Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : PERANG
BANI QURAIZHAH
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Bani Quraizhah adalahs alah satu dari tiga kaum Yahudi yang tinggal di
sekitar Madinah dan pernah emngadakan
perjanjian damaidengan Rasulullah saw. Akan tetapi, satu per satu dari
tiga kaum itu melanggar perjanjian tersebut, sebagaimana firman Allah SWT ini.
“Dan mengapa setiap kali mereka mengikat janji, sekelompok mereka
melanggarnya?” ... (QS al-Baqarah (2) : 1000).
Hingga kini orang-orang Yahudi selalu melanggar janji dan tidak pernah
melaksanakan kesepakatan. Oleh karena itu, khianat sudah menjadi sifat lazim
yang melekat pada diri mereka, kecuali beberapa orang dari mereka yang
dikehendaki Allah saja.
Bani Quraizhah juga telah melanggar perjanjian dan mereka memilih bergabung
bersama kaum musyrikin untuk mengepung Kota Madinah. Mereka melakukannya untuk
menghambat pergerakan Rasulullah dan kaum muslimin, bahkan untuk menyerang
beliau. Oleh karena itu, mereka wajib diperangi, dibunuh, dan harus di usir
dari negerinya.
Itulah pemicu Peperangan Bani Quraizhah, yakni karena merela telah
melanggar kesepakatan damai dan bergabung dengan kaum musyrikin yang zalim,
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Jaza’iri dalam Hadza al-Habib, Ya Muhibb.
Kemarahan dan kebencian di hati kaum mukminin terhadap orang-orang Yahudi
itu telah mencapai puncaknya. Sebab, merekalah yang dahulu terlibat dalam
pengusiran bangsa Arab dari negerinya dan menggiringnya ke negeri Hijrah,
Madinah. Di sana pun, Yahudi tetap mengepung dan mengucilkannya. Di Madinah,
mereka ingin mengembargo kaum muslimin dan mengisolasinya dari dunia luar.
Luka yang dirasakan kaum muslimin akibat pengusiran yang mereka alami,
perampasan terhadap harta,d arah, dan kebebasan berakidahnya belum lagi
mengering, bahkan tidak akan pernah mengering. Namun. Mengapa para penghianat
Bani Israil telah lancang menyusun rencana untuk menghancurkan Islam dan para
pemeluknya dengan cara yang nista itu?
Lantas, apa yang mendoorong orang-orang, khususnya Bani Quraizhah untuk
mengangkat senjata dan bergabung dengan musuh-musuh Islam untuk memerangi kaum
muslim? Padahal yang mereka dapati hanya
loyalitas dan kesetiaan Muhammad saw, terhadap perjanjian damai dengan mereka
itu, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali dalam Fiqhu as-Sirah.
Keikutsertaan Jibril
dalam Perang Bani Quraizhah
Diriwayatkan dari Anas r.a., ia bertutur,
“Seakan aku melihat debu berkilauan dari gang perkampungan Bani Ghanm.
Itulah rombongan pasukan Jibril saat Rasulullah saw berangkat menuju wilayah
Bani Quraizhah.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat Ibnu Sa’ad, ia berkata, “Jibril datang bersama beberapa malaikat. Kemudian
Jibril berkata, “Wahai Rasulullah, bangkitlah dan segera menuju tempat Bani
Quraizhah!” Rasulullah saw lantas menjawab, “Para sahabatku telah mengalami
keletihan.” Jibril lantas berkata, “Bangunlah, akan kuguncangkan mereka!”
Kemudian, Jibril bersama para malaikat berlalu dari situ sampai-sampai debu
terlihat berkilauan di gang perkampungan Bani Ghanm dari kalangan Anshar.” Hal
itu dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari.
Pesan Rasulullah :
Janganlah Seorang dari Kalian Shahalat Ashar, kecuali di Tempat Bai Quraizhah!
Seruan untuk preang terdengar jelas dan menggetarkan telinga kaum muslimin.
Mereka merasa yakin akan pertolongan Allah dan malaikat-Nya. di mana kaum
muslimin sekarang dibanding kaum muslim dahulu? Tentunya kaum muslimin sekarang
berutang nyawa dan kehormatan kepada kaum muslimin dahulu.
Rasulullah saw telah emngumandangkan seruannya dan menegaskan kaum muslimin
agar segera melaksanakan seruan tersebut.
Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya,
“Aku berpesan kepada kalian, jangan shalat Ashar terlebih dahulu sampai kalian
tiba di tempat Bani Quraizhah.” Namun, matahari telah tenggelam sebelum mereka
tiba di sana. Sekelompok muslim berpendapat bahwa Rasulullah tidak pernah
menghendaki mereka meninggalkan shalat. Oleh karena itu, mereka pun
melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Namun, kelompok lain menyatakan bahwa
mereka juga hanya ingin melaksanakan pesan dan wasiat Rasulullah saw. Mereka tidak ingin terkena dosa. Walhasil,
segolongan muslim ada yang shalat karena keimanan dan berharap pahala Allah dan
golongan yang lain pun demikian, mereka meninggalkan shalat Ashar karena
keimanan dan berharap pahala Allah. Di sini Rasulullah tidak menyalahkan satu
pun dari dua golongan itu.”
Hal itu membuktikan bahwa Islam sangat menghormati dan
menghargai perbedaan pendapat selama dihasilkan melalui ijtihad dan yang benar
dan murni. Biasanya manusia ada dua tipe. Satu tipe selalu berada di dalam
batas-batas nash zahir dan tidak berani melampauinya. sedangkan satu tipe lagi
ada yang berusaha mengungkap hikmah-hikmah dan tujuan-tujuan di balik nash-nash
itu, lalu berjalan di jalur hikmah dan tujuan yang telah berhasil diungkapnya
meski terlihat bertentangan dengan yang zahir. Al-Ghazali dan Fiqhu as-Sirah menegaskan
bahwa dua tipe manusia itu tetap diperhitungkan keimanan dan keikhlasannya,
baik mereka benar maupun agak sedikir menyimpang dari kebenaran.
Wahai Saudara-Saudara
Kera, Apakah Allah Menghinakan Kalian?
Rasulullah langsung melaksanakan perintah Tuhannya. Sebelum berangkat,
beliau memilih Ibnu Ummi Maktum untuk menjabat sementara di Madinah. Beliau
juga menyerahkan panji pasukan kepada Ali bin Abu Thalib dan menyuruhnya
berangkat terlebih dahulu ke tempat Bani Quraizhah untuk menyelidiki kondisi
mereka usai perang Khandaq.
Ketika mendekati benteng-benteng mereka, Ali mencuri dengar pembicaraan mereka.
Ia mendengar mereka menjelek-jelekkan Rasulullah.
Rasulullah berangkat bersama beberapa orang sahabatnya. Mereka bertemu
dengan Ali yang baru saja pulang dari tempat Bani Quraizhah. Kemudian Ali
berkata kepada Rasulullah, “Sebaiknya engkau tidak mendekati orang-orang kotor
itu!” Rasulullah lalu bertanya, “Mengapa? Apakah kamu mendengar ada bahaya yang
mengancamku dari pihak mereka?” Ali menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah
bersabda, “Jika mereka telah melihatku, mereka tidak akan mengucapkan hal tersebut.”
Orang-orang Bani Quraizhah telah mendiskreditkan Rasulullah ketika Ali
mendekati mereka dan mencuri dengar pembicaraannya. Rasulullah tetap
melanjutkan perjalanannya hingga sampai di perkampungan mereka dan mendekati
benteng-bentengnya. Di sana Rasulullah memanggil mereka dengan lantang, “Wahai
para saudara kaum Qaradah, apakah Allah pernah mengecewakan kalian dan
menurunkan bencana kepada kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Abu Qasim, kau
bukanlah orang yang lancang dan bicara lancung.” (HR Baihaqi).
Di Tengah Jalan Menuju
Bani Quraizhah
Di tengah perjalanan menuju Bani Quraizhah, Rasulullah melewati beberapa
orang sahabatnya dan bertanya pada mereka, ‘Apakah ada seseorang yang
berpapasan dengan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, Dahiyyah bin
Khalifah telah berpapasan dengan kami. Ia menunggan seekor kuda putih, di
atasnya ada pelana yang terbuat dari sepotong kain sutra!” Kemudian Rasulullah
bersabda, “Itu adalah Jibril yang diutus Allah ke Bani Quraizhah untuk
mengguncangkan benteng-benteng mereka dan menyebarkan rasa ketakutan di hati
mereka!”
Rasulullah dan para sahabatnya mampir di salah satu sumur Bani Quraizhah
yang bernama sumur Anna. Setelah kaum muslimin berdatangan, Rasulullah lantas
mengepung Bani Quraizhah yang ebrsembunyi did alam benteng mereka. Beliau
meminta mereka untuk turun, tetapi mereka menolak. Pada saat itu, ketika mereka
merasa terdesak akibat pengepungan dan mengira bahwa Rasulullah tidak akan
membebaskan mereka, Ka’ab bin Asad salah seorang pemimpin terkemuka di tengah
mereka bangkit untuk bermusyawarah dengan mereka.
Nabi saw. Mengepung Bani
Quraizhah, sementara Ka’ab bin Asad Berunding dengan Mereka
Nabi saw mengepung Bani Quraizhah selama 25 malam. Mereka pun mengalami
putus asa dan ketakutan. Ketika itu Huajy bin Akhtab telah ikut bergabung
dengan Bani Quraizhah di benteng mereka setelah ia ditinggal oleh pasukan
Quraisy dan Ghathafan. Ia ebrgabung dengan Ka’ab bin Asad sesuai perjanjian
yang telah mereka buat.
Ketika mereka merasa terdesak akibat pengepungan dan mengira bahwa
Rasulullah tidak akan membebaskannya. Ka’ab bin Asad, salah seorang pemuka
mereka berkata, “Wahai Kaum Yahudi, kalian tengah menghadapi apa yang kalian
alami sekarang, aku menawarkan kalian tiga hal, pilihlah terserah kalian.”
Mereka bertanya, “Apa saja pilihan itu?” Ka’ab menjawab, “Kita ikuti orang itu
dan kita beriman. Demi Allah, telah nyata bagi kalian bahwa ia adalah seorang
Nabi dan Rasul, ialah yang kalian
temukan dalam kitab kalian. Dengan demikian, kalian akan mendapatkan keamanan
bagi jiwa, harta, anak-anak, istri-istri kalian.” Mereka berseru, “Kami tdak
akan meninggalkan hukum Taurat selamanya dan tidak akan kami ganti dengan yang
lainnya!” Kemudian, Ka’ab memberikan opsi kedua. Ia berkata, “Jika kalian
menolak, maka kita bunuh anak-anak dan istri-istri kita, kemudian keluar
menjumpai Muhammad dan para sahabatnya dengan pedang-pedang kita agar tidak
merasa terbebani oleh keluarga sampai Allah menentukan hukum-Nya antara kita
dan Muhammad. Jika kita mati, kita akan binasa dan tidak meninggalkan keturunan
yang perlu kita khawatirkan lagi. Namun, jika kita menang maka seumur hidup,
kita tidak akan memiliki istri-istri dan anak-anak lagi!” Mereka menjawab,
“Jika kita membunuh mereka, apa kebaikan dari hidup yang akan kita jalani
sesudahnya?” Ka’ab kembali menawarkan pilihannya yang ketiga, “Jika kalian
menolak juga, malam ini adalah malam Sabtu, semgoa saja Muhammad dan para
sahabatnya menjamin keamanan kita di hari Sabtu. Jika demikian, marilah kita
turun dan semoga kita bisa menyerang mereka karena mereka telah tertipu!”
Mereka menjawab, “apakah kita harus merusak hari Sabtu sebagi hari suci kita
dengan melakukan perang yang tidak pernah dilakukan orang-orang sebelum kita?”
Akhirnya mereka dilanda kebingungan. Di sini Ka’ab berkata, “Tidak pernah
satu masa pun sejak dilahirkan ibunya, seseorang dari kalian memiliki tekad
kuat meski untuk satu malam?” Hal itu dijelaskan oleh Ibnu Hisyam dalam
as-Sirah an-Nabaiyyah.
Biarkan Dia sampai Allah
Menerima Tobatnya!
Ketika kebingungan dan ketakutan mereka makin bertambah besar, mereka
akhirnya mengutus beberapa orang di antaranya Syas bin Qais, untuk berunding
dengan Rasulullah. Syas turun dari benteng dan menemui Rasulullah, ia
menawarkan dan meminta kepada beliau agar memperlakukan mereka seperti beliau
memperlakukan Bani an-Nadhir, dengan kompensasi mereka siap mengeluarkan harta,
istri, dan anak-anaknya, serta meletakkan senjata. Akan tetapi, tawaran itu
ditolak Rasulullah.
Syas melanjutkan, “Maukah engkau tidak menumpahkan darah kami, menyerahkan
istri dan anak-anak kami kepada kami dan kami tidak mengambil sedikit pun harta
kami?” Tawaran itu juga ditolak beliau, kecuali mereka harus tunduk dan patuh
pada hukum beliau. Syas pun kembali lagi kepada kaumnya dan memberitahukan
hasil yang tidak menguntungkan mereka sama sekali dan perundingannya dengan
Rasulullah.
Tawaran Terakhir Diterima
Setelah Rasulullah menolak tawaran Syas, mereka kembali mengutus utusannya
untuk meminta kepada Rasulullah agar beliau sudi mengirimkan Abu Lababah
sebagai juru bicara Rasulullah kepada mereka. Mereka ingin meminta pertimabngan
Abu Lababah tentang masalah ketundukan mereka pada hukum Rasulullah. Abu
Lababah sendiri adalah muslim yang berasal dari Bani Aus, sementara Bani
Quraizhah termasuk sekutu Bani Aus. Akhirnya Nabi saw mengutus Abu Lubabah
sesuai permintaan mereka. Abu Lubabah lantas masuk ke benteng mereka. Ketika
orang-orang melihatnya, mereka pun berdiri, sementara kaum wana ketadan
anak-anak menangis. Abu Lubabah sangat iba dan merasa kasihan melihat kondisi
tersebut. mereka berkata kepada Abu Lubabah, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami
harus tunduk pada hukum Muhammad?” Ia menjawab, “Ya.” Kemudian, Abu Lubabah
mengisyaratkan tangannya ke lehernya, artinya mereka akan dibunuh.
Abu Lubabah pun akhirnya keluar dari benteng tersebut, ia bertutur, “Demi
Allah, belum lagi kakiku melangkah dari tempat itu, aku tersadar bahwa aku
telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. oleh sebab itu, aku tidak langsung
mendatangi Rasulullah. Aku mengikat diriku sendiri di teras masjid. Aku tidak
akan meninggalkan tempatku ini, kecuali Allah menerima tobatku atas apa yang
telah kulakukan.”
Abu Lubabah juga berjanji untuk tidak menginjakkan kakinya lagi di tempat
Bani Quraizhah dan tidak akan mendatangi negeri yang penduduknya berkhianat
kepada Allah dan Rasul-Nya itu. Tentang sikap Abu Lubabah itu, Allah SWT
berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipecayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui.” (QS al-Anfal (8) : 27).
Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari dan al-Wahidi dalam Asbab
an-Nuzul menyatakan bahwa ketika Rasulullah saw mendengar kabar tentang Abu
Lubabah itu, beliau besabda, “Biarkan saja ia sampai Allah menerima tobatnya.”
Akhirnya Allah menerima tobatnya, Rasulullah saw pun kembali menerima Abu
Lubabah dengan tangan terbuka.
Aku Adili Mereka dengan
Hukum Allah
Ketika orang-orang Yahudi Bani Quraizhah mendengar ucapan Abu Lubabah,
mereka pun akhirnya memilih tunduk pada putusan hukum Sa’ad bin Mu’adz. Sebab,
sebelum masuk Islam, Sa’ad adalah teman dan sekutu mereka di masa jahiliah.
Mereka mengira Sa’ad akan meringankan hukuman bagi mereka dan berbelas kasihan
kepada mereka. Mereka berseru, “Kami siap tunduk pada putusan hukum Sa’ad bin
Mu’adz.” Rasulullah saw segera memanggil Sa’ad bin Mu’adz. Kemudian, Sa’ad
dinaikkan ke atas keledai yang dilengkapi tandu dan bantal oleh kaumnmya, yaitu
kaum Aus. Kaum Aus ( kaum yahudi juga) berseru kepada Sa’ad, “Wahai Abu ‘Amr,
kaum Aus berpesan kepada Sa’d, “Wahai Abu ‘Amr, perlakukan dengan baik rakyatmu
karena Rasulullah-lah yang mengangkatmu menjadi pemimpin dan pemerintah untuk
mereka.!”
Ketika mereka terus mengucapkan hal itu kepada Sa’ad, ia pun berkata, “Tiba
saatnya bagi Sa’ad agar ia tidak dikecam kerana menegakkan hukum Allah.” Dan
ucapannya tersebut, semua orang tahu b ahwa Sa’ad tidak akan berbelas kasihan
kepada mereka. Sebelum Sa’ad datang, kaum Aus memberitahu Bani Quraizhah
perihal pengangkatan Sa’ad untuk mengadili mereka. Ketika Sa’ad sampai,
Rasulullah berseru, “Bangkitlah dan temui pemuka kalian.”
Umar berkomentar, “Tuan kami adalah Allah.” Namun, Rasulullah bersabda
lagi, “Turunkan ia.” Mereka bangkit dan menurunkan Sa’ad dari kendaraannya.
Mereka berkata kepadanya, “Wahai Abu Amr, Rasulullah telah mengangkatmu untuk
menjadi hakim bagi sekutu-sekutumu agar kamu menegakkan hukum di tengah
mereka.” Kemudian, Sa’ad berkata kepada kaum Aus, “Oleh karena itu, kalian
harus menjaga janji Allah, yaitu bahwa hukum yang berlaku di sini adalah hukum
yang aku putuskan!” Mereka menjawab, “Ya”.
Sa’ad kemudian berkata dengan tegas, “Aku akan menghukum mereka (Bani
Quraizhah), yaitu kaum lakik-laki harus dibunuh, harta-harta dibagikan,
anak-anak dan para wanita ditawan.” Kemudian, Rasulullah berkomentar, “Dengan
demikian, engkau telah menghukum mereka dengan hukum Allah yang bersumber dari
atas tujuh lapis langit.!”
Kemudian Sa’ad berdoa, “Ya Allah, jika kamu sisakan sedikit perang untuk
Nabi-Mu melawan orang-orang Quraisy maka tetap hidupkan aku agar bisa mengikuti
peperangan itu. Namun, jikan Engkau telah menutnaskan peperangan antara Nabi-Mu
dan mereka, maka matikanlah aku.”
Tiba-tiba lukanya kembali memancarkan darh. Padahal luka itu sudah hampir
sembuh, kecuali tinggal sebesar bulatan kecil.
Aisyah menuturkan, “Sa’ad pun kembali ke tenda perawatan yang telah
disipakan Rasulullah untuknya. Kemudian Rasulullah mendatanginya bersama Abu
Bakar dan Umar.”
Aisyah menambahkan, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, aku
bisa membedakan tangisan Umar dari tangisan Abu Bakar,s edangkan ketika itu aku
sedang berada di kamarku. Keadaan mereka itu sebagaimana yang difirmankan
Allah, “ ... tetapi berkasih sayang sesama mereka ...” (QS al-Fath (48) : 29).
Alqamah bertanya kepada Aisyah,” Wahai ibu, apa yang dilakukan Rasulullah
ketika itu?” Aisyah menjawab, “Rasulullah tidak pernah menangisi kepergian
seorang pun. Jika beliau sedih atas kepergian seseorang, maka beliau hanya akan
menyentuh janggutnya.” Hal itu tercantum dalam Majma’ az-Zawa’id.
Tentang Bani Quraizhah ini, turunlah firman Allah SWT berikut ini, “Dan Dia
menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu mereka
(golongan-golongan yang bersekutu) dari benteng-benteng mereka, dan Dia
memasukan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan
sebagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepadamu tanah-tanah,
rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu
injak. Dan Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab (33) : 26 –
27).
Etika Sa’ad bin Mu’adz
(Shiddiq dari Anshar Bersama Nabi saw.
Dalam satu riwayat disebutkan : Ketika pemimpin kaum Aus, Sa’ad bin Mu’adz
sampai di tempat Rasulullah saw, di perkampungan Bani Quraizhah, Nabi langsung
bersabda kepadanya, “Putuskan hukum untuk mereka wahai Sa’ad.” Sa’ad menjawab,
“Rasulullah lebih berhak untuk menetapkan hukuman.” Lalu, Nabi saw bersabda,
“Allah SWT telah menyuruhmu untuk menetapkan hukuman atas mereka,” Sa’ad yang
ketika itu tahu betapa kaum Aus ingin agar ia meringakan hukumannya terhadap
Bani Quraizhah, Yahudi sekutu mereka, ia ingin mendapatkan kepercayaan semua
pihak. Ia juga ingin menyatakan kepada kaum Aus dan Bani Quraizhah bahwa jika
hukumnya telah ditetapkan, maka ia tidak lagi bisa diubah dan ditawar-tawar.
Sa’ad lalu berdiri di tempat pasukan Nabi saw dan langsung meminta
persetujuan kepada kaumnya, kaum Aus dan kepada seluruh yang ada di barisan
pasukan. Ia berseru, “Kalian harus berpegang pada janji dan hukum Allah. Putusan
hukum yang berlaku kelak ini adalah putusan hukum yang kutetapkan.” Mereka
menjawab, “Ya.”
Kemudian, Sa’ad menoleh ke arah Nabi saw dan memberi isyarat ke tempat mana
beliau berada. Ia lalu berseru ke arah tenda tersebut, tetapi kepalanya tetap
berpaling dari Rasulullah, sebagai bentuk penghormatannya kepada beliau. Kata
Sa’ad, “Bagaimana halnya dengan yang ada di dalam tenda ini?” Rasulullah
menjawab, “ Ya.”. Hal itu dijelaskan oleh Ibnu Hisyam dalam as-Sirah
an-Nabawiyah.
Kemudian, Sa’ad berseru ke arah Bani Quraizhah yang ditawan di tempat lain
di sisi pasukan muslimin. Ia meminta kerelaan mereka seraya berseru, “Apakah
kalian rela dengan putusan hukumku?” Mereka menjawabn, “Ya.” Akhirnya, Sa’ad
pun memutuskan agar pasukan Bani Quraizhah dibunuh, kaum perempuan dan
anak-anaknya ditawan, sementara harta mereka dirampas dibagikan kepada kaum
muslimin.
Ketika Sa;ad bin Mu’adz telah mengeluarkan putusan hukumnya, Nabi saw
berkomentar, “Engkau telah memutuskan sesuai hukum Allah.”
Perhatiaka bagaimana etika Sa’ad ketika memutuskan hukum dan bagaimana ia
menunjuk ke arah tenda Rasulullah sambil memalingkan wajahnya dari sana. Hal
itu sebagai penghormatannya terhadap beliau, sebagaimana disebutkan dalam
Ashhab ar-Rasul.
Bagaimana Rasulullahs aw.
Memilah Antara Orang Dewasa DAN Anak-Anak Bani Quraizhah
Diriwayatkan dari Athiyyah al-Qardhi, ia berturur, “Aku termasuk tawanan
dari Bani Quraizhah. Ketika itu kaum muslimin mengamati bahwa barang siapa di
antara Bani Quraizhah yang sudah tumbuh bulunya, ia akan dibunuh; dan barang
siapa yang belum tumbuh bulu, ia tidak dibunuh.
Dalam satu riwayat, ia bertutur, “Mereka lalu membuka kemaluanku. Mereka
dapati kemaluanku belum tumbuh bulu. Akhirnya, aku hanya di tawan.” (HR Abu
Dawud, Turmudzi, dan Nasa’i)
Jumlah Anggota Bani Quraizhah
yang Dibunuh Nabi saw.
Di dalam al-Fath, a;-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Para sejarawan berbeda
pendapat tentang jumlah orangorang Bani Quraizhah yang dibunuh Nabi saw.
Menurur Ibnu Ishaq, jumlah mereka saat itu adalah 600 orang. Pendapat itu pula
yang diyakini oleh Abu Amr saat memaparkan tentang biografi Sa’ad bin Mu’adz.
Adapun menurut Ibnu Abidin yang diriwayatkan dari Qatadah, jumlahnya adalah 700
orang. Suhali menyuatakan bahwa mayoritas orang berpendapat, jumlahnya adalah
antara 800-900 orang. Di dalam hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Turmudzi,
Nasa’i, dan Ibnu Hibban secara shahih disebutkan bahwa jumlah mereka adalah 400
orang pasukan. Jika yang benar adalah pendapat yang terakhir, dapat dikatakan
bahwa sisanya hanyalah para pengikut dan sinmpatisan mereka. Ibnu Ishaq
mengisahkan ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka adalah 900 orang.”
Kisah Keislaman Beberapa
Yahudi Bani Quraizhah
Di malam hari ketika Bani Quraizhah mau tunduk pada hukum Rasulullah, Allah
telah memuliakan empat orang Yahudi. Mereka akhirnya memeluk agama Islam. Tiga
orang di antaranya bukan berasal dari Bani Quraizhah, mereka itu antara lain
Tsa’labah bin Sa’ayah, Usaid bin Sa’yah, dan Asad bin Ubaid, mereka berasal
dari Bani Hadal. Adapun yang keempat adalah Amr bin Su’adi yang berasal dari
Bani Quraizhah. Amr menolak ikut Quraizhah untuk menghianati Rasulullah. Ia
berkata,”Aku tidak akan pernah menghianati Muhammad.”
Di suatu malam, ia berpapasan dengan para penjaga Rasulullah, di antaranya
Muhammad bin Musallamah, Muhammad pun langsung mengenalinya, tetapi ia
membiarkannya pergi. Amr berlalu dari tempat itu menuju Masjid Nabawi. Ia
kemudian bermalam di sana malam itu. Setelah itu ia pergi dan hingga sekarang
tidak diketahui rimbanya. Ketika hal itu diberitahukan kepada Rasulullah beliau
berkata, “Orang itu telah diselamatkan oleh Allah karena kejujuran dan
loyalitasnya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata, “Aku telah memerangi Quraizhah
dan Nadhir. Aku yang mengusir Bni an-Nadhir dan membiarkan Bani Quraizhah tetap
di negerinya sampai aku kembali memeranginya. Orang-orang Quraizhah pun
dibunuh, sedangkan tawanan perempuan, anak-anak, dan harta mereka dibagikan
kepada kaum muslimin. Namun, sebagian dari mereka ada yang turut bergabung
bersama Nabi saw, hingga beliau pun menjamin keamanan mereka. Mereka pun
akhirnya memeluk Islam. Semua Yahudi Madinah akhirnya diusir dari Madinah.
Mereka itu antara lain Bani Qainuqa’, yakni kaum Abdullah bin Salam. Yahudi
Bani Haritsah, dan semua Yahudi Madinah.”
Bani Quraizhah Turun dari
Benteng
Ketika hukum Allah telah ditetapkan melalui lisan Sa’ad bin Mu’adz untuk
Bani Quraizhah, sementara Rasulullah dan kaum mukminin pun telah rela dan
setuju dengan putusan itu. Bani Quraizhah sendiri masih berada di dalam
benteng. Mereka menolak untuk turun dan tunduk pada hukum yang telah ditetapkan
oleh Sa’ad. Kemudian, Ali bin Abu Thalib berteriak, “Wahai pasukan keamanan,
bersiaplah!” Ali dan Zubair bin Awwam maju dan berseru.” Demi Allah, akan
kubuat mereka merasakan apa yang dirasakan Hamzah, akan kubobol benteng
mereka.” Kaum Yahudi Quraizhah pun gentar dan akhirnya berteriak. “Wahai
Muhammad, kami akan tunduk pada hukum Sa’ad bin Mu’adz.
Mereka akhirnya turun dan digiring ke Madinah. Mereka dipenjarakan di rumah
seorang wanita dari Bani Najjar yang bernama Nusaibah binti Harits.
Pelaksanaan Hukuman
Setelah itu Rasulullah keluar menuju pasar Madinah dan memerintahkan untuk
menggali lubang di sana. Kemudian, beliau memerintahkan untuk membawa Bani
Quraizhah ke tempat itu. Mereka akhirnya dibunuh satu per satu dan dibuang ke
lubang tersebut. jumlah mereka ketika itu sekitar 700 orang, di antaranya ada
Ka’ab bin Asad, pemimpin mereka. Ada pula Hujay bin Akhthab an-Nadhari, orang yang
berperan membentuk partai-partai untuk memerangi Rasulullah dan kaum mukminin.
Orang-orang Bani Quraizhah bertanya kepada Ka’ab saat mereka digirng, “Akan di
bawa kemana kita, wahai Ka’ab?” Ka’ab menjawab, “Apakah di setiap tempat kalian
tidak lagi menggunakan akal? Tidakkah kalian lihat bahwa seorang algojo tidak
akan pernah menarik tekadnya. Dan barang siapa yang dibawa olehnya, tentu ia
tidak akan kembali? Demi Allah, kita akan dibunuh.”
Akhirnya, para algojo membawa Hujay bin Akhthab yang ketika itu mengenakan
jubah merah yang sudah terobek-robek hingga tidak bisa lagi dimanfaatkan oleh
kaum muslimin. Ia digiring dengan tangan dan lehernya terikat satu sama lain.
Ketika ia melihat Rasulullah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah mencela
diriku atas permusuhanku denganmu, tetapi siapa yang mengecewakan Allah, ia
akan kecewa!” Kemudian, ia menghadap orang-orang dan berseru. “Wahai manusia,
tidak ada ragu dengan ketentuan dan perintah Allah, kitab dan Qadar-Nya, serta
bencana yang digariskan Allah kepada bani Israil!” Kemudian, ia duduk dan
kepalanya langsung dipenggal.
Sikpa orang-orang Yahudi terhadap kaum muslimin dahulu dan sekarang tidak
jauh berbeda. Ribuan saudara kita telah dipenggal kepalanya oleh orang-orang
Yahudi secara diam-diam. Mereka telah menguasai wilayah Palestina.
Anehnya, kaum Yahudi itu membiarkan bagitu saja orang-orang yang dahulu
pernah membantainya di seluruh pelosok Eropa. Mereka takut dan pengecut
menghadapi mereka. Mereka hanya berani menindas kaum muslimin yang sebenarnya
tidak pernah menyakiti mereka sejak 12 abad yang silam. Mereka menganiaya kaum
muslimin dengan sangat sadis dan sampai saat ini masih terjadi di Palestina.
Tindakan mereka itu kemudian didukung oleh negara-negara Eropa, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Ghazali dalam Fiqhu as-Sirah.
Seorang Wanita Quraizhah yang
Aneh
Setiap lalki-laki Bani Quraizhah yang telah dewasa dan berakal balig tak
luput dari hukuman mati, kecuali Rifa’ah. Sebab, ia diminta dari Rasulullah
oleh Salman bin Qais, ibunda Mundzir an-Najjariah. Salma berkata kepada
Rasulullah, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, berikan Rifa’ah padaku
karena ia mengaku bahwa ia akan melaksanakan shalat dan memakan daging unta.”
Rasulullah pun menyerahkan Rifa’ah kepadanya.
Adapun kaum wanita dari Bani Quraizhah tidak ada yang dibunuh, kecuali
seorang saja kareja kejahatanny(wanita yang memanah Khallad bin Suwaid hingga
menyebabkan kematiannya). Wanita itu sangatlah aneh semasa hidupnya. Mari kita
dengarkan penuturan Aisyah, Ummul Mukminin, tentangnya.
Urwah bin Zubair meeriwayatkan dari bibinya, Aisyah r.a. Ia berkata,
“Aisyah berkisah, “Tidak ada seorang pun wanita Bani Quraizhah yang dibunuh,
kecuali hanya seorang. Di tempatku, wanita itu ebrbincang-bincang denganku dan
sesekali tertawa terpingkal-pingkal. Ketika Rasulullah tengah menghukum mati
kaum laki-laki Bani Quraizhah di apsar, seseorang memanggil wanita tersebut.
orang itu berseru, “Maan si Fulanah?” Ia lantas menjawab, “Aku.”
Kemudian, aku berkata kepadanya,”Celaka kamu ini, ada apa denganmu?” Wanita
itu menjawab, “Aku telah membunuh.” Aku bertanya lagi, “Mengapa? Ia menajwab,
“Karena satu kejadian.” Ia akhirnya dibawa dan kepalanya dipenggal. Aisyah
berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah lupa keanehan pada dirinya, yakni berupa
kebaikan jiwanya dan tawanya yang renyah. Aku baru sadar jika sekarang ia telah
dibunuh.”
Pembagian Harta Kekayaan
Bani Quraizhah
Berdasarkan keputusan hukum Sa’ad bin Mu’adz yang sesuai dengan hukum Allah
dan disetujui oleh Rasulullah, maka harta Bani Quraizhah, termasuk anak dan
istri mereka yang ditawan harus diabgikan kepada kaum muslimin. Oleh karena
itu, Rasulullah pun lantas membagikan harta tersebut. belikau memberi para
pasukan penunggang kuda 3 bagian (2 bagian untuk penunggangnya dan 1 bagian
untuk kuda tunggangannya) dan pasukan infantri (pejalan kaki) 1 bagian. Semuanya
beliau beikan setelah dipotong 1/5 bagian yang diperuntukan untuk Allah dan
rasul-Nya, kerabatnya, anak-anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil.
Berdasarkan tradisi itulah bembagian harta rampasan berlaku dalam Islam. Namun,
beberapa ulama fiqih berpendapat bahwa pasukan penunggang kuda diberikan 2
bagian dan pasukan infantri mendapat 1 bagian.
Setelah itu, Rasulullah mengutus Sa’ad bin Zaid an-Anshari, saudara dari
Bani Abdul Asyhal, untuk membawa tawanan wanita Bani Quraizhah ke Najed dan
menjualnya di sana. Uangnya dibelikan kuda dan senjata untuk kaum muslimin.
Raihanah, Budak Milik
Rasulullah
Raihanah adalah seorang wanita dari Bani Amr bin Quraizhah. Ia dipilih
Rasulullah sebelum pembagian tawanan wanita dilaksanakan. Rasulullah menawari
Raihanah agar mau dikawini beliau, dengan syarat ia wajib mengenakan hijab.
Namun, ia menolak. Ia berkata keapda beliau, “Wahai Rasulullah, biarkan aku
tetap menjadi budak milikmu karena itu lebih ringan bagiku dan bagimu.”
Rasulullah pun membiarkannya. Setelah itu beliau menawarkan Islam keadanya, ia
pun menolak dan lebih memilih tetap beragama Yahudi. Rasulullah pun akhirnya
mengasingkannya. Namun, beliau merasakan sebuah firasat tentangnya. Ketika
beliau tengah berbincang-bincang dengan para sahabatnya, tiba-tiba terdengar
suara sendal di belakang beliau. Beliau berkata, “Sendal ini adalah milik
Tsa’labah bin Sa’yah, ia datang untuk memberikan kabar gembira untukku berupa
keislaman Raihanah.” Tsa’labah pun menemui beliau dan berkata, “Wahai
Rasulullah, Raihanah telah masuk Islam.” Berita itu membuat Rasulullah senang,
Raihanah tetap berada di tempat Rasulullah sebagai budak milik beliau hingga
beliau wafat.
Arsy (Singgasana) Allah
Bergetar karena Kematian Sa’ad bin Mu’adz
Rasulullah saw datang menemui Sa’ad yang sedang menderita karena lukanya.
Beliau bersabda, “Semoga Allah memberimu pahala kebaikan yang lebih dari
sekedar jabatan menjadi pemuka kaum. Kamu telah melaksanakan apa yang telah
kamu janjikan, maka Allah pun akan menetapi janji-Nya kepadamu.”
Lihatlah bagaimana kematian Sa’ad bin Mu’adz telah menggetarkan ‘Arsy
Allah. Rasulullah saw bersabda, “Arsy Allah bergetar karena kematian Sa’ad bin
Mua’adz.” I(HR Bukhari dan Muslim).
Al-Haitsami dalam al-Mujamma’ diriwayatkan dari Asma binti Yazid bin Sakan,
ia berkata, “Ketika Sa’ad bin Mu’adz wafat, ibunya berteriak histeris.
Rasulullah saw pun bersabda kepadanya, “Tidaklah air matamu mengering dan
kesedihanmu hilang saat mendengar bahwa putramu adalah orang yang pertama kali
untuknya Allah tertawa dan Arsy-Nya bergetar?”
Imam an-Nawawi berkata, “Sabda Rasulullah ‘Arsy Allah bergetar karena
kematkian Sa’ad bin Mu’adz para ulama berbeda pendapat dalam menakwilkan sabda
beliau itu. Sebagian ulama mengatakan bahwa maksudnya adalah makna zahirnya,
yaitu Arsy memang benar-benar bergetar. Ia bergetar karena bahagia mendengar
kedatangan roh Sa’ad bin Mu’adz. Hal itu benar-benar bisa terjadi dan tidak
mustahil, sebagaimana dalam firman Allah SWT, “.... Dan ada pula yang meluncur
jatuh karena takut keapda-Mu ...” (QS al-Baqarah (2) : 74). Pendapat itu sesuai
dengan makna zahir dari hatits tersebut dan inilah pendapat yang dipilih.
Para Malaikat Mengusung
Jenazah Sa’ad bin Mu’adz
Diriwayatkan dari Mahmud bin Lubaid, ia berkata, “Ketika mata kaki Sa’ad
terkena anak panah, ia pun tersungkur. Orang-orang lalu membopongnya ke tempat
seorang perempuan bernama Rufaidah yang bertugas mengobati orang-orang yang
terluka. Seteiap kali melewati tempat itu, Nabi saw menyempatkan diri untuk
selalu bertanya tentang keadaan Sa’ad. Beliau selalu bertanya, “Bagaimana
keadaanmu pagi ini?” atau “Bagaimana keadaanmu sore ini?” sampai suatu malam
ketika jenazah Sa’ad dibopong oleh kaumnya, mereka membawanya ke pemukiman Bani
Abd al-Asyhal. Rasulullah kemudian berangkat ke sana. Beliau bersabda kepada
para sahabatnya, “Segera kunjungi Sa’ad.” Kami pun segera berangkat bersama
beliau. Rasulullah saw berjalan dengan cepat dan kami mengejarnya sampai tali
sandal-sandal kami terputus dan serban kami berjatuhan. Para sahabat
mengeluhkan keadaan itu kepada beliau. Namun, beliau bersabda, “Aku takut para
malaikat mendahului kita dalam memandikannya, sebagaimana mereka memandikan
handhalah.” Nabi saw pun sampai ke rumah itu dan ternyata jenazah Sa’ad sedang
dimandikan. Sementara itu ibunya menangis seraya berkata, “Celakalah Ummu
Sa’ad. Ia telah kehilangan kebahagiaan, bekal, dan kekayaan!”
Lalu, Rasulullah saw bersabda, “Setiap perempuan yang menangis itu bohong,
kecuali Ummu Sa’ad.” Kemudian, Rasulullah saw pun membawa jenazahnya.
Orang-orang berseru kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah membawa
jenazah yang lebih ringan dari jenezah Sa’ad ini.” Beliau menjawab, “Lagipula
apa yang membuatnya berat? Sekian malaikat telah turun dan sebelumnya mereka
tidak pernah turun ke bumi. Mereka ikut membantu kalian memboyong jenazah ini.”
Itulah yang dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat.
Sa’ad bin Mu’adz dan
Impitan Kubur
Diriwayatkan dari Jabir r.a. Ia bertutur, “Suatu hari, kami berangkat
bersama Rasulullah saw ke tempat Sa’ad bin Mu’adz saat ia wafat. Setelah
Rasulullah saw menyalatinya, jenazah Sa’ad pun dimasukkan ke liang kubur.
Kuburan pun ditutup. Rasulullah lalu membaca tasbih cukup lama dan panjang.
Setelah itu beliau bertakbir, kami pun ikut bertakbir. Kemudian beliau ditanya,
“Wahai Rasulullah, megnapa engkau bertasbih lalu bertakbir?” Beliau menajwab,
“Kuburan ini telah menghimpir hamba yang shalih ini dan akhirnya Allah pun
telah melapangkannya.” (HR Ahmad).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hamba Shalih
(Sa’ad) ini,yang telah menggetarkan ‘Arsy Allah, dibukakan untuknya pintu
langit dan disaksikan oleh tujuh puluh ribu malaikat yang sebelumnya tidak
pernah turun ke bumi, ia telah dihimpit oleh kuburnya. Namun, kemudian ia
dilapangkan dari himpitan kuburnya itu.” (HR Nasa’i).
Imam adz-Dzahahbi berkata, “Kutegaskan bahwa impitan liang kubur itu
bukanlah azab kubur melainkan keadaan yang lazimnya dialami setiap mukmin saat
dikubur. Itu seperti jika seseorang merasa sakit akibat kehilangan anak atau
kekasihnya atau menderita karena penyakitnya atau merasakan nyawanya dicabut,
pedihnya pertanyaan di alam kubur dan ujiannya, sakitnya ia ditangisi oleh
keluarganya, sakitnya saat dibangkitkan dari kuburnya, derita di-mauqif dan
petakanya, serta saat merasakan sakitnya masuk ke dalam neraka dan sebagainya.
Rasa sakit dan keluhan itu semuanya terkadang akan dialami seorang hamba. Ia
bukanlah azab kubur ataupun azab jahanam sama sekali. Akan tetapi, seorang
hamba yang bertakwa akan dilindungi Allah dari sebagian atau seluruhnya.
Ketahuilah bahwa tidak ada istirahat bagi kaum mukminin selain saat bertemu
dengan Tuhannya.” Allah SWT berfirman, “Dan berilah mereka pringatan (Muhammad)
tentang hari penyesalan ... “ (QS Maryam
(19) : 39). Di dalam ayat ini : Dan berilah
mereka peringatan akan hari yang makin dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hari
(menyesak) sampai di kerongkongan ... “ (QS Garfir (40) : 18).
Untuk itu, kita memohon kepada Allah agar berkenan memberikan ampunan,
maaf, dan kasih sayang-Nya kepada kita.
Meski dengan derita tersebut, Sa’ad termasuk orang yang kita ketahui
sebagai ahli surga, bahkan ia termasuk pemuka para syuhada. Tidak perlu mengira
bahwa orang yang shalih tidak akan mengalami sedikit pun petaka, rasa takut,
dan sakit, serta kekhawatiran di dunia dan akhirat? Oleh karena itu, mintalah
kepada Tuhanmu ampunan dan meohonlah kepada-Nya agar menghimpun kita ke dalam
barisan Sa’ad bin Mu’adz.
Saputangan Sa’ad bin Mu’adz di Surga
Diriwayatkan dari Abi Ishaq, ia berkata : Aku mendengar al-Barra’
menuturkan bahwa Rasulullah saw dihadiahi pakaian dari sutera. Para sahabat
lantas menyentuhnya. Mereka takjub dengan kelembutannya. Kemudian, Rasulullah
saw bersabda kepada mereka, “Apakah kalian kagum dengan kelembutannya?
Ketahuilah bahwa saputangan Sa’ad bin Mu’adz di surga lebih lembut dan lebih
baik dari ini.” (HR Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari Anas r.a. ia berkata, Rasulullah saw dihadiahi jubah dari
sutera. Sementara itu beliau melarang pemakaian sutera. Orang-orang merasa
kagum dengan jubah tersebut. Lalu, Rasulullah saw bersabda, ““Apakah kalian
kagum dengan kelembutannya? Ketahuilah bahwa saputangan Sa’ad bin Mu’adz di
surga lebih lembut dan lebih baik dari ini.” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama berpendapat bahwa sabda Rasulullah itu
merupakan isyarat akan tingginya kedudukan dan derajat Sa’ad di surga.
Pakaiannya yang paling kecil dan sederhana di surga saja lebih halus dari
sutera dunia. saputangan adalah pakaian yang paling kecil dan sederhana karena
biasanya ia digunakan untuk membersihkan kotoran dan segala hal yang hina. Itu
merupakan peengas bahwa surga akan menjadi milikm Sa’ad.”
Al-Qasim dalam Mahasin at-Takwil berkata, “Dengan usainya peperangan
tersebut, Allah pun mencegah kaum muslimin dari keburukan bertetangga dengan
kaum Yahudi yang terbiasa berkhianat. Tidak ada yang tersisa dari mereka,
kecuali para pembesarnya yang mnenetap di Khaibar, mereka itulah yang menjadi
penyebabmunculnya Perang al-Ahzab (Perang Khandaq).
PERISTIWA-PERISTIWA
SETELAH PERANG BANI QURAIZHAH
Allah SWT berfirman :
“Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah
diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya,
“Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.”, sedang engkau
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau
takut kepada manusia, padahal Allah
lebih berhak engkau takuti. Maka katika Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya). Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab)
agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelsaikan
keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS
al-Ahzab (33) : 37).
Di dalam kitab Fath al-Bari, a;-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan kisah ini melalui jalur as-Sudiy. Ia memaparkannya dengan jelas
dan baik. Lafalnya sebagai berikut : Kami mendengar bahwa ayat ini turun pada
peristiwa Zainab binti Jahsy. Ibunda Zainab bernama Umaimah binti Abdul
Muthalib, bibi Rasulullah. Awalnya Rasulullah saw ingin menikahkannya dengan
Zaid bin Haritsah, salah seorang maula (bekas budak) beliau. Namun Zainab tidak
menyukai Zaid. Meski demikian, Zainab akhirnya sudi menerimanya. Nabi saw pun
menikahkannya dengan Zaid. Kemudian, Allah memberi tahu Nabi saw bahwa Zainab
termasuk salah seorang istrinya. Namun, beliau malu untuk menganjurkan
perceraian Zaid dan Zainab. Di saat yang sama, di antara Zainab dan Zaib sering
terjadi percekcokan sebagaimana lazimnya di dalam rumah tangga. Rasulullah saw
menyarankan Zaid agar tetap bertakwa kepada Allah dan mempertahankan istrinya.
Beliau takut orang-orang mencelanya karena menikahi istri anak angkatnya.
Ketika itu beliau sudah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya.”
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abi Hatim melalui jalur Ali bin Zaid dari Ali
bin Husain bin Ali, ia berkata, “Allah memberi tahu Nabi-Nya bahwa Zainab kelak
akan menjadi salah seorang istri beliau. Itu terjadi sebelum Rasulullah
menikahi Zainab. Ketika beliau didatangi Zaid untuk mengeluhkan perihal sikap
istrinya, beliau hanya berpesan kepada Zaid agar ia bertakwa kepada Allah dan
mempertahankan istrinya. Jadi, Allah SWT seolah berfirman kepada Nabi-Nya, “Aku
sduah memberitahumu bahwa Aku akan menikahkan kalian berdua, tetapi engkau
menyembunyikan di hatimu sesuatu yang sebetulnya sudah Allah nyatakan.”
Zainab Menjadi Ummul
Mukminin
Ketika Zaid menceraikan Zainab dan telah habis masa iddahnya, Rasulullah
pun menikahi Zainab supaya ia mendapatkan kedudukan tertinggi di alam semesta.
Zainab pun menjadi istri dari pemuka manusia pertama dan terakhir serta menjadi
ibunda kaum mukminin (Ummul Mukminin).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ayat :
“.... sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan
oleh Allah ....” (QS al-Ahzab (33) : 37), turun berkenaan dengan peristiwa
Zainab binti Jahsy dan Zaid bin Haritsah, sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari, Turmudzi, dan Hakim.
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata, “Ketika masa iddah Zainab binti Jahsy
telah habis, Rasulullah saw bersabda kepada Zaid, “Pinangkanlah ia untukku.”
Zaid menuturkan, “Lalu, aku pun pergi menemui Zainab dan berkata kepadanya,
“Bebahagialah wahai Zainab, Rasulullah saw telah meminangmu!” Zainab lalu
menjawab, “Aku tidak dapat melakukan apa-apa hingga aku meminta pendapat
Tuhanku.” Ia pun beranjak menuju tempat sujudnya. Kemudian, turun sebuah ayat
Al-Qur’an. Lalu, Rasulullah saw datang dan langsung menemuinya tanpa izin.” (HR
Muslim).
Anas menuturkan, “Setelah itu Rasulullah menghidangkan untuk kami makanan
berupa roti dan daging hingga tengah hari. Kemudian, orang-orang beranjak dari
tempat beliau, tinggal beberapa orang yang masih berbincang-bincang di sana
setelah makan. Rasulullah lantas kelaur dan aku mengikutinya. Beliau mendatangi
rumah-rumah istrinya dan mengucapkan salam kepada mereka. Para istri-istrinya,
“Wahai Rasulullah, bagaimana engkau mendapati istrimu itu?” Beliau menjawab,
“Aku tidak tahu.” Aku lalu memberi tahu beliau bahwa orang-orang telah pulang
dari rumah beliau, beliau pun segera pulang. Beliau lalu masuk rumah, aku
mengikutinya. Setelah itu tirai pun ditutup, lalu turunlah ayat hijab.
Orang-orang pun mendapatkan nasihat yang terkandung dalam ayat itu.”
Di dalam haditsnya, Ibnu Rafi’ menambahkan : Allah SWT berfirman, “Wahai
orang-orang yang beriman!” janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali
jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi
jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar),
dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (istri-istri nNabi), maka mintalah dari belakang
tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan
tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya
setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi
Allah.” (QS al-Ahzab (33) 53).
Turunnya Ayat Hijab
Hadits yang diriweayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas r.a. ia
bertutur, “Aku adalah orang yang paling tahu tentang hijab. Ubay bin Ka’ab
pernah bertanya kepadaku tentang hal ini.”
Anas melanjutkan, “Rasulullah saw, telah menikahi Zainab binti Jahsy.
Beliau menikahinya di Madinah. Kemudian, beliau mengundang orang-orang untuk
makan siang di siang hari. Rasulullah duduk dan turut duduk pula beberapa orang
bersama beliau setelah sebagian orang ada yang sudah beranjak pulang.
Rasulullah pun beranjak dari situ. Beliau berjalan, aku mengikutinya dari
belakang sampai beliau tiba di kamar Aisyah. Di sana beliau mengira bahwa
orang-orang telah pergi. Beliau pulang dan aku kembali mengikutinya. Ternyata
mereka masih ada di sana. Beliau pergi lagi dan aku terus emngikutinya sampai
tiba di kamar Aisyah. Lalu, beliau pulang lagi dan aku mengikutinya. Ternyata orang-orang
sudah beranjak dari situ. Akhirnya, beliau menurunkan tirai. Allah kemudian
menurunkan ayat hijab.
Di antara keberkahan dan keutamaan Zainab adalah diturunkannya ayat hijab
yang turun kepadanya, yaitu pada pagi hari setelah pernikahan =nya dengan
Rasulullah saw.
Allah SWT Memerintahkan
Rasulullah saw. Untuk Menikahi Zainab dari Atas Lapis Langit
Demi Allah, saya tidak dapat mendapatkan kata-kata lagi untuk menuliskan
peristiwa ini karena malu di hadapan kedudukan mulia tersebut. bagaimana tidak,
Allah-lah yang langsung menikahkan Rasulullah dengan Zainab itu dari atas tujuh
lapis langit. Oleh karena itu, Ibunda kita Zainab r.a. sering merasa bangga
dengan kedudukan yang tiada bandingannya di dunia ini.
Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Zainab bin Haritsah datang kepada Nabi
saw mengeluhkan pernikahannya. Nabi saw berpesan kepadanya, “Bertakwalah kepada
Allah dan pertahankan istrimu!” Anas r.a. berkata, “Jika Rasulullah saw ingin
menyembunyikan sesuatu, niscaya beliau akan menyembunyikan hal ini.” Anas juga menuturkan, “Zainab selalu membanggakan
diri di hadapan madu-madunya. Ia berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga
kalian, sedang aku dinikahkan Allah langsung dari atas tujuh lapis langit.” (HR
Bukhari dan Turmudzi).
Terbunuhnya Abu Rafi’ dan
Keislaman Salam bin Abi al-Haqiq
Permusuhan antara kaum muslim dan Yahudi tidak berakhir dengan kekalahan
Quraizhah. Beberapa orang yang menjadi motor penggerak ahzab (gabungan partai)
yang memerangi Islam lari ke Khaibar untuk berlindung di benteng-bentengnya,
seperti Abu Rafi’ bin Abi al-Haqiq, sekutu Huyay dalam menghasut beberapa
kabilah, agar memusuhi Islam dan umatnya. Orang-orang yahudi terus melakukan
keburukan terhadap kaum muslimin selama masih bisa melakukannya.
Dalam kitab Zad al-Ma’ad disebutkan bahwa Imam Ibnu al-Qayyim berkata,
“Kami mendengar berita bahwa Abu Rafi’ termasuk seseorang yang ikut
mengumpulkan partai-partai dan golongan (ahzab) untuk menentang dan memusuhi
Rasulullah. Ia tidak dibunuh bersama orang-orang Bani Quraizhah, tidak seperti
temannya, Huyay bin Akhthab. Orang-orang Khazraj sebenarnya ingin membunuhnya
karena ingin menuntut balas atas kaum Aus yang telah membunuh Ka’ab bin
al-Asyraf. Allah Swt sendiri telah membuat
dua orang Huyay itu selalu ingin menyerang Rasulullah. Para sahabat pun
memohon izin dari beliau untuk membunuhnya. Akhirnya, beliau pun
mengizinkannya. Berangkatlah beberapa orang laki-laki yang kesemuanya dari Bani
Salamah.mereka itu adalah Abdullah bin Utaik (pemimpin pasukan), Abdullah bin
Anis, Abu Qatadah al-Harits bin Rab’i, Mas’ud bin Sinan, dan Khuza’i bin Aswad.
Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib
r.a. ia berkata, “Rasulullah saw mengutus sekelompok orang Anshar untuk
membunuh Abin Rafi’, seorang Yahudi. Sebagai pimpinannya, diangkatlah Abdullah
bin Utak. Abu Rafi adalah seseorang yang suka menyakiti Rasulullah dan sering
melakukan konspirasi untuk memusuhi beliau. Ia bersembunyi di dalam bentengnya
di daerah Hijaz. Pasukan pun mendekati benteng tersebut ketika matahari telah
tenggelam dan orang-orang telah menuju ke peraduannya. Abdullah berkata kepada
teman-temannya, “Duduklah di tempat kalian, aku akan melobi penjaga pintu
benteng itu agar bisa masuk.” Ia pun segera mendekati penjaga pintu, kemudian
ia menggerakan topeng dari bajunya seolah ia baru saja buang air. Sementara
orang-orang berduyun-duyun masuk.
Abdullah bin Utaik menuturkan perjalanannya memburu Abu Rafi’. Penjaga
pintu berseru kepadaku, “Wahai hamba Allah, jika kamu ingin masuk, masuklah!
Karena aku ingin menutup pintu ini.” Aku pun masuk dan di dalam benteng aku
bersembunyi. Setelah semua orang masuk ke rumah masing-masing dan mengunci
pintunya, balok kayu palang pintu benteng pun dipancangkan.”
Ia melanjutkan penuturannya, “Aku lalu bergerak mendekati palang pintu itu
dan kuangkat ia. Setelah itu kubuka pintu gerbang bentengnya. Ketika itu Abu
Rafi’ sedang mengobrol di atas atap
rumahnya. Dan ketika teman mengobrolnya pergi, aku segera naik. Setiap pintu
yang kubuka, kututp kembali dari dalam. Aku bergumam, “Kaumku telah bernazar
untukku bahwa mereka tidak akan taat kepadaku sampai aku berhasil membunuhnya.
Aku pun mendekati Abu Rafi yang sedang berada di tengah keluarganya dalam
kegelapan. Aku sendiri tidak tahu posisinya di mana. Aku lalu memanggilnya,
“Wahai Abu Rafi’!” Ia menjawab, “Siapa itu? Aku langsung menyongsong sumber suara itu dan segera kutebas ia dengan
pedangku. Aku panik karena tidak mengenainya sedikit pun. Ia lalu berteriak,
aku segera keluar dari rumahnya. Aku diam tidak jauh dari rumahnya. Kemudian,
aku masuk lagi dan bertanya kepada Abu Rafi’, Suara apa tadi, wahai Abu Rafi?”
Ia menjawab, “Celakalah ibumu! Baru saja seseorang di rumah ini menyerangku
dengan pedang.”
Abdullah melanjutkan, “Aku lalu menyerangnya lagi dengan sekali pukulan
hingga ia terjatuh. Namun, aku belum berhasil membunuhnya. Lalu, kutusukkan
pedangku ke perutnya sampai menembus punggungnya. Dari situ aku tahu bahwa aku
telah berhasil membunuhnya. Aku lalu membuka pintu rumahnya satu per satu
sampai tiba di tangga. Ketika kupijakkan kakiku di anak tangga itu, aku merasa
seakan-akan kakiku sudah aakn menapak ke tanah hingga akhirnya aku terjatuh di
malam yang terang bulan itu. Akibatnya, kakiku patah, lalu kubalut ia dengan
serban penutup kepalaku. Aku terus bergerak hingga tiba di pintu dan duduk di sana.
Aku bertekad untukt idak keluar rumah terlebih dahulu, sampai memastikan apakah
aku berhasil membunuhnya atau belum. Ketika ayam jantan berkokok, seseorang
berteriak mengumumkan kematian Abu Rafi’, saudagar negeri Hijaz.” Aku segera
bergerak menuju teman-temanku seraya berseru kepada mereka, “Tolong aku! Allah
telah membunuh Abu Rafi’. Aku pun segera menemui Rasulullah dan menceritakan
peristiwa itu. Beliau lalu bersabda kepadaku, “Bentangka kakimu!” Kemudian, aku
pun membentangkan kakiku dan beliau segera mengusapnya. Sejak itu, aku tidak
mengeluhkan sakit sedikit pun, seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada
kakiku.”
Pasukan pun kembali ke Madinah dan membawa kabar gembira bahwa mereka telah
berhasil menyingkirkan hambatan di jalan dakwah sebagai satu terobosannya.
Setelah perisitiwa tragis itu, kaum kafir gelisah dan mereka mulai melemah.
Fondasi Islam makin kuat dan negara makin aman. Tahun kelima Hijrah belum usai,
kaum muslimin pun makin kuat dan berhasil melemahkanpara musuh dan orang-orang
yang keras kepala terhadapnya. Kaum Quraisy dan sekutunya yakin bahwa upaya
untuk mengembalikan kaum muslimin agar kembali menyembah berhala hampir
mustahil. Orang-orang Yahudi juga yakin bahwa permusuhan mereka terhadap agama
baru dan risalah penutup itu hanya akan berbuah sia-sia, sebagaimana dijelaskan
al-Ghazali dalam Fiqhu as-Sirah.
Al-Hafiz Ibnu Hajar dalm Fath al-Bari berkata, “Di dalam
hadits itu terkandung banyakn hikmah dan faedah. Di antaranya boleh membunuh
musyrik yang sudah menerima dakwah, tetapi ia tetap keras kepala. Juga boleh
membunuh orang-orang yang membantu pihak yang memusuhi Rasulullah dengan
tangannya, harta, dan lisannya. Boleh pula mematai-matai musuh dan mengintai
pergerakan mereka serta bersikap tegas dan keras dalam memerangi kaum musyrik.
Boleh pula menyamarkan suara dan ucapan untuk kepentingan dan maslahat serta
mengorbankan sedikit kaum muslim untuk dapat melumpuhkan kaum musyrik yang
jumlahnya alebih banyak. Dalilnya adalahapa yang dilakukan oleh Abdullah bin
Utaik yang mengecoh Abu Rafi’ dengan suaranya. Abdullah juga mengandalkan sura
penyampai pengumuman kematian akan kematian Abu Rafi’, wallu a’lam.
Perang Bani Lihyan
Menurut pendapat yang shahih, perang ini terjadi di awal tahun keenam
Hijriah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam as-Sirah
an-Nabawiyah.
Untuk pertama kali, Nabi saw melaksanakan shalat Khauf bersama para sahabatnya di daerah
Asfan. Diriwayatkan dari Abu ‘Iyyasy az-Zarqi r.a. ia berkata, “Kami sedang
bersama Rasulullah saw di Asfan. Kaum musyrik di bawah pimpinan Khalid bin
Walid berhadapan dengan kami. Mereka berada di arah Kiblat. Lalu, Rasulullah
saw pun melaksanakan shalat Zuhur. Kaum musyrikin berseru, “Mereka (kaum
mukmin) sekarang sedang dalam kondisi yang sulit dan kita bisa melumpuhkan mereka.
Sekarang telah datang kepada mereka waktu shalat yang merupakan perkawa yang
lebih mereka cintai daripada anak dan diri mereka sendiri.”
Abu Iyyash berturu, “Kemudian di antara waktu Zuhur dan Azhar, Jibril
datang membawa ayat, “Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka....
“ (QS an-Nisa’ (4) : 102).
Aku pun segera datang. Lalu,Rasulullah saw segera
mengimami shalat. Para sahabat lalu mengambil persenjataan mereka. Kami membuat
dua barisan. Setelah itu Rasulullah saw ruku’ dan kami semua ikut ruku’. Beliau
lantas bangkit dari ruku’ dan kami mengikutinya. Setelah itu Nabi saw bersujud
bersama barisan pertama yang berada di belakang beliau, sementara barisan kedua
tetap berdiri untuk berjaga-jaga. Setelah barisan pertama sujud, mereka lalu
bangun. Barisan kedua lantas duduk dan mereka sujud di tempatnya. Kemudian,
barisan kedua maju ke tempat barisan pertama dan barisan pertama mundur ke
tempat barisan kedua. Selanjutnya Rasulullah ruku’ dan semuanya ikut ruku’.
Setelah itu beliau bangkit dan ruku’ diikuti oleh semua barisan. Kemudian,
beliau sujud diikuti oleh barisan yang ada di belakang beliau (barisan
pertama), sementara barisan yang lain tetap berdiri untuk berjaga-jaga. Ketika
beliau duduk, barisan itu pun duduk, kemudian, semuanya bersujud, lalu beliau
mengucapkan salam dan beranjak dari situ.”
Abu Iyyasy bertutur, “Rasulullah melaksanakan shalat Khauf dua kalil sekali
di Asfan dan sekali lagi di Negeri Bani Sulaiman.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan
Hakim).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “Rasulullah saw singgah
ditempat antara Dhajnan dan Asfan. Kaum musyrikin berseru, “Mereka (kaum
muslimin) memiliki keweajiban shalat yang lebih mereka cintai dari bapak-bapak
dan anak-anak mereka sendiri, yaitu shalat Ashar. Segeralah kalian bersiap-siap
dan serang mereka secara mendadak!” Jibril datang menemui Nabi saw. Ia menyuruh
Nabi agar membagi para sahabatnya menjadi dua barisan. Beliau disuruh untuk
shalat bersama satu barisan, sedangkan barisan yang lain berdiri di belakang
untuk berjaga-jaga dengan senjata mereka. Kemudian, barisan kedua maju dan
shalat bersama beliau. Sementara barisan pertama mundur dan berjaga-jaga dengan
senjata mereka. Itu dilakukan agar masing-masing barisan mendapatkan kesempatan
berjama’ah satu rakaat bersama Rasulullah, sedangkan Rasulullah saw
melaksanakan dua rakaat penuh.” (HR Ahmad dan Turmudzi).
Bani Lihyan adalah kaum yang telah berkhianat dengan membunuh sepuluh orang
sahabat Rasulullah saw di daerah Raji’. Akan tetapi, Rasulullah berpendapat
agar tidak menyerang mereka di dekat musuh terbesar (kaum Quraisy) karena
rumah-rumah mereka bertebaran antara Hijaz hingga ke perbatasan Makkah dan
terkadang berada di tengah kaum muslim, kaum Quraisy, dan Arab Badui. Ketika
seluruh sekutu Perang Ahzab bercerai-berai, kekuatan mereka melemah, dan
keadaan menjadi relatif lebih tenang. Oleh karena itu, beliau memandang perlu
melakukan penyerangn terhadap Bani Lihyan yang telah membunuh para sahabat
beliau di Raji’, sebagaimana tercantum dalam ar-Rahiq al-Makhtum.
Ibnu Ishaq menuturkan, “Rasulullah menetap di Madinah pada bulan Dzulhijah,
Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal,d an Rabi’ul Akhir. Kemudian, pada bulan Jumadal
Ula, enam bulan sejak Perang Bani Quraizhah, beliau ebrgerak menuju tempat Bni
Lihyan untuk mencari para pembunuh sahabatnya di Raji’. Sahabat-sahabat beliau
yang menjadi korban pembunuhan Bani Lihyan adalah Kubaib bin Adi dan
Teman-temannya. Beliau berpura-pura ingin brangkat ke Syam. Itu sebetulnya
hanya untuk mengalihkan perhatian mereka. Kemudian, beliau berangkat bersama
para sahabatnya melalui jalan yang menuju ke perkampungan Bani Lihyan. Beliau
ingin memperlihatkan kekuatan kaum muslimin kepada Bani Lihyan. Beliau lalu
kembali lagi ke jalan yang menuju Syam. Beliau lakukan itu tak lain untuk
membuat gentar Bani Lihyan, sebagaimana dijelaskan Abdussalam Harun dalam
Tahzhib as-Sirah.
Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Enam bulan setelah perang bani Quraizhah,
Rasulullah saw berangkat menuju perkampungan Bani Lihyan untuk memerangi
mereka. Beliau berangkat bersama dua ratus orang pasukannya. Beliau mengangkat
Ibnu Ummi Maktum untuk menjadi pejabat sementara di Madinah. Beliau
berpura-pura ingin berangkat ke Syam. Hal itu sebenarnya untuk mengalihkan
perhatian mereka. Kemudian, beliau berangkat bersama para sahabatnya melalui
jalan yang menuju ke perkampungan Bani Lihyan. Beliau ingin memperlihatkan
kekuatan kaum muslimin kepada Bani Lihyan. Beliau lalu kembali lagi ke jalan
yang menuju Syam. Itu beliau lakukan tidak lain untuk membuat gentar Bani
Lihyan. Beliau terus melanjutkan perjalanannya dengan cepat hingga sampai ke
daerah Ghuran adalah sebuah lembah antara Amaj dan Asfan yang membentang hingga
ke sebuah negeri bernama Sayah. Di tempat itulah para sahabt beliau gugur.
Ketika melewati tempat tersebut, beliau merasa sedih dan segera mendoakan
mereka.
Ibnu Hisyam dlam Syarh al-Mawahib mengatakan bahwa ketika Bani Lihyan
mengetahui bahwa Rasulullah tengah mencari-cari mereka, mereka kabur dan
bersembunyi di puncak-puncak bukit. Ketika Rasulullah sampai di perkampungan
mereka, beliau tidak menemukan seorang pun penduduknya. Beliau menetap di sana
selama dua hari. Lalu, beliau mengutus beberapa orang pasukan penunggang kuda
di bawah pimpinan Abu Bakar as-Siddiq hingga mereka tiba di Kara’ al-Ghamim
untuk menakut-nakuti kaum Quraisy. Setelah itu beliau kembali pulang ke
Madinah. Beliau meninggalkan Madinah selama empat belas malam.”
Pengiriman Pasukan Najed
dan Kisah Keislaman Tsumamah bin Atsal
Tsumamah berangkat dari negeri Yamamah menuju Makkah. Ia ingin melaksanakan
thawaf dan menyembelih hewan kurban untuk berhala-berhala yang ada di sana.
Ketika itu Nabi saw, mengirim pasukan ke najed. Pasukan tersebut berhasil
membawa Tsumamah sebagai tawanan kepada beliau.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.. Ia berkata, “Nabi saw mengutus pasukan
ke Najed. Pasukan tersebut membawa seorang tawanan dari Bani Hanifah bernama
Tsumamah bin Atsal. Mereka lalu mengikat tawanan itu di salah satu tiang
masjid. Nabi saw pun menemuinya dan bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki,
wahai Tsumamah?” Ia menjawab, “Aku mempunyai banyak kebaikan, wahai Muhammad.
Jika kamu membunuhku maka kamu membunuh orang yang darahnya terjaga. Jika kamu
memberiku kenikmatan maka kamu memberi kenikmatan kepada orang yang tahu
berterima kasih. Jika kamu menginginkan hartaku, maka sebtulah berapa, kamu
akan diberi sesuai dengan keinginanmu.”
Tsumamah pun ditinggalkan Nabi saw hingga keesokan harinya. Kemudian,
beliau bertanya lagi kepada Tsumamah, “Apa yang kamu miliki, wahai Tsumamah?”
ia menjawab, “Aku mempunyai banyak kebaikan, wahai Muhammad. Jika kamu
membunuhku maka kamu membunuh orang yang darahnya terjaga. Jika kamu memberiku
kenikmatan maka kamu memberi kenikmatan kepada orang yang tahu berterima kasih.
Jika kamu menginginkan hartaku maka sebutlah berapa, kamu akan diberi sesuai
dengan keinginanmu.” Kembali Nabi saw meninggalkannya. Keesokan harinya beliau
bertanya pertanyaan serupa. “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?” Ia menjawab,
“Aku mempunyai apa yang kuucapkan seperti kemarin.” Rasulullah saw lantas
bersabda, “Lepaskan Tsumamah!.”
Setela dilepaskan, Tsumamah pun pergi ke kebun Kurma terdekat dengan
masjid. Di sana ia mandi, lalu masuk lagi ke masjid. Ia berseru, “Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Setelah itu
ia berseru, “Wahai Muhammad, demi Alalh, di bumi ini tidak ada wajah yang lebih
kubenci dari wajahmu. Namun, sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling
kucintai bagiku. Tidak ada agama yang lebih kubenci di dunia ini daripada
agamamu. Namun, sekarang agama itu menjadi yang lebih kucintai. Demi Allah,
tidak ada negeri yang lebih kubenci dari negerimu. Namun, sekarang negerimu ini
menjadi negeri yang paling kucintai. Pasukanmu menangkapku dan aku ingin
melaksanakan umrah, bagaimana pendapatmu?” Rasulullah pun memberinya berita
gembira dan menuruhnya untuk umrah.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Tsumamah mandi dan shalat dua rakaat.
Lalu, Rasulullah bersabda, “Teman kalian ini telah masuk Islam dengan baik.”
(HR Ibnu Hibban).
Ketika Tsumamah tiba di Makkah, seseorang bertanya kepadanya, “Apakah kamu
telah menjadi pemeluk Shabi’ah (agama penyembah binatang)?” ia pun menjawab,
“Tidak, aku telah masuk Islam bersama Muhammad utusan Allah. Demi Allah, tidak
akan datang kepada kalian sebutir gandum pun dari Yamamah, kecuali Rasulullah
saw mengizinkannya.”
Allahu Akbar! Akhirnya, Tsumamah memasuki Kota Makkah seraya bertalbiyah.
Ia menjadi muslim pertama di muka bumi ini yang memasuki Kota Makkah seraya
bertalbiyah dan mengangkat suaranya dengan talbiyah itu. : “Labbaika allahumma
labbik, Laa syariika laka labbaik.
Innalhamda wan-ni’mata laka wal Mulk,
laa syariikalak.”
Kaum Quraisy tahu betul bahwa Tsumamah termasuk salah seorang pembesar Bani
hanifah yagn masyhur dan seorang Raja Yamamah yagn amat ditaati dan dipatuhi
rakyatnya.
Tsumamah telah bersumpah dengan nama Allah bahwa ia akan menghentikan
ekspor gandum Yamamah kepada orang Quraisy sampai mereka mengikuti Muhammad.
Tsumamah pun kembali pulang ke negerinya. Yamamah, yang merupakan perkampungan
seumber gandum bagi penduduk Makkah. Kemudian, Tsumamah memerintahkan kaumnya
agar menahan pengiriman makanan untuk orang-orang Quraisy. Kaumnya menurut
perintahnya. Mereka menahan pengiriman makanan untuk penduduk Makkah hingga
kaum Quraisy pun kalut dan gelisah. Mereka terpaksa mengirim surat kepada
Rasulullah. Atas nama persaudaraan dan kekerabatan rahim mereka dengan belkiau,
kaum Quraisy meminta Nabi saw menulis surat ke Yamamah agar mereka sudi
mengirimkan kembali makanannya ke Makkah. Akhirnya Rasulullah pun menuruti
permintaan mereka.
Teguh Memegang Prinsip
Tsumamah bisa mengambil sikap aktif demi membela agama Islam. Ia menahan
rezeki dan kebaikan dari musuh-musuh Allah karena berharap mereka mau memeluk
Islam. Dengan tindakannya itu, ia berniat mewujudkan kebaikan yagn
dianugerahkan Allah kepada umat Islam, seperti dalam firman-Nya, “Kamu (umat
Islam) adalah umat terbaik yagn dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) kepada yagn makrufd an mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah ..... “ (QS Ali ‘Imran (3) : 110).
Sungguh, itu merupakan pelajaran yang amat agung. Sekiranya umat Islam saat
ini meniru tindakan Tsumamah, menghentikan rezeki dari kebaikannya terhadap
orang-orang yahudi dan seluruh musuh Islam, bniscaya mereka akan datang dan
menundukkan kepalanya di pintu Islam. Umat Islam pun tentu tidak akan hidup
terhina dan generasi-generasinya tidak akan berputus asa dalam menolong agama
Allah dan bekerja untuk maslahat agama ini. Seandainya kita menaydari dan
memetik pelajaran tersebut dengan baik.
Al-Hafiz Ibnu hajar berkata, “ Di dalam kisah Tsumamah terkadung banyak
faedah dan pelajaran. Di antaranya ialah boleh mengikat seorang kafir di masjid
atau memperlakukan tawanan kafir dengan baik dan memaafkan orang yang bersalah.
Perhatikan, bagaimana tindakan baik itu juga beruah baik. Lihat Tsumamah yang
bersumpah bahwa kebenciannya berbalik menjadi kecintaan dalam satu saat. Hal
itu tak lain karena Nabi saw memberinya maaf dan pengampunan tanpa kompensasi
apa-apa.”
Ibnu Hajar melanjutkan, “Di dalam hadits jgua terkandung anjuran untuk
mandi bagi yang pertama masuk Islam. Hadits juga menyatakan bahwa perlakuan
yang baik dapat menghilangkan kebencian dan menguatkan cinta dan kasih sayang.
Jika seorang kafir ingin melakukan kebaikan lalu ia masuk Islam, dianjurkan
baginya untuk melanjutkan proyek kebaikannya itu. Di dalamnya juga terkadung
anjuran agar berlemah lembut kepada orang yang diharapkan bisa masuk Islam dari
para tawanan, yakni jika hal itu mengandung maslahat buat Islam. Apalagi jika
orang itu disinyalir akan diikuti oleh banyak pengikutnya. Di dalamnya juga
terkandung anjuran untuk mengirim pasukan ke negeri kafir dan menawan semua
yagn ada di sana, lalu memberi mereka pilihan, dibunuh atau dibiarkan hidup.”
Kisah Orang-orang
‘Urainah
Diriwayatkan dari Anas r.a. ia bertutur, “Ada sekelompok orang dari Ukal
dan Urainah yang datang ke Kota Madinah. Mereka ingin menjumpai Nabi saw dan
mereka banyak berbicara tentang Islam, mereka berkata, “Wahai Nabi Allah, kami
ahli memerah susu dan bukan penduduk kota.” Kemudian, mereka menetap di
Madinah, tetapi mereka tidak suka dengan cuacanya. Akibatnya mereka terserang
penyakit. Rasulullah pun menyuruh orang-orang
Urainah itu untuk pergi ke tempat penggembalaan unta beliau dan meminum susu
dan air kencing unta tersebut. Setelah meminumnya, mereka pun berangkat
lagi. Namun, ketika mereka tiba di daerah Harrah, mereka menjadi kafir kembali.
Bahkan, mereka membunuhn penggembala
Nabi saw dan mencuri unta-untanya. Berita itu didengar Nabi saw. Beliau pun segera mengirim beberapa
orang untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka berhasil di tangkap. Mereka
dihukum dengan dipotong tangannya dan mata mereka ditempeli besi panas. Kemudian
mereka ditinggalkan di tengah padang pasir tandus sampai mati kehausan.” (HR
Bukhari).
Adapun dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa serombongan orang Ukal
berjumlah delapan orang menemui Rasulullahs aw. Mereka pun berbaiat dan masuk
Islam. Mereka tinggal di Madinah, tetapi mereka tidak betah dan tidak suka
dengan cuaca Madinah sehingga mereka sakit. Mereka mengadukan hal tersebut
kepada Rasulullah. Beliau pun bersabda kepada mereka.” Maukah kalian pergi ke
tempat penggembala kami dan minum susu dan air kencing unta kami itu?” Mereka
menjawab. “Ya.”
Mereka pun berangkat ke sana, meminum air susu dan air kencing unta
tersebut. akhirnya penyakit mereka sembuh. Akan tetapi, mereka malah membunuh
penggembala itu dan mencuri unta-untanya. Peristiwa itu didengar oleh
Rasulullah saw. Oleh karena itu, beliau segera mengirim orang untuk mengejar
orang-orang Ukal itu. Mereka berhasil ditangkap dan langsung di bawa kepada
Rasulullah. Beliau memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka serte
menempeli mata mereka dengan besi panas. Setelah itu, mereka dibiarkan di bawah
terik matahari sampai mati.” Itulah buah dari sebuah penghianatan.
Sepanjang, 15 – 12 - 2018
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q