Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab : PERANG BANI MUSTHALIQ (AL-MURAISI’)
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Islam merupakan dakwah yang mengalahkan sistem yang berlaku luas pada saat
itu. Penindasan terhadapnya juga melintasi jalur hijrah da menyerangnya membabi
buta. Ketika Islam telah kukuh dan telah melengkapi berbagai aspek kekuatan
untuk putra-putrinya, permusuhan yang mendarah daging itu menepuh cara makar dan
sarana lain yang secara terang-terangan digunakan oleh orang-orang kuat yang
memusuhi Islam. Konspirasi yang dilakukan oleh para dhu’afa di wilayah yang
samar tidak kalah bahaya dari makar kedengkian mereka yang kuat di
tempat-tempat pertempuran. Bahkan, bisa jadi seseorang merasa tersakiti dengan
adanya berita yang tak berdasar tentangnya, lebih dari sakitnya tusukan tombak
pada peperangan.
Pada peperangan yang berkobar semua sarana dipakai untuk menghancurkan
musuh meskipuns eorang yang mulia malu menggunakannya.
Kaum munafik di Madinah akhirnya memprovokasi Nabi saw dan dakwahnya dengan
cara-cara yang menunjukkan hinanya jiwa manusia ketika dikuasai oleh kedengkian
dan kelemahan, terkadang dengan bahasa ejekan, dan terkadang dengan menyebarkan
fitnah dan kebohongan.
Setiap kali kekuasaan kaum muslimin makin menguat, dan posisi mereka makin
kukuh, permusuhan kaum munafik makin bertambah, iri pada mereka dan menanti
kehancuran mereka. Mereka juga telah mencoba untuk mendukung Yahudi ketika
Rasulullah saw menyetujui pengusiran mereka. Sementara itu, ekspansi Islam tak
ada yang bisa membendung, kekalahannya (pada Perang Badar) juga ternyata tidak meruntuhkannya.
Kabilah-kabilah biasa satu menghilang datang yang lain. Kaum munafik akhirnya
masuk ke barisan kaum muslimin. Dan niat buruk mereka belum tersingkap, kecuali
dari ocehan dan karakter mereka yang menyimpang. Perilaku mereka inilah yang
menjadi sumber fitnah yang hebat, yang sangat menyakitkan hati Rasulullah dan
kaum mukminin. Hal itu tampak jelas pada peperangan Bani Musthaliq.
Peran Kaum Munafik sebelum Terjadinya Perang Bani Musthaliq
Kami telah banyak menjelaskan sebelumnya bahwa Abdullah bin Ubay sangat
dengki terhadap Islam dan kaum muslimin, apalagi terhadap Rasulullah saw, dia
sangta sakit hati. Sebab, al-Aus dan al-Khazraj pernah ebrsepakat untuk
menjadikannya sebagai pemimpin mereka yang sudah diputuskan dan ditetapkan.
Namun, ketika Islam masuk ke hati mereka dan memalingkan mereka dari Ibnu Ubay,
dia memandang bahwa Rasulullah-lah yang merampas kekuasaannya.
Kedengkian dan amarahnya itu sangat tampak pada permulaan hijrah sebelum
dan sesudah ia berpura-pura memeluk Islam. Suatu ketika Rasulullah pernah
mengendari keledainya hendak menjenguk Sa’ad bin Ubaidah. Lalu, beliau melewati
suatu majelis, di sana ada Abdullah bin Ubay. Ia menutupi hidungnya sambil
berkata, “Jangan mengepuli kami dengan debu.” Kemudian Nabi saw membacakan
Al-Qur’an kepada mereka. Abdullah bin Ubay berkata, “Duduklah di rumahmu,
janganlah menipu kami di majelis kami ini.” (HR Bukhari dan Muslim).
Itu terjadi sebelum ia ebrpura-pura masuk Islam, pasca kemenangan Badar dan
berpura-pura masuk Islam. Ia masih saja memusuhi Allah, Rasul-Nya dan kaum
mukminin. Tidaka da dalam pemikirannya selain memecah belah komunitas Islam, merendahkan
kalimat Islam, dan bersahabt dengan para musuh Islam.
\dia juga berhubungan dekat dengan Bani am-Nadhir dan berkonspirasi bersama
mereka melawan kaum muslimin, hingga ia berkata kepada mereka, ‘Jika kalian
diusir, kami akan keluar bersama kalian. Jika kalian diperangi, kami akan
membela kalian,”
Begitu juga, pada Perang al-Ahzab, ia dan para pendukungnya menebarkan
kegelisahan dan ketakutan di hati kaum mukminin. Hal itu tersurat dalam firman
Allah dalam Surat al-Ahzab (33). “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan
orang-orang yang hatinya berpenyakit berakta, “Yang dijanjikan Allah dan
Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.” Dan (ingatlah) ketika segolongan
di antara mereka berkata, “Wahai penduduk Yatsrib (Madinah)! Tidak ada tempat
bagimu, maka kembalilah kamu.” Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada
Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami
terbuka (tidak ada penjaga).” Padahal rumah0rumah itu tidak terbuka, mereka
hanyalah hendak lati. Dan kalai (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, dan
mereka diminta agar membuat kekacauan, niscaya mereka mengerjakannya, dan hanya
sebentar saja mereka menunggu. Dan sungguh, mereka sebelum itu telah berjanji
kepada Allah, tidak akan berbalik ke belakang (mundur). Dan perjanjian dengan
Allah akan diminta pertanggungjawabannya. Katakanlah (Muhammad), “Lari,
tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau
pembunuhan, dan jika demikian (kamu terhindar dari kematian) kamu hanya akan
mengecap kesenangan sebentar saja.” Katakanlah, “Siapa yang dapat melindungi
kamu dari (ketentuan) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau
menghendaki rahmat untuk dirimu?” Mereka itu tidak akan mendapatkan
perlindungan dan penolong selain Allah. Sungguh, Allah mengetahui orang-orang
yang menghalang-halangi di antara kamu dan orang yang berkata kepada
saudara-saudaranya. “Marilah bersama kami.” Tetapi mereka datang berperang
hanya sebentar, mereka kikir terhadapmu. Apabila datang ketakutan (bahaya),
kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik
seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah
hilang, mereka mencari kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka kikir untuk
beruat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapus amalnya, dan
yang demikian itu mudah bagi Allah. Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan
(yang bersekutu) itu belum pergi, dan jika golongan-golongan ( yang bersekutu)
itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama
orang Arab badui, sambil menanyakan berita tentang kamu. Dan sekiranya mereka
berada bersamamu, mereka tidak akan berperang, melainkan sebentar saja.” (QS
al-Ahzab (33) 12-20).
Semua musuh Islam dari kaum Yahudi, munafik, dan
musyrik mengetahui dengan baik bahwa sebab keunggulan Islam, bukanlah kelebihan
materi, banyaknya persenjataan, pasukan, dan logistik, melainkan nilai-nilai
dan akhlak yang luhur. Nilai-nilai luhur yang dinikmati
oleh masyakar Islam dan siapa saja yang mempunyai hubungan dengan ama ini,
mereka tahu bahwa sumber dari karunia tersebut adalah Rasulullah – yang
merupakan teladan tertinggi, pada tahap yang sangat menakjubkan – dari
nilai-nilai tersebut.
Mereka juga tahu setelah menabuh genderang
peperangan selama 5 tahun, bahwa menumpas agama ini dan para pemeluknya tidak
mungkin dengan mengangkat senjata. Akhirnya mereka memutuskan untuk meletuskan
peperangan, melalui propaganda luas melawan agama ini, dari sisi moralitas dan
tradisi. Mereka menjadikan kepribadian Rasul sebagai target
pertama untuk propaganda tersebut. ketika kaum munafik berada di barisan kelima
dalam pasukan muslimin dan karena mereka penduduk Madinah, mereka dapat
berkomunikasi dengan kaum muslimin dan memprovokasi perasaan merea setiap saat.
Keharusan melakukan propaganda ini diemban oleh kaum munafik, terutama Ibnu
Ubay.
Kapan Peperangan ini Terjadi?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal itu. Setidaknya mereka terbagi
menjadi tida pendapat. Ada yang berpendapat bahwa perang ini terjadi pada tahun
6 H. Mereka yang mengatakannya, di antaranya Ibnu Ishaq, pemuka para ahli Sirah
peperangan. Adapun yang mengikutinya, Khalifah bin Khiyath, Ibnu Jarir
ath-Thabary, Ibnu Hazm, Ibnu Abdulbar, Ibnu al-Araby. Ibnu al-Atsir, dan Ibnu
Khaldun. Setiap ulama tersebut menyatakan dengan jelas bahwa peperangan ini
terjadi pada bulan Sya’ban, tahun ke 6 H.
Ibnu Hazm mempunyai pendpat lain, yang disepakati oleh para ulama lain. Di
antaranya, Malik bin Anas, Musa bin Uqbah, al-Bukhari, Ibnu Qutaibah, ya’qub
bin Sufyan al-Fasawy, an-Nawawy, dan Ibnu Khaldun, bahwa peperangan ini terjadi
pada bulan Sya’ban, tahun ke 4 H.
Kelompok lain mengatakan bahwa peperangan ini terjadi pada bulan Sya’ban,
tahun ke-5 H. Mereka yang mengatakan itu, di antaranya, Musa bin Uqbah, Ibnu
Sa’ad, Ibnu Qutaibah, a;-Baladry, adz-Dzahab y, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Hajar
al-Asqalany, ibnu Katsir. Dan diantara para ulama era ini, ada al-Khudry Bek,
al-Ghazaly, al-Buthy, Abu Syuhbah, dan Syekh as-Sa’aty. Pendapat inilah yang
paling shahih dan valid. Allahu A’lam. Sebab, semua dalilnya jelas dan selaras
dalam menguatkan pendapat ini. Di antara dalilnya :
a. Riwayat Baihaqi, dari Urwah, dan Musa bin Uqbah, dari Ibnu Syihab
az-Zuhry, bahwa sanya ia berkata, “Kemudian beliau memerangi Bani Musthaliq dan
Bani Lihyan pada bulan Sya’ban tahun 5 H.
b. Ibnu Katsir berkata, “Musa bin Uqbah dari az-Zuhry, “Inilah peperangan
Rasulullahs aw dan beliau turut di sana. Perang Badar terjadi pada bulan
Ramadhan, tahun ke 2 H, kemudian Perang Uhud pada Syawal tahun ke-3 H. Lalu,
Perang Khandaq – yaitu Perang al-Ahzab dan bani Quraizhah – pada bulan Syawal
tahun ke-4 H. Dan Perang Bani Musthaliq dan Bani Lihyan pada Sya’ban tahun
ke-5H.
Kemudian Ibnu Katsir memaparkan pendpat Bukhari dan Musa bin Uqbah, bahwa
Perang Bani Musthaliq pada tahun 4H. Setelah itu ia berkata, “Demikianlah
riwayat Bukhari, dari riwayat peperangan dari Musa bin Uqbah, bahwa perang ini
terjadi pada tahun 4 H. Adapun yang diceritakan oleh Musa bin Uqbah, dari
az-Zuhry, dan Urwah, peperangan ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 5 H.
Ibnu Hajar al- Asqalany dalam Fath al-Bary,s etelah memaparkan pendapat
Bukhari, ia berkomentar, “Menurut Musa bin Uqbah, tahun 4 H. Ia berkata,
“Begitulah yang disebutkan oleh Bukhari, sepertinya penanya mendahului dia, dia
ingin menulis tahun 5, tetapi ia menulis tahun 4. Dalam al-Maghazy milik Musa
bin Uqbah, terdapat beberapa jalur, yang diriwayatkan oleh hakim, Abu Sa’id
an-Naisabury, Baihaqi dalam ad-Dala’il, dan yang lainnya, dinyatakan pada tahun
5.
Adapun redaksi dari riwayat Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab, “Kemudian
Rasulullah saw memerangi Bani Musthaliq dan bani Lihyan, pada bulan Sya’ban
tahun ke-5.” Hal ini dikuatkan oleh riwayat Bukhari dalam al-Jihad, “Dari Ibnu
Umar bahwa ia (hendak) pergi bersama Rasulullah memerangi Bani Musthaliq, pada
bulan Sya’ban tahun ke-4 H.” Namun, dia tidak diizinkan untuk berperang karena
ia baru diizinkan pada Perang Khandaq. Sebagaimana yang telah disebutkan. Dan
itu terjadi setelah bulan Sya’ban, baik itu kita katakan tahun 5 atau tahun 4.
Hakim dalam al-Iklil,” Pendapat Urwah dan lainnya bahwa perang inin terjadi
pada tahun 5, seperti pendapat Ibnu Ishaq.”
Menurut saya, hal ini dikuatkan dengan apa yang sudah jelas dalam hadits
al-Ifk bahwa Sa’ad bin Mu’adz bertengkar dengan Sa’ad bin Ubaidah, tentang para
penyebar berita bohong (jadits al-Ifk), yang akan dijelaskan nanti. Jika apa
yang terjadi pada al-Muraisi’ (Musthaliq), bulan Sya’ban tahun 6 H, sedangkan
hadits al-Ifk terjadi di tahun yang sama, apa yang diriwayatkan dalam
ash-Shahih, yang menyebtukan Sa’ad bin Mu’adz salah. Sebab Sa’ad bin Mu’adz
meninggal pada Perang Bani Quraizhah, pada tahun 5, berdasarkan riwayat yang
shahih, seperti yang sudah dijelaskan. Meskipun ada juga yang mengatakan
sebelum tahun 4.
Jadi jelas bahwa al-Muraisi’ terjadi pada bulan Sya’ban tahun 5 karena ia
terjadi sebelum Perang Khandaq. Sebab, Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal
tahun 5 juga. Jadi, Perang Khandaq setelah al-Muraisi’. Sa’ad bin Mu’adz ambil
bagian dalam al-Muraisi’ dan dia dihujam dengan panah pada Perang Bani
Quraizhah. Ini juga dikuatkan bahwa hadits al-Ifk terjadi pada tahun 5. Sebab,
riwayat yang ada, secara eksplisit menjeaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi
setelah turunnya perintah hijab. Perintah hijab sendiri turun pada Dzulqa’idah
tahun 4, menurut banyak ulama. Jadi, al-Muraisi’ terjadi setelah itu sehingga
pendapat yang kuat, perang ini terjadi pada tahun 5 H.
Kejadian-Kejadian dalam
peperangan ini
Nabi saw mendengar bahwa kepala suku Bani Musthaliq, al Harits bin Abi
Dhirar. Ia berkeliling di antara kaumnya dan siapa saja yang bisa ia temui dari
bangsa Arab untuk memerangi Rasulullah saw. Beliau saw, mengutus Buraidah bin
al-Hashib untuk menginvestigasi berita tersebut. buraidah pun datang kepada
mereka dan bertemu dengan al-Harits bin Abi Dhirar. Ia berbicara dengannya,
lalu kembali kepada Rasulullah untuk mengabarkan hasil pembicarannya.
Setelah jelas bahwa kabar tersebar benar adanya, beliau menyeru para
sahabat untuk menyiapkan peperangan. Segera beliau berangkat dan keberangkatannya
itu bertepatan pada dua malam berlalu dari bulan Sya’ban. Kali ini kaum munafik
juga turut dalam barisan pasukan. Pada peperangan sebelumnya mereka belum
pernah turut.
Beliau menunjuk Zaib bin Haritsah untuk mewakili beliau di Madinah. Dalam
riwayat lain, Abu Dzar, ada juga yang mengatakan Numailah bin Abdullah
al-Laitsy. Al-Harits bin Abi Dhirar sendiri telah mengirim mata-mata untuk
mencari berita tentang pasukan Islam.
Namun, kaum Muslimin dapat menangkapnya dan membunuhnya.
Ketika berita tentang keberangkatan Rasulullah dan dibunuhnya mata-mata
yang ia utus telah sampai pada al-harits bin Dhirar dan para pendukungnya,
mereka takut sekali. Para penduduknya terpecah. Adapun Rasulullah telah tiba di
al-Muraisi’, sebuah mata air yang berada di sebelah Qadid ke arah pantai.
Mereka bersiap untuk perang Rasulullah mengatur barisan sahabatnya. Panji kaum
Muhajirin dipegang oleh Abu Bakar. Panji Anshar dipegang ileh Sa’ad bin Ubadah.
Mereka saling menembakkan panah selama beberapa waktu. Kemudian Rasulullah memerintahkan
untuk menyerang satu lawan satu. Akhirnya pasukan kaum muslimin menang.
Kaum musyrikin kalah, terbunuhlah yang terbunuh. Dan Rasulullah saw menawan
kaum perempuan dan keturunan mereka. Juga binatang ternak dan kambing. Dari
kaum muslimin tidak ada yang terbunuh, kecuali satu. Seorang Anshar membunuhnya
karena ia mengira dia adalah musuh.
Dari Ibnu Aun berkata, “Aku menulis surat kepada Nafi’, lalu dia
membalasnya dan berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah menyrang suku Bani
Musthaliq saat mereka sedang lalai, sedangkan ternak-ternak mereka sedang minum
air. Lalu, beliau membunuh prajurit suku tersebut dan menawan anak keturunan
mereka. Pada saat itu beliau mendapatkan Juwairiyah (sebagai tawanan.”
Abdulalah bin Umar r.a. menceritakan kepadaku tentang riwayat ini, saat itu dia
termasuk dari pasukan tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Musaffi’ bin Shafwan, suami Juwairiyah bin al-Harits, satu dari sepuluh
orang yang menjadi korban pedang kaum muslimin. Sebagian besar mereka tertawan,
jumlah mereka 700 orang. Kaum muslimin merampas harta mereka, menawan kaum
wanita dan anak-anak mereka. Juga menggiring binatang ternak mereka. Allah
menolong Rasul-Nya dengan kemenangan yang besar.
Di antara mereka yang tertawan adalah Juwairiyah binti al-Harits, putri
kepala suku.
Syiar Kaum Muslimin pada Perang
Bani Musthaliq
Dari Sinan bin Wabrah berkata, “Kami bersama Rasulullah saw pada Perang
al-Muraisi’, Perang Bani Musthaliq, pada saat itu perang syiar (yel-yel)
mereka, “Wahai yang ditolong (oleh Allah), binasakan, binasakan (musuh)!>”
(HR Thabrani).
Ia memeluk Islam dan
Pernikahannya Berbuah Kebaikan bagi Kaumnya
Dari Aisyah Ummu al-Mu’minin berkata, “Ketika Rasulullah membagi tawanan
bani Musyhaliq, Juwairiyah ditetapkan menjadi milik Tsabit bin Qais asy-Syammas
atau sepupunya. Dan dia telah menetapkan dirinya untuk Tsabut. Juwairiyah
perempuan yang cantik jelita, tak seorang pun yang memandangnya, melainkan ia
akan tertarik padanya. Ia datang kepada Rasulullah meminta tolong atas
ketentuan itu. Aisyah berkata, “Demi Allah ketika aku melihat Juwairiyah di
pintu kamarku, aku membencinya (karena kecantikannya). Aku tabhu Rasulullah
akan berpendapat sama denganku. Ia masuk dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku
Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhirar, kepala suku. Aku mendapat cobaan yang
tidak ringan, lalu aku ditetapkan menjadi milik Tsabit bin Qais asy-Syammas
atau sepupunya. Maka aku tentukan diriku untuknya, lalu aku datang kepadamu
memohon pertolonganmu atas ketentuanku itu (dia tidak ingin menjadi milik Tsabit).”
Rasulullah berkata, “Apakah engkau mau dengan yang lebih baik dari itu? Aku
selesaikan masalahmu dan aku menikahimu.” Juwairiyah berkata, “Ya, wahai
Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Jadi aku sudah selesaikan.” Aisyah berkata,
“Berita tersebar kepada orang-orang bahwa rasulullah menikahi Juwairiyah binti
al-Harits. Orang-orang berkata, “Para besan Rasulullah. Kirim mereka dengan apa
yang ada di tangan mereka.” Aisyah berkata, “Dengan pernikahan Rasulullah dan
Juwairiyah, dibebaskan 100 orang keluarga Bani Musthaliq. Aku tidak melihat
perempuan yang lebih besar berkahnya kepada kaumnya, lebih dari Juwairiyah.”
(HR Ahmad dan Abu Dawud).
Allahu Akbar, duhai nikmat dan kebanggaan yang diperoleh ibunda akum
mukminin ini. Beberapa saat ia tertawan dan tiba-tiba memperoleh anugerah
Ilahi, yang menjadikannya seorang mukminah yangs ejaland engan hati dan raganya
di kafilah Iman. Bahkan, menjadikannya di garda depan, memipin alam seluruhnya
dengan iman kepada Rabb alam semesta .... Muhammad bin Abdullah.
Juwairiyah Memasuki Rumah Nabi
saw.
Setelah tinggal di istana ayahnya, Juwairiyah hidup di istana suaminya,
Musaffi’. Dan sekarang ia pindah ke ruamh suami yang termulia di dunia
seluruhnya, Muhammad bin Abdullah. Beliau yang tak memiliki sitana dan harta
yang fana, tetapi memiliki kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan izin Allah.
Kebahagiaan tersebut tersimpan dalam satu hal, yang tak lain adalah jika kita
merealisasikan penghambaan kita hanya kepada Allah SWT.
Juwairiyah akhirnya membina rumah tangga dengan cintanya, menjadi Ibunda
bagi kaum mukminin, dan istri seorang pemimpin generasi pertama dan terakhir.
Di hari-hari terindah dalam hidupnya, ia tinggal di rumah yang sederhana,
dan ia lupa pada kemewahan dan kekayaan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Dunia dan seisinya tidaklah sama dengan sesaat dari waktu yang ia lalui bersama di samping al-Habib saw.
Seorang muslim mana pun jika diminta untuk memilih, antara dunia dan seisinya
dengan memandang wajah al-habib saw, meskipun sekali, ia akan memilih kesempatan
berharga untuk melihatnya. Lalu, bagaimana dengan yang tinggal bersamanya,
menjadi pandangannya, menjadi bagian dari anggota keluarga, yang Allah nyatakan
dalam Al-Qur’an, “... Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS
al-Ahzab (33) : 33).
Upaya Kaum Munafik dalam
Meletupkan Fitnah di Antara Kaum Muslimin dalam Peperangan ini
Dari Jabir bin Abdullah, “Kami berada di tengah pasukan, seorang pria dari
kaum Muhajirin menedang seorang pria dari Anshar. Laki-laki Anshar itu berkata,
“Wahai kaum Anshar (tolong), Dan laki-laki Muhajirin juga berkata, “Wahai kaum
Muhajirin (tolong). Rasulullah mendengar itu dan berkata, “Ada apa, mengapa ada
sebutan-sebutan jahiliah?” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, lelaki dari kaum
Muhajirin menendang salah satu Anshar.” Rasulullah saw berkatam “Tinggalkan
sebutan-sebutan itu, karena itu keji.” Abdullah bin Ubay mendengar itu dan
berkata, “KaumMuhajirin melakukannya? Jika kita telah kembali ke Madinah,
benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya.” Dan
pernyataan ini sampai kepada Nabi saw. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan
saya memenggal kepala munafik ini (Abdullah bin Ubay).” Nabi saw berkata,
“Biarkan dia, jangan sampai orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh
sahabatnya.” Kaum Anshar pada awalnya lebih banyak daripada kaum Muhajirin
ketika mereka datang ke Madinah. Namun, kemudian jumlah kaum Muhajirin
meningkat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sungguh Allah Membenarkanmu,
Wahai Zaid
Dari Zaid bin Arqam, “Kami pergi bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan
pada saat banyak orang menderita kekurangan. Kemudian Abdullah bin Ubay berkata
kepada para pendukungnya, “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada
orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supayan mereka bubar
(meninggalkan Rasulullah).” Dia juga berkata, “Jika kita telah kembali ke
Madinmah, benar-benar orang-orang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah
darinya (Madinah).” Aku pergi menemui Nabi saw dan memberitahukan itu. Lalu,
Nabi saw mengutus seseorang untuk bertanya kepada Abdullah bin Ubay mengenai
hal itu. Namun, Abdullah bin Ubay bersumpah bahwa dia tiak mengatakan hal itu.
Orang-orang berkata, “Zaid membohongi Rasulullah saw. Apa yang mereka katakan
itu membuatku tertekan.” Kemudian Allah menurunkan firman-Nya dan membenarkan
perkataanku, “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad) .... (QS
al-Munafiqun (63) : 1). Rasulullah mengutus seseorang kepadaku dan membacakan
ayat itu. Beliau berkata, “Sungguh Allah membenarkan (perkataanmu). Wahai
Zaid.” (HR Bukhari dan Muslim).
Perkara Rasulullah Pasti Lebih
Berkah daripada Perkaraku
Dalam beberapa riwayat ketika Rasulullah saw masih berada di mata air itu
(milik Bani Musthaliq), datanglah sekelompok orang, bersama dengan Umar bin
Khaththab. Pada saat itu ada orang sewaannya dari Bani Ghaffar, yang bernama
Jajah bin Mas’ud menunggang kudanya. Lalu, terjadi keributan antara Jahjah dan
Sinan bin Wabr al-Juhny, sekutu Bin Auf al-Khazraj atas perairan itu. Mereka
berdua saling menyerang.
Al-Junny berteriak, “Wahai kaum Anshar.” Dan Jahjah juga berteriak, “Wahai
kaum Muhajirin.” Abdullah bin Ubay bin Salul bersamanya terdapat beberapa orang
dari kaumnya, di antara Zaid bin Arqam, seorang anak remaja. Abdullah berkata,
“Apa? Mereka melakukannya? Mereka telah datang kepada kita dan jujmlah mereka
menjadi lebih banyak daripada kita di negeri kita. Demi Allah, alangkah
miripnya hubungan antara kita dan orang-orang Quraisy itu, dengan perumpamaan
orang-orang dahulu. “Gemukkan anjingmu maka ia akan memangsamu.” Demi Allah,
jika kita pulang ke Madinah, orang-orang yang kuat akan mengeluarkan
orang-orang lemah darinya.”
Kemudian ia medekat kepada mereka yang sedang bersamanya pada saat itu dan
ia berkata kepada mereka, “Ini semua terjadi karena perbuatan kalian. Kalian
membolehkannya masuk ke negeri kalian. Kalian membagi untuk mereka harta
kalian. Demi Allah, kalau kalian tidak memberikan mereka apa yang kalian
miliki, pasti mereka akan beralih ke selain negeri kalian.” Zaid bin Arqam
mendengar hal itu, lalu ia menemui Rasulullah untuk memberi tahu hal itu. Saat
itu beliau telah menumpas musuhnya. Segera ia beri tahu Rasulullah, yang pada
saat itu ada Umar bin Khaththab bersamanya. Umar bin Khaththab berkata,
“Perintahkanlah Ubbad bin Basyar agar ia membunuhnya.” Rasulullah saw berkata,
“Wahai Umar, bagaimana jika orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh
sahabat-sahabatnya? Tidak, tetapi kita berkemas untuk pulang?” Rasulullah saw
berangkat pulang pada waktu yang tidak biasanya beliau pergi. Dan orang-orang
yang bersamanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Abdullah bin Ubay berjalan menuju Rasulullah saw ketika ia tahu bahwa Zaid
bin Arqam menyampaikan kepada beliau apa yang ia dengar darinya. Ia bersumpah
demi Allah dan berkata, “Aku tidak mengatakan apa yang Zaid katakan dan aku
tidak berbicara dengannya --- ia orang yang mulia dan agung di kaumnya.
Orang-orang Anshar yang sedang bersama Rasulullah saw berkata, :Wahai
Rasulullah, mungkin anak itu tidak terlalu mengerti apa yang dikatakannya dan
tidak menghafal apa yang dibicarakan Abdullah.” Mereka ingin bersimpati kepada
Abdullah dan membelanya.
Menurut Ibnu Ishaq, “Ketika Rasulullah saw tidak bersama para sahabatnya,
beliau berjalan dan bertemu Usaid bin Huhdair, ia memberi penghoramtan
kenanbian dan mengucapkan salam kepada beliau, lalu berkata, “Wahai Nabi Allah,
demi Allah engkau bepergian di waktu yang tak biasa, padahal engkau tidak
pernah bepergian di waktu-waktu seperti ini?” Lalu, Rasulullah saw berkata,
“Memangnya engkau tidak mendengar apa yang dikatakan sahabatmu?”
“Sahabat yang mana, wahai Rasulullah>” tanya Usaid.
“Abdullah bin Ubay,” kata Rasulullah.
“Apa yang dia katakan?” tanya Usaid.
“Ia mengatakan bahwa jika ia pulang ke Madinah, yang kuat akan mengusir
yang lemah darinya.” Kata Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, engkau dapat
mengusirnya dari Madinah jika Engkau meginginkan. Demi Allah, dia itu hina dan
engkau perkasa.” Kata Usaid.
Kemudian ia berkata, “Biarkan ia
(tak usah diambil hati), dem Allah, Engkau telahd atang kepada kami. Sungguh
kaumnya telah mengatur sebuah keputusan untuk menjadikannya pemimpin. Jadi, dia
menganggap Engkau telah merampas kekuasaannya.”
Lalu, Rasulullah berjalan bersama
para sahabatnya (melanjutkan perjalanan) pada hari itu hingga sore menjelang,
malam beranjak hingga pagi datang. Para
pagi harinya beliau masih melanjutkan perjalanan. Hingga panas matahari
menyengat, beliau singgah bersama semua orang. Tak menunggu lama mereka
merebahkan diri di atas tanah, mereka tertidur. Rasulullah melakukan itu agar
mereka tidak sibuk dengan pembicaraan kemarin, yaitu tentang Abdullah bin Ubay.
(dalam sebuah riwayat) hingga dikatakan, “Setelah hari itu jika terjadi
sesuatu, kaumnya mencelanya, menekannya, dan kasar terhadapnya (Zaid). Ketika
sampai kepada Rasulullah berita itu, beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu,
wahai Umar?” Demi Allah, jika aku membunuhnya pada waktu kau katakan “bunuhlah
dia” maka orang-orang akan bergetar (marah), dan jika kau memerintahkan mereka
untuk membunuhnya hari ini, mereka akan membunuhnya.”
Umar berkata, “Demi Allah, aku
tahu bahwa perkara Rasulullah saw. Lebih besar berkahknya darpada perkaraku.”
(HR Ibnu Hisyam, hadits mursal).
Sikap Agung dalam Loyalitas dan
Kebencian
Inilah
sikap agung dalam loyalitas dan kebencian (al-wala wa al-barra’) yang
didgarisbawahi dalam sejarah. Sikap seorang sahabat yang mulia. Abdullah bin
Abdullah bin Ubay bin Salul, anak pemimpin kaum munafik. Meskipun demikian, dia
seorang sahabat yang agung.
Abdullah
bin Abdullah bin Ubay bin Salul, berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendengar
engkau ingin membunuh ayahku. Jika engkau menginginkan hal itu, perintahkanlah
aku untuk membunuhnya. Sungguh aku takut, wahai Rasulullah, jika orang lain
yang membunuhnya, aku marah dan membalas dendam, dan me,bunuhnya sedangkan dia
seorang muslim, lalu aku masuk neraka. Semua orang Anshar tahu bahwa aku anak
yang paling berbakti kepada ayahnya di antara semua anak Anshar.” Kemudian
Rasulullah mengatakan kebaikan untuknya dan mendoakannya. Beliau berkata
kepadanya, “Berbuat baiklah kepada ayahmu, ia tidak akan melihat sesuatu,
melainkan kebaikan.” Ketika Rasulullah dan kaum muslimin sampai di Madinah,
dari peperangan itu, Abdullah bin Abdullah bin Ubay berkata kepada ayahnya di
jalan, “Demi Allah, janganlah ayah masuk ke Madinah, hingga Rasulullah
mengizinkanmu untuk masuk.” Rasulullah mengizinkannya untuk memasuki Madinah.
Ada
sikapnya yang lain kepada ayahnya --- meskipun hal ini bukan bagian dari
peperangan tersebut. dari Abu Hrairah r.a. berkata, “Rasulullah lewat di depan
Abdullah bin Ubay bin Salul, yang sedang berada di naungan sebuah bangunan.
Putra Salul itu berkata, “Anak Abu Kabsyah (Abu kabsyah adalah suami Halimah as-Sa’diyah,
Ibu susu rasulullah, penyebutan nama ini dengan maksud penghinaan) mengepuli
kami dengan debu.” Anaknya, Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul r.a.
berkata, “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang memuliakanmu, jika engkau
menghendaki aku akan memberikanmu kepalanya.” Rasulullah berkata, “Tidak,
beruat baiklah kepada ayahmu dan pergauilah ia dengan baik.” (HR al-Bazzar).
Catatan Penting
Dalam
kisah di atas, ada keterangan tentang kemuliaan Iman, orang kafir itu hina, dan
juga orang munafik. Bagaimana tidak, kemuliaan itu seluruhnya milik Allah. Dan
kemuliaan ini tdiak dapat dicari, kecuali dengan ketaatan kepada Allah SWT,
“Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya
milik Allah. Kepada-Nyalah akan naik perkataan yang baik, dan amal kebajikan
Dia akan mengangkatnya...” (QS Fathir (35) : 10). Tidak ada yang lebih hina
daripada Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik, pada saat anaknya berdiri di
hadapannya dan tidak mengizinkannya untuk masuk ke Madinah, hingga Rasulullah
saw mengizinkannya. Tampak jelas dalam hal ini, mana yang mulia dan yang hina.
Dalam
kisah tersebut juga dijelaskan bahwa disyariatkan untuk bertahan dengan bencana
kecil demi terhindarnya bencana yang lebih besar. Anggapan bahwa Muhammad
membunuh sahabatnya yang menampakkan keislaman merupakan bencana besar. Oleh
karena itu, Nabi saw bersabar menanggung kedengkain dan penghianatan Ibnu Ubay,
yang juga merupakan sebuah bencana demi menghindari berncana yang lebih besar.
Allahu A’lam.
Dalam
kisah ini juga ditunjukkan kemuliaan dan kesabaran Nabi saw atas celaan kaum
munafik. Beliau adalah Nabi yang paling mjulia dan pemimpin para rasul. Jika
beliau memerintahkan Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk membunuh ayahnya, ia
pasti akan melakukannya. Ia melakukan itu untuk mengharap ridha Allah SWT dan
ridha Rasul-Nya. namun, beliau berkata, “Beruat baiklah kepada ayahmu.” Bershalawatlah
keapdanya dan berilah salam.
Lalu,
beliau juga tidak pernah balas dendam untuk dirinya, tidak juga marah untuk
kepentingan dirinya, tetapi ia marah karena Allah SWT. Tak diragukan lagi bahwa
celaan dan hinaan yang menimpa Nabi saw serta kesabarannya dalam menanggung itu
semua adalah sarana ketinggian dan kemuliaan derajatnya. Allah makin memuliakan
dan menghormatinya, wa shalallahu ‘alaihi wa salimu taslima.
Allah Menjagamu dari (Kejahatan) Manusia
Dari
Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Kami mengambil bagian dalam Ghazwah najd
bersama Rasulullah saw. Ketika kami sampai di al-Qa’ilah, sebuah lembah dengan
banyak pohon berduri, ia duduk di bawah pohon dan berteduh di sana dan
menggantungkan pedangnya (di atanya). Orang-orang tersebar di antara
pohon-pohon untuk berteduh. Seemntara kami sedang begitu, Rasulullah saw
memanggil kami. Kami datang dan menemukan seorang badui duduk di depan beliau.
Nabi saw bersabda, “Orang ini datang kepadaku pada saat aku sedang tidur dan ia
mengambil pedangku diam-diam. Aku terbangun ketika ia berdiri di depan kepalaku
dan menghunuskan pedang. Ia berkata, “Siapa yang akan menyelamatkanmu dariku?”
Aku menjawab, “Allah. Ia menyarungkan pedang dan duduk dan di sini dia.” Jabir
barkata, “Namun, Rasulullah saw tidak menghukumnya.” (HR Bukhari).
Kisah
ini merpakan pembenaran atas firman Allah SWT, “.... Dan Allah memelihara
engkau dari (ganguan) manusia ....” (QS al-Maidah (5) : 67). Dalam Sirah Nabi
saw, hal itu telah banyak disebutkan. Di antaranya kisah Abu Jahal ketika ia
ingin menginjak Nabi saw, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Kisah Suraqah
dan apa yang terjadi pada perang Uhud. Kisah pengusiran Bani an-nadhir,d an
kisah daging kambing yang dibri racun yang akan dijelaskan dalam Perang
Khaibar.
Begitu
juga, kekuatan Iman Nabi saw keterikatan hatinya, dan kepercayaannya kepada
Rabb-nya. berapa banyak manusia, (melihat) janji Allah benar-benar terwujud.
Hanya saja pada saat sulit kepercayaan ini runtuh, keraguan dan ketakutan pun
merasukinya.
Di
dalam kisah ini juga tampak akhlak beliau yang luhur, maafnya kepada
orang-orang jahil, dan tidak mau menang sendiri, marah untuk dirinya. Oleh
karena itu, para da’i harus terdidik dalam sifat-sifat tersebut. sebab, beliau
saw adalah teladan dan contoh tertinggi bagi mereka. “Sungguh, telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat
Allah.” (QS al-Ahzab (33) : 21).
Angin Kencang berembus pada Kematian Pemimpin Kaum
Munafik
Dari
Ashim bin Umar bin Qatadah, Abdullah bin Abu Bakar, dan Muhammad bin Yahya bin
Hibban bahwa usai dari Perang bani Musthaliq, Rasulullahs aw bersama para
sahabatnya melalui jalan al-Hijaz, hingga ia tiba di mata air di al-Hijaz,
sedikit di atas an-Naqi’, yang dinamakan Naq’a. Ketika Rasulullah beristirahat,
angin berhemnbus sangat kencang, membuat mereka sakit dan takut. Kemudian
Rasulullah saw berkata, “Janganlah kalian takut, angin ini berhembus untuk
kematian sejumlah kaum kafir.” Ketika mereka sampai di Madinah, mereka
mendapatkan Rifa’ah bin Zaid bin at-Tabut, salah seorang dari Bani Qainuqa’,
yang juga pembesar kaum yahudi, pembela kaum munafik, mati pada hari itu.
Imam
Muslim, Abi bin Humaid, dan Ahmad menyambungkannya dari jalur lain, dari jabir,
tanpa menyebutkan bahwa angin itu berembus pada peperangan Bani Musthaliq.
Cukuplah bagi saya dengan mencantumkan riwayat Imam Muslim itu di sini.
Dari
jabir r.a. berkata, “Rasulullah saw kembali dari perjlanan. Ketika beliau
mencapai suatu tempat dekat Madinah, berembus angin yang sangat kencang, yang
hampir-hampir mengubur para pengendara. Kemudian Rasulullah saw bersabda,
“Angin ini berembus atas kematian seorang munafik. Saat ia tiba di Madinah,
ternyata salah satu pembesar kaum munafik telah mati.” (HR Muslim, Ahmad,
Baihaqi, dan Thabari).
Dengan
adanya riwayat ini, hadits ibnu Ishaq naik menjadi hasan li gharih.
Peristiwa al-Ifk (Berita Bohong)
Ujian
merupakan hukum tetap yang tidak akan pernah tergantikan dan tidak akan
berubah. Namun ujian yang dihadapi oleh ibunda kita, Aisyah r.a. merupakan
cobaan yang dapat menghancurkan batu karang, gunung-gunung, dan merobek sekian
banyak hati. Ia dituduh dalam hal yang paling berharga yang dimiliki seorang
perempuan, tuduhan yang menistakan harga dirinya. Sungguh suatu cobaan yang
amat berat. Hingga diri Aisyah r.a. dijatuhkan. Padahal, ia adalah bunga yang
bertakwa dan bersih, yang tumbuh di taman Islam, yang disiram dengan air wahyu.
Dan Rasulullah dijatuhkan harga dirinya, padahal beliau adalah berjuang menjaga
kehormatan umat dan kemuliaan kaum muslimin. Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi
tertuduh akan kredibilitas putrinya yang tercinta.
Hadits
al-Ifk, merupakan peristiwa yang sanat menyakitkan hati ibunda kaum Muslimin,
Aisyah r.a. Masa-masa sulit dilewatinya di rumah keluarga Nabi saw dan rumah
Abu Bakar yang jujur itu mencapai satu bulan. Hingga turun ayat yang
membebaskan wanita yang menjunjung tinggi harga dirinya, ash-shiddiqah binti
ash-Shiddiq. Pembebasan in i juga saksi yang berkah bagi Shafwan bin
al-Mu’aththal, yang juga dituduh oleh berita dusta. Ayat itu pula mencap
orang-orang munafik dengan menyebar kepalsuan dan dusta, yang akan terus
menempel hingga akhir hayat.
Jiwa-jiwa
kaum munafik belum tenang melihat kemenangan-kemenagan Islam dan makin
meluasnya daerah kekuasaannya dari hari ke hari. Mereka melihat bahwa posisi
mereka mula terancam dan lenyap hingga hancurnya komunitas mereka. Mereka ingin
– menurut anggapan mereka – mengarahkan serangan yang dahsyat kepada Nabi saw.
Kemudian mereka menuduh ibunda kita yang suci, ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq,
dengan kebohongan yang besar.
Telah
tumbuh kemunafikan dan kedengkian dala
hati Abdullah bin Ubay bin Salul pada hari pertama ia mendengar tentang
Islam. Ia terus berusaha menghancurkan Nabi saw dan Islam,. Upaya demi upaya ia
lakukan. Namun, hikmah Allah SWT milik Rasul saw dan mengawasi kaum munafik.
Hikmah Allah membelenggu dan menghina mereka.
Ash-Shiddiqah dan Ujian yang Dahsyat Itu
Dalam
hadits al-Ifk hampir saja menjadi fitnah buta. Kaum muslimin sangat tergucnang
dan juga entitas mereka. Tidak semua orang bersikap sama. Mereka berbeda
pendapat dalam memandang perisitiwa dusta dan zalim ini.
Sebagian mereka diam dan tak tahu apa yang harus mereka katakan. Mereka
begitu terperangah. Sebagian lagi terang-terangan menyatakan sikap bahwa yang
benar itu benar dan yang buruk itu buruk. Beberapa orang tidak dapat
terang-terangan menyatakan kebenaran, membersihkan nama baik kekasih Nabi saw
yang suci dan disucikan, Aisyah r.a. Allah menurunkan hukumannya kepada mereka
yang pengecut dan diam, tidak menolak kebohongan dan kekejian itu dari diri
seorang yang suci dan sempurna, perawan yang berada di wilayah kenabian. Selan
itu, Allah telah menyiapkan bagi kaum munafik, yang terang-terangan menyebarkan
kebohongan, Jahanam yang setiap kali tidak akan padam apinya makin
menyala-nyala.
Peristiwa
besar ini adalah perisitiwa penting dan ujian yang hebat bagi Rasulullahs aw
yang tak seorang pun tahu dampaknya terhadap beliau, kecuali Yang Mahaluas
ilmu-Nya dan Maha Mengetahui. Namun, Rasulullah adalah pemimpin kaum penyabar,
sabar seindah-indahnya kesabaran. Beliau mengatasi perkaranya dengan kepala
tenang. Keinginan beliau adalah menjaga masyarakat muslimin dari badai berbagai
fitnah, guncangan cobaan demi cobaan,d an jahatnya tiupu daya kaum munafik, yang
lahir dari kegagalan-kegagalan sikap jahiliah mereka.
Peristiwa
ini penting bagi ibunda kaum muslimin, pendamping bagi pemimpin semua makhjluk,
perempuan yang paling dicintai Rasulullah, orang tuanya dan Tuhannya, khususnya
kaum muslimin, yang tak tenang di peraduan mereka. Air mata berkumpul di
pelupuk mata mereka, terutama Aisyah r.a. Hingga akhirnya Allah memberi karunia
kepadanya dan mereka yang beriman. Allah menyingkap kesedihan, melapangkan
kesempitan, dan menurunkan wahyu-Nya dengan Al-Qur’an yang mulia kepada
Rasul-Nya yang mulia, Muhammad saw, yang tidak disangka-sangka oleh siapa pun.
Di mana mereka mengira bahwa Rasul akan mendapat mimpi yang membebaskan
perempuan yang paling suci di antara yang suci, dia yang paling memahami di
antara yang perempuan yang faqih (ahli dalam hukum Islam), ibunda kaum
muslimin, ash-shiddiqah binti ash-Shiddiq, semoga Allah meridhai keduanya.
Allah SWT ingin membuat pengkhususan untuknya untuk mengangkat perkara
Aisyah r.a. Allah menampakkan kemuliaan pribadinya dan sosialnya. Allah
menjelaskan posisinya dalam Ahlul Bait, kesuciannya, keutamaannya, dan
kemuliaannya, serta beratnya timbangan keutamaan dan sisi kemanusiaannya yang
mulia, juga kemuliaan imannya karena kedudukannya di hati Rasulullahs aw.
Pernyataan Pembebasan dari Tempat
di Atas Tujuh Langit
Mari kita menelaah kisah lengkapnya, kita akan melihat kedudukan ibunda
kita, Aisyah r.a. pernyataan pembebasannya dari fitnah turund ari suatu tempat
di aats tujuh langit.
Dari Aisyah r.a. berkata, “setiap kali Rasulullah saw hendak melakukan
perjalanan, beliau mengundi istri-istrinya (siapa yang berhak turut dalam
perjalanan itu). Dan siapa yang bagiannya keluar, ia eprgi bersama Rasulullah
saw. Aisyah berkata (dalam riwayat lain), “Beliau mengundi di antara kami di suatu pertempuran yang akan Beliau
lakukan dan bagiankulah yang keluar. Akhirnya aku pergi bersama Rasulullah saw,
setelah perintah untuk berhijab ditetapkan. Aku ditempat di sebuah
rumah-rumahan (di atas punggung unta) dan aku berada di situ sepanjang
perjalanan. Kami terus melakukan perjalanan, sampai ketika Rasulullah saw telah
menyelesaikan peperangannya dan melakukan perjalnanan untuk kembali. Ketika
kami mendekati Kota Madinah, ia mengumumkan pada malam hari bahwa sudah
waktunya untuk keberangkatan. Ketika mereka mengumumkan berita keberangkatan,
aku bangun dan pergi melewati pasukan. Setelah menyelesaikan urusanku, aku
kembali ke hewan tungganganku. Ternyata kalungku yang terbuat dari manik-manik
Zifar (yaitu manik-manik Yaman) telah lepas. Jadi, aku kembali untuk mencari
kalungku dan pencarian itu menahanku (untuk pergi). Sementara itu, orang-orang
yang biasa membawaku datang, mereka mengangkat bilik kecilku dan meletakkannya
di punggung untaku, yang baisa aku kendarai. Mereka menganggap bahwa aku berada
di dalamnya. Di masa itu kaum perempuan ringan-ringan dan daging tidak membuat
tubuh mereka berat. Sebab, mereka terbiasa makan hanya sedikit. Mereka yang
mengangkat bilik kecil itu tidak heran dengan ringannya barang itu. Pada waktu
itu aku masih seorang gadis mujda.”
Mereka mulai menggiring unta dan mereka semua berangkat. Sementara itu, aku
telah menemukan kalungku, setelah tentara pergi. Lalu aku datang ke tempat
mereka berkemah. Tidak ada yang memanggil dan tidak ada pula yang merespon
panggilan. Jadi, aku berniat untuk pergi ke tempat di mana aku biasa pakai
untuk tinggal. Aku mengira bahwa mereka akan mencariku dan akan menemukanku
kembali. Pada saat aku duduk di tempat peristirahatan, aku mengantuk dan
tertidur. Shafwan bin al-Muaththal as-Sulamy, berada di belakang pasukan. Ia
berjalan hingga mencapai tempat saya di pagi hari. Ia melihat bayangan hitam
seseorang yang sedang tidur. Ia mendatangiku dan mengetahuiku karena dia pernah
melihatku sebelum hijab di wajibkan. Aku terbangun ketika ia membacakan
Istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika ia mengenalku. Kututup
wajahku dengan jilbabku (cadar). Demi Allah, dia tidak mengajakku bicara
sepatah kata pun dan aku tidak mendengarnya mengucapkan sepaath kata pun selain
Istirja’-nya tadi. Dia turund ari untanya dan membuatnya berlutut, kemudian aku
mengandarainya.
Kemudian ia berangkat menrik unta yang membawaku sampai kami menyusul
pasukan, setelah mereka singgah beristirahat dari apnasnya siang. Kemudian
binasalah dia yang telah binasa dan orang yang menyebarkan fitnah itu adalah
Abdullah bin Ubay bin Salul. Setelah kami sampai di Madinah, saya sakit selama
satu bulan. Orang-orang banyak membicarakan perkataan yang disebarkan olejh
para penyebar fittnah. Sementara itu, aku tidak menyadari apa-apa dari semua
itu. Namun, aku merasa bahwa pada saat aku sedang sakit saat ini, aku tidak
melihat kelembutan yang biasa aku rasakan dari Beliau ketika aku sakit. (Namun
sekarang) jika Rasulullahs aw masuk ke kamarku, beliau mengucapkan salam dan
berkata, “Bagaimana keadaanmu?” Kemudian berlalu. Itu yang mebuatku heran,
tetapi aku tidak merasa ada keburukan (terjadi). Hingga ketika aku keluar
setelah kondisiku pulih.
Aku pergi dengan Ummu Misthah ke al-Manasi’, tempat kami membuang hajat.
Dan kami tidak pergi ke sana, kecuali pada malam hari. Hal itu sebelum kami
emmiliki jamban di dekat rumah. Dan kebiasaan kami dalam membuang hajat, sama
dengan kebiasaan orang Arab tempo dulu. Saat itu kami masih kerepotan jika
membuat jamban di dekat rumah kami.
Jadi, aku dan Ummu Misthah pergi (putri dari Abu Ruhm bin Abd Manaf. Ibunya
adalah putri dari Sakhr bin Amir, yang merupakan bibi Abu Bakar ash-Shiddiq dan
anaknya, Misthah bin Utsatsah), aku dan Ummu Misthah kembali ke rumahku,
setelah kami selesai membuang hajat. Ummu Misthah terkena bajunya dan berkata,
“Biarlah Misthah hancur.” Aku berkata, “Alangkah buruknya perkataanmu. Mengapa
engkau mencela pejuang badar?” Lalu, dia berkata, “Wahai yang tidak tahu
apa-apa, apa kau tidak mendengar apa yang dia katakan?” Aku berkata, “Apa yang
dia katakan?” Kemudian dia menceritakan kepadaku fitnah dari orang-orang yang
menyebarkannya. Penyakitku memburuk dan ketika aku sampai di rumahku,
Rasulullah saw datang kepadaku dan mengucapkan salam, beliau berkata.
“Bagaimana kondisimu?” Aku berkata, “Apakah engkau mengizinkaku untuk pergi ke
orang tuaku?” Aisyah berkata, “Ketika itu aku ingin memastikan berita itu
melalui mereka.” Rasulullah mengizinkanku.
Kesedihan yang Memorak-porandakan
Gunung-Gunung
Aisyah r.a. berkata, “Aku pergi ke orang tuaku dan bertanya kepada ibuku,
“Wahai Ibu, apa yang orang-orang bicarakan?” Dia berkata, “Wahai putriku,
jangan khawatir karena hampir tidak ada
seorang wanita menawan yang dicintai oleh suaminya dan ia memiliki madu
(istri-istri suaminya), melainkan mereka akan banyak mencari-cari
kesalahannya.” Aku berkata, “Subhanallah, apakah orang-orang benar-benar
membicarakan itu?” Aku terus menangis malam itu sampai pagi menjelang, aku
tidak bisa berhenti menangis atau tidur sampai pagi menjelang kembali.”
Lalu Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid r.a.
ketika wahyu belum turun untuk bertanya dan berkonsultasi dengan mereka, jika
menceraikanku. Usamah bin Zaid mengatakan apa yang ia ketahui tentang keluarga
Rasul (Aisyah) yang tidak bersalah dan cinta beliau kepada keluarganya. Usamah
berkata, “Wahai Rasulullah, keluargamu, kami tidak tahu apa-apa, kecuali
kebaikan saja.”
Adapun Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak
menempatkanmu dalam kesulitan dan ada banyak wanita lains elain dia. Jika
engkau bertanya kepada seorang budak wanita, ia akan memberitahumu kebenaran. Lalu,
Rasulullah saw memanggil Barirah (budak) dan berkata, “Wahai Barirah, apakah
engkau melihat sesuatu yang membuatmu curiga?” Barirah berkata kepadanya,
“Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran. Aku belum pernah melihat
sesuatu dalam dirinya (yaitu Aisyah) yang akan saya sembunyikan, kecuali bahwa
dia adalah seorang gadis muda yang tidur meninggalkan adonan keluarganya, lalu
datang seekor kambing dan memakannya.” Jadi, pada hari itu Rasulullahs aw
berdiri di atas mimbar dan mengeluh tentang Abdullah bin Ubay bin Salul.”
Demi Allah Akut Tidak Mengetahui
tentang Keluargaku, kecuali Kebaikan
Rasulullah berkata ketika beliau di atas mimbar, “Wahai kaum muslimin,
siapa yang akan membebaskanku dari pria yang telah menyakitiku, dengan
pernhyataan kejinya tentang keluargaku? Demi Allah, aku tidak tahu tentang
keluargaku, kecuali kebaikan. Mereka menyebtukan seseorang yang aku tidak
mengetahuinya, kecuali kebenaran. Dan tidak ada yang masuk ke rumahku, kecuali
bersamaku.”
Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku
akan membebaskanmu dari dia. Jika dia adalah dari al-Aus, aku akan memenggal
kepalanya, dan jika ia adalah daru saudara-saudara kita dari al-Khazraj,
kemudian engkau perintahkan kami dan kami melakukannya.”
Aisyah berkata, “Sa’ad bin Ubadah, kepada aAl-Khazraj. Sebelum kejadian ini
ia adalah orang yang shalioh, tetapi cintanya kepada sukunya membuatnya
terpancing dan berkata kepada Sa’ad (bin Mua’adz), Demi Allah, engkau telah
berbohong, kau tidak akan membunuhnya dan tak mampu membunuhnya.”
Lalu, Usaid bin Hudair – yang merupakan sepupu dari Sa’ad bin Mu’adz –
berdiri dan berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, “Demi Allah, engkau pembohong.
Kami pasti akan membunuhnya, dan Anda adalah seorang munafik berdebat atas nama
orang-orang munafik.”
Orang dari kedua sukual-Aus dan al-Khazraj bertengkar, hingga hampir saja
saling bunuh meskipun Rasulullah saw masih berdiri di mimbar. Rasulullah saw
terus menenangkan mereka sampai mereka diam dan bagitu juga beliau.
Aisyah berkata, “Sepanjang hari itu aku terus menangis. Air mataku tidak
pernah berhenti mengalir dan aku tidak bisa tidur. Di pagi hari, orang tuaku
berada di sisiku dan aku menangis selama dua malam dan satu hari dengan air
mataku tidak pernah berhenti dan tidak pernah bisa tidur. Mereka berdua mengira
bahwa hatiku akan meledak karena terus menangis, seorang wanita Anshar
memintaku untuk membiarkannya masuk. Aku pun membiarkannya masuk. Dan ketika
dia datang, dia duduk dan menangis bersamaku.
Kata-kata yang Membuat Hati
Menangis Darah, Bukan Air Mata
Pada saat kami seperti itu, Rasulullah saw datang. Beliau mengucapkan
salam, lalu duduk. Aisyah berkata, “Dia tidak pernah duduk dengan saya sejak
fitnah itu disebarkan. Sebulan telah berlalu dan tidak ada muncul wahyu apa pun
kepada beliau tentang kasusku. Rasulullah kemudian membacakan Tasyahud, lalu
berkata, “Amma Ba’du, wahai Aisyah, telah sampai kepadaku berita tentangmu
begini dan begini. Jika engkau tidak bersalah, Allah akan membebaskanmu dari
tuduhan itu. Jika engkau telah melakukan dosa, minta ampunlah kepada Allah dan
bertobatlah kepada-Nya. sebab, seorang hamba jika mengakui dosa-dosanya, lalu
bertobat kepada Allah, Allah akan menerima tobatnya.”
Kesabaran Itu Indah
Aisyah berkata, “Usai Rasulullah mengatakan itu, air mataku berhenti
mengalir. Aku tidak lagi merasakan setetes air mata pun mengalir. Aku berkata
kepada ayahku, “Balaslah apa yang dikatakan oleh Rasulullah.” Ayahku berkata,
Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.” Lalu,
aku berkata kepada ibuku, “Balaslah apa yang dikatakan oleh Rasulullah.” Dia
berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada
Rasulullah.” Aisyah berkata, “Aku adalah seorang gadis mdua dan memiliki
sedikit pengetahuan tentang Al-Qur’an, kukatakan, “Demi Allah, aku tahu bahwa
kalain telah mendengar perkataan (fitnah) tersebut sehingga telah tertanam di
hati kalian dan kalian mempercayainya. Jika ku katakan bahwa aku tidak bersalah
--- dan Allah Mahathu aku tidak bersalah – kalian tidak akan percaya kepadaku.
Dan jika aku mengaku kepada kalian tentang hal itu – dan Allah mengetahui bahwa
aku tidak bersalah – kalian pasti akan percaya kepadaku. Demi Allah, aku tidak
menemukan perumpamaan yang tepat bagi kalian, kecuali perkataan ayah Yusuf
(Ya’qub), .... Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada
Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS Yusuf
(12) : 18).”
Beginilah Pembebasan untuknya
Turun dari Suatu Tempat di Atas Tujuh Langit
Aku berpaling ke sisi lain dan berbaring di tempat tidurku. Ketika itu, aku
tahu bahwa aku tidak bersalah dan hanya Allah yang akan mengungkapkan bahwa aku
tidak bersalah. Namun, demi Allah, aku tidak pernah berpikir bahwa Allah akan
mengungkapkan tentang kasusku dengan menurunkan wahyu yang akan dibaca
(sepanjang kehiduan masih ada di bumi). Bagiku kasusku ini terlalu hina untuk
dibicarakan oleh Allah dalam bentuk ayat yang dibaca. Aku hanya berharap bahwa
Rasulullah melihat sesuatu dalam mimpinya di mana Allah akan membuktikan bahwa
aku tidak bersalah. Namun, demi Allah, sebelum Rasulullah saw meninggalkan
tempat duduknya dan belum satu pun dari ahlul bait keluar, wahyu tentangku
datang kepada Rasulullah. Wahyu itu terlihat berat, keringat bercucuran dari
tubuhnya seperti mutiara, padahal cuaca hari itu dingin, dan itu karena
pernyataan berat yang sedang diwahyukan kepadanya.
Ketika aitu proses turunnya wahyu s=tersebut sudah
berakhir, lalu beliau tertawa. Kata pertama yang dia katakan adalah, “Wahai
Aisyah, demi Allah. Dia telah menyatakan behwa engkau tidak bersalah.” Kemudian
ibuku berkata kepadaku, “bangunlah dan pergilah kepadanya (yaitu Rasulullah).”
Aku menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan pergi kepadanya dan aku tidak memuji
seorang pun, kecuali kepada Allah.” Kemudian Allah menurunkan
sepuluh ayat. “Sesungguhnya orang-orang membawa berita bohong itu adalah dari
glongan kamu I(juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan
itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa
yang diperbuatnya. Dan barang siapa di antara mereka yang mengambil bagian
terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula).
Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri
mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini
adalah (suatu berita), bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu)
tidak datang membawa empat saksi? Oleh
karena mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah
adalah orang-orang yang berdusta. Dan seandainya bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya kepadamu di dunia dan akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar,
disebabkan oleh pembacaan kamu tentang hal itu (berita bohong itu). (Ingatlah)
ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan
dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya
remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. Dan mengapa kamu tidak
berkata ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Maha
Suci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” Allah memperingatkan kamu agar
(jangan) kembali mengulangi seperti itu, selama-lamanya, jika kamu orang
beriman, dan Allah menjelaskan ayat-ayat (nya) kepada kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar
perbuatannya yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan kalau bukan
karena Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan ditimpa azab yang
besar). Sungguh, Allah Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS an-Nur (24) : 11 –
20).
Ketika Allah menurunkan ayat yang menyatakan aku tidak bersalah, Abu Bakar
ash-Shiddiq yang biasanya memberi uang untuk Misthah bin Utsatsah karena
kekerabatannya dan kemiskinannya berkata, “Demi Alalh, aku tidak akan
memberikan ke Misthah apa pun, setelah apa yang telah dikatakannya tentang
Aisyah.” Lalu, Allah menurunkan, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kerabat0Nya),
orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah
menamgpunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS an-Nur (24) : 22).
Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, " Tentu, demi Allah, aku ingin Allah mengampuniku.” Ia
pun kembali memberikan Misthah uang yang biasa ia bereikan sebelumnya. Dia juga
menambahkan, “Demi Allah, aku tidak akan pernah memutuskan (infakku) itu sama
sekali.”
Aisyah lebih lanjut berkata, "Rasulullah saw juga bertanya kepada Zainab binti jahsy
(istrinya) tentang kasusku. Beliau berkata kepada Zainab, “Apa yang kauketahui
dari apa yang kaulihat (dari Aisyah)>” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku
menjaga pendengaranku dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa, kecuali kebaikan (pada
diri Aisyah). Di antar istri-istri Nabi saw, Zainab berusaha untuk
menandingiku, tetapi Allah menyelamatkannya dan kejahatan itu karena
keshalihannya. Adiknya, Hammah, dialah yang berjuang untuknya (berusaha
menghancurkan Aisyah, merebut cinta Rasulullah) dan dia hancur bersama mereka,
para penyebar berita dusta.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Masa-Masa Ujian Itu
Ketika seseorang mencoba untuk mentadabburi ayat-ayat mulia yang
membebaskan Aisyah dari fitnah tersebut, hatinya akan mengembara ke masa-masa
yang dilalui oleh rumah keluarga Nabi saw, keluarga Abu Bakar, bagaimana sikap
Nabi ketika mendengar berita ini, serta bagaimana Rasulullah saw dan keluarga
Abu Bakar bersabar atas tekanan ujian hadits al-ifk ini.
Berita tentang Aisyah, wanita yang paling suci di antara wanita-wanita yang
jujur dan wanita yang paling jujur di antara yang suci, menyakiti Rasulullah
saw. Beliau mencintai Aisyah dan ayahnya, cinta yang tak bisa dibayangkan oleh
banyak orang. Beliau hanya mengetahui segala
yang baik tentang Aisyah. Namun, apa yang dalam pikiran mereka ketika
mereka mengatakan tentang dia seperti itu.
Rasulullah saw senantiasa bersabar di bawah tekanan bencana ujian yang
hebat ini. Kesabaran yang tak pernah terekam dalam sejarah bencana, ujian, dan
cobaan yang menimpa seseorang sebelum masa beliau atau sesudah masa beliau.
Hingga ketika pembebasan Aisyah atas fitnah itu turun, setelah 37 malam dari
awal munculnya ujian itu. Tuduhan dusta itu (al-Ifk) sampai kepada beliau
ketika beliau tibda di Madinah. Setelah kemenangan beliau atas Bani Musthaliq,
kaum munafik dan mereka yang sakit hati membicarakan berita bohong itu.
Dan apa yang kaupikirkan dengan kondisi keluarga Abu Bakar?
Kondisi mereka tak kurang sedihnya dari kesedihan Rasulullah saw. Ketika berita
dusta itu sampai kepada mereka dan apa yang dibicarakan oleh kaum munafik dan
pendukungnya, mereka jatuh dalam kubangan kesedihan cobaan yang sangat berat
ini. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan, apa yang harus mereka
perbuat. Berbagai macam pandangan menyoroti mereka dari segala arah, dan di
segala arah.
Pembaca harus membayangkan saat-saat menyaktikan itu, bahkan dari jam ke
jam, hari ke hari yang mereka lalui, mereka harus hidup di tengah pahitnya
cobaan tersebut. namun, mereka berserah diri pada ketentuan Yang Mahaperkasa
Maha Terpuji, yang milik-Nyalah langit dan bumi. Mereka menunggu ketetapan-Nya
untuk menyingkap kesedihan yang bebannya melingkupi dada mereka.
Aisyah, ibunda kaum mukminin, menceritakan kondisinya, dan kedua orang
tuanya, pada masa yang paling sulit dari ujian melelhkan unsur-unsru dinamika
psikis dan pemikiran. Aisyah berkata, ‘Demi Allah aku tidak mengetahui ada
musibah yang menimpa Ahlul Bait, seperti apa yang menimpa keluarga Abu bakar,
pada masa-masa itu.”
Sikap yang Luar Biasa
Imam Ibnul Qayyim bnerkata, “Mengapa Rasulullah saw tidak memutuskan
sesuatu dalam kasus Aisyah ini, bertanya tentangnya, dan berkonsultasi kepda
sahabat-sahabatnya. Sedangkan, beliau paling mengetahui Allah dan kedudukan
beliau di sisi-Nya serta segala sesuatu yang pantas untuknya. Mengapa beliau
tidak mengatakan, “Mahasuci Allah, ini adalah kebohongan yang besar,
sebagaimana yang dikatakan oleh sahabt-sahabat utama beliau.”
Jawabannya : kesempurnaan hikmah-hikmah luar biasa yang dibuat oleh Allah SWT dalam
kisah ini merupakan penyebab keberadaannya serta ujian dan cobaan bagi
Rasul-Nya saw dan seluruh umat hingga hari kiamat. Kisah ini mengangkat derajat
banyak kaum dan mencampakkan beberapa kaum yang lain. Allah makin banyak
memberi petunjuk dan iman kepada orang yang telah diberi petunjuk ke jalan yang
benar. Adapun kaum yang zalim, tidaklah ditambah untukinya apa pun melainkan
kerugian.
Ujian itu makin lengkap dengan terputusnya Rasulullah dari wahyu selama
satu bulan dalam kasus Aisyah tersebut. tidak ada satu wahyu pun turun demi menyempurnakan hikmahnya yang telah ditentukan
dan ditetapkan. Hikmah itu pun tampak dalam bentuknya yang paling sempurna. Kaum
mukminin yang benar-benar beriman, makin yakin dan teguh pada keadilan,
kejujuran dan berbaik sangka kepada Allah dan Rasul-Nya, anggota keluarganya,
serta orang-orang shiddiq (yang sangat kukuh keimanannya) dan hamba-hamba-Nya.
adapun orang-orang munafik makin menjadi-jadi
dusta dan kemunafikannya. Rahasia-rahasia mereka juga terungkap di depan
rasulullah saw dan kaum mukminin/
Dengan demikian, sempurnalah penghambaan (ubudiyah)
Aisyah as-Shiddiqah dan kedua orang tuanya. Begitu juga nikmat Allah bagi
mereka, makin kuat ketergantungan dan keingininannya, kedua orang tuanya untuk
makin mendekat kepada Allah, tunduk kepada-Nya, berprasangka baik kepada-Nya,
serta berharap kepada-Nya. selain itu juga, menghentikan untuk berharap keapda
makhluk, tak lagi meminta dukungan dan kebahagiaan dari tangan seorang makhluk.
Oleh karena itu, ia telah mencapai kedudukan itu ketika kedua orang tua Aisyah
berkata, “bangkitlah sambut beliau, Allah telah menurunkan keapdanya
pembebasanmu dari tuduhan itu.” Aisyah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan
bangkit menyambutnya dan aku tidak memuji, selain kepada Allah. Dialah yang
menurunkan pembebasanku.”
Di natara hikmah tput usnya wahyu selama sebulan, bahwa kasus
itu tersaring dan terdalami, hati-hati kaum mukminin mengharap kemuliaan dari
turunnya wahyu Allah kepada Rasul-Nya dalam kasus tersebut, hati mereka sangat
mengharapkan kedatangannya. Kemudian wahyu pun dipenuhi pada saat Rasulullah
sangat membutuhkannya, begitu juga anggota keluarganya, ash-Shdiddiq dan
keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kaum mukminin. Hujan turun membasahi bumi
di waktu kritis akan kebutuhannya. Kemudian wahyu ini turun dan mengena di hati
mereka dengan cara yang paling agung dan lembut. Mereka gembira sekali dan
mencapai puncak kebahagiaan. Jika saja Allah langsung memberi tahu Rasul-Nya
pada kebenaran kasus ini dari awal mucnulnya dan menurunkan wahyunya segera,
hikmah-=hikmah tersebut akan berlalu begitu saja dan begitu juga
kelipatan-kelipatannya. Allah SWT juga ingin menampakkan kedudukan rasul-Nya
dan anggota keluarganya di sisi-Nya serta kemuliaan mereka bagi Allah. Allah mengeluarkan
Rasul-Nya dari masalah ini dan Allah sendiri
yang menolongnya, membelanya, mengadvokasinya, menghardik musuh-musuhnya,
menghina mereka, mencerca mereka dengan sesuatu yang tak mungkin dilakukan oleh
Rasul-Nya, dan tak dinisbahkan kepada rasul, tetapi Allah sendiri yang menolong
serta membela Rasul-Nya dan anggota keluarganya.
Sepanjangg, Sabtu, 08 – 12 - 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar