Sufisme
adalah INTI dan JIWA Islam
KITAB AL-HIKAM
Penerbit : “Risalah Gusti” jl. Ikan Mungsin XIII/I
– Surabaya
Tahun : Rabi’ul Awal 1420 /Juli 1999
Penerjemah : Roudlon, S. Ag.
Penyadur : Pujo Prayitno
PEMBUKA
Ibnu’Atha’illah lahir di Mesir pada pertengahan abad ke 7
H/ke-13 M, sejauh data yang ada, dan ia wafat di tempat yang sama pada tahun
709 H/1309 M. Hidup di Mesir pada jaman Pemerintahan Mamluk Mesir yang pada
masa itu menjadi pusat Agama dan Pemerintahan dunia Islam belahan Timur setelah
kekhalifahan Baghdad hancur pada tahun 656 H./1258 M.
Aforisme 1.
Ibnu ‘Atha’illah – semoga Allah Swt. Senantiasa
meridhainya – berkata :
1
Salah satu tanda kalau seseorang menggantungkan diri pada
amal usahanya sendiri adalah berkurangnya harapan (terhadap rahmat Allah)
ketika terjadi suatu kegagalan. (Seseorang
seharusnya lepas terhadap amal usahanya, tidak memperdulikan apakah
hasilnya baik atau buruk. Kita harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung
pada perbuatan atau tindakan-tindakan diri sendiri).
2
Keinginan untuk menyendiri dengan menghindarkan diri dari
urusan duniawi (tajrid), padahal Allah masih
menempatkanmu ke dalam kelompok orang-orang yang harus berusaha untuk
mendapatkan penghidupan duniawi (fil-asbab), adalah nafsu yang tersembunyi
(halus). Adapun keinginanmu untuk berusaha mendapatkan penghidupan duniawi,
padahal Allah telah menempatkan dirimu ke dalam orang-orang menyendiri
(tajrid), adalah sutu kemunduruan dari cita-cita mulia (al-himmah al-‘aliyya).
(Lafal tajrid membawa implikasi pada
pengasingan diri (‘uzlah) dari masyarakat karena ingin mendektakan diri kepada
Tuhan. Orang yang berbuat demikian disebut mutajarrid. Sebaliknya, orang-orang
yang membawa kehidupan kotemplasinya dalam masyarakat untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan disebut mutasabbib).
al-himmah al-‘aliyya – ini bukanlah
persoalan pilihan, bukan pula masalah pekerjaan yang ditentukan oleh
tendensi-tendensi setiap individu pada umumnya seseorang barangkali membantu
syeikh dan juga mengendalikan orientasi akhir dari orang faqir.
3
Kerasnya semangat (sawbiqul –himam) tidak akan mampu
menembus “dinding” takdir Tuhan (aswar ad-aqdar). (Apa
saja bisa menjadi tujuan atau cita-cita (himmah) seseorang, namun kesemuanya
tidak dapat membatalkan apa yang telah Tuhan takdirkan harus terjadi. Permulaan
tujuan dapat diumpamakan suatu panah, maka tujuan (panah) tidak dapat menembus
tembok Tuhan, itu menggambarkan kokonya takdir yang sudah ditetapkan.
4
Isitirahatkan diri (nafsu)mu dari segala urusan duniawi
yang engkau berusaha mengaturnya (at-tadbir), karena segala apa telah dilakukan
(dijamin) “Selain dirimu” yakni Allah seharusnya engkau tidak perlu sibuk
melakukannya. (Tadbir berarti perhatian urusan
kebutuhan pribadi dalam hidup, dan lebih khusus lagi dalam kehidupan seseorang
sehari-hari, dimana ini dapat mengaburkan kewajiban diri seseorang kepada
Tuhan. Tadbir demikian adalah sifat yang negatif dan seyogyanya dieliminir.
Namun jika hal itu di arahkan pada perintah Allah, maka akan mejadi positif dan
bukan menjadi perintang dalam menuju jalan Allah. Untuk itu, bila di arahkan
pada perintah Allah, maka akan menjadi positif dan bukan menjadi perintang
dalam menuju jalan Allah. Untuk itu, bila diarahkan pada perintah Allah, maka
ia bukan merupakan kehendak pribadi (nafsu – diri) tetapi kehendak-Nya. Maka,
perencanaan masa depan seharusnya dirangaikan pada pencapaian Ma’rifat,
sehingga masa depannya terpelihara oleh perencanaan-perencanaan yang cermat).
5
Kesungguhanmu untuk meraih segala apa yang sudah pasti
dijamin untukmu dan keteledoranmu terhadap segala apa (perintah) yang
dibebankan kepadamu, adalah bukti dari kaburnya mata hatimu (Bashirah). (Ini sama dengan hikmah no.4; hanya lebih terinci.
Penghidupan salik di dunia ini telah dijamin oleh Dzat Yang Maha Pemberi; orang
harus mengalir bersama-sama dengan-Nya tanpa merasa tegang yang tak semestinya.
Jika ketegangan yang demikian muncul dan mendorong sang salik lalai dari
kewajibannya seperti shalat dan sejenisnya, maka ketajaman (pandangan
visioner)nya beangsur-angsur berkurang).
6
Sekalipun dilakukan doa secara rutin, tapi jika ada
kelambatan waktu pemenuhan doa (al-‘atha),
maka janganlah engkau putus harapan, sebab Allah menjamin untuk mengabulkan dia
dalam apa yang Dia kehendaki untukmu, dan bukan menurut apa yang engkau
kehendaki, dan waktunya adalah sesuai dengan kehendak-Nya, bukan sesuai dengan
kehendakmu. (Pemberian (al-‘atha) adalah respon
surga terhadap faqir, tanda bahwa ia tengah menuju Allah).
7
Jika apa yang dijanjikan (Allah) kepadamu belum turun,
padahal waktunya telah tiba, maka janganlah engkau sampai meragukan janji
tersebut. Jika tidak demikian, maka pandangan mata hatimu akan menjadi kabur
dan pancaran cahanya (sarirah) akan redup dan padam. (baik
No.6 dan 7, keduanya membicarakan persoalan yang sama; orang jangan menyerah
pada keputus-asaan atau keraguan jika sesuatu tidak sesuai dengan pilihannya,
karena ini dapat menutupi pandangan mata batin).
8
Jika Tuhan membukakan pintu ma’rifat bagimu, maka
janganlah engkau menghiraukan soal amalmu yang masih sedikit atau membandingkannya.
Karena sesungguhnya Tuhan tidaklah membukakan bagimu melainkan Dia akan
memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti, bahwa ma’rifat itu
adalah anugerah-Nya kepadamu, sedangkan amalmu adalah pemberian dari dirimu?
Maka di manakah letak perbandingan antara apa yang Dia anugerahkan kepadamu
dengan apa yang engkau berikan kepada-Nya? (Tidak
ada ukuran umum antara amal yang sepele dari orang yang berjalan di jalan Allah
dengan hasil besar yang diperolehnya. Bisa saja Allah secata tiba-tiba datang
tanpa di undang dengan wahyu-Nya sehingga nampak besarnya hasil dari amal
seseorang).
9
Beraneka ragamnya amal perbuatan itu adalah karena
tingkatan-tingkatan karunia spiritual (waridatul-ahwal) yang diberikan kepada
hamba-Nya berbeda. (Karunia spiritual (waridat)
mempengaruhi hall (state) jiwa dalam keleluasaan, kesempitan dan kedekatannya
dengan Tuhan: namun ini semua bersifat batiniah. Karunia spiritual itu sendiri
terlihat dan termanifestasikan dalam tindakan lahiriah yang meliputi
pernyataan-pernytaan, dan berbagai hall (keadaan) penting lainnya).
10
Amal perbuatan merupakan bentuk kerangka yang tidak hidup
(shuwr qa’imah), namun nila keikhlasan di dalamnya (sirr al-ikhlash) memberikan
ruh hidup padanya.
11
Tanamlah dirimu dalam “tanah” kerendahan (kurang di
kenal), karena segala sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak di tanam
terlebih dahulu, maka tidak akan berbuah dengan sempurna.
12
Tidak ada yang lebih menguntungkan jiwa (hati nurani)
daripada kegiatan uzlah untuk memasuki medan perenungan atau tafakur (maidan
fikrah). (“Medan tafakur atau meditasi” di sini
dimaksudkan sebagai penghapusan nafsu, lawan dari idnividualisme yang
mengembangkan ego).
13
Bagaimana hati seseorang dapat terang (tersinar)
sementara gambar dunia ini terlukis dalam cermin hatinya? (“Hati) tidak hanya
merupakan pusat pancaran nur (cahaya) tempat bertemunya pancaran ruh dan nafsu,
naum juga tempat kegelapan, ilusi, dan kelalaian bagi para pendosa. Tarik
menarik antara ruh dan nafsu di medan pengasingan diri (kontemplasi) terjadi,
ini untuk menetukan mana dari keduanya yang akan memerintah hati. Jika ruh yang
menang, maka hatilah yang beruntung), Atau bagaimana ia sendiri masih
terbelenggu syahwatnya? Atau bagaimana ia sendiri belum suci dari
tindakan-tindakan dosa akibat kelengahannya (terhadap Tuhan)? Atau bagaimana ia
dapa memahami rahasia gaib (daqa’iqul-asrar) padahal ia belum bertobat dari
segala kesalahannya?
14
Kosmos (al-kaun) itu serba gelap. Ia hanya terang dengan
(karena) terang-Nya Dzat Yang Mahatampak (Zhuhur al-Haqq) ddi dalam dirinya.
Barangsiapa melihat kosmos (alam) namun tidak memperhatikan Tuhan di dalamnya,
atau padanya ata sebelum atau sesudahnya, maka ia adalah orang yang memerlukan
cahaya dan tertutup pancaran ma’rifat oleh mendung benda-benda alam ini
(al-atsar). (Kegelapan kosmos (alam) melambangkan
kefanaannya dan ketiadaan. Apapun yang ada sebenarnya berasal dari Sang Qadim,
Allah swt. Tiada tampak Sumber ajaib (misteri) yang ada di balik (yang
terhijab) berbagai benda alam ini. Perhatikan persamaan kegelapan dengan
kefanaan, cahaya dengan kehidupan).
15
Sebagian di antara bukti yang memperlihatkan adanya
kekuasaan-Nya adalah bahwa Dia menghijab (menyelubungi) dirimu dari melihat
kepada-Nya dengan hijab (tabir) yang tidak ada wujudnya di sisi Allah. (Pemikiran yang menyatakan bahwa dunia memiliki wujud
(realita) tersendiri di luar Yang Nyata (Allah) adalah sebuah ilusi, suatu
“hijab”, karena tidak terdapa tdua wujud (real) yang bertentangan dengan konsep
tauhid
16
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang menampakkan segala sesuatu (azh-zhahara kulla
syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, bila Dia-lah Yang tampak pasa segala sesuatu (zhahara bi-kulli syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kelau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, padahal Dia-lah Yang tampak dalam setiap sesuatu (zhahara fi kulli
syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, padahal Dia-lah Yang Nyata untuk setiap sesuatu (azh-zhahir li kulli syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kelau sesuatu dapat
menghijabTuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Nyata (azh-zhahir) sebelum adanya
segala sesuatu (qabla wujudi kulli sya;”).
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, padahal Dia lebih jelas tampak dari pada segala sesuatu (Azhharu min
kulli syai’)?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Maha Esa (al-Wahid) yang tiak ada di
samping-Nya sesuatu apap pun?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada segala sesuatu lainnya?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab
Tuhan, padahal seandainya tidak ada Dia niscaya tidak akan ada segala sesuatu?.
Ini semua adalah suatu keajaiban, bagaimana Yang Maha
Wujud (al-Wujud) dijelmakan kepada sesuatu yang bersifat tiada (al-‘adam), dan
bagaimana sesuatu yang baru (al-haditas) yang bersifat bergantung pada lainnya
dapat berdiri di sisi Tuhan Yang memiliki sifat kekal (wash al-qidam). (Himah ini mencoba mendobrak khayalan (ilusi) yang
disebut dalam hikmah No.14, kecuali dikatakan bahwa asal dari hijab ada dalam
Kekuasaan Tuhan, maka kekuatan ajaib-Nya menciptkan sesuatu yang tidak ada “di
sisi”-Nya, mengingat di sini asal dari hijab adalah dalam individu, yang tidak
mengetahui bahwa apa pun tidak dapat menghijab Dzat Yang Maha Esa (al-Wahid).
Aforisme 2.
Ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
17
Barangsiapa yang berdoa mengharapkan sesuatu, tapi tiba
pada waktunya pemberian itu tidak sesuai sebagaimana yang diinginkan, maka itu
sama sekali bukan karena ketidaktahuan (Sang Pemberi) terhadap doa itu.
18
Menunda beramal (saleh) karena ingin menantikan
kesempatan yang lebih baik (bebas), adalah suatu tanda kebodohan dari (ru’unat
an nafsi).
19
Jangan meminta kepada Allah supaya engkau dipindah dari
suatu hall(state) ke hall yang lain. Sekiranya Dia menghendaki yang demikian,
maka Dia tentu telah memindahkanmu tanpa mengubah hall mu yang sebelumnya.
20
Seoran salik yang mencari kebenaran (himmat salik) hampir
ingin terus, tidak ingin berhenti ketika sebagian yang baik tersingkap baginya,
melainkan suara hakikatnya (hawatif al-haqiqah) segera memperingatkan kepadanya
“Bukan itu tujuan
yang engkau cari, karena ia masih berada di depanmu!” Demikian
pula hampir tidak tampak keindahan alam baginya, melainkan diperingatkan oleh
hakikatnya, “bahwa kami semata-mata adalah sebagai
batu ujian, maka janganlah engkau menjadi orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah :102; Dengan kata lain, pencapaian (buah)
awal dari tarekat bukanlah merupakan tujuan; masih banyak lagi jalan yang mesti
didatangi. Keindahan lahiriah atau “pesona” dari sesuatu hanyalah besifat
indikatif dari wujud batiniah, dan yang tersebut terakhir adalah lebih “nyata”.
Orang gharus terus dalam proses penghalusan batin dan tidak berhenti pada
sesuatu yang lahiriah).
21
Permintaanmu kepada Tuhan adalah kecurigaanmu kepada-Nya,
khawatir tidak diberi. Permintaanmu kepada-Nya adalah karena kekuranganmu
dari-Nya. Permintaanmu kepada selain dari-Nya adalah karena engkau tidak punya
rasa malu terhadap-Nya. Adapun permintaanmu kepada-Nya agar Dia dekat denganmu
adalah karena jauhnya dirimu dari-Nya. (Ini tidak
lantas berarti bahwa hamba (‘abd) tidak semestinya menuntut ini dan itu; yang
diharamkan, janganlah ia menuntut hal yang demikian sambil berpikir bahwa ia
telah dilupakan. Dia juga tidak seharusnya melarikan diri (bersandar) kepada
(sesama) makhluk dengan tujuan mencapai pertolongannya, seolah-oleh pertolongan
ini dapat sempurna kalau dengan kebohongan, tipu daya dan kemunafikan.
Sebaliknya, campur tangan Tuhan terjadi dalam semua bidang; oleh karena itu
orang harus menyadari hal ini dalam segala kesempatan. Orang harus tetap
memelihara perilaku baik terhadap Tuhannya).
22
Tiada suatu nafas hilang darimu, kecuali takdir Tuhan
melepasnya darimu.
23
Jangan menunggu sampai habisnya rintangan-rintangan (al-aghyar) untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab
yang demikian itu akan menghalangimu dari melaksanakan kewajiban-kewajibanmu
untuk mendekatkan diri (al-muraqabah) terhadap-Nya dari yang telah dibebankan
kepadamu. (Lafal “al-aghyar” berarti keanekaragaman
alam, yang merupakan sifat alam yang mengikat hati dan mencegahnya dari bentuk
perhatian khusus terhadap kehadiran Tuhan. Oleh karena itu, orang harus waspada
penuh perhatian terhadap Kehadiran Tuhan dalam hati, karena itulah yang
merupakan nilai sejati).
24
Selama masih di dunia ini, janganlah engkau terkejut
dengan adanya kesukaran hidup. Sesungguhnya ia tidak melahirkan apapun kecuali
apa yang terkandung dalam sifat alamiahnya yang sementara. (Hikmah ini berkaitan dengan hikmah No.23, karena
amenguraikan sifat-sifat dunia yang bukan merupakan Tuhan. Pada dirinya tidak
terdapat sifat keutuhan, ia terpenuhi oleh kenikmatan dan penderitaan, dan
hanya Tuhan yan benar-benar memiliki kebahagiaan tanpa penderitaan. Kecuali
jika ia mengharapkan kesempurnaan dunia; tikda dapat menjadi wujud Tuhan, tapi
bisa mencapai kesempurnaan. Jika dunia dapat sempurna, maka ia bukanlah menjadi
Tuhan, yang tentu saja mustahil karena itu berarti akan terdapat dua “Tuhan.”).
25
Tidak akan pernah terhenti petolongan Tuhan yang
dimintakan kepada-Nya, namun tidak akan tercapai permintaan yang engkau
sadarkan kepada dirimu sendiri.
26
Di antara tanda berhasilnya akhir perjuangan adalah
penyerahan diri kepada Allah yang dilakukan sejak awal perjuangannya.
27
Barang siapa yang pasa masa pencarian kebenaran (masa
suluK terang penuh cahaya ketaatn, maka diakhirnya pun akan terang (dengan
cahaya ma’rifat).
28
Apa yang tersembunyi dalam alam ghaib (ghaib a-sara’ir)
pasti akan termanifestasikan (tampak) dalam alam nyata (syahadah azh-zhawahir).
29
Betapa jauh berbedanya antara orang yang berargumentasi
bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam dengan orang yang berdalih bahwa adanya
alam menunjukkan adanya Allah. Yang pertama adalah, orang yang mengawali
segala, dari Allah (al-Haqq) dan membuktikan hal itu dengan referensi, sehingga
ia menetapkan adanya sesuatu dari Asal Mulanya. Sedang yang kedua adalah orang
yang berangkat dari bukti-bukti ciptaan untuk menuju kepada Allah! Orang ini
tidak sampai kepada Allah. Untuk itu, bilakah Allah itu gaib, sehingga orang
perlu bukti untuk menuju kepada (mengetahui adanya) Allah? Atau bilakah Dia itu
jauh, sehingga adanya alam (al-atsar) sendiri yang akan menyatukan kita
dengan-Nya? (Ilmu ma’rifat mengarahkan pokok
permulaannya dari kesempurnaan Sang Haqq, tiak dari ciptaan-Nya; oleh karena
itu ilmu ini berjalan ke bawah ke dunia, tidak berjalan menuju ke atas dari
dunia untuk Tuhan. Hal ini akan menjadi persoalan bagi kaum teolog dan para
filosuf serta lainnya yang berpendapat, “Dari kesempurnaan sesuatu kepada
Kesempurnaan Tuhan.” Dan keanekaragaman alam pada Keesaan Tuhan. Namun pendapat
mereka ini cacat karena Tuhan tidak pernah “absen” (gaib) pada setiap
kesempatan, sehingga setiap orang dipaksa harus membuktikan adanya Tuhan,
ataupun harus mencapai-Nya bila berada begitu “jauh”. Sebaliknya, Tuhanadalah
senantiasa hadir dan dekat. Kita seharusnya memulai dengan Tuhan, tidak dengan
dunia).
30
Mereka yang telah sampai kepada Allah, “Hendaklah orang yang mampu membelanjakan menurut
kemampuannya” (Qs. Ath-Thalaq : 7) Mereka yang tengah menuju kepada
Allah, “Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaknya memberi nafkah dari harta yanng diberikan Allah kepadanya....”
(Qs. At-Thalaq :7). (Orang yang mencapai tujuan
tarekat diberkahi Tuhan dengan karunia
dan ma’rifat, sehingga mereka memancarkan cahaya (nur) kepada yang lainnya
secara spontan, sementara orang yang masih berjalan (salik), tidak memiliki
kekayaan ruhaniah yang melimpah).
31
Salik, orang-orang yang tengah menuju kepada Allah telah
mendapat hidayah dengan nur ibadat yang merupakan amalan untuk taqarub kepada
Allah (tawajjuh), sedang orang-orang yang telah sampai kepada Allah tertarik oleh
nur yang langsung dari-Nya, bukan sebagai hasil ibadat tetapi semata-mata
karena karunia Allah (muwajahah). Maka, orang-orang salik menuju ke alam nur,
sedangkan mereka yang telah sampai berkecimpung di dalamnya, sebab mereka ini
telah bersih dari segala sesuatu selain Allah. Firman-Nya, “”Katakanlah :
Allah, .... Kemudian tinggalkan yang lain-lain di dalam kesibukan mereka
berkecimpung (bermain-main). (Qs. Al-An’aam :92) (Cahaya
ibadat (tawajjuh) adalah cahaya yang berkaitan dengan tingkatan Islam (“berserah”)
dan tingkatan Iman (“percaya”), sementara cahaya ma’rifat (muawajahah) adalah
cahaya yang berkaitan dengan tingkatan ihsan (“kebajikan spiritual”). Tingkatan
yang disebut terakhir ini berkaitan penyatuan dengan Tuhan di dalam Diri-Nya,
sehingga segala sesuatu yang lain menjadi tak berguna untuk dibicarakan).
Aforisme 3.
Ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
32
Usahamu untuk mengetahui beberapa kekurangan ( al-‘uyub)
yang tersembunyi di dalam dirimu adalah lebih baik daripada menyingkap teirai
gaib *al-ghuyub) yang tertutup darimu.
33
Al-Haqq (Allah) tidak pernah terhijab darimu, malahan
engkaulah yang terhijab dari melihat-Nya. Bila sekiranya ada sesuatu yang
menghijab Allah, berarti sesuatu itu dapat menutupi Allah, dan sekiranya ada
tutup bagi Allah, berarti Wujud Allah terbatasi dan sesuatu yang membatasi itu
dapat menguasai terhadap yang dibatasi, padahal Allah adalah yang berkuasa atas
semua hamba-Nya. (Qs. Al-An’aam : 18 : -- Allah itu
Maha Kuasa, tidak ada sesuatu yang dapat membatasi-Nya, karena tidak ada dua
Dzat Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu, Dzat Yang Hak tidak dapat dihijab oleh
segala apap pun; orang-orang yang terhijab dan terjerumus dosa, memiliki
keyakinan bahwa “sesuatu” dapat menghijab Dzat Yang Haqq, namun ini hanyalah
sebuah ilusi).
34
Di antara sifat-sifat manusiamu yang seyogyanya engkau
buang adalah sifat yang menyalahi kehambaanmu, dengan begitu mudah bagimu
menerima panggilan Allah dan mendekat kepada-Nya.
35
Sumber dari setiap maksiat, kelalain dan syahwat
adalah keinginan untuk memuaskan nafsu diri (hawa nafsu), sedangkan sumber dari
setiap ketaatan, keinsyafan dan kebajikan adalah pengelimineran (penghapusan)
terhadap nafsu diri. Labih baik bagimu berkawan dengan orang bodoh tapi tidak
memperturutkan hawa nafsunya, daripada berkawan dengan orang berilmu namun
senang memperturutkan hawa nafsunya, Maka, ilmu apakah yang dapat digelarkan
bagi orang berilmu yang selalu memperturutkan hawa nafsunya itu? Sebaliknya,
kebodohan apakah yang dapat disebutkan terhadap orang yang sudah dapat
mengekang hawa nafsunya itu?
36
Cahaya mata hati (Su’a’u al-bashirah) dapat
memperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu. Dan mata hati itu sendiri
(‘ain al-bashirah) dapat memperlihatkan kepadamu akan sifat ketiadaanmu (‘adam)
karena sifat Wujud-Nya. Dan hakikat mata hati itulah (Haqq al-bashirah) yang
menunjukkan kepadamu Wujud (adanya) Allah, bukan ketiadaanmu ata wujudmu. (Hikmah ini sangat penting, karena berkaitan dengan satu
di antara tiga persoalan sufisme klasik, yaitu berkaitan dengan persoalan
lainnya yang disusun dalam urutan hirarki. Hal ini tidak banyak ditemukan dalam
al-Hikam, di sana Ibnu ‘Atha;illah secara umum tidak memaparkan bagian
permulaan atau bagian yang lebih inferior dalam pendapatnya, namun membatasi
diri pada bagian-bagian yang lebih tinggi (superior) di dua persoalan terakhir.
Umpamanya, cahaya mata hati (Sya’a’u al-bashirah) berkaitan dengan pengetahuan
doktrinal atau teoritis dari pengetahuan pasti (‘ilm al-yaqin); mata hati (‘ain
al-bashirah) atau teoritis dari pengetahuan pasti (‘ilm al yaqin) mata hati
(‘ain al-bashirah) berkaitan dengan terbukanya mata hati Dzat Yang Haqq, atau
berkaitan dengan tahapan/tingkatan relaisasi ‘ain al-yaqin; kebenaran hakikat
mata hati (haqq al-bashirah) berkaitan dengan kebenaran pasti (haqq la-yaqin),
akhir dari tarekat.
37
Allah ada, dan tidak ada sesuatu pun di samping-Nya, dan
kini sebagaimana ada-Nya semula. (Kadang-kadang
hikmah ini dikatkan dengan hikmah sebelumya, melalui paparan kebenaran/hakikat
mata hati (haqq al-badhirah), tahapan terakhir dalam tarekat, yang berarti
kesadaran (realisasi) bahwa tidak ada sesuatu di samping Dzat Yang Haqq. Namun
hikmah ini juga dapt berdiri sendiri, tidak hanya sebagai satu hikmah, tetapi
lebih merupakan sebuah qaul yang secara luas tersebar di antara para Sufi, dan
qaul ini menunjukkan kemutlakan Dzat Yang Haqq tanpa sekutu.
Aforisme 4.
Ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
38
Hendaknya jangan sampai kemauanmu tertuju pada selain
Allah, karena harapan seseorang tidak dapat melampuai Dzat Yang Maha Pemurah
Hati (al-Karim).
39
Jangan memohon sesuatu kepada selain Allah karena Dia
Sendiri Yang memberikan (pemenuhan hajat) kepadamu. Bagaimana sesuatu
selain-Nya akan dapat mengubah sesuatu yang sudah ditetapkan-Nya? Dan bagaimana
orang yang tidak mempu membebaskan dirinya sendiri akan dapat membebaskan
bencna dari orang lain?
40
Jika engkau tidak husnuzhan tehadap Allah karen
sifat-sifatnya, maka husnuzhan-lah karena karunia-Nya atas dirimu. Bukankah Dia selalu memberikan
kepadamu segalas sesuatu yang baik-baik? Dan bukankah Dia selalu
menganugerahkan nikmat-Nya kepadamu?
41
Betapa anehnya orang yang lari dari apa yang sangat
dibutuhkan dan malah mencari apa yang tidak kekal! “Sesungguhnya mata kepala
itu tidak buta, tapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada.” (Qs.
Al-Hajj : 46). (“Hati” yang kabur tidak dapat
melihat relativitas dunia dan ketidak kekalannya, dan sesungguhnya takdir Tuhan
tidak dapat dielakkan. Kegelapan terdapat dalam hati yang demikian).
42
Janganlah berpindah dari satu alam ke alam lainnya, sebab
engkau akan menjadi seperti keledai di sekitar penggilingan : di sekitar itu
pula ia selalu kembali, tujuannya sama denga mula berjalannya. Tetapi hendaklah
engkau berpindah dari semua alam (al-akwan) menuju Sang Pencipta Alam
(al-Mukawwin), “Sesungguhnya kepada
tuhanmulah segala kesudahan.” (Qs. An-Najm : 42). (Orang
yang terkusai sifat makhluk dan tidak pada Sang Khalik, maka ia terjerat dalam
keanekaragaman alam, dan berjalan berputar-putra tanpa bisa keluar. Dalam Hadis
Nabi, saw. dinyatakan tentang pentingnya niat dalam tarekat : Orang harus
mendalaminya bersama Tuhan.
Dan perhatikan sabda Rasulullah saw., “Barang siapa
yang hijrah demi Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai diterima oleh
Allah dan Rsulullah; dan barangsiapa yang hijrahnya demi mendapatkan kekayaan
duniawi atau demi perempuan, maka hijrahnya akan terhenti pada apa yang ia
maksudkan tersebut.” Pahamilah sabda ini dan renungkanlah persoalan
ini jika engkau mampu, semoga engkau bahagia.
Aforisme 5.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
43
Jangan berkawan dengan orang yang keadaannya tidak dapat
membangkitkan semanagtamu terhadap dirimu dan pembicaraannya tidak membimbing dirimu ke jalan Allah swt.
44
Engkau mungkin berbuat keliru (dosa), tapi tampak olehmu
sebagai kebajikan (al=ihsan), oleh karena persahabatanmu denga orang yang jauh
lebih rendah (akhlaknya) darimu.
45
Amal perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan
tidak dapat dianggap kecil, dan amal perbuatan yang dilakukan dengan penuh
ketamakan tidak dapat dianggap besar.
46
Baiknya amal adalah hasil dari baiknya budi dan hati.
Adapun baiknya budi dan hati muncul dari kesungguhan (at-tahaqquq) atas apa
yang diperintahkan (maqam al-inzal).
47
Jangan meninggal dzikir, sebab di saat berdzikir engkau
belum tentu selalu ingat kepada Allah. Sesungguhnya kelalaianmu terhadap Tuhan
ketika tidak berdzikir adalah lebih buruk daripada kelalaianmu terhadap Allah
di saat engkau berdzikir. Semoga Tuhan mengangkatmu dari dzikir yang lalai
(ghaflah) menuju pada dzikir yang disertai dengan kesadaran terhadap-Nya
(yazhah), dan dari dzikir yang disertai dengan kesadaran (ingat) kepada-Nya
menuju pada kesadaran akan kehadiran-Nya (hudhur), dan pula dari dzikir yang
diseertai rasa kehadiran-Nya menuju pada peniadaan terhadap selain Allah. “Dan demikian itu bagi Allah tidak sukar.” (Qs. Ibrahim :
20) “Dzikir” yang dibicarakan di sini adalah sarana dasar penyadaran (ralisasi)
ruhaniah yang sangat penting dalam Sufisme. Inilah maksud dzikir, dengan model
yang tetap, yaitu dengan menyebut nama-nama Tuhan, khusus nya Asmaul Husna,
“Allah” dengan izin dn petunjuk Syeikh Sufi. Di sini Syeikh Sufi menjelaskan
berbagai tahapan awal dalam dzikir.
Aforisme 6.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
48
Di antara tnada matinya hati yaitu tidak adanya perasaan
sedih atas amal yang engkau abaikan dan tidak adanya penyesalan atas
pelanggaran yang engkau perbuat.
49
Janganlah kebesaran suatu dosa terasa dalam
penglihatanmu, sehingga dapat merintangi dirimu dari berprasangka baik kepada
Allah, karena sesungguhnya siapa yang benar-benar mengenal Tuhannya, maka akan
menganggap dosanya tak seberapa dari kemurahan-Nya.
50
Tiada dosa kecil ketika keadilan-Nya berhadapan denganmu,
dan tida dosa besar ketika karunia-Nya berhadapan denganmu.
51
Tiada amal yang bernilai bagi hati melebihi dari amal
yang tidak engkau sadari dan kecil dalam pandanganmu.
52
Tuhanlah yang memberikan karunia spiritual (warid)
kepadamu sehingga engkau dapat mendekat dan masuk (waridan) kepada Allah.
53
Tuhan memberikan warid kepadamu sehingga dapat
menyelamatkanmu dari cengkeraman benda-benda fana (mon yadi al-aghyar) dan
membebaskanmu dari perbudakan segala sesuatu selain Allah (min riqii al-atsar).
54
Tuhan memberikan warid kepadamu sehingga dapat
mengeluarkanmu dari penjara kehidupanmu dan sifat-sifatmu menuju ke alam yang
tiada batas, yaitu medan kotemplasi.
55
Cahaya (al-anwar)
adalah kendaraan pengantar (mathaya) hati dan segala rahasia (al-asrar).
56
Cahaya adalah tentara hati, sebagaimana kegelapan yang
merupakan tentara nafsu. Maka ketika Allah hendak menolong hamba-Nya, Dia
melengkapi hamba tersebut dengan tentara cahaya (junud al-anwar) dan menghentikan
darinya kuatnya kegelapan dan kepalsuan (madad az-zhulm wal aghyar).
57
Dalam pembukaan tabir gaib (kasyf) terdapat unsur hidayah
(an-nur) sebagai penerangnya, dalam penetuan hukun (al-hukm) terdapat unsur
mata hati (al-bashirah) sebagai penentu terlaksananya hukum, dan dalam kemjuan
(al-iqbal) serta kemudnuran (al-idbar) terdapat unsur hati (al-qalb) sebagai
pelaksanaannya.
58
Hendaknya jangan sampai ketaatanmu membuatmu bahagia
karena engkau merasa telah mampu melaksanakannya, tetapi berbahagialah atas
perbuatan taat itu karena ia merupakan karunia Tuhan terhadapmu. “Katakanlah, dengan karunia Tuhan (Allah) dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Yunus : 58). (Kita tidak dapat berbuat apa-apa tanpa karunia Tuhan.)
59
Allah menghindarkan orang-orang yang menuju kepada-Nya
dan juga menghindarkan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya dari melihat
atau mengagumi amal (ibadat) dan keadaan diri mereka. Tuhan bertindak demikian
kepada orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya adalah, orang-orang yang
tengah menuju kepada-Nya adalah, karena mereka dalam amal indabatnya belum
dapat melaksanakan dengan ikhlas (ash-shidq) menurut apa yang diperintahkan: dan
juga terhadap orang-orang yang telah sampai kepada-Nya adalah, karena Dia
menjadikan mereka lupa pada amal mereka sendiri demi bersaksi kepada Allah
(bisyuhudihi).
Aforisme 7.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
60
Bila tidak ada bibit tamak (thama’), maka cabang dari
kehinaan (agshanudz-dzull) tidak akan tumbuh berkembang biak.
61
Tidak ada sesuatu yang menuntun dirimu, seperti
angan-angan kosong (al-wahm).
62
Dalam segala sesuatu yang tidak engkau butuhkan, engkau
adalah orang yang merdeka, bebas (hurr); namun dalam segala sesuatu yang engkau
butuhkan berarti engkau adalah seorang budak (‘abd).
63
Barang siapa yang tidak mau mendekatkan diri kepada Allah
oleh sebab gaibnya pemberian karunia Allah (mulathafat al-ihsan), maka akan
diseret supaya mendekatkan diri kepada-Nya dengan rantai ujian (salasil
al-imtihan).
64
Barangsiapa tidak bersyukur atas nikmat_nya (na-ni’am)
berarti menginginkan hilangnya nikmat tersebut, dan barangsiapa mau bersyukur
atas nikmatn-Nya berarti telah mengikat nikmat tersebut dengan talinya sendiri.
65
Takutlah akan karunia Allah yang selalu engkau peroleh di
saat engkau tetap berbuat makssiat kepada-Nya, (yang demikian itu) lambat laun
akan mengancurkanmu. “Kami nanti akan menarik
mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak
mereka ketahui.” (Qs. Al-A’raaf : 182)
66
Di antara tanda kebodohan orang baru (murid) adalah, jika
ia melakukan kesalahan, maka hukumannya ditangguhkan, sebagaimana dikatakan,
“Jika ini termsuk dosa, Allah pasti sudah tidak memberikan pertolongan (imdad)
dan membuangnya.” Pertolongan (al-madad) dapat dihentika (diputuskan) darinya
dengan tanpa disadari, seperti tidak adanya tambahan (al-mazid). Dan kadang
pula ia telah dibuang (al-bu’d) dengan
tanpa mengetahuinya, sekalipun hanya berupa membiarkan engkau memperturutkan
apa yang engkau senangi.
67
Jika engkau melihat seorang hamba yang ditetapkan oleh
Allah dalam menjaga bacaan-bacaan doa (al-aurad) dan ia lama tidak mendapat
pertolongan Allah di dalamnya, janganlah engkau meremehkan apa yang Allah
berikan kepadanya, engkau tidak melihat tanda-tanda orang ‘arif
(shiyamul-‘arifin) pada ddirinya atau tidak melihat keagungan para pengasih
Allah (nahjat al-muhibbin) tersebut. Sebab bila tidak ada karunia spiritual
(warid), maka tidak akan ada rangkaian doa (al-wird).
68
Allah menjadikan sebagian kaum dalam keadaan taat
beribadat kepada-Nya (li khidmatihi), dan Allah memilih yang lainnya lagi untuk
mencintai-Nya (bi mahabbitihi). “Kepada masing-masing golongan, baik golongan
ini maupun golongan itu, kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan
kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.” (Qs. Al-Isra’ : 20). Hikmah no. 68 dan 67 berkaitan dengan universalitas
pemberian karunia Tuhan bagi hamba-Nya. Perhatikan ketiga klasifikasi pada dua
hikmah tersebut, yaitu hamba, pecinta dan orang ‘arif, yang menunjukkan tiga
cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan : melalui rasa cemas (makhafah),
kecintaan (mahabbah) dan ma’rifat kepadanya).
Aforisme 8.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
69
Amal karunia spiritual Allah (al-waridat al-ilahiyyah)
jarang datang kecuali dengan tiba-tiba dan ini agar tidak ada pengklaiman dari
para hamba bahwa mereka telah melakukan persiapan dalam menerrimanya (bi wujud
al-isti’dad).
70
Siapaun yang engkau lihat, berarti orang
bodoh bila ia selalu menjawab segala sesuatu yang ditanyakan kepadanya atau
menunjukkan segala sesuatu yang ia saksikan atau menyebut segala yang ia
ketahui.
71
Allah menjadikan akhirat tempat pembalasan bagi hamba-Nya
yang Mukmin, karena dunia ini tidak dapat memuat apa yang akan Dia berikan
kepada mereka, dan juga karena Dia menganggap nilai mereka terlalu tinggi jika
hanya diberi pahala di dunia yang tidak
kekal.
72
Siapa yang merasakan buah dari amalnya dengan segera,
maka dapat menjadi bukti dditerima amalnya tersebut (al-qabul). (Al-qabul dalam hikmah ini berarti penerimaan
(pengabulan) Allah).
73
Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah,
maka perhatikanlah di mana Dia menempatkanmu saat ini.
74
Ketika Allah memberimu rasa puas melakukan ketaatan dan
menjadikanmu tidak sadar atasnya karena Allah semata-mata, maka ketahuilah
bahwa Dia telah melimpahkan nikmat-Nya kepadamu, baik secara lahiriah maupun
batiniah.
Aforisme 9.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
75
Sebaik-baik yang dapat engkau minta dari Allah adalah
yang Allah perintahkan kepadamu.
76
Satu di antara tanda penipuan terhadap dirimu sendiri
adalah malas melakukan ibadat yang disertai dengan tidak adanya kemauan untuk
meninggalkannya dalam hidup.
77
Orang yang mempunyai ma’rifat (al-‘arif) bukanlah orang
yang bila membuat kiasan simbolik (isyarah) merasa Tuhan lebih dekat kepada
dirinya daripada isyarah-nya. Sebaliknya, orang ‘arif (gnostik) adalah orang
tidak memiliki isyarah karena kehidupan dirinya menyatu dalam Wujud Tuhan (li
fana’ihi fi wujudihi) dan keasyikannya dalam kontemplasi (tafakur) kepada-Nya.
78
Pengharapan (ar-raja’) itu harus disertai dengan amal,
kalau tidak demikian, maka itu adalah lamunan (umniyyah).
79
Yang diminta orang ‘arif kepada Tuhannya adalah agar
menjalankan kehambaan (al-‘ubudiyyah) dan menunaikan kewajiban terhadap Tuhan
(ar-rububiyyah).
80
Allah swt. Melapangkan dirimu agar engkau tidak dalam
kesempitan (al-qabdh), dan Allah menyempitkan dirimu agar tidak hanyut dalam
kelapangan (al-basth), dan Dia melepaskan dirimu dari keduanya agar engkau
tidak menggantungkan kepada sesuatu selain-Nya. (Kesempitan
dan kelapangan adalah wujud keadaan (tingkatan) spiritual/ruhaniah, karena
keduanya memiliki pantulan-pantulan psikologis, seperti kesusahan dan
kebahagiaan. Keduanya adalah keadaan yang silih berganti sepanjang dalam jalan
tarekat, serupa dengan pergantian siklus siang dan malam. Kesempitan terkait dengan
rasa cemas (khauf) kepada Allah, kelapangan terkait dengan harapan (raja’)
kepada Allah; dan pada bagian yang lebih besar lagi, kesempitan berkaitan
dengan Keagungan dan Kekuasaan Tuhan (al-Jalal), sementara kelapangan berkaitan
dengan Keindahan (al-Jamal), dua aspek dari Keesaan Tuhan. Namun orang yang
salah sampai pada Keesaan Tuhan itu sendiri baginya bukan masalah, apakah
berada dalam kesempitan atau kelapangan.
81
Bagi orang ‘arif, ia akan lebih khawatir dalam kelapangan
daripada berada dalam kesempitan, dan hanya sedikit sekali yang dapat berdiri
tegak di batas-batas adab (hudud al-adab) dalam kelapangan itu.
82
Lewat kegembiraan hawa nafsu dapat masuk dalam
kelapangan, namun di dalam kesempitan ia tidak memperoleh bagiannya. Karena itu
manusia lebih aman dalam kesempitan, karena hawa nafsu tidak dapat memperdaya.
83
Kadangkala Allah memenuhi segala kebutuhanmu tetapi
mencabut taufik hidayah-Nya, dan kadang pula Dia tidak mememnuhi kebutuhanmu
tetapi membeikan taufik hidayah-Nya.
84
Ketika Allah membukakan pengertianmu tentang
penolakan-Nya (al-man’u), maka penolakan tersebut sama artinya dengan pemberian
(al-atha’).
85
Secara lahiriah, alam semesta (al-akwan) ini adalah
sebuah tipuan (ghairrah), namun secara batiniah, mereka ini adalah peringatan
(‘ibrah). Nafsu akan melihat lahir tipuannya (Zhahiri ghirratiha) peringatannya
(bathini ‘ibratiha). (sekalilagi, sebagaimana dalam
hikmah No.20, Ibni ‘Atha’illah memberi perhatian pada aspek batiniah dan
lahirian, ego yang melekatkan diri pada bentuk-bentuk lahiriah, hati atau mata
hati dissambungkan dengan dzat-dzat batinnya).
86
Jika engkau menginginkan kemuliaan (izz) yang tidak
rusak, maka jangan membanggakan kemuliaan yang rusak.
87
Perjalanan nyata (ath-thayy al-haqiqi) adalah bila
dimensi dunia (masafat ad-dunya) dilipat darimu, sehingga engkau dapat melihat
akhirat lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri.
88
Pemberian manusia itu adalah suatu kerugian (al-hirman)
dan pelokan dari Tuhan adalah kebaikan (al-ihsan).
Aforisme 10.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
89
Mahaagung Tuhan kami, yang akan membalas di kemudian hari
hamba-Nya yang beramal dengan segera.
90
Cukuplah ini sebagai balasan Allah atas ketaatanmu, yaitu
Allah telah menetapkanmu sebagia ahli taat.
91
Ini cukup sebagai balasan Allah atas orang-orang yang
beramal saleh, dimana Allah telah memberikan ketaatan di dalam hati mereka dan
memberinya kesenangan ber khalwat, menyendiri dengan-Nya (mu’anasah).
92
Barangsiapa menyembah Allah demu sesuatu yang ia harapkan,
demi sesuatu dari Allah, atau karena untuk menolak datangnya siksa-Nya (al-‘uqubah),
berarti ia belum menegakkan haknya terhadap
sifat-sifat Allah yang sebenarnya (bi haqqi aushafihi).
93
Ketika Allah memberikan karunia-Nya, maka Dia memperlihatkanmu
pada belas kasih (birr)-Nya; ketika Dia mencabut karunia-Nya, maka Dia
memperlihatkan kepadamu kekuasaan (qahr)-Nya. Dan dalam semua itu, Dia
memperkenalkan diri kepadamu dan datang kepadamu dengan kelembutan-Nya.
94
Penolakan (al-man’u) dari Allah terasa pedih bagimu hanya
karena tidak adanya pemahamanmu atas rahmat-Nya dalam penolakan tersebut.
95
Kadangkala Allah membuka pintu ketaatan untukmu, namun
belum membuka pintu pengabulan; atau kadangkala Dia menakdirkanmu untuk berbuat
dosa, namun hal ini justru menjadi sebab sampainya engkau kepada-Nya.
96
Suatu perbuatan maksiat yang menimbulkan perasaan rendah
diri dan akhirnya membutuhkan rahmat adalah lebih baik daripada ketaatan yang
menimbulkan rasa sombong dan besar diri.
97
Ada dua nikmat yang tidak ada saru pun makhluk yang dapat
terlepas darinya dan terhindar darinya; yaitu nikmat penciptaan (ni’mat
al-ijadi) dan nikmat pemenuhan kebutuhan (ni’mat al-imdad).
98
Pertama-tama Allah memeberikan karunia kepadamu melalui
nikmat penciptaan *bi al ijadi), dan yang kedua melalui nikmat pemenuhan
kebutuhan (bi tawali al-andad) yang terus menerus.
99
Kekuranganmu adalah sifat aslimu, karena
peristiwa-peristiwa tidak dapat menghilangkan kekuranganmu; cobaan yang yang
hadir di dunia ini tidak lain adalah pengingat bagimu atas apa yang engkau
benci dari kekuranganmu. (Sifat manusia sepenuhnya
menggantungkan keberlangsungannya kepada Tuhan dengan suatu cara yang
semestinya, sebagaimana dinyatakan dalam hikmah No.97 dan 98. Dua nikmat,
nikmat penciptaan (ijad) dan nikmat pemenuhan kebutuhan (imdad) jika dicabut
kembali, maka akan menjadikan kita tidak memiliki apa-apa; oleh karena itu,
kita akan benar-benar dalam keadaan fakir. “Sebab” (kejadian0kejadian) yang di
antaranya meliputi seperti keadaan baik, sehat dan cinta tidak dapat
menghilangkan kefakiran manusai. Cobaan yang menimpa kita, seperti penderitaan
dan kesengsaraan adalah untuk memperingatkan akan kefaikiran kita yang
mendorong kita pada kelalaian).
100
Sebaik-baik kesempatan yang engkau miliki adalah kesempatan
dimana engkau dapat menyaksikan kekuranganmu, dan dengan itu engkau kembali ke
wujud rendahmu.
101
Apabila Allah telah menjemukan engkau dari makhluk, maka
ketahuilah bahwa Dia akan membukakan untukmu perasaan dekat dengan-Nya.
102
Ketika Allah melonggarkan lidahmu untuk meminta, maka
ketahuilah bahwa Dia hendak memberimu sesuatu.
103
Hajat kebutuhan (al-idhthirar) orang ‘arif tidak kunjung
hilang, dan mereka tidak pernah merasa tenang bila bersandar kepada selain
Allah. (Hajat kebutuhan orang ‘arif tidak pernah
hilang karena ia tahu bahwa ia tidak dapat tenang kepada sesuatu selain Allah,
karena tiada sesuatu “di sisi” Allah).
104
Allah menerangi alam lahiriah (azh-zhawahir) dengan
cahaya makhluk (atsar)-Nya, dan menerangi hati batiniah (as-sara’ir) dengan
cahaya sifat-Nya (bi anwar aushafihi). Karena itulah cahaya alam lahiriah
terbenam, sementara cahaya (nur) hati dan batin tidak dapat terbenam. Hal ini
sebagaimana sebuah peribahasa Sufi, “Sesungguhnya sinar matahari itu terbenam di malam hari,
namun, sinar hati (syam al-qulub) itu tidak pernah terbenam!.”
Aforisme 11.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
105
Untuk meringankan rasa penderitaanmu, Allah telah
mengajarimu bahwa Dia-lah Dzat Yang mengujimu.
Dzat Yang melimpahkan penderitaan kepadamu dengan takdir-Nya (al-aqdar)
adalah juga Dzat Yang biasa memberikan kepadamu sebaik-baik pilihan-Nya (husnul
ikhtiyar).
106
Barangsiapa menganggap nikmat karunia Allah terlepas dari
bala’ ujian yang ditakdirkan-Nya, maka yang demikian itu karena piciknya
pandangan imannya.
107
Tidak dikhawatirkan bahwa jalan yang menuntun kepada
Allah akan membingungkanmu, namun yang dikhawatirkan adalah hawa nafsu yang
akan mengusaimu.
108
Mahasuci Allah Yang telah menutupi rahasia-rahasia batiniah (sirr al-khusuhiyyah) keitimewaan
orang ‘arif dengan tampaknya sifat-sifat yang umum (bi zhuhur washf
al-basyariyyah) manusia, dan yang telah menampakkan sifat kebesaran Ketuhanan
(‘azhamat ar-rububiyyah) dengan menunjukan sifat-sifat kehambaan (al-‘ubuddiyah);
kelemahan dan kebutuhan hamba-Nya. (“Rahasia
kesucian” (sirr al-khushushiyyah) Allah terkait dengan alam ma’rifat, yang
ditabiri dan dilindungi selubung sifat kemanusiaan dan segala noda,
disempurnakan dengan sifat kemanusiaan yang bertindak sebagaii tempat suci.
“Ketuhanan” terkait dengan Sifat Tuhansebagai Sang Pencipta; istilah yang
melengkapinya yang berkaitan dengan manusia adalah “Penghambaan”, yaitu
pengabdian terhadap Tuhan).
109
Jangan menuntut terhadap Tuhanmu karena permohonanmu (mathlab)
belum dikabulkan; sebaliknya, tuntutlah pada dirimu sendiri yang tidak memenuhi
kewajiban-kewajibanmu.
110
Apabila Allah menjadikanmu tunduk pada perintah-Nya
secara lahiriah dan memerintahkanmu menyerah pada kekuasaan-Nya secara batinia,
berarti Allah telah menambah nikmat-Nya kepadamu.
111
Tidak semua orang yang tampak keistimewaannya, berarti
sempurna pembersihannya (dari penyakit-penyakit hawa nafsu) atau penyaringannya
(yakni dalam golongan para orang ‘arif). (Manifestasi
karamah atau tanda-tanda keistimewaan (keajaiban) oleh kesucian diri adalah
bukti nyata sebagai orang pilihan, namun ini tidak bearti bahwa ia memiliki
kesempurnaan tarekat atau ia akan terus menerus menyempurnakan pencapaian
kebebasannya dalam ari keseluruhan).
Aforisme 12.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
112
Hanya orang bodoh yang mengabaikan rangkaian
bacaan-bacaan doa atau litani (al-wird). Karunianya (al-warid) akan ditemui di
akhirat kelak, sementara wirid (al-wird) akan habis dengan habisnya dunia ini.
Dan yang paling baik untuk ditekuni orang adalah sesuatu yang tak kunjung
habis. Wirid adalah apa yang Allah minta darimu, sedangkan warid (al-warid)
adalah apa yang engkau minta dari-Nya. Maka, di manakah perbandingan antara apa
yang Allah minta drimu dengan apa yang engkau minta dari-Nya?
113
Datangnya pertolongan-Nya (wurud al-imdad) adalah sesuai
dengan daya persiapan (al-isti’dad), sedangkan terbit (tutun)nya nur Allah
(syuruq al-anwar) adalah menurut sucinya batin (shafa’ul asrar).
114
Bila orang yang lalai bangun di pagi hari,
maka yang ia pikirkan adalah apa yang harus ia kerjakan. Sedangkan bagi yang
berakal adalah menyaksikan apa yang Tuhan lakukan di pagi hari ini terhadap
dirinya.
115
Ahli-ahli ibadat (al-‘ubdad) dan para asketis (az-zuhdad)
merasa risau dari segala sesuatu karena tidak melihat Tuhan di dalamnya.
Andaikan mereka melihat Tuhan di dalam segala sesuatu, maka pasti tidak akan
risau dari sesuatu tersebut. (Para ahli ibadat dan
kaum eskatis dalam Kitb al-Hikam (bagian aforisme) ini dibedakan dengan ahli
ma’rifat (‘arif), yaitu orang yang melihat Tuhan dalam segala sesuatu).
116
Allah memerintahkan dirimu selama hidup di dunia ini
untuk memperhatikan alam ciptaan-Nya; dan kelak di akhirat Dia akan
memperlihatkan kepadamu akan kesempurnaan Dzat-Nya (Kamal Dzatihi).
117
Allah telah mengetahui bahwa engkau tidak akan sabar jika
tidak melihat kepada-Nya, maka Allah memperlihatkan kepadamu apa-apa yang asli
butan-Nya.
118
Karena Tuhan (al-Haqq) mengetahui bahwa engkau mudah jemu,
maka Dia membuat bermacam-macam cara taat untukmu; dan karena Allah mengetahui
bahwa engkau pun bersifat rakus, maka Dia membatasi pendirian shalat dalam
beberapa waktu saja, sehingga perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat
(iqamat as-shalat), bukan sekedar shalat (wujud ash-shalat), karena tidak semua
orang yang mengerjakan shalat dapat sempurna shalatnya. (“ibadat ritual” kaitannya dengan shalat lima waktu, dibebankan oleh
syariat Islam kepada seluruh kaum Muslimin, dan merupakan salah satu dari “lima
pilar Agama” (Rukun Islam), yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan Haji;.
Orang jangan bingung antara ibadat shalat dengan ibadat dzikir, yang merupakan
doa dalam hati yang tidak pernah berhenti).
119
Shalat adalah sebagai penyucian hati (thuhrah li
al-qulub) dan pembuka pintu gaib (istiftah li bab al-ghuyub).
120
Shalat adalah tempat bermunajat serta sumber untuk
memanjatkan puji syukur dimana domain-domain terdalam (hati) dilapangkan dan
terbitlah terang. Allah mengetahui wujudmu yang lemah, sehingga Dia
menyederhanakan bilangan shalat; dan Allah pun mengetahui hajatmu pada
karunia-Nya; sehingga Dia melipatgandakan pahala.
121
Apabila engkau menuntut pahala atas suatu amal, maka
pasti engkau pun akan ditutnt ketulusan (ash-shidq) amal tersebut. Karen itu
bagi yang belum memiliki ketulusan (al-murib) harus merasa cukup puas bila ia
telah selamat dari tuntutan.
122
Jangan menuntut pahala atas suatu amal yang pelakunya
bukan dirimu sendiri. Cukup besar pahala Allah bagimu jika Dia meridhai amal
tersebut.
123
Jika Allah hendak menunjukan karuna-Nya kepadamu, maka
Dia menjadikan dan menamakan amal itu perbuatanmu (khalaqa fanasaba ilaika).
124
Tiada batas akhirnya kejelekanmu jika Allah mengembalikan
engkau pada kekuatan daya upayamu sendiri; dan tiada habis kebaikanmu jika
Allah memperlihatkan kemurahn-Nya kepadamu.
Aforisme 13.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
125
Berpeganglah pada sifat-sifar Allah dan perhatikan
sifat-sifat kehambaanmu.
126
Allah melarangmu mengakui apa pun yang bukan milikmu dari
makhluk lain; juga apakah mungkin Dia mengizinkanmu mengakui sifat-sifat-Nya,
padahal Allah adalah Tuhan semesta alam?
127
Bagaimana hukum aam (al-‘awa’id) dapat disingkapkan
semuanya untukmu sehingga menghasilkan keajaiban, padahal engkau belum mengubah
kebiasaan jelekmu?.
128
Tujuan pada setiap persoalan bukanlah sekedar wujud
permohonan. Tujuan pada setiap persoalan adalah jika engkau berbekal dengan
adab sopan-santun (husnul adab).
129
Tidak ada permohonan sangatmu seperti dalam kebutuhan
terpaksamu, dan juga tidak ada pahala yang pemberiannya kepadamu lebih cepat
daripada merasa rendah dan sangat mengharapkannya.
130
Jika engkau ingin menyatu dengan Allah hanya setelah
lenyapnya kejahatan dan terhapusnya kepongahan, maka engkau tidak akan pernah
bersatu dengan-Nya. Tetapi ketika Allah ingin menyatukan dirimu dengan-Nya,
maka Dia menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat-Nya dan menyembunyikan
kekurangamu dengan karunia-Nya. Dan demikianlah Dia menyatukanmu dengan Diri-Nya
melalui kebaikan apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan bukan melalui kebaikan
yang engkau berikan kepada-Nya.
Aforisme 14.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
131
Jika tidak ada kebaikan tutup (sifat menutupi dari) Allah
(jami sitrih), maka tidak akan ada amal yang layak untuk diterima.
132
Engkau lebih membutuhakan kebesaran Allah (hilm) pada
saat engkau menaati-Nya daripada ketika engkau berbuak maksiat kepada-Nya.
133
Sifat tutup Allah (as-satr) itu terbagi dua, tertutup
dari kemaksiatan dan dan tertutup dalam kemaksiatan. Orang awam minta kepada
Allah agar ditutupi dari berbuat maksiat karena khawatir akan jatuh
kedudukannya dalam pandangan manusia. Namun orang pilihan (terpilih) minta
kepada Allah agar ditutupi dalam berbuta maksiat karena khawatir jatuh dari
pandangan Sangn Penguasa.
134
Barang siapa
memulikan dirimu, maka sebenarnya hanya memuliak Tutup Allah di dalam dirimu.
Oleh karena itu, pujian adalah hanya kepada Allah Yang menutupi dirimu, bukan
kepada orang yang memuliakan dan berterima kasih kepadamu. (Islam memandang karamah sebagai akibat dari terputusnya
hukum alam (kharq al-‘awa’id) atau teputusnya “kebiasaan alam”. Ada aturan main
pada “kebiasaan”. Selama kebiasaan buruk seseorang belum dikurangi, maka sia-sia
saja bekeinginan untuk memamerkan karamah (keistimewaan).
135
Bukanlah sahabatmu kecuali orang yang ketika mengetahui
kejelekanmu ia tetap berteman denganmu,
dan hal ini hanya ada pada Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya sebaik-baik
yang engkau jadikan sahabat adalah Allah Yang tidak meminta sesuatu darimu
untuk-Nya.
136
Seandainya nur keyakinan (nur al-yaqin) bersinar, maka
engkau akan dapat melihat akhirat itu begitu dekat sehingga engkau tidak beranjak padanya, dan
akan melihat bahwa suramnya kehancuran telah melanda di atas keindahan dunia
ini (mahasin ad-dunya).
137
Tidak ada sesuatu dari benda di sisi Allah yang menghijab
dirimu dari-Nya, karena segala sesuatu selain Allah itu tidaklah ada. Sudah
tentu, bayangan (ilusi) suatu benda di sisi Allah itu tidaklah ada. Sudah
tentu, bayangan (ilusi) suatu benda di sisi Allah adalah apa yang menghijabmu
dari-Nya. (Di sini, doktrin ilusi dipaparkan untuk
menerangkan hijab (tabir) yang sering disebut dalam kitab al-Hikam dan
karya-karya sufi lainnya. Tabir muncul dari ilusi ini, yang membantu
berkembangnya pendapat bahwa ada dua Dzat Yang Maha Kuasa. Dalam Silam
pandangan semacam ini adalah syirik dan merupakan dosa besar. Dalam doktrin
tabir dinyatakan bahwa ada sesuatu di sampng Dzat Yang Haqq yang menghijab kaum
pendosa dari Tuhannya. Ibnu ‘Atha’illah sadar betul akan relativivtas dunia dan
tingkatan-tingkatan wujud, namun ia berkata bahwa ilusi melahirkan pendapat bahwa
relativitas bersifat mutlak. Oleh karena itu akhirnya dapat mengurangi Wujud Ilahiah.
Dzat Yang Maha Esa. Inilah kandungan syahadat tauhid, “la ilaha illa Allah”
(tidak ada Tuhan selain Allah), yang dalam sematan Sufinya, “Tiada wujud
kecuali Wujud Ilahiah.”
138
Seandainya Allah tidak menampakkan diri pada benda-benda
alam ini (al-mukawwanah), maka penglihatan kepada-Nya tidak akan mungkin
dirasakan mereka. Seandainya Allah menampakkan sifat-sifat-Nya secara lahiriah,
maka makhluk ciptaan-Nya pasti akan lenyap. (Jika
tidak ada penghidupan Tuhan (ijad) pada benda-benda dan alam, maka tidak akan
ada makhluk apa pun (tidak ada alam semesta), dan tentu saja tidak akan ada
penglihatan sesuatu oleh individu (tidak ada alam semesta). Seandainya
sifat-sifat Tuhan diwiujudkan dalam bentuk aslinya, maka semua makhluk pasti
akan lenyap).
139
Allah menampakkan segala sesuatu secara lahiriah karena
Dia-lah Yang bersifat Batin (al-Bathin, Gaib), dan Allah merahasiakan segala
sesuatu karena Dia-lah Yang bersifat Zhahir. (Kata
al-Bathin (interior) dan azh-zhahir (eksterior) adalah dua asma Allah dan diambil
dari Qs.al-Hadiid : 3- “Dialah yang Awal dan yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang
Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” Inilah salah satu bentuk asma Allah dalam al-Qur’an yang banyak
digunakan oleh kaum sufi. Keduanya saling melengkapi : Ketika seseorang
manyatakan asma “Yang batin” berarti juga asama “Yang Zhahir”. Makhluk itu
nyata karena Allah adalah Dzat Yang Batin. Sumber tersembunyi dari semua
perwujudan yang mengalami perkembangan. Sebaliknya, makhluk itu tersembunyi
(batin) karena Allah adalah Dzat Yang Zhahir, lebih jelas dan nyata daripada
sifat simbolik dunia yang menunjuk kepada-Nya. Orang seharusnya tidak melupakan
bahwa asama, seperti “azh-Zhahir” (Yang Zhahir), itu melmbangkan wujud
transendental dan tidak semestinya dipahami secara harfiah : dunia yang zhahir
bukanlah “Yang Zhahir” itu sendiri, melainkan hanya simbol-Nya. Kalau tidak
demikian, maka hal ini akan menjadikan keduanya identik dengan sesuatu, yang
berarti identik juga dengan menghilangkan tingkatan-tingkatan wujud atau mengurangi segala sesuatu yang tercipta
dari sumbernya. Dalam masalah ini, tidak akan ada alam zhahir sama sekali
kecuali “Dzat Yang Zhahir” atau “Dzat Yang Nyata.” Yang mana secara ontologis
tiada sesuatu sebelum “Dzat Yang Wujud.” Sebagaimana dikatakan Ibnu’Atha’illah
sendiri (dalam hikmah no.15), “Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu menghijab
Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Zhahir (azh-Zhahir) sebelum adanya segala
sesuatu).
140
Allah mengizinkanmu merenungkan apa-apa yang berada dalam
alam ini, namun Dia tidak mengizinkanmu berhenti pada benda-benda alam yang
itu-itu saja. “Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang
ada di langit dan di bumi.” Dengan firman
Allah swt., “Perhatikanlah apa yang ada di langit,”(a) Dia telah membukakan pintu jalan pengertin bagimu. Karena
itu, Allah Swt., berfirman “Perhatikanlah langit
itu”, sehingga tidak menunjukkanmu pada adanya benda-benda semata. (a) Qs. Yunus : 101-----
Kita menemukan kembali perbedaan antara aspek-aspek batiniah dan lahiriah dari
benda-benda, sebagaimana telah kita lihat dalam hikmah no.20 dan 85. Kita
jangan berhenti pada bentuk-bentuk (zhahir) benda, namun kita harus menuju pada
esensinya (batin) karena hanya ini yang bis membebaskan kita.
141
Alam semesta (al-akwan) ada (tsabitah) bila ditetapkan
dengan kekuasaan Allah, dan akan musnah (mamhuwwa) dengan keesaan Dzat Allah
(bi Ahadiyat dzatihi). (Di sini ada dua pandangan.
Pertama : perspektif kehidupan (eksistensi) seperti, dunia ada karena ia
berasal dari Tuhan. Sang Pencipta, prinsip ontologisnya, yang mana tanpa –Nya
dunia ini) tidak akan pernah ada. Kedua : Perspektif keyakinan, seperti : dunia
ini bagaimanapun bukanlah apa-apa karena sesungguhnya tidak ada sesuatu “di
sisi” atau “di samping” Allah Yang Esa. Di satu sisi, dunia ini memang ada, namun
di sisi lain, dunia ini benar-benar tidak ada atau memang tidak ada sama
sekali, keran hanya Allah-lah Dzat Yang Haqq.
Aforisme 15.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
142
Orang-orang memuji kepadamu karena apa yang mereka sangka
ada di dalam dirimu; sebaliknya engkau seharusnya menyalahkan (mencela) dirimu
karena apa yang engkau ketahui ada di dalamnya.
143
Ketika orang Mukmin di puji, maka ia malu kepada Allah
karena ia dipuji dengan sifat yang tidak didapatinya pada dirinya.
144
Seodoh-bodh manusia adalah orang yang meninggalkan
keyakinan karena mengikuti persangkaan (zhann) dari orang lain.
145
Apabila Allah membiarkan pujian terhadapmu terus menerus,
padahal engkau tidak layak mendapatkannya, maka pujilah Allah karena Dia-lah
Yang layak mendapatkannya.
146
Ketika kaum asketik (az-zuhhad) dipuji, maka mereka
menjadi takut karena melihat pujian yang demikian itu datang dari sesama
makhluk; sementara ketika orang-orang ‘arif (gnostik) dipuji, maka mereka
merasa gembira karena melihat pujian yang demikian itu datang dari Sang
Penguasa Sejati.
147
Jika manakala diberi sesuatu, pemberian tersebut
membuatmu gembira, dan jika manakala ditolak dari sesuatu, penolakan tersebut
membuatmu sedih, maka yang demikian itu adalah sebagai bukti dari ketikdak
dewasaanmu dan dan belum bersungguh-sungguh sifat kehambaanmu.
Aforisme 16.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
148
Apabila engkau melakukan suatu dosa, maka hal ini jangan
menjadi alasan keputus-asaanmu dalam mendapatkan istiqamah di hadapan Tuhanmu,
karena perbuatan tersebut mungkin menjadi dosa terakhir yang diterapkan
untukmu.
149
Apabila engkau menginginkan pintu harapan dibukakan
(Allah) untukmu, maka perhatikanlah apa yang Dia berikan kepadamu; namun jika engkau menginginkan pintu
kecemasan dibuka untukmu, maka perhatikanlah apa-apa yang sudah engkau perbuat
terhadap-Nya.
150
Kadangkala Allah mengaruniamu pengetahuan (ma’rifat) di
saat kegelapan kesedihan (lail al-qabdh), apa yang tidak engkau ketahui di saat
terangnya nikmat kelapangan (fi isyraq nahar al-basth). Engku tidak mengetahui
mana yang lebih dekat manfaatnya bagimu. (Qs. Ali imran : 11) (Bandingkan hikmah ini (hikmah no.150) dengan hikmah
No.81 dan perhatikan persamaan antara malam dengan kesempitan dan siang dengan
kelapangan).
151
Tempat terbitnya Nur Ilahi adalah hati manusia dan
rahasia-rahasianya.
152
Nur yang tersimpan dalam hati itu datangnya dari nur yang
datang langsung dari perbendahraan alam gaib.
153
Nur yang dicapai dengan panca indera menerangkan bagimu
ciptaan Allah (al-atsar) yang berupa benda-benda, sebaliknya nur iman
(keyakinan) dapat menunjukkan kepadamu hakikat sifat-sifat Allah (aushaf). (Perbedaan yang dimaksud di sini adalah antara cahaya
(nur) fisik dengan cahaya ruhaniah. Cahaya fisik (zhahir) menutup dunia
inderawi di sekitar kita, sementara cahaya ruhaniah menutup alam
transenddental. Sifat-sifat yang dibicarakan adalah yang berkaitan dengan
Kekuasaan, Kehendak, Ilmu dan Hidup Allah, serta sifat-sifat Tuhan lainnya. Ada
kemungkinan interpretasi lain atas hikmah ini dengan interpretasi yang
dimaksud, adalah berkaitan dengan tiga bagian Cahaya ruhaniah. Pertama : Nur
Islam (nur al-Islam) yang membawa pada pematian diri di dalamTindakan-tindakan
Tuhan (a;-af’al), yang sama dengan konteks ini adalah al-atsar). Kedua : Nur
Iman (nur al-Iman) yang membawa pada pematian diri di dalam sifat-sifat Tuhan.
Ketiga : Nur Ihsan (nur al-ihsan) yang membawa pematian diri pada Dzat Tuhan,
Syeikh sufi berhenti di sini, yakni tingkatan kedua, mengingta hanya ada satu
tingkatan, yakni tingkatan nur al-Iman, karena ia sudah memuat nur ihsan, atau
karena tingkatan kedua ini bila dikatkan dengan tingkatan pertama, ia sudah
mengandung suatu unsur penyerahan diri (al-islam). Meski demikian, orang dapat
melihat adanya ssuatu susunan bertingkat (hirarki), sehingga hati bisa berhenti
pada tingkatan pertama atau pada tingkatan kedua dan tidak berproses ke atas
lagi pada Sumber Nur itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan Ibnu’Atha’illah
sendiri pada hikmah berikutnya.
154
Adakalanya hati itu terhenti pada sinar cahaya-cahaya itu
sebagaimana terhijabnya nafsu oleh gelapnya benda-benda makhluk.
155
Dalam menyayangi mereka, Allah menutupi cahaya hati
dengan pekerjaan-pekerjaan Zhahir sehingga mereka tidak dicaci maki ketika
mengutarakan dirinya atau dituduh mencari-cari kamashuran.
Aforisme 17.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
156
Mahasuci Allah Yang tidak membuat tanda apa pun untuk
mengenalkan orng-orang suci (wali) kecuali sekedar untuk mengenalnya, dan juga
tidak seorang pun dapat bertemu mereka kecuali orang yang di kehendaki Allah
untuk bertemu mereka. (“Orang-orang Suci (the
saints) yang dimaksud di sini adalah para syeikh (guru) tarekat Sufi, Allah
menuntun salik dengan karunia bimbingan-Nya menuju menjadi Syeikh, sehingga ia
dapat menyatu (dekat) dengan Allah. Tanda menuju untuk menjadi syeikh adalah
menuju (mendekatkan diri) kepada Allah. Ada hubungan antara hikmah ini dengan
hikmah no.155, oleh karena itu cahaya batiniah orang-orang Suci tersembunyikan
oleh sifat kemanausiaan lahiriahnya, sehingga amat sulit mengetahui syeikh
(guru atau orang Suci), Bandingkan juga hikmah ini dengan hikmah No.108).
157
Kadangkala Allah memperlihatkan kepadamu sebagaimana dari
kegaiban alam Malakut, Namun Dia menutupimu dari mengetahui rahasia-rahasia
para hamba-Nya.
158
Barangsiapa dapat mengetahui rahasia-rahasia para hamba
tanpa meniru sifat rahmat Tuhan (ar-rahmah al-Ilahiyyah), maka pengetahuannya
tersebut akan menjadi bencana (fitnah) dan sebab tibanya bahaya (al-wabal) atas
dirinya sendiri.
159
Andil nafsu dalam perbuatan maksiat itu jelas terang (zhahir jalli), sementara andilnya
dalam perbuatan taat itu halus dan samar
(bathin khafi). Untuk mengobati yang samar itu amat sukar menyembuhkannya.
160
Kadangkala riya’ masuk ke dalam dirimu melalui yang tidak
seorang pun melihatnya.
161
Keinginanmu agar orang-orang mengetahui keistimewaanmu
(khusushiyyah) adalah bukti dari adanya ketidaktulusan dalam kehambaanmu
(‘ubudiyyah).
162
Hilangkan pandangan makhluk terhadapmu karena puas dengan
penglihatan Allah kepadamu!
Lupakanlah perhatian mereka terhadapmu karena melihat
bahwa Allah menghadap kepadamu.
163
Siapa yang mengenal Allah
(al-Haqq), maka pasti dapat menyaksikan-Nya pada tiap-tiap sesuatu.
Dan siapa fana’ (ekstase)
dengan Allah, maka pasti lupa dari segala sesuatu.
Dan barangsiapa benar-benar mencintai
Allah, maka pasti tidak memilih sesuatu selain-Nya.
164
Hanya karena Allah sangat dekat
(syiddatu qurbihi) denganmu, sehingga menghijabmu dari melihat-Nya.
165
Hanya karena Allah amat jelas
(syiddatu zhuhurihi), maka Dia terhijab, dan
karena Nur Allah yang kuat, maka Dia samar dari penglihatan.
Aforisme 18.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
166
Janganlah doa permohonanmu engkau jadikan sebab (alat
pemberian Allah. Hendaknya oda permohonanmu dimaksudkan demi menunjukkan
kehambaanmu dan menunaikan hak-hak Allah.
167
Bagaimana permohonanmu yang datang belakangan dapat
menjadi sebab pemberian Allah yang telah diputuskan pada waktu sebelumnya? (Permohonan seseorang terjadi (baru berlangsung) di dunia
yang sementara, sementara pemberian Tuhan (kepada manusia) telah ditetapkan
sejak zaman azali, “sebelum” orang tersebut memohon. Jadi, sebagaimana
dikatakan dalam hikmah No. 168, sesuatu yang bergantung seperti permohonan
tidak dapat menjadi sebab pemberian-Nya, karena (sudah ditetapkan) di azali,
yang tidak ada sesuatu yang berhubungan dengan waktu lampau atau sekarang, yang
ada hanyalah “karunia” dan “pemberian” (hikmah No.169). Ini tidak lantas
berarti sebagai suatu pernolakan terhadap (adanya usaha) permohonan, karena
pada hikmah sebelumnya (no.166) Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan bahwa seseorang
semestinya memohon demi menunjukkan kehambaan seseorang dan menunaikan hak-hak Allah sebagai Tuhan.
Lebih dari itu, permohonan seseorang itu sendiri harus tunduk pada Kehendak
Tuhan, sebagaimana pernyatan Ibnu ‘Atha’illah secara tidak langsung dalam
hikmah ni.171. Ketika itu, beliau menyatakan bahwa segala sesuatu tergantung
pada Kehendak Tuhan, yang tentu saja terrmasuk (pengabulan) permohonan
seseorang.
168
Hukum Allah yang azali (hukum al-azal) menjadi sandaran
sebab-musabab (al-‘ilal) penggantungan.
169
Perhatian Allah (‘inayatuhu) kepadamu bukanlah karena
sesuatu yang timbul dari dirimu. Di manakah angekau ketika Allah menetapkan
karunia-Nya kepadamu di zaman azali dan ketika Dia menentukan pemeliharaan-Nya?
Amal saleh dan hal-hal lainnya pada waktu itu belum ada. Bahkan belum terdapat
sesuatu pun selain semata-mata karunia dan pemberian.
170
Allah mengetahui bahwa semua hamba mengharapkan mendapat
rahasia inayah-Nya di dalam diri mereka masing-masing, maka Allah swt.,
berfirman “Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi)
rahmat-Nya.” (Qs. Al-Baqarah :105) Dan Allah juga mengetahui bahwa andaikan Dia
meninggalkan mereka pada keadaan yang demikian, maka mereka akan meninggalkan
seluruh usaha karena berserah pada hukum azali, karenanya Allah berfirman :
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(qs. Al-An’aam :56) Oleha karena karunia Allah atas
semua makhluk-Nya telah “selesai” ditetapkan, maka masing-masing makhluk secara
alamiah tinggal menunggu saja munculnya karunia dalam bentuk apa pun di dalam
dirinya; namun ayat-ayat al-Qur’an secara gamblang menunjukkan bahwa Tuhan
menetapkan ini dan itu kepada seseorang karena Rakhmat-Nya, dan hal tersebut
termasuk beberapa bagian karunia-Nya. Supaya jangan menimbulkan kelalaian dan
pengabaian usaha (memohon). Al-Qur’an menunjuk secara tepat orang-orang yang
termasuk memperoleh karunia (atau rahmat), yaitu orang-orang Muhsinun,
orang-orang yang memiliki kebajikan spiritual (ihsan).
171
Segala sesuatu itu bersandar paa Kehendak Allah
(al-masyi’ah), sementara Kehendak Allah itu tidak bersandar pasa sesuatu apa
pun. (Seua makhluk tunduk pada Kehendak
Penciptanya, namun Kehendak Sang Pencipta tidak tunduk kepada makhluk).
Aforisme 19.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
172
Kadangkala sopan santun yang baik (al-adab) mendorong
orang ‘arif untuk meninggalkan permohonan karena menyerahkan pada pemberian
Allah, atau karena sibuk berdzikir (kontemplasi) kepada Allah, sehingga
menghalanginya memohon kepada-Nya.
173
Sesungguhnya yang harus diingatkan itu hanyalah orang
yang mungkin lupa, dan yag harus ditegur adalah orang yang teledor (sembrono).
174
Hari Raya (menyenangkan) orang-orang baru (para murid
yang sedang melatih diri untuk taqarub kepada Allah) adalah di saat tibanya
kesukaran (kemiskinan serba kekurangan sehingga merasa rendah dan hina diri)
kepadanya.(Hikmah no.174-8 berkaitan dengan
persoalan kemiskinan ruh (spiritual) “Kesukaran” atau “kemiskinan” bagi murid
adalah amat penting (lihat juga hikmah no.99), kemiskinan adalah masalah
peniaaan diri di hadapan Allah).
175
Mungkin engkau mendapat kelebihan (lebih banyak) karunia
dan kebesaran dari Allah di saat kesukaran itu, yang tidak bisa engkau dapatkan
dengan puasa dan shalat.
176
Berbagai macam ujian bala’ kesukaran itu, bagaikan
hamparan hidangan karunia.
177
Jika engkau menghendaki datangnya pemberian-pemberian
(karunia besar) Allah kepadamu, maka bersungguh-sungguh dalam membuktikan
kehambaannmu, yaitu kemiskinan (al-faqr) kebutuhan, kerendahan di hadapan-Nya
sebagai hamba yang benar-benar fakir. “Sesungguhnya yang berhak menerima
pemberian-pemberian (sedekah) itu hanyalah mereka yang betul-betul fakir.” (Qs.
at.Taubah : 60). (“Hari raya” dan “hidangan” yang
disebutkan dalam hikmah No.174 & 177, adalah kesemuanya buah dari tarekat,
seperti ilham, karunia, kebajikan dan kearifan. Semua ini mengantarkan pada
suatu tingkatan, dimana pada tingkatan ini keberadaan ego (nafsu diri) hilang
lewat proses kefakiran).
178
Sadarilah sifat-sifatmu
niscaya Allah akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya;
Sadarilah kehinaanmu
niscaya Allah membantumu dengan kemuliaan-Nya;
Akuilah kekuranganmu
niscaya Allah akan membantumu dengan kekuasaan-Nya;
Akuilah kelemahanmu niscaya Allh akan membantumu dengan
keagungan dan kekuatan-Nya.
Aforisme 20.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
179
Adakalanya seorang yang belum sempurna istiqamahnya
diberi rezeki kekeramatan (karamah).
180
Di antara tnda bila Allah menetapkanmu dalam suatu
tingkatan yaitu, bila Dia mendudukan pada tingkatan itu, engkau mendapatkan
buah darinya (an-nata’ij).
181
Siapa yang mengajar karena memandang
kebikan dirinya sendiri, maka ia akan diam bila berbuat salah (dosa),
dan barangsiapa mengajar (berbicara) menurut kebaikan Allah bagi dirinya, maka
ia tidak akan diam bila berbuat salah.
182
Nur para orang bijak (syeikh) selalu mendahului
perkataannya, sehingga di mana pun terjadi penerangan, maka sampailah ungkapan
mereka.
183
Setiap kalimat yang sudah terucap (keluar) pasti membawa
corak hati (kiswatul –qalb) dari yang mengeluarkannya.
184
Barang siapa telah diberri izin (Allah) untuk
berkata-kata (menerangkan), maka segala kata-katanya (‘ibarah) dapat dimengerti
oleh para pendengarnya, dan segala kiasan simbolisnya (isyarah) akan menjadi
terang bagi mereka.
185
Kadangkala cahaya alam hakikat itu akan tampak pudar
ketika engkau belum diberikan izin untuk mengungkapkannya.
186
Ungkapan merreka ini adalah kaena luapan dari suka cita
yang sangat atau karena tujuan memberi petunjuk kepada seorang murid. Yang pertama
itu adalah hal keadaan orang yang masih salik; sementara yang terakhir adalah
hal keadaan orang yang sudah matang dan benar-benar mendalam di bidang ilmu
hakikat.
187
Perkataan adalah makanan bagi pendengar yang berhajat;
dan bagianmu dari padanya adalah hanya apa yang dapat engkau makan.
188
Kadangkala orang yang membicarakan (menerangkan) tentang
suatu maqam (tingkat) dalam kewalian itu, seorang yang ingin sampai kepadanya
dan baru mengintai. Dan adakalanya orang yang membicarakan itu orang yang telah
sampai ke dalamnya. Yang demikian itu adalah membingungkan kecuali bagi orang
yang memiliki mata hati yang tajam (terang hati nuraninya).
189
Tidak layak bagi seorang salik (yang baru merangkak dalam
jihad melawan hawa nafsu) mengungkapkan apa (karunia) yang ia dapat dari Tuhan
(waridat), karena yang demikian itu sesungguhnya akan mengurangi pengaruhnya
dalam hatinya sendiri, dan merusak (menghalangi) kesungguhannya terhadap Tuhan.
190
Jangan mengulurkan tanganmu untuk menerima pemberian
sesuatu dari sesama makhluk keculai engkau melihat bahwa Sang Pemberi
(al-Mu’thi) adalah Tuhanmu. Bila telah demikian, maka terimalah dari mereka
yang sesuai, dengan ilmu pengetahuan.
191
Kadangkala orang ‘arif itu merasa malu meminta hajatnya
kepada Tuhannya karena sudah puas dengan kehendak-Nya. Manak, bagaimana tidak
akan malu minta hajatnya kepada makhluk-Nya?
Aforisme 21.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
192
Apabila dua persoalan (hal) tampak membingungkan, maka
lihatlah mana yang lebih berat terrhadap hawa nafsu, maka ikutilah, sebab tidak
akan terasa berat terhadap hawa nafsu kecuali yang baik.
193
Di antara tanda memperturutkan hawa nafsu adalah bergegas
dalam amalan sunnah dan malam dalam amalan wajib.
194
Allah sengaja menetapkan amal taat itu dalam waktu-waktu
tertentu untuk tidak menahanmu dari mengerjakannya karena keteledoran dan
kamalasanmu yang suka mengada-ada, tetapi Allah memperluas waktunya supaya
tetap ada bagimu kesempatan memilih waktu yang lebih tepat/ringan atau lebih
khusyu. (“Waktu tertentu” berkaitan dengan ibadat
wajib dalam Islam, seperti shalat lima waktu pada selang waktu yang telah
ditetapkan, sehingga membolehkan kaum saleh untuk memilih waktu mereka sendiri
dalam melaksanakan shalat).
195
Allah mengetahui ketidakseriusan hamba-Nya dalam
berhubungan dengan-Nya, sehingga Dia menjadikan amalan taat sebagai kewajiban
mereka. Demikianlah Allah menarik mereka pada ketaatan dengan rantai kewajiban
(bi salasili al-ijab). Sesungguhnya Tuhanmu kagum kepada orang-orang yang
ditarik ke surga dengan rantai.
196
Allah menjadikan pengabdian terhadap-Nya (khidmah)
sebagai kewajiban atas dirimu, yang sebenarnya sama juga dengan mengarahkan
bahwa Allah membuat jalan masuk ke surga-Nya sebagai kewajiban atas dirimu.
197
Barang siapa merasa ganjil (tidak mungkin) dapat
diselamatkan oleh Allah dari pengaruh hawa nafsu syahwatnya, atau dihindarkan
dari kelalaiannya, maka berarti ia telah memperlemah kekuasaan Allah (al-Qudrah
al-Ilahiyyah). “Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Qs. al-Kahfi : 45).
198
Kadangkala kegelapan itu datang kepadamu sehingga Allah
dapat menyadarkanmu atas kebesaran nikmat karunia-Nya yang diberikan kepadamu.
199
Orang yang tidak mengetahui harga nikmat ketika adanya
nikmat itu, maka ia akan mengetahui harga kebesaran nikmatnya ketika telah
lenyap.
200
Karunia nikmat hendaknya jangan malah membuatmu bingung
untuk memnunaikan kewajiban mensyukurinya, karena keadaan yang demikian
sesungguhnya akan merendahkan martabatmu.
201
Sakit yang sukar disembuhkan adalah ketika manisnya hawa
nafsu menguasai hati.
202
Hanya ketakutan yang menggetarkan (khauf muz’ij)
atau rindu yang menggelisahkan (syauq
muqliq) yang dapat mengusir syahwat dari dalam hati. “Ketakutan
yang menggetarkan” (khauf muz’ij) berkaitan dengan kekuasaan dan kebesaran
Tuhan (al-Jalal). “Rindu yang menggelisahkan” (syauq muqliq) berkaitan dengan
Keindahan Tuhan (al-Jamal), yang membuat daya tarik sehingga melahirkan nafsu
yang mengikat sang murid dan menunjukkannya kepada yang di atas.
203
Sebagaimana Allah tidak menyukai amal yag memiliki
persekutuan, demikian pula Allah tidak menyukai hati yang memiliki persekutuan.
Jika amal memiliki persekutuan, maka Allah tidak menerimanya, dan bila hati
memiliki persekutuan, maka Allah tidak mau mendekatinya. (Persekutuan (syirik) adalah dosa besar dalam Islam.
Syirik adalah mempersekutukan sesuatu atau seseorang dengan Allah, seolah ada
dua Tuhan atau lebih. Dalam bidang aqaid, syirik dalam perbuatan munafik
(nifaq) yang berlawanan dengan ketulusan (ikhlash). Pengakuan akan Keesaan
Tuhan (tauchid) menuntun bertambahnya perasaan ikhlas di dalam faqir. Maksiat
harus lenyap. Amal perbuatan orang-orang musyrik adalah suatu amal yang
dilakukan tanpa ada Tuhan dalam pandangannya; hati orang yang musyrik adalah hati
yang menicntai sesuatu yang lain selain Allah.
Aforisme 22.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
204
Beberpa Nur Ilahi ada yang hanya diizinkan oleh Allah
untuk sampai ke hati (al-wushul) dan ada pula nur Ilahi lainnya yang diizinkan
Allah masuk ke dalam hati (ad-dukhul). (Nur
(cahaya) yang diizinkan untuk ‘sampai’ terdapat pada orang-orang yang berIman
(ahl al-iman), tapi memiliki hati yang belu sepi dari dunia, karena
cermin-cermin mereka memantulkan bentuk-bentuk duniawiah. Dengan demikian,
cahaya itu berhenti di luar hati. Adapun “cahaya” yang diizinkan masuk”
terdapat pada orang-orang yang mempunyai kebajikan (ahl al-ihsan) dan hatinya sudah sepi dari
(unsur) dinuawiah, sehingga cahaya ini dapat masuk ke hati yang amat dalam.
Hikmah ini selanjutnya dijelaskan dalam hikmah berikutnya, yaitu pada hikmah
no.205-6. Orang akan mencatat bahwa ia (Ibn’Atha’illah) tidak menyebut nur apa
pun yang terdapat (dimiliki) ahlul Islam, boleh jadi karena cahaya hanya di
tingkat iman, sehingga orang dapt
menyebut “cahaya-cahaya” sesuai yang
dimaksudkan, atau cahaya nyata dalam pengertian yang lebih mulia.
205
Adakalnya nur Ilahi datang kepadamu, namun didapi hati
masih dipenuhi dengan hal-hal keduniaan (hawa nafsu), maka ia kembali lagi ke
tempat di mana ia semula diturunkan.
206
Kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, maka
Allah akan memenuhinya dengan ,a’rifat dan rahasia-rahasia.
207
Jangan menganggap karunia Allh yang lamban, namun...
anggaplah bahwa engkau merasakan kelmabatan dirimu menghadap kepada Tuhan.
208
Kewajiban-kewajiban di dalam waktu dapat diqadha’i-nya,
tetapi hak-hak yang disediakan Allah dalam waktu tidak dapat diulangi. Sebab,
tiada suatu waktu melainkan ada hak kewajiban yang baru dan perintah yang ditekankan.
Maka, bagaimanakah engkau akan
menyelesaikan hak lainnya, sedang engkau belum menyelesaikan hak Allah dalam
waktu itu?
209
Bagian dari hidupmu yang belaku tidak dapat ditarik
kembali, dan bagian dari hidupmu yang bermanfaat tak ternilai harganya.
210
Tiada engkau mencintai sesuatu melainkan pasti menjadi
budak dari apa yang engkau cintai itu, dan Allah tidak suka bila engkau menjadi
hamba (budak) sesuatu selain daripada-Nya.
211
Ketaatanmu tidak berguna bagi Allah, dan kemaksiatanmu
tidak memberi bahaya apa pun kepada-Nya. Allah menyruhmu berbuat taat dan
melarangmu berbuat maksiat adalah demi kepentinganmu sendiri, bukan untuk
kepentingan Allah.
212
Kemudian Allah tidak bertambah ketika seseorang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan demikian juga kemuliaan-Nya tidak berkurng
ketika seseorang menjauhi-Nya.
Aforisme 23.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
213
Sampainya (wushul) dirimu kepada Allah adalah sampaimu
pada ilmu-Nya. Jika tidak demikian, maka Mahasuci Allah untuk disatukan dengan
segala sesuatu atau segala sesuatu disatukan (disambung) dengan-Nya. (Penyatuan dengan Tuhan adalah persoalan identitas yang
amat penting melalui ,a’rifat. Ini dapat tercapai dengan mengikuti sinar
spiritual vertikal kembali ke arah Sumbernya melalui pengetahuan iluminatif.
Identitas penting ini jangan dikacaukan demngan masalah horizontal.
Tingkatan-tingkatan Alam (Reality) merupakan susunan-susunan (stratifikasi)
yang tidak mengizinkan urutan antara tingkatan-tingkatan yang lebih rendah
dengan masalah Prinsipnya. Tingkatan-tingakatan fundamental Alam (Reality)
sebagaimana diterima dalam ajaran Ibnu’Atha’Illah dan Sufisme pada umumnya,
adalah bersifat material, fisi dan ruhaniah. Alam yang bersifat fisik atau yang
dapat dirasakan indera atau bidang material disebut al-Mulk, yaitu tingkatan
terbawah dan amat terbatas. Alam yang lebih halus namun tetap bersifat fisik
atau bidang jiwa disebut al-Malakut, yang secara hirarki labih tinggi dari Alam
al-Mulk dan sedikit terbatas. Alam yang bersifat ruhaniah melebihi
bentuk-bentuk, dan oleh karena itu ia tidak terbatas disebut Alam al-Jabarut.
Alam terakhir ini dianggap sebagai lingkaran pusat. Sampai (bersatu) nya kita
dengan Tuhan, dlam simbolisme ini, akan diikat dengan mengikuti sinar ruhani dari
Dzat Yang Asal dan kembali kepada-Nya. Inilah gambaran identitas penting itu.
214
Dekatmu kepada Allah itu seakan-akan engkau melihat dan
memperhatikan dekatnya Allah kepadamu. Kalau tidak demikian, maka darimanakah
engkau dekat dengan-Nya?
115
Hakikat ilu yang diturunkah Allah kepada orang-orang
‘arif ketika iluminasi (tajali) itu singkat (mujmal), tetapi penjelasannya
muncul setelah proses memori (penangkapan). “Apabila Kami selesai membacakannya
maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami
penjelasannya.” (Qs. al-Qiyaamah : 18-9 ) (Karunia-karunia
spiritual (waridat) diberikan secara sintesis. Ia hanya setelah dilakukan
pembacaan atau perpaduan (asimilasi) yang penjelasannya dapat dirinci. Ayat
al-Qur’an ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan terhadap Wahyu al-Qur’an.
Sementara kaum sufi, menambahkan, bahwa ayat al-Qur’an ini tidak hanya
ditujukan (menjelaskan) pada wahyu namun juga menyatakan tentang ilham
(waridat).
116
Apabila datang warid (karunia spiritual) dari Allah
kepadamu, maka akan langsung menghancurkan kebiasaan-kebiasaanmu. “Sesungguhnya
raja-raja itu jika masuk ke suatu desa (kota) merombak segala keadaan.” (Qs.
an-Naml : 34).
117
Warid (karunia spiritual) itu datang dari Dzat Yang
Mahakuasa. Karena itu, tidak ada sesuatu yang dapat berhadapan dengannya
melainkan dimusnahkannya hingga lenyap sama sekali. “Sebenarnya Kami
melemparkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka
dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (Qs. al-Anbiyaa : 18). (Karunia Tuhan (ilham) memiliki pengaruh penyucian
terhadap jiwa, karunia juga bersifat menerangi, oelh karena itu dapat
menghancurkan segala ilusi dan perbuatan-perbuatan maksiat).
218
Bagaimana Allah (al-Haqq) dapat dihijab oleh sesuatu,
padahal Dia itu Zhahir dan memiliki Wujud hadir dalam apa yang menghijab-Nya?
119
Jangan putus harapan untuk diterimanya amal perbuatan
yang engkau kerjakan dengan tidak khusyu’ sebab masih ada kemungkinan amal itu
diterima meskipun buahnya belum dapat engkau rasakan seketika itu juga.
120
Jangan menegaskan terhadap sesuatu warid yang buahnya
belum engkau ketahui. Tujuan dari berkumpulnya awan bukanlah sekedar turunnya
hujan; tetapi tujuan sebenarnya adalah tumbuhnya buah.
121
Setelah Nur Warid bersinar dan semua rahasia tertangkap,
jangan meminta kelanggengannya, karena engkau telah berada di dalam Tuhan yang
memungkinkanmu melepaskan segala sesuatu; sebab tidak ada sesuatu yang
memungkinkanmu melepas Tuhan.
122
Bukti kalau engkau belum bertemu Allah adalah engkau berusaha
untuk tetapnya sesuatu selain-Nya, dan bukti bila engkau belum benar-benar
berhubungan dengan Allah adalah engkau merasa risau saat kehilangan sesuatu
selain-Nya.
Aforisme 24.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
223
Walaupun bermacam-macam bentuknya, nikmat itu hanya
karena merenungkan dan mendekatkan diri kepada Tuhan; dan walaupun
mermacam-macam bentuknya, sikssa itu karena adanya Hijab-Nya. Dan oleh karena
itu, hijab adalah penyebab siksa, dan kesempurnan nikmat adalah melalui melihat
kepada Dzat Allah Yang Mahamulia.
224
Bahwa hati manusia kecemasan dan kesedihan adalah karen
masih ada yang menghalangi pandangan batiniah, yakni belum dapat melihat
musyahadah kepada Allah.
225
Di antara kesempurnaan nikmat (tamamun-ni’mah) yang
iberikan kepadamu, jika Allah memberikan rezeki yang cukup dan menahanmu dari
apa yang dapat menyesatkanmu.
226
Kesedihanmu atas sesuatu akan berkurang jika kesenanganmu
atas sesuatu tersebut engkau kurangi.
227
Bila engkau tidak ingin dipecat, maka jangan memangku
suatu jabatan yang tidak langgeng bagimu.
228
Jika permulaannya membuatmu tertarik, maka akhirnya akan
membuatmu jemu; jika lhairnya membuatmu terpikat, maka batinnya akan membuatmu
terhalang.
229
Allah sengaja hanya menciptakan dunia ini sebagai tempat
kerusakan dan sumber kerusuhan yang
dengan jalan ini ekan menjemukan terhadapnya.
230
Allah mengetahui bahwa engkau tidak akan dapat menerima
(suatu kebaikan) hanya dengan nasihat saja, oleh karena itu Dia menjadikan
contoh citarasa dunia yang sedikit banyak bagiannya akan memudahkanmu,
231
Ilmu yang bermanfaat adalh ilmu yang sinar cahayanya
meluas dalam dada, dan membukapenutup hati.
232
Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang diserta rasa takut
9al-khasyyah) kepada Allah.
233
Ilmu itu jika disertai dengan rasa takut kepada Allah,
maka itu yang menguntungkanmu; jika tidak, maka itu berbahaya (lawan) bagimu.
234
Apabila yang menyakitkan (menyedihkan) hatimu adalah
tidak mengharapkan orang-orang kepadamu, atau celaan-celaan orang terhadapmu,
maka selidikilah apa yang diketahui Allah dari perbuatanmu (karenanya,
koreksilah keadaan diri yang sebenarnya menurut apa yang diketahui oleh Allah),
maka bila kau belum puas dengan apa yang sebenarnya telah diketahui oleh Allah
itu, bala’ yang menimpau karena tidak puas terhadap apa yang diketahui-Nya itu
adalah lebih besar daripada bala’ menyakitkan yang datang dari sesama manusia.
235
Allah memang sengaja menciptakan gangguan terhadap dirimu
dari tangan orang-orang itu, supaya engkau tidak menyerah kepada mereka. Allah
ingin menjemukanmu dari segala sesuatu, sehingga tiada sesuatu yang akan
memalingkanmu dari-Nya.
236
Jika engkau tahu bahwa setan tidak akan pernah lupa
kepadamu, maka janganlah engkau lupa kepada Tuhan yang nasibmu ada di
tangan-Nya.
237
Allah sengaja menjadikan setan sebagai musuhmu, supaya
engkau jemu terhadapnya dan berrlindung kepada Allah, demikian pula Allah tetap
menggerakkan hawa nafsumu agar engkau tetap selalu menghadap kepada-Nya untuk
melawan hawa nafsu.
Aforisme 25.
Dan ia....... semoga Allah senantiasa meridhainya .......
berkata :
238
Baramgsiapa merasa rendah hati (tawadhu’), maka berarti
ia benar-benar sombong, sebab tidak mungkin merasa tawadhu’ kecuali ia merasa
besar/tinggi, karena itu bila kau menetapkan bahwa dirimu itu besar, maka kau
benar-benar sombong (mutakabbir). Apabila Kau menetapkan diri ber-tawadhu’
padahal dirimu seorang besar dan tinggi, maka itu berarti dirimu benar-benar
telah menjadi sorang mutakabbir.
239
Orang tawadhu’ bukanlah orang yang kettika ber-tawadhu’
merasa bahwa dirinya telah merendahkan diri; tetapi orang tawadhu’ adalah orang
yang bila berbuat sesuatu merasa dirinya belum layak mendapatkan kedudukan itu.
240
Hakikat tawadhu’ adalah yang timbul karena
memperhatikan/melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.
241
Tidak ada sesuatu yang dapat melepaskanmu dari sifat
kesombongan, kecuali engkau melihat sifat-sifat Allah.
242
Seorang mukmin sibuk memuji syukur kepada Allah, sehingga
tidak sempat memuji diri sendiri, sebagaimana ia sibuk menunaikan
kewajiban-kewajiban terhadap Allah, sehingga lupa kebutuhan dirinya.
243
Orang yang mecintai (al-muhibb) itu bukanlah orang yang
mengharap balasan apa pun dari kekasihnya (al-mahbub) atau mencari beberapa
maksud, tetapi sesungguhnya orang yang mencintai adalah yang berkorban untukmu,
bukan yang engkau beri apa pun kepadanya.
244
Andai tidak ada medan perjuangan melawan hawa
nafsu/syahwat (mayadin an-nufus), pasti tidak terbukti perjalanan orang-orang
yang menuju kepada Allah, sebab memang tiada jarak antaramu dengan Allah untuk
ditempuh dengan kendaraan, dan juga tidak pernah putus antaramu dengan Allah,
sehingga dapat disambung oleh hubunganmu.
245
Allah menempatkanmu dalam pertengahan ( al-‘alam
al-mutuwassith) antara alam Mulk (dunia) dan alam Malakut (gaib) untuk
memberimu pengetahuan tentang kebesaran di antara sesama makhluk, dan bahwa
engkau adalah permata (jauhar) yang diliputi mutiara-mutiara Allah (mukawwanah)
yang tersembunyi.
246
Alam (al-kaun) hanya dapat mencukupimu dari sudut jasmanimu
(jismaniyyah) semata, tapi tidak memuaskanmu dalam keruhanianmu (tsubutu
ruhaniyyatika). Orang yang ada di alam ini (dunia) sebelum terbuka baginya alam
gaib, maka ia tetap terkurung oleh syahwat dan adat kebiasaannya, dan terkepung
oleh kepentingan-kepentingan kerangka badannya.
247
Sepanjang engkau belum dalap melihat Sang Pencipta alam
(mukawwin), maka engkau tetap terikat oleh alam; namun bila engkau telah
melihat-Nya, maka alamlah yang tunduk kepadamu.
248
Adanya sifat-sifat kewalian (khushushiyyah) tidak berarti
bahwa sifat-sifat awam manusia itu tidak ada. Kewalian adalah identik dengan
terangnya matahari di siang hari : ia tampak di ufuk namun bukan berasal dari
ufuk. Kadangkala nur sifat-sifat Allah memnacar pada kegelapan kejaidan wujudmu;
dan mengembalikanmu pada asal kejaidanmu. Maka, terangnya siang hari itu, bukan
berasal dari dirimu dan kepadamu, namun ia datang atas dirimu.
149
Dengan adanya ciptaan-Nya (al-atsar), Allah menyatakan
adanya Nama-nama-Nya (Asma’), dan dengan adanya asma-asma-Nya, Allah menyatakan
kekelan sifat-sifat-Nya (aushaf), dan dengan adanya sifat-sifat-Nya, Allah
menyatakan Dzat-Nya (Dzat), oleh karena itu mustahil suatu sifat berdiri
sendiri tanpa Dzat. Maka orang-orang majdzub, yang memiliki daya tarik (arbabu
al-jadzb) pertama berangkat dari kesempurnaan Dzat Allah, kemudian menurun
melihat pada sifat-sifat-Nya, lalu mereka bersasndar (at-ta’allluq) pada
asma-asma Allah; dan kemudian turun melihat makhluk ciptaan-Nya. Sebaliknya,
adalah pada orang salik yang bejalan dari bawah naik ke atas, maka puncak
pencapaiannya adalah pada permulaan orang majdzub, dan permulaan orang salik
adalah akhir bagi orang majdzub. Namun karena ini tidak diambil secara harifah,
karena keduanya mungkin bertemu di suatu jalan, yang satu dalam pendakiannya
(ath-thariq) dan yang lain dalam penurunannya (fi tadallihi). (Orang majdzub/ekstatik (al-majdzub) ditarik oleh al-jadz
(daya tarik surgawi) pada awalnya, oleh karena itu ia tidak mengalami tarekat
dengan segala rintangan dan masalahnya, sebagaimana yang dialami oleh salik dan
karena itu pula orang majdzub ini jarang sekali. Dengan adanya makhluk di alam
semesta ini, sebagaimana dikatakan syeikh Ibnu’Atha’illah, dimaksudkan agar
setelah berproses akhirnya dapat menunjukkan asma-asma Tuhan. Dan Asma-asma
tersebut kemudain dapat menunjukkan pada sifat-sifat-Nya, seperti Dzat Yang
Hidup, Yang Mengetahui, Yang Berkehendak, dan sifat Allah lainnya; dan dari
sifat-sifat-Nya ini kemudian dapat menunjukkan pada Dzat-Nya, dan dari sinilah
segala sesuatu berproses).
250
Hanya dalam alam Malakut yang gaib nilai cahaya (nur)
hati dan rahasia-rahasianya (anwar al-qulub wa al-asrar) diketahui, sebagaimana
cahaya langit tidak menampakkan diri kecuali dalam alam Mulk yang kasat mata
(syahadatul al-Mulk). (Di sini Ibnu’Atha’Illah
hanya meninggung alam al-Mulk dan alam Malakut. Yang disebut terakhir ini
menggambarkan segala sesuatu yang ada di luar dunia ini, dan karena alasan itu
tidak menyebut alam Jabarut).
251
Bagi yang beramal taat, diperolehnya buah dari amal
ketaatn di dunia ini, adalah kabar gembira atas adanya pahala di akhirat.
252
Bagaimana engkau dapat meminta ganjaran suatu amal
padahal Allah Sendiri yang memberikan
kepadamu ganjaran itu? Atau bagaimana engkau dapat meminta ganjaran suatu
keikhlasan padahal Allah Sendiri yang memberikan pahalanya kepadamu?
253
Nur iman sebagian orang melalui dzikirnya, sementara
dzikir dari sebagian orang yang lain mendahului nurnya, dan ada pula sebagian
orang yang berbarengan antara nur dan dzikirnya, demikian juga ada sebagian
orang (kaum) yang tidak ada dzikir dan tidak ada nur. Ada ahli dzikir (dzakri)
yang khusysu’ berdoa sehingga hatinya terang bercahaya; dan ada ahli dzikir
yang hatinya bercahaya dan kemudian ia khusyu’ berdoa.
254
Tidak terjadi dzikir pada sisi lahirnya (zhahiru dzikr)
keculai timbul dari batin penglihatan dan pemikiran (bathinu syuhud wa fikra).
255
Allah telah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia
memintamu untuk memberikan persaksian. Dengan demikian, bagian zhahir-nya
menyatakan ketuhanannya, sementara hati dan kesadaran batin menyadari
keesaan-Nya.
256
Allah telah menganugerahimu dengan tiga pahala kemuliaan
(karamah); Dia menjadikanmu ahli dzikir kepada-Nya, jika tidak ada karunia-Nya,
maka engkau pasti tak layak atas limpahan dzikir-Nya; Dia menjadikanmu selalu
diingat-Nya (madzkur bihi) karena Dia Sndiri yang menisbahkan hubungan-Nya
denganmu; dan Dia Yang Menjandikanmu selalu diingat oleh apa-apa yang ada di
sekitar-Nya (madzkur ‘indahu) karena Allah menyempurnakan karunia-Nya kepadamu.
257
Kadangkala umur itu panjang, namun sedikit manfaatnya,
dan kadangkala umur itu pendek namun banyak manfaatnya.
258
Barangsiapa diberi berkah (usia)nya, maka dapat mencapai
dalam masa yang singkat dari karunia Allah yang tak terhitung dan tidak
terbatas itu.
259
Kekecewaan yang serendah-rendah kekecewaan adalah jika
kosong dari kesibukan/kerja, tapi kemudian tidak menghadap kepada Allah, atau
sedikit rintangan tapi tidak menghadap kepada-Nya.
260
Bertafakur (meditasi) adalah perjalanan hati dalam medan
alam
261
Bertafakur adalah perila hati (siraj al-qalb), maka
ketika ia padam, hati tidak memiiki penyinaran.
262
Tafakur itu ada dua macam; tafakur (pikiran) yang timbul
dari iman (tashdiq) dan timbul karena melihat (‘iyan) dan menyaksikan (syuhuda)
kenyataan. Yang pertama adalah bagi ahli i;tibar (arbab al-i’tibar), sedang
yang kedua adalah bagi ahli atau mereka yang terbuka hijab hingga dapat melihat
kenyataan dengan mata hatinya (arbab asy-syuhud wa al-istibshar). (Tafakur yang
lahir dari iman menunjukkan bahwa tafakur dimulai dari fenomena di dunia ini
dan mengembalikan pada asal-muasalnya, yakni Tuhan. Tafakur yang lahir dari
melihat dan menyaksikan, yaitu tafakur yang deimulai dengan (dari) al-Haqq itu
sendiri, dan merupakan hasil dari pengetahuan yang nyata (ma’rifat). Hikmah ini
banyak memiliki keterkaitan dengan hikma No.29).
Bagian ke dua
Empat risalah dalam kitab al-hikam
RISALAH PERTAMA
Di antara hal-hal yang Ibnu’Atha’Illah tulis kepada
teman-temannya, berliau berkata --- semoga Allah senantiasa meridhainya :
“Amma ba’du, sesungguhnya bidayah (permulaan) itu
bagaikan cermin yang memperlihatkan nihayah (puncak akhirnya). Dan siapa yang
sejak semula (bidayah-nya) selalu bersandar kepada Allah, maka di puncak
akhirnya juga akan sampai kepada-Nya. Dan yang harus dikerjakan (disegerakan)
adalah amal ibadat yang engkau sukai dan cekatan dalam melakukannya, sementara
yang harus diabaikan adalah apa-apa yang sering mempengaruhimu. Barang siapa
yakin bahwa Allah menuntut kepadanya, maka ia benar-benar menghadap Allah. Dan
barang siapa mengetahui bahwa segala urusn adalah di tangan Allah, maka pasti
bertawakal kepada-Nya. Dan bahwa sanya sendi-sendi bangunan alam ini pasti akan
rusak dan binasa segala kesenangan barang berharganya. Orang yang sempurna
akalnya adalah orang yang lebih suka sesuatu yang kekal daripada rusak binasa.
Karena telah terang nur hatinya dan tampak tanda-tanda bukti nur itu pada raut
wajahnya. Maka ia memalingkan diri dari dunia ini, dan mengabaikannya dengan
memejamkan mata dan berjalan terus, tidak menganggapnya sebagai tanah air atau
tempat tinggal, bahkan terus bangkit ingin segera sampai kepada Allah dan terus
berjalan menuju kepada-Nya, sambil berharap pertolongan-Nya untuk segera sampai
kepada-Nya, tetap terus bersemangat hingga berlabuh di hadratil Qudsi (hadhrat
al-Quds) di atas hamparan kesenangan, tempat bermunajat, tempat bercakap-cakap
(al-mufatah) bertatap muka (al-nuwajahah), bertemu akrab (al-mujalasah),
berdiskusi (al-muhadatsah), berkontemplasi (al-musyahadah) dan tenpat
berpandangan (al- muthala’ah).
Hadratil Qudsi itu menjadi sarang hati mereka : mereka
mencari perlindungan di dalamnya dan menghuni di dalamnya. Maka apabila mereka
tiba di langit (yakni menunaikan) hak kewajiban, atau turun ke bumi (yakni
memperturutkan hawa nafsu) keduanya itu dengan izin (al-idzn), stabilitas
(at-tamkin) dan keyakinan (al-yaqin). Karena itu (bila) tidak menunaikan
kewajiban dengan menyalahi adab atau kelalaian, demikian pula bila menurutkan
hawa nafsu, bukan semata-mata (karena) dorongan syahwat yang meluap atau
kesenangan duniawi, melainkan mereka masuk ke dalam kedua bagian (tiba di
langit dan turun ke bumi) itu dengan bantuan pertolongan Allah, dan untuk
keridhaan-Nya, menurut tuntunan Allah, serta berharap kepada-Nya.
“Katakanlah” YA Tuhan, masukanlah aku ke dalam kebenaran,
dan keluarkanlah aku dalam kebenaran pula.” Supaya tetap pandanganku bulat pada
kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Engkau menjadikan (memasukkan)ku, Demikian
pula penyerahan dan taat ku hanya kepada-Mu semata ketika Engkau
mengeluarkanku, dan membantu kawan-kawanmu, dan tidak membantu nafsu dan
musuh-musuhku, membantuku untuk mengenal kelemahan diri dari nafsuku, dan
melenyapkanku dari belenggu perasaanku.”
RISALAH kedua
Di antara hal-hal yang Ibnu’Atha’Illah tulis kepada
kawan-kawannya, beliau berkata Semoga
Allah senantiasa meridhainya :
“Jika mata hari (‘ain al-qalb) memandang bahwa Allah itu
Tunggal (Wahid) dalam segala karunia-Nya, maka syariat menyuruh harus berterima
kasih (sykur) pula kepada sesama makhluk.
Dalam perkara nikmat, sesungguhnya manusia itu terbagi
menjadi tiga golongan : Pertama : Yaitu orang
yang lalai (al-ghafil) terhadap Tuhan, tenggelam dalam kelalaiannya, kuat jiwa
mterialnya, padam jiwa batiniahnya (hadharatu qudsihi), ia melhiat kebaikan
situ semata-mata datang dari sesama manusia dan tidak melihatnya dari sudut
padang Tuhan Semesta Alam, maka ia telah keluar dari keimanan, persekutuannya
(syirk) jelas, ia keluar dari sikap bergantung diri (kepada Allah), yang
kesemuanya itu juga merupakan syirik yang samar.
Kedua : yaitu orang yang menguasai alam batin (ahli haqiqat(,
dengan melihat Raja Tang Hak (al-Malik al-Haqq), meniadakan sesama makhluk, dan
orang yang melihat kepada Dzat Yang menentukan sebab akibat dan lupa pada akibat
itu sendiri; dialah seorang hamba yang bertatap muka dengan Dzat Yang Nyata
(al-Haqq) yang kemuliannya tampak didalamnya. Dan yang sempurna adalah hamba
yang minum dari nur tauhid, kemudian ia bertambah kesadarannya, dan lenyap dari
melihat sesuatu selain Allah, kemudian bertambah dekatnya dan dekatnya dengan
Allah tidak mempengaruhi (menutupi) pisahnya, demikian pula pisahnya tidak
menutupi dekatnya, fana’nya dari makhluk tidak menghalangi tetap ingatnya,
demikian juga kepada makhluk tidak merintangi fana’nya (mabuk cintanya kepada
Allah (ekstase), dapat menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, dan memberi
pada setiap sesuatu haknya.
Abu Bakar as-Siddiq ra. Telah berkata kepada Aisyah r.a.,
ketika Alalh menurunkan ayat yang menjelaskan kesuciannya dari tuduhan-tuduhan
orang-orang munafik terhadap Rasulullah saw. (Aisyah,
satu di antara istri-istri Nabi Muhammad saw., yang telah dituduh berbuat zina
namun kemudian dijelaskan oelh wahyu al-Qur’an (Qs. an-Nuur : 11-20) “Hai Aisyah, berterimakasihlah terhadap Rasulullah!”
Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih (bersyukur)
kecuali kepada Allah,” Abu Bakar kemudian menunjukkan kepadanya tingkat
kedudukan yang lebih sempurna, yaitu kedudukan Baqa’
(Ketiga), yang membutuhkan pengakuan makhluk
(itsbat al-atsar). Dan Allah swt., berfirman : “Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua ayah budamu.” (Qs. ash-Shafaat : 14). Rasulullah saw. juga
bersabda : “Orang yang tidak mau bersyukur (berterima kasih) kepada sesama
manusia berarti tidak bersyukur kepada Allah.”. Tetapi ketika itu Aisyah tengah
dipengaruhi perasaannya, lupa dari semua makhluk, sehingga tidak melihat
sesuatu kecuali Dzat Allah Yang Esa dan Mahakuasa (al-Wahid al-Qahhar).”
RISALAH ketiga
Ibnu’Atha’Illah berkata --- semoga Allah senantiaa
meridhainya :
Ketika beliau ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Dan kepuasan mataku (qurratu ‘aini) telah diberikan oleh
Allah dalam shalat.” Apakah hal itu khusus untuk Rasulullah atau juga
ummatnya mendapat bagiannya? Kemudian ia menjawab :
“Sesungguhnya kepuasan melihat kebesaran Jalalullah itu
menurut kadar kekuatan ma’rrifat terhadap apa yang dilihat itu. Sedang ma’rifat
Rasulullah saw. itu tidak dapat disamakan dengan ma’rifat lain-lainnya; oleh
karena itu, kepuasan seseorang tidak sama dengan kepuasan Rasulullah saw.
Kami sudah menyatakan bahwa kepuasan Rasulullah dalam
shalat adalah sesuai dengan tingkatan penglihatan beliau terhdap keagungan
obyek yang dilihat (bi syuhudihi Jalalah masyhudihi) karena beliau sendiri
telah mengisyaraktkan sebagaimana
sabdanya : “di dalam shalat.” Dan tidak berkata : “Dengan shalat” sebab beliau
tidak akan puas/senang hatinya selain kepada Tuhannya. Bagaimana tidak
demikian, padahal Nabi saw. sendiri yang menganjurkan untuk mencapai tingkat
itu dengan sabdanya : “Sembahlah Allah solah-olah engkau melihat-Nya.” Oleh
karena itu menjadi tidak mungkin bagi beliau jika melihat Allah dan
lain-lainnya di samping Allah.
Sekiranya ada orang berkata. “Kepuasan itu karena shalat
yang merupakan sebagian karunia Allah yang timbul langsung dari sumber
pemberian-Nya, maka bagaimana tidak akan gembira denga melaluinya, atau
bagaimana tidak menjadi puncak kepuasan dengan melaluinya? Sementara Allah swt
berfirman : “Katakanlah,” Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka bergembira.” (Qs. Ynus : 58).
Maka ketahuilah bahwa dalam ayat tersebut juga telah ada
isyarat untuk jawaban terhadap pertanyaan ini bagi orang yang memperhatikan
rahasia dari pernyataan-pernyataan, karena Allah swt, memfirmankan , “dengan itu
hendaklah engkau bergembira, hai Muhammad,” Dengan kata lain (seolah0olah)
difirmankan : “Katakanlah kepada mereka.”. Hendaknya mereka bergembira dengan
melalui amal saleh dan kemurahan hati, tetapi kegembiraan mu hendaknya hanya
dengan-Nya Yang Maha Memberi, sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman :
“Katakanlah, Allah, kemudian biarkanlah mereka bermain-main (berkecimpung).”
Qs. al-An-aam : 92).
RISALAH keempat
Di antara hal-hal yang Ibnu’Atha’Illah tulis kepada
kawan-kawannya, beliau berkata Semoga
Allah senantiasa meridhainya :
“Manusia di dalam menghadapi datangnya nikmat karunia
Allah (wurud al-minan) terbagi ke dalam tiga golongan : golonga pertama adalah : mereka yang gembira dengan karunia
nikmat itu, bukan akrena si pemberinya tetapi semata-mata karena kelezatannya
dan kepuasan hawa nafsu dari nikmat tersebut. Orang yang demikian adalah
termasuk orang yang lalai (al-ghafilin), dan Allah telah memperingatkan,
“Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, maka Kami siksa mereka dengan tiba-tiba. (Qs. al-An-aam :44).
Golonga kedua :
Adalah oarng yang bergembira dengen
karunia nikmat karena memandang bahwa itu adalah karunia dari Allah Dzat Yang memberikan nikmat
kepadanya. Allah menunjuk golonga ini sebagaimana dalam firman-Nya :
“Katakanlah, Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka
bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan. (qs. Yunus : 58).
Adapun golonga ketiga :
Adalah orang yang bergembira dengan nikmat karunia Allah tidak karena kelezatan
lahiriah nikamt tersebut dan bukan karena karunia-Nya, tetapi karena ia sibuk
memperhatikan Allah (al-jam’alaih) sehingga memalingkan dari segala selain-Nya,
maka tiada terlihat olehnya kecuali Allah. Orang demikian adalah sebagaimana
dalam firman Allh swt., “Katakanlah, ‘Allah, kemudian biarkanlah mereka dalam
kesibukan mereka berkecimpung (main-main) (Qs. al-An’aam : 92). Allah telah
mewahyukan kepada Nabi Dawud as. “Hai Dawud, katakanlah kepada orang-orang
shiddiqin; hendaklah mereka gembira dengan Aku, hendaklah mereka merasakan
nikmat dengan berzikir kepada-Ku.”
Semoga Allah menjadikan kegembiraanmu den kegembiraan
kami dengan Allah dan rela terhadap apa-apa yang datang dari-Nya; semoga Allah
menjadikan kami termasuk golongan orang-orang yang mengerti Allah; semoga Dia
tidak menjadikan kami termasuk golongan orang-orang yang lalai; dan semoga Dia
menyertai kami di jalan orang-orang yang bertakwa dengan karunia dan
kemurahn-Nya.”
Bagian ke tiga
Munajat (doa) dalam kitab al-hikam
Munajat (doa)
Dan Ibnu’Atha’illah --- semoga Allah senantiasa
meridhainya – berkata :
1
“Tuhanku, akulah yang fakir di dalam kekayaanku, maka
bagaimana tidak akan merasakan kefakiran dalam kefakiranku?.”
2
“Tuhanku, akulah hamba yang bodoh dalam ilmu
pengetahuanku, maka bagaimana tak akan lebih bodoh lagi dalam hal-hal yang aku
masih bodoh tidak mengetahuinya?.”
3
“Tuhanku, perubahanperubahan aturan-Mu (tadbir) dan cepat
tibanya takdir-Mu, telah menahan hamba-hamba-Mu yang ‘arif dari penyadaran
pemberian atau putusasa dari pada-Mu selama dalam ujian.”
4
“Tuhanku, akan muncul apa-apa yang layak dengan
kerendahan, kekurangan dan sifat kebodohanku, dan dari-Mu pasti akan muncul
segala hal yang layak dengan Kemuliaan-Mu.”
5
“Tuhanku, Engkau telah menyifati diri-Mu dengan sifat
belas kasih terhadapku, dari mulai sebelum adanya kelemahan (bentuk)ku ini;
maka, apakah kemudiann Engkau akan
menolakku dari kedua sifat-Mu setelah adanya kelemahanku?.”
6
“Tuhanku, apabila amal kebaikan (al-mahasin) muncul
dariku, maka itu adalah semata-mata karena karunia-Mu; dan itu adalah hak-Mu
untuk memberkatiku. Dan apabila kejahatan (al-masawi) muncul dariku, maka itu
adalah semata-mata karena keadilan-Mu: itu adalah hak-Mu untuk menuntutku.”
7
“Tuhanku, bagaimana dapat Engkau tinggalkan aku untuk
mengurusi diriku sendiri, padahal Engkau-lah Yang menjamin aku? Dan bagaimana
aku dapat dalam bahaya, padahal Engkau-lah Temanku? Atau, bagaimana ku dapat
kecewa dengan-Mu, pdahal Engkau-lah Penghiburku? Inilah aku yang sedang beusaha
mendekat kepada-Mu dengan melalui kefakiranku kepada-Mu. Bagaimana aku dapat
mendekat kepada-Mu dengan melalui sesuatu yang mustahil akan dapat sampai
kepada-Mu? Bagaimana aku dapat mengadu kepada-Mu tentang keadaanku, padahal aku
tidak tersembunyi daripada-Mu? Atau bagaimana aku nyatakan kepada-Mu dengan
kata-kataku, padahal kata-kata itu datang dan kembali kepada-Mu? Atau bagaimana
harapanku dapat hancur, padahal telah datang menghadap-Mu? Atau bagaimana
keadaanku tidak akan menjadi baik, padahal ia berasal dari-Mu dan kembali
kepada-Mu?
8
“Tuhanku, betapa lunaknya Engkau terhadapku, padahal aku
begitu dungu, dan alangkah besar-Nya rahmat-Mu kepadaku, padahal sangat jelek
perbuatanku.”
9
“Tuhanku, betapa dekatnya Engkau kepadaku, dan alangkah
jauhnya aku dari-Mu.”
10
“Tuhanku, betapa kasih-Mu kepadaku, maka apakah yang
telah menutupiku dari-Mu?
11
“Tuhanku, aku telah mengerti dengan perubahan keadaan dan
pergantian-pergantian masa, bahwa tujuan-Mu dariku adalah untuk memperkenalkan
kekuasaan-Mu kepadaku, dalam segala keadaan dan masa, sehingga aku tidak
melupakan-Mu dalam segala apa-pun.”
12
“Tuhanku, kapan saja dosa-dosa ku membungkamku, maka
kemurahan-Mu membuatku berbicara, dan kapan saja sifat-sifatku membuatku putus
asa, maka karunia-Mu memberiku setitik harapan.”
13
“Tuhanku, Jika dalam kebaikan seseorang masih banyak
kemaksiatan (kesalahan). Maka bagaimanakah tidak akan menjadi kemaksiatan itu
sebagai dosa? Dan jika semua ilmu dan pengertian seseorang itu sekedar
pengakuan belaka, maka bagaimana tidak akan menjadi semua pengakuannya itu
kepalsuan belaka?.” (Kebajikan-kebajikan yanng
diklaim orang untuk dirinya sendiri adalah suatu kesalahan karena terdapat
unsur egisentrisme. Demikian juga dengan melakukan kebenaran demi karunia
spiritual (ilham), dan juga ego yang mengakui sebagai miliknya sendiri. Kalau
begitu, ia tengah mengatakan, jika kebajikan-kebajikan dan amal kebaikan belum
bersih dari individualisme, maka bagaimana dengan dosa-dosa dan
pengakuan-pengakuan sebanyak itu?).
14
“Tuhanku, hukum putusan-Mu yang pasti terlaksana dan
kehendak-Mu yang memaksa, keduanya itu tidak memberi kesempurnaan bagi orang
yang pandai berkata-kata, atau bagi orang yang mempunyai kesaktian untuk
melaksanakan kesaktiannya.”
15
“Tuhanku, berapa banyak amal taat yang telah ku lakukan
dan keadaan yang telah kuperbaiki, tiba-tiba harapanku terhadapnya digagalkan
oleh keadilan-Mu, namun aku telah dibebaskan oleh karunia-Mu dari bergantung
nasib pada amal perbuatan lahir batin itu.”
16
“Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa meskipun ketaatan itu
tidak terus-menerus dalam praktiknya, tapi ia tetap terus (langgeng) dalam
perasaan cinta dan niatku pada amal perbuatan tersebut.”
17
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapt memutuskan, padahal
Engkau-lah Yang Maha Menentukan (al-Qahir) dan bagaimana aku tidak akan dapat
memutuskan, padahal Engkau-lah Yang Maha Memerintahkan (al-Amir).?”
18
“Tuhanku, hlir mudikku pada alam benda ini menyebabkan
jauhnya perjalanan, karena itu dekatkanlah aku kepada-Mu dengan sesuatu amal
yang segera dapat menyampaikanku kepada-Mu.”
19
“Tuhanku, Bagaimana dapat dijadikan alasan (dalil) untuk
menunjukkan kepada-Mu, sesuatu yang bergantung
kepada-Mu? Adakah sesuatu selain-Mu yang dapat mewujudkan apa-apa yang
tidak Engkau miliki, sehingga ia dapat menjadi pencinta-Mu? Bilakah Engkau
gaib, sehingga diperlulan petunjuk yang dapat menunjukkan kepada-Mu? Dan
bilakah Engkau jauh sehingga alam ini sendiri yang menunjukkan (mendekatkan)
kami kepada-Mu?” (Sebagaimana terlihat, ini hampir sama dengan hikmah
No.29. Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah lebih “Nyata” (Zhahir) daripada
makhluk-Nya. Adalah Tuhan Yang membuktikannya, bukan mereka yang membuktikan
Tuhan).
20
“Tuhanku, sungguh buta mata yang tidak melihat
pengawasan-Mu (raqib) dan sungguh sia-sia (rugi) dagangan seorang hamba yang
tidak dapat bagian cinta-Mu.”
21
“Tuhanku,, Engkau telah memerintahkan aku untuk kembali
ke alam ini, maka kembalikanlah aku padanya dengan diliputi pancaran cahaya dan
petunjuk penglihatan batin (al-istibar), sehingga aku bisa kembali kepada-Mu
dari alam ini sebagaimna ketika aku masuk ke dalamnya, dengan keberadaan
batinku (as-sirr) yang terpelihara dari memperhatikannya dan semangatku
(al-himmah) yang enggan bersandar padanya. Sungguh Engkau berkuasa atas segala
sesuatu.”
22
“Tuhanku, inilah kehinanku yang nyata di depan-Mu, dan
inilah keadaanku yang tidak tersembunyi dari-Mu. Dari-Mu aku memohon agar
sampai kepada-Mu dengan melalui cahaya-Mu dan tegakkanlah aku dihadapan-Mu
dengan melalui kesungguhan dan pengabdian!,”
23
“Tuhanku, Ajarilah aku
dengan ilmu-Mu yang masih tersimpan, dan lindungilah aku dengan rahasia
nama-Mu yang senantiasa terpelihara.”
24
“Tuhanku, jadikanlah aku memahami tingkat hakikat dari
orang-orang muqarrabin, dan jadikanlah aku berjalan di jalan orang-orang
mujdzab (ahlul-jadzb), yang merupakan orang-orang yang Engkau kasihi yang
tertarik langsung kepada-Mu.”
25
“Tuhanku, melalui aturan-Mu (at-tadbir) buatlah aku puas
dengannya daripada dengan aturanku sendiri, dan dengan pilihan-Mu daripada
pilihanku sendiri, serta dudukkanlah aku di tempat-tempat kebutuhanku yang
sungguh-sungguh.”
26
“Tuhanku, keluarkanlah aku dari kerendahan diriku
(nafsuku) dan bersihkanlah aku dari keraguan dan syirik sebelum masuk ke liang
kuburku. Aku memohon pertolongan-Mu, maka tolonglah aku; kepada-Mu aku
berserah, maka jangan serahi aku dengan sesuatu yang lain; kepada-Mu aku
memohon, maka janganlah kecewakan aku; pada karunia-Mu aku berharap, maka
jangan tolak diriku; kepada-Mu aku mendekat, maka jangan jauhkan aku; dan pada
pintu-Mu aku berdiri, maka jangan campakkan aku.”
27
“Tuhanku, Mahasuci keridhaan-Mu itu akan tergantung pada
sesuatu sebab dari pada-Mu, maka bagaimana akan bersebab dari padaku? Sedang
Engkau Dzat Yang terkaya daripada sampainya sesuatu kemanfaatan dari Diri-Mu
Sendiri, maka baaimana mungkin akn membutuhkan sesuatu dari padaku, padahal
akulah hamba ciptaan-Mu ya Allah?.”
28
“Tuhanku, sesungguhnya takdir dan putusan-Mu telah
menguasaiku, dan hawa nafsu telah menjadikanku tawanan. Jadilah Penolongku
sehingga menolongku dan juga Penolong bagi yang lainnya melalui diriku.
Kayakanlah aku dengan karunia-Mu sehingga puas dengan Diri-Mu daripada aku
meminta-minta. Engkau Dzat Yang menjadikan cahaya-cahaya bersinar di dalam hati
par Wali-Mu sehingga mereka mengenal-Mu dan menegaskan keesaan-Mu. Engkau-lah
Dzat Ynag menjadikan dunia ini hilang dari hati para pencinta-Mu sehingga
mereka tidak mencintai sesutu selain-Mu dan menolak sesuatu selan-Mu. Engkau-ah
Dzat yangmelindungi mereka ketika dunia menjadikan mereka jemu. Engkau-lah Dzat
Yang menunjukkan mereka hingga tanda-tndan petunjuk menjadi jelas bagi mereka. Orang-orang yang
kehilangan=Mu – apa yang telah ia temukan? Orang yang telah menemukan-Mu – apa yang
hilang darinya? Barangsiapa menjadikan sesuatu selain-Mu sebagai pengganti,
maka pasti akan kecewa, dan barangsiapa hendak menyimpang dari-Mu, maka pasti
akan rugi.”
29
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapat berharap pada sesuatu
selain-Mu, padahal Engkau tidak pernah memutuskan pertolongan-Mu? Dan bagaimana
akan dapat meminta sesuatu kepada selain-Mu, padahal Engkau tidak pernah
mengganti kebiasaan-kebiasaan dalam memberikan anugerah? Wahai Dzat Yang
menjadikan teman tercinta-Nya merasakan manisnya bermunajat kepada-Nya sehingga
mereka dapat berdiri di hadapan-Nya dengan suka cita. Ya Tuhan Yang memakaikan
pada para wali-Nya dengan pakaian kebesaran (takwa) sehingga mereka dapat
berbangga dengan kemulian-Nya – Engkau-lah Dzat Yang berdzikir (adz-dzikr)
sebelum orang-orang berdzikir. Engkaulah Dzat Yang Permulaan (al-Badi’) yang
memberi bantuan pertolongan kebaikan sebelum para ahli ibadat menghadap-Mu.
Engkau-lah Dzat Pemurah (al-Jawwad) di dalam memberi sebelum orang-orang
meminta, dan Engkau-lah Dzat Yang Maha Pemberi (al-wahhab), kemudian terhadap apa yang telah Engkau
berikan itu. Engkau pinjam (untuk dibayar berlipat ganda).”
30
“Tuhanku, dekatkanlah aku dengan Rahmat-Mu sehingga aku
bisa mencapai-Mu, dan tariklah aku dengan karunia-Mu sehingga aku bisa
menghadap kepada-Mu.”
31
“Tuhanku, harapanku tidak putus dari pada-Mu, meskipun
aku telah berbuat dosa maksiat, demikian pula rasa takutku kepada-Mu tidak
hilang meskipun aku telah berbaut taat kepada-Mu.”
32
“Tuhanku, Dunia (materi) ini telah mendorongku untuk
pergi menghadap-Mu, dan pengetahuanku akan kemurahan-Mu telah membuatku berdiri
di depan pintu-Mu.”
33
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapat kecewa padahal
Engkau-lah harapanku, atau bagaimana aku akan dapat terhina padahal
kepada-Mu-lah aku bersandar dan berserah diri?”
34
“Tuhanku, bagaimana aku akan dapat menganggap diriku ini
mulia padahal Engkau telah menempatkanku dalam kehinaan, atau bagaimana aku
tidak akan dapat menganggap diriku ini mulia padahal Engkau telah menisbahkan
diriku dengan Diri-Mu?
Bagaimana aku tidak akan berhajat kepada-Mu, sementara
engkau telah menempatkanku dalam kemiskinan, tetapi bagaimana aku akan
miskin padahal Engkau telah mencukupiku
dengan kemurahn-Mu?
Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau, engkau telah
memperkenalkan diri pada tiap sesuatu, sehingga tiada sesuatu pun yang yang
tidak mengenal-Mu. Dan Engkau-lah Yang telah memperkenalkan diri-Mu kepadaku
dalam seala sesuatu; dengan begitu aku telah melihat-Mu jelas pada tiap
sesuatu, dan Engkau-lah Yang Zhahir pada tiap sesuatu. Wahai Tuhan Yang menembunyikan
diri di atas Arasy-Nya beserta Sifat Rahmaniah-Nya, sehingga Arasy itu lenyap
di dalam rahmaniah-Nya, sebagaimana alam semesta lenyap di dalam Arasy-Nya---
Engkau telah melenyapkan makhluk, dan melenyapkan yang lainnya dengan kepungan
pancaran cahaya! Wahai Tuhan, Yang di balik kemuliaan-Nya, tertutup dari
pandangan, Wahai Tuhan Yang selalu bersinar dalam kesempurnaan keindahan-Nya
dan Yang kebesaran-Nya dimengerti oleh batin orang-orang ‘arif, bagaimana
Engkau akan dapat lenyap padahal Engkau-lah Dzat Yang Zhahir (azh-zhahir)? Atau
bagaimana Engkau akan dapat gaib, padahal Engkaulah Dzat Yang selalu hadir dan
mengawasi.”
Dan Allah Yang memberi Taufik (al-Muwafiq), dan
kepada-Nya aku berharap bantuanpertolongan.
Sepanjang – Sidoarjo – 12 –
10 – 2013 - jatim
Syukron
BalasHapusTerima kasih telah bertemu dengan artikel ini,semoga kita dikumpulkan dalam ridho ilahi,aamiin
BalasHapus