Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Sabtu, 08 Desember 2018

Perang Bani Musthaliq (al-Muraisi’ dan kisah fitnah terhadap Aisyah r.a. oleh kaum munafik dalam Kitab Sirah Nabawiyyah

 SIRAH  RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : PERANG BANI MUSTHALIQ (AL-MURAISI’)
Penerjemah : Kamaluddin Lc., Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014

Islam merupakan dakwah yang mengalahkan sistem yang berlaku luas pada saat itu. Penindasan terhadapnya juga melintasi jalur hijrah da menyerangnya membabi buta. Ketika Islam telah kukuh dan telah melengkapi berbagai aspek kekuatan untuk putra-putrinya, permusuhan yang mendarah daging itu menepuh cara makar dan sarana lain yang secara terang-terangan digunakan oleh orang-orang kuat yang memusuhi Islam. Konspirasi yang dilakukan oleh para dhu’afa di wilayah yang samar tidak kalah bahaya dari makar kedengkian mereka yang kuat di tempat-tempat pertempuran. Bahkan, bisa jadi seseorang merasa tersakiti dengan adanya berita yang tak berdasar tentangnya, lebih dari sakitnya tusukan tombak pada peperangan.
Pada peperangan yang berkobar semua sarana dipakai untuk menghancurkan musuh meskipuns eorang yang mulia malu menggunakannya.
Kaum munafik di Madinah akhirnya memprovokasi Nabi saw dan dakwahnya dengan cara-cara yang menunjukkan hinanya jiwa manusia ketika dikuasai oleh kedengkian dan kelemahan, terkadang dengan bahasa ejekan, dan terkadang dengan menyebarkan fitnah dan kebohongan.
Setiap kali kekuasaan kaum muslimin makin menguat, dan posisi mereka makin kukuh, permusuhan kaum munafik makin bertambah, iri pada mereka dan menanti kehancuran mereka. Mereka juga telah mencoba untuk mendukung Yahudi ketika Rasulullah saw menyetujui pengusiran mereka. Sementara itu, ekspansi Islam tak ada yang bisa membendung, kekalahannya (pada Perang Badar)  juga ternyata tidak meruntuhkannya. Kabilah-kabilah biasa satu menghilang datang yang lain. Kaum munafik akhirnya masuk ke barisan kaum muslimin. Dan niat buruk mereka belum tersingkap, kecuali dari ocehan dan karakter mereka yang menyimpang. Perilaku mereka inilah yang menjadi sumber fitnah yang hebat, yang sangat menyakitkan hati Rasulullah dan kaum mukminin. Hal itu tampak jelas pada peperangan Bani Musthaliq.

Peran Kaum Munafik sebelum Terjadinya Perang Bani Musthaliq

Kami telah banyak menjelaskan sebelumnya bahwa Abdullah bin Ubay sangat dengki terhadap Islam dan kaum muslimin, apalagi terhadap Rasulullah saw, dia sangta sakit hati. Sebab, al-Aus dan al-Khazraj pernah ebrsepakat untuk menjadikannya sebagai pemimpin mereka yang sudah diputuskan dan ditetapkan. Namun, ketika Islam masuk ke hati mereka dan memalingkan mereka dari Ibnu Ubay, dia memandang bahwa Rasulullah-lah yang merampas kekuasaannya.
Kedengkian dan amarahnya itu sangat tampak pada permulaan hijrah sebelum dan sesudah ia berpura-pura memeluk Islam. Suatu ketika Rasulullah pernah mengendari keledainya hendak menjenguk Sa’ad bin Ubaidah. Lalu, beliau melewati suatu majelis, di sana ada Abdullah bin Ubay. Ia menutupi hidungnya sambil berkata, “Jangan mengepuli kami dengan debu.” Kemudian Nabi saw membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Abdullah bin Ubay berkata, “Duduklah di rumahmu, janganlah menipu kami di majelis kami ini.” (HR Bukhari dan Muslim).
Itu terjadi sebelum ia ebrpura-pura masuk Islam, pasca kemenangan Badar dan berpura-pura masuk Islam. Ia masih saja memusuhi Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Tidaka da dalam pemikirannya selain memecah belah komunitas Islam, merendahkan kalimat Islam, dan bersahabt dengan para musuh Islam.
\dia juga berhubungan dekat dengan Bani am-Nadhir dan berkonspirasi bersama mereka melawan kaum muslimin, hingga ia berkata kepada mereka, ‘Jika kalian diusir, kami akan keluar bersama kalian. Jika kalian diperangi, kami akan membela kalian,”
Begitu juga, pada Perang al-Ahzab, ia dan para pendukungnya menebarkan kegelisahan dan ketakutan di hati kaum mukminin. Hal itu tersurat dalam firman Allah dalam Surat al-Ahzab (33). “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya berpenyakit berakta, “Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.” Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Wahai penduduk Yatsrib (Madinah)! Tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu.” Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Padahal rumah0rumah itu tidak terbuka, mereka hanyalah hendak lati. Dan kalai (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, dan mereka diminta agar membuat kekacauan, niscaya mereka mengerjakannya, dan hanya sebentar saja mereka menunggu. Dan sungguh, mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah, tidak akan berbalik ke belakang (mundur). Dan perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungjawabannya. Katakanlah (Muhammad), “Lari, tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika demikian (kamu terhindar dari kematian) kamu hanya akan mengecap kesenangan sebentar saja.” Katakanlah, “Siapa yang dapat melindungi kamu dari (ketentuan) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?” Mereka itu tidak akan mendapatkan perlindungan dan penolong selain Allah. Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu dan orang yang berkata kepada saudara-saudaranya. “Marilah bersama kami.” Tetapi mereka datang berperang hanya sebentar, mereka kikir terhadapmu. Apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencari kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka kikir untuk beruat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapus amalnya, dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan (yang bersekutu) itu belum pergi, dan jika golongan-golongan ( yang bersekutu) itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab badui, sambil menanyakan berita tentang kamu. Dan sekiranya mereka berada bersamamu, mereka tidak akan berperang, melainkan sebentar saja.” (QS al-Ahzab (33) 12-20).
Semua musuh Islam dari kaum Yahudi, munafik, dan musyrik mengetahui dengan baik bahwa sebab keunggulan Islam, bukanlah kelebihan materi, banyaknya persenjataan, pasukan, dan logistik, melainkan nilai-nilai dan akhlak yang luhur. Nilai-nilai luhur yang dinikmati oleh masyakar Islam dan siapa saja yang mempunyai hubungan dengan ama ini, mereka tahu bahwa sumber dari karunia tersebut adalah Rasulullah – yang merupakan teladan tertinggi, pada tahap yang sangat menakjubkan – dari nilai-nilai tersebut.
Mereka juga tahu setelah menabuh genderang peperangan selama 5 tahun, bahwa menumpas agama ini dan para pemeluknya tidak mungkin dengan mengangkat senjata. Akhirnya mereka memutuskan untuk meletuskan peperangan, melalui propaganda luas melawan agama ini, dari sisi moralitas dan tradisi. Mereka menjadikan kepribadian Rasul sebagai target pertama untuk propaganda tersebut. ketika kaum munafik berada di barisan kelima dalam pasukan muslimin dan karena mereka penduduk Madinah, mereka dapat berkomunikasi dengan kaum muslimin dan memprovokasi perasaan merea setiap saat. Keharusan melakukan propaganda ini diemban oleh kaum munafik, terutama Ibnu Ubay.

Kapan Peperangan ini Terjadi?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal itu. Setidaknya mereka terbagi menjadi tida pendapat. Ada yang berpendapat bahwa perang ini terjadi pada tahun 6 H. Mereka yang mengatakannya, di antaranya Ibnu Ishaq, pemuka para ahli Sirah peperangan. Adapun yang mengikutinya, Khalifah bin Khiyath, Ibnu Jarir ath-Thabary, Ibnu Hazm, Ibnu Abdulbar, Ibnu al-Araby. Ibnu al-Atsir, dan Ibnu Khaldun. Setiap ulama tersebut menyatakan dengan jelas bahwa peperangan ini terjadi pada bulan Sya’ban, tahun ke 6 H.
Ibnu Hazm mempunyai pendpat lain, yang disepakati oleh para ulama lain. Di antaranya, Malik bin Anas, Musa bin Uqbah, al-Bukhari, Ibnu Qutaibah, ya’qub bin Sufyan al-Fasawy, an-Nawawy, dan Ibnu Khaldun, bahwa peperangan ini terjadi pada bulan Sya’ban, tahun ke 4 H.
Kelompok lain mengatakan bahwa peperangan ini terjadi pada bulan Sya’ban, tahun ke-5 H. Mereka yang mengatakan itu, di antaranya, Musa bin Uqbah, Ibnu Sa’ad, Ibnu Qutaibah, a;-Baladry, adz-Dzahab y, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Hajar al-Asqalany, ibnu Katsir. Dan diantara para ulama era ini, ada al-Khudry Bek, al-Ghazaly, al-Buthy, Abu Syuhbah, dan Syekh as-Sa’aty. Pendapat inilah yang paling shahih dan valid. Allahu A’lam. Sebab, semua dalilnya jelas dan selaras dalam menguatkan pendapat ini. Di antara dalilnya :
a. Riwayat Baihaqi, dari Urwah, dan Musa bin Uqbah, dari Ibnu Syihab az-Zuhry, bahwa sanya ia berkata, “Kemudian beliau memerangi Bani Musthaliq dan Bani Lihyan pada bulan Sya’ban tahun 5 H.
b. Ibnu Katsir berkata, “Musa bin Uqbah dari az-Zuhry, “Inilah peperangan Rasulullahs aw dan beliau turut di sana. Perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan, tahun ke 2 H, kemudian Perang Uhud pada Syawal tahun ke-3 H. Lalu, Perang Khandaq – yaitu Perang al-Ahzab dan bani Quraizhah – pada bulan Syawal tahun ke-4 H. Dan Perang Bani Musthaliq dan Bani Lihyan pada Sya’ban tahun ke-5H.
Kemudian Ibnu Katsir memaparkan pendpat Bukhari dan Musa bin Uqbah, bahwa Perang Bani Musthaliq pada tahun 4H. Setelah itu ia berkata, “Demikianlah riwayat Bukhari, dari riwayat peperangan dari Musa bin Uqbah, bahwa perang ini terjadi pada tahun 4 H. Adapun yang diceritakan oleh Musa bin Uqbah, dari az-Zuhry, dan Urwah, peperangan ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 5 H.
Ibnu Hajar al- Asqalany dalam Fath al-Bary,s etelah memaparkan pendapat Bukhari, ia berkomentar, “Menurut Musa bin Uqbah, tahun 4 H. Ia berkata, “Begitulah yang disebutkan oleh Bukhari, sepertinya penanya mendahului dia, dia ingin menulis tahun 5, tetapi ia menulis tahun 4. Dalam al-Maghazy milik Musa bin Uqbah, terdapat beberapa jalur, yang diriwayatkan oleh hakim, Abu Sa’id an-Naisabury, Baihaqi dalam ad-Dala’il, dan yang lainnya, dinyatakan pada tahun 5.
Adapun redaksi dari riwayat Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab, “Kemudian Rasulullah saw memerangi Bani Musthaliq dan bani Lihyan, pada bulan Sya’ban tahun ke-5.” Hal ini dikuatkan oleh riwayat Bukhari dalam al-Jihad, “Dari Ibnu Umar bahwa ia (hendak) pergi bersama Rasulullah memerangi Bani Musthaliq, pada bulan Sya’ban tahun ke-4 H.” Namun, dia tidak diizinkan untuk berperang karena ia baru diizinkan pada Perang Khandaq. Sebagaimana yang telah disebutkan. Dan itu terjadi setelah bulan Sya’ban, baik itu kita katakan tahun 5 atau tahun 4. Hakim dalam al-Iklil,” Pendapat Urwah dan lainnya bahwa perang inin terjadi pada tahun 5, seperti pendapat Ibnu Ishaq.”
Menurut saya, hal ini dikuatkan dengan apa yang sudah jelas dalam hadits al-Ifk bahwa Sa’ad bin Mu’adz bertengkar dengan Sa’ad bin Ubaidah, tentang para penyebar berita bohong (jadits al-Ifk), yang akan dijelaskan nanti. Jika apa yang terjadi pada al-Muraisi’ (Musthaliq), bulan Sya’ban tahun 6 H, sedangkan hadits al-Ifk terjadi di tahun yang sama, apa yang diriwayatkan dalam ash-Shahih, yang menyebtukan Sa’ad bin Mu’adz salah. Sebab Sa’ad bin Mu’adz meninggal pada Perang Bani Quraizhah, pada tahun 5, berdasarkan riwayat yang shahih, seperti yang sudah dijelaskan. Meskipun ada juga yang mengatakan sebelum tahun 4.
Jadi jelas bahwa al-Muraisi’ terjadi pada bulan Sya’ban tahun 5 karena ia terjadi sebelum Perang Khandaq. Sebab, Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun 5 juga. Jadi, Perang Khandaq setelah al-Muraisi’. Sa’ad bin Mu’adz ambil bagian dalam al-Muraisi’ dan dia dihujam dengan panah pada Perang Bani Quraizhah. Ini juga dikuatkan bahwa hadits al-Ifk terjadi pada tahun 5. Sebab, riwayat yang ada, secara eksplisit menjeaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah turunnya perintah hijab. Perintah hijab sendiri turun pada Dzulqa’idah tahun 4, menurut banyak ulama. Jadi, al-Muraisi’ terjadi setelah itu sehingga pendapat yang kuat, perang ini terjadi pada tahun 5 H.

Kejadian-Kejadian dalam peperangan ini

Nabi saw mendengar bahwa kepala suku Bani Musthaliq, al Harits bin Abi Dhirar. Ia berkeliling di antara kaumnya dan siapa saja yang bisa ia temui dari bangsa Arab untuk memerangi Rasulullah saw. Beliau saw, mengutus Buraidah bin al-Hashib untuk menginvestigasi berita tersebut. buraidah pun datang kepada mereka dan bertemu dengan al-Harits bin Abi Dhirar. Ia berbicara dengannya, lalu kembali kepada Rasulullah untuk mengabarkan hasil pembicarannya.
Setelah jelas bahwa kabar tersebar benar adanya, beliau menyeru para sahabat untuk menyiapkan peperangan. Segera beliau berangkat dan keberangkatannya itu bertepatan pada dua malam berlalu dari bulan Sya’ban. Kali ini kaum munafik juga turut dalam barisan pasukan. Pada peperangan sebelumnya mereka belum pernah turut.
Beliau menunjuk Zaib bin Haritsah untuk mewakili beliau di Madinah. Dalam riwayat lain, Abu Dzar, ada juga yang mengatakan Numailah bin Abdullah al-Laitsy. Al-Harits bin Abi Dhirar sendiri telah mengirim mata-mata untuk mencari berita tentang  pasukan Islam. Namun, kaum Muslimin dapat menangkapnya dan membunuhnya.
Ketika berita tentang keberangkatan Rasulullah dan dibunuhnya mata-mata yang ia utus telah sampai pada al-harits bin Dhirar dan para pendukungnya, mereka takut sekali. Para penduduknya terpecah. Adapun Rasulullah telah tiba di al-Muraisi’, sebuah mata air yang berada di sebelah Qadid ke arah pantai. Mereka bersiap untuk perang Rasulullah mengatur barisan sahabatnya. Panji kaum Muhajirin dipegang oleh Abu Bakar. Panji Anshar dipegang ileh Sa’ad bin Ubadah. Mereka saling menembakkan panah selama beberapa waktu. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menyerang satu lawan satu. Akhirnya pasukan kaum muslimin menang.
Kaum musyrikin kalah, terbunuhlah yang terbunuh. Dan Rasulullah saw menawan kaum perempuan dan keturunan mereka. Juga binatang ternak dan kambing. Dari kaum muslimin tidak ada yang terbunuh, kecuali satu. Seorang Anshar membunuhnya karena ia mengira dia adalah musuh.
Dari Ibnu Aun berkata, “Aku menulis surat kepada Nafi’, lalu dia membalasnya dan berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah menyrang suku Bani Musthaliq saat mereka sedang lalai, sedangkan ternak-ternak mereka sedang minum air. Lalu, beliau membunuh prajurit suku tersebut dan menawan anak keturunan mereka. Pada saat itu beliau mendapatkan Juwairiyah (sebagai tawanan.” Abdulalah bin Umar r.a. menceritakan kepadaku tentang riwayat ini, saat itu dia termasuk dari pasukan tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Musaffi’ bin Shafwan, suami Juwairiyah bin al-Harits, satu dari sepuluh orang yang menjadi korban pedang kaum muslimin. Sebagian besar mereka tertawan, jumlah mereka 700 orang. Kaum muslimin merampas harta mereka, menawan kaum wanita dan anak-anak mereka. Juga menggiring binatang ternak mereka. Allah menolong Rasul-Nya dengan kemenangan yang besar.
Di antara mereka yang tertawan adalah Juwairiyah binti al-Harits, putri kepala suku.

Syiar Kaum Muslimin pada Perang Bani Musthaliq

Dari Sinan bin Wabrah berkata, “Kami bersama Rasulullah saw pada Perang al-Muraisi’, Perang Bani Musthaliq, pada saat itu perang syiar (yel-yel) mereka, “Wahai yang ditolong (oleh Allah), binasakan, binasakan (musuh)!>” (HR Thabrani).

Ia memeluk Islam dan Pernikahannya Berbuah Kebaikan bagi Kaumnya

Dari Aisyah Ummu al-Mu’minin berkata, “Ketika Rasulullah membagi tawanan bani Musyhaliq, Juwairiyah ditetapkan menjadi milik Tsabit bin Qais asy-Syammas atau sepupunya. Dan dia telah menetapkan dirinya untuk Tsabut. Juwairiyah perempuan yang cantik jelita, tak seorang pun yang memandangnya, melainkan ia akan tertarik padanya. Ia datang kepada Rasulullah meminta tolong atas ketentuan itu. Aisyah berkata, “Demi Allah ketika aku melihat Juwairiyah di pintu kamarku, aku membencinya (karena kecantikannya). Aku tabhu Rasulullah akan berpendapat sama denganku. Ia masuk dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhirar, kepala suku. Aku mendapat cobaan yang tidak ringan, lalu aku ditetapkan menjadi milik Tsabit bin Qais asy-Syammas atau sepupunya. Maka aku tentukan diriku untuknya, lalu aku datang kepadamu memohon pertolonganmu atas ketentuanku itu (dia tidak ingin menjadi milik Tsabit).” Rasulullah berkata, “Apakah engkau mau dengan yang lebih baik dari itu? Aku selesaikan masalahmu dan aku menikahimu.” Juwairiyah berkata, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Jadi aku sudah selesaikan.” Aisyah berkata, “Berita tersebar kepada orang-orang bahwa rasulullah menikahi Juwairiyah binti al-Harits. Orang-orang berkata, “Para besan Rasulullah. Kirim mereka dengan apa yang ada di tangan mereka.” Aisyah berkata, “Dengan pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah, dibebaskan 100 orang keluarga Bani Musthaliq. Aku tidak melihat perempuan yang lebih besar berkahnya kepada kaumnya, lebih dari Juwairiyah.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Allahu Akbar, duhai nikmat dan kebanggaan yang diperoleh ibunda akum mukminin ini. Beberapa saat ia tertawan dan tiba-tiba memperoleh anugerah Ilahi, yang menjadikannya seorang mukminah yangs ejaland engan hati dan raganya di kafilah Iman. Bahkan, menjadikannya di garda depan, memipin alam seluruhnya dengan iman kepada Rabb alam semesta .... Muhammad bin Abdullah.

Juwairiyah Memasuki Rumah Nabi saw.

Setelah tinggal di istana ayahnya, Juwairiyah hidup di istana suaminya, Musaffi’. Dan sekarang ia pindah ke ruamh suami yang termulia di dunia seluruhnya, Muhammad bin Abdullah. Beliau yang tak memiliki sitana dan harta yang fana, tetapi memiliki kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan izin Allah. Kebahagiaan tersebut tersimpan dalam satu hal, yang tak lain adalah jika kita merealisasikan penghambaan kita hanya kepada Allah SWT.
Juwairiyah akhirnya membina rumah tangga dengan cintanya, menjadi Ibunda bagi kaum mukminin, dan istri seorang pemimpin generasi pertama dan terakhir.
Di hari-hari terindah dalam hidupnya, ia tinggal di rumah yang sederhana, dan ia lupa pada kemewahan dan kekayaan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Dunia dan seisinya tidaklah sama dengan sesaat dari waktu yang  ia lalui bersama di samping al-Habib saw. Seorang muslim mana pun jika diminta untuk memilih, antara dunia dan seisinya dengan memandang wajah al-habib saw, meskipun sekali, ia akan memilih kesempatan berharga untuk melihatnya. Lalu, bagaimana dengan yang tinggal bersamanya, menjadi pandangannya, menjadi bagian dari anggota keluarga, yang Allah nyatakan dalam Al-Qur’an, “... Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS al-Ahzab (33) : 33).

Upaya Kaum Munafik dalam Meletupkan Fitnah di Antara Kaum Muslimin dalam Peperangan ini

Dari Jabir bin Abdullah, “Kami berada di tengah pasukan, seorang pria dari kaum Muhajirin menedang seorang pria dari Anshar. Laki-laki Anshar itu berkata, “Wahai kaum Anshar (tolong), Dan laki-laki Muhajirin juga berkata, “Wahai kaum Muhajirin (tolong). Rasulullah mendengar itu dan berkata, “Ada apa, mengapa ada sebutan-sebutan jahiliah?” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, lelaki dari kaum Muhajirin menendang salah satu Anshar.” Rasulullah saw berkatam “Tinggalkan sebutan-sebutan itu, karena itu keji.” Abdullah bin Ubay mendengar itu dan berkata, “KaumMuhajirin melakukannya? Jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya.” Dan pernyataan ini sampai kepada Nabi saw. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan saya memenggal kepala munafik ini (Abdullah bin Ubay).” Nabi saw berkata, “Biarkan dia, jangan sampai orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” Kaum Anshar pada awalnya lebih banyak daripada kaum Muhajirin ketika mereka datang ke Madinah. Namun, kemudian jumlah kaum Muhajirin meningkat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sungguh Allah Membenarkanmu, Wahai Zaid

Dari Zaid bin Arqam, “Kami pergi bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan pada saat banyak orang menderita kekurangan. Kemudian Abdullah bin Ubay berkata kepada para pendukungnya, “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supayan mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” Dia juga berkata, “Jika kita telah kembali ke Madinmah, benar-benar orang-orang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya (Madinah).” Aku pergi menemui Nabi saw dan memberitahukan itu. Lalu, Nabi saw mengutus seseorang untuk bertanya kepada Abdullah bin Ubay mengenai hal itu. Namun, Abdullah bin Ubay bersumpah bahwa dia tiak mengatakan hal itu. Orang-orang berkata, “Zaid membohongi Rasulullah saw. Apa yang mereka katakan itu membuatku tertekan.” Kemudian Allah menurunkan firman-Nya dan membenarkan perkataanku, “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad) .... (QS al-Munafiqun (63) : 1). Rasulullah mengutus seseorang kepadaku dan membacakan ayat itu. Beliau berkata, “Sungguh Allah membenarkan (perkataanmu). Wahai Zaid.” (HR Bukhari dan Muslim).

Perkara Rasulullah Pasti Lebih Berkah daripada Perkaraku

Dalam beberapa riwayat ketika Rasulullah saw masih berada di mata air itu (milik Bani Musthaliq), datanglah sekelompok orang, bersama dengan Umar bin Khaththab. Pada saat itu ada orang sewaannya dari Bani Ghaffar, yang bernama Jajah bin Mas’ud menunggang kudanya. Lalu, terjadi keributan antara Jahjah dan Sinan bin Wabr al-Juhny, sekutu Bin Auf al-Khazraj atas perairan itu. Mereka berdua saling menyerang.
Al-Junny berteriak, “Wahai kaum Anshar.” Dan Jahjah juga berteriak, “Wahai kaum Muhajirin.” Abdullah bin Ubay bin Salul bersamanya terdapat beberapa orang dari kaumnya, di antara Zaid bin Arqam, seorang anak remaja. Abdullah berkata, “Apa? Mereka melakukannya? Mereka telah datang kepada kita dan jujmlah mereka menjadi lebih banyak daripada kita di negeri kita. Demi Allah, alangkah miripnya hubungan antara kita dan orang-orang Quraisy itu, dengan perumpamaan orang-orang dahulu. “Gemukkan anjingmu maka ia akan memangsamu.” Demi Allah, jika kita pulang ke Madinah, orang-orang yang kuat akan mengeluarkan orang-orang lemah darinya.”
Kemudian ia medekat kepada mereka yang sedang bersamanya pada saat itu dan ia berkata kepada mereka, “Ini semua terjadi karena perbuatan kalian. Kalian membolehkannya masuk ke negeri kalian. Kalian membagi untuk mereka harta kalian. Demi Allah, kalau kalian tidak memberikan mereka apa yang kalian miliki, pasti mereka akan beralih ke selain negeri kalian.” Zaid bin Arqam mendengar hal itu, lalu ia menemui Rasulullah untuk memberi tahu hal itu. Saat itu beliau telah menumpas musuhnya. Segera ia beri tahu Rasulullah, yang pada saat itu ada Umar bin Khaththab bersamanya. Umar bin Khaththab berkata, “Perintahkanlah Ubbad bin Basyar agar ia membunuhnya.” Rasulullah saw berkata, “Wahai Umar, bagaimana jika orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya? Tidak, tetapi kita berkemas untuk pulang?” Rasulullah saw berangkat pulang pada waktu yang tidak biasanya beliau pergi. Dan orang-orang yang bersamanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Abdullah bin Ubay berjalan menuju Rasulullah saw ketika ia tahu bahwa Zaid bin Arqam menyampaikan kepada beliau apa yang ia dengar darinya. Ia bersumpah demi Allah dan berkata, “Aku tidak mengatakan apa yang Zaid katakan dan aku tidak berbicara dengannya --- ia orang yang mulia dan agung di kaumnya. Orang-orang Anshar yang sedang bersama Rasulullah saw berkata, :Wahai Rasulullah, mungkin anak itu tidak terlalu mengerti apa yang dikatakannya dan tidak menghafal apa yang dibicarakan Abdullah.” Mereka ingin bersimpati kepada Abdullah dan membelanya.
Menurut Ibnu Ishaq, “Ketika Rasulullah saw tidak bersama para sahabatnya, beliau berjalan dan bertemu Usaid bin Huhdair, ia memberi penghoramtan kenanbian dan mengucapkan salam kepada beliau, lalu berkata, “Wahai Nabi Allah, demi Allah engkau bepergian di waktu yang tak biasa, padahal engkau tidak pernah bepergian di waktu-waktu seperti ini?” Lalu, Rasulullah saw berkata, “Memangnya engkau tidak mendengar apa yang dikatakan sahabatmu?”
“Sahabat yang mana, wahai Rasulullah>” tanya Usaid.
“Abdullah bin Ubay,” kata Rasulullah.
“Apa yang dia katakan?” tanya Usaid.
“Ia mengatakan bahwa jika ia pulang ke Madinah, yang kuat akan mengusir yang lemah darinya.” Kata Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, engkau dapat mengusirnya dari Madinah jika Engkau meginginkan. Demi Allah, dia itu hina dan engkau perkasa.” Kata Usaid.
Kemudian ia berkata, “Biarkan ia (tak usah diambil hati), dem Allah, Engkau telahd atang kepada kami. Sungguh kaumnya telah mengatur sebuah keputusan untuk menjadikannya pemimpin. Jadi, dia menganggap Engkau telah merampas kekuasaannya.”
Lalu, Rasulullah berjalan bersama para sahabatnya (melanjutkan perjalanan) pada hari itu hingga sore menjelang, malam beranjak hingga pagi datang.  Para pagi harinya beliau masih melanjutkan perjalanan. Hingga panas matahari menyengat, beliau singgah bersama semua orang. Tak menunggu lama mereka merebahkan diri di atas tanah, mereka tertidur. Rasulullah melakukan itu agar mereka tidak sibuk dengan pembicaraan kemarin, yaitu tentang Abdullah bin Ubay. (dalam sebuah riwayat) hingga dikatakan, “Setelah hari itu jika terjadi sesuatu, kaumnya mencelanya, menekannya, dan kasar terhadapnya (Zaid). Ketika sampai kepada Rasulullah berita itu, beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu, wahai Umar?” Demi Allah, jika aku membunuhnya pada waktu kau katakan “bunuhlah dia” maka orang-orang akan bergetar (marah), dan jika kau memerintahkan mereka untuk membunuhnya hari ini, mereka akan membunuhnya.”
Umar berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa perkara Rasulullah saw. Lebih besar berkahknya darpada perkaraku.” (HR Ibnu Hisyam, hadits mursal).

Sikap Agung dalam Loyalitas dan Kebencian

Inilah sikap agung dalam loyalitas dan kebencian (al-wala wa al-barra’) yang didgarisbawahi dalam sejarah. Sikap seorang sahabat yang mulia. Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, anak pemimpin kaum munafik. Meskipun demikian, dia seorang sahabat yang agung.
Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau ingin membunuh ayahku. Jika engkau menginginkan hal itu, perintahkanlah aku untuk membunuhnya. Sungguh aku takut, wahai Rasulullah, jika orang lain yang membunuhnya, aku marah dan membalas dendam, dan me,bunuhnya sedangkan dia seorang muslim, lalu aku masuk neraka. Semua orang Anshar tahu bahwa aku anak yang paling berbakti kepada ayahnya di antara semua anak Anshar.” Kemudian Rasulullah mengatakan kebaikan untuknya dan mendoakannya. Beliau berkata kepadanya, “Berbuat baiklah kepada ayahmu, ia tidak akan melihat sesuatu, melainkan kebaikan.” Ketika Rasulullah dan kaum muslimin sampai di Madinah, dari peperangan itu, Abdullah bin Abdullah bin Ubay berkata kepada ayahnya di jalan, “Demi Allah, janganlah ayah masuk ke Madinah, hingga Rasulullah mengizinkanmu untuk masuk.” Rasulullah mengizinkannya untuk memasuki Madinah.
Ada sikapnya yang lain kepada ayahnya --- meskipun hal ini bukan bagian dari peperangan tersebut. dari Abu Hrairah r.a. berkata, “Rasulullah lewat di depan Abdullah bin Ubay bin Salul, yang sedang berada di naungan sebuah bangunan. Putra Salul itu berkata, “Anak Abu Kabsyah (Abu kabsyah adalah suami Halimah as-Sa’diyah, Ibu susu rasulullah, penyebutan nama ini dengan maksud penghinaan) mengepuli kami dengan debu.” Anaknya, Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang memuliakanmu, jika engkau menghendaki aku akan memberikanmu kepalanya.” Rasulullah berkata, “Tidak, beruat baiklah kepada ayahmu dan pergauilah ia dengan baik.” (HR al-Bazzar).
Catatan Penting
Dalam kisah di atas, ada keterangan tentang kemuliaan Iman, orang kafir itu hina, dan juga orang munafik. Bagaimana tidak, kemuliaan itu seluruhnya milik Allah. Dan kemuliaan ini tdiak dapat dicari, kecuali dengan ketaatan kepada Allah SWT, “Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. Kepada-Nyalah akan naik perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya...” (QS Fathir (35) : 10). Tidak ada yang lebih hina daripada Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik, pada saat anaknya berdiri di hadapannya dan tidak mengizinkannya untuk masuk ke Madinah, hingga Rasulullah saw mengizinkannya. Tampak jelas dalam hal ini, mana yang mulia dan yang hina.
Dalam kisah tersebut juga dijelaskan bahwa disyariatkan untuk bertahan dengan bencana kecil demi terhindarnya bencana yang lebih besar. Anggapan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya yang menampakkan keislaman merupakan bencana besar. Oleh karena itu, Nabi saw bersabar menanggung kedengkain dan penghianatan Ibnu Ubay, yang juga merupakan sebuah bencana demi menghindari berncana yang lebih besar. Allahu A’lam.
Dalam kisah ini juga ditunjukkan kemuliaan dan kesabaran Nabi saw atas celaan kaum munafik. Beliau adalah Nabi yang paling mjulia dan pemimpin para rasul. Jika beliau memerintahkan Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk membunuh ayahnya, ia pasti akan melakukannya. Ia melakukan itu untuk mengharap ridha Allah SWT dan ridha Rasul-Nya. namun, beliau berkata, “Beruat baiklah kepada ayahmu.” Bershalawatlah keapdanya dan berilah salam.
Lalu, beliau juga tidak pernah balas dendam untuk dirinya, tidak juga marah untuk kepentingan dirinya, tetapi ia marah karena Allah SWT. Tak diragukan lagi bahwa celaan dan hinaan yang menimpa Nabi saw serta kesabarannya dalam menanggung itu semua adalah sarana ketinggian dan kemuliaan derajatnya. Allah makin memuliakan dan menghormatinya, wa shalallahu ‘alaihi wa salimu taslima.

Allah Menjagamu dari (Kejahatan) Manusia

Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Kami mengambil bagian dalam Ghazwah najd bersama Rasulullah saw. Ketika kami sampai di al-Qa’ilah, sebuah lembah dengan banyak pohon berduri, ia duduk di bawah pohon dan berteduh di sana dan menggantungkan pedangnya (di atanya). Orang-orang tersebar di antara pohon-pohon untuk berteduh. Seemntara kami sedang begitu, Rasulullah saw memanggil kami. Kami datang dan menemukan seorang badui duduk di depan beliau. Nabi saw bersabda, “Orang ini datang kepadaku pada saat aku sedang tidur dan ia mengambil pedangku diam-diam. Aku terbangun ketika ia berdiri di depan kepalaku dan menghunuskan pedang. Ia berkata, “Siapa yang akan menyelamatkanmu dariku?” Aku menjawab, “Allah. Ia menyarungkan pedang dan duduk dan di sini dia.” Jabir barkata, “Namun, Rasulullah saw tidak menghukumnya.” (HR Bukhari).
Kisah ini merpakan pembenaran atas firman Allah SWT, “.... Dan Allah memelihara engkau dari (ganguan) manusia ....” (QS al-Maidah (5) : 67). Dalam Sirah Nabi saw, hal itu telah banyak disebutkan. Di antaranya kisah Abu Jahal ketika ia ingin menginjak Nabi saw, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Kisah Suraqah dan apa yang terjadi pada perang Uhud. Kisah pengusiran Bani an-nadhir,d an kisah daging kambing yang dibri racun yang akan dijelaskan dalam Perang Khaibar.
Begitu juga, kekuatan Iman Nabi saw keterikatan hatinya, dan kepercayaannya kepada Rabb-nya. berapa banyak manusia, (melihat) janji Allah benar-benar terwujud. Hanya saja pada saat sulit kepercayaan ini runtuh, keraguan dan ketakutan pun merasukinya.
Di dalam kisah ini juga tampak akhlak beliau yang luhur, maafnya kepada orang-orang jahil, dan tidak mau menang sendiri, marah untuk dirinya. Oleh karena itu, para da’i harus terdidik dalam sifat-sifat tersebut. sebab, beliau saw adalah teladan dan contoh tertinggi bagi mereka. “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS al-Ahzab (33) : 21).

Angin Kencang berembus pada Kematian Pemimpin Kaum Munafik

Dari Ashim bin Umar bin Qatadah, Abdullah bin Abu Bakar, dan Muhammad bin Yahya bin Hibban bahwa usai dari Perang bani Musthaliq, Rasulullahs aw bersama para sahabatnya melalui jalan al-Hijaz, hingga ia tiba di mata air di al-Hijaz, sedikit di atas an-Naqi’, yang dinamakan Naq’a. Ketika Rasulullah beristirahat, angin berhemnbus sangat kencang, membuat mereka sakit dan takut. Kemudian Rasulullah saw berkata, “Janganlah kalian takut, angin ini berhembus untuk kematian sejumlah kaum kafir.” Ketika mereka sampai di Madinah, mereka mendapatkan Rifa’ah bin Zaid bin at-Tabut, salah seorang dari Bani Qainuqa’, yang juga pembesar kaum yahudi, pembela kaum munafik, mati pada hari itu.
Imam Muslim, Abi bin Humaid, dan Ahmad menyambungkannya dari jalur lain, dari jabir, tanpa menyebutkan bahwa angin itu berembus pada peperangan Bani Musthaliq. Cukuplah bagi saya dengan mencantumkan riwayat Imam Muslim itu di sini.
Dari jabir r.a. berkata, “Rasulullah saw kembali dari perjlanan. Ketika beliau mencapai suatu tempat dekat Madinah, berembus angin yang sangat kencang, yang hampir-hampir mengubur para pengendara. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Angin ini berembus atas kematian seorang munafik. Saat ia tiba di Madinah, ternyata salah satu pembesar kaum munafik telah mati.” (HR Muslim, Ahmad, Baihaqi, dan Thabari).
Dengan adanya riwayat ini, hadits ibnu Ishaq naik menjadi hasan li gharih.

Peristiwa al-Ifk (Berita Bohong)

Ujian merupakan hukum tetap yang tidak akan pernah tergantikan dan tidak akan berubah. Namun ujian yang dihadapi oleh ibunda kita, Aisyah r.a. merupakan cobaan yang dapat menghancurkan batu karang, gunung-gunung, dan merobek sekian banyak hati. Ia dituduh dalam hal yang paling berharga yang dimiliki seorang perempuan, tuduhan yang menistakan harga dirinya. Sungguh suatu cobaan yang amat berat. Hingga diri Aisyah r.a. dijatuhkan. Padahal, ia adalah bunga yang bertakwa dan bersih, yang tumbuh di taman Islam, yang disiram dengan air wahyu. Dan Rasulullah dijatuhkan harga dirinya, padahal beliau adalah berjuang menjaga kehormatan umat dan kemuliaan kaum muslimin. Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi tertuduh akan kredibilitas putrinya yang tercinta.
Hadits al-Ifk, merupakan peristiwa yang sanat menyakitkan hati ibunda kaum Muslimin, Aisyah r.a. Masa-masa sulit dilewatinya di rumah keluarga Nabi saw dan rumah Abu Bakar yang jujur itu mencapai satu bulan. Hingga turun ayat yang membebaskan wanita yang menjunjung tinggi harga dirinya, ash-shiddiqah binti ash-Shiddiq. Pembebasan in i juga saksi yang berkah bagi Shafwan bin al-Mu’aththal, yang juga dituduh oleh berita dusta. Ayat itu pula mencap orang-orang munafik dengan menyebar kepalsuan dan dusta, yang akan terus menempel hingga akhir hayat.
Jiwa-jiwa kaum munafik belum tenang melihat kemenangan-kemenagan Islam dan makin meluasnya daerah kekuasaannya dari hari ke hari. Mereka melihat bahwa posisi mereka mula terancam dan lenyap hingga hancurnya komunitas mereka. Mereka ingin – menurut anggapan mereka – mengarahkan serangan yang dahsyat kepada Nabi saw. Kemudian mereka menuduh ibunda kita yang suci, ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq, dengan kebohongan yang besar.
Telah tumbuh kemunafikan dan kedengkian dala  hati Abdullah bin Ubay bin Salul pada hari pertama ia mendengar tentang Islam. Ia terus berusaha menghancurkan Nabi saw dan Islam,. Upaya demi upaya ia lakukan. Namun, hikmah Allah SWT milik Rasul saw dan mengawasi kaum munafik. Hikmah Allah membelenggu dan menghina mereka.

Ash-Shiddiqah dan Ujian yang Dahsyat Itu

Dalam hadits al-Ifk hampir saja menjadi fitnah buta. Kaum muslimin sangat tergucnang dan juga entitas mereka. Tidak semua orang bersikap sama. Mereka berbeda pendapat dalam memandang perisitiwa dusta dan zalim ini.
Sebagian mereka diam dan tak tahu apa yang harus mereka katakan. Mereka begitu terperangah. Sebagian lagi terang-terangan menyatakan sikap bahwa yang benar itu benar dan yang buruk itu buruk. Beberapa orang tidak dapat terang-terangan menyatakan kebenaran, membersihkan nama baik kekasih Nabi saw yang suci dan disucikan, Aisyah r.a. Allah menurunkan hukumannya kepada mereka yang pengecut dan diam, tidak menolak kebohongan dan kekejian itu dari diri seorang yang suci dan sempurna, perawan yang berada di wilayah kenabian. Selan itu, Allah telah menyiapkan bagi kaum munafik, yang terang-terangan menyebarkan kebohongan, Jahanam yang setiap kali tidak akan padam apinya makin menyala-nyala.
Peristiwa besar ini adalah perisitiwa penting dan ujian yang hebat bagi Rasulullahs aw yang tak seorang pun tahu dampaknya terhadap beliau, kecuali Yang Mahaluas ilmu-Nya dan Maha Mengetahui. Namun, Rasulullah adalah pemimpin kaum penyabar, sabar seindah-indahnya kesabaran. Beliau mengatasi perkaranya dengan kepala tenang. Keinginan beliau adalah menjaga masyarakat muslimin dari badai berbagai fitnah, guncangan cobaan demi cobaan,d an jahatnya tiupu daya kaum munafik, yang lahir dari kegagalan-kegagalan sikap jahiliah mereka.
Peristiwa ini penting bagi ibunda kaum muslimin, pendamping bagi pemimpin semua makhjluk, perempuan yang paling dicintai Rasulullah, orang tuanya dan Tuhannya, khususnya kaum muslimin, yang tak tenang di peraduan mereka. Air mata berkumpul di pelupuk mata mereka, terutama Aisyah r.a. Hingga akhirnya Allah memberi karunia kepadanya dan mereka yang beriman. Allah menyingkap kesedihan, melapangkan kesempitan, dan menurunkan wahyu-Nya dengan Al-Qur’an yang mulia kepada Rasul-Nya yang mulia, Muhammad saw, yang tidak disangka-sangka oleh siapa pun. Di mana mereka mengira bahwa Rasul akan mendapat mimpi yang membebaskan perempuan yang paling suci di antara yang suci, dia yang paling memahami di antara yang perempuan yang faqih (ahli dalam hukum Islam), ibunda kaum muslimin, ash-shiddiqah binti ash-Shiddiq, semoga Allah meridhai keduanya.
Allah SWT ingin membuat pengkhususan untuknya untuk mengangkat perkara Aisyah r.a. Allah menampakkan kemuliaan pribadinya dan sosialnya. Allah menjelaskan posisinya dalam Ahlul Bait, kesuciannya, keutamaannya, dan kemuliaannya, serta beratnya timbangan keutamaan dan sisi kemanusiaannya yang mulia, juga kemuliaan imannya karena kedudukannya di hati Rasulullahs aw.

Pernyataan Pembebasan dari Tempat di Atas Tujuh Langit

Mari kita menelaah kisah lengkapnya, kita akan melihat kedudukan ibunda kita, Aisyah r.a. pernyataan pembebasannya dari fitnah turund ari suatu tempat di aats tujuh langit.
Dari Aisyah r.a. berkata, “setiap kali Rasulullah saw hendak melakukan perjalanan, beliau mengundi istri-istrinya (siapa yang berhak turut dalam perjalanan itu). Dan siapa yang bagiannya keluar, ia eprgi bersama Rasulullah saw. Aisyah berkata (dalam riwayat lain), “Beliau mengundi di antara  kami di suatu pertempuran yang akan Beliau lakukan dan bagiankulah yang keluar. Akhirnya aku pergi bersama Rasulullah saw, setelah perintah untuk berhijab ditetapkan. Aku ditempat di sebuah rumah-rumahan (di atas punggung unta) dan aku berada di situ sepanjang perjalanan. Kami terus melakukan perjalanan, sampai ketika Rasulullah saw telah menyelesaikan peperangannya dan melakukan perjalnanan untuk kembali. Ketika kami mendekati Kota Madinah, ia mengumumkan pada malam hari bahwa sudah waktunya untuk keberangkatan. Ketika mereka mengumumkan berita keberangkatan, aku bangun dan pergi melewati pasukan. Setelah menyelesaikan urusanku, aku kembali ke hewan tungganganku. Ternyata kalungku yang terbuat dari manik-manik Zifar (yaitu manik-manik Yaman) telah lepas. Jadi, aku kembali untuk mencari kalungku dan pencarian itu menahanku (untuk pergi). Sementara itu, orang-orang yang biasa membawaku datang, mereka mengangkat bilik kecilku dan meletakkannya di punggung untaku, yang baisa aku kendarai. Mereka menganggap bahwa aku berada di dalamnya. Di masa itu kaum perempuan ringan-ringan dan daging tidak membuat tubuh mereka berat. Sebab, mereka terbiasa makan hanya sedikit. Mereka yang mengangkat bilik kecil itu tidak heran dengan ringannya barang itu. Pada waktu itu aku masih seorang gadis mujda.”
Mereka mulai menggiring unta dan mereka semua berangkat. Sementara itu, aku telah menemukan kalungku, setelah tentara pergi. Lalu aku datang ke tempat mereka berkemah. Tidak ada yang memanggil dan tidak ada pula yang merespon panggilan. Jadi, aku berniat untuk pergi ke tempat di mana aku biasa pakai untuk tinggal. Aku mengira bahwa mereka akan mencariku dan akan menemukanku kembali. Pada saat aku duduk di tempat peristirahatan, aku mengantuk dan tertidur. Shafwan bin al-Muaththal as-Sulamy, berada di belakang pasukan. Ia berjalan hingga mencapai tempat saya di pagi hari. Ia melihat bayangan hitam seseorang yang sedang tidur. Ia mendatangiku dan mengetahuiku karena dia pernah melihatku sebelum hijab di wajibkan. Aku terbangun ketika ia membacakan Istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika ia mengenalku. Kututup wajahku dengan jilbabku (cadar). Demi Allah, dia tidak mengajakku bicara sepatah kata pun dan aku tidak mendengarnya mengucapkan sepaath kata pun selain Istirja’-nya tadi. Dia turund ari untanya dan membuatnya berlutut, kemudian aku mengandarainya.
Kemudian ia berangkat menrik unta yang membawaku sampai kami menyusul pasukan, setelah mereka singgah beristirahat dari apnasnya siang. Kemudian binasalah dia yang telah binasa dan orang yang menyebarkan fitnah itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Setelah kami sampai di Madinah, saya sakit selama satu bulan. Orang-orang banyak membicarakan perkataan yang disebarkan olejh para penyebar fittnah. Sementara itu, aku tidak menyadari apa-apa dari semua itu. Namun, aku merasa bahwa pada saat aku sedang sakit saat ini, aku tidak melihat kelembutan yang biasa aku rasakan dari Beliau ketika aku sakit. (Namun sekarang) jika Rasulullahs aw masuk ke kamarku, beliau mengucapkan salam dan berkata, “Bagaimana keadaanmu?” Kemudian berlalu. Itu yang mebuatku heran, tetapi aku tidak merasa ada keburukan (terjadi). Hingga ketika aku keluar setelah kondisiku pulih.
Aku pergi dengan Ummu Misthah ke al-Manasi’, tempat kami membuang hajat. Dan kami tidak pergi ke sana, kecuali pada malam hari. Hal itu sebelum kami emmiliki jamban di dekat rumah. Dan kebiasaan kami dalam membuang hajat, sama dengan kebiasaan orang Arab tempo dulu. Saat itu kami masih kerepotan jika membuat jamban di dekat rumah kami.
Jadi, aku dan Ummu Misthah pergi (putri dari Abu Ruhm bin Abd Manaf. Ibunya adalah putri dari Sakhr bin Amir, yang merupakan bibi Abu Bakar ash-Shiddiq dan anaknya, Misthah bin Utsatsah), aku dan Ummu Misthah kembali ke rumahku, setelah kami selesai membuang hajat. Ummu Misthah terkena bajunya dan berkata, “Biarlah Misthah hancur.” Aku berkata, “Alangkah buruknya perkataanmu. Mengapa engkau mencela pejuang badar?” Lalu, dia berkata, “Wahai yang tidak tahu apa-apa, apa kau tidak mendengar apa yang dia katakan?” Aku berkata, “Apa yang dia katakan?” Kemudian dia menceritakan kepadaku fitnah dari orang-orang yang menyebarkannya. Penyakitku memburuk dan ketika aku sampai di rumahku, Rasulullah saw datang kepadaku dan mengucapkan salam, beliau berkata. “Bagaimana kondisimu?” Aku berkata, “Apakah engkau mengizinkaku untuk pergi ke orang tuaku?” Aisyah berkata, “Ketika itu aku ingin memastikan berita itu melalui mereka.” Rasulullah mengizinkanku.

Kesedihan yang Memorak-porandakan Gunung-Gunung

Aisyah r.a. berkata, “Aku pergi ke orang tuaku dan bertanya kepada ibuku, “Wahai Ibu, apa yang orang-orang bicarakan?” Dia berkata, “Wahai putriku, jangan khawatir karena hampir tidak  ada seorang wanita menawan yang dicintai oleh suaminya dan ia memiliki madu (istri-istri suaminya), melainkan mereka akan banyak mencari-cari kesalahannya.” Aku berkata, “Subhanallah, apakah orang-orang benar-benar membicarakan itu?” Aku terus menangis malam itu sampai pagi menjelang, aku tidak bisa berhenti menangis atau tidur sampai pagi menjelang kembali.”
Lalu Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid r.a. ketika wahyu belum turun untuk bertanya dan berkonsultasi dengan mereka, jika menceraikanku. Usamah bin Zaid mengatakan apa yang ia ketahui tentang keluarga Rasul (Aisyah) yang tidak bersalah dan cinta beliau kepada keluarganya. Usamah berkata, “Wahai Rasulullah, keluargamu, kami tidak tahu apa-apa, kecuali kebaikan saja.”
Adapun Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak menempatkanmu dalam kesulitan dan ada banyak wanita lains elain dia. Jika engkau bertanya kepada seorang budak wanita, ia akan memberitahumu kebenaran. Lalu, Rasulullah saw memanggil Barirah (budak) dan berkata, “Wahai Barirah, apakah engkau melihat sesuatu yang membuatmu curiga?” Barirah berkata kepadanya, “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran. Aku belum pernah melihat sesuatu dalam dirinya (yaitu Aisyah) yang akan saya sembunyikan, kecuali bahwa dia adalah seorang gadis muda yang tidur meninggalkan adonan keluarganya, lalu datang seekor kambing dan memakannya.” Jadi, pada hari itu Rasulullahs aw berdiri di atas mimbar dan mengeluh tentang Abdullah bin Ubay bin Salul.”

Demi Allah Akut Tidak Mengetahui tentang Keluargaku, kecuali Kebaikan

Rasulullah berkata ketika beliau di atas mimbar, “Wahai kaum muslimin, siapa yang akan membebaskanku dari pria yang telah menyakitiku, dengan pernhyataan kejinya tentang keluargaku? Demi Allah, aku tidak tahu tentang keluargaku, kecuali kebaikan. Mereka menyebtukan seseorang yang aku tidak mengetahuinya, kecuali kebenaran. Dan tidak ada yang masuk ke rumahku, kecuali bersamaku.”
Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan membebaskanmu dari dia. Jika dia adalah dari al-Aus, aku akan memenggal kepalanya, dan jika ia adalah daru saudara-saudara kita dari al-Khazraj, kemudian engkau perintahkan kami dan kami melakukannya.”
Aisyah berkata, “Sa’ad bin Ubadah, kepada aAl-Khazraj. Sebelum kejadian ini ia adalah orang yang shalioh, tetapi cintanya kepada sukunya membuatnya terpancing dan berkata kepada Sa’ad (bin Mua’adz), Demi Allah, engkau telah berbohong, kau tidak akan membunuhnya dan tak mampu membunuhnya.”
Lalu, Usaid bin Hudair – yang merupakan sepupu dari Sa’ad bin Mu’adz – berdiri dan berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, “Demi Allah, engkau pembohong. Kami pasti akan membunuhnya, dan Anda adalah seorang munafik berdebat atas nama orang-orang munafik.”
Orang dari kedua sukual-Aus dan al-Khazraj bertengkar, hingga hampir saja saling bunuh meskipun Rasulullah saw masih berdiri di mimbar. Rasulullah saw terus menenangkan mereka sampai mereka diam dan bagitu juga beliau.
Aisyah berkata, “Sepanjang hari itu aku terus menangis. Air mataku tidak pernah berhenti mengalir dan aku tidak bisa tidur. Di pagi hari, orang tuaku berada di sisiku dan aku menangis selama dua malam dan satu hari dengan air mataku tidak pernah berhenti dan tidak pernah bisa tidur. Mereka berdua mengira bahwa hatiku akan meledak karena terus menangis, seorang wanita Anshar memintaku untuk membiarkannya masuk. Aku pun membiarkannya masuk. Dan ketika dia datang, dia duduk dan menangis bersamaku.

Kata-kata yang Membuat Hati Menangis Darah, Bukan Air Mata

Pada saat kami seperti itu, Rasulullah saw datang. Beliau mengucapkan salam, lalu duduk. Aisyah berkata, “Dia tidak pernah duduk dengan saya sejak fitnah itu disebarkan. Sebulan telah berlalu dan tidak ada muncul wahyu apa pun kepada beliau tentang kasusku. Rasulullah kemudian membacakan Tasyahud, lalu berkata, “Amma Ba’du, wahai Aisyah, telah sampai kepadaku berita tentangmu begini dan begini. Jika engkau tidak bersalah, Allah akan membebaskanmu dari tuduhan itu. Jika engkau telah melakukan dosa, minta ampunlah kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. sebab, seorang hamba jika mengakui dosa-dosanya, lalu bertobat kepada Allah, Allah akan menerima tobatnya.”

Kesabaran Itu Indah

Aisyah berkata, “Usai Rasulullah mengatakan itu, air mataku berhenti mengalir. Aku tidak lagi merasakan setetes air mata pun mengalir. Aku berkata kepada ayahku, “Balaslah apa yang dikatakan oleh Rasulullah.” Ayahku berkata, Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.” Lalu, aku berkata kepada ibuku, “Balaslah apa yang dikatakan oleh Rasulullah.” Dia berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.” Aisyah berkata, “Aku adalah seorang gadis mdua dan memiliki sedikit pengetahuan tentang Al-Qur’an, kukatakan, “Demi Allah, aku tahu bahwa kalain telah mendengar perkataan (fitnah) tersebut sehingga telah tertanam di hati kalian dan kalian mempercayainya. Jika ku katakan bahwa aku tidak bersalah --- dan Allah Mahathu aku tidak bersalah – kalian tidak akan percaya kepadaku. Dan jika aku mengaku kepada kalian tentang hal itu – dan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah – kalian pasti akan percaya kepadaku. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan yang tepat bagi kalian, kecuali perkataan ayah Yusuf (Ya’qub), .... Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS Yusuf (12) : 18).”

Beginilah Pembebasan untuknya Turun dari Suatu Tempat di Atas Tujuh Langit

Aku berpaling ke sisi lain dan berbaring di tempat tidurku. Ketika itu, aku tahu bahwa aku tidak bersalah dan hanya Allah yang akan mengungkapkan bahwa aku tidak bersalah. Namun, demi Allah, aku tidak pernah berpikir bahwa Allah akan mengungkapkan tentang kasusku dengan menurunkan wahyu yang akan dibaca (sepanjang kehiduan masih ada di bumi). Bagiku kasusku ini terlalu hina untuk dibicarakan oleh Allah dalam bentuk ayat yang dibaca. Aku hanya berharap bahwa Rasulullah melihat sesuatu dalam mimpinya di mana Allah akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Namun, demi Allah, sebelum Rasulullah saw meninggalkan tempat duduknya dan belum satu pun dari ahlul bait keluar, wahyu tentangku datang kepada Rasulullah. Wahyu itu terlihat berat, keringat bercucuran dari tubuhnya seperti mutiara, padahal cuaca hari itu dingin, dan itu karena pernyataan berat yang sedang diwahyukan kepadanya.
Ketika aitu proses turunnya wahyu s=tersebut sudah berakhir, lalu beliau tertawa. Kata pertama yang dia katakan adalah, “Wahai Aisyah, demi Allah. Dia telah menyatakan behwa engkau tidak bersalah.” Kemudian ibuku berkata kepadaku, “bangunlah dan pergilah kepadanya (yaitu Rasulullah).” Aku menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan pergi kepadanya dan aku tidak memuji seorang pun, kecuali kepada Allah.” Kemudian Allah menurunkan sepuluh ayat. “Sesungguhnya orang-orang membawa berita bohong itu adalah dari glongan kamu I(juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barang siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula). Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita), bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang  membawa empat saksi? Oleh karena mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta. Dan seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, disebabkan oleh pembacaan kamu tentang hal itu (berita bohong itu). (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Maha Suci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu, selama-lamanya, jika kamu orang beriman, dan Allah menjelaskan ayat-ayat (nya) kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatannya yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan kalau bukan karena Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). Sungguh, Allah Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS an-Nur (24) : 11 – 20).
Ketika Allah menurunkan ayat yang menyatakan aku tidak bersalah, Abu Bakar ash-Shiddiq yang biasanya memberi uang untuk Misthah bin Utsatsah karena kekerabatannya dan kemiskinannya berkata, “Demi Alalh, aku tidak akan memberikan ke Misthah apa pun, setelah apa yang telah dikatakannya tentang Aisyah.” Lalu, Allah menurunkan, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)  kepada kerabat0Nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah menamgpunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS an-Nur (24) : 22).
 Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, " Tentu, demi Allah, aku ingin Allah mengampuniku.” Ia pun kembali memberikan Misthah uang yang biasa ia bereikan sebelumnya. Dia juga menambahkan, “Demi Allah, aku tidak akan pernah memutuskan (infakku) itu sama sekali.”
Aisyah lebih lanjut berkata, "Rasulullah saw juga bertanya kepada Zainab binti jahsy (istrinya) tentang kasusku. Beliau berkata kepada Zainab, “Apa yang kauketahui dari apa yang kaulihat (dari Aisyah)>” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku menjaga pendengaranku dan penglihatanku. Demi Allah, aku  tidak tahu apa-apa, kecuali kebaikan (pada diri Aisyah). Di antar istri-istri Nabi saw, Zainab berusaha untuk menandingiku, tetapi Allah menyelamatkannya dan kejahatan itu karena keshalihannya. Adiknya, Hammah, dialah yang berjuang untuknya (berusaha menghancurkan Aisyah, merebut cinta Rasulullah) dan dia hancur bersama mereka, para penyebar berita dusta.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Masa-Masa Ujian Itu

Ketika seseorang mencoba untuk mentadabburi ayat-ayat mulia yang membebaskan Aisyah dari fitnah tersebut, hatinya akan mengembara ke masa-masa yang dilalui oleh rumah keluarga Nabi saw, keluarga Abu Bakar, bagaimana sikap Nabi ketika mendengar berita ini, serta bagaimana Rasulullah saw dan keluarga Abu Bakar bersabar atas tekanan ujian hadits al-ifk ini.
Berita tentang Aisyah, wanita yang paling suci di antara wanita-wanita yang jujur dan wanita yang paling jujur di antara yang suci, menyakiti Rasulullah saw. Beliau mencintai Aisyah dan ayahnya, cinta yang tak bisa dibayangkan oleh banyak orang. Beliau hanya mengetahui segala  yang baik tentang Aisyah. Namun, apa yang dalam pikiran mereka ketika mereka mengatakan tentang dia seperti itu.
Rasulullah saw senantiasa bersabar di bawah tekanan bencana ujian yang hebat ini. Kesabaran yang tak pernah terekam dalam sejarah bencana, ujian, dan cobaan yang menimpa seseorang sebelum masa beliau atau sesudah masa beliau. Hingga ketika pembebasan Aisyah atas fitnah itu turun, setelah 37 malam dari awal munculnya ujian itu. Tuduhan dusta itu (al-Ifk) sampai kepada beliau ketika beliau tibda di Madinah. Setelah kemenangan beliau atas Bani Musthaliq, kaum munafik dan mereka yang sakit hati membicarakan berita bohong itu.
Dan apa yang kaupikirkan dengan kondisi keluarga Abu Bakar?
Kondisi mereka tak kurang sedihnya dari kesedihan Rasulullah saw. Ketika berita dusta itu sampai kepada mereka dan apa yang dibicarakan oleh kaum munafik dan pendukungnya, mereka jatuh dalam kubangan kesedihan cobaan yang sangat berat ini. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan, apa yang harus mereka perbuat. Berbagai macam pandangan menyoroti mereka dari segala arah, dan di segala arah.
Pembaca harus membayangkan saat-saat menyaktikan itu, bahkan dari jam ke jam, hari ke hari yang mereka lalui, mereka harus hidup di tengah pahitnya cobaan tersebut. namun, mereka berserah diri pada ketentuan Yang Mahaperkasa Maha Terpuji, yang milik-Nyalah langit dan bumi. Mereka menunggu ketetapan-Nya untuk menyingkap kesedihan yang bebannya melingkupi dada mereka.
Aisyah, ibunda kaum mukminin, menceritakan kondisinya, dan kedua orang tuanya, pada masa yang paling sulit dari ujian melelhkan unsur-unsru dinamika psikis dan pemikiran. Aisyah berkata, ‘Demi Allah aku tidak mengetahui ada musibah yang menimpa Ahlul Bait, seperti apa yang menimpa keluarga Abu bakar, pada masa-masa itu.”

Sikap yang Luar Biasa

Imam Ibnul Qayyim bnerkata, “Mengapa Rasulullah saw tidak memutuskan sesuatu dalam kasus Aisyah ini, bertanya tentangnya, dan berkonsultasi kepda sahabat-sahabatnya. Sedangkan, beliau paling mengetahui Allah dan kedudukan beliau di sisi-Nya serta segala sesuatu yang pantas untuknya. Mengapa beliau tidak mengatakan, “Mahasuci Allah, ini adalah kebohongan yang besar, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabt-sahabat utama beliau.”
Jawabannya : kesempurnaan hikmah-hikmah luar biasa yang dibuat oleh Allah SWT dalam kisah ini merupakan penyebab keberadaannya serta ujian dan cobaan bagi Rasul-Nya saw dan seluruh umat hingga hari kiamat. Kisah ini mengangkat derajat banyak kaum dan mencampakkan beberapa kaum yang lain. Allah makin banyak memberi petunjuk dan iman kepada orang yang telah diberi petunjuk ke jalan yang benar. Adapun kaum yang zalim, tidaklah ditambah untukinya apa pun melainkan kerugian.
Ujian itu makin lengkap dengan terputusnya Rasulullah dari wahyu selama satu bulan dalam kasus Aisyah tersebut. tidak ada satu wahyu pun turun demi  menyempurnakan hikmahnya yang telah ditentukan dan ditetapkan. Hikmah itu pun tampak dalam bentuknya yang paling sempurna. Kaum mukminin yang benar-benar beriman, makin yakin dan teguh pada keadilan, kejujuran dan berbaik sangka kepada Allah dan Rasul-Nya, anggota keluarganya, serta orang-orang shiddiq (yang sangat kukuh keimanannya) dan hamba-hamba-Nya. adapun orang-orang munafik makin menjadi-jadi dusta dan kemunafikannya. Rahasia-rahasia mereka juga terungkap di depan rasulullah saw dan kaum mukminin/
Dengan demikian, sempurnalah penghambaan (ubudiyah) Aisyah as-Shiddiqah dan kedua orang tuanya. Begitu juga nikmat Allah bagi mereka, makin kuat ketergantungan dan keingininannya, kedua orang tuanya untuk makin mendekat kepada Allah, tunduk kepada-Nya, berprasangka baik kepada-Nya, serta berharap kepada-Nya. selain itu juga, menghentikan untuk berharap keapda makhluk, tak lagi meminta dukungan dan kebahagiaan dari tangan seorang makhluk. Oleh karena itu, ia telah mencapai kedudukan itu ketika kedua orang tua Aisyah berkata, “bangkitlah sambut beliau, Allah telah menurunkan keapdanya pembebasanmu dari tuduhan itu.” Aisyah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan bangkit menyambutnya dan aku tidak memuji, selain kepada Allah. Dialah yang menurunkan pembebasanku.”
Di natara hikmah tput       usnya wahyu selama sebulan, bahwa kasus itu tersaring dan terdalami, hati-hati kaum mukminin mengharap kemuliaan dari turunnya wahyu Allah kepada Rasul-Nya dalam kasus tersebut, hati mereka sangat mengharapkan kedatangannya. Kemudian wahyu pun dipenuhi pada saat Rasulullah sangat membutuhkannya, begitu juga anggota keluarganya, ash-Shdiddiq dan keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kaum mukminin. Hujan turun membasahi bumi di waktu kritis akan kebutuhannya. Kemudian wahyu ini turun dan mengena di hati mereka dengan cara yang paling agung dan lembut. Mereka gembira sekali dan mencapai puncak kebahagiaan. Jika saja Allah langsung memberi tahu Rasul-Nya pada kebenaran kasus ini dari awal mucnulnya dan menurunkan wahyunya segera, hikmah-=hikmah tersebut akan berlalu begitu saja dan begitu juga kelipatan-kelipatannya. Allah SWT juga ingin menampakkan kedudukan rasul-Nya dan anggota keluarganya di sisi-Nya serta kemuliaan mereka bagi Allah. Allah mengeluarkan Rasul-Nya dari masalah ini dan Allah sendiri yang menolongnya, membelanya, mengadvokasinya, menghardik musuh-musuhnya, menghina mereka, mencerca mereka dengan sesuatu yang tak mungkin dilakukan oleh Rasul-Nya, dan tak dinisbahkan kepada rasul, tetapi Allah sendiri yang menolong serta membela Rasul-Nya dan anggota keluarganya.

 Sepanjangg, Sabtu, 08 – 12 - 2018


  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar