SIRAH RASULULLAH
Perjalanan Hidup Manusia Mulia
Syekh Mahmud Al-Mishri
Bab: KISAH PERANG UHUD
Penerjemah : Kamaluddin Lc.,
Ahmad Suryana Lc., H. Imam Firdaus Lc., dan Nunuk Mas’ulah Lc.
Penerbit : Tiga Serangkai
Anggota IKAPI
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Al-Mishri, Syekh Mahmud
Sirah Rasulullah – Perjalanan
Hidup Manusia Mulia/Syekh Mahmud al-Mishri
Cetakan : I – Solo
Tinta Medina 2014
Amarah kaum musyrikin terbakar atas kekalahan yang
mereka dapatkan, juga terbunuhnya para pembesar Quraisy di Perang Badar. Mereka
merencanakan balas dendam dan merebut kembali kejayaan mereka. Sampai-sampai
ada seorang Quraisy yang melarang keluarganya menangisi para korban Badar.
Mereka jgua meralarang untuk tergesa-gesa membayar tebusan para tawanan agar
kaum muslimin tidak mengetahu seberapa dalam kesedihan mereka.
Pasca Perang Badar kaum Quraisy sepakat untuk
memerangi kaum muslimin dengan keuatan penuh. Untuk meredakan amarah mereka dan
untuk mengenyangkan amarah kedengkian mereka, mereka menyiapkan segala sesuatu
untuk mengeluarkan segala daya dan upaya demi peperangan ini.
Ikrimah bin Abi Jahal, Shafwan bin Unayyah, Abu
Sufyan bin Harb, dan Abdullah bin Ubay bin Abi Rabi’ah adalah para pemimpin
Quraisy yang paling giat dan semangat untuk menghadapi peperangan ini/
Mereka mengatakan kepada yang memiliki sahan di
kafilah itu, “Wahai kaum Quraisy, Muhammad telah membuat kalian gelisah dan
membunuh para pemimpin kalian, jadi bantulah kami dengan harta ini untuk
memeranginya. Mudah-mudahan kita bisa menang menghadapinya.” Mereka
menyetujuinya dan menjualnya, kafilah itu terdiri atas seribu unta dan barang
seharga 5.000 Dinar.
Abu Sufyan memerangi Rasulullah saw dari segala
arah. Quraisy berkumpul untuk memerangi Rasulullah saw. Ketika itu Abu Sufyan
bersepakat dengan para pemilik kafilah dagang dengan para penduduk kabilah yang
bersekutu dengan Bani Laits, kabilah-kabilah Kinanah, dan penduduk Tihama yang
taat kepada Quraisy. Seorang penyair, Abu Izzah Amru bin Abdullah al-Jumahy,
yang telah dibebaskan oleh Rasulullah, pada saat ia menjadi tawanan Perang
Badar. Abu Izzah seorang yang fakir, banyak anak dan sangat membutuhkan. Ia
berkata kepada Rasuluuah, “Wahai Rasulullah, aku seorang yang fakir, banyak
anak, dan sangat membutuhkan, engkau sudah tahu keadaanku, bebaskanlah aku.”
Kemudian Rasulullah pun melepasnya, tanpa tebusan.
Shafwan bin Umayyah berkata, kepadanya, “Wahai Abi
Izzah, engkau seorang penyair, tolonglah kami dengan lisanmu, pergilah
(berperang) bersama kami.” Abi Izzah berkata, “Sungguh Muhammad telah beruat
baik kepadaku, aku tidak ingin melawannya.” Shafwan berkata, “Tentu, maka
tolonglah kami dengan dirimu. Demi Allah, sekembalinya engkau dari perang
nanti, aku akan membuatmu kaya. Jika kau menjadi korban, aku akan membuat
anak-anak perempuanmu seperti anakku. Mereka akan merasakan kesenangan dan
kesusahan seperti anakmu juga.”
Kamudian Abu Izzah pergi menuju Tihamah dan menyeru
Bani Kinanah agar mereka mau memerangi Rasulullah saw.
Kaum Quraisy juga memilih syair lain, yang mendapat
tugas yang sama. Yaitu Musaffi bin Abd Manaf al-Jumahy. Ia pun pergi ke Bani
Malik bin Kinanah menyeru mereka untuk memerangi Rasulullah saw. Kaum Quraisy
pergi bersama dengan segala kekuatannya, keturunannya, persenjataannya,d an
sekutunya. Bani Kinanah, dan penduduk Tihamah. Mereka juga pergi dengan membawa
istri-istri mereka agar mereka tidak melarikan diri dan meninggalkan istrinya
di medan perang. Juga agar menguatkan mereka dalam peperangan.
Nabi
saw. Meminta Pendpat Sahabat-sahabtnya dan Mimpi yang Ia lihat
Rasulullah saw meminta pendapat dari para
sehabatnya, apakah mereka pergi menemui kaum Quraisy atau mereka ebrtahan di
Madinah. Rasulullah saw sendiri lebih cenderung untuk tidak keluar dari Madinah
dan bertahan di dalamnya. Jika Quraisy memasuki Kota Madinah, kaum muslimin
akan menyerang mereka dari mulut gang dan kaum wanita menyerang dari atap
rumah. Abdullah bin Ubay menyertujui pendapat ini. Namun, beberapa sahabat
utama yang turut dalam Perang Badar mengungkapkan bahwa mereka ingin menemui Quraisy
di luar Madinah dan mereka memohon kepada Rasulullah untuk itu.
Dari jabir bin Abdullah r.a. bahwa Rasuluuah saw
bersabda, “Aku bermimpi seakan-akan sedang memakai perisai dan aku melihat sapi
yang disemeblih. Lalu, aku tafsirkan bahwa perisai itu adalah Madinah dan sapi
itu, demi Allah, adalah kebaikan.” Jabir berkata, “Kemudian Rasulullah berkata
kepada para sahabat, “Kalau kita bertahan di Madinah jika mereka memasukinya,
kita serang mereka,” Lalu, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah,
kami tidak pernah diserang oleh mereka dari dalam Madinah pada saat jahiliah,
bagaimana mungkin mereka akan menyerang kami di dalam Madinah, pada masa
Islam?” Rasulullah berkata, “Jadi, terserah kalian,” jabir berkata, “Lalu,
Rasulullah memakai perisainya.”
Jabir berkata, “Seorang Anshar berkata, “Kami
menolak pendapat Rasulullah saw lalu mereka datang dan berkata, “Wahai Nabi
Allah, terserah Anda saja.” Lalu, beliau bersabda, “Tidak patutu bagi seorang
Nabi jika ia sudah memakai perisainya untuk meletakkannya kembali, sampai ia
pergi berperang.” (HR Ahmad).
Dalam riwayat lain, dari Abu Musa dan nabi saw
berkata, “Aku melihat dalam mimpiku, aku berhijrah dari Makkah ke suatu tempat
yang ditumbuhi pepohonan kurma, lalu aku menduga bahwa itu adalah negeri Yamamah
atau hajar (tempat hijrah yang lain), tetapi ternyata tempat itu adalah
Madinah, Kota Yatsrib. Dan aku meliaht dalam mimpiku ini bahwa aku
mengayun-ayunkan pedang lalu menjadi patah pada bagian pangkalnya yang ternyata
itu merupakan isyarat yang akan menimpa kaum Mukmin pada Perang Uhud. Lalu, aku
mengayun-ayunkan kembali pedang tersebut, lalu pedang itu kembali menjadi utuh
seperti sedia kala, itu berarti apa yang Allah akan datangkan kepada kemenangan
dan bersatunya kaum Mukmin. Dan aku meliha tpula dalam mimpiku itu, seekor
sapi, yang demi Allah sangat bagus bentuknya, itu berarti kaum Mukmin pada
Perang Uhud yang akan mendapat kebaikan seperti yang Allah datangkan dari
kebaikan nantinya, dan pahala sebagai janji yang benar yang telah Allah berikan
kepada kita nantinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pasukan
Musyrik Bergerak
Persiapan pasukan musyrik telah sempurna. Mereka
pergi dengan 3.000 pasukan, 3.000 unta, dan 2.000 kuda. Komando umum di bawah
kepemimpinan Abu Sufyan bin Harb. Sayap kanan dipimpin oleh Khalid bin al-Walid
dan sayap kiri dikomando oleh Ikrimah bin Abu Jahal. Adapun panji mereka
dipercayakan kepada Bani Abdudar. Pasukan Makkah bergerak menuju Madinah.
Abbas
Memberi Tahu Nabi saw. Bahwa Pasukan Musyrik Telah Bergerak
Abbas, paman Nabi saw, megnawasi gerakan Quraisy.
Ketika ia tahu bahwa mereka telah bergerak menuju Madinah, ia mengirim surat
kilat untuk memberi tahu Nabi saw, tentang hal itu. Ia memberikan surat itu
kepada seseorang dan memerintahkannya untuk bergerak cepat menemui Rasulullah
saw. Laki-laki itu menempuh jarak 500 km hanya dalam tiga hari. Ia mendapatkan
Nabi saw sedang berada di Masjid Quba. Ia sampaikan surat itu dan Ubay bin
Ka’ab membacakannya untuk Rasulullah saw. Laki-laki itu pun kembali kepada
Abbas lagi.
Kondisi
di Madinah
Nabi dan para sahabatnya dalam keadaan siap sedia,
hingga seseorang di antara mereka tak pernah lepas dari senjatanya. Sa’ad bin
Mu’adz, Usaid bin Khudhair, dan Sa;ad bin Ubadah r.a. bertugas menajga Nabi
saw. Mereka menginap di pintu rumahnya dengan bersenjata. Sementara itu,
penjagaan gerbang-gerbang Madinah senantiasa siaga penuh agar mereka tidak
dikejutkan oleh serangan musuh sewaktu-waktu.
Nabi
saw. Menemui Quraisy
Rasulullahs aw pergi bersama seribu sahabatnya dan
beliau menunjuk Ibnu Ummi maktum sebagai Imam Shalat bagi mereka yang tinggal
di Madinah. Nabi saw membagi pasukannya menjadi tiga bagian berikut :
1. Pasukan Muhajirin, yang penjinya dipercayakan
kepada Mush’ab bin Umair al-Abdary.
2. Pasukan al-Aus dan Anshar, yang panjinya
dipercayakan kepada usaid bin Khudair.
3. Pasukan al-Khazraj dari Anshar, yang panjinya
dipercayakan kepada al-Khubab bin al-Mundzir.
Rasulullah
Memakai Dua Perisai
Nabi saw mengajari kita untuk mengambil semua
sarana dalam melakukan segala sesuatu agar kita menggantungkan kepada Yang
membuat adanya sarana (sebab sesuatu), yaitu Allah SWT. Sebab, sarana saja
tidak memberi manfaat ataupun kerugian, kecuali dengan izin Allah. Dan
Rasulullah saw berperang dengan memakai dua perisai sekaligus pada Perang Uhud.
Dari as-Saib bin Yazid r.a. berkata, “Sungguh Nabi
saw pada Perang Uhud memakai dua perisai, seakan-akan beliau memakai satu di
atas yang lain.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dari as-Zubair bin al-Awwam r.a. berkata, “Aku
melihat Rasulullah saw ketika hendak berpijak pada batu karang, beliau memakai
dua lapis perisai sehingga beliau pun tidak bisa naik ke karang itu .....” (HR
Hakim).
Kita
Tidak Minta Bantuan kaum Musyrikin dalam Menghadapi kaum Musyrikin
Ketika Rasulullah saw melewati Tsaniyyah al-Wada’,
beliau melihat pasukan bersenjata bagus, berbeda dari hitamnya para pasukannya.
Lalu, beliaun bertanya tentang mereka dan beliau pun tahu bahwa mereka adalah
kaum yahudi – sekutu al-Khazraj – mereka ingin berkontribusi dalam peperangan
melawan kaum musyrikin itu, tetapi Nabi
saw enggan.
Dari Abu Hamid as-Sa’idy r.a. berkata, “Rasulullah
saw pergi menuju uhud. Ketika melewati Tsaniyyah al=Wada’, beliau melihat di
belakangnya pasukan dengan senjata berat. Beliau berkata, “Siapa mereka?”
Sahabtnya berkata, “Dia adalah Abdullah bin Ubay bin Salu di tengah para
pendukungnya, orang-orang yahudi dan bai Qainuqa’, mereka itu adalah keluarga
Abdullah bin Salam.” Nabi saw bertanya, “Apakah mereka telah memeluk Islam?”
“Mereka masih memeluk agama mereka.” Jawab
sahabatnya.
“Katakan kepada mereka agar pulang saja, sungguh
kami tidak akan minta bantuan dari orang musyrik dalam menghadapi kaum
musyrik.” (HR hakim).
Nabi
Mempersiapkan Pasukan
Nabi saw mempersiapkan pasukan dan menunjuk Mush’ab
bin Umair sebagai pemegang panji. Slah satu dari kedua sisi, dipimpin oleh
az-Zubari bin al-Awwam dan sisi lainnya dipimpin oleh al-Mundzir bin Amru.
Beliau menginspeksi para pemuda pada hari itu dan menolak mereka yang dianggap
kecil untuk bergabung. Di antara mereka yang ditolak itu adalah Abdullah bin
Umar, Usamah bin Zaid, Usaid bin Zhahir, a;-Barra’ bin Azib, Zaid bin Arqam,
Arabah bin Aus, dan Amru bin Hazm. Beliau mengizinkan pemuda-pemuda yang
dianggap pantas, seperti Samurah bin Jindab dan Rafi’ bin Khadji, yang pada
saat itu berumur 15 tahun. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw membolehkan siapa
saja yang sudah balig, yang berumur 15 tahun, dan mereka yang ditolak karena
dianggap masih jauh dari umur balig.
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Rasulullah
memeriksaku pada Perang Uhud, pada saat itu aku berumur 14 tahun sehingga
beliau tidak mengizinkanku. Pada Perang Khandaq, aku berumur 15 tahun, kemudian
beliau membolehkanku untuk ikut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kaum
Munafik Menarik dukungan dan Pulang
Ketika Nabi saw sampai di tempat antara Madinah dan
uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul – pemimpin kaum munafik – menarik dukungannya
dan pulang bersama sepertiga pasukan yang ada. Ia beralasan bahwa tidak akan
terjadi peperangan dan ia menolak keputusan Rasulullah saw untuk berperang di
luar Madinah melawan kaum musyrik. Ia berkata, “Dua anak menaatiku, kemudian
membangkang, kita tidak tahu untuk apa kita membunuh diri sendiri di sini,
wahai manusia (yang hadir).” Lalu, ia pulang, kaumnya yang munafik dan ragu
mengikutinya. Abdullah bin Amru bin Haram mengikuti mereka dan ebrkata, “ Wahai
kaumku, aku mengingatkan kalian kepada Allah, hendaklah kalian jangan
membiarkan kaum kalian dan Nabi kalian ketika musuh mereka darang.” Lalu.
Mereka berkata, “Jika kita tahu kalian akan berperang ketika kami serahkan
kalian, tetapi kami lihat tampaknya tidak akan terjadi peperangan.” Namun,
ketika mereka semua enggan dan memutuskan untuk pulang, ia berkata, “Allah
menjauhkan kalian (dari kebaikan) wahai musuh-musuh Allah, Allah membuat
Nabi-Nya tidak membutuhkan kalian.” (HR Ibnu Hisyam).
Mengapa
Kalian Terbagi Menjadi Dua Kelompk dalam Menghadapi kaum Munafik?
Dalam memerangi kaum munafik para sahabat terbagi
menjadi dua. Satu berkata, “Kami akan memerangi mereka.” Dan kelompok yang lain
berkata, “Kami tidak akan memerangi mereka.”
Dari Zaid bin Tsabit r.a. berkata, “Ketika Nabi saw
berangkat menuju Perang Uhdu, beberapa dari mereka yang telah pergi bersamanya
ingin pulang. Para sahabat Nabi saw terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok
berkata, “Kami akan melawan mereka (yaitu musuh).” Dan kelompok lainnya
berkata, “Kami tidak aakn melawan mereka.” Lalu, turunlah wahyu Allah, “Maka
mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang
munafik, padahal Allah telah mengambalikan mereka (kepada kekafiran),
disebabkan usaha mereka sendiri....?” (QS. an-Nisa’ (4) 88).
Tentang hal ini, Nabi saw bersabda, “Itu adalah
Taiba (Kota Madinah) yang membersihakn dosa-dosa seseorang sebagaimana api
mengusir kotoran perak.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika
Dua Golongan dari Kalian Ingin Mundur
Karena Takut, padahal Allah Penolong bagi Kedua Golongan Itu
Tidak diragukan lagi bahwa sebab penarikan dukungan
tersebut, bukan karena apa yang diungkapkan kaum munafik karena mereka menolak
keputusan Rasulullah saw. Jika demikian, apa artinya mereka berangkat bersama
Rasulullah saw hingga ke tempat itu. Jika memang itu sebabnya, hendaknya mereka
telah menarik dukungan dari awal keberangkatan. Namun, tujuan utama mereka dari
pembangkangan ini adalah untuk menimbulkan keraguan dan waswas pada pasukan
Muslim, terlihat dari terdengar oleh musuh mereka sehingga secara umum pasukana
akn membelot dari Nabi saw dan runtuhlah spirit perjuangan mereka yang masih
tinggal bersamanya. Sementara itu, musuh makin berambisi ketika melihat
pemandangan itu, jadi, hal itu memudahkan mereka untuk menumpas Nabi dan para
sahabatnya yang tulus. Pada akhirnya cuaca menjadi bagus untuk mengembalikan
tampuk kepemimpinan kepada si munafik itu dan para pendukungnya.
Si munafik itu dalam beberapa tujuannya cukup
berhasil. Dua golongan --- Bani Haritsah dari kabilah al-Aus dan Bani Salamah
dari al-Khazraj ingin mundur karena takut, tetapi Allah melindungi mereka.
Allah meneguhkan hati mereka bersama Rasulullah saw dan saudara-saudara mereka
yang seiman.
Dari Jabir bin Abdullah berkata, “Tentang kami-lah
ayat ini diturunkan, “Ketika dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena
takut.” Yaitu, Bani Salamah dan Bani Haritsah. Alangkah dicintainya kalau ia
tidak diturunkan (karena mengungkap ketakutan mereka), tetapi Allah mengatakan,
“Padahal Allah adalah penolong mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Allah berfirman, “Ketika dua golongan dari pihak
kamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong mereka. Karena
itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. Ali
‘Imran (3) 122).
Pasukan
Islam Meneruskan Perjalanannya
Setelah pemimpin munafik menarik mundur sepertiga
pasukan, Nabi saw meneruskan perjalanannya menuju musuh, dengan pasukan yang tersisa,
yaitu 700 pejuang. Perkemahan pasukan musyrik membentang antara pasukan Islam
dan Uhud, tersebar di banyak tempat. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Siapa
di antara kalian yang pergi bersama kami menuju kaum musyrik dari jalan di mana
kita tidak melewati mereka?”
Sebagian Anshar pergi bersamanya, hingga ia
berjalan melalui dinding milik sebagian kaum munafik, dia buta. Orang buta itu
melempari kaum Muslimin dengan pasir dan berkata, “Aku tidak membiolehkanmu
ingin segera membunuhnya. Lalu, Rasulullah berkata, “Jangan kau bunuh dia, dia
buta hati dan buta penglihatannya.”
Rasulullah terus berjalan hingga mencapai kaki
Gunung Uhud, di pinggir sebuah lembah. Ia menghadapkan punggungnya ke Uhud.
Beliau melarang pasukannya memulai peperangan, sampai ia perintahkan. Pada
Sabtu pagi, ia bersiap untuk perang dengan 700 pejuang dan 50 penunggang kuda.
Pesan
Nabi Untuk Para Pemanah
Nabi saw memilih sekelompok pemanah yang mahir.
Mereka ada 50 orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair. Beliau
memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan tempat mereka, apa pun kondisi
peperangan. Beliau juga berpesan kepada mereka untuk menghujani kaum musyrikin
dengan anak panah agar mereka tidak menyerang kaum Muslimin dari belakang
mereka.
Dari al-Barra’bin Azib berkata, “Kami menghadapi
orang-orang kafir pada hari itu (dari Perang Uhud) dan Nabi saw menempatkan
pasukan pemanah (di tempat khusus) dan menunjuk Abdullah (bin Jubair) sebagai
komandan mereka. Belikau saw berkata, “Jangan tinggalkan tempat ini jika kalian
melihat kami menaklukkan musuh. Jangan tinggalkan tempat ini. Dan jika kalian
melihat mereka menaklukkan kami, jangan datang membantu kami.” Ketika kami
menghadapi musuh, mereka melarikan diri, hingga aku melihat istri-istri merekan
berjalan tergesa-gesa. Mereka mengangkat pakaian mereka hingga tampak betis
mereka sehingga terlihat gelang kaki mereka. Kaum Muslimin mulai berkata,
“Barang rampasan, barang rampasan.” Abdullah bin Jubair berkata, “Nabi saw
telah mengambil janji dari saya agar kalian tidak meninggalkan tempat ini.”
Namun, mereka menolak (untuk tinggal). Ketika mereka menolak (untuk tinggal di
sana), mereka bingung ... (Ia pun melanjutkan hadits).
Dalam riwayat Abu Dawud dikisahkan bahwa Nabi saw
membentuk pasukan pemanah pada Perang Uhud. Mereka berjumlah 50 orang, yang
dikomandoi oleh Abdullah bin Jubair.
Nabi
saw bersabda : “Jika kalian melihat bahwa burung-burung menyambar kami, jangan
bergerak dari tempat ini, hingga aku mengutus seseorang kepada kalian (untuk
memberi tahu perintah selanjutnya). Jika kalian melihat bahwa kami mengalahkan
musuh dan kami menguasai mereka, jangan bergerak hingga aku utus seseorang
untuk kalian.” (HR Bukhari dan Abu Dawud).
Strategi
yang Bijak
Strategi yang diambil oleh Rasulullah sangat bijak
dan cermat. Dari situ terlihat kegeniusan Nabi saw dalam kepemimpinan
militernya. Tidak mungkin ada komandan mana pun yang memiliki kemampuan
memadai, yang dapat membuat strategi lebih cermat dan bijak dari strategi
beliau ini. Beliau menguasai tempat yang paling strategis di kancah peperangan
ini, padahal beliau sampai di tempat itu sesudah musuh. Ia melindungi punggung
dan sisi kanannya dengan ketinggian gunung. Sementara, sisi kiri dan
punggungnya – ketika perang berkecamuk – lasukan akan aman dengan membendung
satu-satunya parit yang berada di sisi pasukan Islam. Beliau juga memilih
tempat yang tinggi agar perkemahannya aman jika kaum Muslimin kalah sehingga
tidak perlu melarikan diri, lawan pun tidak mudah menangkap dan menjadikan
mereka tawanan. Bersamaan dengan itu pula, musuh dapat menderita kerugian jika
ingin menguasai barak mereka dan mendatangi tempat mereka. Mereka akan menerima
tempat rendah itu dan sulit bagi mereka untuk mendapatkan sesuatu (harta
rampasan) jika kemenangan menjadi milik mereka. Mereka juga sulit untuk
melarikan diri dari kaum Muslimin Jika mereka yang kalah. Beliau juga mengganti
kekurangan jumlah pasukannya dengan memilih sejumlah orang terbaik, dari para
sahabatnya yang pemberani.
Siapa
yang Mau Pedang Ini?
Dua kelompok itu saling mendekat dan Nabi saw
mengizinkan pasukannya untuk menyerang musuh. Tahap pertama peperangan ini
mengundang rasa heran. Tiga ribu pasukan musyrik seakan menghadapi tiga puluh
ribu pasukan Muslimin, bukan beberapa ratus. Kaum Muslimin unggul, mereka
berada dalam titik puncak keberanian dan keyakinan.
Spirit imanlah yang menguasai barisan para mujahid.
Mereka ebrgerak ke arah pasukan musyrik seperti air bah yang mematahkan
bendungan. Nabi saw meniupkan roh keberanian kepada pasukan Muslimin.
Dari Anas r.a. berkata, “Rasulullah saw memegang
pedangnya pada peristiwa Uhud dan berkata, “Siapa yang akan mengambil pedang
ini dengan haknya (dipakai sesuai dengan fungsinya)?” Semua orang mengulurkan
tangan mereka dan berkata, “Aku.” Rasulullah berkata, “Siapa yang akan
mengambilnya dengan haknya?” Kemudian orang-orang menarik tangan mereka. Simak
Abu Dujanah megnatakan, “Aku akan mengambilnya dan memenuhi hak-haknya.” Dia
mengambilnya dan memukul kepala orang-orang musyrik.” (HR Muslim dan Hakim).
Dari az-Zubair r.a. berkata, “Pada Perang Uhud
Rasulullah saw memamerkan sebuah pedang, beliau berkata, “Siapa yang akan
mengambil pedang ini dengan memenuhi haknya?” Aku berdiri dan berkata, “Aku,
wahai Rasulullah.” Namun, beliau menolakku. Lalu, beliau berkata, “Siapa yang
akan mengambil pedang ini dengan memenuhi haknya?” Berdirilah Abu Dujanah Simak
bin Kharasah dan berakta, “Aku mau mengambilnya dan memenuhi haknya, wahai
Rasulullah.” Rasulullah saw, “Engkau tidak boleh menggunakannya untuk membunuh
seorang Muslim dan mengasingkannya dari orang kafir.” Az-Zubair berkata, “Lalu,
beliau saw memberikan kepadanya. Sejak itu, jika Abu Dujanah pergi berperang ia
dapat diketahui dengan bandananya.” Az-Zubair berkata, “Aku akan melihat apa
yang dilakukannya hari ini.” Az-Zubair berkata, “Tidaklah ia mengangkat
pedangnya pada sesuatu, melainkan ia memotongnya dan menebasnya. Hingga ia
berjumpa dengan kaum wanita (yang mengiringi perang itu) membawa renama. Di
antara mereka ada seorang wanita yang berkata,
“Kami putri-putri bintang
Kami berjalan di atas permasani
Jika kalian pergi berjuang kami peluk kalian
Dan kami siapkan permadani
Tapi jika kalian meelarikan diri, kami berpaling darimu
Perpisahan tanpa kerinduan.”
Az-Zubair berkata, “Dia tampak sangat ingin
menebaskan pedangnya ke perempuan itu, tetapi ia mengurungkannya. Ketika perang
usai, aku berkata kepadanya, “Aku memperhatikan setiap gerak-gerikmu. Aku
melihatmu menghunuskan pedang ke arah wanita itu, tetapi kau tidak
membunuhnya.” Abu Dujanah berkata, “Demi Alalh, aku memuliakan pedang Rasulullah
saw bagaimana aku membunuh seorang wanita dengan pedang itu.” (HR Baihaqi dan
al-Bazzar).
Abu
Amir, si Fasik yang Mengobarkan Peperangan terhadap Kaum Muslimin
Angka nol mendekat (tanda dimulainya peperangan),
dua kelompok saling mendekat. Seorang penghianat bernama Abu Amir al-Fasiq.
Namanya adalah Abu Amir al-Rahib (pendeta), tetapi Nabi saw menggelarinya
dengan si Fasik. Ia pergi mengobarkan semangat memerangi kaum muslimin pada
Perang Uhud.
Dari riwayat Ibnu Ishaq, ia berkata, “Ashin bin
Qatadah bercerita kepadaku bahwa Abu Amir Abd Maru bin Shaify bin Malik bin
an-Nu’man, salah seorang dari Bani Dhabi’ah. Ia pergi ke Makkah bersama 50
budak dari kabilah al-Aus untuk menjauhi Rasulullah saw. Beberapa orang
berkata, “Mereka ada 15 orang. Ia menjanjikan Quraisy jika ia telah berhadapan
dengan kaumnya (pada perang) nanti, ada dua orang dari kaumnya yang tidak akan
berselisih dengannya. Ketika dua pasukan bertemu, kaumnyalah yang pertama kali
mendapati Abu Amir di barisan kaum Habasyah dan budak-budak penduduk Makkah.
Kemudian ia berseru, “Wahai kaum al-Aus, ini aku Abu Amir. Mereka berkata,
“Allah tidak akan memberimu nikmat apa pun, wahai fasik – Abu Amir pada masa
jahiliah diberi gelar ar-Rahib, tetapi Rasulullah menyebutnya al-Fasik. Ketika
ia mendengar perkataan mereka, ia berkata, “Kaumku mendapat kejelekan setelah
aku pergi.” Lalu, ia menyerang mereka dengan beringas dan melempari mereka
dengan batu.” (HR Ibnu Hisyam dan Thabari).
Upaya
Wanita-Wanita Quraisy dalam Mengobarkan Semangat
Ketika dua pasukan bertemu dan saling mendekat satu
sama lain, Hindun binti Utbah berdiri di antara
kaum wanita yang ada bersamanya. Mereka menabuh rebana di belakang
pasukan Quraisy, mereka menyemangati pasukan Quraisy, Hindun berkata,
Wahai Bani Abdudar
Wahai pelindung manusia
Bunuhlah semua penebas
Jika kalian melawan musuh, kami memelukmu
Kami siapkan permadani
Jika kalian melarikan diri
Kami memisahkan diri darimu
Perpisahan tanpa kerinduan
Inilah
az-Zubair bin al-Awwam
Dua kelompok saling menghadap, dua pasukan saling
mendekat, perang dimulai. Korban pertama perang ini adalah pemegang panji kaum
musyrik, Thalhah bin Abi Thalhah al-Abdary. Dia adalah penunggang kuda yang
paling berani dari pasukan Quraisy. Kaum Muslimin memberinya gelar Kabisy
al-Katibah (kambing jantannya pasukan). Ia pergi mengendarai untanya, menantang
unta satu lawan satu. Orang-orang menahannya. Ia tidak membiarkannya, bahkan ia
melompat ke arahnya seperti singa, hingga ia berada di unta Thalhah bersamanya.
Az-Zubair dapat menumbangkannya ke tanah, melemparnya, dan menggoroknya dengan
pedangnya.
Nabi saw melihat pertarungn dahsyat ini dan beliau
bertakbir, kaum Muslimin pun bertakbir bersamanya.
Peperangan
Makin Berkobar
Api peperangan makin berkobar dan pertempuran
antara dua kubu makin sengit di tiap lini. Pertempuran terdahsyat terjadi di
sekitar panji kaum musyrikin.
Pada saat pertempuran tersengit terjadi di banyak
titik, spirit keimanan menguasai barisan pasukan muslimin. Mereka menembus
barisan pasukan musyrikin, seperti air bah yang menerjang bendungan. Dan mereka
berkata, “Binasakanlah, binasakanlah ....” Kalimat itulah yang menjadi syair
mereka pada Perang Uhud.
Pada
Awalnya Kaum Muslimin Unggul
Setengah perjalanan dari pertempuran itu kaum
Muslimin unggul ata kaum kafir. Musuh Allah kocar-kacir, lari tunggang
langgang, hingga mereka mencapai istri-istri mereka.
Abu Dujanah yang memakai bendera merah mengambil
pedang Rasulullah saw. Ia bertekad untuk memenuhi hak pedang itu. Kemudian ia
menyerang terus-menerus bersama pasukan, tidaklah ia menemui sorang musyrik,
melainkan ia bunuh. Dia merobek barisan pasukan musyrikin.
Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. berkata, “Demi
Allah, Aku melihat gelang kaki Hindun bintu=i Utbah dan kawan-kawannya
melarikan diri tanpa berpikir untuk menawan mereka sedikit atau banyak. Ketika
itu para pemanah beralih menuju perkemahan (musuh) saat kami menang atas
Quraisy dan membiarkan kuda-kuda Quraisy menyerang kamid ari belakang.
Seseorang berteriak, “Bukankah Muhammad telah tewas?” Kami terpekur berhenti
menyerang. Kaum Quraisy pun demikian karena kami telah membunuh semua pemegang
panji mereka. Dan tak satu pun dari mereka mendekat.” (HR Baihaqi dan Thabari).
Dalam riwayat Ishaq bin Rahawaih terdapat tambahan,
dari az-Zubair berkata, “Demi Allah, aku melihat gelang kaki kaum perempuan.
Mereka melarikan diri ketika Quraisy kocar-kacir. Aku tidak berpikir untuk
menawan mereka sedikit pun.d an kami mengira bahwa kaum Quraisy telah banyak
yang tewas dan tidak akan kembali lagi kepada kami. Lagipula para pemegang
panji semuanya telah twas. Begitulah keadannya, hingga panji itu diambil oleh
budak mereka, orang habasyah yang disebut Shawwab. Namun, Shawwab pun tewas.
Dan panji mereka terlempar dan tak seorang pun mendekat untuk mengangkatnya.
Hingga Umrah binti Alqamah al-Haritsiyyah mengambil dan mengangkatnya. Kaum
Quraisy berhamburan mendeakt kembali. Az-Zubair berkata, “Demi Allah, kami
telah mengalahkan mereka, kami telah unggul atas mereka.”
Singa
di Medan Perang Menyerang dengan Dua Pedang
Hamzah, singa Allah berkeliling di medan perang,
merobek barisan kaum musyrikin dengan pedangnya. Bahkan, ia menyerang seperti
sekumpulan singa marah, megnhadang para pemegang panji dari Bani Abdudar,d an
satu per satu mereka meregang nyawa.
Dari Sa’ad bin Abi Maqqash r.a. berkata, “ Pada
saat Perang Uhud Hamzah menyerang di depan Rasulullah saw dengan dua pedang dan
berkata, “Aku singa Allah.” (HR Ibnu Sa’ad dan Hakim).
Nabi
Mengajari Sahabat-Sahabatnya di Medan Jihad
Dari Uqbah, budak Jabr bin Atikal al-Anshari r.a.
berkata, “Aku turut dalam Perang Uhud dengan tuanku. Aku menyerang seseorang
dari kaum musyrikin. Ketika aku berhasil membunuhnya, aku berkata, “Ambillah
ini dariku, akulah laki-laki dari Persia.” Kabar ini sampai kepada Rasulullah
saw beliau berkata, “Tidakkah dia mengatakan, “Ambillah ini aku adalah
laki-laki dari Anshar karena pelayan sebuah kaum, mereka adalah bagian dari
kaum itu.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Allah
Telah Menepati janji-Nya kepada Kalian
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Nabi saw tidak
pernah ditolong (oleh Allah) dalam sebuah peperangan seperti pada Perang Uhud.”
Orang yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas --- Ubaidillah bin Utbah – berkata,
“Kami mengingkari pernyataan itu.” Lalu, Ibnu Abbas berkata, “Antara aku dan
yang mengingkari hal itu, ada Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, sungguh Allah
berfirman tentang Perang Uhud, “Dan sungguh, Allah telahd memenuhi janj-Nya
kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu
lemah dan berselisih dalam urusan itu, dan mengabaikan perintah Rasul setelah
Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu suka. Di antara kamu ada orang yang
menghendaki dunia dan di antara kamu ada 9pula) yang menghendaki akhirat.
Kemudian Alalh memalingkan kamu dari mereka untuk mengujumi, tetapi Dia
benar-benar telah memaafkan kamu. Dan Alalh mempunyai karunia (yang diberikan)
kepada orang-orang mukmin.” (QS. Ali ‘Imran (3) : 152).
Mereka yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
para pemanah. Sebab, Nabi saw menempatkan mereka di suatu tempat, kemudian
beliau berkata, “Jagalah punggung kami jika kalian melihat kami terbunuh,
jangan coba-coba menolong kami. Jika kalian melihat kami menang, janganlah
kalian turun menikmati kemenangan bersama kami.” Ketika Rasulullah menang, dan
mereka masuk ke perkemahan kaum musyrikin, para pemanah semuanya berpencar,
mereka masuk ke perkemahan kaum musyrikin, dan menjarah harta rampasan. Barisan
pasukan Nabi saw bertemu, mereka begini --- Ibnu Abbas menautkan jemarinya --- mereka bingung.
Ketika para pemanah mengosongkan tempat mereka,d atanglah sekelompok pasukan
berkuda dari tempat para pemanah tadi berada. Mereka menyerang pasukan
Rasulullah dan pasukan Rasulullah makin kebingungan. Kaum muslimin banyak yang
tewas. Pada awal pertempuran, kemenangan menjadi milik Rasulullah saw dan para
sahabatnya, hingga mereka dapat menewaskan para pemegang panji tujuh atau
sembilan orang. Dan kaum muslimin mengelilingi gunung itu.” (HR Hakim).
Dari Buraidah r.a. mengatakan bahwa seseorang
berkata pada saat Perang Uhud, “Wahai Allah, jika Muhammad berada dalam
kebenaran maka benamkanlah aku.” Buraidah berkata, “Maka ia pun dibenamkan.”
(HR al-Bazzar).
Kesalahan
Para Pemanah yang Mengubah Jalannya Pertempuran
Pembaca telah mengetahui bagaimana Rasulullah saw
meenkankan kepada para pemanah agar tetap di tempat mereka untuk menjaga lini
belakang pasukan Muslimin. Beliau saw berpesan kepada mereka untuk tidak
beranjak dari tempat mereka kapan pun mereka melihat pasukan Muslim disambut
burung. Hanya saja cinta dunia membuat mereka tak mengindahkan pesan tersebut,
di saat mereka lengah. Ketika para pemanah melihat kekalahan telah melanda
pasukan Quraisy, istri-istri mereka menaiki gunung, kaum lelaki melarikan diri,
sementara harta yang ditinggalkan tiga ribu pasukan itu memenuhi lembah
tersebut. para pemanah pun turun dari tempat mereka menuju medan peperangan,
menginginkan bagian mereka dan harta rampasan tersebut.
Dari la-barra’ r.a. berkata, “Rasulullah menunjik
Abdullah bin Jubair untuk menjadi komandan bagi para pemanah yang ebrjumlah 50
orang.” Al-Barra’ berkata, “Dan Rasulullah menempatkan mereka di tempat khusus
dan beliau berkata, “Jika kalian melihat burung-burung menyambar kami, jangan
bergerak dari tempat ini, hingga aku mengutus seseorang kepada kalian (untuk
memberi tahu perintah selanjutnya). Jika kalian melihat bahwa kami mengalahkan
musuh dan kami menguasai mereka, jangan ebrgerak hingga aku utus seseorang
untuk kalian. Akhirnya, kaum Muslimin dapat mengalahkan musuh mereka.”
Al-Barra’ berkata, “Adapun aku, sungguh demi Allah,
aku melihat para wanita (musuh) berlarian sehingga tampak perhiasan gelang di
kaki-kaki mereka dan betis-betis mereka karena mereka mengangkat pakaisan
mereka.” Kemudian anak buah Abdullah bin Jubair berkata, “Itu Ghanimah (ramapasan
perang), wahai kaumku itu harta rampasan. Para sahabat kalian telah mengalahkan
mereka, jadi apa yang kalian tunggu?” lalu, Abdullah bin Jubair berkata, “Apa
kalian lupa pesan Rasulullah saw kepada kalian?” Mereka menjawab, “Sungguh kita
harus mendatangi mereka agar kita mendapatkan harta rampasan.” Ketika mereka
mendatangi pasukan yang di bawah, wajah-wajah mereka dipalingkan (dari tujaun
utama) hingga mereka menjadi ebrlarian kocar-kacir. Bergitulah peristiwa ketika
Rasulullah saw memanggil mereka dari belakang sehingga tidak ada yang tersisa
bersama Nabi saw, kecuali dua belas orang pasukan.d an pihak kami yang gugur
sebanyak 70 orang. Sedangkan, pada Perang badar, Nabi saw dan para sahabatnya
dapat menumpas 140 orang pasukan musyrik, yaitu 70 orang tawanan dan 70 orang
lagi terbunuh.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Khalid
bin al-Walid Memanfaatkan Kesempatan
Pasukan ebrkuda musyrikin dimpimpin oleh Khalid bin
al-Walid terkepung. Mereka tidak menemukan celah untuk menyerang jantung
pertahanan kaum Muslimin, hingga kekalahan menimpa mereka. Ketika Khalid
melihat lini belakang pasukan Muslim terbuka dan tak ada penjaga di sana, ia
memanfaatkan kesempatan itu segara. Ia memutar balik kudanya, dan menyerang
kaum Muslimin dari arah yang tidak mereka sangka. Pasukan Quraisy yang melarikan
diri melihat perubahan mendadak tersebut. mereka kembali ke medan perang hingga
seorang wanita yang bernama Umrah binti Alqamah al0Haritsiyyah, dialah yang
mengankat kembali panji kaum Quraisy yang terbenam di pasir, setelah
pemegangnya jatuh dan terbunuh. Kaum musyrikin kembali ke panji mereka dan
pasukan berkuda mereka. Para sahabat terkepung dari depan dan belakang, mereka
berada di ujung tanduk.
Tersebarnya
Kabar Kematina Rasulullah
Seseorang berteriak, yang mereka lihat dia adalah
setan, “Bukankah Muhammad telah terbunuh?” Orang-orang terkejut, sebagian
mereka mengendari yang lain. Mereka terbagi menjadi tiga, sepertiga terluka,
sepertiga terbunuh, dan sepertiga kocar-kacir.
Firman Allah SWT menunjukkan hal itu, “Dan Muhammad
hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika
dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa kembali
ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi
balasan kepada orang yang bersyukur.” (QS Ali ‘Imran (3) : 144).
Nabi
saw. Terluka
Dari Sahl bin as-Sa’idy r.a. berkata --- ketika
ditanya tentang cedera Rasulullah saw pada saat Perang Uhud ---, “Wajah
Rasulullah saw terluka, gigi depannya rusak dan tengkorak kepalanya retak.
Fatimah, putri Rasulullah saw mencuci darah ari) kepalanya, dan Ali bin Abi
Thalib menuangkan air di atasnya dari perisai. Ketika Fatimah melihat bahwa air
itu makin membuat pendarahan beliau banyak, dia
mengambil sepotong tikar dan dibakar sampai menjadi abu. Lalu, ia
menaruh abu tersebut pada luka beliau dan pendarahan pun berhanti.” (HR Bukhari
dan Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah
menunjuk ke gigi taring yang patah dan bersabda, “Allah murka pada apa yang
dilakukan oleh kaum kepada Nabi-Nya, Allah murka atas seseorang yang dibunuh
oleh Rasulullah di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Anas r.a. berkata, “Sungguh gigi depan
Rasulullah saw rusak karena Perang uhud dan kepalanya terluka. Dia menyeka
darah (dari wajahnya) dan berkata, Bagaimana orang-orang akan mencapai
keselamtan, mereka telah melukai Nabi mereka dan giginya parah, padahal ia
menyeru mereka kepada Allah? Pada saat itu Allah menurunkan ayat ini, “Itu
bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya
karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim.” (QS Ali ‘Imran (3) : 128). (HR
Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Sepertinya
aku melihat Nabi saw sedang bercerita tentang seorang Nabi di antara para Nabi
yang dipikuli oleh kaumnya hingga berdarah-darah, sambil mengusap darah yang
mengalir dari wajah beliau, lalu bersabda, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena
mereka orang-orang yang belum mengerti.” (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi terus memanggil kaum Muslimin untukd atang kepadanya.
Akhirnya, dengan bantuan beberapa orang yang masih bersamanya, beliau dapat
mendaki puncak gunung dan berdatanganlah orang-orang yang berlindung di balik
karang pada saat mereka melarikan diri.
Nabi saw gembira ketika beliua mendapatkan beberapa
orang yang tersisa itu melindungi mereka. Mereka kembali sadar ketika
mendapatkan Rasulullah masih hidup karena mereka mengira beliau telah meninggal
dunia.
Mereka
yang Teguh Bersama Nabi saw.
Hanya sedikit dari para sahabatnya yang amsih teguh
bersamanya, di antara mereka ada Sa’ad bin Abi Waqqah, Thalhah bin Ubaidillah,
Abu Dujanah, dan Abu Thalhah al-Anshari r.a.
Ketika kaum musyrikin mendengar suara Nabvin saw
memanggil para sahabatnya, “Ayo kemari, aku Rasulullah,” mereka menyerangnya
dan ingin membunuhnya. Kemudian sembilan orang dari para sahabatnya bangikit
melindunginya, dengan penuh cinta, pengorbanan, dan kepahlawanan yang tak
pernah ada bandingannya dalam sejarah.
Tujuh
Orang Anshar Berkorban Melindungi Nabi saw.
Dari Anas bin Malik r.a. mengatakan bahwa )ketika
musuh berada di atas angin) pada Perang Uhud, Rasulullah saw ditinggalkan
dengan hanya tujuh orang dari Anshar dan dua orang dari Quraisy. Ketika musuh
maju ke arahnya, ia berkata, “Siapa yang dapat melawan mereka baginya surga
atau dia temanku di surga.” Seoarng pria dari Anshar maju dan berjuang melawan
musuh sampai ia terbunuh. Keadaan ini berlanjut sampai tujuh Anshar tewas (satu
demi satu). Sekarang Rasulullah saw berkata kepada dua sahabtnya, “Kami tidak
melakukan keadilan untuk sahabat kami.” (HR Muslim).
Orang yang terakhir dari tujuh orang tersebut,
yaitu Imarah bin Yazid bin as-Sakan, ia berjuang hingga terluka dan jatuh.”
Setelah Imarah bin Yazid terbunuh, tidak ada lagi orang bersama nabi saw,
selain Thalhah dan Sa’ad r.a.
Sa’ad
bin Abi Waqqash Melindungi Nabi saw pada Perang Uhud
Sa’ad r.a. menembakkan anak panahnya untuk
melindungi Rasulullah saw. Sa’ad berkata, “Aku melihat Rasulullah saw memberiku
anak panah dan beliau berkata, “Tembakanlah anak panah ini, demi ayah dan ibuku
sebagai tebusannya.” Sampai-sampai beliau memberikanku anak panah yang tidak
memiliki mata dan berkata, “Tembakkanlah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Ali r.a. berkata, “Aku tidak pernah mendengar
Rasulullah saw bersumpah dengan orang tuanya di depan seseorang, kecuali kepada
Sa’ad bin malik. Aku mendengarnya berkata pada Perang Uhud, “Wahai Sa’ad
tembakkanlah panah ini, demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya.” (HR Bukhari,
Muslim dan Turmudzi).
Dari Sa’ad r.a. berkata, “Seorang laki-laki musrik
telah membakar (yaitu menyerang keras) kaum Muslimin. Kemudian Rasulullah saw
berkata keapdanya, “Tembaklah panah ini, demi ayah dan ibuku sebagai
tebusannya.” Aku menarik anak panah yang tidak memiliki mata dan anak panah itu
mengenai keningnya, beliau pun jatuh dan auratnya terbuka. Rasulullah saw
tertawa hingga aku melihat gigi depannya.” (HR Muslim).
Dari Abu Utsman an-Bahdy berkata, “Tidak ada yang
tetap bersama Nabi saw pada beberapa hari saat Rasulullah saw berperang pada
peristiwa Uhud, kecuali Thalhah dan Sa’ad. Riwayat ini diperoleh dari
keduanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Thalhah
r.a. Mendapat Surga pada Perang Uhud
Dari Jabir r.a. berkata, “Ketika semua orang (kaum
Muslimin) melarikan diri pada Perang Uhud, Rasulullah di satu sudut bersama 12
orang, di antaranya Thalhah. Akhirnya kaum musyrikin mengetahui tempat
Rasulullah, lalu beliau saw berkata, “Siapa yang akan menghadapi mereka.?”
“Aku.” Kata Thalhah.
“Kau tetap di situ,” kata Rasulullah.
“Aku.” Kata seorang dari mereka.
“Ya, kamu,” kata Rasulullah.
Dia pun berjuang sampain ia terbunuh. Lalu,
Rasulullah menoleh dan berkata, “Siapa yang akan menghadapi mereka?”
“Aku,” Kata Thalhah.
“Kau tetap di situ,” kata Rasulullah.
“Aku,” kata salah seorang dari Anshar.
“Ya, kamu,” kata Rasulullah.
Dia pun berjuang sampai ia terbunuh. Begitu
seterusnya hingga Thalhah yang tersisa bersama Rasulullah. Beliau berkata,
“Siapa yang akan menghadapi mereka?”
“Aku,” kata Thalhah.
Thalhah menyerang seperti sebelas orang, hingga
jemarinya terputus, dan dia berkata, “Rasakan!”
Lalu, Rasulullah berkata, “Jika kau mengucap
“Bismillah,” malaikat akan megnangkatmu, dan manusia akan melihatmu.” Dan Allah
pun membalas kaum musyrikin. (HR Hakim).
Dalam riwayat Thabrani, “Jika kau mengatakan
‘Bismillah’ maka malaikat akan terbang bersamamu, dan manusia akan melihat
kepadamu.”
Adapun dalam riwayat Nasa’i dan Baihaqi dalam
ad-Dala’il, “Hingga engkau dapat menembus ke dalam langit.”
Dalam riwayat Ahmad, “Nabi saw berkata kepadanya,
“Jika kau mengatakan ‘Bismillah’ maka akan dibangunkan untukmu rumah di surga,
sedangkan engkau masih hidup di dunia.” (HR Ahmad).
Dari Qais bin Hazim berkata, “Aku melihat tangan
Thalhah lunmpuh, dengannya ia telah melindungi Nabi saw pada Perang Uhud.” (HR
Bukhari).
Suatu hari Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa
yang senang melihat seorang syahid berjalan di atas muka bumi, hendaknya ia
melihat Thalhah bin Ubaidillah.” (HR Hakim dan Turmudzi)/.
Abu Dawud ath-Thayalisy meriwayatkan dari Aisyah
r,.a berkata, “Abu bakar jika sedang membicarakan tentang Perang Uhud, ia
berkata, “Hari itu semuanya milik Thalhah.”
Dari Aisyah dan Ummu Ishaq, dua putri Thalhah,
keduanya berkata, “Ayah kami terluka pada eprang Uhud, ada 24 luka. Di
antaranya di kepalanya terdapat sayatan berbentuk segi empat, uratnya terputus,
jemarinya lumpuh, sebagian besar tubuhnya yang terluka mati rasa. Sementara
itu, tengkorak Rasulullah pecah dan ada sayatan di wajah beliau. Belkiau juga
pingsan sehingga Thalhah menggendongnya dan membawanya kembali ke belakang.
Setiap kali ia bertemu dengan kaum musyrikin, dibunuhnya orang itu, hingga ia
mencapai jalan di lembah dan ia sandarkan rasulullah di sana.” (HR
adz-Dzahabi).
Hingga Rasulullah berkata tentangnya, “(Surga)
wajib untuk Thalhah ketika ia melakukan apa yang dilakukannya pada diri
rasulullah saw.” (HR Ahmad, Tumudzi, Ibnu Hibban dan Hakim).
Dari Musa dan Isa, dua putra Thalhah, dari ayah
mereka bahwa Rasulullah saw berkata kepada seorang Badui yang datang kepada
beliau, menanyakan siapa yang telah memenuhi sumpahnya. Mereka tdiak terbiasa
mengajukan pertanyaan karena menghormati Nabi saw dan segan kepadanya. Thalhah
berkata, “badui itu bertanya, tetapi Nabi saw berpaling darinya. Lalu, ia
bertanya lagi, tetapi beliau berpaling darinya. Lalu, aku muncul dari pintu
masjid,d an aku mengenekana pakaian hijau, dan Nabi saw melihatku, lalu beliau
berkata, “Di mana orang yang bertanya tentang orang yang memenuhi sumpahnya?”
Orang Badui itu berkata, “Aku, wahai Rasulullah.” Rasulullah saw berkata, “Ini
adalah salah satu yang telah memenuhi sumpahnya.” (HR Abu Ya’la dan Turmudzi).
Abu
Thalhah Melindungi Nabi saw.
Abu Thalhah r.a. di antara sahabat yang berjuang di
Perang Uhud dan sukses melalui ujian di sana. Adapun pada Perang Uhud, dia juga
salah satu dari pahlawan yang teguh bersama nabi saw.
Dari Anas bin Malik berkata, “Pada Perang Uhud
pasukan meninggalkan Nabi saw, tetapi Abu Thalhah berdiri di depannya menutupi
dia dengan perisai. Abu Thalhah adalah seorang pemanah yang andal. Ia
mematahkan dua atau tiga busur pada hari itu. Ketika seorang pria lewat dengan
membawa beberapa anak panah, Rasulullah berkata, “Berikan panah itu untuk Abu
Thalhah.” Setiap-kali Nabi saw mengangkat kepalanya untuk melihat orang-orang,
Abu Thalhah akan ebrkata, “Wahai Nabi Allah, Demi ayahku sebagai tebusanmu,
jangan angkat kepalamu, supaya engkau tidak disambar oleh panah musuh,
(biarlah) dadaku (yang kena) sebelum dadamu.”
Anas berkata, “Aku melihat Aisyah binti Abu Bakar
dan Ummu Sulaim. Kedua pakaian mereka tersingkap, jadi saya bisa melihat gelang
di kaki mereka. Mereka membawa air di punggung dan menuangkannya ke mulut
orang-orang yang terluka. Kemudian mereka kembali (ke sumur) dan mengisinya
kembali dengan air, dan kembali untuk memberi minum para tentara. Pada hari
itu, pedang Abu Thalhah jatuh dari tangannya dua atau tiga kali karena
mengantuk.” (HR Bukhari).
Dari Anas bin Malik r.a. berkata, “Abu Thalhah
pernah ebrtameng bersama Nabi saw dalam satu perisai. Abu Thalhah adalah
seorang yang ahli memanah. Apabila dia memanah, ia memperhatikan Nabi saw dan
melihat ke tempat sasaran anak panah itu.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Dari Anas r.a. bahwa pada Perang Uhud Abu Thalhah
menembakkan panahnya di depan Rasulullah saw. Abu Thalhah ahli dalam memanah.
Jika Abu Thalhah menembakkan panahnya,. Rasulullah mengangkat wajahnya untuk
melihat sasaran anak panahnya. Abu Thalhah mendorong dada Rasulullah saw dengan
tangannya,d an ebrkata, “Begini wahai Rasulullah agar engkau tidak kena panah
(musuh).” (HR Ahmad).
Inilah
Ali bin Abi Thalib
Dari Ali Karramallahu wajhah, ia berkata, “Ketika
semua orang berlari dari Rasulullah saw pada Perang Uhud, aku melihat para
korban yang tewas, tetapi aku tidak mendapati beliau di antara mereka. Kemudian
aku berkata, “Demi Allah, tidak mungkin Rasulullah melarikan diri dan aku tidak
melihat beliau di antara mereka yang tewas. Namun, aku melihat bahwa Allah
telah murka kepada kami terhadap apa yang kami perbuat sehingga Allah megnangkatnya --- karena Ali tidak
menemukan Rasulullah di mana pun – maka tak ada pilihan bagiku selain meneyrang
sampai aku mati. Ujung pedangku pun patah dan aku membawanya kepada kaumku.
Mereka memberiku kabar gembira, tiba-tiba aku tengah bersama Rasulullah saw di
antara mereka.” (HR Abu Ya’la).
Kelihaian
dan Kecerdasan, Cinta dan Kesetiaan
Dari Ka’ab bin Malik r.a. berkata, “Pada saat
Perang Uhud kami sampai di sebuah jalan di lembah, akulah orang yang pertama
kali mengetahuinya, maka kukatakan, “Ini dia Rasulullah.” Beliau memberi
isyarat keapdaku untuk diam, kemudian beliau memakaikanku perisainya dan beliau
memakai perisaiku. Aku sendiri terluka hingga 20 jumlah lukaku.” Dalam riwayat
lain sekitar 27 luka. “Mereka menyerangku mengira aku adalah Rasulullah saw.”
Renungkanlah bersamaku begitu lihai dan cerdiknya
Nabi saw dalam sikap yang agung ini. Renungkan juga potret mencerahkan tentang
bagitu dalamnya cinta sahabat yang agung ini kepada Nabis aw. Dia mau tersiksa
dengan ebrbagai serangan, demi berkorban untuk Nabi saw.
Para
Malaikat Menolong Nabi saw
Dari sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Aku melihat di
sisi kanan Rasulullah saw dan di sisi kirinya, dua orang dengan pakaian putih
pada Perang Uhud berjuang melawan musuh dengan dahsyat dan aku belum pernah
melihat mereka sebelumnya ataupun setelah itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Thalhah
bangkit Bersama Nabi
Ali datang menuju Rasulullah dengan membawa air
minum untuk Rasulullah. Ia mendapat
beliau mendapati air itu telah berubah rasanya, beliau pun menolaknya.
Lalu, Ali membersihkan wajah beliau dari darah dan membasuh kepalanya.
Rasulullah hendak naik ke sebuah karang di sana, tetapi karena lukanya beliau
tidak mampu. Thalhah pun duduk di bawahnya. Akhirnya Rasulullah dapat menaiki
karang itu (melalui punggung) Thalhah. Waktu shalat tiba, beliau shalat bersama
mereka dengan posisi duduk. Jadilah Rasulullah pada hari itu di bawah panji
(perlindungan) Anshar.
Beginilah
Wanita Muslimah
Satu keluarga Mukmin pergi (mengikuti peperangan
ini), Ummu Umarah dan dua anaknya. Abdullah dan habib, dan suaminya. Anak-anak
dan suaminya turut berperang di jalan Allah, sementara Ummu Umarah bertugas
memberi minum bagi yang haus dan menolong yang terluka. Namiun, kondisi
peperangan membuatnya ikut menghadapi serangan kaum musyrikin. Ia berdiri
menjadi pahlawan melindungi Rasulullah saw, tanpa rasa segan dan takut, pada
saat semua orang berpencar menjauh dari ketakutan akan menjadi korban. Ia
mengambil pedang dan persiai, lalu berdiri di samping Rasulullah saw melindungi
beliau dengan dirinya.
Ummu Umarah berjuang melawan Ibnu Qam’ah di tengah
pasukan Muslimin. Ibnu Qam’ah menyerang pundaknya, serangan yang meninggalkan
bekas luka yang cukup dalam. Ia juga sempat menyerang Ibnu Qam’ah, tetapi
karena dia memiliki dua perisai sehingga ia selamat. Ummu Umarah terus berjuang
hingga ia mendapat dua belas luka.
Para perempuan Mukminah setelah pertempuran usai,
mereka turun ke medan peperangan. Anas berkata, “Aku melihar Sisyah Abu Bakar
dan Ummu Sulaim. Kedua pakaian mereka tersingkap, jadi saya bisa melihat gelang
di kaki mereka. Mereka membawa air di punggung mereka dan menuangkannya ke mulut
orang-orang yang terluka. Mereka kembali (ke sumur) dan mengisinya kembali
dengan air. Lalu, kembali memberi minum para tentara.” (HR Bukhari dan Muslim).
Umar berkata, “IA (Ummu Salith) pernah membawa
tempat air minum untuk kami ketika Perang Uhud.” (HR Bukhari).
Setelah
Dukacita Itu, Allah Menurunkan Rasa Aman – Ras Kantuk
Setelah bencana dan duka cita yang sangat dalam
bagi kaum Muslimin, Allah menguji hati mereka, menguji apa yang terpendam dalam
dada mereka, mengambil para suhada yang Dia kehendaki, Allah menurunkan rasa
aman, berupa rasa kantuk kepada mereka yang setia. Allah meringankan beban
mereka dan mengikat hati mereka denga-Nya. adapun kaum yang ragu dan penuh
prasangka buruk, mereka lebih mementingkan diri mereka, dan setan bermain
dengan mereka. Allah berfirman, "Kemudian setelah kamu ditimpa kesedihan,
Dia menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari
kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri,
mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah.
Mereka berkata, “Adakah sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini?”
Kataknalah (Muhammad), “Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah.” Mereka
menyembunyikan dalam hatinya apa yang tidak mereka terangkan keapdamu. Mereka
berkata, “Sekiranya ada sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini,
niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah (Muhammad),
“Meskipun kamu ada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditetapkan akan
mati terbunuh itu keluar (juga) ke
tempat mereka terbunuh.” Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada
dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha
Mengetahui isi hati.” (QS Ali ‘Imran (3) : 154).
Menurut penulis azh-Zhilal (Sayyid Quthb), semoga
Allah merahmatinya, “Setelah pahirnya kelelahan,ketakutan, dan keresahan itu,
Allah menggantinya dengan kedamaian yang menakjubkan. Kedamaian yang meliputi
jiwa-jiwa mereka yang ebriman, yang kembali kepada Tuhan mereka, yang kembali
kepada Nabi mereka. Mereka diliputi rasa kantuk yang lembut, mereka berserah
diri kepada-Nya, tenteram.
Pemandangan itu, merupakan fenomena yang ajaib,
menyebar dengan rahmat Allah yang melingkupi hamba-hamba-Nya yang beriman. Rasa
kantuk ketika menyergap mereka yang letih, lelah, dan takut meskipun hanya
sejenak, akan bekerja pada diri mereka seperti sihir, dan mengembalikan mereka
menjadi makhluk baru. Adapun golongan yang lain, mereka mempunyai keimanan yang
kerap goyah, mereka mencemaskan diri sendiri. Mereka belum sepenuhnya bebas
dari akar-akar jahiliah. Mereka belum menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
semata. Belum sepenuhnya menyerahkan diri mereka pada takdir-Nya. hati mereka
belum tenang bahwa apa yang menimpa mereka adalah cobaan, untuk menguji, Allah
tidak membiarkan begitu saja para kekasih-Nya kepada musuh-musuh-Nya. tidak ada
dalam ketentuan Allah bahwa kufur, kejahatan, kebatilan, akan memang dan
mendapatkan pertolongan penuh.
Akidah ini
mengajarkan kepada para pemeluknya --- sebagaimana Anda ketahui --- bahwa
mereka tidak memiliki daya apa pun pada diri mereka. Mereka semua milik Allah.
Ketika mereka pergi berjihad di jalan-Nya, mereka sedang pergi untuk-Nya.
bergerak untuk-Nya, berjuang demi Dia, tanpa tujuan lain, untuk diri mereka sendiri
dalam jihad ini.
Dari Abu Thalhah r.a. berkata, “Aku di antara
mereka yang diliputi rasa kantuk pada Perang Uhud, hingga pedangku terjatuh
dari tanganku beberapa kali. Pedang jatuh dan aku mengambilnya, dan jatuh lagi,
dan aku mengambilnya.” (HR Bukhari).
Lembaran
yang Berpendar Cahaya Disertai Wewangian dari Para Syuhada’
Inilah sekumpulan wewangian dari lembaran-lembaran
yang berkilau, yang ditulis oleh para syuhada’ dari sahabat-sahabat pemimpin
para Nabi saw di atas lembaran sejarah dengan tinta cahaya.
Syahidnya
Hamzah, Singa Allah dan Singa Rasulullah saw.
Angin kematian berembus di medan pertempuran.
Inilah saat-saat yang ditentukan oleh Allah SWT untuk membawa Hamzah pergi dari
dunia, menjadi pemimpin para syuhada’.
Inilah Wahsy, yang menceritakan bagaimana Hamzah
terbunuh. Wahsy berkata, “Aku adalah seorang budak, milik Jubair bin Muth’im.
Thu’amah bin Addy, pamannya tewas pada Perang Badar. Ketika Quraisy memutuskan
untuk pergi ke Uhud. Jubari berkata keapdaku, “Jika kamu dapat membunuh Hamzah,
paman Muhammad karena pamanku maka engkau merdeka.” Wahsy berkata, Maka aku pun
turut bersama mereka. Dan aku adalah laki-laki dari Habasyah, yang mahir
melempar tombak, sebagaimana orang-orang Habasyah (yang kuat). Sangat jarang
aku melempar salah sasaran. Ketika pertempuran dimulai, aku pergi mencari
Hamzah dan memfokuskan pandanganku untuk mendapatkannya. Hingga akhirnya aku
melihatnya di tengah kerumunan manusia seperti unta yang kukuh. Menghadang
banyak orang dengan pedangnya. Tidak ada serangan berarti baginya. Demi Allah,
aku bersiap untuk membunuhnya. Aku menginginkannya dan aku bersembunyi di balik
pohon atau batu, untuk mendekatinya. Namun, ada Siba’ bin Abdul Uzza yang
mendahuluiku. Ketika Hamzah melihatnya, ia berkata, “Ayo (serang aku), wahai
anak perempuan jalang.”
Wahsy berakta, “Lalu, Hamzah menyerangnya dan
sepertinya tidak salah sasaran. Lalu, aku ayunkan tombakku. Ketika aku sudah
siap, aku tembakkan ke arahnya dan kena tepat di pinggangnya, hingga ujungnya
keluar di antara kedua kakinya. Ia bergerak ke arahku, tetapi ia terjatuh. Aku
membiarkannya sampai mati. Lalu, aku mendatanginya untuk mencabut tombakku.
Lalu, aku kembali ke perkemahan dan aku duduk di sana. Aku tidak menginginkan
apa pun. Aku membunuhnya demi kebebasanku. Ketika aku kembali ke Makkah, aku
dimerdekakan. Aku tetap tinggal di sana, hingga ketika Rasulullah menaklukkan
Makkah. Aku melarikan diri ke Thaif dan tinggal di sana. Ketika utusan Thaif
pergi menemui Rasulullah saw untuk menyatakan keislaman mereka, aku bimbang
hendak ke mana aku pergi, ke Syam atau ke Yaman, atau negeri lain. Demi Allah,
itulah keinginanku. Hingga seseorang berkata keapdaku, “Mengapa (kau pergi),
sesungguhnya dia (Rasulullah) tak akan membunuh seseorang yang masuk pada
agamanya dan menyatakan syahadat.”
Ketika ia mengatakan itu kepadaku, aku datang
menemui Rasulullah saw di Madinah. Tidak ada yang membuatku takut, kecuali
ketika aku berdiri di hadapannya dan mengucapkan syahadat kebenaran itu. Ketika
beliau melihatku, “Bukankah engkau Wahdy?” Aku aktakan, “Ya, Rasulullah.”
Beliau berkata, “Duduklah, bagaimana kau bunuh Hamzah?” Lalu, aku bercerita
kepada beliau. Setelah usai ceritaku, beliau berkata, “Ah pergilahd ari
ahdapanku, aku tidak mau melihatmu.” Aku sedih beliau tidak mau melihatku, hingga
Allah mengangkat beliau ke sisi-Nya.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Ketika kaum Muslimin memerangi Musailamah, aku
bertempur bersama mereka dengan tombak yang aku gunakan untuk membunuh Hamzah.
Ketika orang-orang mulai ebrtempur, aku mengicnar Musailamah, kulihat di
tangannya ada pedang. Demi Allah, sebelumnya aku tidak mengenalnya. Ternyata
ada laki-laki Anshar yang mengincarnya dari sisi lain. Kami berdua bersiap
membunuhnya. Ketika segalanya telah memungkinkan, aku ayunkan tombakku ke
arahnya dan kena. Orang Anshar itu pun menusukkan pedangnya dan kena. Hanya
Tuhanmu yang tahu, siapa di antara kami yang membunuhnya. Jika aku yang
membunuhnya, aku telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah saw dan juga
manusia terburuk (Musailamah).”
Mereka
Memutilasi Jasadnya yang Suci
Para musuh Allah itu tidak hanya membunuhnya,
tetapi juga memutilasi jasadnya. Ketika apra sahabat mencari jasad Hamzah
bersama Rasulullah saw, mereka mendapatkan perutnya telah terkoyak. Wahsy telah
mengambil hatinya karena nazar yang telah diucapkan Hindun ketika ayahnya mati
pada Perang Badar. Hamzah ikuburkan di Namirah, sebagaimana adanya. Di mana
jika ditutupi keapdalanya, tampaklah ekdua kakinya. Kemudian mereka menutup
kakinya dengan sesuatu dari pohon.” (HR Adz-Dzahabi).
Dari Anas r.a. berakta, “Pada saat Perang Uhud,
Rasulullah berdiri di samping jasad Hamzah yang telah terkoyak. Beliau saw
berkata, “Kalau saja shafiyyah tidak tertekan melihatnya, niscaya aku biarkan
Allah menggiringnya ke Mahsyar,d ari perut hewan-hewan buas dan burung-burung.”
Lalu, ia dikafani di Namirah. Jika ditutup kepalanya, tampaklah dua kakinya.
Jika ditutup dua kakinya, tampaklah kepalanya. Tidak ada satu pun dari para
syuhada yang dishalatkan. Beliau saw berkata, “Akulah yang menjadi saksi atas
kalian.” Tiga orang syahid dikumpulkan dalam satu liang atau dua orang. Beliau
berkata, “Mana di antara keduanya yang paling banyak menghafal Al-Qur’an,
dahulukan ke liang lahat.” Dua atau tiga orang dikafani dalam satu baju.” (HR
Ahmad dan Abu Dawud).
Dari Ibnu Umar berakta, “Rasulullah pulang dari
Perang Uhud, lelu beliau mendengar bahwa kaum wanita dari bani Abduh Asyhal
meratapi kematian keluarga mereka. Lalu, beliau bersabda, “Namun, Hamzah tidak
perlu diratapi.” Datanglah perempuan-perempuan Anshar, lalu mereka menangisi
kematian Hamzah di rumah Rasulullah. Beliau tertidur dan ketika bangun, mereka
masih saja menangis. Kemudian beliau saw berkata, “Ada apa dengan mereka?”
Apakah mereka masih di sini sampai saat ini? Perintahkan kepada mereka untuk
pulang, dan tidak menangisi seseorang yang telah meninggal mulai saat ini.” (HR
Ahmad dan Ibnu Majah).
Rasulullah saw bersabda, “Aku melihat para malaikat
memandikan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Hanzhalah bin ar-Rahib.” (HR Thabari).
Kisah
Syahidnya Anas bin an-Nadhr
Dari Anas r.a. berkata, “Pamanku, Anas bin
an-Nadhr, tidak dapat ikut pada Perang Badar. Dia berkata, “Aku tidak mengikuti
pertempuran pertama bersama Rasulullah saw dan jika Tuhan sekarang memberi saya
kesempatan untuk berperang bersama Rasulullah saw, Allah akan melihat apa yang
akan kulakukan.” Pada saat Perang Uhud dan kaum Muslimin kalah, dia berakta,
“Wahai Allah, sesungguhnya aku membebaskan diriku dari apa yang dilakukan oleh
mereka --- kaum musyrikin – dan mohon ampun dari apa yang telah mereka lakukan
--- kaum Muslimin.” Lalu, dia membawa pedangnya dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz
(yang mundur). Anas berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad, sungguh aku mencium bau
surga di Gunung Uhud.” Lalu, ia pergi ke depan dan berjuang sampai ia terbunuh.
Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak dapat melakukan seperti apa yang
Anas lakukan.” Anas bin Malik berkata, “Kami menemukan lebih dari delapan puluh
luka yang ditimbulkan oleh pedang, tusukan tombak dan panah di tubuhnya. Kami
tidak mengenalinya, hingga saudara perempuannya datang dan mengenali ujung
jari-jarinya. Anas berkata, “ Pada saat itu kamis edang membicarakan ayat, “Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
mengubah (janjinya).” (QS al-Ahzab (33) : 23). Ayat tersebut berbicara tentang
dia (Anas bin an-nadhr) dan apra sahabatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain,
ketika tersiar kabar bahwa Nabi saw terbunuh, runtuhlah roh perjuangan pada
jiwa-jiwa sebagian besar sahabat Nabi atau hampir saja runtuh. Di antara mereka
ada yang berhenti bertempur dan ada pula yang melempar senjatanya tertunduk.
Kemudian Anas bin an-Nadhr melewati mereka, ketika mereka telah melemparkan
senjata-senjata mereka. Ia berkata, “Apa yang kalian tunggu?” mereka berkata,
“Rasulullah saw telah terbunuh.” Lalu, Anas berkata, “Lalu, apa yang akan
kalian lakukan dalam hidup ini, sepeninggal beliau? Bangkitlah kalian dan
matilah dalam (akidah) di mana Rasulullah telah mati di atasnya. Kemudian ia
berkata, “Yan Allah, aku mohon ampun atas apa yang mereka lakukan – kaum
muslimin – dan aku memohon kepada-Mu untuk dinyatakan bebas dari apa yang telah
mereka (kaum musyrikin) lakukan.” Kemudian ia pergi ke depan dan bertemu Sa’ad
bin Mu’adz (melarikan diri) dan ebrkata kepadanya. ‘Hendak ke mana, wahai Abu
Umar? Mari mencari aroma surga, wahai Sa’ad, sungguh aku menemukannya di Uhud.”
Lalu, ia pergi menyerang kaum musyrikin, hingga ia terbunuh. Setelah
pertempuran usai, dia tidak dikenali, hingga saudara perempuannya mengenali
jasadnya dan ujung jarinya. Di tubuhnya terdapat lebih dari delapan puluh luka
akibat tusukan tombak, sayatan pedang, dan tembakan anak anak panah. (HR
Bukhari dan Muslim).
Beginilah
Para Sahabat Nabi saw.
Dari Jabir r.a. mengatakan bahwa seseorang pada
saat Perang Uhud berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di mana aku jika
aku terbunuh?” di surga, “jawab Rasululah. Dia pun melempar kurmayang ada di
tangannya dan bertempur sampai ia mati.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut al-hafizh dalam al-Fath, “Menurut Ibnu
Basykawal, laki-laki itu adalah Umair bin al-Hamam dan al-Khatib lebih dulu
menyatakan hal itu. Hal itu berdasarkan hadits Anas yang mentakan, “Bahwa Uamir
bin al-Hamam mengeluarkan kurma dari kantungnya dan memakannya. Kemudian ia
berkata, “Jika aku masih hidup sampai aku memakan kurma-kurma ini, itu
merupakan kesempatan hidup yang panjang. Kemudian ia bertempur sampai ia
tewas.”
Namun, kukatakan (al-hafizh) bahwa dalam hadits
itu, Anas menjelaskan bahwa itu terjadi pada Perang Badar. Adapun hadits di
atas, Jabir menyatakan bahwa itu terjadi papa Perang Uhud. Tampaknya dua hadits
itu merupakan dua kisah yang berbeda tentang dua orang laki-laki. Allahu a’lam.
Dalam hadits di atas, kita melihat beberapa para sahabat sangat cinta dalam
membela Islam, juga tekad untuk mati syahid, mencari ridha Allah.
Syahidnya
Abdullah bin Haram (Ayah Jabir) r.a.
Dari Jabir r.a. berakta, “Ketika terjadi Perang
Uhud, pada suatu malamnya bapakku memanggilku seraya berkata, “Tidakkah aku
melihat diriku (menduga), melainkan aku menjadi orang yang pertama-tama gugur
di antara para sahabat Nabi saw (dalam peperangan ini), dan aku tidak meninggalkan
sesuatu yang ebrharga bagimu sepeninggalku, melainkan diri Rasulullah saw. Dan
aku mempunyai utang maka lunasilah dan berilah nasihat yang baik kepada
saudara-saudaramu yang perempuan.” Pada pagi harinya kami dapati bapakku adalah
orang yang pertama gugur dan dikuburkan bersama dengan yang lain dalam satu
kubur. Setelah itu, perasaanku tidak enak dengan membiarkan dia bersama yang
lain, kemudian aku keluarkan setelah enam bulan lamanya dari hari pemakamannya.
Dan aku dapati jenazah bapakku masih utuh, sebagaimana hari dia dikuburkan.
Tidak ada yang berubah padanya kecuali sedikit, pada ujung bawah telinganya.”
(HR Bukhari).
Malaikat Menaunginya dengan Sayap
Inilah malaikat Allah Yang Maha Pemurah, berbaur
dengan sahabat yang mulia ini, turun atas pereintah Allah SWT untuk
menanunginya dengan sayapnya setelah kematiannya.
Dari jabir bin Abdullah berkata, “Mayat ayah saya
dibawa dan dia ditutupi kain itu, tetapi orang-orang melarangku untuk
melakukannya. Saya kembali berusaha untuk mengangkat kain itu, tetapi
orang-orang melarangku. Kemudian Rasulullah saw mengangkatnya atau
memerintahkan untuk mengangkatnya. Dia mendengar suara tangisan atau suara
wanita yang sedang berkabung. Belikau bertanya, “Siapa dia?” Mereka berkata,
“Putri Amru atau adik Amru.” Kemudian beliau saw berkata, “Menagapa dia
menangis?” Para malaikat memberinya keteduhan dengan sayap mereka sampai ia
akan diangkat (ke tempat tinggalnya di surga).” (HR Muslim dan Nasa’i).
Pada riwayat lain di Shahih Muslim, Rasulullah saw
berkata, “Kamu menangisinya atau tidak, para malaikat masih menaunginya dengan
sayap-sayapnya, sampai kalian mengangkatnya (ke liang lahat).”
Menurut Imam Nawawi, sabda Rasulullah saw, “Para
malaikat menaunginya dengan sayap mereka sampai ia akan diangkat.” Menurut Qadhy,
“Kemungkinan hal itu terjadi karena malaikat mengetahui tentang kabar gembira
bahwa keutamaan Allah dan ridha-Nya kepada Abdullah bin Amru serata karamah yagban
telah dipersiapkan untuknya sehingga para malaikat berbondong-bondong
menyaksikannya. Apra malaikat ramai-ramai untuk memuliakannya dan gembira
karenanya. Atau mereka menaunginya dari panasnya matahari agar tak berubah bau
harum dan jasadnya. Adapun sabda Rasul saw, “Kamu menangisinya atau tidak, para
malaikat masih menaunginya." Artinya baik ia menangis ataupun tidak,
malaikat masih menaunginya. Maksudnya, ia telah mendapatkan karamah (hal-hal
yang luar biasa yang diberikan kepada kekasih Allah) tersebut dan yang lainnya.
Jadi, tidak seharusnya menangis atas keutamaan tersebut. dalam hal ini tentunya
untuk menghiburnya.” (HR Muslim).
Allah
Berbicara dengannya tanpa Hijab
Keutamaan terbesar yang dimiliki oleh sahabat Nabi yang
luar biasa ini – Allah menghimpun begitu banyak keutamaan untuknya – setelah
kematiannya, Allah berbicara dengannya tanpa hijab.
Dari Jabir bin Abdullah berkata, “Ketika Abdullah
bin Amru bin Haram tewas, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Jabir, senangkah
engkau jika aku memberitahumu apa yang Allah katakan kepada ayahmu>” Aku
berkata, “Tentu.” Rasulullah saw berkata, “Allah tidak pernah berbicara dengan
ayahmu berhadapan 9tanpa hijab) (penutup), tetapi Allah berbicara dengan ayahmu
berhadapan (tanpa hijab). Lalu, Allah ebrfirman, “Wahai hamba-Ku, mimpikanlah
sesuatu dari-Ku, kan Ku-berikan keapdamu.” Lalu. Ia berkata, “Wahai Tuhanku,
sampaikanlah (kabar tentang nikmat yang kudapatkan ini) kepada mereka yang
masih hidup.” Lalu, Allah menurunkan ayat, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira
bahwa roang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu
hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (QS Ali ‘Imran (3) : 169).” (HR
Turmudzi dan Hakim).
Dalam riwayat lain, Jabir mengatakan bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Wahai Jabir, tidakkah kau tahu bahwa Allah SWT telah
emnghidupkan ayahmu dan berkata keapdanya, “Bermimpilah sesuatu, Aku akan
berikan.” Kemudian ayahmu berkata, “Aku ingin dikembalikan ke dunia dan aku
dibunuh (dalam peperangan) sekali lagi.” Allah berfirman, “Sungguh Aku telah
memutuskan suatu hukum bahwa mereka tidaka akn dikembalikan lagi ke dunia.” (HR
Ahmad).
Seseorang b ingung dengan karamah seseorang yang
syahid di jalan Allah .... bahwa ayah Jabir tidak merasakan kerinduan karena
berpisah dari anak-anaknya, tidak juga meminta kemuliaan untuk dirinya untuk
merasa tenteram dengan kenikmatan yang ian eproleh. Namun, ia menghendaki untuk
kembali ke dunia agar ia tidak lalai sekali lagi dan sesuatu yang paling ia
cintai dan berjalan dengan langkah-langkah tegak ke medan peperangan.
Syahidnya
Hanxhalah r.a. dan Malaikat Memandikannya
Dari Abdullah bin az-Zubair r.a. berakta, “Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda, “Ketika Hanzhalah bin Abu Amir tewas,
setelah pertempuran melawan Abu Sufyan bin al-harits dan ketika itu Syaddad bin
al-Aswad menghunuskan pedangnya dan membunuhnya. Rasulullah berkata,
“Sesungguhnya sahabat kalian dimandikan oleh Malaikat.” Para sahabat bertanya
kepada istrinya tentang ida. Istrinya menjawab, “Dia pergi berperang, ketika ia
mendengar perintah (berjihad), sedangkan dia dalam keadaan junub.” Maka
Rasulullah berkata, “Karena itulah ia dimandikan oleh para Malaikat.” (HR
Hakim).
Rasulullah saw juga bersabda, “Aku melihat malaikat
memandikan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Hanzhalah bin ar-Rahib.” (HR
Thabrani).
Masuk
Surga, Ia Tak Pernah Shalat.
Dari Abu Hurairah r.a. “Sungguh Amru bin Aqisy
mempunyai tuhan pada masa jahiliah (penyembah berhala) sehingga ia tidak mau
memeluk Islam. Namun, akhirnya ia beriman. Pada saat peristiwa Uhud, ia
berkata, “Mana anak-anak pamanku?” Mereka berkata, “Di Uhud.” Ia berkata, “Mana
si Fulan?” mereka berkata, “Di Uhud.” Ia berkata, “Mana si Fulan?” Mereka
berkata, “Di uhud.”
Ia pu memakai perisainya dan menunggang kudanya,
lalu menyusul mereka. Ketika kaum muslimin melihatnya, mereka berkata,
“Hendaknya engkau berhati-hati dengan kami, wahai Amru.” Dia berkata,, “Aku
telah beriman.”
Ia bertempur sampai terluka, ia di bawa kepada
keluarganya dalam kondisi terluka. Kemudian Sa’ad bin Mu’adz datang dan ia
berkata kepada saudarinya, “Tanyalah keapdanya, (apakah ia bertempur) untuk
membela kaumnya, atau amarah karena mereka, atau dia marah karena Allah SWT.”
Dia berkata, “Tentunya aku marah karena Alah dan Rasul-Nya.” Ia pun meninggal
dan masuk surga.d an tak sekalipun ia shalat.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Al -
Yaman r.a. (Ayah Hudzaifah) Syahid
Pada saat Perang Uhud, Hudzaifah bertempur
menginginkan mati syahid dan merindukannya. Adapun ayahnya memperoleh syahid
pada saat itu. Beberapa sahabat salah membunuhnya di balik perisai perang dan
menutupi wajah mereka. Jika mereka tidak memiliki tanda yang jelas, saudara
membunuh saudaranya, dan ia tidak merasa melakukannya.
Dari Aisyah berkata, “Ketika Perang Uhud dan kaum
musyrikin dapat dikalahkan, iblis berteriak dan berkata, “Hai hamba-hamba
Allah, di belakang kalian ada pasukan musuh yang lain.” Kemudian pasukan yang
didepan dan pasukan belakang (sesama kaum muslimin). Hudzaifah r.a.
memperhatikan ternyata ada bapaknya, al-Yaman. Ia pun segera berseru, “Wahai
hamba-hamba Allah, itu bapakku, Itu bapakku.” Demi Allah pasukan itu tidak memedulikan (terus saja bertempur) hingga
akhirnya membunuhnya (al-Yaman). Kemudian Hudzaifah r.a. berkata, “Semoga Allah
mengampuni kalian hingga bertemu dengan Allah (meninggal dunia).” (HR Bukhari
dan Hakim).
Dari Mahmud bin Lubaid berkata, “Ketika Rasulullah
saw pergi menuju Uhud, al-Yaman bin Jabir, ayah Hudzaifah, dan Tsabit bin Waqsy
bin Za’ura’, mereka berada di benteng bersama kaum wanita dan anak-anak.
Keduanya sudah tua renta, salah satu di antara mereka berkata kepada yang lain,
“Ah, apa yang kita tunggu, demi Allah tidaklah salah seorang di antara kalian,
melainkan umurnya sudah tinggal sejengkal,. Kita orang tua yang menunggu
kematian. Tidakkah kita ambil pedang, lalu menyusul Rasulullah saw.” Kemudian
kedua orang tua itu measuk di barisan kaum Muslimin dan kaum Muslimin tidak
mengetahui hal itu. Tsabit bin Waqsy akhirnya tewas dibunuh kaum musyrikin.
Sedangkan, ayah Hudzaifah, pedang seseorang dari kaum Muslimin menyerang dan
membunuhnya dan mereka tidak mengetahuinya. Kemudian Hudzaifah berkata, Ayahku,
Ayahku,” Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak tahu (dan mereka benar-benar
tidak tahu).” Hudzaifah berkata, “Allah mengampuni kalian dan ddi Maha
Penyayang di antara yang penyayang.” Rasulullah saw memberinya diyat – denda
karena salah membunuh.” Tetapi Hudzaifah menyedekahkannya kembali. Dia maki di
sayang oleh Rasulullah.” (HR Hakim).
Abdullah
bin Jahsy r.a. Mati Syahid
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. mengatakan bahwa
Abdullah bin Jahsy berkata kepadanya pada Perang Uhud. “Tidakkah engkau berdoa
kepada Allah?” Kemudian mereka menuju satu tempat. Sa’ad berkata, “Wahai Rabb,
jika aku menghadapi musuh nanti, hadapkanlah aku dengan seseorang yang
permusuhannya kuat, hebat dalam menyerang. Aku menyerangnya dan ia menyerangku.
Karuniakan aku kemenangan atasnya hingga aku dapat membunuhnya, lalu aku ambil
hartanya.” Abdullah bin Jahsy mengamini doanya. Kemudian Abdullah berkata,
“Wahai Allah, karuniakanlah kepadaku seseorang yang hebat dan menyerang dan
sangat memusuhi (Islam). Aku menyerangnya karena-Mu dan ia menyerangku. Kemudian
ia mengalahkanku dan ia memotong hidung dan telingaku. Ketika aku bertemu
dengan-Mu esok, Engkau akan katakan, “Siapa yang memotong hidung dan
telingamu?” Lalu, aku berkata, “Karena-Mu dan karena Rasul-<u.” Dan Engkau
berkata, “Kamu benar.” Sa’ad berkata, “Wahai anakku, doa Abdullah bin Jahsy
lebih baik dari doaku. Aku melihatnya di akhir pertempuran, sungguh hidung dan telinganya digantung di selembar
benamg.”
Dari Sa’id bin al-Musayyib megnatakan bahwa
Abdullah bin Jahsy berkata, “Wahai Allah, sungguh aku bersumpah kepada-Mu, aku
akan mengahadapi musuh esok. Mereka membuhku dan memotong hidung dan telingaku.
Kemudian Engkau bertanya kepadaku, “Untuk apa itu?” dan kukatakan, “Demi
Engkau.” Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Aku berharap Allah mengabulkan bagian
akhir dari doanya, sebagaimana Allah telah memenuhi bagian pertamanya.”
Inilah potret lelaki sejati yang menghadang kaum
kafir di awal dan akhir pertempuran, bergerak ke depan, bumi berguncang di
bawah kakinya. Ia tidak mengambil keuntungan apa pun di awal peperangan, tidak
juga setelah perang usai.
Kepahlawanan semacam ini terpendam dalam sejarah
Islam yang masih tegak hingga hari ini. Tidak akan ada yang berteriak demi
Islam atau membebaskannya dari penindasan, kecuali dengan kekuatan yang
memuncak dari hati-hati mereka yang betul-betul beriman dan mereka yang syahid.
Apa
Rahasia Inspirasi Itu? Siapa yang Menerangi Cahaya Itu?
Dialah Muhammad saw. Dialah yang mendidik generasi
Istimewa itu.d ari hatinya yang besar, lahirlah laki-laki itu, berkorban di
jalan Allah, dan mengutamakan orang lain dari dirinya sendiri, pada apa yang
ada di sisi-Nya.
Amru
bin al-Jamuh Menginjakkan Kakinya di Surga
Amru r.a. seorang yang kakinya pincang, sangat
pincang, ia memiliki empat orang anak mdua yang berperang bersama Rasulullah
saw. Ketika Rasulullah pergi menuju Uhud, ia ingin berangkat bersama mereka.
Anak-anaknya berkata kepadanya. “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan
(rukhshah), jika engkau tidak pergi. Kami cukup menggantikanmu. Allah telah
membebaskanmu dari kewajiban berjihad.” Kemudian ia pergi menemui Rasulullah
saw dan berkata, “Sesungguhnya anak-anakku melarangku untuk pergi berjihad
bersamamu. Padahal, demi Allah, aku sangat mengharapkan mati syahid sehingga
aku dapat menginjak surga dengan tongkatku.” Kemudian Rasulullah saw berkata
kepadanya, “Bukankah Allah telah membebaskanmu dari kewajiban berjihad?” dan
beliau juga berkata kepada anak-anaknya, “Hendaklah kalian mendoakannya agar
Allah mengaruniakan kepadanya mati syahid.” Akhirnya, Amru pun pergi bersama
Rasulullah saw dan ia pun tewas pada Perang Uhud, sebagai syahid.” (HR Ibnu
Hisyam).
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Amru bin
al-jamuh datang menemui Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa
pendapatmu jika aku berjuang di jalan Allah hingga aku mati, apakah aku akan
berjalan di atas kakiku ini dengan tegak di surga?” Dia seoarng yang pincang.
Kemudian Rasulullah saw berkata, “Ya.” Dia pun mati pada Perang Uhud, bersama
keponakannya,d an pelayannya. Rasulullah saw melewatinya dan berkata,
“Sepertinya aku melihatmu berjalan di atas kakimu dengan tegak di surga.” Lalu,
beliau saw memerintahkan untuk menempatkan mereka dalam satu liang.” (HR
Ahmad).
Sa’ad
bin ar-Rabi’ dan Pesannya yang Bergarga untuk Kaum Anshar
Zaid bin Tsabit berkata, “Rasulullah saw mengutusku
pada saat Perang Uhud untuk mencari Sa’ad bin ar-Rabi’. Beliau saw berkata
kepadaku, “Jika engkau melihatnya, sampaikan salamku kepadanya. Dan katakan
kepadanya, “Rasulullah mengatakan
kepadamu, bagaimana kondisimu?” Zaid berkata, “Aku berkeliling di antara korban
yang tewas. Aku mendapatkannya tengah sekarat. Di tubuhnya terdapat 70 luka
karena tusukan tombak, sayatan pedang dan tembakan panah. Aku berkata
kepadanya, “Wahai Sa’ad, sungguh Rasulullah saw menyampaikan salam untukmu dan
berkata keapdamu, “Beri tahu aku bagaimana kondisimu?” IA berkata, “Untuk
Rasulullah salam (keselamatan), katakan kepadanya, “Wahai Rasulullah aku
mendapati harumnya surga. Dan katakan kepada kaumku, Anshar, “Tidak ada alasan
bagi kalian di sisi Allah. Jika Rasulullah mendpatkan bahaya, padahal di antara
kalian ada mata yang melotot (mengawasi).” Nafasnya pun berhenti karena
waktunya telah tiba.” (HR Ibnu Hisyam dan Hakim).
Mush’ab
bin Umair Syahid di Jalan Allah
Ibnu Ishaq berkata, “Mush’ab bin Umair berjuang di
dekat Rasulullah hingga ia tewas. Ibnu Qam’ah al-Laits yang membunuhnya. Dia
mengira bahwa ia telah membunuh Rasulullah. Kemudian ia kembali ke kaum Quraisy
dan berkata, “Aku telah membunuh Muhammad.” (HR Ibnu Hisyam dan Ibnu Sa’ad).
Khabab bin al-Arat bercerita, “Kami telah berhijrah
bersama Nabi saw hanya mengharapkan ridha Allah dan kami telah mendapatkan
pahala di sisi Allah. Lalu, di antara kami ada yang meninggal lebih dahulu
sebelum menikmati pahalanya sedikit pun ( di dunia ini), di antaranya adalah
Mus’ab bin Umair. Dia terbunuh di medan
Perang Uhud dan dia hanya meninggalkan selembar kain. Apabila kami gunakan
untuk menutup kepalanya dengan kain tersebut, kakinya terbuka keluar dan jika
kakinya yang hendak kami tutup, kepalanyalah yang terbuka. Kemudian Rasulullah
saw memerintahkan kepada kami untuk menutup kepalanya dengan kain tersebut,
sedangkan kakinya kami tutup dengan dedaunan idzkhir. Dan di antara kami ada
yang telah memerik hasil usahanya ( di dunia ini).” (HR Bukhari dan Muslim).
Para sahabat Nabi saw masih saja menyebut Musy’ab
setiap saat, potretnya tak pernah pergi dari kehidupan mereka meski sesaat.
Inilah Abdurrahman bin Auf r.a. ia diberi makanan
ketika berbpuasa. Dia berkata, “Mus’ab bin Umair terbunuh dan ia lebih baik
daripada saya, tetapi ia hanya diselemuti burdah (selembar kain). Jika
kepalanya ditutup, kakinya menjadi telanjang, dan jika kakinya ditutup,
kepalanya tampak.” Abdurrahman menambahkan, “Hamzah juga tewas dan ia lebih
baik daripada saya. Kemudian dibentangkan kepada kita untuk kekayaan duniawi.”
Dalam riwayat lain, “Diberikanlah kepada kita dunia seperti yang sudah
diberikan kepada kita. Kami takut bahwa pahala dari perbuatan kita telah
diberikan kepada kita dalam kehidupan ini. Abdurrahman mulai menangis, sampai
ia meninggalkan makanan itu.” (HR Bukhari).
Dari Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah
saw berkata, “Sesungguhnya ketika Rasulullah saw kembali dari Uhud, beliau
melewati Mush’ab bin Umair yang tewas dalam perjalanannya (di Uhud). Rasulullah
berhenti dan berdoa untuknya. Kemudian beliau membaca ayat ini, “Di antara
orang-orang yang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikut pun tidak mengubah
(janjinya).” (QS al-Ahzab (33) : 23). Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Aku
bersaksi bahwa mereka adalah syuhada’ di sisi Allah pada hari kiamat,
datangilah mereka dan berziarahlah. Diemi jiwaku yang berada di genggamannya,
tidak seseorang mengucpakan salam kepada mereka hingga hari kiamat nanti,
melainkan mereka menjawabnya.” (HR hakim).
Kisah Qazaman
Dari Sahl bin Sa’ad r.a. berkata, “Sungguh
Rasulullah saw dan kaum musyrikin bertemu, lalu terjadilah peperangan antara
mereka. Pada akhir pertempuran, Rasulullah saw kembali ke pasukannya (di
perkemahan) dan musuh pun demikian. Di antara para sahabat Rasulullah ada
seseorang yang tidak memberi peluang terhadap musuh. Ia terus mengejar mereka
dan membunuhnya dengan pedangnya. Mereka (para sahabat Nabi saw) berkata,
“Tidak ada seseorang yang hari ini lebih banyak pahalanya daripada Fulan.”
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ia adalah salah satu dari penghuni
neraka.” Salah seorang berkata, “Aku temannya.” Laki-laki itu mengatakan bahwa
ia pergi bersama Fulan ke mana pun ia pergi. Dia berhenti kapan saja dia
berhenti dan berlari bersamanya setiap kali dia ebrlari.” Dia berkata, “Orang
itu terluka parah dan ingin mempercepat kematiannya sendiri. Dia menempatkan
bilah pedangnya di tanah dengan ujung pedang di antara dadanya, kemudian
menekan dirinya terhadap pedang itu. Ia bunuh diri.” Kemudian temannya itu
pergi menghadap Rasulullah saw dan berkata, “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya
engkau adalah Rasulullah.” Nabi saw bertanya, “Apa yang terjadi?” Dia menjawab,
“Orang yang kau sebutkan tadi bahwa ia adalah salah satu penghuni neraka.”
Orang-orang yang ada di sana terkejut dengannya. Aku katakan, “Aku akan
beritahu kalian tentangnya. Aku pergi keluar mencarinya sampai aku
(menemukannya) terluka sangat serius. Dia ingin mempercepat kematiannya. Dia
menempatkan mata pedang di atas tanah dan ujung pedang itu tepat di antara
dadanya. Kemudian ia menekan dirinya ke arah pedang itu, ia bunuh diri.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Seseorang
melakukan perbuatan yang tampaknya di mata manusia itu merupakan amalan
penghuni sura, tetapi sebenarnya dia adalah penghuni neraka. Dan sesungguhnya
seseorang melakukan suatu tindakan yang di mata manusia perbuatan itu adalah
amalan penghuni neraka, tetapi ternyata dia penghuni surga.”
Dalam Sirah Ibnu Hisyam, disebutkan secara
eksplisit bahwa laki-laki itu bernama Qazaman. Dia bunuh diri apda Perang Uhud.
Sebagaimana terdapat dalam riwayat dari jalur Ibnu Ishaq, “Telah menceritakan
keapdaku Ashim bin Umar bin Qatadah, dengan sanad hasan,d an para perawainya
terpercaya. Hanya saja derajatnya mursal, tetapi dapat dianggap sebagai syahid
sebagai upaya pengawasan (terhadap validitas hadits). Allahu A’lam.”
Menurut al-Hafizh dalam al-fath, “Ibnu jauzy
berkeyakinan pada masalah ksiah yang diceritakan oleh Sahl bin Sa’d terjadi
pada Perang Uhud. Ia berkata, “Nama laki-laki itu Qazaman azh-Zhafary. Ia
berbalik ke belakang melarikan diri dari pasukan muslim pada perang Uhud, tetapi
kaum perempuan mencercanya. Kemudian ia kembali lagi ke medan perang dan berada
di barisan pertama. Dialah yang pertama kali menembakkan panah. Kemudian ia
beralih menyerang dengan pedang. Dia telah melakukan keajaiban. Ketika kaum
muslimin kalah, ujung pedangnya patah. Dan dia berkata, “Mati lebih baik
daripada melarikan diri.” Pada saat itu Qatadah bin an-Nu’man lewat di depannya
dan berakta, “Selamat atas kesyahidanmu (menjelang kematiannya).” Dia berkata,
“Demi Allah, aku tidak berperang karena agama, tetapi kemuliaan kaumku.”
Lukanya membuat ia gundah sehingga ia membunuh dirinya.”
Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi berkata, “Sebelumnya
terdapat riwayat dari Ibnu Ishaq dalam Sirah Ibnu Hisyam. Ia secara eksplisit
mengatakan bahwa laki-laki itu bernama Qazaman dan dia bunuh diri pada Perang
Uhud. Komentar al-Hafizh tidak bertentangan dengan riwayat tersebut, apalagi
riwayat tersebut mursal, dan sanadnya terpercaya. Tampaknya yang benar adalah
apa yang dikatakan oleh Ibnu al-Jauzy dan Ibnu Ishaq, pemimpin para ulama
sirah. Allahu a’lam.
Abu
Sufyan Membanggakan Diri di Depan Kaum Muslimin setelah Peperangan
Setelah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas
gunung dan berkata, “Apakah di tengah-tengah pasukan ada Muhammad?” hingga tiga
kali. Nabi saw melarang para sahabat untuk menjawabnya. Lalu, dia berkata lagi,
“Apakah di tengah-tengah pasukan ada Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar r.a.) apakah
di tengah-tengah pasukan ada Ibnu Quhafah, apakah di tengah-tengah pasukan ada
Ibnu Khaththab?”
Kemudian dia kembali menemui teman-temannya dan
berkata, “Mereka semua sudah terbunuh, itu sduah cukuip bagi mereka.” Umar yang
tak dapat menahan emosinya berkata, “Kamu bohong. Demi Allah, wahai musuh Allah, sesungguhnya roang-orang yang
kamu sebutkan tadi, semuanya masih hidup. Masih tersisa untuk menimpakan
keburukan kepadamu.” Abu Sufyan berkata, “Perang ini sebagai balasan atas
(kekalahan kami) Perang Badar karena dalam perang kemenangan silih berganti.
Sungguh kalian akan dapatkan kaum (kafir) memutilasi jasad dan mencincang
korban yang aku tidak memerintahkannya, tetapi aku juga tidak merisaukannya.”
Kemudian Abu Sufyan mulai menyenandungkan syair. “Agunglah Hubal, agungkanlah
Hubal.”
Kemudian Nabi saw berkata, “Mengapa kalian tidak
membalasnya?” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kami
katakan?” Beliau berkata, “Ucapkanlah, Allah yang Mahaagung lagi Mahatinggi.”
Abu Sufyan berkata lagi, “Uzza milik kami, sedangkan kalian tidak punya.” Nabi
saw berkata lagi, “Mengapa kalian tidak memblasanya?” Para sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, apa yang harus kami katakan?” Beliau berkata, “Ucapkanlah,
Allah Pelindung kami, sedangkan kalian tidak punya pelindung.” (HR Bukhari dan
Ahmad).
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Abu Sufyan
berkata, “Di mana (Ibnu Abi Kabisyah (maksudnya Nabi saw)? Di mana Ibnu Abi
Quhafah? Di mana Ibnu Khaththab?” Umar menjawab, “Ini Rasulullahs aw, ini Abu
Bakar, dan ini aku, Umar.” Abu Sufyan berkata, “Hari ini adalah balasan atas
(kekalahan) Perang Badar, hari silih berganti, kemenangan dan kekalahan dalam
perang juga demikian.” Kemudian Umar berkata, “Tidak sama, orang-orang yang
tewas di antara kami di surga, sedangkan yang tewas dari kalian di neraka.” Abu
Sufyan berkata, “Kalian menganggap begitu, maka harapan kami sia-sia dan kami
merugi.” (HR Ahmad dan Hakim).
Nabi
saw. Mengonfirmasi Kembalinya Kaum Musyrikin ke Makkah
Ketika perang usai, kaum musyrikin kembali. Kaum
muslimin mengira mereka menuju Madinah untuk menawan penduduknya dan mengambil
hartanya. Hal ini membuat mereka gelisah. Kemudian Nabis aw berkata kepada Ali
bin Abi Thalib r.a., “Pergilah, ikuti jejak mereka. Lihatlah apa yang mereka
lakukan, dan apa yang mereka inginkan. Jika mereka menjauhi kuda, dan
menunggangi unta berarti mereka menuju Makkah. Jika mereka menunggangi kuda dan mengendari unta berarti mereka menuju
Madinah. . Demi jiwaku yang berada di genggaman-Nya, jika mereka menuju
Madinah, aku akan menyusul mereka dan aku akan menyerang mereka di dalam Kota
Madinah.”
Ali berkata, “Aku pergi mengikuti jejak mereka
untuk melihat apa yang mereka lakukan. Ternyata mereka menjauhi kuda dan
menunggangi unta. Mereka pergi menuju Makkah. Ketika mereka menginginkan
kembali ke Makkah, Abu Sufyan berada di suatu tempat di atas kaum muslimin dan
memanggil mereka, “Waktu kalian semusim nanti di Badar (ajakan untuk berperang
lagi).” Kemudian Nabi saw berakta, “Katakan, “Ya.” Kami akan penuhi.” Abu
Sufyan berkata, “Itulah waktu kalian (untuk bertempur dengan kami). Lalu, ia
dan pasukannya pergi.”
Nabi
Menshalati Para Syuhada’ Uhud
Dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa pada Perang
Uhud, bibiku datang mengambil jasad ayahku untuk dikubur di pemakaman
(keluarga) kami. Utusan Nabi saw memanggil, “Kembalikan para pejuang yang tewas
ke tempat mereka.” (HR Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Nabi saw menghimpun dua orang laki-laki yang gugur
pada Perang Uhud dalam satu kain, lalu bersabda, “Siapakah di antara mereka
yang lebih banyak menghafal Al-Qur’an?” Jika beliau telah ditunjukkan pada
salah satu di antara keduanya, beliau mendahulukannya ke liang lahat. Kemudian
beliau bersabda, “Aku akan menjadi saksi atas mereka.” Kemudian beliau
memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak
dishalatkan dan juga tidak dimandikan.” (HR Bukhari dan Turmudzi).
Dari Uqbah bin Amir r.a. berkata, “Suatu hari
Rasulullah saw melakukan shalat untuk para pejuang yang tewas di Uhud, setelah
delapan tahun berlalu. Sebagaimana ucapan selamat tinggal kepada yang hidup dan
yang mati. Lalu, beliau naik ke mimbar dan berkata, “Aku (mungkin) melakukan
kesalahan di hadapan kalian, aku menjadi saksi untum kalian, dan tempat bertemu
kita di Telaga Kautsar, sungguh aku melihatnya dari tempatku ini. Aku tidak
mengkhawatirkan kalian akan menyekutukan Allah, tetapi yang aku khawatirkan
adalah kalian bersaing memperebutkan dunia.” Uqbah berkata, “Itu terakhir kali
aku melihat Rasulullah saw.” (HR Bukhari dan Muslim).
Banyak hadits dan sunnah yang shahih dari
Rasulullah saw yang menunjukkan beliau menshalatkan para syuhada’.
1. dari Syaddad bin al-had r.a. bahwa seorang
laki-laki dari Badui datang kepada Nabi saw. Ia ebriman dan mengikuti beliau.
Kemudian ia berkata, “Aku akan berhijrah bersamamu?” Beliau menitipkan orang
tersebut kepada sebagian sahabat beliau. Setelah terjadi perang, Nabi saw
mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) berupa tawanan, beliau
membagikannya, dan orang itu mendapatkan bagiannya. Lalu, beliau menitipkan
nbagiannya kepada para sahabat. Ia sendiris edang mengatur urusan mereka.
Setelah ia datang, mereka memberikannya kepada orang itu, lalu ia berkata, “Apa
ini?” Mereka menjawab, “Bagian yang telah Nabi saw tentukan untukmu.” Kemudian
ia mengambilnya dan membawanya kepada Nabi saw. Ia bertanya, “Apa ini?” Beliau
bersabda, “Aku telah membaginya untukmu.” Ia berkata, “Bukan untuk hal ini aku
mengikutimu. Namun, aku mengikutimu agar aku ditembak dengan panah di sini – ia
menunjukkan lehernya – lalu aku mati dan masuk surga.” Beliau bersabada, “ Jika
kau jujur kepada Allah, niscaya Allah akan mempercayaimu.” Lalu, mereka diam
sejenak, kemudian bangkit melawan musuh. Orang tersebut dibawa ke tempat Nabi
saw dengan cara diangkut. Ia terkena panah di tempat yang ia tunjukkan. Lalu,
Nabi saw bersabda, “Apakah ia orangnya?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau
bersabda, “Dia benar dalam berjanji kepada Allah, Allah membalasnya dengan
kebenaran.” Kemudian Nabi saw mengafaninya dengan jubah beliau. Beliau
menempatkannya di depan dan menshalatkannya. Doa yang terdengar dalam shalat beliau yaitu. “Ya Alah, inilah hamba-Mu,
ia telah keluar berjihad di jalan-Mu, lalu ia terbunuh dalam keadaan syahid,
aku menjadi saksi atas hal tersebut.” (HR Nasa’)
2. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, “Ketika Perang
Uhud, Nabi saw melewati jasad Hamzah bin Abdul Muthalib dalam keadaan telah
terpotong dan dimutilasi. Beliau berkata, “Kalau saja Shafiyyah tidak tertekan
melihatnya, aku akan meninggalkannya untuk dimakan oleh binatang, sampai ia
dibangkitkan di Mahsyar nanti dari perut-perut burung dan binatang buas.” Lalu, beliau mengafaninya dengan
selembar kain. Jika ditutup bagian kepalanya, kakinya terbuka. Jika kakinya
ditutup, kepalanya terbuka, dan beliau tidak menshalatkan para Syuhada’, selain
Hamzah.” (HR Abu Dhawud dan Hakim).
3. Dari Abdullah bin az-Zubair berkata, “Sungguh
Rasulullah saw pada Perang Uhud memerintahkan untuk membungkus Hamzah dengan burdah.
Kemudian beliau menshalatkannya dan (pada shalatnya itu) beliau bertakbir
hingga sembilan kali. Kemudian para pejuang yang tewas dibaringkan berbaris,
lalu beliau menshalatkan mereka dan menshalatkannya bersama mereka (para
sahabat).” (HR ath-Thahawy).
Menuru Ibnul Qayyim, pendapat yang benar dalam hal
ini adalah diperbolehkan untuk memilih, antara menshalatkan para syuhada’ atau
tidak. Sebab, banyaknya hadits yang menjelaskan kedua perkara ini. Dan riwayat
Imam Ahmad adalah salah satu yang paling sesuai dengan prinsip-prinsipnya
mazhabnya.
Jumlah
Syuhada’ dari Para Sahabat r.a.
Dari Ubay bin Ka’ab. “Pada Perang Uhud, enampuluh
empat orang Anshar tewas dan enam orang dari Muhajirin, salah satunya adalah
Hamzah. Quraisy memutilasi mereka sehingga kaum Anshar berkata, “Jika suatu
saat nanti kita dapat membunuh mereka, kita akan mencincang mereka, lebihn dari
apa yang telah mereka lakukan.” Pada hari penaklukkan Makakh, seorang tak
dikenal berkata, “Tidak akan ada Quraisy
lagi setelah hari ini.” Kemudian Allah menurunkan firman-Nya kepada nabi-Nya,
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS an-Nahl (16) : 126).
Kemudian Rasulullah saw berkata, “(Cukup) tinggalkan orang-orang itu.” (HR
Turmudzi dan Hakim).
Dari al-Bara’ bin Azib berkata, “Rasulullah saw
membentuk pasukan pemanah pada Perang Uhud .... (lalu dipaparkan haditsnya)
hingga pernyataannya, “Mereka yang tewas di antara kami ada 70 orang. Sama
dengan jumlah orang musyrik yang pernah dibinasakan oleh Rasulullah dan
sahabatnya. Aku melihatnya berkata, “Pada Perang Badar 140 orng, 70 orang
tertangkap dan 70 orang tewas.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Mereka
Hidup di Sisi Allah dan Dikaruniai Rezeki
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. Masruq berkata, “Kami
bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud tentang ayat ini, “Dan jangan sekali-kali
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya
mereka itu hidup di sisi Tuhannya menedapat rezeki.” (QS Ali ‘Imran (3) 169).
Dia berkata, “Kami bertanya tentang hal itu dan Nabi saw berkata, “Jiwa mereka
berada di bagian dalam burung hijau, berkeliaran bebas di surga di mana pun
mereka mau, kemudian berlindung kepada lentera yang menggantung di ‘Arsy’.
Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, Tuhan mereka melemparkan pandangan-Nya
kepada mereka dan berkata, “Mintalah apa pun yang kalian inginkan.” Mereka
berkata, “Wahai Tuhan kami, apalagi yang kami minta, sedangkan kami berkeliaran
dengan bebas di surga. Ketika mereka tidak ditinggalkan hingga mereka meminta
sesuatu, merek berkata, “Kami ingin Engkau menempatkan kembali jiwa kami ke
dalam tubuh kami di dunia, hingga kami terbunuh di jalan-Mu.” Dan ketika Dia
melihat bahwa mereka tidak meminta apa-apa selain itu, mereka dibiarkan.” (HR
Muslim dan Turmudzi).
Dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi saw bersabda,
“Ketika saudara-saudara kalian yang meninggal pada Perang Uhud, Allah
menempatkan jiwa mereka di bagian dalam burung hijau yang turun ke
sungai-sungai di surga, makan buah-buahannya, dan bersarang di lampu emas yang
menggantung di ‘Arsy. Ketika mereka merasakan manisnya makanan mereka, minum
dan istirahat, mereka ebrtanya, “Siapa yang akan memberitahu saudara-saudara
kita tentang kita bahwa kita hidup di surga dan diberi rezeki agar mereka tidak
menjadi pengecut ketika berperang dan tidak segan untuk berjihad?” Allah SWT
berfirman, “Aku akan memberi tahu mereka tentang kalian.” Kemudian Allah
menurunkan firman-Nya, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati ....” (QS Ali ‘Imran (3) : 169) (HR Abu
Dawud dan Hakim).
Pemakaman
Para Syuhada’ dan Didahulukannya yang Paling Banyak Menghafal Al-Qur’an
Dari Hisyam bin Amir r.a. berkata, “Pada Perang
Uhud, mereka yang mengurusi yang luka dan tewas mengeluh kepada Rasulullah,
kemudian beliau berkata, “Galilah, perluaslah, perbaikilah, dan kuburkanlah dua
atau tiga orang dalam satu liang. Dan dahulukanlah orang yang tahu paling
banyak menghafal Al-Qur’an.” Ayahku meninggal sehingga ia ditempatkan sebelum
dua orang lainnya.” (HR Turmudzi dan Abu Dawud).
Dari Anas bin Malik, “Jumlah yang terbunuh banyak
dan kain (untuk mengafani) minim.” Anas berkata, “Rasulullah mengumpulkan tiga
atau dua orang di satu kuburan. Rasulullah saw bertanya, “Manakah dari mereka yang
paling banyak menghafal Al-Qur’an, dialah yang di dahulukan ke liang lahat. Dan
dua orang atau tiga, dikafani dalam satu baju.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan
Hakim).
Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah saw pernah menggabungkan dua orang laki-laki yang gugur dalam Pearng
Uhud dalam satu kain. Lalu, beliau bersabda, “Siapakah di antara mereka yang
paling banyak menghafal Al-Qur’an?” Jika beliau telah diberi tahu kepada salah
satu di antara kedunya, beliau mendahulukannya ditempatkan di liang lahat.
Lalu, beliau bersabda, “Aku akan menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat.”
Beliau memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak
dishalatkan, dan juga tidak dimandikan.” (HR Bukhari).
Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Rasulullah
jika disebutkan (nama-nama) para syuhada’ Perang Uhud, beliau berkata, “Demi
Allah, aku sangat menginginkan diriku ditinggal bersama para sahabat yang ada
di bawah gunung.” Dalam riwayat lain disebutkan, beliau berkata, “Aku gugur
bersama mereka.” (HR Ahmad).
Nabi
saw. Memuji Allah SWT
Daei Ubaidillah bin Rifa’ah r.a. berkata, “Pada
Perang Uhud ketika kaum musyrikin telah kembali, Rasulullah saw berkata,
“Mereka telah eprgi, hingga aku (punya waktu) untuk memuji Tuhanku (shalat).”
Kemudian para sahabat membuat barisan di belakang beliau. Beliau saw berkata, “Duhai Allah, untuk-Mu segala
puja dan puji. Duhai Allah, tidak ada yang kuasa untuk menggenggam apa yang
telah Kau bentangkan dan tak ada yang bisa meraih apa yang telah Kau genggam,
tak ada yang kuasa untuk memberi petunjuk pada ia yang telah Kau sesatkan, tak
ada yang dapat menyesatkan seseorang yang Kau beri hidayah, tak ada yang bisa
memberi sesuatu yang telah kau tolak, dan tak ada yang mampu menolak apa yang
telah Kau berikan, tak ada yang dapat mendekatkan apa yang telah Kau jauhkan,
dan tak ada yang mampu untuk menjauhkan apa yang telah kau dekatkan. Duhai Allah,
bentangkan kepadea kami sesuatu dari berkah-berkahmu, rahmat-Mu, keutamaan-Mu,
dan Rezeki-Mu. Duhai Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kenikmatan
bermukim (di surga-Mu) yang tak berubah dan tak hilang. Duhai Allah, sungguh
aku meminta keapda-Mu surga Na’im pada hari penderitaan, rasa aman pada hari
penuh ketakutan. Duhai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang
Kau berikan, dan dari keburukan dari apa yang telah Kau larang. Duhai Allah,
jadikanlah keimanan menjadi sesuatu yang menyenangkan buat kami, dan hiasilah
hati kami dengannya, butlah kekufuran menjadi sesuatu yang kami benci, juga
kefasikan dan kedurhakaan, dan jadikanlah kami orang-orang yang mendapat
petunjuk. Duhai Allah, matikanlah kami sebagai muslim, hidupkan kami sebagai
muslim, dan temukanlah kami dengan orang-orang shalih, bukan orang yang
terhina, dan bukan orang yang terperdaya oleh fitnah. Duhai Allah, binsakanlah
orang-orang kafir yang mendustakan utusan-Mu, yang menghadang di jalan-Mu, dan
jadikanlah bencana dan siksa-Mu atas mereka. Duhai Allah, binasakanlah
orang-orang kafir yang telah diberikan al-Kitab, duhai Tuhan Pemilik
kebenaran.” (HR Ahmad).
Dari Anas bin Malik r.a. berakta, Sungguh
Rasulullah saw pada Perang uhud berkata, “Wahai Allah, sungguh jika Engkau menghendaki, Engkau tidak disembah di bumi
ini.” I(HR Muslim).
Gunung
Ini Mencintai Kita dan Kita Mencintainya
Ketika mereka dalam perjalanan kembali ke Madinah,
Nabi saw dan para sahabatnya di samping Gunung Uhud, beliau memberi tahu mereka
bahwa gunung ini mencintai mereka dan mereka pun mencintainya.
Dari Anas bin Malik, “Ketika Gunung Uhud tampak di
hadapan Rasulullah saw beliau berkata, “Ini gunung yang mencintai kita dan kita
cintai. Wahai Allah, Ibrahim menyucikan Makkah dan aku telah menyucikan daerah
antara dua pegunungan 9Madinah(.” (HR Bukhari dan Muslim).
Cinta
dan Pengorbanan yang Tak Ada Duanya
Usai memakamkan para syuhada’, memuji Allah dan
bersimpuh kepada-Nya, beliau bersiap kembali ke Madinah. Muncul kisah-kisah
cinta dan pengorbanan dari para wanita mukminah yang benar, sebagaimana yang
tampak pada kaum mukminin pada saat perang berlangsung.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. berkata,
“Rasulullah melewati seorang perempuan dari Bani Dinar, suaminya, saudaranya,
dan ayahnya gugur bertempur bersama Rasulullah di Uhud. Ketika semua orang
berduka cita atasnya, perempuan itu berkata, “Bagaimana keadaan Rasulullah
saw?” mereka berkata, “baik, wahai Ummu Fulan, beliau, alhamdulillah, (dalam
keadaan) yagn engkau sukai.” Ia berkata, “Perlihatkanlah beliau kepadaku hingga
aku dapat melihatnya.” Sa’ad berkata, “Lalu ditunjukkan kepadanya hingga ia
dapat melihat Rasulullah. Lalu berkata, “Semua musibah setelah (memandangmu
menjadi ringan.” (HR Ibnu Hisyam, Baihaqi, dan Thabari).
Nabi
saw Bersaksi Untuk Mereka, Kesaksian yang Mahal
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata,”Ali r.a. datang
dengan pedangnya pada peristiwa Uhud yang telah bengkok. Lalu, ia berkata
kepada Fatimah r.a., “Jagalah pedang ini baik-baik, ia telah melindungiku.”
Rasulullah saw berkata, “Jika kau pandai menyerang dengan pedangmu maka Sahl
bin Hanif, Abu Dujanah, Ashim bin Tsabit al-Aqlah, dan al-Harits bin
ah-Shimmah, mereka semua juga mahir.” (HR Hakim dan Thabrani).
Perang
Hamra’ al-Asad
Ketika Abu Sufyan dan pasukannya kembali ke Makkah,
mereka saling memandang satu sama lain dan saling mencela. Sebagian berkata
kepada yang lainnya, “Kau tidak beruat apa pun (pada saat perang). Kau kena
kekuatan dan ketajaman mereka. Beberapa orang dari mereka masih tersisa, yang
tengha menghimpun kekuatan untuk menyerang kalian. Maka kembalilah kalian agar kita dapat
menumpas mereka.” Pernyataan ini sampai kepada Rasulullah saw. Beliau menyeru
kaum Muslimin dan menganjurkan mereka untuk pergi menghadang musuh. Dan beliau
berkata, “Tidak boleh pergi bersama kami, kecuali orang-orang yang pernah turut
berperang.” Abdullah bin Ubay berkata kepada beliau, “Bolehkah aku turut
bersamamu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Kaum muslimin menyambut seruan beliau
meskipun mereka masih terluka dan sangat ketakutan. Mereka berkata, “Kami
mendengar dan kami taat.”
Jabir bin Abdullah meminta izin kepada beliau untuk
turut, “Wahai Rasulullah saw, aku menginginkan agar engkau tidak menyaksikan
suatu peristiwa, melainkan aku bersamamu. Ayahku menitipkan anak-anak
perempuannya kepadaku, izinkanlah aku untuk turut bersamammu.” Rasulullah
mengizinkannya.
Rasulullah dan kaum muslimin yang turut bersamanya
bergerak hingga tiba di Hamra’ al-Asad (suatu tempat yang terletak 8 mil dari
Madinah, sebelah kiri jalan ketika menuju Dzu al-Hulaifah). Saat itu datang
Ma’bad bin Abu Ma’bad al-Khuza’i menemui Rasulullah saw, ia memeluk Islam.
Beliau memerintahkannya agar menemui Abu Sufyan untuk menipunya. Ia pun bertemu
dengannya di ar-Rauha’ dan Abu Sufyan tidak mengetahui ke-Islaman-nya.
Abu Sufyan berkata, “Apa yang terjadi, wahai
Ma’bad?”
Ma’bad berkata, “Muhammad dan para pengikutnya
mereka murka kepada kalian, dan mereka telah pergi dengan jumlah besar, di mana
belum pernah mereka pergi dengan jumlah seperti itu. Para sahabatnya yang sempat
pulang sebelum pertempuran, mereka menyesal!”
Abu Sufyan berkata, “Lalu, apa pendapatmu?”
Ma’bad berkata, “Menurutku seharusnya engkau tidak
pergi hingga pasukan pertama muncul dari balik bukit ini.”
Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, kami telah
menghimpun kekuatan untuk menumpas mereka.”
Ma’bad berkata, “Jangan lakukan, aku betul-betul
menasihatimu.”
Mereka pun pulang kembali ke Makkah. Di tengah
perjalanan, Abu Sufyan bertemu dengan kaum musyrikin, yang hendak menuju ke
Madinah.
Ia berkata, “Sampaikan kepada Muhammad bahwa kami
telah menghimpun kekuatan untuk membinasakannya dan para pengikutnya.” Ketika
hal itu sampai kepada kaum muslimin, mereka berkata, “ .... Cukuplah Allah
(menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” Maka mereka kembali
dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu
bencana dan mereka mengikuti keridhaan Allah. Allah mempunyai karunia yang
besar.” (QS Ali ‘Imran (3) : 173-174).
Anggapan
Tak Berdasar, Jawaban atasnya
Dari Urwah bin az-Zubair r.a. bahwa Aisyah r.a.
berkata kepadanya,. “Wahai anak saudariku, ayahmu – az-Zubair dan Abu Bakar –
termasuk, “(Yaitu) orang-orang yang menaati (perintah) Allah dan Rasul setelah
mereka mendapat luka (dalam Perang Uhud) .... “ (QS Ali ‘Imran (3) : 172).
Ketika kaum musyrikin telah meninggalkan Uhud dan
Nabi saw beserta para sahabatnya tertimpa apa yang menimpa mereka, Rasulullah
takut mereka akan kembali. Maka beliau saw berkata, “Siapa yang sukarela
mengikuti jejak mereka agar mereka tahu bahwa kita masih memiliki kekuatan?”
Abu Bakar mengajukan dirinya dan juga az-Zubair di antara 70 orang yang
berangkat. Mereka semua pergi mengikuti jejak kaum musyrikin. Kaum musyrikin
mendengar tentang mereka dan mereka pun kembali ke Makkah. Allah berfirman, “Maka
mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak
ditimpa suatu bencana dan mereka
mengikuti keridhaan Allah. Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Ali ‘Imran
(3) : 174). Mereka tidak ebrtemu dengan musuh. (HR Bukhari).
Menurut
al-Hafizh Ibnu Katsir, setelah menyebut hadits ini, “Susunan kata pada
hadits ini aneh sekali. Yang populer di kalangan para perawi bab-bab tentang
peperangan bahwa yang berangkat bersama Rasulullah saw menuju Hamra’ al-Asad
adalah semua yang ikut bertempur di Uhud. Mereka ada 700 orang, yagn tewas 70
orang, maka tersisalah yang ada.” Menurut Asy-Syami, “Sebenarnya tidak ada
perselisihan antara pernyataan Aisyah dan para periwayat bab-bab peperangan
karena maksud dari pernyataannya “70 orang secara sukarela berangkat.”
Merekalah yang pergi lebih dulu, yang kemudian diikuti oleh yagn masih
tersisa.”
Hukum-Hukum
Fiqh yang Terkandung dalam Perang Uhud
Imam Ibnul Qayyim dalam bukunya yagn sangat
monumental Zad al-Ma’ad, ia menyatakan sesuatu yang sangat penting, tentang
hukum-hukum fiqh yang terdapat dalam Perang Uhud.
1. Jihad wajib dengan adanya seruan atasnya. Jika
seseorang telah memakai perisainya dan memiliki segala fasilitas untuk pergi
dan bersiap-siap untuk breangkat, ia tidak boleh pulang sampai bertempur
melawan musuh.
2. Tidak wajib bagi kaum muslimin untuk pergi
keluarmenghadapi musuh jika musuh telah mengetuk pintu rumah mereka. Mereka
boleh tetap tinggal di rumah-rumah mereka dan menyerang mereka dari dalam rumah
jika hal itu lebih dapat memenangkan mereka atas lawan. Sebagaimana yang telah
diisyaratkan oleh Rasulullah saw pada Perang Uhud.
3. Seorang panglima bersama pasukannya boleh
melewati properti milik rakyatnya jika hal itu menghalangi jalannya meskipun si
pemilik tidak rela.
4. Rasulullah tidak mengizinkan anak-anak yang
belum memiliki kemampuan untuk berperang karena belum baligh, bahkan beliau
menolak mereka jika ingin pergi. Seperti halnya Rasulullah saw menolak Ibnu
Umar dan temannya.
5. Dibolehkan berperang dengan mengajak kaum wanita
dan memberi mereka tugas dalam jihad.
6. Dibolehkan terjun langsung ke tengah musuh,
sebgaimana yang dilakukan oleh Anas bin an-Nadhr dan lainnya.
7. Seorang panglima jika ia terluka, ia dapat
shalat bersama pasukannya dengan duduk dan pasukannya shalat di belakangnya duduk juga. Sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah dalam peperangan ini. Dan sunnah beliau ini berlanjut
hingga beliau wafat.”
8. Seseorang boleh berdoa untuk gugur di jalan
Allah atau memimpikannya. Dan ini bukan termasuk bab bermimpi untuk mati yang
terlarang.
9. Sunnah untuk menguburkan para syuhada’ di tempat
mereka bertempur dan tidak dibolehkan ke tempat lain.
10. diperbolehkan memakamkan dua atau tiga orang
dalam satu kubur.
11. Orang yang diperbolehkan untuk tidak berjihad
karena sakit atau cacat, ia boleh ikut berperang meskipun tidak wajib baginya.
Seperti Amru bin al-Jamuh, yang pincang.
12. Kaum muslimin dalam berjihad jika mereka
membunuh seseorang yagn dikira kafir, pemimpin wajib membayarkan diyatnya dari
Bait al-Ma; (Kas negara). Sebab, Rasulullah saw hendak membayar diyat untuk
al-Yaman, ayah Hudzaifah, tetapi ia menolak mengambilnya dan menyedekahkannya
kepada kaum muslimin.
Himah
dan Tujuan Mulia yang Terdapat dalam Perang Uhud
Allah SWT
mengisyaratkan pada hikmah utama dan asasnya di Surat Ali ‘Imran dengan memulai
kisah dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah). Ketika engkau (Muhammad) berangkat
pada pagi hari meninggalkan keluargamu untuk mengatur orang-orang beriman pada
pos-pos pertempuran. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Ali ‘Imran (3)
: 121) hingga 60 ayat berikutnya.
1. Allah memberi tahu
mereka akibat buruk dari durhaka, merasa gagal dan perpecahan. Dan mereka yang
tertimpa hal-hal tersebut, disebabkan perasaan pesimis. Allah berfirman, “Dan
sungguh Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka
dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan
mengabaikan perintah Rasul setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu
sukai. Di antara kamu ada orang yang
menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yagn menghendaki
akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu, tetapi
Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang
diberikan) kepada orang-orang mukmin.” (QS Ali ‘Imran (3) : 152).
Ketika mereka merasakan
akibat perbuatan durhaka mereka kepada Rasulullah saw, perpecahan dan kelemahan
mereka, mereka lebih berhati-hati, mawas diri, dan menjauhi beragai faktor
kelemahan diri.
2. Hikmah Allah dan
sunnah-Nya kepada para Rasul-Nya dan pengikut mereka berlaku bahwa mereka akan
dimenangkan sekali dan dikalahkan di lain waktu, tetapi kemenangan di akhir
selalu milik mereka. Sebab, jika mereka selalu menang, semua orang beriman dan
tidak akan tampak seperti satu kelompok. Orang yang benar-benar beriman tidak
akan tampak berbeda dari yang lainnya. Namun, jika mereka selalu dikalahkan,
tujuan pengutusan dan penurunan risalah tidak akan tercapai.
3. Hal di atas
merupakan sesuatu yang selalu terjadi pada diri para rasul. Sebagaimana
Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Apakah kalian memeranginya?” Abu Sufyan
menjawab, “Ya.”
“Bagaimana peperangan
antara kalian dan dia (Rasulullah)?” tanya Heraklius lagi.
“Berganti, kami
dimenangkan sekali waktu dan ia menang di lain waktu.” Jawab Abu Sufyan.
“Begitulah para rasul
diuji, tetapi kemenangan pada akhirnya akan menjadi milik mereka.” Kata
Heraklius.
4. Mukmin yangs ejati
bsia dibedakan dari kaum munafik pembohong. Ketika kaum muslim dimenangkan oleh
Allah atas musuh mereka pada Perang badar dan berita itu menyebar, mereka yagn
tidak meyakini Islam secara batin ikut masuk Islam juga secara lahir saja.
Lalu, hikmah dari ketentuan Allah, Dia menguji hamba-Nya untuk membedakan
antara yang mukmin dan munafik.
Allag SWT berfirman,
“Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan
kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dan yang baik. Allah
tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yagn gaib, tetapi Allah memilih
siapa saja yang Dia kehendaki di antara rasul-rasul-Nya. karena itu berimanlah
kepada Allah dan rasul-Nya. jika kamu beriman dan bertakwa, maka kamu akan
mendapat pahala yang besar.” (QS Ali ‘’Imran (3) : 179).
5. Menampakkan
penghambaan para kekasih-Nya dan golongan-Nya saat senang ataupun susah, pada
apa yang mereka cintai ataupun yang mereka benci. Saat mereka menang atas
musuh, atau sebaliknya musuh menang atas mereka, jika mereka teguh pada
ketaatan dan penghambaan pada apa yang mereka cintai ataupun yang mereka benci,
mereka hamba-Nya yang sejati. Mereka bukan yang menyembah Alalh atas satu
kondisi kesenangan, kenikmatan dan kesehatan saja.
6. jika Allah selalu
memenangkan mereka dan membuat mereka selalu unggul di setiap pertempuran dan
selalu membuat mereka menguasai musuh, jiwa-jiwa mereka akan sombong dan tinggi
hati. Jika Allah selalu membentangkan kemenangan dan keberuntungan untuk
mereka, mereka akan seperti ketika dibentangkan rezeki untuk mereka. Itu tidak
baik untuk para hamba-Nya, kecuali kesenangan dan kesusahan, kesempitan dan
kelapangan, digenggam dan dibentangkan. Dialah yang mengatur seluru urusan
hamba-Nya, sesuai dengan hikmah-Nya. dialah yang Maha Mengetahui mereka dan
Maha Melihat.
7. Alalh SWT jika
menguji mereka dengan kekalahan, perpecahan, dan keruntuhan, mereka akan rendah
diri, terpecah, dan terhina. Kemudian pemberian kekuatan dan kemenangan menjadi
sebuah keharusan bagi mereka. Lalu, pada pencabutan kemenangan itu terjadi
karena adanya sikap rendah diri dan perpecahan. Allah SWT berfirman, “Dan sungguh
Allah telah menolong kamu dalam Perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah
.....” (QS Ali ‘Imran (3) : 123). Dan firman-Nya juga. “ .... dan (ingatlah)
Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah
banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu....” (QS at-Taubah (9) : 25).
8. Allah SWT menyiapkan
kedudukan di rumah penghormatan-Nya, bukan amalan mereka yagn menyebabkan
mereka mencapainya. Tidaklah mereka mencapainya, kecuali dengan ujian dan
cobaan. Allah telah menyiapkan sarana berupa ujian yang membuat mereka sampai
pada kedudukan itu.
9. Jiwa-jiwa manusia
yang selalu dalam keadaan baik, menang, kaya, dan selalu tunduk pada perasaan
tergesa-gesa. Hal ini merupakan penyakit yang membuatnya jauh dari
kesungguh-sungguhan dalam perjalanannya menuju Allah dan rumah akhirat.
10. Syahid adalah
derajat tertinggi kekasih-Nya. para Syuhada’ adalah orang-orang istimewa dan
hamba-hamba-Nya yang mendekat keapda-Nya. tidak ada derajat setelah keimanan
yang tulus, kecuali syahid. Allah SWT cinta untuk menjadikan para syuhada’
sebagai hamba-Nya.
11. Jika Allah SWT
menginginkan untuk membinasakan musuh-musuh-Nya dan menghancurkan mereka, Dia
telah menyiapkan segala sesuatu yang menjadi sarana kehancuran dan kebinasaan
mereka. Di antaranya yang paling berat adalah kufurnya mereka, kesombongan,
kediktatoran, dan keterlaluannya mereka dalam menindas para kekasih-Nya,
memerangi mereka, membunuh mereka, dan menguasai mereka. Dengan begitu para
kekasih Allah terhapus dosa dan aib mereka. Dengan begitu musuh-musuh-Nya makin
hancur dan binasa.
12. Perisitiwa Uhud
merupakan permulaan dan terapi kejut dengan kabar kematian Rasulullah saw.
Kemudian Allah meneguhkan mereka dan mencerca mereka karena mereka berbalik
melarikan diri ketika (mendengar) Rasulullah gugur atau terbunuh. Kewajiban
mereka kepada Allah untuk tetap teguh pada agama-ya. Sebab, mereka menyembah
Tuhannya Muhammad Yang Mahahidup dan tak akan pernah mati.
DAMPAK
PERANG UHUD
Perang Uhud menyisakan banyak hal, mengingat banyak
orang yang takut pada Islam dan para pemeluknya yang membatalkan perjanjian.
Meskipun Nabi saw dan para sahabatnya pergi menuju Hamra’ al-Asad dan kekuatan
yang mereka perlihatkan, peristiwa yang terjadi di Uhud terlanjur membuat
orang-orang Badui berani dan mulai berusaha untuk menggempur Madinah,
menyerang, dan menjarah harta bendanya.
Pristiwa ini juga membuat kaum Yahudi di Madinah
berani memperlihatkan kedengkian mereka yang terpendam pada Islam dan
pemeluknya. Mereka terang-terangan menghina kaum muslimin. Berungkali berusaha
untuk memperdaya Islam dan pemeluknya. Peristiwa ini juga membuat kaum munafik
menampakkan kemunafikan mereka. Mereka berusaha untuk melebur di barisam kaum
muslimin, menyebarkan berita-berita bohong untuk memecah belah barisan pasukan
Islam.
Abdullah
bin Unais Membunuh Musuh Allah, Khalid bin Sufyan al-Hudzly
Abdullah bin Unais
berkata, “Rasulullah saw memanggilku dan bersabda, “Telah sampai keapdaku
sebuah berita bahwa Ibnu Sufyan bin Nabih al-Hudzly tengah menghimpun pasukan
untuk memerangiku. Dia sekarang berada di Nakhlah atau Umah, datangilah dia,
lalu bunuh.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku ciri-cirinya
agar aku mengetahuinya.” Beliau berkata, “Sunggih, jika engkau melihatnya, ia
mengingatkanmu pada setan. Dan tanda antara kau dan dia. Jika engkau
melihatnya, engkau akan dapatkan dia gemetar menggigil.” Abdullah berkata, “Aku
pergi, dengan membawa pedang yang kusarungkan, yang kutempatkan di sebuah bilik
kecil (di atas punggung unta). Pada waktu Ashar ketika aku meihatnya, aku mendapatkan
seperti apa yang dikatakan Rasulullah saw, ia menggigil. Aku datang kepadanya,
aku khawatir jika terjadi pertarungan antara aku dan dia, lalu aku menunaikan
shalat terlebih dahulu. Lalu, aku berjalan ke arahnya, aku memberi isyarat
dengan kepalaku. Ketika aku sampai kepadanya, dia berkata, “Siapa laki-laki
itu?” Aku berkata, “Seseorang dari Bangsa Arab yang mendengar bahwa kau telah
menghimpun pasukan untuk (memerangi) laki-laki itu (Muhammad), lalu lelaki ini
(Abdullah bin Unais) mendatangimu untuk itu.”
“YA, betul. Aku tengah
melakukannya,” kata Ibnu Sufyan.
Abdullah berkata, “Aku
berjalan bersamanya beberapa saat, sampai tepat waktunya, aku menyerangnya
dengan pedang, dan aku membunuhnya. Kemudian aku pergi dan kutinggalkan
istri-istrinya menangisinya. Ketika aku mendatangi Rasulullah saw, beliau
melihatku dan berkata, “Orang yagn beruntung.” Aku berkata kepada beliau, “Aku
telah membunuhnya, wahai Rasulullah.”
“Kau benar,” kata
beliau.
Lalu, beliau bangkit
dan meminta aku masuk ke rumahnya. Beliau memberiku tongkat dan berkata,
“Jagalah tongkat ini di sisimu, wahai Abdullah bin Unais.”
Abdullah berkata, “Aku
membawanya dan memperlihatkannya kepada orang-orang.”
Mereka berkata,
“Tongkat apa ini?”
Aku jawab, “Rasulullah
memberikannya kepadaku dan memintaku untuk menjaganya di sisiku.” Mereka
berkata, “Mengapa engkau tidak kembali kepada beliau dan bertanya kepada beliau
untuk apa tongkat itu?”
Abdullah berkata, “Aku
pun kembali kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah mengapa engkau
memberiku tongkat ini?”
Beliau berkata,
“Sebagai tanda antara engkau dan aku di hari kiamat. Sungguh pada hari itu,
sedikit sekali orang yang bersandar pada amalannya (al-Mutakhasshr’un),”
Abdullah menjadikan tongkat sebagai gagang pedangnya. Ia masih menggenggam
pedangnya, hingga ia wafat. Ia memerintahkan agar pedang itu dimasukkan ke
dalam kafannya, lalu dikubur bersamanya.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Baihaqi).
Peristiwa
ar-Raji’
Sebelum saya paparkan detail peristiwa ar-Raji’,
saya ingin menjelaskan dulu kisah di balik peristiwa ini. Kisah Ashim bin
Tsabit – salah satu terbunuh pada peristiwa ar-Raji’ – agar kita tahu bagaimana
Allah memuliakan para kekasih-Nya dan menolong mereka jika mereka menolong
syariat, dan sunnah Nabi-Nya.
Ashim bin Tsabit adalah kakek Ashim bin Umar bin
Khaththab. Dia juga termasuk salah satu yang diuji pada Perang Uhud.
Dia emmiliki masalah dengan Sulafah binti Sa’ad.
Perempuan musyrikah ini pergi bersama suami dan ketiga anaknya. Musaffi.
Al-Jullas, dan Kilab menuju Uhud. Setelah perang berkecamuk, dia melihat mereka
tergeltak di kaki gunung.
Musaffi dan Kilab, mereka berdua telah mati. Adapun
al-Jullas, ia masih hidup, Sulafah menangisi anaknya yang sedang sekarat. Ia
menyandarkan kepala anaknya di pangkuannya. Ia mengusap pelipis dan mulutnya
yang berdarah. Air matanya telah mengering karena bencana buruk ini. Kemudian
ia menatapnya dan berkata, “Siapa yang menyerangmu nak?” Al-Jullas ingin
menjawabnya, tetapi pedihnya kematian menghalanginya. Ibunya terus
mengulang-ulang pertanyaannya dan akhirnya ia menjawab, “Ashim bin Tsabit yang
menyerangku. Ia juga yang membunuh Musaffi. Lalu, ia menghembuskan nafasnya
yang terakhir.
Sulafah binti Sa’ad sangat murka, tangisnya
tercekat. Ia bersumpah demi Latta dan Uzza, ia tidak akan hidup tenang, air
matanya tak akan kering, sebelumQuraisy dapat membunuh Ashim bin Tsabit dan
memberinya tempurung kepalanya untuk minum khamar.
Abu Ja’far ath-Thabary berkata, “Ia mengadakan
sayembara bahwa bagi yang bisa mendapatkan kepala Ashim, ia akan dikasih 100 ekor unta.” Kabar nazarnya
itu tersebar di antara kaum Quraisy. Setiap pemdua Makakh berharap bisa
membunuh Ashim bin Tsabit dan mempersembahkan kepalanya kepada Sulafah. Hingga
pada saat peristiwa ar-Raji’ terjadi pada tahun 4 H.
Rincian
Peristiwa ar. Raji’
Dari Abu Hrairah berkata, “Nabi saw mengirim
pasukan mata-mata dan menunjuk Ashim bin Tsabit, kakek dari Ashim bin Umar bin
Khaththab sebagai pemimpin mereka. Pasukan itu berangkat dan ketika mereka
mencapai (tempat) antara Usfan dan Makkah, mereka teringat ada salah satu suku
Bani Hudhail disebut Bani Lihyan. Mereka mengikuti sekitar seratus pemanah dan
mereka makin dekat dengan jejak mereka, sampai mereka singgah di sebuah rumah.
Mereka mendapatkan di sana biji-biji kurama yang mereka jadikan bekal perjalanan
dari Madinah. Para prajurit berkata, “Ini adalah kurman Madinah.” Pasukan
mengikuti jejak mereka sampai dapat menyusul mereka. Ketika Ashim dan
teman-temannya tiba di sana , mereka naik ke atas tempat yagn tinggi dan mereka
mengepung Ashim dan kawan-kawannya, lalu berkata, “Umtuk kalian perjanjian dan
kepercayaan jika kalian turun ke kami, kami tidak akan membunuh siapa pun dari
kalian.” Ashim berkata, “Aku tidak akan pernah turun untuk mendapatkan jaminan
dari seorang kafir. Wahai Allah, beri tahu Nabimu tentang kami.” Mereka
bertempur dan mereka membunuh Ashim bersama tujuh temannya dengan panah. Tinggalah
Khubaib dan Zaid dan seorang pria lain. Mereka setuju dengan janji dan jaminan
kepercayaan. Ketika orang-orang kafir memberi mereka perjanjian dan kepercayaannya,
mereka turun. Ketika mereka menangkap orang-orang muslim itu, mereka membuka
tali busur panah mereka dan mengikat mereka dengan tali tersebut.
Orang ketiga yang bersama Khubaib dan Zaid berkata,
“Ini (maksudnya mengikat mereka dengan tali) adalah pelanggaran pertama dalam
perjanjian.” Ia menolak untuk turun bersama mereka. Mereka menyeretnya dan
mencoba untuk membuatnya berjalan bersama mereka, tetapi dia menolak,d an
mereka membunuhnya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan membawa Khubaib
dan Zaid, mereka menjual keduanya di Makkah.
Seseorang dari Bani al-Harits bin Amir bin Naufal
membeli Khubaib. Pada saat Perang Badar, Khubaib-lah yang membunuh al-Harits.
Khubaib tinggal bersama mereka untuk sementara waktu sebagai tawanan. Mereka
memutuskan untuk membunuhnya. (Saat itu) Khubaib meminjam pisau cukur dari
salah satu putri al-Harits untuk mencukur rambut kemaluannya. Dia
memberikannya. Dia berkata di kemudian hari, “Aku lalai dari ketika mengasuh
bayiku. Ia bergerak ke arah Khubaib, dan ketika mencapainya, dia meletakkan
bayiku di pahanya. Ketika aku melihatnya aku takut karena dia membawa pisau
cukur di tangannya. Dan dia melihat ketakutanku itu. Ia mengatakan, “Apakah kau
takut, aku akan membunuhnya? Isnya Allah, saya tidak akan pernah melakukan hal
itu.”
Kemudian perempuan itu berkata. Aku belum pernah
melihat tawanan yang lebih baik dari Khubaib. Aku pernahd melihat dia makan
anggur, padahal saat itu tidak ada buah-buahan yang tersedia di Makkah dan ia
terbelenggu dengan rantai besi. Hal itu tak lain merupakan karunia Allah yang
diberikan kepadanya.” Mereka membawanya keluar dari Haram (Makkah) untuk
membunuhnya. Dia berkata, “Izinkan aku untuk menunaikan shalat dua rakaat.”
Kemudian ia pergi kepada mereka dan berkata, “Jika saja kalian tidak berpikir
bahwa aku takut mati, aku menambah (jumlah rakaat shalatku).” Khubaib yang
pertama kali melakukan shalat dua rakaat sebelum dieksekusi. Dia kemudian
berkata, “Ya Allah, hitung mereka satu persatu.” (HR Bukhari dan Ahmad).
Kemudian ia berkata :
“Golongan-golongan
di sekitarku bersepakat menyeru kabilah-kabilah mereka
Mereka
berkumpul pada suatu perkumpulan
Mereka
telah mengumpulkan anak mereka, kaum perempuan mereka
Dan
aku didekatkan pada batang pohon yag panjang terikat
Kepada
Allah aku mengadu keterasinganku dan kegundahanku
Tidaklah
mereka mengumpulkan (masa itu) untuk melihatku
Pada
peraduanku
Wahai
pemilik ‘Arsy
Berilah
aku kesabaran atas apa yang akan mereka perbuat kepadaku
Mereka
telah memotong dagingku dan membunuh asaku
Mereka
memberi pilihan padaku untuk kufur,
Padahal
kematian mendekat
Mataku
menangis tanpa air mata
Dan
aku tidak peduli, ketika aku mati dalam keadaan Islam
Bagaimana
pun sayatannya, kepada Allah peraduanku
Itu
semua demi Dzat Ilahi, jika Dia menghendaki
Ia
akan memberkahi pada sendi-sendi raga yang telah tercabik-cabik
Jagalah
Allah, Allah Akan Menjagamu
Kita kembali lagi kepada Ashim bin Tsabit r.a.
Ketika ia belum terbunuh, kita perlu mengingat nazar Sulafah yang
menginginkannya. Sulafah ingin minum khamar dengan tempurung kepala Ashim jika
ia telah dibunuh. Ashim bangkit dan menyimpan pedangnya, lalu berkata, “Duhai
Allah, sungguhn aku menjaga agamamu, aku membelanya, jagalah daging dan
tulangku, jangan biarkan seseorang dari musuh Allah mendapatkannya. Wahai
Allah, sungguh aku menjaga agamamu di awal hari maka jagalah jasadku di akhir
nanti.”
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Ashim terbunuh, Hudzail
menginginkan kepalanya untuk mereka jual kepada Sulafah binti Sa’ad. Sekawanan
lebah menghalangi mereka untuk melakukannya. Ketika mereka tak dapat juga
mengambilnya karena sekawanan lebah itu, mereka berkata, “Biarkan dia (Jasad
Ashim) hingga petang menjelang, lebah itu akan pergi, lalu kita ambil
jasadnya.” Kemudian Allah mengutus lembah untuk mengubur Ashim, dan ia pun
lenyap dari pandangan.”
Ashim telah berjanji bahwa ia tidak sudi disentuh
seorang musyrik an ia juga tidak menyentuh musyrik selamanya, menghidnar dari
najis. Ketika sampai kepada Umar bin Khaththab kabar bahwa lebah menghalangi
mereka, Umar berkata, “Allah menjaga hamba yagn beriman. Ashim bernazar tidak
sudi disentuh seorang musyrik dan ia juga tidak menyentuh orang musyrik selama
hidupnya. Kemudian Allah menjaganya setelah ia wafat, sebagaimana ia
menjaga-Nya selama hayatnya.”
Dan balasan di sisi Allah serupa dengan jenis
amalannya. Ibnu Sayyid an-Nas, dalam al-Maqamat fi al-Karamat al-jaliyyah,
berkata, “Ashim bersumpah kepada Allah untuk tidak menyentuh orang musyrik.”
Perlindungan
Allah menjaga Ashim
Untuk
tidak disentuh sesuka hati dan dengan jari
Lembah
menguruknya setelah serbuan lebah untuk musuh-musuhnya
Pada
pertempuran yang memuliakannya
Lembah
membawanya jauh sekali ke tempat yang tak mereka ketahui
Allah menjaga kepala Ashim yang mulia untuk tidak
dijadikan tempat minum khamar. Dia menjaga ajarannya sehingga jasadnya dijaga.
Ia tidak menyentuh seorang musyrik sepanjang hidupnya, kaum musyrik pun tak
dapat menyentuhnya setelah ia mati.
Peristiwa Bi’r Ma’unah
Peristiwa ar-Raji’ memberi pelajaran bagi kaum
muslimin agar lebih cepat sebelum mengirim utusan untuk menyebarkan Islam di
antara kabilah-kabilah yagn jauh dan tempat-tempat yang tak diketahui atau
diragukan. Namun, urgensi utusan dakwah – meskipun menimbulkan kerugian –
membuat Nabi saw melihat bahwa
pengorbanan (dalam mengirim utusan dakwah) sebagai hal yang harus dilakukan.
Seperti halnya seorang pedagang yang membawa barang
yang berat pada suatu masa. Mengundurkan diri dari pasar merupakan sesuatu yang
harus ia jauhi. Oleh karena itu, ia tetap memanggulnya, hingga angin
mengembuskan kelapangan yang menggantikan apa yagn hilang.
Itulah sebabnya Rasulullah saw merespons permintaan
Abu Barra’ Amir bin Malik, yang digelari ‘Mula’ib al-Asinnah” (orang yang
mempermainkan mata tombak). Ketika ia meminta Rasulullah untuk mengirim utusan
dakwah, menyebarkan Islam di antara
kabilah-kabilah Najd.
Dari Anas bin Malik r.a. “Bahwa suku Ri’l, Dzakwan,
Ushaiya, dan Bani Lihyan meminta Rasulullah saw untuk mengirimkan kepada mereka
bala tentara melawan musuh mereka. Kemudian beliau mengirim untuk mereka tujuh
puluh orang dari Anshar, yang kami biasa menyebutnya al-Qurra di zaman mereka. Mereka
mengumpulkan kayu pada siang hari dan bermunajat di malam hari. Ketika mereka
berada di Bi’r Ma’unah, orang-orang kafir membunuh mereka dengan menghianati
mereka. Ketika berita ini sampai kepada Nabi saw, beliau membaca Qunut selama
satu bulan pada saat shalat Subuh, mendoakan keburukan atas beberapa suku Arab,
pada Ri’l, Dhakwan, Ushaiya, dan Bani Libya. Kami membaca ayat dari Al-Qur’an
yang berbicara tentang mereka. Ayat itu kiemudian dihapus (naskh). “Sampaikan
kepada kaum kami atas nama kami bahwa telah bertemu Tuhan kami dan Dia ridha,
dengan kami dan telah membuat kami ridha.” (HR Bukhari dan Muslim).
Para
Utusan Rasulullah Dibunuh Kaum Musyrikin
Dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dan lainnya
bahwa Amir bin Malik yang diberi gelar “Mula’ib al-Asinnah.” (orang yang
mempermainkan mata tombak). Dia mempersembahkan hadiah untuk Rasulullah,
sedangkan dia seorang musyrik. Rasulullah saw menawarkannya untuk masuk Islam
dan beliau berkata, “Aku tidak menerima hadiah dari seorang musyrik.” Amir bin
Malik berkata, “Wahai Rasulullah, kirimlah utusanmu siapa saja yang kau
kehendaki, aku akan melindungi mereka.” Rasulullah saw mengirim beberapa orang
utusan, di antaranya al-Mundzir bin Amru as-Sa’idy (dialah yang disebut sebagai
seorang yang dimerdekakan untuk mati) sebagai mata-mata untuk penduduk Majd.
Amir bin ath-Thufail mendengar tentang keberangkatan mereka. Kemudian ia
mengumpulkan orang-orang dari Bani Sulaim dan berangkat bersama mereka. Mereka
membunuh para utusan Rasulullah di Bi’r Ma’unah, kecuali Amru bin Umayyah
adh-Dhimry. (HR Thabarani dan Ahmad).
Amir
bin Fuhairah Diangkat ke Langit setelah Ia Terbunuh
Dalam sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Hisyam
bin Urwah, “Ketika mereka (kaum muslimin) di bunuh di Bi’r Ma’nah dan Amru bin
Umayyah adh-Dhimry di tawan, Amir bin
ath-Thufail berakta, “Siapa ini?” sambil menunjuk orang yang tewas. Amru
bin Umayyah berkata kepadanya, “Dia adalah Amir bin Fuhairah.” Amir bin
ath-Thufail berkata, “Aku melihat dia diangkat ke langit setelah ia dibunuh,
sampai aku melihatnya di antara langit dan bumi, dan kemudian ditempatkan.”
Kemudian berita tentang dibunuhnya kaum muslimin sampai kepada Nabi saw dan
beliau mengumumkan berita kematian itu. Beliau bersabada, “Sahabat-sahabat
kalian ( diBi’r Ma’unah) telah tewas dan
mereka telah meminta Tuhan mereka.” Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, beritahu
saudara-saudara kami tentang kami bahwa kami ridha kepada-Mu, dan Engkau ridha
kepada kami.” Kemudian Allah memberi tahu mereka (yaitu Nabi saw. Dan apra
sahabatnya) tetang mereka yang (yaitu Syuhada’ Bi’r Ma’unah). Di antara mreeka
yang tewas adalah Urwah bin Asma’ bin ash-Shalt dan Mundzir bin Amru. Untuk mengenan
g mereka, Urwah (bin az-Zubair) dinamai Urwah dan Mundzir (bin az-Zubair)
dinamai Mundzir.” (HR Bukhari).
Dalam kisah ini tampak karamah pada diri Amir bin
Fuhairah r.a. Mudah-mudahan pembaca masih mengingatnya. Dia adalah budak Abu
Bakar as-Shiddiq r.a. yang menggembalakan kambing miliknya. Ia jgua membawakan
susu untuk Nabi saw dan Abu Bakar, pada saat keduanya hijrah dari Makakh ke
Madinah.
Inilah Amir, dibunuh, lalu diangkat ke langit.
Balasan yang sesuai dengan amalannya. Sebab, ia membawsa makanan ke mulut Nabi
saw maka ia pun dibawa ke langit.
Mereka
Berkata, “Para Malaikat Menguburnya.”
Dalam hadits Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik
dikatakan bahwa ketika ia diberi tahu tentang peristiwa Bi’r Ma’unah, dan
terbunuhnya para sahabat Nabi saw, ia berkata, “Di antara para Syuhada’ ada
Amir bin Fuhairah, Urwah – salah satu perawi – megnatakan bahwa ketika Amir
tewas, jasadnya tidak ada ketika mereka hendak memakamkannya. Mereka
berpendapat bahwa malaikat yang menguburkannya.”
Demikian juga, pahalanya sesuai dengan jenis
amalannya, sebagaimana Amir mengubur rahasia Rasulullah saw dan menghapus
jejaknya di kisah hijrah sehingga malaikatlah yagn turun menguburnya.
Aku
Menang, demi Tuhan Ka’bah
Di antara mereka yang dibunuh (di Bi’r Ma’unah),
ada Haram bin Malik r.a. Pada saat ia dibunuh, ia berkata, “Aku menang, demi
Tuhan Ka’bah.”
Dari Anas bin Malik berkata, “Beberapa orang datang
kepada Rasulullah saw dan berkata kepadanya. “Utuslah bersama kami beberapa
orang yang mengajarkan kitab A;-Qur’an dan Sunnah.” Beliau pun mengirim tujuh
puluh orang Anshar, yang mereka sebut Qari’. Di antara mereka ada paman dari
pihak ibu saya, Haram. Mereka terbiasa membaca Al-Qur’an. Mendiskusikannya, dan
merenungkan maknanya di malam hari. Pada siang hari mereka membawa air dan
menuangkannya di masjid, mengumpulkan kayu dan menjualnya. Hasil penjualannya
dibelikan makanan untuk Ahl as-Suffah (sahabt Nabi yang tinggal Qari’ tersebut
kepada orang-orang (yang datang kepada Rasulullah tersebut). mereka menghadang
utusan Rasul dan membunuh mereka, sebelum mereka mencapai tujuan. Mereka
berkata, “Wahai Allah, sampaikan berita tentang kami kepada Nbi kami bahwa kami
telah ebrtemu dengan-Mu, kami ridha terhadap-Mu, dan Engkau pun ridha terhadap
kami.”
Anas berkata, “Seorang pria menyerang haram (paman
dari pihak ibu Anas) dari belakang dan menusuknya dengan tombak dan
menghabisinya. (pada saat sekarat), Haram berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, aku
telah meenang.” Rasulullah saw berkata kepada para sahabatnya, “Saudara-saudara
kalian telah dibunuh, dan mereka berkata, “Wahai Allah, sampaikan berita
tentang kami kepada Nabi kami bahwa kami telah bertemud engan-Mu, kami ridha
terhadap-Mu, Engkau pun ridha terhadap kami.” (HR Muslim dan Baihaqi).
Dari Anas bin Malik berkata, “Ketika Haram bin
Milhan, pamannya ditikampada peristiwa Bi’r Ma’unah, ia memercikan darah ke
wajahnya dan kepalanya dengan cara begini dan ia berkata, “Aku menang, demi
Tuhan Ka’bah.” (HR Bukhari).
Apa yang Dilakukan Amru bin Umayyah pada Perjalanannya
Kembali ke Madinah?
Amru bin Umayyah
adh-Dhimry pulang menemui Nabi saw membawa berita bencana hebat itu. Pembunuhan
70 orang-orang yang terbaik dari kaum muslimin. Hal ini mengingatkan kepada
mereka pada peristiwa Uhud. Hanya saja 70 orang yagn mati di Uhud, terbunuh
dalam sebuah peperangan yagn jelas. Adapun mereka tewas karena penghianatannya
yang buruk sekali.
Dalam perjalanannya di
Qarqarah, pada hulu sebuah parit, Amru berteduh di bawah pohon. Lalu, datanglah
dua orang dari Bani Kilab, mereka berteduh di sana bersamanya. Ketika mereka
berdua tertidur, Amru memanfaatkan kesempatan, ia membunuh mereka. Di matanya,
seakan ia membalaskan darah yang terkucur dari para sahabatnya. Ternyata dua
orang laki-laki itu telah menyepakati sebuah perjanjian dengan Rasulullah. Dan
ia tidak tahu.
Nabi Berdoa untuk Keburukan Para Pembunuh Qari’
Nabi sakit hati atas
kejadian Bi’r Ma’unah dan perisitiwa ar-Raji’, yang terjadi dalam waktu yang
berdekatan. Sakit hati ini melebihi kesedihan dan kekhawatirannya. Hingga
beliau berdoa untuk keburukan kaum dan kabilah yang berkhianat dan membunuh
para sahabatnya.
Dalam sebuah hadits shahih
dari Anas berkata, “Nabi saw bedoa mengutuk orang-orang yang membunuh para
sahabatnya di Bi’r Ma’unah di pagi hari selama tiga puluh hari. Dia mengutuk
(sku) dari Ri’l, Dzakwan, Lihyan, dan Ushayyah, beliau berkata, “Ushayyah yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Allah SWT menurunkan ayat (tentang
mereka yang terbunuh di Bi’r Ma’unah), yang kami baca, hingga ayat itu dihapus
(naskh). (Dan ayatnya seperti ini), “Sampaikan kepada kaum kami bahwa kami
telah bertemu Tuhan kami dan Dia ridha dengan kami dan kami ridha denga-Nya.”
lalu, Rasulullah saw meninggalkan kunutnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ghazwah Bani
an_Nadhir
Rincian peperangan ini
bahwa Nabi saw pergi ke rumah-rumah Bani an-Nadhir untuk meminta bantuan dari
mereka, membayar diyat bagi keluarga dua orang yang dibunuh oleh Amru bin
Umayyah ketika dia pulang dari Bi’r Ma’unah. Ketika Rasulullah saw melakukan
negoisasi dengan mereka, mereka menampakkan kerelaan untuk membantu beliau.
Ibnu Ishaq berkata,
“Rasulullah pergi menuju Bani an-Nadhir untuk meminta bantuan dari mereka dalam
membayat diyat keluarga dua orang dari kabilah Bani Amir, yang dibunuh oleh
Amru bin Umayyah adh-Dhimry, sebagai (tanggung jawab) atas perlindungan yang
disepakati Rasulullah bagi keduanya. Sebelumnya telah terdapat akad perjanjian
antara Bani an-Nadhir dan Bani Amir. Ketika Rasulullah saw mendatangi mereka
dan meminta bantuan membayar diyat bagi keluarga dua orang yang terbunuh itu,
mereka berkata, “Ya, wahai Abu al-Qasim, kami membantumu pada apa yagn kau
kehendaki, dari sesuatu yang mana kau meminta bantuan kepada kami.” Kemudian
mereka berkumpul dengan sesama mereka dan berkata, “Sungguh kaliant idak aakn
menemukan laki-laki seperti dia – pada saat itu Rasulullah sedang duduk di
samping dinding rumah mereka – siapa di antara kalian yang mau naik ke
atap rumah ini dan melemparkan batu
karang ke atas kepalanya dan membuat kita tenang darinya?” Salah seorang dari
mereka bernama Amru bin Jihasy bin Ka’ab berkata, “Aku akan melakukannya.” Dia
naik ke atap rumah untuk melemparkan batu seperti yang ia katakan. Pada saat itu
Rasulullah sedang bersama beberapa orang sahabatnya, di antaranya Abu Bakar,
Umar, dan Ali r.a. Lalu, datanglah berita dari langit tentang apa yang hendak
dilakukan oleh beberapa orang dari Bani an-Nadhir tersebut. beliau berdiri dan
pulang ke Madinah. Rasulullah menunggu para sahabatnya, sementara mereka
mencari laki-laki (yang hendak mencelakakan Nabi tersebut). para sahabat
bertemu seseorang dari Madinah, mereka bertanya kepadanya tentang laki-laki
itu. Dia berkata, “Aku melihatnya masuk ke Madinah.” Para sahabat Rasulullah
saw pergi ke sana, hingga akhirnya mereka menemukannya dan membawanya kepada
Rasulullah saw. Laki-laki itu pun memberi tahu penghianatan yagn diinginkan
kaum Yahudi. Rasulullah segera memerintahakn untuk bersiap pergi dan memerangi
mereka.”
Ibnu Hisyam berkata, “Ibnu
Ummi Maktum ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah saw di Madinah. Ibnu Ishaq
berkata, “Kemudian beliau berangkat bersama para sahabatnya dan menuju tempat
mereka.”
Ibnu Hisyam berkata,
“Peristiwa itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awal. Nabi saw mengepung mereka
selama 6 hari dan pada saat itu turunlah ayat yang mengharamkan khamar.”
Menurut Ibnu Ishaq,
“Mereka mempertahankan diri di balik benteng-benteng. Kemudian Rasulullah
memerintahkan untuk memotong pohon-pohon kurma dan membakarnya di benteng
mereka. Mereka berteriak menyeru, “Wahai Muhammad, engkau pernah melarang
beruat kerusakan dan mencela siapa yang melakukannya. Mengapa sekarang kau
potong pohon kurma dan membakarnya?”
Ibnu Ishaq juga berkata,
“Sekelompok orang dari Bani Auf bin al-Khazraj, Suwaid dan Da’is, mereka diutus
menemui Bani an-Nadzir, ‘Hendaklah kalian teguh (tidak menyerah kepada Nabi
saw), kami tidak akan menyerahkan kalian jika kalian diperangi, kami bertempur
bersama kalian. Jika kalian diusir, kami keluar bersama kalian.” Bani an-Nadzir
menanti bantuan tersebut, tetapi ternyata mereka tidakd atang. Dan Allah pun
melemparkan rasa takut di hati mereka. Lalu, mereka meminta Rasulullah saw
untuk mengusir mereka saja, tanpa adanya pertumpahan darah. Namun mereka
meminta untuk dibolehkan membawa unta yang mengangkut harta mereka, kecuali
perisai, dan Rasulullah menyetujuinya. Mereka membawa segenap harta mereka,
yang memberatkan unta mereka. Bahkan, ada seseorang dari mereka, yang
menghancurkan rumahnya pada sisi pitnunya dan meletakkannya di atas untanya,
lalu pergi. Mereka pergi ke Khaibar dan ada juga yang bertolak ke Syam.”
Dalam riwayat lain
menyatakan bahwa Rasulullah memerangi mereka, hingga akhirnya mereka meminta
untuk diusir. Dengan syarat mereka boleh membawa apa pun, kecuali senjata. Bani
an-Nadzir bersiap. Mereka membawa harta benda mereka yang memenuhi unta mereka.
Bahkan, mereka membawa pintu-pintu rumah kayunya. Mereka menghancurkan rumah
mereka dan merobohkannya, lalu membawa apa pun yang dapat diangkut dari
kayunya. Pengusiran mereka merupakan pengusiran pertama. Mereka menuju Syam.
Bani an-Nadzir adalah
salah satu suku keturunan Bani Israil. Mereka tak pernah diusir sejak Allah
menetapkan pengusiran kepada Bani Israil. Oleh karena itu, Rasulullah saw
mengusir mereka. Jika saja Allah tidak menetapkan pengusiran, mereka akan
disiksa didunia, sebgaimana Bani Quraizhah. Kemudian Allah menurunkan, “Apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dia-lah
Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di
antara ahli kitab dari kampung halamannnya pada saat pengusiran yang pertama.
Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin,
benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah,
maka Allah mendatangkan (siksaan) kepada mereka,d ari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. Dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka, sehingga
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangannya sendiri dan tangan-tangan orang
mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang
yang mempunyai pandangan! Dan sekiranya tidak karena Allah telah menetapkan
pengusiran terhadap mereka, pasti Allah mengazab mereka di dunia. dan di
akhirat mereka akan mendapat azab neraka. Yang demikian itu karena sesungguhnya
mereka menetang Allah dan Rasul-Nya. barang siapa menetang Allah, maka
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. apa yang kamu tebang di antara
pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri
di atas pokoknya, maka (itu terjadi) dengan izin Allah; dan karena Dia hendak
memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik. Dan harta rampasan fai’ dan
mereka yang diberikan Allah keapda Rasul-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau
unta untuk mendapatkannya, tetapi Allah memberikan kekuasaan kepada
rasul-rasul-Nya terhadap siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu (QS al-Hasyr (59) : 1 – 6). Pohon kurma milik Bani an-Nadzir
dikhususkan untuk Rasulullah saw. Allah menetapkannya untuk beliau. Allah
ebrfirman dalam ayat ke-6 tersebut. yaitu, sebagai harta rampasan tanpa
peperangan (Fai’). Menurut riwayat ini, Nabi saw memberikan sebgian besar
kepada kaum Muhajirin dan membagikannya kepada mereka dan untuk dua orang
Nashar yang membutuhkan. Beliau tidak membagikannya untuk kaum Anshar selain
mereka berdua. Sisanya merupakan sedekah Rasulullah untuk Bani Fatimah. (HR
Abdurrazaq, Abu Dawud, dan Hakim).
Surat al-Hasyr Turung tentang Bani an-Nadzir
Dari Ibnu Abbas r.a.
mengatakan bahwa Sa’id bin Jubair berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas
tentang Surat at-Taubah dan dia berkata, “Surat at-Taubah ini adalah paparan
(dari semua kejahatan orang-orang kafir dan munafik). Dan (ayat-ayat) surat inbi
terus turun (satu demi satu) sampai mereka berpikir bahwa surat ini tidak
menyisakan seorang pun, melainkan ia
disebut di sana.” Aku berkata, “Surat al-Anfal?” Dia menjawab, “Surat
al-Anfal mengisahkan tentang Pearng Badar.” Aku berkata, “Surat al-hasyr?” Dia
menjawab, “Surat itu turun tentang Bani an-nadhir.” (HR Bukhari dan Muslim).
Yahudi Tetaplah Yahudi
Penghianatan yang mengakar
di jiwa-jiwa kaum Yahudi merupakan potret tetap. Kita mengetahui sebelumnya
gambaran lain dari penghianatan mereka, yang dilakukan oleh Yahudi bani Qainuqa’.
Fakta sejarah ini, dibenarkan oleh banyak peristiwa yang tak terhitung
banyaknya. Itulah rahasia laknat Ilahi yang menimpa mereka. Keterangan Allah
tentang itu tersurat dalam firman-Nya, “Orang-orang Yahudi dan bani Israil
telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian
itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS al-Maidah (5) : 78).
Pemotongan pohon kurma
Bani an-Nadhir dan pembakaran memang terjadi dan disepakati oleh para ahli
sejarah. Pohon yang dirusak oleh Rasulullah hanya sebagian dan beliau
membiarkan sebagiannya. Al-Qur’an membenarkan apa yang dilakukan Nabi saw,
memotong sebagian dan membiarkan sebagian. Hal itu dalam firman-Nya, “Apa yang
kamu tebang di antara pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu
biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (itu terjadi) dengan izin Allah
dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.” (QS
al-hasyr (59) : 5).
Dalam hal ini umumnya para
ulama beralasan bahwa hukum syar’i yang berhubungan dengan pohon milik musuh
dan pengrusakannya bergantung pada keputusan pemimpin atau panglima dalam
melihat maslahat pada pertempuran dengan musuh-musuh mereka. Apa yang kami
paparkan tentang dibolehkannya memotong atau membakar pepohonan milik kaum
kafir merupakan mazhab Nafi’ pelayan Ibnu Umar. Malik, as-Tsaury, Abu Hanifah,
Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Jamhur ahli fiqh).
Adapun yang diriwayatkan
dari al-Laits bin Sa’ad Abu Tsaur, dan al-Awza’i, mereka tidak membolehkannya.
Para Imam bersepakat bahwa
harta rampasan kaum muslimin yang diambil dari musuh-musuh mereka tanpa
peperangan atau fai’, penangananya diserahkan pada keputusan pemimpin. Ia tidak
harus membaginya kepada pasukannya, sebagaimana ghonimah (harta rampasan) yang
diambil setelah peperangan. Dalil yang mereka kemukakan dalam hal ini adalah
bagaimana Rasulullah mengatur pembagian fai’ dari Bani An-Nadhir. Beliau mengkhususkannya
untuk dirinya dan kepada kaum muhajirin saja. Al-Qur’an sendiri turun
membenarkan hal itu.
Perang Badar Kedua
Di bab yang terdahulu
dijelaskan bahwa Abu Sufyan menjelang kepergiannya dari Uhud, berkata, “Kalian
dan kami bertemu kembali tahun depan di Badar.”
Pada Bulan Sya’ban tahun berikutnya. Rasulullah yang menuju tempat yagn
dijanjikan untuknya dengan 1.500 orang pasukan. Terdapat 10 orang berkuda. Ali
bin Abi Thalib ditunjuk sebagai pemegang panji. Dan Abdullah bin Rawahah
ditunjuk untuk menggantikan beliau di Madinah. Ketika tiba di Badar, beliau bermukim
di sana selama 8 hari, menunggu kaum musyrikin.
Abu Sufyan sendiri pergi
dengan kaum musyrikin dari Makkah dengan 2.000 orang pasukan dan 50 orang
berkuda. Ketika mereka tiba di Marr azh-Zhahran – satud aerah sesudah Makkah –
Abu Sufyan berkata kepada mereka, ‘Tahun ini musim kering, menurutku lebih baik
kita pulang.” Mereka pun kembali dan melanggar janji sehingga peristiwa ini
disebut Badr al-Maw’id (badar tempat yang dijanjikan) atau Badar kedua.
Perang Daumah al-Jandal
Rasulullah pergi menuju
Daumah al-jandal pada bulan Rabi’ul Awal tahun 5 H. Hal itu dikarenakan kabar
yang sampai kepada beliau bahwa di sana terdapat banyak orang yang mau
mendekati madinah. Antara tempat inid an Madinah, jaraknya 15 malam perjalanan,
sedangkan dari Damaskus sekitar 5 malam.
Rasulullah menunjuk Siba’
bin Urfathah al-Ghifary untuk memimpin Madinah. Beliau pergi bersama 1.000
orang pasukan muslim. Bersama beliau ada penunjuk jalan dari Bani Udzrah yang
bernama Madzkur. Ketika pasukan muslimin mendekati mereka, mereka melarikan
diri. Ternyata terdapat jejak-jejak binatang ternak mereka sehingga pasukan
muslimin menangkapi hewan-hewan itu dan menggembalakannya. Ada yagn tertangkap
dan ada yang melarikan diri. Kabar ini sampai ke penduduk Daumah al-jandal,
kemudian mereka berpencar. Rasulullah singgah di tempat mereka dan tak
mendapati seorang pun. Beliau bermukim di sana selama beberapa hari. Beliau mengirim
pasukannya dan membuat mereka berpencar. Namun, mereka tidak menangkap siapa
pun. Rasulullah pulang ke Madinah dan dalam
perang ini Uyainah bin Hishn meninggal dunia.
Sepanjang, 04 Desember
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar