SIRAH RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : PERJANJIAN HUDAIBIYAH
(Perang Hudaibiyah . Zulqa’dah 5 H/ Maret
628 M
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Tiba masanya kaum muslimin berpikir untuk mengunjungi Masjidil Haram dan
melaksanakan umrah sebagai permulaan dari fase dakwah Islam. Namun, mereka
tdiak ingin mengumumkan rencana memasuki Kota Makkah itu kepada seluruh Jazirah
Arab, padahal Makkah adalah kota kelahiran mereka dahulu dan mereka telah
diusir dari sana hingga hijrah ke Madinah. Di sisi lain, peperang pun terus
berkecamuk antara kaum mukminin dengan kaum kafir Quraisy, tetapi belum
membuahkan hasil apa-apa. Lantas, mengapa dalam kondisi seperti itu kaum
mukminin tetap berniat melaksanakan umrah?
Dengan umrah, Rasulullah saw ingin menetapkan hak kaum muslim dalam
melaksanakan ajaran agama dan ibadah mereka serta memahamkan kaum musyrikin
bahwa Masjidil Haram bukanlah milik atau monopoli satu kabilah saja. masjidil
Haram adalah warisan leluhur mereka, Ibrahim al-Khalil a.s. dan mengunjungi
Masjidil Haram itu adalah kewajiban bagi mereka yagn mendengar seruan apak Para
Nabi sejak beberapa abad yagn silam.
Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah, ketika ami tempatkan Ibrahim di tempat
Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan
apap pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang thawaf, dan orang yang
beribadah dan orang yang ruku’ dan sujud. Dan serulah manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau
mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yagn
jauh.” (QS al-Hajj (22) : 26-27).
Dengan demikian para penduduk Makkah tidak boleh menghalangi kaum muslimin
untuk melakukan ritual itu. Walaupun sebelumnmya kaum musyrikin bisa
mengalahkan dan menekan kaum mukminin, tetapi setelah menghadapi peperangan
yang bertubi-tubi dengan kaum mukminin, mereka tidak lagi akan berani mengulang
kesalahan yang sama.
Allah Membuktikan Kebenaran
Mimpi Rasul-Nya
Allah SWT berfirman, “Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya
tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika
Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan
memendekkannya,s edang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yagn
tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.”
(QS al-Fath (48) : 27).
Rasulullah bermimpi bahwa beliau memasuki Kota Makkah dan melakukan thawaf
di Batullah. Ketika itu Rasulullah berada di Madinah dan menceritakan mimpi
beliau itu kepada para sahabat.
Ketika mereka berangkat di tahun itu, seluruh sahabat tidak lagi meragukan
bahwa mimpi beliau akan terwujud. Namun, ketika perjanjian Hudaibiyah dibuat
yang mengharuskan kaum mukminin kembali pulang ke Madinah dan urung
melaksanakan thawaf, beberapa sahabat ada yang merasa gamang. Mereka bertanya
kepada Umar bin Khaththab tentang masalah itu. Seseorang dari mereka berkata
kepada Umar, “Bukankah kamu telah memberitahu kami bahwa kita akan berkunjung
ke Baitullah dan thawaf di sana tahun ini?” Umar menjawab, “Ya, memang aku
telah memberitahumu bahwa kamu akan mendatangi Baitullah tahun ini.” Orang itu
berkata lagi, “Namun, nyatanya tidak demikian.” Lantas, Rasulullah saw
bersabda, “Sekarang kamu mendatanginya
dan telah melaksanakan thawaf di dalamnya.”
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, “Sungguh, Allah akan membuktikan
kepada Rasulnya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram....” (QS al-Fath (48) : 27).
Waktu Perang Hudaibiyah
Perang Hudaibiyah terjadi pada tahun keenam Hijriah, yakni pada bulan
Dzulqa’dah. Itulah pendapat yagn paling benar, yaitu pendapat az-Zuhri, Nafi’
mantan budak Umar, Qatadah, Musa bin Uqbah, Muhammad bin Ishaq, dan sebagainya.
Pendapat itu pula yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Diriwayatkanb dari Anas bin Malik r.a. ia berkata, “Rasulullahs aw, telah
melakukan umrah sebanyak empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah, kecuali
umrah yang bersamaan dengan Haji Wada’. Umrah-umrah itu antara lain : umrah
Perjanjian Hidaibiyah pada bulan Dzulqa’dah, umrah tahun depannya di bulan
Dzulqa’dah, umrah dari daerah Ji’ranah di mana beliau membagikan harta rampasan
Perang Hunain pada bulan Dzulqa’dah, dan umrah beliau pada waktu Haji Wada’ (HR
Bukhari).
Jumlah Rombongan Kaum
Muslimin
Ada tiga riwayat yang mengabarkan tentang jumlah kaum muslim yang turut
dalam peristiwa Hudaibiyah itu. Satu riwayat menyatakan bahwa jumlah mereka
adalah 1.300 orang. Adapula yang berkata bahwa jumlahnya adalah 1.400 orang dan
ada lagi riwayat yang menyatakan bahwa jumlahnya adalah 1.500 orang. Semua
riwayat itu tertuang di dalam kitab hadits sahih. Berikut kami paparkan tiga
riwayat ini, lalu kami tulis perbedaan pendapat para ulama di dalamnya dan cara
mengombinasikan antara ketiga riwayat yang berbeda itu.
1. Pendapat yang menyatakan bahwa jumlah kaum muslimin adalah 1.300 orang.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa r.a. ia berkata, “Para pengikut
peristiwa syajarah (pohon) atau peristiwa Perjanjian Hudaibiyah berjumlah 1.300
orang. Seeprdelapannya adalah kaum Muhajirin.” (HR Muslim).
2. Pendapat mengatakan bahwa jumlah mereka adalah 1.400 orang.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata, “Pada hari Hudaibiyah
Rasulullah saw bersabda kepada kami, “Kalian adalah penduduk bumi terbaik.”
Ketika itu kami berjumlah 1.400 orang. Sekiranya aku hari ini bisa melihat,
niscaya akan kutunjukkan kepada kalian letak pohon tersebut.” (HR Bukhari).
3. Pendapat yang menyatakan bahwa jumlahnya adalah 1.500 orang.
Diriwayatkan dari Jabir r.a. ia berkata, “Sekiranya jumlah kami 100.000
orang pun, niscaya air sumur itu mencukupi kami. Namun, jumlah kami ketika itu
adalah 1.500 orang.” (HR Bukhari).
Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Dengan menggabungkan ketiga pendapat itu,
dapat disimpulkan bahwa jumlah pasukan kaum muslimin ketika itu adalah lebih
dari 1.400 orang. Pendapat itu didukung oleh riwayat yang ketiga dan al-Barra’
yang berbunyi 1.400 orang lebih.” Penggabungan itulah yagn dijadikan sandaran
oleh an-Nawawi.
Adapun Baihaqi lebih memilih untuk men-tarjih (menguatkan) salah satu
pendapat. Menurutnya, riwayat yang menyatakan jumlah kaum muslim 1.400 orang
adalah pendapat yang paling benar.
Orang-Orang Munafik
Enggan Turut dalam Perang Hudaibiyah
Orang-orang Arab Badui tersebar di sekitar yatsrib. Di antara mereka adalah
oarng-orang munafik. Mereka mengetahui bahwa penduduk Makkah kelak akan
memerangi Muhammad. Menurut mereka, jika Nabi saw memaksakan diri untuk
mengunjungi Baitullah, maka orang-orang Quraisy tidak akan membiarkannya sampai
beliau binasa. Dalam pandangan mereka, umrah tersebut merupakan umrah yang
penuh resiko besar. Oleh karena itu menghindarinya adalah tindakan yagn lebih
tepat.
Mereka merencanakan jika Rasulullah sukses menunaikan maksud dan tujuannya
itu, meminta maaf kepada beliau karena tidak ikut adalah tindakan yang mudah. Berkaitan dengan
hal itu, Allah SWT berfirman, “Orang-orang
Badui yang tertinggal (tidak turut) ke Hudaibiyah) akan berkata kepadamu, “Kami telah disibukkan
oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.” Mereka
mengucapkan sesuatu dengan mulutnmya pa yang tidak ada dalam hatinya.
Katakanlah, “Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Alalh jika
Dia menghendaki bencana terhadap kamu atau jika Dia menghendaki keuntungan
bagimu? Sungguh, Allah Mahateliti dengan apa yagn kamu kerjakan,” Bahkan
(semula) kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin sekali-kali tidak
akan kembali lagi kepada keluarga mereka selama-lamanya dan dijadikan terasa
indah yang demikian itu di dalam hatimu, dan kamu telah berprasangka dengan
prasangka yang buruk, karena itu kamu menjadi kaum yagn binasa.” (QS al-Fath
(48) : 11-12).
Al-Ghazali dalam Fiqhu as-Sirah menyebutkan bahwa kaum mukminin yang
beriman keapda Rasulullah berangkat bersama beliau. Jumlah mereka mendekati
1.400 orang. Iktu terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam Hijriah. Mereka
berjalan sambil bertalbiyah, menyusuri jalan menuju Baitullah. Ketika mereka
tiba di Asfan, sekitar dua marhalah dari Makkah, datanglah berita kepada kaum
muslimin bahwa kaum Quraisy telah berangkat darid aerahnya dan bertekad supaya
kaum muslimin tidaka da yang menginjakkan kakinya di Makkah. Tentara mereka
telah siap untuk bertempur. Pemimpin kaum Quraisy ketika peristiwa itu adalah
Khalid bin Walid.
Nabi saw. Berihram dari
Dzulhulaifah
Diriwayatkan dari Miswar bin Mukhramah dan Marwan bin al-Hakam r.a.
keduanya berkisah, “Pada waktu Hudaibiyah Rasulullah saw berangkat bersama
lebih dari seribu sahabatnya. Ketika mereka tiba di Dzulhulaifah, beliau
menyiapkan hewan sembelihannya dan memberinya tanda. Lalu, beliau berihram
untuk umrah. Setelah itu belkiau mengirimkan mata-mata dari kaum Khuza’ah
(untuk mencari informasi tentang kaum Quraisy).” (HR Bukhari).
Kaum Muslim Bergerak ke
Makkah
Mereka bergerak menuju arah Makkah. Setibanya di Dzulhulafah, Rasulullah
saw segera menyiapkan hewan sembelihan dan memberinya tanda. Beliau lalu
berihram untuk umrah agar orang-orang merasa
tenang dalam perang itu. Beleiau juga mengutus seorang mata-mata dari
kaum Khuza’ah untuk mencari informasi tentang kaum Quraish. Ketika beliau
mendekati wilayah Asfan, mata-mata itu pun datang seraya berkata, “Aku
mendengar bahwa Ka’ab bin Lu’ay telah menghimpun pasukan yang akan menyerangmu
dan menahanmu dari Baiktullah.” Kemudian Nabi saw meminta pertimbangan para
sahabatnya. Beliau bersabda kepada mereka, “Bagaimana menurut kalian, kita akan
mendatangi keluarga-keluarga mereka yang membantu orang-orang Qurasiy dan kita
serang mereka? Jika mereka hanya diam maka mereka diam dalam keadaan gelisah
dan bersedih hati. Jika mereka selamat maka itu menjadi takdir yagn ditetapkan
Allah SWT untuk mereka. Ataukah kalian ingin kita terus melanjutkan perjalanan
menuju Baitullah? Siapa yang menghalangi kita maka kita akan bunuh.”
Abu Bakr menjawab, “Alalh dan Rasul-Nya lebih tahu. Kami datang untuk
berumrah, bukan untuk memerangi seorang pun. Akan tetapi, siapa yang
menghalangi kita maka kita akan memeranginya.” Nabi saw pun bersabda, “Kalau begitu
berangkatlah!” Akhirnya orang-orang pun berangkat, sebagaimana yagn
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Nasa’i.
Upaya Kaum Quraisy untuk
Mencegah Kaum Muslimin
Setelah mendengar berita kedatangan Nabi saw dan kaum Muslimin ke Makkah,
orang-orang Quraisy mengadakan rapat. Di dalam rapat itu diputuskan mereka akan
menahan kaum muslimin dari Baitullah sebisa mungkin. Setelah Rasulullah saw mendengar
berita tentang kesiapa pasukan Quraisy seorang mata-mata dari Bani Ka’ab pun
menyampaikan berita bahwa kaum Quraisy telah sampai di Dzi Thuwa. Ada sekitar
200 orang penunggang kuda dipimpin oleh
Khalid bin Walid sedang bersiaga di Kira’alGhamim, tepatnya di jalur
utama menuju Makkah. Khalid ingin menahan kaum muslimin. Ia menantikan
pertemeuan dua pasukan. Khalid melihat kaum muslimin tengah melaksanakan shalat
Zuhur, mereka sedang ruku’ dan sujud dengan khusyuk, ia berseru, “Mereka sedang
lengah. Jika kita serang maka kita akan mengalahkan mereka.” Kemudian, ia
memutuskan untuk menyerang kaum muslimin pada saat mereka melaksanakan shalat
Ashar. Akan tetapi, Allah menurunkan isyarat shalat Khauf sehingga kesempatan
Khalid pun hilang, seperti telah digambarkan dalam ar-Rahiq Al-Makhtum.
Unta Rasulullah Ditahan
oleh Sang Penahan Gajah
Di antarahadits riwayat Marwan dan Miswar yang telah disebutkan adalah,
“.... Kaum muslimin pun berangkat. Di tengah jalan Bai saw bersabda, “Khalid
bin Walid sudah berada di al-Ghamim. Ia menunggang kuda sebagai pasukan pembuka
jalan bagi kaum Quraisy maka ambillah jalur ke kanan! Demi Allah Khalid tidak
mengetahui kedatangan kaum muslimin itu sampai ia merasakan debu-debu
beterbangan karena derap langkah kaum muslimin.” Akhirnya, Khalid lari dan
segera memberi tahu kaum Quraisy. Rasulullah pun melanjutkan perjalanannya. Ketika
beliau tiba di Tsanyah, yaitu di jalur yang melewati Hubaibiyah, tiba-tiba unta
beliau menelungkup. Orang-orang berseru, “Unta Rasulullah telah membangkang.”
Orang-orang lalu menggebah unta itu agar bangkit. Namu, unta itu menolak
berdiri. Nabi saw kemuddian bersabda, “Ia tidak membangkang dan bukan
kebiasaannya melakukan ini, tetapi ia telah ditahan oleh Sang Penahan gajah
(Allah SWT).” HR Bukhari).
Mengagungkan Kesucian
Allah SWT
Lanjutan hadits Miswar dan Marwan itu adalah sebagai berikut, “ .... Nabi
saw bersabda, “Ia tidak membangkang dan bukan kebiasaannya melakukan ini,
tetapi ia telah ditahan oleh Sang Penahan Gajah.” Kemudian beliau bersabda,
“Demi Dzat yagn jiwaku berada di tangan-Nya, kaum Quraisy tidak meminta suatu
rencana untuk mengagungkan kesucian Allah, kecuali aku pun pasti akan
menurutinya.” Kemudian, Rasulullah saw menggebah untanya dan ia pun bangkit
lagi. Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Hudaibiyah, di sebuah seumur
yang airnya sedikit.”
Tak Seorang pun dari
Kalian yang Melewati Celah ini, kecuali Dia akan Diampuni Dosanya
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khusri r.a., ia berkata, “Kami berangkat
bersama Rasulullah. Ketika kami tiba di Asfan, Rasulullah saw bersabda kepada
kami, “Mata-mata kaum musyrik sekarang sedang berada di Dhajnan. Siapa di
antara kalian yang tahu jalan menuju Handhal?” di sore hari, Rasulullah saw
bersabda. “Adakah seseorang yang turun dan mencari jalan di hadapan para
penunggang kuda?” Seseorang berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Orang itu bergegas
turun, bebatuan dan pepohonan berduri mengenai tubuhnya. Lalu, Rasulullah saw
bersabda kepadanya, “Naiklah!” Kemudian yang lain mencoba turun. Namun, ia tak
luput dari bebatuan dan pepohonan yagn menyangkut di bajunya. “Naiklah.” Sabda
Rasulullahs aw kepadanya.
Tibalah kami di sebuah jalan celah di antara perbukitan bernama handhal.
Rasulullah lantas bersabda, “Celah tak ubahnya seperti pintu masuknya Bani
Israil. Dahulu kepada mereka dikatakan, “MASUKILAH PINTU GERBANGNYA SAMBIL
BERSUJUD DAN KATAKANLAH, “BEBASKANLAH KAMI DARI DOSA, NISCAYA KAMI AMPUNI
KESALAHAN-KESALAHANMU MAKA TIDAKLAH SEORANG DARI KALIAN YANG MELEWATI CELAH
INI, DI MALAM INI, KECUALI DOSANYA AKAN DIAMPUNI.”
Mendengar hal ini, orang-orang berhamburan dan bersegera melewai celah itu.
Orang yang terakhir melewatinya adalah Qatadah bin Nu’man. Orang-orang saling
berebut, hingga satu sama lain saling menginjak. Rasulullah saw lalu turun,
kami pun ikut turun.” (HR al-Bazzar).
Mukjizat Nabi saw. Pada
Perisitiwa Hudaibiyah
Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib r.a. ia berkata, “Kalian sedang
mempersiapkan hari kemenangan, yaitu hari Penaklukkan Makkah karena Penaklukkan
Makkah benar-benar merupakan kemenangan. Sementara kami puns edang
mempersiapkan kemenangan yang lain, yaitu Baiat Ridwan pada hari Hudaibiyah.
Ketika itu kami bersama Nabi saw dan jumlah kami sekitar 1.400 orang.
Hudaibiyah adalah sebuah sumur maka kami minum airnya sehingga tak tersisa
setetspun di dalamnya. Keadaan itu didengar oleh Nabi saw, maka beliau pun
mendatangi sumur tersebut dan duduk di tepiannya. Kemudian, belkiau meminta
dibawakan satu bejana air. Beliau berwudhu dan berkumur-kumur dengan air itu,
lalu berdoa dan menuangkan air tersebut ke dalam sumur. Beliau pun meninggalkan
sumur itu tak begitu jauh. Tiba-tiba sumur itu memancarkan air yang mencukupi
kami dan hewan tunggangan kami.” (HR Bukhari).
Dalam satu riwayat, “ ..... kamudian Rasulullah mengambil jalur lain untu
masuk ke Makkah. Beliau mengambil jalur yang melewati Hudaibiyah, lalu, singgah
di pinggiran Hudaibiyah, di dekat sumur yang airnya sedikit. Orang-orang segera
meminumnya hingga airnya habis. Mereka lalu melaporkan kondisi kehausan yang
melanda rombongan kepada Rasulullah. maka Rasulullah saw mencabut anak
panahnya, lalu menyuruh orang-orang untuk memasukkan anak panah itu ke dalam
sumur. Demi Allah, air itu terus memancar sehingga mencukupi kebutuhan minum
mereka. Setelah itu, mereka pun pergi meninggalkan sumur itu.”
Diriwayatkan dari Jabir r.a. Ia berkata, “Orang-orang merasa kehausan pada
hari Hudaibiyah. Di hadapan Rasulullah terdapat sebuah bejana berisi air.
Beliau berwudhu dengan air itu. Orang-orang segera berhamburan mendekati beliau. Rasulullah saw
lantas bersabda kepada mereka, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai
Rasulullah, kami tidak memiliki air untuk berwudhu dan kami juga tidak bisa
minum, kecuali dari air yang ada di dalam bejanamu. Maka Nabi saw pun
memasukkan tangannya ke dalam bejana. Tiba-tiba air memnacar dari antara jemari
beliau seperti mata air. Kami pun minum dan berwudhu dengan air itu.” (HR
Bukhari).
Dari Salamah bin al-Akwa’ r.a. ia bertutur, “Kami bersama Rasulullah saw
dalam sebuah peperangan. Kami mengalami kesulitan perbekalan. Akhirnya kami pun
berniat menyembelih beberapa ekor unta kami. Lalu, Nabi saw memerintahkan kami
untuk mengumpulkan sisa perbekalan yang ada. Kemudian, kami bentangkan alas di
atas tanah. Kami kumpulkan sisa perbekalan itu di atas alas tersebut. aku
mencoba menaksir seberapa banyak perbekalan itu jadinya. Kupikir tumpukan
berbekalan itu menjadi sebesar unta yang sedang menelengkup. Ketika itu kami
berjumlah 1.400 orang. Maka kami pun makan dari perbekalan itu sampai kenyang ,
lalu kami isi kantong-kantong bekal kami dengan sisanya.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Badil bin Warga’ Menjadi
Mediator Antara Nabi saw. Dan Kaum Quraisy
Diriwayatkan dari Marwan dan Miswar r.a. keduanya bertutur, “ ..... Ketika
Nabi saw telah kembali ke penginapannya, beliau didatangi oleh delegasi dari
Khusza’ah di bawah pimpinan Badil bin Warqa’ al-Khuza’i. Badil adalah sosok
orang yang dipercaya oleh Rasulullah. Mereka bertanya kepada beliau tentang
sebab kedatangannya ke Makkah. Rasulullah kemudian memberi tahu mereka bahwa
kedatangannya tidak bermaksud perang, tetapi beliau hanya ingin mengunjungi
Batullah. Kemudian, Rasulullah juga mengatakan kepada mereka seperti yang
beliau katakan kepada Basyar bin Sufyan. Utusan itu kembali pulang ke tempat
kaum Quraisy sebagai mediator. Badil berkata kepada kaum Quraisy, “Wahai kaum
Quraisy, kalian terlalu cepat berprasangka terhadap Muhammad. Muhammad tidak
datang untuk berperang, ia hanya ingin mengunjungi Baitullah.”
Akan tetapi, kaum Quraisy menuduh Badil macam-macam. Mereka berkata, “Jika
ia datang tidak untuk berperang, demi Allah, ia tidak boleh masuk ke Makkah
dengan paksa selamanya dan orang-orang Arab tidak boleh membicarakan kami
karena hal tersebut.”
Duta Kaum Quraisy
Kaum Quraisy lantas mengirimkan dutanya yang bernama Makraz bin hafsh bin
Akhif. Ketika utusan itu datang, Nabi saw melihatnya tengah menuju ke tempatnya
hingga Rasulullah berkata, “Ini adalah seorang penghianat.” Setelah Makraz
berbicara dengan Rasulullah, beliau berkata kepadanya seperti yang beliau
katakan kepada Badil dan Waqa’ dan para sahabatnya. Duta Quraisy itu pun
kembali pulang ke kaumnya dan menyampaikan apa yang ia dengar dari Rasulullah.
Setelah itu kaum Quraisy mengutus duta lainnya yagn bernama Hulais bin
Alqamah, pemuka Bani Ahabisy. Ketika Hulais tiba dan Rasulullah melihatnya
beliau berkata, “Ini berasal dari kaum yagn taat beribadah, bawalah hewan
semeblihan ke hadapannya supaya ia melihat!” Ketika ia melihat hewan-hewan itu
dihamparkan di lembah, ia pun langsung kembali kepada kaum Quraisy. Hulais
sampai lupa untuk menemui Rasulullah karena takjubnya ia melihat hewan
sembelihan itu. Ia pun menceritakan apa yagn dilihatnya kepada kaum Quraisy.
Kaum Quraisy pun berkata, “Duduklah, kamu ini orang Baduy yang tidak
berpengathuan.”
Ketika kaum Quraisy menghina Hulais dengan kata-kata kasar bahwa ia bodoh,
dengan marah haluis berkata kepada mereka, “Wahai kaum Quraisy, demi Allah, aku
bersekutu dan bersatu dengan kalian tidak untuk ini, apakah layak orang yang
ingin mengagungkan Baitullah ditahan? Demi Dzat yagn jiwa Hulais berada di
tangan-Nya, kalian mengizinkan Muhammad atau aku akan pergi bersama kaum
Ahabisy?”
Ketika kaum Quraisy melihat keseriusan Hulais dan kemarahannya, mereka
berkata, “Diam, caukuplah wahai Hulais! Perkenankan kami melakukan satu hal
yang kami inginkan.” Mereka ingin mewujudkan beberapa tujuan atau mensyaratkan
beberapa hal agar bisa mencegah kepergian Bani Ahabisy sebagaimana dijelaskan
Hisyam dalam as-Sirah.
Urwah bin Mas’ud
Berunding dengan Nabi saw.
Quraisiy kemudian mengutus Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqfi. Sebelum ia
mendatangi Rasulullah, ia berkata kepada kaum Quraisy, “Aku telah melihat apa
yang dialami oleh utusan yang kalian kirim ke Muhammad, mereka mendapatkan
perlakuan kasar dan kata-kata buruk. Kalian juga tahu bahwa kalian adalah ayah
dan aku adalah anak. Aku juga mendengar siapa yang menjadi pemimpin kalian. Aku
pun mengumpulkan orang-orang yang menaatiku dari kaumku, kemudian aku datang
kepada kalian untuk memberi perlindungan.” Mereka menjawab, “Kamu benar, kamu
tidak meragukan bagi kami.”
Urwah lantas berangkat menemui Rasulullah. Ia langsung duduk di hadapan
beliau. Kemudian, ia angkat bicara, “Wahai Muhammad, kamu telah mengumpulkan
orang-orang untuk masuk ke Makkah dengan cara paksa, kaum Quraisy pun keluar
membawa unta-unta mereka dan mengenakan kulit macan. Mereka bersumpah agar kamu
tidak memasuki Makkah dengan cara paksa selamanya. Demi Allah, aku akan meminta
mereka membiarkanmu masuk sendiri besok.”
Abu Bakar yang ketika itu duduk di belakang Rasulullah marah dan berkata,
“Hisaplah puting Latta, apakah kamu harus membiarkan Muhammad pergi sendiri?”
Urwah lantas bertanya kepada Rasulullah, “Siapa ini, wahai Muhammad?”
Beliau menjawab, “Ini adalah putra Abu Qahafah, Abu Bakar.” Ia berkata lagi.
“Demi Allah, jika bukan karena kebaikanmu terhadapku yang belum kubalas,
niscaya kamu akan kuladeni.” Urwah memegang janggut Rasulullah sambil terus
merayu beliau.
Loyalitas dan Kesetiaan
Hanya untuk Allah dan Rasul-Nya
Perhatikan bagaimana akesetiaan yagn ditunjukan oleh seorang sahabat mulia,
al-Mugirah bin Syu’bah di hadapan pamannya. Urwah bin Mas’ud. Al- Mugirah ingin
mengajari pamannya bahwa kekeluargaan bisa
terputus jika akidah mereka berbeda karena hanya keimnanlah yang menghimpun
seluruh hati sebuah anggota keluarga.
Ketika Urwah terus berbicara dengan Nabi saw dan setiap kali berbicara satu
kalimat, tangannya menyentuh janggut Rasulullah. Oleh karena itu, al-Mugirah
bin Syu’bah yagn ketika itu berada di dekat Rasulullah langsung menepis tangan
Urwah dengan gagang pedangnya seraya berkata, “Jauhkan tanganmu dari wajah
Rasulullah sebelum tanganku ini mendarat di wajahmu!” Urwah lantas berkata,
“Aduhai, betapa kasarnya ucapanmu!”
Rasulullah tersenyum. Kemudian Urwah bertanya kepada beliau, “Siapa ini,
wahai Muhammad?” Beliau menajwab, “Ini adalah kemenakanmu, al-Mugirah bin
Syu’bah.” Urwah lantas berkata, “Seorang penghianat, kamu baru mencucui
keburukanmu kemarin!” Setelah itu Rasulullah menyampaikan hal yang sama dengan
yang beliau sampaikan kepada utusan Quraisy lainnya, yaitu penegasan bahwa
beliau tidak ingin berperang tetapi hanya ingin melaksanakan umrah.
Di masa jahiliah, al-Mugirah pernah ebteman dengan satu kaum, tetapi ia
malah membunuh mereka dan merampas hartanya. Urwah, sang pamanlah yang
menaggung pembayaran diyatnya terhadap para kroban. Kemudian al-Mugirah memeluk
Agama Islam. Ketika itu Nabi saw bersabda kepadanya, “Islam, aku akan menerimanya. Sementara harta, aku
tidak bertanggung jawab apa-apa atasnya.” Di saat yang sama, Urwah
memperhatikan betapa, para sahabat Nabi saw amat mengagungkan beliau.
Urwah bin Mas’ud ats=Syaqfi pun kembali pulang setelah meliaht dengan amta
kepala sendiri bagaimana sikap hormat para sahabat Rasulullah kepada beliau. Ia
melihat, setiap kali Rasulullah berwudhu, para sahabtnya bergegeas mengambil
air bekas wudhu beliau. Jika belkiau membuang ludah, mereka pun bergegeas
mengambil ludah beliau. Setiap helai rambut yagn jatuh dari kepala beliau,
langsung diambil oleh para sahabatnya.
Sesuatu di Luar Dugaan
Kaum Musyrikin
Urwah pun kembali ke tempat orang-orang Quraisy. Ia
berseru keapda mereka, “Wahai kaum Quraisy, aku telah mendatangi Kisra di
istananya. Kaisar Romawi di istananya, begitu juga Raja Najasyi di istananya.
Demi Allah, aku tidak pernah melihat raja satu kaum seperti Muhammad di amta
para sahabatnya. Aku juga telah melihat bagaimana satu kaum tidak sudi
menyerahkan pemimpinnya sama sekali, selanjutnya terserah kalian! Demi Allah,
setiap kali Muhammad berwudhu, para sahabatnya bergegas mengambil air bekas
wudhunya. Jika ia membuang ludah, mereka pun bergegas mengambil lduahnya. Jika
ia memerintah, mereka segera melaksanakan perintahnya. Jika berbicara di
ahdapannya, mereka merendahkan suaranya. Mereka tidak pernah menajamkan
pandangannya kepadanya karena memuliakannya. Ia telah menawarkan satu penawran
yagn matang untuk kalian maka terimalah.”
Orang-orang yang menjadi delegasi Quraisy untuk berunding dengan Nabi saw
tidak memiliki argumentasi dan alasan yang kuat di hadapan beliau. Bahkan,
mereka kembali ke para pembesar Makkah dan lebih cenderung mengizinkan kaum
muslimin melaksanakan ibadahnya. Sebagian dari mereka tidak mau menyatakannya
secara terbuka karena kesombongan dan gengsi yang ada di hatinya sebagai orang
Quraisy, begitu juga karena mereka menyimpang dari kebenaran.
Delegasi Nabi sw.
Setelah delegasi kaum Quraisy tidak berhasil mendapatkan apa-apa,
Rasulullah mengutus Khurasy bin Umayyah al-Khuza’i untuk menemui mereka di
Makkah. Beliau mengirimnya dengan mengendarai untanya yagn ebrnama Tsa’lab.
Khurasy ingin menyampaikan pesan Rasulullah kepada para pemuka Quraisy. Akan
tetapi, mereka justru menggorok unta Rasulullah dan inginmembunuh Khurasy.
Rencana mereka itu dilarang oleh kaum Ahabisy. Akhirnya, Khurasy pun dilepaskan
hingga ia kembali ke pangkuan Rasulullah dengan selamat.
Kejahatan Dibalas dengan
Kebaikan
Ketika beberapa pemuda Quraisy melihat para pemukanya ingin berdamai dengan
Rasulullah, mereka akhirnya membuat sebuah rencana untuk meninggalkan
perdamaian itu. Mereka memutuskan untuk membuat satu langkah yang dapat
menyalakan api peperangan. Benar saja, sekitar 70 atau 80 orang dari kaum
Quraisy berangkat di tengah malam. Mereka turun dari bukit Tan’im dan mencoba
mengintai perkemahan kaum muslimin. Akan tetapi, semuanya berhasil ditangkap
hidup-hidup oleh pasukan kaum muslimin dan dibawa ke hadapan Rasulullah.
Beliau pun akhirnya memaffkan mereka dan melepaskannya kembali karena
beliau benar-benar ingin membuat perdamaian dengan kaum Quraisy. Dengan
demikian, sifat Rasulullah yagn termaktub dalam Taurat telah terbukti bahwa
beliau tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau adalah orang yang suka memaafkan dan toleran.
Peristiwa itu diabadikan Allah dalam firman-Nya, “Dan Dia-lah yagn menahan
tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari
(membinasakan) mereka di tengah (kota) Makkah setelah Allah memenangkan kamu
aas mereka. Dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Fath
(48) : 24).
Semoga shalawat Allah terlimpah atas beliau. Begitulah kebaikan dan
kemurahan hati Muhammad dan seperti itulah sikap buruk kaum musyrikin.
Nabi saw, mengirim Utsman
bin Affan kepada Kaum Quraisy
Rasulullah tidak putus asa dan bosan untuk mewujudkan perdamaian dan
memadamkan api peperangan yagn dinyalakan oleh kaum musyrikin. Beliau memanggil
Umar bin Khaththab untuk diutus sebagai duta beliau kepada kaum Quraisy untuk
yang kedua kalinya. Namun, Umar memohon maaf karena ia tidak sanggup mengemban
tugas itu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengkhawatirkan kaum Quraisy atas
diriku karena di Makkah tidaka da lagi anggota Bani Adi bin Ka’ab yang dapat
membelaku. Kaum Quraisy jgua tahu permusuhanku dengan mereka dan kebencianku
terhadap mereka!” Kemudian Umar mengusulkan kepada Rasulullah untuk mengutus
Utsman bin Affan. Umar berkata, “Aku tunjukkan engkau kepada seseorang yagn
lebih kuat dan lebih mulia dariku, yaitu Utsman bin Affan.”
Rasulullah lantas menanggapi Ytsman bin Affan. Beliau pun mengutusnya untuk
mendatangi Abu Sufyan dan para pemuka Quraisy agar memberitahukan mereka bahwa
beliau datang ke Makkah bukan untuk perang, melainkan untuk mengunjungi
Baitullah dan mengagungkannya.
Utsman pun berangkat ke Makkah sebagai utusan Rasulullah. Sesampai di sana,
ia bertemu dengan Ibban bin Sa’id bin al-‘Ash. Ibban pun menuntun Utsman
sebagai pernghormatan kepadanya karena ia masih kerabat dan tetangganya.
Keduanya menuju Abu Sufyan dan para pemuka Quraisy. Utsman lantas
menyampaikan maksud tujuannya. Setelah itu kaum Quraisy mengizinkannya untuk
thawaf sendiri sebagai penghormatan mereka terhadapnya. Namun, Utsman menolak,
lalu ia berkata, “Aku tidak akan melakukannya sebelum Rasulullah berthawaf di
Baitullah.”
Perhatikan bagaimana akhlak yagn mulia dan kecintaan yang besar dari Utsman
bin Affan terhadap Rasulullah saw.
Hal yagn perlu dicatat di sini adalah bahwa sebenarnya di kota Makkah masih
ada orang-orang mukmin, baik dari kalangan laki-laki maupun wanita. Hati mereka
sangat terikat dengan kaum mukminin lain yang tertahan di luar Kota Makkah.
Islam telah menyebar secara diam-diam di banyak rumah penduduk Makkah.
Mereka amat merindukan hari saat mereka bisa menyatakan imannya secara terbuka
dan membebaskan diri dari belenggu kekafiran yang mengikatnya.
Tampaknya Utsman melakukan kontak dengan beberapa mukmin yang masih berada
di Kota Makkah. Ia ingin memberi berita gembira kepada mereka akand ekatnya hari
kemenangan dan Penaklukkan Makkah. Kaum Quraisy memandang bahwa Utsman telah
melampaui wewenang yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, mereka segera
memerintahkan agar menahan Utsman hingga tersebarlah isu di tengah kaum
muslimin bahwa Utsman terbunuh.
Kabar Pembunuhan Utsman
dan Baiat Ridwan
Kaum Quraisy tetap menahan Utsman di tempat mereka. Mungkin mereka ingin
bermusyawarah terlebih dahulu membicarakan kondisi terbaru. Kemudian mereka
menetapkan keputusan dan mengembalikan Utsman dengan pesan yang mereka berikan.
Akan tetapi penahanan berlangsung agak lama hingga tersiar kabar de tengah kaum
muslimin bahwa Utsman dibunuh.
Ketika mendnegar isu bahwa Utsman terbunuh, Rasulullah saw berdiri di depan
para sahabatnya sambil menyatakan tekadnya untuk memerangi kaum musyrikin.
Namun, beliau b erkata, “Kita tidak bisa bergerak sebelum kita mengajak kaum
musyrikin berdamai.” Kemudian beliau memanggil orang-orang untuk melaksanakan
baiat (sumpah setia). Mereka pun berbaiat di bawah pohon untuk tidak lari saat
melihat musuh. Sebagian orang bahkan ada yang berbaiat untuk siap mati.
Baiat itu disebut dengan Baiat Ridwan. Tentang peristiwa itu, Allah SWT
menurunkan firman-Nya :
“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam
hati mereka lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan
dengan kemenangan yang dekat.” (QS al-Fath (48) : 18).
Seorang pun tidak ada yagn tertinggal dalam baiat itu, kecuali Jadd bin
Qais, saudara Bani Salamah. Jabir bin Abdullah berkata tentagnya, “Seakan aku
melihatnya tengah menyembunyikan diri di bawah ketiak untanya dari pandanga
orang-orang.”
Orang yang pertama melaksanakan baiat itu adalah Abu Sinan al-Asadi,
saudara Ukasyah bin Mushan. Rasulullah kemudian membaiat Utsman secara simbolis. Beliau memukulkan satu
tangannya ke atas tangannya yang lain dan berkata, “Ini untuk Utsman.”
Setelah beberapa lama berselang, nyatalah bahwa Utsman belum terbunuh dan
isu-isu itu ternyata salah dan bohong karena tidak lama setelah baiat, Utsman
tiba-tiba datang. Alhamdulillah.
Ma’qil bin Yassar Menahan
Dahan Pohon agar Tidak Mengenai Rasulullah saw.
Diriwayatkan dari Ma’qill bin Yassar, ia bertutur, “Aku berada di bawah
pohon pada hari baiat di bawah pohon (Baiat Ridwan). Sementara itu, Nabi saw
membaiat seluruh kaum mukminin. Aku terus mengangkat dahan pohon agar tidak
mengenai kepala beliau. Jumlah kami ketika itu 1.400 orang. Kami tidak berbaiat
kepada beliau untuk siap mati, melainkan kami berbaiat untuk tidak lari dari
peperangan, “ (HR Muslim).
Orang yang Pertama
Berbaiat kepada Nabi saw.
Diriwayatkan dari as-Sya’bi, ia berkata, “Aku didatangi dua orang, satu
orang dari Bani Amir dan satu lagi dari Bani Asad. Masing-masing dari mereka
saling membanggakan dirinya di hadapanku. Kukatakan kepadanya bahwa Bani Asad
itu memiliki enam sifat yagn tidak dimiliki oleh kaum Arab manapun. Salah
satunya adalah bahwa orang yagn pertama berbaiat Ridwan adalah Abu Sinan
Abdullah bin Wahab al-Asadi. Ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, bentangkan
tanganmu! Aku akan ebrbaiat kepadamu.” Rasulullah bertanya kepadanya, “Berbaiat
untuk apa?” Ia menjawab, “Aku berbaiat untuk meraih kemenangan atau mati
syahid.” Jawab Rasulullah, “Baiklah.” Ia pun mengucapkan baiatnya. Orang-orang
pun mengikuti baiat itu sesuai yang diucapkan oleh Abu Sinan.”
Orang yang Tidak Mau Ikut
Baiat
Abu Zubair menuturkan bahwa ia pernah mendengar Jabir ditanya tentang
berapa orang yang turut serta di Hudaibiyah. Ia menjawab, “Kami ketika itu
berjumlah 1.400 orang. Kami pun berbaiat kepada Rasulullah, sementara Umar
memegang tangan beliau di abwah sebatang pohon. Pohon itu bernama pohon “SAMURAH”.
Kami berbaiat kepada beliau, kecuali Jadd bin Qais, seorang Anshar. Ia bersembunyi
di bawah perut untanya.” (HR Muslim).
Seperti itulah sikap orang-orang munafik, mereka selalu merongrong agama
Allah di setiap waktu dan tempat.
Salamah bin al-Akwa’
berbaiat Tiga Kali
Di lain pihak, lihatlah seorang sahabat mulia, Salamah bin al-Akwa’ yagn
berbaiat kepada Rasulullah saw sampai tiga kali.
Diriwayatkan dari Salamah ibn
al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw memanggil kami untuk berbaiat di
bawah pohon. Maka orang yagn pertama datang untuk berbaiat kepada beliau,
kemudian berikutnya dan seterusnya hingga saat sampai kepada orang yang
pertengahan, beliau bersabda kepadaku, “Berbaiatlah kepadaku, wahai Salamah.”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku sudah berbaiat kepadamu bersama orang yang
pertama.” Beliau lalu bersabda lagi, “Baiat lagi!” Kemudian, Rasulullah saw
melihatku tidak memiliki senjata. Beliau lalu memberiku sebuah tameng (baju
besi) Beliau terus melanjutkan proses
baiat. Sampai giliran orang yang terakhir, beliau bersabda kepadaku, “Apa kamu
tidak mau berbaiat, wahai salamah?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku sudah
berbaiat dengan orang yang pertama dan yang pertengahan.” Beliau lalu bersabda,
“Baiat lagi!” Aku lalu berbaiat kepada
beliau untuk yang ketiga kalinya.” Kemudian, beliau bertanya kepadaku, “Wahai
Salamah, mana tameng yagn kuberikan kepadamu?” Aku lalu menjawab, “Wahai
Rasulullah, aku lihat Amr juga tidak bersenjata, kuberikan tameng itu
kepadanya.” Rasulullah pun tertawa mendengarnya. Kemudian, beliau bersabda,
“Engkau seperti orang sebelumnu. Ya Allah, berikan untukku kekasih yang lebih
kucintai dari diriku sendiri.”
Nabin saw. Membaiat
Dirinya Sendiri sebagai Perwakilan dari Utsman
Rasulullah mengambil tangannya sendiri seraya bersabda, “Baiat ini atas
nama Utsman.” Setelah Baiat Ridwan selesai, Utsman pun muncul. Utsman pun
akhirnya berbaiat kepada Rasulullah.
Rasulullah telah memilih tempat baiat itu di bawah pohon. Umar yang
memegang tangan beliau, sementara Ma’qil bin Yasar yang memegang dahan pohon
agar tidak mengenai Rasulullah. Itulah Baiat Ridwan yagn tentangnya Allah SWT
berfirman :
“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia keapdamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahiui apa yang ada dalam
hati mereka lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan
dengan kemenangan yagn dekat.” (QS al-Fath (48) : 18).
Untuk Apakah Para Sahabat
Berbaiat kepada Rasulullah pada Hari Hudaibiyah?
Dalam baiat itu, para sahabat berbeda-beda ucapannya. Mereka terbagi
menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama menyatakan, “Kami
berbaiat untuk siap mati.” Itu sesuai dengan riwayat Salamah bin al-Akwa’ dan
Abdullah bin Zaid bin Ashim.
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ bahwa Yazid bin Abi Ubaid r.a.
berkata, “Aku bertanya kepada Salamah bin al-Akwa’, “Untuk perkara apa kalian
dahulu berbaiat kepada Rasuilullah pada hari Hudaibiyah itu?” Ia menjawab,
“Kami berbaiat untuk siap mati.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kelompok Kedua, sahabat berbaiat untuk
tidak lari dari peperangan. Itu sesuai dengan riwayat Jabir bin Abdullah dan Ma’qil
bin Yasar.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata, “Kami bersama
Rasulullah pada hari Hudaibiyah, ketika itu jumlah kami 1.400 orang. Kami pun
berbaiat kepada beleiau, sementara itu Umar meemgang tangan beliau dan baah
pohon, yaitu pohon Samurah. Kami berbaiat kepada Rasulullah untuk tidak lari
dari peperangan, kami tidak berbaiat untuk rela mati.”
Kelompok ketiga, sahabat berbaiat kepada
Rasulullah untuk bersabar. Hal itu sesuai dengan penuturan Abdllah bin Umar.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. ia berkata, “Di tahun berikutnya,
kami pun kembali lagi (ke Makkah). Ketika itu dua orang anggota rombongan kami
berkumpul di bawah pohon tempat kami dahulu ebrbaiat. Kami lalu bertanya kepada
Nabi, “Untuk hal apa mereka dahulu berbaiat kepada Rasulullah? Apakah untuk
siap mati? Nabi menjawab, “Tidak, kami berbaiat untuk bersabar.” (HR Bukhari).
Hujan Turun kepada Kaum
Muslimin di Hari Hudaibiyah
Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Anshari r.a. ia
berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah saw pada tahun Perjanjian
Hudaibiyah. Suatu malam kami diguyur hujan. Kemudian, Rasulullah saw mengimami
shalat Subuh kami. Beliau lalu menghadap ke arah kami seraya bersabada,
“Tahukah kalian apa yang dikatakan Tuhan
kalian? Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah saw
melanjutkan, “Allah berfirman, “Hamba-hamba-Ku, baik yang mukmin maupun yang
kafir telah menyambut pagi hari. Adapun orang yang berkata, “Kami diguyur hujan
dengan rahmat dan rezeki Allah serta karunia-Nya,” berarti ia telah beriman
kepada-Ku dan kafir terhadap bintag-bintang. Sedangkan orang yagn berkata ‘kami
diguyur hujan oleh bintang ini dan itu, maka berarti ia telah beriman kepada
bintang-bintang itu dan kafir terhadap-Ku.” (HR Bukhari).
Perkara Kalian Telah Menjadi
Mudah
Itulah ungkapan populer yagn diucapkan Nabi saw pada hari Hudaibiyah,
tatkala beliau melihat Suhail bin ‘Amr yang diutus Quraisy untuk berunding
dengan Nabi sw.
Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa, ketika datang Suhail bin ‘Amr, Nabi
saw berseru, “Perkara kalian telah menjadi mudah.”
Suhail bin “Amr pun datang. Ia berkata, “Segera tuliskan naskah perjanjian
damai antara kami dan kalian.”
Nabi saw pun memanggil seorang penulis yaitu Ali bin Abi Thalib. Rasulullah
memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan naskah perjanjian damai tersebut.
beliau berkata kepada Ali, “Tulislah Bismillahirrahmanirrahim.” Kemudian,
Suhail, delegasi kaum Quraisy berkata, “Adapun kata ar-rahman, aku tidak
mengenalnya, tetapi tulislah bismika Allahumma.” Kaum muslimin berseru, “Demi
Allah, kami tidak akan menujlisnya, kecuali dengan kalimat
‘Bismillahirahmanirrahim.” Namun, Rasulullah berkata kepada Ali, “Kalau begitu,
tulislah bismika Allahumma.”, Ali pun menulisnya. Setelah itu Rasulullah
berkata, “Tulislah : Ini adalah hasil perdamaian Muhammad Rasulullah dengan
Suhail bin ‘Amr.” Suhail lalu berkata, “Demi Allah, sekiranya kami tahu bahwa
kamu adalah rasul Allah, tentu kami tidak akan melarangmu untuk menziarahi
Baitullah dan kami tidak akan memerangimu. Akan tetapi, tulislah Muhammad bin
Abdullah. Kemudian Rasulullah berkata, “Demi Allah, aku tetap seorang Rasul
Allah meski kalian mendustakanku. Baiklah kalau begitu, tulislah Muhammad bin
Abdullah.”
Az-Zuhri berkata, “Sikap mengalah yang ditunjukkan Rasulullah saw itu
karena beliau sebelumnya pernah bersabda, ‘Demi Allah, mereka tidak akan
meminta satu rencana dariku untuk mengagungkan kesucian Allah, kecuali aku pun
akan menurutinya.”
Mabi saw lantas bersabda kepada Ali, “Tulislah, ‘Agar kalian membiarkan
kami melaksanakan thawaf di Baitullah.” Suhail lalu berkata, “Demi Allah,
orang-orang Arab jangan sampai menceritakan bahwa kami telah menekan kalian.
Kami ingin pelaksanaan thawaf itu dilakukan tahun depan.” Lalu Ali pun
menuliskannya.
Suhail lalu berkata, “Tulislah. Siapa yang datang kepada Muhammad dari
orang-orang Quraisy tanpa izin walinya meski dia telah memeluk agamanya, maka
Muhammad harus memulangkan mereka.”muslim berseru, “Subhanallah, bagaimana kami
mengembalikan orang yang datang dalam keadaan Islam kepada kaum Musyrik?”
Juru tulis yang mencatat naskah perjanjian itu adalah Ali bin Abi Thalib
r.a. Perjanjian itu sendiri ditandatangani oleh beberapa orang dari kedua belah
pihak, kaum muslimin dan kaum musyrikin. Sejak saat itukah perjanjian telah
diberlakukan.
Ali bin Abi Thalib
Memohon Maaf karena Telah Menghapus Lafal “Muhammad Rasulullah”
Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib r.a. ia berkata, “Ali bin Abi Thalib
menulis naskah perjanjian antara Nabi saw dan kaum musyrikin pada hari
Hudaibiyah. Di dalamnya ia mencatat : Inilah perjanjian antara Muhammad Rasu
Allah. Namun, kaum musyrik berseru, “Jangan kalian tulis Muhammad Rasul Allah,
sebab jika kami tahu bahwa kamu adalah rasul Allah, niscaya kami tidak akan
menghalangimu dari Baitullah dan tidak akan memerangimu.” Nabi saw lalu
bersabda kepada Ali, “Hapuslah kata-kata itu!” Namun, Ali berkata, “Aku tidak
rela menghapusnya.” Rasulullah pun menghapus kata-kata itu dengan tangannya.”
(HR Ahmad dan Abu Dawud).
Syarat dan Isi Perjanjian
Hudaibiyah
Tentang syarat dan isi perjanjian udaibiyah itu, penulis mendapatkan dalam
banyak hadits yang berbda dan diriwayatkan melalui banyak jalur sahabat. Akan
tetapi, keberadaan isi perjanjian itu di dalam hadits Miswar bin makhramah dan
Marwan bin Hakam secara utuh membuat penulis tertarik untuk memaparkan riwayat
tersebut.
Di dalam hadits Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Hakam disebutkan :
Ini adalah hasil perdamaian Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr.
Keduanya sepakat untuk tidak saling berperang selama sepuluh tahun hingga roang-orang merasa aman dan tidak saling
menyerang. Barang siapa yang datang keapda Muhammad dari orang-orang Quraisy
tanpa izin walinya maka Muhammad harus memulangkan mereka. Barang siapa yagn
datang kepada Quraisy dari pengikut Muhammad, kaum Quraisy tidak perlu
mengembalikannya. Di antara kami tersimpan tekad untuk tidak saling memusuhi,
tidak saling menutup-nutupi dan tidak saling merugikan. Barang siapa yang ingin
menjadi bagian dari perjanjian Muhammad 9bergabung dengan Muhammad), ia bisa.
Barang siapa yang ingin menjadi bagian perjanjian dan akad kaum Quraisy
(bergabung dengan Quraisy) maka ia boleh nmasuk ke dalamnya. Engkau (Muhammad)
harus pulang tahun ini, engkau tidak diperkenankan untuk masuk ke Makkah. Tahun
yang akan datang, engkau diperkenankan untuk masuk Makkah bersama para
sahabatmu dan menetap di sana selama tiga hari. Engkau boleh membawa
persenjataan berupa pedang dan tidak boleh membawa senajta lainnya.
Abu Jandal dan Keteguhan
Prinsipnya dalam Kebenaran
Tinta naskah perjanjian itu belum lagi kering, tiba-tiba datanglah Abu
Jandal, putra utusan Quraisy. Suhail bin Amr. Ia kabur dari kaum Musyrikin dan
segera menyeruak ke barisan kaum muslimin.
Kemudian, ayahnya langsung menampar wajahnya. Ia berkata, “Wahi Muhammad,
inilah orang yagn pertama kali kutntut darimu. Aku ingin kamu mengembalikannya
kepada kami.”
Nabis aw lantas menjawab, “Kita belum menandatangni naskah perjanjian itu.”
Suhail lantas berkata, “Demi Allah, jika demikian, kami tidak akan
berunding denganmu, selamanya.” Nabi saw bersabda, “Berikan Abu Jandal
kepadaku.” Suhail menjawab, “Aku tidak akan menyerahkannya kepadamu.” Nabi saw
bersikukuh seraya bersabda, “Lakukanlah!” Suhail menjawab, “Tidak akan.”
Makraz ikut angkat bicara, ia berkata, “Sekarang kami telah menyerahkannya
keapdamu.” Suhail menarik paksa anaknya untuk membawanya kembali ke kaum
Quraisy. Kemudian, Abu Jandal berteriak keras, “Wahai kaum muslimin, apakah aku
akan dikembalikan kepada kaum musyrikin dan mereka akan mersak agamaku? Tidaklah
kalian melihat apa yagn kualami dari mereka?” Abu Jandal sebenarnya sduah
disiksa secara sadis karena mempertahankan akidahnya.
Mendengar hal itu, kaum muslimin pun bersedih hati dan berduka. Kemudian,
Rasulullah bersabda, “Wahai Abu jandal, bersabarlah dan pertahanlah, Allah akan
mendatangkan kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah lainyya.
Kami telah mengadakan kesepakatan dengan mereka, kami pun telah memberikan
kepada mereka janji Allah dan mereka juga telah memberikannya kepada kami, kami
bukanlah orang-orang yagn suka berkhianat.”
Di dalam jalur periwayatan lain dari
Ahmad dan Ibnu Ishaq terdapat tambahan yagn baik, yang juga diriwayatkan
melalui miswar dan makhramah dan Marwan bin Hakam. Ia berkata, “Ketika
Rasulullah saw menuliskan naskah perjanjian itu, tiba-tiba datanglah Abu Jandal
bin Suhail bin Amr dengan belenggu ditubuhnya. Ia ebrusaha melepaskan diri dan
menyeruak masuk ke barisan Rasulullah. Ketika itu para sahabat Rasulullah turut
brangkat karena mereka tidak lagi meragukan kemenangan yang diimpikan
Rasulullahsaw dalam tidurnya. Ketika melihat perundingan itu, mereka memandang
perlu berdamai dan perlu kembali lagi ke Madinah. Rasulullah saw tidak sanggup
menahan beban sendirian. Akibat perjanjian damai itu, orang-orang pun mengalami
masalah besar dan hampir saja mereka binasa. Ketika Suhail melihat Abu Jandal.
Ia langusng menyongsongnya dan menampar wajahnya. Kemudian, ia berkata, “Wahai
Muhammad masalah antara aku dan kamu inisebenarnya telah usai sebelum orang ini
datang. Rasulullah menjawab, “Ya, benar.” Akhirnya, Suhail menarik paksa baju
Abu Jandal!.”
Kemudian Abu Jandal berteriak keras. “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan
dikembalikan kepada kaum musyrikin dan mereka merusak agamaku?” Mendengar hal
itu, kaum muslimin pun bersedih hati dan berduka. Kemudian Rasulullah bersabda,
“Wahai Abu jandal, bersabarlah dan bertahanlah, Allah akan mendatangkan
kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah lainnya. Kami telah
mengadakan kesepakatan dengan mereka, kami pun telah memberikan kepada mereka
janji Allah dan mereka juga telah memberikannya kepada kami, kami bukanlah
orang-orang yang suka berkhianat.”
Umar lantas melompat ke samping Abu Jandal. Ia berkata kepadanya,
“Bersabarlah, wahai Abu Jandal! Mereka hanyalah kaum musyrik, darah setiap
orang dari mereka adalah darah anjing. Abu Jandal lantas mendekati orang yang
memegang pedang. (Perawi berkata). “Aku sebenarnya berharap ia mengambil
pedangnya untuk menyerang bapaknya.” Abu Jandal pun dijauhkan dari bapaknya dan
perjanjian dituntaskan.
Naskah perjanjian itu selesai ditulis. Ketika perjanjian itu diberlakukan,
kaum Khuza’ah pun masuk ke dalam akad dan perjanjian Muhammad saw. Dahulu,
sejak jaman Abdul Mutalib, kaum Kuza’ah adalah sekutu bagi Bani Hasyim. Bergabungnya
mereka ke dalam barisan Muhammad itu adalah sebagai penegasan dan pengakuan
akan persekutuan lama. Sementara itu Bani Bakar masuk ke dalam akad dan
perjanjian kaum Quraisy.
Keberatan Umar terhadap
Isi Perjanjian
Kaum muslimin mengalami kesedihan yang luar biasa karena dua sebab, yaitu,
Pertama, Nabi saw
sebelumnya telah memberi tahu bahwa mereka pasti akan melaksanakan thawaf di
Baitullah.
Kedua, Nabi saw. Menerima tekanan dari kaum Quraisy
dengan dibuatnya Perjanjian Hudaibiyah itu.
Dua hal itulah yang memunculkan keraguan dan bisikan setan serta praduga di
hati kaum muslimin. Dengan perjanjian tersebut, perasaan kaum muslimin
tergores. Mereka sedih karena memikirkan akibat dan buah dari perjanjian itu. Mungkin
yang paling bersedih adalah Umar bin Khaththab. Ia datang menemui Nabi saw dan
bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?” Nabi
Menjawab, “Ya.” Umar lalu bertanya lagi, “Bukankah kita benar dan musuh kita
batil?” Nabi Allah menjawab, “Ya.”
Umar lalu berkata, “Atas dasar apa kita menyerahkan agama kita kepada
orang-orang yang hina itu?” Rasulullah menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan
utusan-Nya, aku tidak akan menetang perintah-Nya dan Dia tidak akan
menyia-nyiakanku.”
Umar bertanya lagi, “Bukankah engkau telah berkata bahwa kita akan
mengunjungi Baitullah dan berthawaf di dalamnya?” Beliau menjawab, “Ya.” Tetapi
apakah aku memberitahumu bahwa kita akan mendatangi Baitullah tahun ini?” Umar
menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Sekarang kamu telah mendatanginya dan
telah berthawaf di dalamnya.”
Umar lalu mendatangi Abu Bakar, bukankah yang melakukan perundingan itu
Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Kemudian Umar bertanya lagi, “Bukankah
kita kaum muslimin?” akar menjawab, “Ya.” Setelah itu Umar kembali bertanya, “Bukankah
mereka kaum musyrikin?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Umar kemudian berkata, “Atas
dasar apa kita menyerahkan agama kita kepada orang-orang yang hina itu?” Abu
Bakar berkata, “Taatilah perintah beliau, aku bersaksi bahwa beliau adalah
Rasulullah.” Namun, Umar berkata lagi, “Ya, aku juga bersaksi bahwa abeliau
adalah utusan Allah.”
Umar lalu berkata, “Bukankah beliau telah memberi tahu kita bahwa kita akan mengunjungi
Baitullah dan berthawaf di dalamnya?” Abu Bakar menajwab, “Ya, tetapi apakah
beliau memberitahumu bahwa kita akan melakukannya tahun ini?” Umar menjawab, “Tidak.”
Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya kamu telah melaksanakannya tahun ini, kamu
telah mengunjungi Baitullah dan berthawaf di dalamnya.”
Umar bertutur, “Sejak itu aku berusaha melakukan amalan-amalan baik untuk
menebus dosaku karena telah membantah Nabi saw.”
Sebenarnya, respons sebagian sahabat hampir sama dengan respons Umar. Akan
tetapi mereka tidak berani mengungkapkannya seperti yang dilakukan Umar,
sebagaimana yang kita temukan dari riwayat Sahal bin Hanif berikut :
Diriwayatkan dari Sahal bin hanif r.a. berkata di Shiffin, “Wahai manusia,
tegaskan pendapat kalian. Demi Allah, aku turut
menyaksikan hari peristiwa Abu Jandal dahulu. Sekiranya aku bisa
membantah keputusan Rasulullah, niscaya akan kulakukan. Namun, demi Allah, kami
tidak pernah meletakkan pedng kami di atas pundak-pundak kami karena satu
perkara pun, kecuali beliau memudahkan untuk kami perkara-perkara yang kami
ketahui dan beliau hanya akan memerintahkan kalian untuk itu.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Ummu Salamah Pemilik Ide
yang Cemerlang
Penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah itu pun dilakukan. Salah satu isinya Rasulullah
harus pulang ke Madinah bersama para sahabatnya dan baru bisa melaksanakan
umrah tahun depan. Atas dasar itu, Rasulullah langusng memerintahkan para
sahabat untuk bertahalul dari ihramnya dan bersiaop-siap untuk kembali ke
Madinah. Beliau bersabda, “Bangkit dan sembelihlah sembelihan kalian.” Akan
tetapi hal itu terasa berat bagi kaum muslimin, mereka pun enggan melaksanakan
perintah tersebut. sampai-sampai beliau mengucapkan perintahnya itu tiga kali. Ketika
tidak seorang pun yang melaksanakan perintah itu, Rasulullah masuk ke tempat
Ummu Salamah. Beliau menceritakan apa yagn dilakukan mereka, kepada Ummu
Salamah. Ummu Salamah menyarankan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah
engkau ingin agar orang-orang melaksanakan perintahmu?” Keluar dan jangan
berbicara kepada siapa pun. Potonglah hewan semebelihanmu dan lakukan tahalul,
panggilah tukang cukurmu agar mencukur rambutmu, niscaya mereka akan ikut
melaksanakan apa yang engkau lakukan!.”
Apa yang dikatakan Ummu Salamah benar, Nabi saw melakukan apa yang
diusulkan Ummu Salamah, yaitu menyembelih hewannya, mencukur rambutnya, dan
bertahalul dari ihramnya. Ketika para sahabat melihat beliau melakukan hal
tersebut, mereka pun lengsung mengikujtinya. Di antara mereka ada yang mencukur
rambutnya, ada pula yang sekedar memotongnya. Rasulullah bersabda, “Alalh akan
mengasihi orang-orang yang mencukur rambutnya.” Para sahabat bertanya, “Dan
orang-orang yang memotong rambutnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Allah
akan mengasihi orang-orang yang mencukur rambutnya.” Para sahabat merasa
penasaran dan kembali bertanya, “Dan orang-orang yagn memotong rambutnya, wahai
Rasulullah?” Beliau kembali menekankan, “Allah mengasihi orang-orang yang
mencukur rambutnya!” zBaru kemudian yang keempat kalinya beliau bersabda, “Dan orang-orang
yang memotong rambutnya.” Mereka bertanya keapda Rasulullah mengapa beliau
mengutamakan orang-orang yang mencukur rambutnya atas orang yang memotong
rambutnya. Beliau menjawab, “Karena mereka adalah orang yang tidak ragu.”
Para sahabat menyembelih seekor unta dan sapi masing-masing untuk tujuh
orang. Rasulullah saw sendiri menyembelih unta yang dahulu pernah menjadi milik
Abu Jahal. Di hidung unta itu terdapat tindik dari perak. Beliau melakukan hal
itu untuk memanas-manasi kaum musyrikin. Rasulullah mendoakan ampunan tiga kali
untuk orang-orang yang mencukur rambutnya dan satu kali untuk orang yang
memotong rambutnya saja. dalam perjalanan itu, Allah SWT menurunkan ayat
tentang keharusan membayar fidyah dengan puasa atau sedekah bagi orang yang
tidak bisa mencukur rambutnya karena ada sakit atau halangan.
Perjanjian Hudaibiyah
Adalah Kemenangan Besar
Kaum muslim telah benar-benar melihat buah dari sikap toleransi yang tinggi
yang ditunjukkan Nabi saw. Mereka benar-benar mendapatkan berkahnya. Oleh karena
itu, lisan mereka pun melantunkan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.”
Sejak perjanjian itu dibuat, kekuatan kaum Quraisy mulai melemah dan persatuan
mereka mulai rapuh di seluruh jazirah Arab.
Ketika berita perundingan damai Quraisy dengan kaum muslimin menyebar ke
seluruh pelosok Jazirah Arab, fitnah kaum munafik yang bekerja untuk
kepentingan kaum Quraisy pun padam. Kabilah-kabilah penyembah berhala di
seluruh pelosok Jazirah mulai bercerai berai. Terutama karena mereka
berkeyakinan bahwa dalam perjanjian dengan kaum muslimin itu, kaum Quraisy
hanya memperhatikan kepentingan kelompoknya, khususnya kepentingan dagang
mereka. Kaum Quraisy dianggap telah mempertimbangkan maslahat persekutuan
mereka dengan kabilah-kabilah lain. Pada waktu yang sama, kegiatan kaum
muslimin di bidang pengetahuan politik, dan militer makin meluas. Mereka makin
berhasil dalam mempersatukan kabilah-kabilah kecil dan memasukannya ke dalam
naungan Islam.
Banyak sejarawan yagn menganggap Perjanjian Hudaibiyah
itu, sebagai kemenangan. Bahkan az-Zuhri berkata tentangnya, “Tak pernah ada
satu kemenangan did alam Islam yang lebih besar dan agung dari Perjanjian
Hudaibiyah ini. Karena, bagaimana pun, peperangan itu terjadi hanya ketika
manusia bertemu. Ketika terjadi perundingan damai dan perang dihentikan, maka
orang-orang merasakan kedamaian satu sama lain. Mereka menjadi leluasa dalan
berkomunikasi sesama mereka, saling berdebat, dan berdiskusi. Ketika itu, tidak
seorang pun yang berakal lalu berbicara Islam, kecuali ia akan masuk Islam. Sejak
peristiwa Hudaibiyah itu, di tahun-tahun berikutnya, telah masuk Islam sejumlah
orang yang setara dengan muslim sebelumnya, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.”
Ibnu Hisyam berkata, “Dalil dan bukti kebenaran ucapan az-Zaid itu, adalah
apa yang terjadi dengan Rasulullah saw yang berangkat ke Hudaibiyah bersama
1.400 orang muslim. Kemudian dua tahun berikutnya, yaitu tahun Penaklukkan
Makkah 9Fathu Makkah), beliau berangkat bersama 10.000 orang muslim.
Kisah Keislaman Ummu
Kultsum binti “Uqbah bin Abi Mu’ith
Ketika Suhail bin Amr melakukan perundingan damai dengan Rasulullah saw, di
antara isi dan syarat perjanjian yang ditetapkan Suhail kepada Rasulullah itu
adalah jika ada seorang lelaki dari Quraisy yang telah memeluk agama Islam maka
Muhammad harus mengembalikannya kepada Quraisy. Syarat itu membuat kaum
muslimin tidak suka. Merka enggan melakukannya. Akan tetapi, Suhail menolak
membuat syarat itu dalam perjanjiannya. Akhirnya, Nabi saw pun bersedia
menerimanya. Hal itu juga, Rasulullah mengembalikan Abu Janda ke pangkuan
bapaknya, Suhail bin Amr. Tidak seorang pun laki-laki yang datang kepada Nabi
saw kecuali saat itu juga akan dikembalikan oleh Nabi saw, walau pun ia seorang
muslim.
Giliran berikutnya kaum perempuan mukminah yang berhijrah. Di antara mereka
ada Ummu Kultsum binti Abi Mu’ith yang menyongsong Rasulullah pasca Perjanjian
Hudaibiyah itu. Ketika itu, ia lari dari keluarganya. Maka keluarganya
mecnarinya dan meminta Rasulullah agar mengembalikannya kepada mereka. Akan
tetapi, Rasulullah tidak mau mengembalikannya.
Hal itu beliau lakukan berdasarkan perintah Allah SWT dalam firman-Nya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mjukmin datang berhijrah ekpadamu maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka; jika telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka
tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal
bagi mereka.” (QS al-Mumtahanah (60) : 10).
Nabi saw. Membaiat Kaum
Wanita
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata, “Kaum perempuan mukminah,
jika mereka bergabung dengan Rasulullah maka mereka akan diuji dengan firman
Allah SWT, “Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu
untuk mengadakan bai’at (janji setia_, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan
suatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan
membunuh anak-anaknya, tidak akan beruat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,
maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada
Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Mumtahanah (60) :
12).
Aisyah berkata, “Mukminah yang menyetujui semua hal ini, berarti ia telah
siap mendapatkan ujian. Jika Rasulullah saw telah mendengar persetujuan mereka
itu, beliau tidak akan bersabda kepada mereka, “Pergilah, aku telah membaiat
kalian!” Demi Allah, Rasulullah saw tidak pernah menyentuh tangan seorang
perempuan pun. Beliau hanya membuat membaiat mereka dengan ucapan.”
Aisyah menuturkan, “Demi Allah, Rasulullah tidak pernah membaiat perempuan.
Kecuali sesuai yang diperintahkan Allah SWT kepadanya. Beliau tidak pernah
menyentuh tangan seorang perempuan pun. Jika beliau membaiat mereka, beliau
akan bersabda, “Aku sudah membaiat kalian dengan ucapan.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Kisah Abu Bushair r.a.
Di dalam hadits yagn diriwayatkan oleh Bukhari dan Marwan bin Hakam dan
Miswar bin Makhramah disebutkan, “.... Nabi saw pun pulang ke Madinah.
Kemudian, beliau didatangi oleh Abu Bushair,s eroang Quraisy yagn sudah masuk
Islam.” (Yahya meriwayatkan dan Ibnu Mbarak bahwa Abu Bushair bin Usaid
ats-Tsaqfi datang kepada Nabi sw dalam keadaan hijrah dan muslim). Abu Bushair
lari dari Makkah menuju Madinah. Al-Akhnas Syuraiq pun menyewa seroang kafir
dari Bani Amir bin Lu’ay dan seorang budaknya untuk mengejar Abu Bushair.
Keduanya meminta Rasulullah untuk mengembalikannya. Kemudian beliau pun
menyerahkannya sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyah. Beliau bersabda kepada
Abu Bushair, “Wahai Abu Bushair, kami telah memberikan mereka janji seperti
yang kamu ketahui. Dalam agama kami, kami tidak boleh berkhianat. Allah akan
memberikan kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah sepertimu,
pulanglah kepada kaummu!” Kemudian, Abu Bushair berkata, “Wahai Rasulullah,
apakah engkau akan memulangkanku kepada kaum musyrikin sehingga mereka merusak
agamaku?”
Rasulullah menenangkan Abu Bushair dengan mengulangi ucapannya dengan
lembut, “Wahai Abu Bushair, pulanglah ke kaummu! Allah akan memberikan
kelapangan dan jalan keluar untukmu dan orang-orang lemah sepertimu!”
Akhirnya, Abu Bushair pun pulang bersama dua orang yang menyusulnya. Mereka
kemudian mampir di Dzulhulaifah dan beristirahat. Satt istirahat, Abu Bushair
melihat pedang yang dimiliki oleh salah seorang musyrik tersebut. ia kemudian
berkata kepadanya, “Bolehkah aku melihat-lihat pedangmu ini?” Ia menjawab,
“Ya.” Abu Bushair lantas mengambil pedang itu dan menariknya dari sarungnya.
Setelah itu ia menebaskan pedangnya ke orang musyrik tersebut hingga ia mati.
Sementara itu temannya lari. Ia mendatangi Rasulullah dan menceritakan
kejadiannya. Rasulullah saw bersabda tentangnya, “Orang ini amat ketakutan.”
Selang beberapa lama Abu Bushair datang sambil menghunus pedang yang telah
berlumuran darah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tanggung jawabmu telah engkau
tunaikan dan Allah telah menunaikannya untukmu. Engkau menyerahkanku kepada
mereka dan Allah telah melaksanakannya untukmu. Namun, aku tetap menolak
agamaku dirusak oleh mereka.” Kemudian, Rasulullah berkata, “Celaka, dia (Abu
Bushair) bisa melancarkan peperangan jika memiliki pasukan!”
Sejak sat itu, Abu Bushair lari hingga sampai ke Aish di pesiksir pantai,
jalur yang biasa ditempuh kaum Quraisy menuju Syam. Orang-orang muslim lainnya
yagn ada di Makkah turut mendeengar peristiwa itu. Mereka bergegas menyusulnya.
Sesampainya di sana, mereka membentuk satu pasukan muslim. Di tempat itu mereka
sering mengganggu kafilah-kafilah dagang kaum Quraisy. Mereka merampas harta
dan membunuh kafilah-kafilah tersebut. akhirnya kaum Quraisy mengirim surat
kepada Rasulullah memohon beliau agar berbelas kasihan kepada mereka.
Rasulullah pun mengirim surat kepada Abu Bushair dan pasukannya agar
menghentikannya serangan-serangannya.
Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya itu, “Dan Dialah yang mencegah
tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (mencegah) tangan kamu dari (membinasakan)
mereka di tengah (kota) Makkah setelah Allah memenangkan kamu atas mereka. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Merekalah orang-orang kafir yang
menghalang-halangi kamu (masuk) Masjidil Haram dan menghambat hewan-hewan
kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. dan kalau bukanlah karena ada
beberapa orang beriman laki-laki dan perempuan yang tidak kamu ketahui,
tentulah kamu akan membunuh mereka yagn menyebabkan kamu ditimpa kesulitan
tanpa kamu sdari. Karena Allah hendak memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke
dalam rahmat-Nya. sekiranya mereka terpisah, tentu Kami akan mengazab
orang-orang yang kafir di antara mereka dengan azab yagn pedih. Ketika
orang-orang yagn kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu)
kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan
kepada orang-orang mukmin; dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat
menjalankan kalimat takwa dan mereka lebih berhak dengan itu dan patuh
memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Fath (48) : 24 –
26).
Kesombongan mereka adalah dengan tidak mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi
Allah, tidak mengakui kalimat bismillahirrahmanirrahim, dan menghalangi kaum
mukminin untuk mengunjungi Baitullah.
Kisah Abu Jandal dan Abu Bushair tersebut merupakan bukti nyata yang
menakjubkan. Ia mencerminkah kisah perjuangan dalam membela akidah antara harus
menghadapi celaan musuh dan merindukan para sahabat. Hal itu membuktikan bahwa
iman kepada Allah telah merasuk ke dalam hati mereka dan menjaga kemurniannya.
Mereka telah kehilangan dukungan moril berupa persahabatannya dengan Rasulullah
saw dan kerinduan untuk mendengar saran dan nasihat beliau. Namun, hubungan mereka
dengan beliau diganti dengan cara berkirim surat kepada beliau. Melalui surat
itulah mereka bisa meneladani akhlak
beliau. Jalur kebenaran yang mereka tempuh dan kebatilan yang mereka
jauhi serta petualangan yang mereka jalani merupakan contoh dan teladan baik
bagi Islam dalam hal perjuangan dan pengorbanan.
Abu Bushair tidak sempat kembali ke pangkuan Rasulullah karena izinnya
untuk pulang ke Madinah baru tiba saat ia tengah saakratulmaut. Surat
Rasulullah datang kepada Abu Bushair agar ia meninggalkan tempatnya dan pulang
ke tempat yang ia suka, tetapi sayangnya saat itu Abu Bushair tengah
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Abu Bushair pun meninggal dunia,
sementara surat Rasululah ia peluk di
dadanya. Kemudian jenazahnya dikuburkan oleh Abu Jandal, sebagaimana dijelaskan
oleh al-Ghazali dalam Fiqh Sirah.
Kisah Keislaman Abu
al-‘Ash bin Rabi’
Musa bin Uqbah meriwayatkan bahwa anggota pasukan Abu Bushair menawan satu
kafilah dagang yagn did alamnya ada Abu al’Azh bin Rabi’, menantu Rasulullah
saw. Ketika itu Abu al-‘Ash belum memeluk agama Islam.
Sebelum penaklukan Makkah Abu al-‘Ash bin Rabi’, suami Zainab binti
Rasulullah, berangkat untuk berdagang ke Syam. Ia asalah sosok orang yang bisa
dipercaya dan bisa membawakan harta dagangan orang-orang untuk
diperdagangkannya. Dalam perjalanan pulan dari Syam, ia dihadang oleh pasukan
Abu Bushair. Pasukan itu mengambil sejmua harta yagn ada padanya. Ia sendiri
kabur dan membuat mereka tak berdaya mengejarnya. Ia lari ke Madinah, masuk ke
tempat Zainab dan meminta perlindungan dan hak pertetanggannya kepadanya.
Zainab pun melindunginya. Abu al-‘Ash bin Rabi’ datang ke Madinah untuk
menuntut hartanya yagn dirampas.
Ketika Rasulullah sedang menunaikan Shalat Subuh bersama para sahabat,
Zainab berseru dari arah barisan kaum wanita, “Wahai orang-orang, aku telah
bertetangga dengan Abu al-‘Ash bin Rabi’ dan telah melindunginya.” Setelah
salam, Rasulullah bersabda, “Wahai orang-orang apakah kalian mendengar apa yagn
aku dengar?” Mereka menjawab, “Ya.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Demi Dzat
yagn jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak mengetahui hal ini sampai aku
mendengarnya sendiri seperti yang kalian dengar, dia (Abu al-‘Ash) telah
meminta perlindungan dari kaum muslimin?”
Setelah itu Rasulullah pergi ke tempat Zainab dan menemuinya. Beliau
berkata keapdanya, “Wahai putriku, muliakanlah tempatnya, jagnan sampai ia
mendekatimu karena sudah tidak halal lagi baginya!.”
Kemudian, Rasulullah mengirim surat kepada basukan Abu Bushair dan
berpesan, “Orang itu telah menjadi salah seeorang anggota kami, seperti yagn
kalian ketahui. Kalian telah mendapatkan hartanya, jika kalian bersedia untuk
mengembalikan harta itu kepadanya, maka itulah yang kami inginkan. Namun, jika
kalian menolak maka harta itu menjadi harta rampasan Allah yang diberikan-Nya
kepada kalian, kalian lebih berhak mendapatkannya.”
Mereka pun akhirnya mengembalikan semua harta yagn diambilnya dari Abu
al-‘Ash bin Rabi’, bahkan ada seseorang yang mengembalikan sekeping kayu kecil
yang telah diambilnya. Abu al-‘Ash bin Rabi’ pun kemudian membawa seluruh
hartanya itu pulang ke Makkah dan membagikannya kepada para pemiliknya. Ia
berkata, “Wahai kaum Quraisy, masih adakah yang belum mendapatkan hartanya?”
Mereka menjawab, “Tidak, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, kami
mendapatimu sebagai orang yagn jujur dan bisa dipercaya!.” Ia menjawab, “Aku
sendiri telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah. Demi Allah, tidak ada yagn menghambatku masuk Islam ketika aku di
Madinah, kecuali karena aku takut memakan harta kalian ini. Ketika Allah menunaikan harta itu
kepada kalian, aku pun masuk Islam.” Ia kemudian berangkat lagi ke Madinah
untuk menghadap Rasulullah. Akhirnya, ia kembali bersatu dengan Zainab setelah
sekian lama berpisah.
Teladan dari Abu al-“Ash
Ketika Abu al-‘Ash bin Rabi’ pulang dari Syam dengan membawa harta
dagangannya dan ia dihadang oleh pasukan muslinmin, beberapa orang pasukan itu
berkata kepadanya, “Maukah kamu masuk Islam dan mengambil harta ini untujkmu
karena ini adalah harta kaum musyrikin?” Ia menjawab, “Seburuk-buruknya aku
memulai Islamku adalah dengan menghianati amanahku.” Ia lantas menolak usulan
itu dan terjadilah kisah seperti yagn telah penulis seb utkan sebelumnya. Ia
kemudian sampai di Makkah dan membagikan harta itu kepada para pemiliknya.
Harta itu adalah amanah yang ia pegang untuk diperdagangkan. Setelah itu
barulah ia mengikrarkan keislamannya. Itu adalah teladan yagn sangat tinggi
dalam hal menjaga amanah dari seorang menantu Rasulullah bernama Abu al-‘Ash
bin Rabi’. Semoga Allah menjadikan surga tempatnya dan tempat kita, amin.
Miswar bin Makhramah mengatakan bahwa Nabi saw memuji menantunya Abu
al-‘Ash bin Rabi’ dengan baik. Beliau bersabda, “Jika dia ebrbicara kepadaku,
ia berbicara dengan jujur. Jika ia berjanji kepadaku, ia selalu menepatinya.”
(HR Bukhari).
Seperti itulah amanah, seperti itu pula komitmen terhadap janji. Itulah
sikap muraqabah terhadap Allah SWT. Abu al-‘Ash bin Rabi’ telah menjadi contoh
tertinggi dalam hal amanah dan sikap berpegang pada janji.
Apa yang Terjadi setelah
Perjanjian Hudaibiyah?
Begitulah kronologis Perjanjian Hudaibiyah. Jika ditinjau dari isi dan
latar belakangnya, tidak diragukan lagi bahwa ia adalah kemenangan yang besar
bagin kaum muslimin. Sebelumnya kaum Quraisy tidak pernah mengakui eksistensi
kaum muslimin, bahkan mereka selalu berusaha mempersempit ruang geraknya. Kaum
Quraisy seslalu menunggu saat kehancuran kaum muslimin. Dengan segenap
upayanya, kaum Quraisy selalu menghalangi dakwah Islam karena mereka mersasa
sebagai pemimpin keagamaan dan keduniaan di seluruh jazirah Arab. Dengan hanya
masuk ke perundingan itu, mereka dinilai telah mengakui eksistensi dan kekuatan
kaum muslimin serta membuktikan bahwa kaum Quraisy tidak sanggup melawannya.
Isi Poin ketiga Perjanjian
Hudaibiyah itu sendirin membuktikan bahwa kaum Quraisy telah melupakan
kedudukan duniawi dan kepemimpinannya di bidang keagamaan. Yang dipedulikan
kaum Quraisy saat itu tidak lain hanyalah kepentingan dirinya sendiri. Adapun
orang lain dan seluruh kabilah di jazirah Arab lainnya, sekiranya mereka masuk
Islam semua pun, itu tidak penting bagi Quraisy. Mereka tidak akan lagi
mengintervensinya. Bahkan itu kegagalan yang telak bagi kaum Quraisy dan
kemenangan yang nyata bagi kaum muslimin?
Peperangan berdarah yang terjadi antara kaum muslimin dan
musuh-musuhnya bukanlah untuk merampas harta musuh atau membunuh dan
memusnahkan manusia atau memaksa musuh agar memeluk Islam. Akan tetapi, tujuan
satu-satunya bagi kaum muslimin melalui perang itu adalah meraih kebebasan yang
sempurna bagi manusia dalam menjalankan agama dan akidahnya. Allah SWT berfirman,
“..... maka barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan
barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir ...” (QS al-Kahfi (18) :
29).
Oleh karena itu, tidak ada lagi kekuatan yang menghalangi kaum muslimin
melakukan apa yang mereka inginkan. Tujuan itu telah terwujud dengan segala
prasyaratnya, bahkan dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam
banyak peperangan yang disertai dengan kemenangan yang nyata. Untuk mendapatkan
kebebasan itu, kaum m uslimin meraih kesuksesan besar di bidang dakwah. Sebelum
perjanjian Hudaibiyah, jumlah kaum muslimin tidak lebih dari 3.000 orang,
tetapi setelah dua tahun sejak perjanjian itu, yaitu tepatnya saat Penaklukan
Makkah, pasukan muslimin berjumlah 10.000 orang.
Adapun poin kedua perjanjian itu
merupakan bagia kedua dari kemenangan nyata tersebut. di dalamnya membuktikan
bahwa kaum muslimin bukan kaum pertama yang memulai peperangan, kaum
Quraisy-lah yang memulainya. Allah SWT berfirman, “.... Dan mereka yang pertama
kali memerangi kamu” (QS at-Taubah (9) : 13). Kaum muslimin menyiapkan
pasukannya hanyalah untuk menyadarkan kaum Quraisy atas tindakan semena-mena
mereka dan sikapnya yang menghalangi dakwah ke jalan Allah. Kaum muslimin juga
ingin memperlakukan mereka dengan tindakan yang setimpal. Masing-masing pihak
melakukan perbuatan sesuai kehendak mereka. Akad perjanjian damai untuk tidak
berperang selama sepuluh tahun merupakan langkah besar dalam menghentikan
kesombongan itu dan bukti kegagalan pihak yang memulai peperangan terlebih
dahulu, kelemahan, dan keruntuhannya.
Adapun poin pertama isi
eprjanjian Hudaibiyah itu menjadi batas yang menghentikan tindakan kaum Quraisy yang melarang kaum
muslimin mengunjungi Masjidil Haram. Ini juga bukti kegagalan Quraisy yang
lainnya. Sebenarnya, di dalam isi perjanjian itu tak hal yang menyenangkan
kaumasjidil Haram untuk tahun itu saja.
Kaum Quraisy memberikan ketiga poin tersebut untuk kepentingan kaum
muslimin. Sedangkan mereka sendiri hanya mendapatkan keuntungan dari poin yang
keempat, padahal poin itu hanya secuil dan tidak bernilai sama sekali. Tidak
ada isi poin itu yang melemahkan kaum muslimin. Seperti diketahui, seorang muslim,
selama ia masih muslim, ia tidak akan pernah jauh dari Allah dan Rasul-Nya,
juga dari kota lahirnya Islam. Ia tidak akan jauh, kecuali jika ia telah murtad
secara zahir dan batin. Jika ia telah menjadi murtad maka kaum muslimin tidak
lagi membutuhkannya dan perpisahannya dengan masyarakat muslim lebih baik
daripada ia harus tinggal bersama mereka. Itulah yang diisyaratkan Rasulullah
saw dengan sabdanya, “Orang yang pergi dari kita menuju mereka maka Allah akan
menjauhkannya.” (HR Muslim).
Adapun penduduk Makkah yang masuk Islam meskipun ia tidak menemukan jalan
untuk menju Kota Madinah, tetapi tanah Allah itu luas. Bukankah negeri Habasyah
dirasa begitu luas bagi kaum muslimin di saat penuduk Madinah belum mengenal
Islam sama sekali? Itulah yang diisyaratkan Nabi saw dalam sabdanya, “Siapa
dari mereka yang mendatangi kita maka Allah akan memberinya kelapangan dan
jalan keluar.” I(HR Muslim).
Sikap protektif seperti itu walau pun menjadi sumber kebanggan bagi kaum
Quraisy, tetapi hakikatnya menyatakan kepanikan dan ketakutan kaum Quraisy yang
begitu besar dan kekhawatiran mereka akan
status keagamaannya sebagai penyembah berhala. Seolah mereka merasa
bahwa struktur masyarakatnya saat itu sudah di ambang kehancuran. Oleh karena
itu, tampaknya mereka harus mengambil tindakan tersebut. sementara itu,
Rasulullah saw tidak pernah meminta lagi orang muslim yang lain menuju orang
Quraisy. Hal itu tidak lain adalah bukti bahwa beliau bersandar pada kukuhnya
struktur beliau dan kekuatannya secara total. Beliau tidak lagi mengkhawatirkan
syarat-syarat perjanjian seperti itu sama sekali.
Kedudukan Para Pengikut
Perjanjian Hudaibiyah
Dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata, “Di Hari Hudaibiyah, jumlah kami
adalah 1.400 orang. Nabi saw bersabda kepada kami, “Kalian adalah penghuni bumi
terbaik.” Jabir r.a. bertutur, “Sekiranya saat ini aku bisa melihat, akan
kutunjukkan kepada kalian letak pohon (tempat baiat) tersebut.” (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Jabir r.a., ia jgua bertutur, “Seorang budak milik Hathib
datang menemui Rasulullah saw. Ia mengadukan perihal sikat Hathib terhadapnya.
Ia ebrkata, “Wahai Rasulullah, semoga Hathib masuk neraka.” Lalu, Rasulullah
saw bersabda, “Kamu bohong, ia tidak akan masuk neraka. Karena ia telah menjadi
saksi Perang Badar dan perisitiwa Perjanjian Hudaibiyah.” (HR Muslim dan Ibnu
Majah).
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ummu Mubasysyir memberitahuku bahwa
ia mendengar Nabi saw bersabda di tempat hafshah, “Tidak akan masuk neraka,
insya Allah, para sahabat pengikut baiat di bawah pohon yang berbaiat di
abwahnya.” Ummu Mubasysyir berkata, “Betulkah, wahai Rasulullah?” Nabi saw lalu
menghardiknya. Kemudian hafshah membaca firman Allah SWT, “Dan tidak ada
seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu
adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan.” (QS Maryam (19) : 71).
Nabi saw lantas bersabda, “Allah SWT berfirman, “Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yagn zalim
di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”m (QS Maryam (19) : 72).
Beberapa Faedah Fiqh yang
Dipetik dari Kisah Hudaibiyah
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa beberapa faedah fiqh yang bisa dipetik dari
kisah Hudaibiyah ini.
1. Nabi Muhammad saw melakukan umrah di bulan-bulan haji, yaitu beliau
berangkat ke Makkah pada Bulan Dzulqa’dah.
2. Berihram untuk umrah sejak dari miqat itu lebih afdal, sebagaimana
berihram untuk haji.
3. Menyembelih hewan sembelihan disunahkan pula dalam melaksanakan umrah,
sebagaimana disunnahkan dalam pelaksanaan haji qiran.
4. Menampakkan hewan sembelihanitu juga disunnahkan, bukan merupakan
tindakan melecehkan hewan yang sudah disembelih.
5. Anjuran untuk memprovokasi dan memanas-manasi musuh Allah. Nabi saw
sendiri telah menyembelih hewan unta yang dahulu pernah menjadi milik Abu
Jahal, yang dihidungnya terdapat tanda dari perak.. hal itu beliau lakukan
untuk memprovokasi kaum musyrikin. Allah SWT telah berfirman tentang
sifat-sifat Nabi saw dan para sahabatnya itu, “... dan sifat-sifat mereka (yang
diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti beih yang mengeluarkan tunasnya,
kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas
batangnya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)...” (QS
al-Fath) (48) : 29).
Di dalam ayat lain, “....Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa
kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak
suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan
suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka
suatu amal kebajikan. Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang
yang beruat baik.” (QS at-taubah (9) : 120).
6. Pemimpin pasukan harus mengirimkan mata-matanya terlebih dahulu untuk
menyelidiki keadaan musuh.
7. Menggunakan tenaga seorang musyrik yang dipercaya dalam jihad dibolehkan
saat diperlukan. Sebab, Uyainah, mata-mata Rasulullah yang berasal dari dari
suku Khuza’ah, ketika itu masih kafir. Hal itu beliau lakukan dengan
pertimbangan bahwa Uyainah lebih banyak bergaul dengan orang-orang musyrik dan
musuh sehingga ia bisa lebih mudah menyelidiki keadaan mereka.
8. dianjurkan agar seorang pemimpin mengajak musyawarah rakyat atau
pasukannya. Hal itu untuk menyaring pendapat-pendapat mereka, menyenangkan
hatinya, membuat mereka percaya diri, dan mencegah celaan mereka, serta untuk
mengetahui maslahat yang terkadang hanya diketahui oleh sebagian orang tanpa
sebagian lainnya. Hal itu juga sebagai aplikasi dari perintah Allah SWT.” .....
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” (QS Ali ‘Imran (3) :
159). Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang suka bermusyasarah dengan
firman-Nya, “..... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka ...” (QS asy-Syura (42) : 38).
9. Bolehnya menawan perempuan-perempuan dan anak-anak musyrik jika mereka
terpisah dari kaum lelakinya sebelum memeranginya.
10. Perlunya menjawab ucapan yang batil walaupun berasal dari seorang yang
bukan mukallaf. Nabi saw menjawab ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa unta
al-Quswa telah membangkang. Beliau bersabda, “Al-Quswa tidak membangkang, itu
bukan kebiasaannya.”
11. Disunnahkan memberi nama kendaraan atau tunggangan.
12. Jika kaum musyrik atau ahli bid’ah dan maksiat meminta perkara yang
bertujuan menjaga kesucian-kesucian Allah maka permintaannya itu harus
dipenuhi, diberikan, dan dibantu.
13. Barang siapa yang singgah dekat dengan Kota Makkah, ia harus singgah
dalam keadaan tahalul dan shalat di Masjidil Haram.
14. Seorang Imam boleh meminta perundingan damai dengan musuh jika
mengandung maslahat untuk kaum muslimin.
15. Sombong adan angkuh dalam peperangan tidak tercela karena bukan
kebiasaan al-Mugirah bin Syu’bah untuk bersifat angkuh dan sombong di hadapan
Nabi saw.
16. Sabda Nabi saw kepada al-Mugirah, “Adapun Islam maka aku terima. Adapun
harta, aku tidak membutuhkannya sedikit pun.” Itu adalah bukti bahwa harta
seorang musyrik yang memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin adalah
terlindungi. Rasulullah tidak ingin mengambil harta itu, bahkan beliau akan
mengembalikannya. Adapun al-Mugirah, ia dahulu telah bersahabat dengan mereka
untuk menjaga amanah, tetapi ia berkhianat.
17. Perlunya memaklumi kekurangsopanan utusan kaum kafir, ketidaktahuannya
dan kekeraskepalanya. Sikap itu tidak perlu dibalas, karena sikap memaklumi
seperti itu mengandung maslahat umum.
18. Sucinya nukhamah air liur manusia, baik yang berasal dari kepala maupun
dari dadanya.
19. Sucinya air yang Musta’mal (sudah dipakai).
20. Anjuran untuk selalu bersikap optimis karena ia bukan termasuk tindakan
thirah (berserah pada nasib) yang dibenci. Hal itu berdasarkan sabda
Rasulullah, “Perkara kalian telah menjadi mudah.” Ketika Suhail tiba di tempat
beliau.
21. Barang siapa yang berjanji melakukan sesuatu dan ia tidak menentukan
waktunya, berarti pelaksanannya pun dilakukan secara bertahap dan tidak
langsung.
22. Orang yang terhalangi dari Baitullah, ia harus smenyembelih sembelihan,
baik saat bertahalul maupun sedang berihram. Firman Allah SWT, “Merekalah
orang-orang kafir yang menghalang-halangi kamu (masuk) Masjidil Haram dan
menghambat hewan-hewan kurban sampai ke tempat ([penyembelihannya ...” (QS
al-Fath (48) : 25), menunjukkan bahwa tempat di mana Rasulullah menyembelih
semebelihannya adalah di tanah halal, bukan di tanah haram.
23. Orang yang terhalangi dari umrah tidak wajib mengqadanya, Nabi saw
tidak memerintahkan untuk mengqada umrah tersebut.
24. Perintah yang diucapkan secara mutlak harus ditunaikan secara langsung.
Jika tidak, Nabi saw tidak akan marah ketika para sahabatnya terlambat
melaksanakannya.
25. Kaidah asal menyatakan bahwa umat Rasulullah juga turut serta dalam
menetapkan hukum, kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Oleh sebab itu, Ummu
Salamah memberi saran kepada Rasulullah. “Keluarlah engkau, wahai Rasulullah,
jangan berbicara dengan siapa pun! Cukur rambutmu dan sembelihlah
sembelihanmu!” Ummu Salamah tahu bahwa orang-orang akan mengkikuti langkah
beliau.
Beberapa Hikmah yang Terkandung
dalam Perjanjian Hudaibiyah
Di antara hikmah yang terkandung dalam Perjanjian Hudaibiyah adalah langkah
pendahuluan menuju penaklukkan lebih besar yagn dijanjikan Allah SWT kepada
Rasul-Nya, yakni Penaklukkan Makkah. Kelak dalam penaklukkan itu, manusia akan
berbondobg-bondong masuk agama Allah. Perjanjian Hudaibiyah itu merupakan pintu
masuk dan kunci menuju penaklukan tersebut serta seruan ke arah sana.
Hikmah lainnya adalah dinyatakan bahwa Perjanjian Hudaibiyah itu juga
termasuk penaklukan terbesar karena sejak saat itu semua manusia merasa aman
dan damai. Kaum muslimin mulai berinteraksi secara aman dengan kaum kafir.
Mereka bisa melancarkan dakwahnya dengan tenang, memperdengarkan Al-Qur’an
tanpa da yang mengusik, dan menyeru manusia agar masuk Islam secara
terang-terangan. Sejak saat itu pula orang-orang yang dahulu menyembunyikan
keislamannya sduah mulai muncul ke permukaan. Selain itu, banyak juga
pihak-pihak yang ikutn bergabung ke dalam perjanjian itu sesuai kehendak Allah.
Oleh karena itu, Allah menyebutnya dengan fath mubin (kemenangan yang nyata).
Hikmah lainnya adalah bahwa Perjanjian Hudaibiyah itu makin menambah
keimanan dan ketaatan kaum muslimin pada apa yang mereka sukai dan benci.
Bahkan, mereka makin ridha dengan ketetapan dan keputusan Allah. Perjanjian
Hudaibiyah yang ditetapkan Allah untuk Rasul-Nya dan kaum mukminin itu menjadi
sebab diampuninya dosa Rasulullah, baik yang telah lampau maupun yang akan
datang. Perjanjian itu juga sebagai penyempurnaan nikmat Allah atas beliau,
petunjuk ke jalan yang lurus, dan penolong untuk meraih kemenangan yang mulia.
Allah SWT mengisahkan tentang orang-orang Arab Badui yang tidak mau ikut
serta dalam perjanjian itu. Mereka mengira dengan seburuk-buruknya dugaan bahwa
dengan tindakannya itu akan mengecewakan Allah, Rasul-nYa, dan pasukannya
bahkan menguntungkan musuh-musuhnya. Namun, mereka telah salah besar. Mereka
tidak tahu, asma’ dan sifat-sifat-Nya, tidak mengenal Rasulullah bahwa beliau
adalah orang yang tidak layak diabaikan oleh Tuhannya.
Kemudian, Allah SWT juga memberitahukan keridhaan-Nya terhadap kaum
muslimin karena mereka telah sudi berbaiat kepada Rasulullah saw. Allah SWT
mengetahui kejujuran dan ketulusan mereka di dalam hati, ketaatan mereka dan
sikapnya yang lebih mengutamakan Allah dan Rasul-Nya di atas yang lain. Oleh
karena itu, Allah menanamkan ketenangan, kedamaian, dan keridhaan di hati
mereka. Allah memberi mereka pahala atas keridhaannya terhadap hukum dan
putusan Allah serta bersabar menerima perintah-Nya untuk meraih kemenangan yang
sudah dekat dan harta rampasan perang yang melimpah. Benar saja, penaklukan
pertama dengan harta rampasan yang berlimpah sejak Perjanjian Hudaibiyah itu
adalah Penaklukan Khaibar, berikutnya penaklukan demi penaklukan terus terjadi
hingga akhir masa.
Allah telah menjanjikan mereka harta rampasan perang yang berlimpah dan
memberi tahu mereka bahwa Allah menyegerakan harta itu. Tentang hakikat harta
itu ada dua pendapat.
1. Pendapat yang menyatakan bahwa hakikat dari harta itu sebenarnya adalah
perjanjian damai antara kaum muslimin dan musuh-musuhnya.
2. Pendapat yang menhyatakan bahwa harta itu adalah Penaklukan Khaibar
berikut harta rampasan perang yang didapat dari sana.
Sepanjang,Sidoarjo
29 Desember 2018,