berkata kepadanya,” Wahai Abdu Syams, cukup
sampai di sini jaminanmu untukku dan aku ingin mengembalikannya.” Al-Walid
bertanya heran, “Mengapa, waai anak saudaraku?” Apakah salah seorang dari
kaumku menyakitimu?” Utsman menjawab, “Tidak, aku rela dengan perlindungan
Allah saja. Aku tidak ingin meminta perlindungan selain kepada-Nya.” Al-Walid
pun memintanya untuk mengumumkan hal itu, “Pergilah ke masjid (al-haram).
Umumkanlah bahwa engkau mengembalikan jaminanku, sebagaimana aku mengumumkan
jaminanku terhadapmu.” Merekan pun pergi ke masjid. Sesampainya di sana,
a;-Walid berkata, “Ini Utsman, datang kepadaku untuk mengembalikan perindunganku.”
Utsman menyambungnya, “Ya”, dia benar dan ia seorang yang setia dan baik dalam
melindungiku. Namun, aku lebih menyukai untuk meminta perlindungan kepada Allah
dan aku mengembalikan jaminan al-Walid.” Kemudian Utsman pulang.”
Suatu hari Labid
bin Rabi’ah bin Malik bin Ja’far bin Kilab majelis Quraisy menyenandungkan
syair. Lalu, Utsman duduk bersama mereka. Labid berkata, “Bukankah semua hal
selain Allah batil?” Utsman menjawab, “Kamu benar.” Labid berkata, “Semua
kenikmatan tidak dipungkiri akan lenyap.” Utsman berkata, “Kamu salah ...
kenikmatan surga tidak akan lenyap.” Lanjut Labid, “Wahai kaum Quraisy, demi
Alalh kalian tidak pernah menyakiti teman, sejak kapan hal itu terjadi pada
kalian?” Seseorang dari kaum Quraisy berkata, “Orang bodoh ini bersama
teman-temannya yang bodoh itu. Mereka berpaling dari agama kami, engkau tidak
akan mendapatkan kebenaran pada eprkataannya.”
Utsman beradu
mulut dengannya hingga pertengkaran mereka semakin menjadi. Lalu laki-laki itu
berdiri dan memukul matanya hingga lebam. Pada saat itu al-Walid bin al-Mugirah
sedang berada dekat tempat itu dan mengetahui kejadddian yang menimpa Utsman.
Ia berkata, “Demi Allah, wahai anak saudaraku, matamu tidak eprnah demikian
ketika engkau dalam jaminan perlindunganku.”
“Namun, demi
Alalh, sungguh (sebelah) mataku yang sehat menginginkan sesuatu yang sama yang
menimpa saudaranya (mata yang lebam). Dan sungguh aku berada dalam perlindungan
Dzat yang lebih mulia dan kuat daripada engkau, wahai Abdu Syams.” Kata Utsman.
“Marilah, jika kau
mau, wahai anak saudaraku, kembalilah pada jaminanku.” Kata al-Walid.
“Tidak.” Jawab
Utsman (HR Abu Na’im dan baihaqi).
Kisah Ibnu Ummu Maktum r.a.
Dari Aisyah r.a.
berkata, “Awal turunnya Surat Abasa untuk Ibnu Ummi Maktum yang buta. Ia datang
kepada Rasulullah saw, dan berkata, “Wahai Rasulullah, bimbinglah aku.” Pada
saat itu bersama Rasulullah ada pembesar musyrik. Rasulullah berpaling darinya
dan menghadap ke arah lain dan berkata, “Kau tahu ba’s yang kukatakan.” Dalam
hal ini turunlah awal Surat ‘Abasa. “Dia (Muhammad) berwajah masam dan
berpaling.” (QS. “Abasa (80) 1).”
Nabi Berdakwah ke Thaif
Perlawanan Quraisy terhadap dakwah makin menjadi. Mereka
menyerang Rasulullah dengan sesuatu yang belum pernah mereka lakukan semasa
hidup paman Nabi saw. Abu Thalib. Kemudian Rasulullah pergi sendiri ke Taif –
untuk mendapatkan markas baru dakwahnya – mencari pertolongan dan perlindungan
dari kabilah Tsaqif. Rasulullah saw, berharap mereka mau menerima apa yang
datang padanya dari Allah SWT. Namun, Tsaqif tidak menerimanya. Mereka – para
pemimpin, tokoh, anak-anak, hamba sahaya, dan orang-orang bodoh dari kabilah
ini – mengejek dan meneriakinya. Mereka berdatangan dan melempari Nabi saw,
dengan batu.
Dari Muhammad bin
Ka’ab al-Quraizhy berkata, “Ketika Rasulullah saw, sampai ke Thaif, beliau
mengunjungi beberapa orang dari Bani Tsaqif. Mereka adalah pemimpin dari tokoh
Tsaqif. Mereka adalah tiga orang bersaudara, yaitu Abdu Yalil bin Amru bin
Umair, Mas’ud bin Amru, dan Habib bin Amru bin Umair bin Auf bin Uqdah bin
Ghirah bin Auf bin Tsaqif. Saat itu ada seorang perempuan Quraisy dari Bani
Jamah sedang bersama mereka. Rasulullah duduk bersama mereka dan menyeru pada
agama Allah. Beliau menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminta dukungan
pada Islam dan bertindak kepada mereka yang memusuhinya. Salah satu di antara
mereka berkata, “Dia telah menyobek-nyobek penutup Ka’bah. Jika Allah
mengutusmu.” Sedangkan yang lain berkata, “Apakah Allah tidak mendapatkan
seseorang selainmu?!” Yang ketiga berkata, “Aku tidak akan pernah berbicara
denganmu selamanya jika engkau adalah utusan Allah seperti yang kau katakan.
Engkau adalah bahaya yang besar jika aku menolak perkataanmu. Namun, jika kau
berdusta atas nama Allah, tidak pantas bagiku untuk berbicara kepadamu.”
Rasulullah saw. Pun bangkit dan tidak lagi mengharap kebaikan Tsaqif. Kemudian
beliau mengatakan sebagaimana diriwayatkan kepadaku. “Jika demikian keputusan
kalian, aku memohon kepada kalian untuk menutupi hal ini.”
Rasulullah tidak
ingin penolakan mereka sampai ke kaumnya, lalu memprovokasi mereka (untuk terus
memusuhi dakwahnya). Namun, mereka tidak melakukannya, bahkan mereka mendorong
kaum mereka – yang bodoh dan hamba sahaya – untuk mengumpat dan meneriaki Nabi
saw., hingga orang-orang berdatangan. Akhirnya, Rasulullah sampai di dinding
rumah Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah. Saat itu keduanya berada di
dalam rumah. Orang-orang bodoh Bani Tsaqif yang mengikutinya pun pulang. Lalu,
Rasulullah saw., berlindung di bawah pohon anggur dan duduk. Kedua anak Rabi’ah
melihat dan menyaksikan apa yang dilakukan orang-orang bodoh penduduk Thaif. Di
sana Rasulullah bertemu perempuan Quraisy dari Bani Jamah. Beliau saw., berkata
kepadanya, “(Lihatlah) apa yagn dilakukan orang-orang bodoh dari kaummu?” (HR.
Ibnu Hisyam, Thabari, Thabrani dengan sanad shahih dari Ibnu Ishaq, dari
Muhammad bin Ka’ab al-Qurdly secara mursal, dan baihaqi).
Duhali Allah, Aku Mengadu kepada Mu
atas Kelemahanku
Rasulullah sae,
terluka dan darah mengalir dari kakinya. Orang-orang yang mengusirnya membuat
beliau berlindung di sebuah kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah. Beliau
duduk di bawah pohon anggur dan beristirahat.
Pemilik kebun ada
di dalamnya. Mereka menghalau mereka yang mengusirnya. Masih terpatri dalam ingatan
Rasulullah kenangan pahit itu. Beliau saw, selalu mengingat hari-hari
penderitaannya bersama penduduk Makkah. Ada rangkaian kesedihan yang berat,
yang datang bertubi-tubi.
Dari Abdullah bin
Ja’far r.a. berkata, “Setelah Abu Thalib wafat, Nabi saw., pergi ke Thaif
dengan berjalan kaki. Ia ingin menyeru ,mereka pada Islam, tetapi mereka tidak
memeniramanya. Beliau saw., kembali dan menuju sebuah pohon. Di sana beliau
shalat dua rakaat, lalu berdoa. :
“Wahai Allah, aku mengaku kepada-Mu akan lemahnya kekuatanku,
sedikitnya usahaku, dan kelemahanku di depan orang. Engkaulah sebaik-baik
Penyayang. Kepada siapa Engkau menyerahkan aku? Kepada musuh yang murka
kepadaku atau kepada kerabat yang Engkau berikan kemampuan menanggung urusanku?
Jika Engkau tak murka kepadaku, aku tidak peduli. Namun, kasih-Mu kepadaku
lebih luas. Aku berlindung dengan Dzat-Mu yang menerangi kegelapan dan kebaikan
urusan dunia akhirat, dari turunnya amarah-Mu, dari kemarahan-Mu yang
melingkupi diriku. Untuk-Mu ketulusan(ku) sampai Engkau ridha, tidak ada
kekuatan, melainkan dengan-Mu, ya Allah.” (HR. Thabrani dan al-Khathib).
Islamnya Addas
Dari riwayat
Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhy yang tersebut di atas, ia berkata, “Ketika dua
putra Rabi’ah – Utbah dan Syaibah – melihat apa yang menimpa Rasulullah, mereka
terenyuh. Lalu, mereka memanggil pelayan mereka, seorang nasrani bernama Addas.
Keduanya berkata kepadanya, “Ambillah buah anggur dari pohonnya dan letakkan di
piring! Kemudian pergilah ke laki-laki itu dan katakan kepadanya agar ia
memakannya.!
Addas melakukan
apa yang diperintahkan kepadanya. Ia mengambil anggut iru dan membawanya ke
hadapan Rasulullah saw., dan ia berkata “Makanlah!”
Ketika Rasulullah
mengambilnya, beliau berucap, “Bismillah.” Lalu memakannya.
Addas melihat wajah
beliau saw., dan berkata, “Demi Allah, di negeri ini tidak pernah ada seseorang
yang mengatakan itu.”
Rasulullah
bertanya kepadanya, “Dari negeri mana engkau? Dan apa agamamu?”
“Aku nasrani dan
aku berasal dari Ninawa.” Jawab Addas.
“Oh .... dari
desa seorang laki-laki shalih, Yunus bin Matta,” kata Rasulullah.
“Apa yang kau
kethaui tentangn Ynus bin Matta?” tanya
Addas.
“Dia adalah
saudaraku, dia adalah nabi dan aku juga seorang nabi.”
Mendengar jawaban
Nabi saw, itu, tiba-tiba Addas menunduk ke arah Rasulullah saw., lalu mencium
kepala, tangan, dan keuda kaki Nabi saw.
Kedua anak
Rabi’ah berbicara satu sama lain,” Pelayanmu telah dirusaknya.”
Ketika Addas
datang, mereka berkata, “Celaka kau, wahai Addas, mengapa kau mencium kepada,
kedua tangan, dan kakinya?”
Ia menjawab,
“Tuanku, tidak ada sesuatu pun di bumi yang lebih baik dari hal ini. Ia telah
memberitahuku sesuatu yang diketahui, kecuali ia seorang nabi.”
Lalu keduanya
berkata, “Celaka kau Addas, janganlah engkau berpaling dari agamamu. Agamamu lebih
dari agamanya!”
Allah SWT Mengutus Jibril dan Malaikat
Penjaga Gunung a.s.
Dari Aisyah r.a.
berkata, “Aku bertanya kepada Nabi saw., “apakah ada hariamu yang lebih buruk
dari (kekalahan kaum muslimin) pada Perang Uhud?” Rasulullah saw, pun
menjawabnya, “Aku menghadapi apa yang dilakukan Quraisy dan hari paling pedih
bagiku adalah hari Aqabah. Ketika aku berdakwah kepada Ibnu Abd Yalil bin Abd
Kalal, ia menolak apa yang kuinginkan. Lalu, aku pergi dengan wajah sedih. Aku
baru menyadari keadaanku ketika aku sampai di Qarn as-Sa’alib. Aku tengadahkan
kepalaku dan kulihat awan menaungiku. Ku lihat Jibril di sana memanggilku dan
berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu, dan
tanggapan mereka atas dakwahmu. Telah diutus kepadamu malaikat penjaga
gunug-gunung untuk kau perintahkan apa pun yang kau kehendaki atas mereka.”
Kemudian malaikat gunung memanggilku. Ia mengucapkan salam dan berkata, “Wahai
Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu padamu dan aku
malaikat gunung. Tuhanmu telah mengutusku agar kau menyuruhku apa pun yang kau
kehendaki atas mereka. Jika kaumau, aku akan menghunjamkan dua gunung yang
paling terjal (Gunung Abu Qays dan gunung yang menghadapnya).”
Aisyah
melanjutkan, “Kemudian Rasulullah berkata kepada malaikat penjaga gunung,
“Namun, aku hanya ingin agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka, generasi
yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Beberapa Jin Lembah Nakhlah Masuk
Islam
Dalam perjalanan
pulang dari Thaif, Rasulullah saw, bermalam beberapa hari di Lembah nakhlah, dekat
Makkah. Pada saat itu Allah mengirim kepada beliau saw, beberapa jin yang
menyimak Al-Qur’an. Mereka memeluk Islam dan kembali kepada kaumnya, lalu
memberi peringatan dan kabar gembira.
Sebagaimana
disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan
keapdamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an, maka
ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya, mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)!” Maka ketika telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk)
memberi peringatan. Mereka berkata, “Wahai kaum kami!! Sungguh , kami telah
mendengarkan Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan
(kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimnbing kepada kebenaran dan kepada
jalan lurus. Wahai kaum kami!! Terimalah (seruan) orang (Muhammad) yang menyeru
kepada Allah. Dan beriman kepada-Nya, discaya Dia akan mengampuni dosa-dosamu
dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (QS. al-Ahqaf (46) : 29-31).
Dari Ibnu Abbas
r.a. berkata, “Rasulullah tidak membacakan Al-Qur’an pada jin dan tidak
melihatnya. Rasulullah saw, bersama para sahabatnya pergi menuju Pasar Ukazh.
Pada saat itu ada penutup antara setan dan kabar langit. Mereka dihujani
panah-panah api. Lalu setan-setan kembali pada kaumnya dan berkata, “Ada
pembatas yang menutup antara kita dan kabar langit, kami juga dihujani
panah-panah api.” Salah seorang dari mereka berkata, “Pasti ada penyebab yang
membuat hal itu terjadi. Pergilah ke timur dan barat bumi, lihatlah apa yang
menutup antara kita dan kabar langit!” Beberapa dari mereka pergi ke Timur dan
barat bumi. Sebagian melewati Tihamah, tempat Rasulullah berada di nakhlah
menuju Pasar Ukazh. Rasulullah sedang shalat Subuh bersama para sahabatnya.
Ketika mereka mendengar Al-Qur’an dibacakan, mereka menyimak dan berkata, “Ini
yang menutup antara ktia dan kabar langit.” Mereka pun segera kembali kepada
kaum mereka dan berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami mendengar
Al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk ke jalan yang benar, lalu
kami beriman kepadanya. Dan kamis ekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang
pun dengan Tuhan kami. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi saw.
Isra’ dan Mi’raj
Allah Ta’ala
berfirman :
“Mahasuci
(Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesarana) Kami. Sesungguhnya Dia
Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. al-isra’(17) : 1).
Rasulullah sedang
melalui masa-masa tersulitnya, yaitu rasa kehilangan atas wafatnya Paman dan
istrinya, permusuhan Quraisy yang makin menjadi-jadi setelah keduanya wafat,
serta iupaya berdakwah ke Thaif yang membuah kesedihan. Begitu juga,
kesombongan yang dilakukan Quraisy ketika beliau kembali ke Makkah. Semua itu
berpengaruh pada diri Nabi saw. Kita juga mengetahui bagaimana ia menghadap
kepada Allah dengan mengadukan kesedhan dan penderitaannya. Beliau juga memohon
pertolongan, menginginkan untuk memperbaharui niat agar senantiasa mampu
menanggung beban dalam menyebarkan dakwah, dan menganggap remeh semua
kesulitan, selama Allah ridha kepadanya.
Sykeh al-Jazairy
– semoga Allah menjaganya – berkata tentang Isra’ dan Mi’raj, “Peristiwa ini
merupakan hadiah dari Allah atas kepedihan
dan penderitaan yang beliau alami. Setelah embargo yang berlangsung
selama tiga tahun di kaki Gunung Abu Thalib. Pada saat itu beliau merasakan
kelaparan dan pengasingan. Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah kehilangan penolong
yang setia dari Khadijah Ummul Muslimin. Peristiwa ini terjadi setelah harapan
yang sia-sia di Tsaqif, celaan dan teriakan yang dilakukan oleh orang-orang
bodoh, anak-anak kecil, dan hamba sahaya di sana. Setelah semua itu, Allah
menghadiahi kekasih-Nya dengan mengangkatnya menuju tempat-Nya dan
mendekatkannya. Allah menghadiahinya dengan keridhaan yang membuatnya lupa
kesedihan dan keletihan yang telah dialaminya serta apa yang dialaminya ketika
menyampaikan risalah-Nya dan menyebarkan dakwahnya. Allah bershalawat
kepadanya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, sebanyak orang-orang yang berdzikir
kepada Allah,d an sebanyak orang-orang yang lengah dalam mengingat-Nya.
Yang Disaksikan Rasulullah pada Isra’
dan Mi’raj
Dari Anas bin
Malik r.a. bahwa Rasulullah saw., berkata, “Aku didatangi oleh Buraq. Dia
adalah hewan putih, lebih tinggi dari keledai, tanpa sepatu yang dikenakan di
ujung kukunya. Aku menungganginya hingga sampai ke Baitul Maqdis. Kemudian aku
mengikatnya di pintu masjid, tempat para nabi mengikat (tunggangannya). Lalu
aku memasuki masjid dan shalat dua rakat. Ketika aku keluar, kudapati Jibril
membawa bejana berisi khamardan bejana berisi susu. Aku memilih susu dan Jibril
berkata, “Engkau telah memilih fitrah (Islam dan istiqamah)” (HR Muslim).
Anas meriwayatkan
dari Malik bin Sha’sha’ah r.a. Malik berkata, “Sesungguhnya Nabi saw.,
mengabarkan kepada mereka tentang malam Isra’nya. beliau bersabda, “Ketika aku
berbaring di al-Hathim (tempat antara maqam Ibrahim dan rukun Yamani) --- dalam
riwayat lain di tempat tidurnya – Jibril mendatangiku dan ia menuntunku ....
(Aku mendengar Anas berkata, “Lalu tubuh Rasulullah dibelah dari ini ke ini.”
Kemudian aku berkata kepada Garud (yang berada di sampingku), Apa maksudnya?”
ia berkata, “Dari urat leher sampai rambut kemaluannya.” Aku juga mendengarnya
berkata, “Dari pangkal tulang dada sampai rambut kemaluannya.”) ..... kemudian
hatiku dikeluarkan, lalu didatangkan bejana dari emas yang dipenuhi iman, lalu
dicuci ddengannya dan dikembalikan. Kemudian datang kepadaku seekor binatang
yang tidak memakai sepatu kdua dan lebih tinggi dari keledai. (Garud berkata,
“Apakah itu Buraq, wahai Abu Hamzah.”)Anas berakta, “Ya, hewan ini meletakkan
kakinya di ujung penglihatannya.) ... lalu aku dibawa ke atas punggungnya,
kemudian Jibril membawaku ke langit dunia. ia mengetuk pintu dan Jibril
ditanya, “Siapa?” Jibril menjawab, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang
bersamamu?” Jawab Jibril, “Muhammad.” Tanya
lagi, “Apakah telah diutus padanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Lanjutnya,
“Selamat datang sebaik-baik orang sudah
datang.” Kemudian pintu dibuka, ternyata di sana ada Adam, Jibril berkata, “Ini
Bapakmu, Adam, berilah salam.” Aku pun mengucapkan salam keapdanya dan ia
menjawabnya. Kemudian ia berkata, “Selamat datang anak shalih dan nabi yang
shalih.” Kemudian Jibril membawaku ke langit kedua, dan ia mengetuk pintunya
dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi,
“Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus
kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang
sudah datang.” Kemudian pintu di buka, ternyata di sana ada Yahya dan Isa,
mereka adalah dua sepupu, Jibril berkata, “Ini yahya dan Isa, Ucapkan salam
kepada keduanya.” Aku pun mengucapkan salam kepada mereka dan mereka
menjawabnya. Kemudian mereka berkata, “Selamat datang saudara yagn shalih dan
nabi yang shalih.” Lalu aku di abwa ke langit dunia ketiga. Ia mengetuk pintu
dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi,
“Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “ Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah
telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang
sebaik-baik orang sudah datang.”
Kemudian pintu dibuka, ternyata di sana ada Yusuf. Jibriil berkata, “Ini Yusuf,
ucapkan salam kepadanya.” Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia
menjawabnya. Kemudia ia berkata, “ Selamat datang saudara yagn shalih dan nabi
yang shalih.” Lalu aku dibawa ke langit dunia keempat. Ia mengetuk pintuk dan
diaktakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Siapa yang bersamamu?”
Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus kepadanya?”
Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.”
Kemudian pintu di buka, ternyata di sana ada Isris. Jibril berkata, “Ini Idris,
ucapkan kepadanya salam.” Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia
menjawabnya. Kemudian Idris berkata, “Selamat datang saudara yang shalih dan
nabi yang shalih.” Lalu aku di bawa ke langit dunia kelima, ia mengetuk pintu
dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi,
“Siapa yang berrsamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “ Apakah
telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang
sebaik-baik orang sduah datang. Kemudian pintu dibuka ternyata di sana ada
Harun. Jibril berkata, “Ini Harun.” Berilah ia salam.” Aku mengucapkan salam kepadanya,
dan ia menjawabnya. Kemudian Harun berkata, “Selamat datang saudara yang shalih
dan nabi yang shalih. Lalu aku di bawa ke langit dunia keenam. Ia mengetuk
pintu dan dikatakan kepadanya, “Siapa?” Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi,
“Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi. “ Apakah
telah diutus kepadanya?”
Jawab Jibril, “Ya”. Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu di buka, ternyata di sana ada Musa. Jibril berkata, Ini Musa, ucapkan salam.” Aku mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawabnya. Kemudian ia berkata, Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih.” Ketika aku sudah melewatinya, ia menangis. Dikatakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” jawabnya, “Aku menangis karena seorang anak.” (Muhammad) diutus setelah aku, umatnya yang masuk surga lebih banyak dari umatku.” Lalu, aku dibawa ke langit dunia ketujuh. Ia mengetuk pintu, dan dikatakan kepadanya, “Siapa?
Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu dibuka, ternyata di sana ada Ibrahim. Jibril berkata, “Ini Ayahmu, ucapkan salam kepadanya.” Aku mengucapkan salam keapdanya dan ia menajwabnya. Kemudian ia berkata, “Selamat datang anak yang zhalih dan nabi yang shalih.” Kemudian aku dibawa ke Sidratul Muntaha, buahnya besar seperti guci-guci, daunnya sperti telinga gajah. Jibril berkata, “Ini Sidratul Muntaha.”. Lalu, ada empat sungai : Dua sungai di dalam dan dua sungai nampak di luar. Aku bertanya, “Wahai Jibril, sungai apa yang dua ini?” Jibril menjawab, “Yang di dalam itu, sungai surga, sedangkan yang nampak di luar itu Nil dan Eufrat.” Kemudian aku dibawa ke Baitul Ma’mur. Lalu, aku diberi segelas khamar, segelas susu,d an segelas madu. Aku mengambil susu. Jibril berkata, “Itu fitrah (agama Islam) dimana engkau dan umatmu berada.” Kemudian diwajibkan keadaku shalat 50 waktu setiap hari. Dalam perjalanan pulang, aku melewati Musa, lalu ia bertanya, “Apa yang diperintahkan kepadamu?” Jawabku, “Aku diperintahkan untuk shalat 50 waktu setiap hari.” Musa menyanggahnya.” “Sungguh umatmu tidak akan mampu menunaikan shalat 50 waktu setiap hari. Demi Allah, sesungguhnya ku telah berdakwah kepada manusia sebelummu. Dan, aku sudah mempraktikkannya kepada Bani Israil dengan upaya yang keras. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan untuk umatmu.” Aku pun kembali, lalu Allah mengurangi sepuluh waktu. Aku kembali kepada Musa dan ia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku kembali kepada Allah dan Allah mengurangi seupuluh waktu shalat lagi. Aku kembali kepada Musa dan ia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku kembali kepada Allah dan Allah memerintahkanku dengan lima waktu shalat setiap hari. Aku kembali kepada Musa, lalu ia bertanya, “Apa yang diperintahkan kepadamu? Jawaku, “Aku diperintahkan untuk shalat lima waktu setiap hari/” Kata Musa, “Sungguh umatmu tidak akan mampu menunaikan shalat 5 waktu setiap hari. Demi Allah, sesungguhnya aku telah berdakwah pada manusia sebelummu. Dan aku sudah mempraktikkannya kepada Bani Israil dengan upaya yang keras. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan untukmu.”
Jawab Jibril, “Ya”. Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu di buka, ternyata di sana ada Musa. Jibril berkata, Ini Musa, ucapkan salam.” Aku mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawabnya. Kemudian ia berkata, Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih.” Ketika aku sudah melewatinya, ia menangis. Dikatakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” jawabnya, “Aku menangis karena seorang anak.” (Muhammad) diutus setelah aku, umatnya yang masuk surga lebih banyak dari umatku.” Lalu, aku dibawa ke langit dunia ketujuh. Ia mengetuk pintu, dan dikatakan kepadanya, “Siapa?
Jibril berkata, “Jibril.” Ditanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Tanyanya lagi, “Apakah telah diutus kepadanya?” Jawab Jibril, “Ya.” Sambutnya, “Selamat datang sebaik-baik orang sudah datang.” Kemudian pintu dibuka, ternyata di sana ada Ibrahim. Jibril berkata, “Ini Ayahmu, ucapkan salam kepadanya.” Aku mengucapkan salam keapdanya dan ia menajwabnya. Kemudian ia berkata, “Selamat datang anak yang zhalih dan nabi yang shalih.” Kemudian aku dibawa ke Sidratul Muntaha, buahnya besar seperti guci-guci, daunnya sperti telinga gajah. Jibril berkata, “Ini Sidratul Muntaha.”. Lalu, ada empat sungai : Dua sungai di dalam dan dua sungai nampak di luar. Aku bertanya, “Wahai Jibril, sungai apa yang dua ini?” Jibril menjawab, “Yang di dalam itu, sungai surga, sedangkan yang nampak di luar itu Nil dan Eufrat.” Kemudian aku dibawa ke Baitul Ma’mur. Lalu, aku diberi segelas khamar, segelas susu,d an segelas madu. Aku mengambil susu. Jibril berkata, “Itu fitrah (agama Islam) dimana engkau dan umatmu berada.” Kemudian diwajibkan keadaku shalat 50 waktu setiap hari. Dalam perjalanan pulang, aku melewati Musa, lalu ia bertanya, “Apa yang diperintahkan kepadamu?” Jawabku, “Aku diperintahkan untuk shalat 50 waktu setiap hari.” Musa menyanggahnya.” “Sungguh umatmu tidak akan mampu menunaikan shalat 50 waktu setiap hari. Demi Allah, sesungguhnya ku telah berdakwah kepada manusia sebelummu. Dan, aku sudah mempraktikkannya kepada Bani Israil dengan upaya yang keras. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan untuk umatmu.” Aku pun kembali, lalu Allah mengurangi sepuluh waktu. Aku kembali kepada Musa dan ia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku kembali kepada Allah dan Allah mengurangi seupuluh waktu shalat lagi. Aku kembali kepada Musa dan ia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku kembali kepada Allah dan Allah memerintahkanku dengan lima waktu shalat setiap hari. Aku kembali kepada Musa, lalu ia bertanya, “Apa yang diperintahkan kepadamu? Jawaku, “Aku diperintahkan untuk shalat lima waktu setiap hari/” Kata Musa, “Sungguh umatmu tidak akan mampu menunaikan shalat 5 waktu setiap hari. Demi Allah, sesungguhnya aku telah berdakwah pada manusia sebelummu. Dan aku sudah mempraktikkannya kepada Bani Israil dengan upaya yang keras. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan untukmu.”
Rasulullah
berkata, “Aku telah (banyak) meminta kepada Tuhanku hingga aku malu, tetapi aku
rela dan berserah diri. Ketika aku sduah lewat, ada suara memanggil, “Aku telah
memerintahkan sebuah kewajiban dan Aku telah meringankan hamba-Ku.” (HR Bukhari
dan Muslim).
Perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi
Muhammad saw.
1. Langit pertama, Nabi Muhammad saw., bertemu
dengan Nabi Adam a.s.
2. Langit Kedua , Nabi Muhammad saw., bertemu
dengan Nabi Yahya a.s. dan Nabi Isa a.s.
3. Langit Ketiga , Nabi Muhammad saw., bertemu
dengan Nabi Yusuf a.s.
4. Langit keempat, Nabi Muhammad saw., bertemu
dengan Nabi Isris a.s.
5. Langit kelima, Nabi Muhammad saw., bertemu
dengan Nabi Harun a.s.
6. Langit keenam, Nabi Muhammad saw., bertemu
dengan Nabi Musa a.s.
7. Langit ketujuh, Nabi Muhammad saw., bertemu
dengan Nabi Ibrahim a.s.
Dalam perjalan
pulang setelah mendapat perintah shalat selama 50 kali, Nabi Musa
memperingatkan hal itu, hingga Nabi Muhammad saw, mendapat keringanan dari
Allah menjadi 5 kali sehari dalam perintah shalat untuk umat Muhammad saw.
Demi hikmah ini
dan semacamnya, kita meliaht bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi beberapa masa
sebelum Baiat Aqabah I atau antara dua baiat Aqabah. Allahu a’lam.
Apakah Rasulullah Melihat Allah SWT?
Para sahabat
berselisih tentang apakah Rasulullah melihat Rabb-nya pada malam itu atau
tidak?
Sebuah riwayat
yagn shahih dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa ia melihat Tuhannya. Dan riwayat
lain yang juga shahih darinya mengatakan bahwa ia melihat Allah dengan hatinya.
(HR Muslim).
Dalam riwayat
yang lain juga disebutkan dari Aisyah dan Ibnu Mas’ud yang mengingkari hal itu.
Keduanya berkata bahwa firman Allah, “Dan sesungguhnya Muhammad telah
melihatnya itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu di
Sidratul Muntaha ..... Kata ganti orang ketiga di ayat tersebut, yakni Jibril.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Riwayat yang
shahih dari Abu Dzar menyebutkan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Apakah engkau melihat Rabb-mu?” Beliau
bersabda, “Sebuah cahaya, bagaimana aku bisa melihat-Nya.” Maksudnya, ada
cahaya yang menghalangi antara akud an Dia.s ebagaimana tertera dalam riwayat
lain. “Aku melihat cahaya.” (HR Muslim).
BEBERAPA HAL YANG DILIHAT NABI SAW.
Allah SWT Memperlihatkan Baitul Maqdis
kepada Rasulullah saw.
Di pagi hari
Rasulullah saw., menyampaikan risalah-risalah yang telah beliau terima dari
Allah SWT tentang ayat-ayat-Nya yagn agung kepada umatnya setelah perjalan
Isra’ dan Mi’raj. Namun mereka makin mendustakannya, menyakitinya, dan
membahayakannya. Bahkan, mereka memintanya untuk menjelaskan detail Baitul
Maqdsis. Akhirnya Allah memperlihatkan kepada Nabi saw., sehingga beliau dapat
menjelaskannya dengan detail. Lalu, diterangkanlah tanda-tanda kebesarn-Nya dan
mereka tak dapat mengingkarinya sedikit pun (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw,
juga menjelaskan tentang kafilah yang melakukan perjalanan dan akan kembali.
Beliau memberi tahu tentang waktu kedatangan mereka dan unta yang mereka
tunggangi. Dan begitulah faktanya seperti apa yang ia sampaikan (HR Ahmad).
Meskipun demikian,
ternyata hal itu makin membuat mereka jauh dari kebenaran dan orang-orang yagn
zalim makin kufur.
Dari Anas r.a.
mengatakan bahwa Rasulullah saw, bersabda, “Ketika aku dinaikkan ke langit; di
saat aku berjalan-jalan di surga, aku melewati sebuah sungai yang di kedua
sisinya terdapat kubah-kubah permata berongga. Aku bertanya, “Wahai Jibril, apa
ini?” Jibril menjawab, ini adalah Kautsar yang dijanjikan Tuhanmu.” Dan
ternyata tanahnya terdiri atas misik yang sangat harum.” (HR Bukhari dan
Turmudzi).
Dari Sulaiman
asy-Syaibany berkata, “Aku bertanya inti dari firman Allah Ta’ala, “Sehingga
jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat lagi.” (QS an-najm (53) 9).
Abdullah memberi tahu bahwa Muhammad saw., melihat Jibril dan ia memiliki 600
sayap.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Dalam perjalanan Isra’ Rasulullah saw, sampai
menuju Sidratul Muntaha, yang berada di langit keenam. Di sanalah semua yang
naik dari bumi berakhir perjalanannya dan digenggam (semua yang darang) darinya.
Di sana pula semua yang turun dari atasnya berhenti, lalu digenggam. Allah berfirman, “(Muhammad melihat Jibril)
ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.” (QS. an-Najm
(53) : 16). Rasulullah berkata, (Yang meliputi Sidratul Muntaha) kasur-kasur
dari emas.” Lalu, Rasulullah saw, diberi tiga hal : diwajibkan atasnya shalat
lima waktu, diturunkan kepadanya ayat-ayat terakhir Surat al-Baqarah, dan
diampuni orang-orang yang beruat sesuatu yang menjerumuskannya ke neraka selama
ia tidak menyekutukan Allah.” (HR Muslim).
Dari Ibunu Abbas
r.a. tentang firman Allah, “ .... Dan Kami tidak menjadikan ru’ya yang telah
Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia .... (QS
al-Isra’ (17) : 60).” Ru’ya di ayat tersebut adalah sesuatu yang dilihat
Rasulullah dengan mata kepala beliau pada malam Isra’ ke Baitul Maqdis.
Adapun “..... dan (begitupula) pohon
yang terkutuk dalam Al-Qur’an ....” pohon itu adalah az-Zaqqun. (HR Bukhari).
Peristiwa Isra’
dan Mi’raj terjadi satu tahun sebelum hijrah Rasulullah. Demikian menurut
al-Qadhy Iyyadh dalam Asy-Syafa bil Huquq al-Mushtafa.
Sikap Abu Bakar ash-Shiddiq dalam
Kisah Ira’ dan Mi’raj
Tentang
perjalanan Isra’ dan Mi’raj, kaum musyrikin datang kepada Abu Bakar. Mereka
berkata, “Sahabatmu mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan menuju Masjid
al-Aqsha pada malam kemarin, sedangkan kami menempuh jarak itu dengan unta
selama sebulan penuh.”
Abu Bakar
berkata, “Jika ia mengatakan begitu, ia telah benar (dalam perkataannya).”
Dalam riwayat
yang lain dikatakan bahwa ash-Shiddiq segera membenarkan apa yang dikatakan
Rasulullah. Ia berkata, “Aku mempercayai kabar langit pagi atau sore, apakah
aku tidak memercayai kabar tentang Baitul Maqdis!?”
Dari peristiwa
itulah ia diberi gelar ash-Shiddiq (orang yang senantiasa memercayai). Sebab,
pada saat perjalanan Isra’ Nabi saw, berkata, “Sungguh kaumku tidak akan
memercayaiku.” Maka Jibril berkata, “Abu Bakar akan memercayaimu. Ia adalah
ash-Shiddiq. Dan Ali bin Abi Thalib bersumpah bahwa Allah memberi gelar
ash-Shiddiq kepada Abu Bakar dari langit.” (HR Thabrani).
Masjid al-Aqsha yang Kami Berkahi
Sekelilingnya
Al-Qasimy
berkata, “Al-Aqsha berarti yagn paling jauh. Disebut demikian karena jaraknya
yang jauh dari Makkah. Dan Firman-Nya, “.... Yang telah Kami berkahi
sekelilingnya...” (QS. al-Isra’ (17), yakni sisi-sisinya dengan keberkahan
agama dan dunia. Sebab, tanah suci tersebut adalah tempat tinggal para Nabi,
tempat turunnya wahyu untuk mereka, serta tempat tumbuhnya berbagai tanaman dan
buah-buahan. Keberkahan Ilahi melingkupi semua arahnya. Jadi, keberkahannya
berlipat-lipat karena ia terletak di tanah yang berkah. Begitu juga, entitasnya
sebagai satud ari Masjid Allah yang paling agung. Masjid adalah rumah Allah dan
karena ia tempat ibadah para nabi, tempat tinggal mereka, dan tempat turunnya
wahyu untuk mereka sehingga masjid ini diberkahi oleh Allah dengan keberkahan
para nabi. Begitu juga, masjid ini juga memberikan keberkahannya untuk mereka.”
Karakteristik al-Aqsha
- Tempat beribadah para nabi
- Tempat Isra’ penutup Nabi.
- Dari sanalah Mi’raj Rasulullah saw dimulai
menuju langit-langit yang tinggi.
- Tempat terjadinya peristiwa teragung.
- Rumah tempat Allah memuliakan ayat-ayat-Nya
yang jelas.
- Tempat dibacakannya empat kitab yang telah diturunkan
oleh Allah kepada nabi-nabi-Nya. oleh karena itu, Allah menggenggam matahari
melalui Yusya’ dengan tidak membenamkannya agar mudah menaklukkannya bagi
mereka yang dijanjikan oleh Allah dan mendekat.
- Kiblat shalat bagi dua agama sebelum Islam dan
bagi kaum muslimin pada awal munculnya Islam setelah dua periode hijrah.
- Kiblat yang pertama bagi kaum muslimin.
- Masjid yang kedua setelah Masjid al-haram.
- Tempat suci ketiga setelah Masjid al-Haram
dan Masjid Nabawi.
- Tentangnya Rasulullah bersabda, “Hendaknya
suatu perjalanan tidak dilakukan setelah perjalanan ke dua masjid, kecuali ke
Masjid al-Aqsha, setelah dua tempat itu, tidak ada tempat lain yang harus
dijaga, kecuali Masjid al-Aqsha.”
Keutamaan Masjid al-Aqsha
Di antara
keutamaannya, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa’, Hakim,dan ia
menshahihkannya. Dan Ibnu Umar mengatakanb bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sulaiman ketika membangun Baitul Maqdis, ia meminta Allah tiga hal. Allah
mengabulkan dua permintaannya, dan aku mengaharap yang ketiga.
1. Ia meminta
hukum yangs esuai dengan hukumnya, Allah mengabulkannya.
2. Ia meminta
kerajaan yang tidak akan pernah dimiliki seseorang sesudahnya, Allah pun
mengabulkannya.
3. Ia meminta
siapa pun yang pergi dari rumahnya, ia hanya ingin sahalt di masjid ini (Baitul
Maqdis), ia keluar dari masjid itu seperti pada hari ia dilahirkan ibunya.
Nabi saw berkata,
“Kita berharap semoga Allah mengabulkan hal itu.” (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu
Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim).
Kita memohon
kepada Allah SWT agar menyucikan Masjid al-Aqsha dari orang-orang yahudi yang
kotor dan mengembalikannya kepada kaum muslimin, setelah mengembalikan kaum
muslimin pada gama-Nya dan sunnah Rasul-Nya saw.
Nabi saw. Berdakwah kepada
Kabilah-Kabilah
Rasulullah saw sangat
menginginkan dapat berkumpul dengan orang banyak dan menyampaikan kepada mereka
tentang dakwah Islam. Beliau saw selalu mencari tempat-tempat berkumpul
kabilah-kabilah, khususnya di musijm haji dan waktu-waktu diadakannya
pasar-pasar Arab. Ketika beliau dapat
bertemu dengan para kepala kabilah sebagai pemegang kebijakan, beliau meminta
kepada mereka untuk melindunginya, tanpa memaksa seorang pun untuk menerima
dakwahnya.
Seseorang dari
Bani Malik bin Kinanah berkata, “Aku melihat Rasulullah di Pasar Dzu al-Majaz
menyusurinya, sambil berkata,”Wahai manusia, katakan tiada Tuhan selain Allah,
maka kalian akan beruntung.” Abu Jahal menaburinya dengan pasir dan berkata,
“Jangan sampai orang ini memalingkan kalian dari agama kalian. Dan menginginkan
kalian meninggalkan tuhan-tuhan kalian, meninggalkan Latta dan Uzza.”
Rasulullah saw sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Aku berkata, “Ceritakan
tentang Rasulullah saw.” Ia berkata, “Mengenakan dua potong pakaian berwarna
merah, berperawakan sedanf dan tegap, tampan, rambutnya sangat hitam, kulitnya
putih, dan rambutnya diwarnai.” (HR Ahmad).
Dari al-Harits
bin al-Harits berkata, “Aku bertanya kepada ayahku, “Ada apa di kerumunan itu?”
Jawabnya, “Mereka sedang berkumpul dengan seorang yang beralih agama.” Lalu,
kami turun. Ada Rasulullah di sana sedang menyeru manusia untuk mengesakan
Allah SWT dan beriman kepadanya. Namun, mereka menolaknya dan menyakitinya
sampai tengah hari. Keramaian itu bubar, lalu datang seorang perempuan yang
tulang dada atasnya terlihat membawa bejana air dan sapu tangan. Lalu,
Rasulullah mengambilnya dari perempaun itu, kemudian minum dan wudhu. Kemudian
Rasulullah mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai anakku, tutuplah dadamu
(berkerudunglah) dan jangan kamu khawatirkan ayahmu.” Kami bertanya, “Siapa
perempaun itu?” Mereka berkata, “Dia Zainab, putrinya.” (HR Ahmad).
Dari mudrak
berkata, “Aku pergi haji bersama ayahku. Ketika aku sampai di Mina, kami
melihat sekelompok orang. Aku bertanya keapda ayahku, “Ada apa di kerumunan
itu?” Jawab ayahku, “Dia adalah orang yang berpaling dari agama kaumnya.”
Ternyata dia adalah Rasulullah saw sedang berdakwah, “Wahai manusia, katakan,
“Tiada Tuhan selain Allah” maka kalian akan beruntung.” (HR Ahmad).
Dari Jabir bin
Abdullah r.a. berkata, “Rasulullah menyeru manusia di tempat wukuf, Arafah. Ia
berkata, “Apakah ada seseorang yang mau membawaku pada kaumnya karena Quraisy
melarangku menyampaikan kala Tuhanku SWT. Kemudian datang kepada beliau
seseorang dari Hamadzan. “Anda dari kabilah mana?” tanya Rasulullah.
“Dari Hamadzan.”
Kata laki-laki itu.
“Apakah kaummu
mau melindungku?” tanya Rasulullah lagi.
“Ya.” Jawabnya.
Namun, laki-laki
ini takut jika kaumnya mengkhianatinya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw
dan berkata, “Aku akan mendatangi mereka dan memberi tahu mereka, kemudian aku
akan datang kepadamu bersama yang lain.”
“YA.” Jawabnya.
Kemudian ia pergi dan pada bulan Rajab,d atanglah utusan Anshar.” (HR Ahmad).
Islamnya Iyyas bin Mu’adz
Dari mahmud bin
Labid, dua saudara Bani Abdul Asyhal berkata, “Ketika Abu al-haysar Anas bin Nafi’ (ke Makkah), bersamanya ada
beberapa pemuda dari Bani al-Asyhal, di antara mereka ada Iyyas bin Mu’adz.
Mereka datang untuk mencari dukungan dari Quraisy untuk kaum mereka al-Khazraj.
Rasulullah saw mendengar tentang mereka, lalu mendatangi mereka dan duduk di
majelis mereka. Beliau saw, berkata, “Apakah kalian menginginkan sesuatu yang
lebih baik dari tujuan kalian datang ke sini?” mereka berkata, “Apakah itu?”
Rasulullah berkata, “Aku utusan Allah yang diutus kepada hamba-hamba-Nya. aku
menyeru kepada mereka menyambah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan apa
pun serta menurunkan kepadaku sebuah kitab.” Kemudian beliau menerangkan Islam
dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Lalu, Iyyas bin Mu’adz – yang pada saat
itu hanya anak kecil – berkata, “Wahai kaumku, demi Allah, ini lebih baik
daripada apa yang kalian cari di sini.” Abu al-Haysar Anas bin Nafi’ mengambil
segenggam pasir dan melemparkannya ke wajah Iyyas bin Mu’adz dan berkata,
“(Cukup) Biarkan kami, demi hidupku, kita datang kemari untuk selain itu.”
Iyyas pun terdiam. Rasulullah saw pun bangkit dan mereka pun pulang ke Madinah.
Pada saat itu terjadi peperangan Bu’ats antara Aus dan Khazraj . beberapa saat
kemudian, Iyyas bin Mu’adz meninggal. Muhammad bin Labid berkata, “Mereka dari
kaumku yagn hadir di saat ajalnya datang memberitahuku bahwa mereka mendengar
ia mengucapkan tahlil, takbir, tahmid, dan tasbih, hingga ia meninggal!” Mereka
tidak meragukan lagi bahwa Iyyas mati sebagai muslim. Ia telah memancarkan
Islam di Majelis itu ketika iia mendengar dakwah Rasulullah.” (HR Ahmad dan Thabarani).
Suwaid bin Shamit Memeluk Islam
Suwaid bin Shamit
adalah pernyair cerdas dari penduduk yatsrib. Kaumnya menamainya dengan
al-Kamil (yang sempurna, karena kulitnya, rambutnya, kemuliaannya, dan
nasabnya). Ia datang ke Makkah untuk menunaikan haji atau umrah. Kemudian
Rasulullah saw menyerunya pada Islam. Suwaid berkata, “Sepertinya apa yang ada
padamu seperti yang ada padaku.”
“Apa yang ada
kepadamu?” tanya Rasulullah.
“Hikmah Luqman.”
Jawabnya.
“Paparkan
kepadaku.” Pinta Rasulullah.
Maka dia pun
membacakannya untuk Rasulullah, lalu beliau saw berkata, “Ini perkataan yang
baik, tetapi yang ada pada diriku lebih baik dari itu. Al-Qur’an yang
diturunkan oleh Allah untukku adalah petunjuk dan cahaya.”
Lalu, Rasulullah
membacakan Al-Qur’an dan menyerunya pada Islam, akhirnya ia pun memeluknya. Ia
berkata, “Sesungguhnya ini benar-benar perkataan yang baik.” Ketika ia pulang
ke Madinah, tak lama kemudian ia terbunuh pada peperangan Bu’ats. Ia memeluk
Islam di awal tahun ke-11 kenabian.
Enam Orang Penduduk Yatsrib yang Baik
Pada musim haji
tahun 11 kenabian, tepatnya pada bulan Juli 610 M, dakwah Islamiyah mulai
mendapat benih=benih baik yang dalam waktu cepat berubah menjadi pohon-pohon
yang berbuah lebat. Kaum muslimin terlindungi dalam naungannya yang teduh dari
kezaliman dan penindasan yang berlangsung bertahun-tahun.
Di antara hikmah
yang didapat oleh Rasulullah terhadap pengingkaran dan perlawanan penduduk
Makkah, yaitu :
1. Rasulullah
menemui kabilah-kabilah di kegelapan malam agar tidak ada seorang pun dari
penduduk Makkah yang menghalangi antara beliausaw dan kabilah-kabilah itu.
2. Beliau saw
juga pernah pergi di malam hari bersama Abu Bakar dan Ali. Mereka melewati
rumah-rumah Dzuhl dan Syaiban bin Tsa’labah, kemudian berbicara tentang Islam
kepada mereka.
3. Terjadi
diskusi yang seru antara Abu Bakar dan seseorang dari Dzuhl Bani Syaiban
membalas dengan baik dakwah ini, hanya saja mereka tidak menerima Islam sebagai
agama mereka.
4. Rasulullah
lewat di perkampungan Aqabah, Mina. Beliau mendengar beberapa orang
bercakap-cakap, kemudian beliau pergi menemui mereka. Mereka adalah enam orang
pemuda Yatsrib dari Khazraj. :
a. As’ad bin
Zararah (dari Bani an-Najjar).
b. Auf bin
al-Harits bin Rifa’ah, putra Afra’ (dari Bani an-Najjar).
c. Rafi’ bin
Malik bin al-‘Ajlan (dari Bani Zuraiq).
d. Qutbah bin
Amir bin Hadidah (dari Bani Salamah).
e. Uqbah bin Amir
bin Nabi (dari Bani Haram bin Ka’l).
f. Jabir bin
Abdullah bin Ri’ab (dari Bani Ubaid bin Ghanam).
Ibnu Ishaq
berkata, “Ashim bin Umar bin Qatadah megnatakan kepadaku dari tokoh-tokoh dari
kaumnya. Mereka berkata, “Ketika Rasulullah menemui mereka, beliau bertanya,
“Siapa kalian? Mereka berkata, “Kami dari Khazraj.” Tanyanya lagi, “Apakah
kalian pelayan-pelayan orang yahudi?” Jawab mereka, “Ya.” Rasulullah bersabda,
“Maukah kalian duduk bersamaku, aku ingin becara kepada kalian?” Mereka
menyahut, “Tentu.” Lalu, Rasulullah duduk bersama mereka dan menyeru mereka
kepada Allah SWT, menawarkan kepada mereka Islam, dan membcakan kepada mereka
Al-Qur’an.”
Menurut Ibnu
Ishaq, “Dari yang telah Allah buat pada mereka dalam Islam bahwa orang-orang
Yahudi yang ahli kitab dan ilmu telah bersama mereka di negeri mereka. Merka
adalah orang-orang musyrikin dan pagan. Kaum Yahudi mendominasi atas mereka di
negara mereka. Ketika terjadi sesuatu di antara mereka, nereka berkata,
“Sesungguhnya seorang nabi diutus saat ini dan telah datang waktunya. Kami akan
mengikutinya dan kami akan membunuh kalian, sebagaiman terbunuhnya ‘Ad dan
Iram.”
Ketika Rasulullah
berbicara dengan mereka dan menyeru mereka kepada Allah, sebagian dari mereka
berkata, “Wahai kaumku, demi Allah, kalian tahu bahwa dia adalah Nabi yang
disebut oleh orang-orang Yahudi, jangan sampai mereka mendahului kita. Mereka
menerima dakwah Rasulullah, beriman kepadanya dan menerima Islam yang
dipaparkan olehnya.”
Mereka berkata,
“Sesungguhnya kami telah meninggalkan kaum kami dan tidak ada kaum yang tak
bermusuhan dan berbuat kejahatan. Mduah-mudahan Allah mengumpulkan mereka di
tanganmu. Kami akan datang kepada mereka dan menyeru mereka pada dakwahmu, lalu
menawarkan kepada mereka agama yang telah kami anut. Jika Allah menyatukan
mereka, tak ada seseorang yang lebih mulia dari engkau.”
Baiat Aqabah Pertama
Enam orang dari
penduduk Yatsrib telah menyatakan keislamannya pada musim haji tahun 11
kenabian. Mereka menjajikan kepada Rasulullah untuk menyampaikan risalah kepada
kaum mereka. Hasilnya, pada musim haji tahun berikutnya, yaitu tahun ke-12
kenabian, bertepatan dengan bulan Juli 621 M, datanglah 12 orang laki-laki.
Lima dari mereka adalah enam orang yang pernah bertemu Rasulullah saw, pada
tahun yang lalu. Satu dari enam orang itu yang tidak hadir adalah Jabir bin
Abdullah bin Ri’ab. Sedangkan, tujuh orang lainnya adalah Mu’adz bin al-Harits,
Dzakwan bin Abdul Qayyis, Ubadah bin ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abbas bin
Ubadah bin Nadillah, Abu al-Haitsam bin at-Tihan, dan Uwaimar bin Sa’idah.
Dari Utbah bin
ash-Shamit r.a. berkata, “Aku di antara mereka yang hadir di Perjanjian Aqabah
I, kami berjumlah 12 orang. Kami berbaiat kepada Rasulullah saw, atas kaum
wanita dan itu terjadi sebelum peperangan disyariatkan. Kami berbaiar untuk
tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak kami, tidak melakukan kekejian yang dilakukan oleh tangan
ataupun kaki, dan tidak mendurhakai Allah dalam kebaikan. “Jika kalian setia
pada janji ini, untuk kalian surga. Namun, jika kalian menghianatinya satu di
antaranya, urusan kalian kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia menyiksa
kalian. Jika Dia berkehendak, Dia mengampuni kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perjanjian Aqabah I
1. Tidak
menyekutukan Allah dengan apa pun.
2. Tidak mencuri.
3. Tidak berzina.
4. Tidak membunuh
anak-anak.
5. Tidak
melakukan kekejian oleh tangan dan kaki.
6. Tidak
mendurhakai Allah dalam kebaikan.
Duta Dakwah Pertama ke Madinah
Utusan al-Anshar
menyelesaikan baiatnya, kemudian kafilah mereka kembali ke Yatsrib. Nabi
berpikir untuk mengirim seseorang yang dipercaya dari para pengikutnya kepada
mereka agar dapat memantau perkembangan Islam di Madinah, membacakan Al-Qur’an
kepada penduduknya, dan makin memahamkan kepada mereka tentang agama ini.
Akhirnya, jatuhlah pilihan beliau pada diri Mush’ab bin Umar untuk menjadi
pengajar yang terpercaya itu.
Mush’ab pun
sangat sukses dalam mengamban dakwah Islam dan membuat banyak orang berkumpul
kepadanya. Ia juga dapat melalui segala kesulitan yang selalu menghadang setiap
orang asing yang baru menapakkan kaki di negeri orang. Ia berusaha untuk
mengalihkan orang dari nilai-nilai warisan yagn mereka karang ke sebuah tatanan
baru, yagn melingkupi era saat ini dan masa depan, yang mencakup iman dan amal,
moral dan perilaku.
Dari riwayat Ibnu
Ishaq, ia berkata, “Ashim bin Umar bin Qatadah mengabarkan kepada saya bahwa
Rasulullah mengutus Mush’ab ketika mereka menulis surat meminta beliau untuk
mengutusnya kepada mereka karena ia pernah mengimami mereka shalat. Hal itu karena
Aus dan Khazraj tidak suka jika salah satu dari mereka mengimami yang lain ---
mereka yang dari kabilah Khazraj tidak mau diimami oleh Kabilah Aus dan
sebaliknya – semoga Allah meridhai mereka semua.
Ibnu Ishaq
mengatakan bahwa Ubaidillah bin Mugirah bin Mu’aiqib dan Abduillah bin Abi
Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm mengabarkan, ‘As’ad bin Zararah keluar
bersama Mush’ab dan Umair ingin berkunjung ke perkampungan Bani Abdul Asyhal
dan Bani Zhafar. Sa’ad bin Mu’adz an-Nu’man putra Umru’ul Qays bin Zubair bin
Abdul Asyhal adalah putra bibi As’ad bin Zararah. Lalu, ia memasuki sebuah
rumah di perkampungan Bani Zhafar, yang dinamakan Bi’r Maraq. Keduanya duduk di
sana, yang sudah ebrkumpul juga beberapa pemeluk Islam. Sa’ad bin Mu’adz dan
Usaid bin Khudair, yang pada saat itu adalah pemimpin kaumnya dari Bani Abdul
Asyhal. Kedua orang ini musyrik, yang mengikuti agama kaumnya. Kedika keduanya
mendengar tentang Mush’ab, Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada usaid bin Khudair,
“Aku berdoa untukmu, pergilah kepada kedua orang yang telah datang ke rumah
kita untuk membodohi orang-orang yang lemah di antara kita. Bentaklah mereka
dan laranglah untuk tidak mendatangi rumah-rumah kita. Kalau saja bukan karena
As’ad bin Zararah kerabatku, dan kau tahu itu, maka kau bisa membunuhnya.
Namun, dia adalah anak bibiku, aku tidak punya celah untuk itu.”
Kemudian Usaid
bin Khudair pun mengambil tombaknya dan mendatangi mereka. Ketika As’ad bin
Zararah melihatnya, ia berkata kepada Mush’ab, “Ini adalah pemimpin kaumnya
telah datang kepadamu, minta tolonglah kepada Allah dalam hal ini.”
Mush’ab berkata,
“Jika ia duduk, aku akan berbicara dengannya.”
Usaid datang
dengancelaan dan hinaan pada mereka, ia berkata, “Ada apa kalian datang kemari,
mau memperdaya orang-orang yang lemah di antara kami? Tinggalkan kami jika
kalian masih membutuhkan diri kalian.”
Mush’ab berkata,
“Tak maukah kamu duduk sejenak dan mendengarkan kami? Jika kamu suka dengan
perkara ini, kamu bisa menerimanya, tetapi jika tidak, tinggalkan saja.”
“Kau benar.” Kata
Usaid. Lalu, ia meletakkan tombaknya dan duduk bersama kedua orang itu. Mush’ab
memberitahunya tentang Islam dan membacakan Al-Qur’an untuknya.
Menurut riwayat
dari Sa’d dan usaid, keduanya berkata, “Demi Allah, kami telah melihat Islam di
wajah Mush’ab sebelum ia berbciara, dalam pancaran wajahnya dan keramahannya.”
Setelah dibacakan
Al-Qur’an, ia berkata, “Alangkah bagusnya kalam ini dan alangkah cantiknya. Apa
yang kalian lakukan jika kalian ingin masuk pada agama ini?”
Mush’ab menjawab, “Kau mandi, bersuci, dan
sucikan pakaianmu, kemudian kauucapkan syahadat kebenaran, lalu shalat.”
Usaid pun bangkit
untuk mandi dan menyucikan badan dan pakaiannya, bersyahadat, lalu berdiri
menunaikan dua rakaat shalat. Kemudian ia berkata kepada keduanya, “Di belakangku
ada seseorang yang mana jika ia mengikutimu maka tak seorang pun dari kaumnya
yang menetangnya. Aku akan memanggilnya untuk kalian sekarang ... Sa’ad bin
Mu’adz.”
Lalu, Usaid
mengambil tombaknya dan pergi menuju Sa’ad dan kaumnya. Mereka sedang dududuk
di balai pertemuan mereka. Ketika Sa’ad melihatnya datang, ia berkata, “Aku
bersumpah demi Allah, Usaid datang kepada kalian bukan dengan wajah ketika ia
pergi dari sini.” Ketika ia sampai ke balai itu, Sa’ad berkata keepada Usaid,
“Apa yang terjadi?”
“Aku telah
berbincang-bincang dengan mereka, demi allah, aku tidak melihat sesuatu yang
membahayakan dari mereka dan aku telah mearang mereka. Kita lakukan apa yang
kau mau. Ada yang mengatakan kepadaku bahwa Bani Haritsah telah pergi menuju
As’ad bin Zararah untuk membunuhnya dan itu terjadi karena mereka tahu bahwa
dia adalah anak bibinya. Mereka ingin membatalkan perjanjian denganmu.”
Seketika Sa’ad
bangkit marah, khawatir atas apa yang hendak dilakukan Bani Haritsah. Lalu, ia
mengambil tombaknya, kemudian berkata, “Demi Allah, Aku tidak melihatmu tidak
membutuhkan sesuatu.” Kemudian ia pergi menuju Mush’ab dan As’ad. Ketika As’ad
melihat mereka berdua tenang. Sa’ad tahu bahwa Usaid hanya ingin ia
mendengarkan dari mereka berdua. Ia pun berdiri di depan mereka sambil menghina
mereka. Kemudian ia berkata kepada As’ad bin Zararah, “Wahai Abu Umamah, demi
Allah, jika bukan karena hubungan kerabat antara kau dan aku, aku tidak akan
melakukan hal ini. Apakah kalian hendak memperdaya kamid i rumah kami dengan sesuatu
yang dibenci?” As’ad bin Zararah sebelumnya telah mengatakan kepada Mush’ab bin
Umair, “Wahai Mush’ab, demi Allah, telah datang kepadamu seorang pemimpin
kaumnya. Ia ia mengikutimu, maka tak seorang pun dari kamunya yang
berseberangan dengan mereka berdua (Sa’ad dan usaid).”
Mush’ab berkata
kepada Sa’ad, “Maukah kamu duduk dan mendengar? Jika kau rela dan menginginkan
perkara ini, kau dapat menerimanya. Jika kau tidak menyukainya, kami tak kan
memaksamu.”
“Kau benar,” kata
Sa’ad. Lalu, ia melatakkan tombaknya dan duduk. Mush’ab menawarkan Islam kepada
dan membacakan Al-Qur’an.
Menurut riwayat
dari Sa’ad dan Usaid, keduanya berkata, “Demi Allah kami telah melihat Islam di
wajah Mush’ab sebelum ia berbicara, dalam pancaran wajahnya dan keramahannya.”
Setelah dibacakan
Al-Qur’an, Sa’ad berkata, “Alangkah bagusnya kalam ini dan alangkah cantiknya.
Apa yang kalian lakukan jika kalian ingin masuk pada agama ini?”
Mush’ab menjawab,
“Kau mandi, bersuci, dan sucikanlah pakaianmu, kemudian kau ucapkan syahadat
kebenaran, lalu shalat.”
Sa’ad bergegas
mandi, menyucikan badan dan pakaiannya, bersyahadat, lalu berdiri menunaikan
dua rakaat shalat. Setelah itu, ia mengambil tombaknya dan pergi menuju balai
pertemuan kaumnya dan bersamanya ada usaid bin Khudair.
Ketika ia datang
kepada kaumnya, mereka berkata, “ Kami bersumpah, demi Allah, Sa’ad datang
kepada kalian bukan dengan wajah ketika ia pergi dari sini.” Ketika Sa’ad
sampai ke balai itu, ia berkata, “Wahai Bani Abdul Asyhal, apa pendapat kalian
tentang diriku?”
“Engkau tuan kami
dan pendapatmu paling bijak di antara kami, selalu memperhatikan tuntutan
kami,” kata kaumnya.
“Oleh karena
bericara dengan kalian, laki-laki dan perempauan, terlarang bagiku sampai
kalian belum beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Keduanya berkata,
“Sore itu, tak satu rumahpun di perkampungan Bani Abdul Asyhal, baik laki-laki
maupun perempuan, melainkan mereka telah menjadi muslim dan muslimah. As’ad dan
Mush’ab pulang ke rumah As’ad dan bermukim di sana, menyeru manusia pada Islam.
Hingga tak ada lagi rumah-rumah Anshar, melainkan di sana terdapat muslim dan
muslimah. Kecuali rumah Bani Umayyah bin Zaid, Khatmah, Wa’il, dan Waqif.
Mereka berasal dari keturunan Aus bin Haritsah. Itu disebabkan adanya Abu Qays
bin al-Aslat, namanya Shayfi. Ia penyair dan pemimpin bagi mereka. Mereka
mendengarkannya, menaatinya, hingga Perang Khandaq terjadi, mereka belum
menerima Islam.” (HR. Ibnu Ishaq).
Baiat Aqabah Kedua
Dari Jabir bin
Abdullah r.a. berkata, “Rasulullah saw, selama sepuluh tahun terus mendatangi
tempat-tempat mereka di Ukaz dan Majnah. Pada musim haji di Mina, beliau
berkata, “Barangsiapa mendukungku, menolongku hingga aku dapat menyampaikan
risalah Tuhanku, baginya surga.” Hingga ketika seorang laki-laki yang dari
Yaman atau Mudhar (begitu beliau mengatakan), lalu kaumnya datang kepadanya dan
mengatakan, “Hati-hati dengan seseorang anak dari Quraisy. Jangan sampai ia
memperdayamu, ia berjalan di antara para pelancong dan menunjukkan jari. Sampai
ketika Allah mengutus kami dari Yatsrib, kami melindunginya dan beriman
kepadanya. Seseorang dari kami pergi bertemu dengannya, lalu beriman kepadanya.
Ia membacakan Al-Qur’an untuknya. Lalu, laki-laki itu kembali kepada kaumnya
dan mereka memeluk Islam dengan keislamannya. Hingga tidak ada lagi rumah-rumah
Anshar, melainkan di dalamnya terdapat sekumpulan muslim, yang berjuang untuk
Islam, kemudian semuanya bersatu membela urusan mereka.”
Kemudian kami
katakan, “Sampai kapan kita membiarkan Rasulullah diusir di pegunungan Makkah
dan dalam keadaan takut?”
Kemudian 70 orang
laki-laki dari kami pergi menemuinya pada musim haji. Kami menjanjikan beliau
bertemu di lembah Aqabah. Kami berkumpul di sana, satu dua orang datang, hingga
genap jumlah kami. Kami katakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pada apa
kami berbaiat kepadamu?”
Rasulullah
menjawab, “Berjanjilah kepadaku untuk senantiasa mendengar dan taat kepadaku,
baik ketika rajin maupun malas, selalu memerintahkan pada kebaikan dan mencegah
kemungkaran, dan hendaknya kalian mengatakan kepada Allah, “Kami tidak takut
celaan orang-orang yang mencela di jalan Allah.” Selalu menolongku dan
melindungiku jika aku datang kepada kalian, sebagaimana kalian melindungi diri
kalian, istri-istri kalian, dan anak-anak kalian ...... maka bagi kalian surga.”
Kami pun bangkit dan berbaiat kepadanya.
Lalu, As’ad bin
Zararah memegang tangan Rasulullah, ia orang yang paling muka di antara mereka.
Ia berkata, “Sebentar, wahai penduduk yatsrib. Kita tidak melecut unta (pergi)
kepadanya, melainkan kita tahu bahwa ia utusan Allah, mengeluarkannya (dari
Makkah) saat ini berarti pernyataan perang dan permusuhan terhadap bangsa Arab
seluruhnya, pembunuhan atas orang-orang terpilih di antara kalian, dan
pedang-pedang akan menebas leher kalian. Jika kalian kaum yang sabar atas itu
semua, pahala kalian dari Allah. Jika kalian khawatir atas diri kalian dan
pengecut, ketahuilah itu menjadi halangan kalian di sisi Allah.”
Mereka berkata,
“Menjauhlah, ya As’ad. Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan baiat ini
selamanya dan juga tidak akan menolaknya selamanya.”
Kemudian kami
berbaiat kepadanya. Beliau pun menggenggam janji kami dan mengikatnya, lalu
beliau saw, memberi kami surga.” (HR Ahmad, Baihaqi, Hakim, dan adz-Dzahabi).
Barang Dijual Seharga Surga
Dari Jabir bin Abdullah
r.a., “Pamanku, kakek Ibnu Qais, membawaku dalam rombongan 70 orang berkendara
dari kaum Anshar, yang akan mendatangi Rasulullah pada malam hari di Aqabah.
Lalu, Rasulullah datang kepada kami dan bersamanya ada pamannya. Abbas bin
Abdul Muthalib. Dia berkata, “Wahai paman, perhatikan paman-pamanmu
(berjagalah) jika ada orang Quraisy datang).”
Kemudian 70 orang
itu berkata kepada beliau saw, “Wahai Muhammad, mintalah untuk Tuhamu dan untuk
dirimu apa pun yang kau inginkan.”
“Yang aku minta
dari kalian untuk Tuhanku, kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya
dengan apa pun. Adapun yang kuminta dari kalian untuk diriku adalah kalian
melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri kalian,” sabda Rasulullah.
“Lalu, apa
balasan untuk kami jika melakukan semua itu?” tanya mereka.
Rasulullah
bersabda, “Surga.” (HR Thabrani).
Dari Anas dari
Tsabit dari Qays r.a. ia adalah orang yang mempersembahkan diri kepada
Rasulullah ketika berkhotbah dan berkata, “Ssungguh kami akan melindungimu
sebagaimana kami melindungi diri kami dan anak-anak kami, lalu apa yang kami
dapatkan, wahai Rasulullah?”
“Bagi kalian
surga.” Jawab Rasulullah.
“Kami ridha,”
kata mereka (HR Abu Ya’la dan Hakim).
Ka’ab bin Malik Menceritakan Peristiwa
Bersejarah Agung Itu
Ka’ab bin Malik
r.a. menceritakan tentang baiat yang penuh berkah itu. Ia berkata, “Kami pergi
berhaji dan Rasulullah berjanji akan menemui kami di Aqabah pada saat hari
Tasyriq. Ketika kami selesai melakukan haji dan tibalah malam yang dijanjikan
Rasulullah. Bersama kami terdapat Abdullah bin Amru bin Haram Abu Jabir, salah
satu pemimpin dari pemimpin-pemimpin kami, salah satu dari tokoh-tokoh kami.
Kami membawanya bersama kami. Kami menyembunyikan hal ini kepada orang-orang
musyrik di antara kami. Kemi berbicara kepadanya, kami katakan, “Wahai Abu
Jabir, sungguh engkau adalah pemimpin di antara pemimpin-pemimpin kami, yang
mulia di antara mereka yang mulia di kaum kami. Kami tidak menginginkan dengan
apa yang kau anut saat ini (syirik) karena engkau akan menjadi kayu bakar di neraka kelak.” Kemudian kami
menyerunya memeluk Islam dan kami beritahu tentang rencana pertemuan kami nanti
dengan Rasulullah di Aqabah. Ia pun memeluk Islam dan menyaksikan peristiwa
Aqabah, bahkan ia menjadi pemimpin. Lalu, kami tidur malam itu bersama kaum
kami di kendaraan kami. Memasuki sepertiga malam, kami keluar dari tempat kami
bermalam untuk bertemu Rasulullah. Kami mengendap-endap seperti kucing pergi
satu demi satu (tidak bergerombol) ketika kami berkumpul di lembah Aqabah.
Jumlah kami 73 orang laki-laki dan 2 orang istri kami, yakni Nusaibah binti
Ka’ab Ummu Umarah – seorang wanita dari Bani Mazin an-Najjar --- dan Asma’
binti Amru bin Addy bin Nabi --- ia berasal dari Bani Salamah --- dia adalah
Ummu Muni.”
Abbas Hadir Bersama Rasulullah dan
Meminta Kejujuran Baiat Al-Anshar
Ka’ab berkata,
“Lalu kami berkumpul di Aqabah menunggu Rasulullah saw hingga beliau datang
bersama pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, yang pada saat itu masih memeluk
agama kaumnya. Hanya saja ingin mengetahui perkara keponakannya dan ia duduk
tenang dengan keadaannya. Ketika ia duduk, orang yang pertama kali berbicara
adalah Abbas bin Abdul Muthalib. Ia berkata, “Wahai kaum Khazraj (pada saat itu
mereka menamakan daerah Anshar itu Khazraj), sesungguhnya Muhammad itu adalah
bagian dari kami sebagaimana kalian kethaui, kami telah melindunginya dari kaum
kami, yang mana mereka masih seperti kami (dalam beragama). Muhammad
termuliakan di kaumnya, terlindungi di negerinya. Hanya saja ia enggan kecuali
bersama kalian, menemui kalian. Jika kalian melihat bahwa kalian akan setia
kepadanya dengan dakwah dan kalian menyeru kepadanya, melindunginya dari orang
yang berseberangan dengannya, kalian dan apa yang kalian emabn dari dakwah itu.
Jika kalian akan menyerahkannya, menghianatinya, setelah ia pergi bersama
kalian, dari sekarang tingglkan ia dalam kemuliaan, perlindungan dari kaumnya,
dan negerinya.”
Merekalah Sebenar-benarnya Pria
Kami katakan
kepadanya, “Kami telah mendengar apa yang telah kaukatakan maka bicaralah,
wahai Rasulullah, ambilah (dari kami) apa pun yang kau sukai untuk dirimu dan
tuhanmu.”
Lalu, Rasulullah
berbicara, membaca Al-Qur’an, berdoa kepada Allah SWT, dan menyemangati untuk
senantiasa cinta pada Islam. Kemudian beliau bersabda, “Aku membaiat kalian
untuk melindungiku sebagaimana kalian melindun gi istri-istri dan anak-anak
kalian.”
Al-Barra’ bin
Ma’rur mengambil tangannya, dan berkata, “Ya.” Demi Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran sebagai nabi, kami akan senantiasa melindungimu sebagaimana kami
melindungi istri-istri kami maka kami berbaiat, wahai Rasulullah. Demi Allah,
kami adalah bangsa yang cerdik berperang dan lihai dalam menggunakan senjata.
Kami mewarisinya dari pembesar ke pembesar yang lain.”
Ketika al-Barra’ berbicara
kepada Rasulullah, Abu al-Haitsam bin at-Tihan menyanggah pernyataan Barra’,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya anatara kami dan orang-orang yang ada di sini
masih kerabat dan kami akan mengalahkan yahudi. Apakah jika kami dapat
melakukan itu, lalu Allah memenangkannya, engkau akan kembali kepada kaummu dan
meninggalkan kami?”
Rasulullah saw
tersenyumdan bersabda, “Tapi darah dengan darah, tanggunganku tanggungan
kalian, aku adalah bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dariku, aku
memerangi yang kalian perangi, dan berdamai dengan yang berdamai dengan kalian.
Berikan kepadaku dua belas orang wakil dari kalian, yang mewakili kaumnya.”
Kemudian mereka
memutuskan kedua belas orang itu sebagai wakil mereka; sembilan dari Khazraj
dan tiga dari Aus.
Setan Mengungkap Perjanjian
Ka’ab berkata,
“Orang yang pertama kali menyambut tangan Rasulullah untuk berbaiat adalah
al-Barra’ bin Ma’rur, kemudian semua orang mengikutinya. Ketika kami beraiat
kepada Rasulullah saw’, setan berteriak dari puncak Aqabah dengan suara keras
yang aku juga mendengarnya, “Wahai Ahl al-Habahib al-Manazil, apakah pada
kalian terdapat pencela dan mereka yang berpaling dari agamanya (ash-Shabi’, sebutan untuk kaum muslimin di zaman
Rasulullah) ada bersamanya?
Mereka telah ebrsatu untuk memanggil kalian.” Kemudian Rasulullah saw,
bersabda, “Itu adalah setan Azabbul Aqabah, putra Azib .... apakah engkau
mendengar, wahai musuh Allah? Demi Allah, aku akan menyelesaikan urusanku
denganmu.”
Kecerdasan Rasulullah dan
Kebijaksanaannya
Rasulullah saw bersabda, “Berpencarlah menuju kendaraan-kendaraan
kalian.”
Abbas bin Ubadah bin Nidhlah berkata, “Demi Allah yang mengutusmu
dengan kebenaran. Jika engkau menghendaki, kami akan memerangi penduduk Mina
besok dengan pedang-pedang kami.”
Rasulullah saw bersabda, “Kita belum diperintahkan untuk itu,
sekarang pulanglah ke kendaraan kalian.”
Kami pun pulang ke tempat tidur kami dan kami tertidur di sana
sampai pagi.
Quraisy dan Ketakutannya terhadap
Baiat Itu
Kabar pembaiatan ini mengetuk telinga orang-orang Quraisy, kemudian
terjadi kericuhan yang memicu kegelisahan dan kesedihan di kalangan mereka.
Sebab, mereka betul-betul mengetahui dampak-dampak yang akan muncul dengan
adanya baiat seperti ini, baik itu bagi diri mereka maupun harta mereka. Begitu
pagi menjelang, para pemimpin Makkah dan pembesar-pembesarnya yang jahat datang
ke perkemahan penduduk Yatsrib dalam jumlah banyak untuk mengungkapkan protes
keras mereka terhadap perjanjian ini.
Ka’ab berkata, “Ketika pagi, orang-orang Quraisy datang kepada
kami dalam jumlah banyak dan mereka sampai ke perkemahankami. Mereka berkata,
“Wahai kabilah Khazraj, telah sampai kepada kami bahwa kalian telah datang
kepada teman kami (Rasul saw.). kalian memintanya keluar dari belakang kami dan
kalian berbaiat kepadanya untuk memerangi kami. Demi Allah, tidak ada satu
daerah pund ari bangsa Arab yang membuat kami lebih murka dariapda pecahnya
sebuah peperangan antara kami dan mereka, dibandingkan dengan kalian.”
Orang-orang musyrik dari kabilah kami bersumpah, “Demi Allah,
tidak terjadi sesuatu yang mereka sampaikan tadi.” Ungkap mereka, “Kami tidak
tahu.” Ka’ab berkata, “Mereka benar dan mereka juga tidak mengetahui. Dan kami
saling memandang satu sama lain.” (HR. Ahmad dan Hakim).
Nama-Nama Wakil Kabilah
1. Wakil Kabilah
Bani an-Najjar adalah As’ad bin Zararah.
2. Wakil Kabilah
Bani Salamah adalah al-Barra’ bin Ma’rur dan Abdullah bin Amru bin Haram.
3. Wakil Kabilah
Bani Sa’idah adalah Sa’ad bin Ubadah dan al-Mundzir bin Amru.
4. Wakil Kabilah
Bani Zuraiq adalah Rafiq bin Malik bin al-‘Ajalan.
5. Wakil Kabilah
Bani harits bin al-Khazraj adalah Abdullah bin Rawahan.
6. Wakil Kabilah
Bani Auf bin al-Khazraj adalah Ubadah bin Shamit.
7. Wakil Kabilah
Bani Abdul Asyhal adalah Usaid bin Hudair dan Abu al-Haitsman bin at-Tihan.
8. Wakil Kabilah
Bani Amru bin Auf adalah Sa’ad bin Kaitsamah.
Baiat Aqabah
Itulah Baiat
Aqabah, yang tercatat dalam dokumen dan tidak juga terjadi pembahasan (sidang)
di sana. Spirit keyakinan, perngorbanan, dan keuletan yang mendominasi
perkumpulan ini dan terefleksikan dalam setiap kata yang terucap. Tampak bahwa
perasaan yang mendominasi bukan satu-satunya yang mengarahkan sebuah
pembicaraan atau terdiktenya sebuah perjanjian ..... bukan, kalkulasi yang
terjadi di masa depan dihitung dengan yang terjadi pada hari ini. Sesuatu yang
dicintai diharapkan lebih dilihat terlebih dahulu, sebelum harta rampasan yang
diragukan perolehannya.
Mereka datang
dari Yatsrib dalam keadaan iman yang kuat dengan merespons panggilan untuk
berkorban. Padahal, mereka mengenal Nabi saw, hanya sekilas, tetapi waktu
memupuk iman mereka dan prasangka akan hal itu menghilang.
Meskipun
demikian, kita tidak boleh lupa bahwa sumber energi keberanian yang meletup dan
kepercayaan ini berasal dari A;-Qur’an. Kalau saja Anshar sebelum baiat terbesar
itu mereka belum menemani Rasulullah, kecuali beberapa saat, wahyu yang
terpancar dari langit akan menerangi jalan bagi mereka dan menjelaskan
tujuannya.
Pada periode
Makkah hampir setengah Al-Qur’an telah turun, mengalir di lisan-lisan para
penghafal Al-Qur’an, dan terekam dalam lembaran-lembaran di tangan
penulis-penulis yang mulia dan berbakti. Al-Qur’an yang turun di Makkah
menggambarkan pahala akhirat seakan-akan terlihat di depan mata.
Digambarkan
seakan-akan engkau sedang memetik buah surga. Orang-orang Badui yang sedang
bercinta dengan kebenaran itu dapat beralih sejenak dari detik-detik perjuangan
di tengah gersangnya jazirah Arab ke sungai-sungai surga yang penuh kenikmatan
dan minuman khamar yang tempatnya sudah dibeli (dengan nama-nama penghuninya).
Al-Qur;an
menceritakan kisah-kisah para pendahulu, bagaimana kaum mukmin ikhlas kepada
Allah sehingga mereka selamat bersama para rasul, begitu juga bagaimana kaum
kafir menindas. Kelengahan memabukkan mereka, hingga mereka berbuat kerusakan dan
menindas, lalu keadilan Tuhan datang. Akhirnya, orang-orang zalim itu musnah
dan meninggalkan di belakang mereka dunia yang diatur (pencipta), tetapi mereka
membinasakannya.
Mereka pergi dan
mereka yang di bumi melaknat mereka seperti kebatilan yang kocar-kacir di depan
kebenaran yang agung.
Kemudian Rasul
membuat korelasi dengan keimanan ini, yang keluar dari dirinya hubungan cinta
dan saling memenangkan antara berbagai macam karakter mukmin di Timur dan
Barat.
Kaum muslimin di
Madinah meskipun belum pernah melihat saudaranya yang lemah di Makkah, ia tetap
cinta kepadanya, membelanya dan marah terhadap yang zalim kepadanya, serta
berperang karenanya. Hal itu ketika kaum Anshar datang dari Yatsrib, dari kasih
itu meluapkan loyalitas kepada orang yang mereka cintai karena Allah, tanpa
harus bertatap mata.
Iman kepada Allah
dan cinta karena-Nya, persaudaraan yang berasaskan agama-Nya, serta saling
menolong dengan nama-Nya. semua itu berpadu dalam jiwa-jiwa yang bertemu dalam
kegelapan malam, di pinggiran Kota Makkah, yang sedang bingung dalam
keremangannya, bertemu untuk memproklamirkan bahwa penolong-penolong Allah akan
menjaga Rasul-Nya, sebagaimana menjaga harga diri mereka. Mereka akan
melindunginya dengan nyawa-nyawa, bahkan mereka tidak akan rela jika ada yang
menyakitinya, selagi mereka hidup.
Kaum musyrikin di
Makkah mengira bahwa mereka telah mengepung Islam di wilayah yang tidak mereka
anggap dan membuat kaum muslimin letih hingga hal itu menyibukkan mereka.
Mereka tidur seperti tidurnya seorang kriminal yang melakukan perbuatan dosa
dan selamat dari hukuman.
Prasangka terhadap zaman baik jika
zaman baik terhadapmu
Engkau tidak takut buruknya takdir
yang akan datang karenanya
Gelapnya malam menyelematkanmu dan
engkau tertipu olehnya
Hingga ketika malam menjadi terang,
terjadilah bencana itu
Begitulah, di
malam itu laskar pembela kebenaran bersekutu untuk menghancurkan pusat
paganisme, membawa kejahilan dan pembelanya pada kehancuran.
Catatan Penting
Para pemikir
instan yagn menyangka bahwa Islam diteguhkan dengan perang dapat mengambil
pelajaran dari perjanjian ini. Kaum Anshar yang gemar berperang dan menguasai
ilmu, mereka sudah menyampaikan kepada Rasulullah kecenderungan untuk memerangi
penduduk Makkah, tetarpi beliau saw, melarangnya, dengan pernyataannya, “Aku
belum diperintahkan untuk itu. Ketergesa-gesaan dalam memetik buah perjuangan
bisa jadi akan menghilangkan buahnya pergerakn Islam. Hasilnya, kerugian bagi
individu-individu yang ada dan kesia-siaan dakwah mereka daripada maslahat yang
diharapkan. Hal ini menguatkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah kepada
Khabbab, “Namun, kalian adalah kaum yang tergesa-gesa.” (HR Bukhari).
Sepanjang, 09 – 11 - 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar