AJARAN KAUM SUFI
Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya : Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim
ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Penerbit : “Mizan” Bandung
Tahun : April 1985
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyadur : Pujo Prayitno
mukadimah
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan
Penyayang
Puji syukur bagi Allah yang, karena kebesaran-Nya,
terselubung dari pandangan mata, dan karena kegemilangan dan kekuasaan-Nya
dimuliakan atas segala yang dapat dicapai akal; yang esensi-Nya, karena tiada
duanya, tidak sama dengan esensi para makhluk, dan yang sifat-sifat-Nya jauh
berbeda dari syfat-sifat para makhluk yang dilahirkan sepanjang waktu. Dia-lah
Yang Permulaan, Yang tak akan pernah lenyap, dan Yang Kekal, dan tak pernah
mati; Mahatinggi Dia dari segala penyamaan, penetangan, dan pelukisan bentuk.
Dengan tanda-tanda dan isyarat-isyarat-Nya, Dia menuntun ciptaan-Nya menuju
(pengetahuan akan) Keesaan-Nya dan Dia membuat diri-Nya dikenal oleh para
Wali-Nya lewat nama-nama-Nya, gelar dan sifat-sifat-Nya; sebab didekatkan-Nya
pada-Nya bagian-bagian rahasia mereka dan dibuat-Nya hati mereka cenderung akan
Dia, Dengan kebaikan-Nya hati nurani mereka dari ketidak sucian badaniah
mereka, (jiwa-jiwa) dan ditinggikan-Nya
sifat-sifat mereka agar tidak menyamakannya dengan segala yang dapat punah,
Dia telah memilih di antra mereka orang-orang yang
dikehendaki-Nya untuk menjadi utusan-utusan dan penerima-penerima wahyu-Nya;
Dia telah memberi mereka kitab-kitab yang berisi perintah dan larangan, memberi
kabar gembira bagi mereka yang patuh, dan ancaman-ancaman pada mereka yang
ingkar. Dia telah menjelaskan kelebihan mereka atas manusia-manusia lain dan
meninggikan derajat mereka di atas segenap orang, betapapun mulianya.
Dengan Muhammad saw. Allah telah menutup rangkaian para
Nabi itu, menanamkan Iman dan Tawakal dalam dirinya; sebab agamanya adalah
sebaik-baiknya agama dan umatnya adalah sebaik-baiknya umat; hukumnya tidak
akan dapat dibatalkan dan tidak ada umat yang menyamai umatnya.
Di antara mereka Allah telah menempatkan orang-orang
terpilih, unggul dan saleh; kebaikan Tuhan telah datang pada mereka sejak dini.
Sebab Tuhan telah mengikat mereka dengan firman-Nya agar mereka bertakwa
pada-Nya, dan memalingkan jiwa-jiwa mereka dari dunia ini. Mereka
bersungguh-sungguh dalam usaha mereka,
dan mereka mendapatkan ilmu-ilmu (yaitu dari
Al-Qur’an), mereka bekerja dengan tulus dan mereka diberi ilmu-ilmu (yakni tradisi (hadits) dan kisah-kisah para Wali
(akhbar)), hati nurani mereka murni dan mereka dimuliakan dengan intuisi sejati
(Yaitu pengetahuan ghaib yang dipeoleh dari pengalaman
pribadi seseorang); kaki-kaki mereka teguh, pemahaman-pemahaman mereka
jelas, cahaya mereke terang, mereka memliki pengertian akan Tuhan, menempuh perjalanan
untuk mendekati Tuhan dan mengelak dari segala sesuatu selain Tuha. Cahaya
mereka menembus segala selubung, bagian-bagian rahasia dalam diri mereka
berputar-putar di sekeliling singgasana Tuhan; begitu tinggi mereka dinilai
oleh Dia yang duduk di atas singgasana itu, dan mata mereka buta dari segala
yang ada di bawah singgasana itu. Mereka adalah jasad-jasad ruhaniah, yang di
atas bumi bersifat jasmaniah dan dicipta dengan dibekali sifat-sifat Ketuhanan;
diam dan merenung, mangkir (dari manusia) tapi ada (bersama Tuhan), raja-raja
yang berpakain gembel, orang-orang buangan dari segala bangsa, pemilik segala
kebaikan dan cahaya segala petunjuk, telinga-telinga mereka peka, hati nurani
mereka murni, sifat-sifat mereka tersembunyi, terpilih tercerahkan dan murni.
Mereka semua ini ditempatkan oleh Tuhan di antara ciptaan-Nya dan dipilih di antara mereka yang dicipta
oleh-Nya, mereka adalah saksi-saksi Tuhan untuk Nabi-Nya, dan
rahasia-rahasia-Nya dipercayakan-Nya pada manusia pilihan-Nya. Semasa hidup
Nabi, mereka merupakan orang-orang yang duduk daam mahkamah beliau dan seetelah
Nabi wafat mereka menjadi umat terbaik beliau. Kemudan yang pertama tidak
henti-hentinya memanggil yang ke dua, dan leluhurnya memanggil keturunannya,
dengan lidah dari karyanya, yang membebaskan dari keharusan berbicara. Tapi
setelah itu kehendak menghilang dan tujuan merosot; dan dengan ini datanglah
hujan pertanyaan dan jawaban, buku-buku dan risalah-risalah; arti intinya
diketahui oleh mereka yang menuliskannya dan dada (mereka yang membacanya)
terbuka untuk mengertinya. Akhirnya, arti menghilang dan tinggalah namanya, isi
pokoknya lenyap dan bayangannya menggantikannya, realisasi menjadi hiasan dan
tahqiq (ferivikasi) menjadi dandanan. Orang yang tak mengenal (kebenran) berpura-pura
memilikinya, dan orang yang hanya pernah menyebutkannya menghiasai dirinya
dengan itu, orang yang banyak
membicarakannya, menolaknya dengan tindakannya, dengan sikapnya. Yang tidak
merupakan bagian dari padanya, dimasukkan ke dalamnya , yang tidak ada di
dalamnya, dianggap berasal darinya, kebenarannya dijadikan salah dan orang yang
mengetahuinya dikatakan bodoh, Tapi orang yang telah berpengalaman dengan
(kebenran) itu pergi menjauh karena iri padanya; orang yang telah melukiskannya
bungkam karena dengki padanya. Maka hati nurani (manusia) lari darinya dan
jiwa-jiwa pergi meninggalkannya; ilmu dan penganut-penganutnya, larangan dan
penerapannya lenyap; yang bodoh menjadi ilmuwan dan ilmuwan menjadi pemandu
jalan.
Hal inilah yang memancing saya untuk menguraikan, dalam
buku saya ini, cara para sufi itu, penjelsan sikap dan sifat mereka. Di sini
saya telah memperbincangkan ajaran-ajaran mereka menyangkut ke-Esa-an dan
sifat-sifat Tuhan, dam semua hal lain yang berhubungan dengan itu; sebab,
keraguan telah muncul di antara orang-orang yang tidak mengetahui dogma-dogma
mereka dan tidak mempelajari dogma-dogma tersebut di bawah syekh-syekh mereka.
Saya kemukakan dalam bahasa ilmu, semua yang dapat dikemukakan; dan saya
perikan dengan pemaparan lahiriah, semua yang pantas diperikan, sehingga hal
itu bisa dimengerti oleh orang-orang yang belum mengerti kiasan-kiasannya, dan
dipahami oleh orang-orang yang belum memahami ungkapan-ungkapannya.
Dengan ini saya telah berusaha keras untuk membela mereka
melawan rasa iri orang-orang yang iri dan penafsiran buruk orang-orang yang bodoh. Buku ini sekaligus bisa menjadi
petunjuk bagi mereka yang ingin mengikuti jalan Tuhan, dan membutuhkan Tuhan
untuk mencapai realisasinya. Hal tersebut telah saya lakukan setelah mula-mula
saya pelajari secara menyeluruh tulisan orang-orang yang benar-benar
berpengalaman dalam masalah ini dan saya saring cerita-cerita dari orang-orang
yang telah mencapai realisasi sejati kebenaran itu; saya juga telah berhubungan
dengan orang-orang semacam itu dan menanyai mereka. Saya telah menyebut buku
ini “Kitab Pengetahuan tentang Ajaran Kaum Sufi”
yang menunjukan pokok-pokok isinya. Dari Tuhan saya mencari bantuan, dan
kepada-Nya saya beriman; Nabi-Nya saya muliakan, saya jadikan beliau sebagai perantara
saya. Tiada kekuatan atau bantuan, kecuali dari Tuhan.
DAFTAR - ISI
BUKU
1.
Apa sebabnya Orang-orang Sufi dinamakan SUFI.
2.
Daftar orang-orang Termasyhur di antara para Tokoh Sufi.
3.
Daftar orang-orang Sufi yang menerbitkan ilmu-ilmu kiasan
dalam Kitab-kitab dan Risalah-risalah.
4.
Daftar Orang-orang Sufi yang telah menulis tentang
Akhlak.
5.
Ajaran Kaum Sufi tentang Ke-Esaan Tuhan.
6.
Ajaran Kaum Sufi tentang Sifat-sifat Tuhan.
7.
Perselisihan Kaum Sufi tentang masalah apakah Tuhan telah
berhenti mencipta.
8.
Perselisihan Kaum Sufi tentang Nama-nama Tuhan.
9.
Ajaran Kaum Sufi tentang
Al-Qur’an.
10.
Perselisihan Kaum Sufi tentang Sifat Firman.
11.
Ajaran Kaum Sufi tentang Penglihatan (Nazhar)
12.
Perselisihan Kaum Sufi tentang Penglihatan Nabi.
13.
Ajaran Kaum Sufi tentang Takdir dan Penciptaan Tindakan.
14.
Ajaran Kaum Sufi tentang (Batas) Kemampuan.
15.
Ajaran Kaum Sufi tentang Paksaan.
16.
Ajaran Kaum Sufi tentang Kemanfaatan.
17.
Ajaran Kaum Sufi tentang Janji Baik dan Ancaman.
18.
Ajaran Kaum Sufi tentang Syafaat.
19.
Ajaran Kaum Sufi tentang Anak-anak.
20.
Ajaran Kaum Sufi tentang Kewajiban-kewajiban yang
dibebankan oleh Tuhan kepada Wakil-wakil-Nya.
21.
Ajaran Kaum Sufi tentang Ma’rifat Ketuhanan.
22.
Perselisihan Kaum Sufi tentang Sifat Ma’rifat.
23.
Ajaran Kaum Sufi tentang Ruh.
24.
Ajaran Kaum Sufi tentang Para Malaikat dan Rasul.
25.
Ajaran Kaum Sufi tentang Kesalahan-kesalahan Para Nabi.
26.
Ajaran Kaum Sufi tentang Kekuatan Gaib (Karomah) Para
Wali.
27.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Iman.
28.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Hakikat-Hakikat Iman.
29.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Madzab-Madzab yang Sah.
30.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Penghasilan.
31.
Mengenai Ilmu-Ilmu Sufi tentang Keadaan-Keadan (Ahwal).
32.
Mengenai Sifat dan Makna Tasawuf.
33.
Mengenai Pengungkapan Pikiran.
34.
Mengenai Tasawuf
dan Ketentraman Bersama Tuhan.
35.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Tobat.
36.
Ajaran Kaum Sufi Mengai Zuhud.
37.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai kesabara,
38.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kefakiran.
39.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kerendahan Hati (Tawadhu).
40.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketakutan (Khauf).
41.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketakwaan.
42.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keikhlasan
43.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Syukur.
44.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Tawakal.
45.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kepuasan,
46.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kepastian.
47.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Zikir
48.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keintiman (Uns).
49.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kedekatan (Qurb).
50.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Penyatuan (Ittihad).
51.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Cinta (Mahabbah).
52.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pelepasan dan pemisahan.
53.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kegairahan (Wajd).
54.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keterkuasaan.
55.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Kemabukan (Sukr).
56.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Ketiadaan dan Kehadiran.
57.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pemusatan dan Pemisahan.
58.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Wahyu.
59.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Keluruhan (Fana) dan Kebakaan.
60.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Hakikat Ma’rifat.
61.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Peng-Esaan ((Tauchid).
62.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Pemerian Ma’rifat.
63.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Yang Mencari dan Yang Dicari.
64.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Upaya Keras (Mujahadah) dan
Ibadah.
65.
Ajaran Kaum Sufi Mengenai Mengajar Orang Lain.
66.
Mengenai Ketakwaan dan Amal-Amalnya.
67.
Mengenai Anugerah Tuhan Kepada Orang-orang Sufi dan
Peringatannya Terhadap Mereka Lewat Suara-Suara Gaib.
68.
Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Dengan Pemberian
Wawasan Batin.
69.
Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Melalui
Pemikiran.
70.
Mengenai Peringatan Tuhan Kepada Mereka Lewat Penglihatan
dan Mukjizat.
71.
Karunia Tuhan Kepada Mereka Yang Timbul Dari Rasa
Cemburu-Nya.
72.
Karuna Tuhan Berupa Kesulitan-Kesulitan Yang Harus Mereka
Tanggung.
73.
Karunia Tuhan Kepada Mereka Ketika Mereka Meninggal dan
Sesudahnya.
74.
Mengenai Karunia-Karunia Lain Yang Diberikan kepada
Mereka.
75.
Mengenai Audisi (Sama’).
1.
APA SEBABNYA ORANG-ORANG SUFI DINAMAKAN SUFI
Beberapa orang mengatakan : “Para sufi dikatakan demikian hanya karena
kemurnian (shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka (atsar).” Bisyr ibn al-Harits mengatakan “ Sufi adalah orang yang hatinya tulus (shafa) terhadap Tuhan.”
Yang lain mengatakan : “ Sufi adalah orang yang tulus terhadap Tuhan dan
mendapat rahmat tulus dari Tuhan.” Sebagian mereka telah mengatakan : “Mereka
dinamakan sebagai para sufi karena berada pada baris pertama (shaff) di depan
Tuhan, karena besarnya keinginan meraka akan Dia, kecenderungan hati mereka
terhadap-Nya dan tingginya bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di
hadapan-Nya.” Yang lain telah mengatakan : “mereka dinamakan Sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat
orang-orang yang tinggal di serambi masjid (shufffah), yang hidup pada masa
Nabi saw.” Yang lain-lain lagi telah mengatakan : “Mereka dinamakan Sufi hanya
karena kebiasaan mereka mengenakan baju bulu domba (shuf).”
Orang-orang yang menisbahkan orang-orang Sufi dengan
orang-orang yang tinggal di serambi masjid dan dengan bulu domba, manampakkan
aspek lahiriah keadaan meraka; sebab meraka adalah orang-orang yang telah
meninggalkan dunia ini, pergi dari rumah-rumah mereka, dan dari sahabat-sahabat
mereka. Mereka berkelana ke sluruh negeri, menganggap tabu hasrat-hasrat
jasmani dan menelanjangi tubuh mereka; mereka mengambil benda-benda dunia hanya
asal cukup untuk menutupi ketelanjangan mereka dan menghilangkan kelaparan.
Karena kepergian mereka dari rumah, mereka dinamakan “orang-orang asing”.
Karena banyaknya pengembaraan yang mereka lakukan, mereka dinamakan
“Pengembara”; karena perjalanan mereka di padang-padang pasir dan pengungsian
mereka di gua-gua pada waktu terdesak, orang-orang tertentu di negeri itu
(diyar) menamai mereka Syikaftis, sebab kata syikaft
dalam bahasa mereka berarti “Gua” atau gua
besar.” Orang-orang syria menamai mereka : “Orang-orang yang lapar”, sebab
mereka hanya makan asal cukup untuk mempertahankan kekuatan mereka pada waktu
terdesak. Maka Nabi saw. mengatakan : “Cukuplah
bagi putra-putra Adam biji-bijian yang bisa menjaga kekuatan mereka.” Sarri
as Saqathi melukiskan mereka begini : Makanan
mereka adalah makanan orang sakit, tidur mereka adalah tidur orang yang
tenggelam, pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang bodoh.” Karena
mereka tidak memiliki apa-apa, maka mereka dinakamakan “Pengemis”. Salah seorang
dari mereka ditanya “Siapakah Sufi itu?” Dia menyahut : “Orang yang tidak memiliki, tak pula dimiliki.”
Dengan sahutan itu dimaksudkan bahwa dia bukan budak nafsu. Yang lain
mengatakan : “Sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau dia memiliki,
dihabiskannya.” Dikarenakan baju dan cara mereka memakainya, maka mereka
dinamai orang-orang Aufi; sebab, mereka tidak mengenekanakn pakaian yang lembut
atau indah, demi menyenangkan jiwa; mereka berpakaian hanya untuk
menyembunyikan ketelanjangan mereka, memuaskan diri mereka sendiri dengan kain
dan bulu domba yang kasar.
Nah, semua ini merupakan kenyataan keadaan hidup
oarng-orang yang tinggal di serambi masjid di masa Nabi saw. sebab mereka semua
adalah orang-orang asing, melarat, terbuang, teusir dari tempat tinggal dan
harta milik mereka. Abu Hurairah dan Fudhalan ibn ‘Ubadi melukiskan mereka
sebagai berikut : “Mereka hampir mati kelaparan, sehingga orang-orang Badui
menganggap mereka gila.” Pakaian mereka dari bulu domba, sehingga bila mereka berkeringat,
bau mereka seperti bau domba kehujanan. Begitulah sesungguhnya mereka
dilukiskan orang. Uyainah ibn Hisn berkata kepada Nabi saw. : “bau orang-orang
ini menyusahkan saya.” Tidakkah itu menyusahkan Anda juga?” Bulu domba addalah juga pakaian para Nabi dan
Wali. Abu Musa al-Asy’ari menceritakan kisah berikut dari Nabi : “Di dekat
karang di Rawha, tujuhpuluh orang Nabi bertelanjang kaki, berpakaian “aba”
(baju dari kulit domba) kembali dari Rumah Lama (Ka’bah). Al-Hasan a-Bashri
mengatakan : “Isa .s. biasa mengenakan kain, makan buah dari pepohonan dan
melewatkan malam di mana saja beliau kebetulan berada.” Abu Musa al-Asy’ari
mengatakan : “Nabi saw. biasa mengenakan bulu domba, mengendarai keledai dan
menerima undangan orang-orang jelata (untuk makan bersama mereka).” Hasan
al-Bashri mengatakan : “Saya mengenal tujuh puluh orang yang ikut bertempur di
Badr, yang bajunya dari bulu domba.”
Nah, karena kelompok ini memiliki sifat-sifat yag sama
dengan orang-orang yag tinggal di serambi masjid, seperti yang telah kami
lukiskan dan berpakaian seperti mereka, maka mereka dinamakan
“Shuffiyah-shuffiyah.”. Orang-orang yag menghubungkan mereka dengan serambi
masjid dan “Barisan Pertama” menceritakan hati dan batin mereka sebagai berikut
: “Sebab kalau orang-orang meninggalkan dunia ini dan kemudian menjauhi minuman
keras dan menyisih darinya, Tuhan menyucikan (shaffa) hati nuraninya (sirr) dan
menerangi hatinya.
Nabi saw. telah mengatakan : “Kalau cahaya merasuk hati,
dia akan meluas dan membesar.”
Mereka berkata : “Dan apabila tandanya, wahau Rasul
Allah?”
Beliau menjawab : “Mengelak dari kebohongan, beralih
kepda kekekalan dan bersiap untuk mati sebelum kematian datang.”
Maka Nabi saw. mengatakan bahwa jika seseorang mengelak
dari dunia ini, Tuhan akan menyinari hatinya.
Nabi saw. bertanya kepada Haritshah : “Apakah buktinya
keimananmu?
Dia menjawab : “Saya telah
menjauhkan jiwa saya dari dunia ini, saya selalu berpuasa di siang hari dan
berjaga di malam hari, dan seolah-olah saya melihat singgasana Tuhan, dan para
penghuni surga saling berkunjung-mengunjungi dan penghuni neraka saling
membenci satu sama lain.” Dengan begitu dia memberi tahu kita bahwa
kalau dia menjauhkan jiwanya dari dunia ini, maka Tuhan akan menyinari hatinya,
sehingga apa yang (secara normal) tidak bisa dilihatnya muncul dalam
pandangannya. Nabi juga berkata : “Jika aa orang
yang ingin melihat seorang hamba yang hatinya telah disinari Tuhan, suruhlah
dia melihat Haritsah.” Karena sifat-sifat tersebut, kelompok ini juga
dinamai kelompok “Yang diterangi” (nuriyah). Pelukisan ini juga sesuai dengan
orang-orang yang tinggal di serambi masjid; Tuhan Yang Maha Tinggi juga
berfirman : “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri.” (Qs. 9:109); (Hal ini berarti) bagian-bagian lahiriahnya
bersih dari kekotoran-kekotoran, dan bagian batiniahnya besih dari
pikiran-pikiran jahat. Tuhan Yang Maha Tinggi juga berfirman : “Manusia-manusia
yang tidak disibukkan oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang,
dari mengingat Allah” (Qs. 24:37). Lebih-lebih disebabkan oleh kemurnian
kesadaran mereka, maka firasat (firasah) mereka pun selalu benar, Abu Umamah
berkisah bahwa Nabi berkata : “Takutlah pada
firasat orang yang beriman, sebab dia melihat
dengan cahaya Tuhan.” Abu Bakr ash-Shiddiq berkata : “Dibisikan
dalam kalbuku bahwa anak dalam perut ini adalah putri Kharijah.” Dan memang
begitulah nyatanya.
Nabi berkata : “Kebenaran keluar dari lidah Umar.” Uways
al-Qarani berkata pada Harim bin Haiyan, ketika Harim meneyalaminya, “Dan damai
bagimu, wahai Harim putra Haiyan!.” Padahal dia tidak pernah melihatnya
sebelumnya. Lalu dia berkata : “Jiwaku mengenal jiwamu.” Abu Abdillah
al-Anthaki berkata : “ Jika kamu berhunungan dengan orang-orang yang ikhlas,
behubungan dengan ikhlas, sebab mereka adalah mata-mata yang memata-matai hati,
yang merasuk ke dalam kesadaranmu dan timbul hasrat-hasratmu yang di dalam.”
Maka, jika keadaan seseorang seperti yang dilukiskan tadi --- jika kesadaran
murni, hatinya bersih, dadanya disinari – sudah tentu dia berada di baris
pertama; sebab semuanya ini merupakan sifat-sifat para pemimpin. Nabi berkata :
“Akan masuk surga tujuh puluh ribu ummatku tanpa
harus menjalani perhitungan (hisab).” Lalu beliau meneruskan dan
melukiskan sifat-sifat mereka : “Orang yang tidak mengamalkan sihir atau mendekati sihir,
yang tidak mencap atau dicap melainkan menaruh kepercayaannya kepada Tuhan
mereka.” Lebih jauh lagi, karena kemurnian kesadaran dan luasnya dada
mereka serta kecemerlangan hati mereka, maka mereka memiliki ma’rifat yang
sempurna dari Tuhan, dan tidak memiliki penolong lain untuk menyelesaikan
perkara-perkara (asbab) mereka (kecuali Tuhan); Mereka beriman kepada Tuhan
Yang Maha Tinggi, percaya kepada-Nya, puas dengan ketapan-Nya. Semua sifat ini
, didpersatukan dalam nama-nama dan sebutan-sebutan yang diberikan kepada
orang-orang ini, ungkapan-ungkapan itu tepat dan semua asal kata itu mendekati
kebenaran. Meskipun kata-kata ini
tampaknya beragam, namun makna dibaliknya sama saja. Jika istilah Shufi berasal dari kata shafa
(kemurnian) atau shafwah (pilihan), maka
bentuknya yang benar akan menjadi shafafiyah;
sementara jika istilah itu mengacu pada shaff
(baris) atau shuffah ( serambi masjid), maka
jadinya shaffiyah atau shuffiyah. Tentu saja ada kemungkinan (pada asal
kata pertama) bahwa suku kata waw telah
dipindahkan ke depan fa sehingga menjadi shufiyah; atau (jika asal kata yang ke dua
diterima) bahwa istilah itu hanya merupakan
pleonasme yang marasuk ke dalam kata itu karena biasa digunakan. Tapi
jika asal kata dari shuf (bulu domba)
diterima, maka kata itu tepat dan ungkapannya bagus dari segi tata bahasa, dan
sekaligus memiliki semua makna (yang dibutuhkan) seperti mengelak dari dunia
ini, cenderung menjauhkan jiwa darinya, meninggalkan segala pemukiman yang telah
mapan, terus menerus melakukan pengembaraan, menolak kesenangan-kesenangan
jasmani, memurnikan tingkah laku, membersihkan kesadaran, meluaskan dada, dan
sifat kepemimpinan. Bundar ibn al-Husain berkata : “Sufi adalah orang yang
dipilih oleh Tuhan untuk diri-Nya sendiri, diberi kasih sayang tulus (shafa)
dan dibebaskan dari yang bersifat jasmani, serta tidak diperkenankan berusaha
melakukan segala yang meletihkan atas dalih apa pun. Maka dia dilindungi
(shufi), sebagai perbandingan, orang bisa menyitir ‘ufi (dia dijaga) kufi (dia diberi imbalan),
yaitu bahwa Tuhan telah memberi imbalan kepadanya maka dia menerima balas jada;
dan juzi (dia diberi pahala), yaitu bahwa Tuhan telah memberi pahala kepadanya
maka dia menerima pahala. Yang telah dilakukan oleh Tuhan atas dirinya,
mengejawantah dalam namanya, Meskipun Tuhan sama sekali tidak tergantung
pada-Nya.” Abu Ali ar-Ruzhabari, ketika ditanya tentang Sufi menjawab : “Orang
yang menutupkan bulu domba ata kemurnian(nya), menganggap nafsunya sebagai
tiran, dan setelah menjauhi dunia, berjalan di jalan manusia terpilih. Sahl ibn
Abdillah at-Tustari memberikan jawaban sebagai berikut, ketika ditanya padanya
pertanyaan yang sama : “Orang yang bersih dari
ketidak murnian dan selalu merenung; yang terputus hubungannya dengan manusai
lain demi mendekati Tuhan, dan yang di matanya emas dan lumpur sama nilainya.
Abu’L huasin an-Nuri, ketika ditanya apakah tasawuf itu, menjawab : “Meningalkan segala yang bersifat jasmani.” Al-Junaid
menjawab pertanyaan yang sama : “Tasawuf berarti
memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan
sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani,
mengambil sifat-sifat ruh, mengikatkan diri pada ilmu-ilmu tentang hakikat,
mengumpulkan segala sesuautu untuk masa yang kekal, menasehati seluruh umat,
sungguh-sungguh berriman pada Tuhan dan mengikuti syariah Nabi.
Yusub ibn al- Husain berkata : “Dalam
setiap umat ada kelompok terpilih, dan merekalah wakil Tuhan, disembunyikan
oleh-Nya dari makhluk-Nya yang lain; orang semacam inilah yang dinamakan sufi.”
Seseorang berkata pada Sahl ibn at-Tustari : “Di antara berbagai kelompok
manusia ini, dengan siapa saya harus berhubungan?” Dia menjawab : “Tempatkan dirimu di antara para sufi, sebab tak ada yang
mereka anggap tak dapat diterrima, tapi memberikan penafsiran ruhaniah (ta’wil)
atas setiap tindakan, dan mereka akan memaafkan segala kekuranganmu, betapa pun
keadaan (hal)mu.” Yusuf ibn al-Husain bercerita bahwa dia bertanya pada
Dzun Nun : “Dengan siapa saya mesti berurusan?”Dia menjawab : “Dengan orang yang tidak memiliki apa-apa, dan tidak
mencelamu betatapun keadaanmu; yang tidak berubah ketika kamu berubah, meskipun
perubahan itu besar, sebab semakin kamu berubah, semakin kamu membutuhkan dia.”
Dzun Nun juga berkata : “Aku melihat seorang wanita di salah sebuah pantai
syria, dan aku berkata padanya : “dari mana asalmu (semoga Tuhan melimpahkan
kasih-Nya padamu)?” Dia menyahut : “Dari orang-orang yang panggulnya jauh dari
ranjang,” aku berkata : Dan ke mana tujuanmu?” dia menjawab : “Mencari
manusia-manusia yang tiada dirintangi oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh
kegiatan dagang dalam mengingat Allah.” (Qs. 24:37) Aku berkata : “Perikan
mereka” Lalu dia pun mulai menyitir puisi :
Yang
mereka tuju adalah bersatu dengan Tuhan;
Hasrat
mereka melambung pada-Nya semata;
Kesetiaan
mereka hanya teruntuk Tuhan;
Wahai
pencarian mulia, demi Dia Yang Selamanya ada!
Mereka
tiada ikut berebut kesenangan dunia.
Kemuliaan,
anak-anak, kekayaan dan kemewahan,
Segala
keserakahan dan selera tiada mereka hargai;
Hidup
enak dan senang di kota-kota ;
Menghadap
kaki langit nan jauh, lamat-lamat nun di sana;
Mereka
cari Yah Tak Terbatas, dengan tekad nan kuat.
Mereka
runut alur-alur padang pasir;
Dan
puncak gunung tinggi berduyun-duyun mereka panjat!.
2.
DAFTAR ORANG-ORANG TERMASYHUR DI ANTARA PARA
TOKOH SUFI
Berikut ini adalah daftra nama orang-orang yang
mengemukakan ilmu-ilmu mereka dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka,
yang mengumumkan keadaan diri mereka dan memerikan keadaan-keadaan ruhaniah
mereka, dengan kata-kata dan perbuatan --- setelah para Sahabat (semoga
kebahagiaan dari Tuhan menyertai mereka) : Ali ibn al-HusainZain al- Abidin
Putra Muhammad ibn Ali al-Baqir, dan putranya Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq – mereka
semua ini menyusul setelah Ali, al—hasan dan al-Husain (semoga Tuhan berkenan
atas mereka!). Kemudian Uwais al-Qarani, al-Hasan ibn abi’l-hasan al-Bashri,
Abu Hasim Salamah ibn Dinar al-Madani, Malik ibn Dinar, Abd al-Wahid ibn Zaid, Utbah
al-Ghulam, Ibrahim ibn Adham, Al-Fudhail ibn Iyad, putranya Ali ibn al-Fudhail,
Dawud at-Ta’i, Sufyan ibn Sa’id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad_darani, putranya
Slaiman, Ahmad ibn ah-Hawari ad-Dimasyqi, Abu’l-Faidh Dzun Nun al-Mishri,
Saudaranya Dzu’l-Kifli, Sari ibn al-Mughallis al-Saqathi, Bisyr ibn al-Hrits
al-Hafi, Ma’ruf al-Karkhi, Abu Hudzaifah al-Mar’syi, Muhammad ibn al-Mubarak
as-Shuri, Yusuf ibn Asybat, Dari orang-orang Khurasan dan al-Jabal adalah : Abu
Yazid Thaifur ibn Isa al-Bistami, Abu Hafs al-Haddad, al-Naisaburi, Ahmad ibn
Khadhruyah al-Balkhi, Sahl ibn Abdillah at-Tustari, Yusuf ibn al-Husain
ar-Razi, Abu Bakr ibn Thahir al-Abhari, Ali ibn Sahl ibn al-Azhar al-Isfahani,
Ali ibn Muhammad al-Barizi, Abu Bakr al-Kattani ad-Dinawari, Abu Muhammad ibn
al-Hasan ibn Muhammad ar-Rajjani, Al-Abbas ibn al-Fadhl ibn Qutaibah ibn
Manshur ad-Dinawari, Kahmas ibn Ali al-Hamdani dan al-Hasan ibn Ali ibn
Yazdaniyar.
3.
DAFTAR ORANG-ORANG SUFI YANG MENERBITKAN ILMU-ILMU KIASAN
DALAM KITAB-KITAB DAN RISALAH-RISALAH
Abul-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-baghdadi,
Abu’l-Husain Ahmad ibn Muhammad ibn Abdish-Shamad an-Nuri, Abu Isa al-Kharraz
yang disebut sebagai “Lidah Sufisme”. Abu Muhammad Ruwaim ibn Muhammad,
Abu’l-Abbas Ahmad ibn Atha, Abu Abdillah
Amr ibn Utsman al-Makki, Abu Ya’qub Yusuf ibn Hamdan as-Susi, Abu Ya’qub Ishaq
ibn Muhammad ibn Ayyub an-Nahrajuri, Abu Muhammad al-Hasan ibn Muhammad
al-Jurairi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ali al-Kattani, Abu Ishaq Ibrahim ibn
Ahmad al-Khawwas, Abu Ali al-Auza’i, Abu Bakr Muhammad ibn Musa al-Wasithi, Abu
Abdillah al-Hasyimi, Abu Abdillah Haikal al-Qurasyi, Abu Ali al-Rudzabari, Abu
Bakr al-Qahtabi, Abu Bakr al-Sybli yang disebut Dhulaf ibn Jahdar.
4.
DAFTAR ORANG-ORANG SUFI YANG TELAH MENULIS
TENTANG AKHLAK
Abu Muhammad Abdullah ibn Muhammad al-Anthaki, Abdullah
ibn Khubaiq al-Anthaki, al-Haritsad al-Muhasibi, Yahya bin Mu’adz ar-Razi, Abu
Bakr Muhammad ibn Umar ibn al-Fadhl al-Warraq at-Tirmidzi, Abu Utsman Sa’id ibn
Isma’il ar-Razi, Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadhl al-Balkhi, Abu Ali
al-Juzajani, Abu’l Qasim ibn Ishaq ibn Muhammad al-Hakim al-Samarqandi.
Mereka semua adalah pemimpin-pemimpin (a’lam) yang
dikenang dan dikenal banyak orang, yang sifat-sifat ulungnya telah disaksikan
oleh orang banyak. Mereka mempersatukan ilmu-ilmu yang diwarisi (secara
langsung dari Allah swt) dengan ilmu-ilmu yang dipelajari (lewat usaha
belajar); mereka menyimak Hadits dan menggabungkan hukum, teologi (kalam),
linguistik dan ilmu Al-Qur’an; dan dalam hal ini buku-buku dan karangan-karangan
mereka menjadi saksi. Kami tidak menyebutkan para penulis yang lebih baru atau
penulis-penulis yang sezaman dengan kita, meskipun mereka sama sekali tidak
kurang ulung dibandingkan dengan orang-orang yang namanya disebut di atas,
sepanjang yang menyangkut pengetahuan. Kehadiran mereka di antara kita membuat
kita tidak perlu lagi membahas mereka.
5.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEESAAN TUHAN
Orang-orang sufi mengakui bahwa Tuhan itu Satu, Sendiri,
Tunggal, Kekal, Abadi, Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat,
Kuat Kuasa, Agung, besar, Dermawan, Pengampun, Bangga, Dhasyat, Tak
Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik, Pengasih, Penyayang,
Bekehndak, Berfirman, Mencipta, Menjaga, bahwa Dia diberi sifat dengan segala
gelar, yang dengan itu Dia telah memberi
sifat pada diri-Nya sendiri, dan Ia diberi nama yang dengan itu pula Dia telah
memberi nama pada Diri-Nya sendiri, Bahwa karena sifat-Nya yang kekal, maka
demikian pula nama-nama dan sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan
esensi-esensi lain, tak pula sifat-Nya sama dengan sifat-sifat lain,tak satupun
dari istilah-istilah yang diterapkan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dan yang
mengacu pada penciptaan mereka dari waktu ke waktu , membawa pengaruh atas-Nya,
bahwa Dia tak henti-hentinya menjadi Pemimpin, Terkemuka di hadapan segala yang
ada, dan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal kecuali Dia, dan Tiada Tuhan di
samping Dia; Bahwa Dia bukan badan, potongan, bentuk, tubuh, unsur atau
aksiden, Bahwa Dia tidak ada penyimpangan maupun pemisahan, tidak ada gerakan
maupun kediaman, tidak ada penambahan maupun pengurangan; bahwa Dia bukan
merupakan bagian, atau partikel, atau anggota, atau kaki tangan, atau aspek,
atau tempat, bahwa Dia tidak terpengaruh oleh kesalahan, atau kantuk, atau
berubah-ubah dikarenakan waktu, atau disifatkan oleh kiasan bahwa Dia tidak
terpengaruh oleh ruang dan waktu, bahwa Dia tidak dapat dikatakan sebagai yang
ddapat disentuh, atau dikucilkan, atau mendiami tempat-tempat; bahwa Dia tidak
dibatasi oleh pemikiran, atau ditutupi selubung, atau dilihat mata.
Salah seorang tokoh besar Sufi mengatakan dalam wacananya
(Al Hallaj) : Sebelum
tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya,
daripada tidak bersaing dengan dia dalam hal
keterdahuluan; dari tidak sesuai dengan Dia; ke tidak menyatu dengan Dia; di
tidak mendiami Dia; kala tidak menghentikan Dia;
jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia; di
bawah tidak menyangga Dia; sebaliknya
tidak menghadap-Nya; dengan tidak menekan Dia; di balik tidak mengikat Dia; di
depan tidak membatasi Dia; terdahulu
tidak memameri Dia; di belakang tidak membuat
Dia luruh; semua tidak menyatukan Dia; ada tidak memunculkan Dia; tidak
ada tidak membuat Dia lenyap; Penyembunyian
tidak menyelubungi Dia, pra eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia
mendahului yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya batas. Jika engkau
berkata kala maka eksistensi-Nya telah melampau
waktu; jika engkau berkata sebelum, maka sebelum
itu sesudah Dia; jika engkau berkata Dia maka D, i dan a (huwa) adalah ciptaan-Nya; jika engkau berkata bagaimana, maka esensi-Nya terselubung dari pemerian,
jika engkau berkata di mana, maka adanya Dia
mendahuli ruang; jika engkau berkata tentang ke-Dia-an,
maka ke-Dia-an-Nya terpisah dari segala sesuatu. Selain Dia, tidak ada yang
bisa diberi sifat dengan dua sifat (yang berlawanan)
sekaligus, dan toh dengan-Nya kedua sifat itu tidak menciptakan keberlawanan.
Dia tersembunyi dalam penjelaman-Nya menjelma dalam persembunyian-Nya. Dia ada
di luar dan di dalam, dekat dan jauh; dan dalam hal itu Dia tidak sama dengan
makhluk-makhluk. Dia bertindak tanpa menyentuh, memerintah tanpa bertemu,
memberi petunjuk tanpa menunjuk. Kehendak tidak bertentangan dengan-Nya,
pikiran tidak menyatu dengan-Nya; esensi-Nya tanpa kualitas (takyif),
tindakan-Nya tanpa upaya (taklif)
Mereka mengakui bahwa Dia tidak bisa dilihat oleh mata,
atau dibantah oleh pikiran, bahwa sifat-sifat-Nya tidak berubah dan
nama-nama-Nya tidak diganti, bahwa Dia yang Pertama dan Terakhir, Zahir dan
Batin; bahwa Dia mengenal segala sesuatu, bahwa tidak ada yang seperti Dia dan
Dia Melihat dan mendengar.
6.
AJARAN KAUM
SUFI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan memliki sifat-sifat yang
nyata, dan bahwa Dia disifatkan dengan sifat-sifat tersebut, yaitu :
berpengathuan, kuat, berkuasa, besar, berbelas kasih, bijaksana, agung,
makakuasa, kekal, hidup, berkehendak, berfirman. Semua ini bukan merupakan
badan, aksiden atau elemen. Mereja juga mengakui bahwa Dia memiliki pendengaran,
penglihatan, wajah dan tangan, yang dalam kenyataannya tidak seperti
pendengaran, penglihatan, wajah dan tangan yang biasa. Mereka mengakui bahwa
ini semua merupakan sifat-sifat Tuhan, buaknnya anggota, kaki tanganatau
bagian-Nya; bahwa semua itu bukan Di atau selin Dia; dan bahwa adanya semua itu
tidak mengisyaratakan bahwa dia membutuhkan mereka. Atau bahwa Dia melakukan
segala sesuatu dengan menggunakan mereka. Makna mereka merupakan sangkalan atas
kebalikan mereka, yaitu makna yang merupakan pernyataan tegas bahwa keduanya
ada dalam diri mereka sendiri, dan hidup karena Dia. Sebab pengeathuan itu
tidak mengisyarakatkan sangkalan atas kebodohan, atau bahwa kekuasaan
semata-mata mengandung arti sangkalan atas kelemahan; dalam hal yang bertama,
pernyataan itu juga merupakan suatu penegasan pengetahuan, dan dalam hal yang
ke dua penegasan kekuasaan. Jika seseorang memiliki pengetahuan karena dia
tidak memiliki kebodohan, atau jika dia memiliki kekuasaan, hanya karena dia
tidak memiliki cukup kelemahan, maka sangkalan atas kebodohan dan kelemahan
itulah yang mengandung arti bahwa orang itu memiliki pengetahuan dan kekuasaan;
dan demikian juga halnya dengan semua sifat lain. Fakta bahwa kami memerikan
Tuhan sebagai yang memiliki semua sifat itu, tidak lantas berarti bahwa kami
melimpahkan sifat atas-Nya; pemerina kami semata-mata merupakan penyifatan oleh
kami sendiri, suatu nilai yang kami berikan pada sifat yag ada karena Dia. Jika
ada orang mengatakan bahwa pemeriannya tentang Tuhan memiliki suatu sifat sejati,
maka dia adalah seorang penipu yang nyata-nyata melawan Tuhan, sebab dia
menyifati Tuhan dengan sifat yang tidak benar. Masalah ini tidak seperti
penyebutan biasa, sebab seseorang mungkin saja “disebut” merupakan sifat dari
orang yang menyebutkannya, bukan yang disebut. Orang yang disebut itu disebut
dengan sebutan orang yang menyebutnya, tapi seseorang dinilai tidak dengan
pemerian orang yang memerikannya. Nah, jika penyifatan oleh orang yang
memerikan itu merupakan sifat Tuhan, maka penyifatan oleh orang-orang musyrik
dan orang-orang kafir akan menjadi sifat-Nya, seperti anggapan bahwa Tuhan itu
beristeri, putra dan sateru. Tapi Tuhan telah menyucikan diri-Nya sendiri dari
penyifatan mereka itu ketika Dia berfirman : “Maha Suci, dan Maha Tinggi Dia dari
segala yang mereka perikan!. (S.VI,100). Tuhan Yang Maha Tinggi disifati dengan
sifat yang ada karena Dia, dan tidak terpisah dari Dia, Maka Dia berfirman :
“Sedang mereka tidak mengetahui sedikit pun Ilmu Tuhan itu. (S.ii, 256). Dia
juga berfirman : “Tuhan menurunkannya dengan perhitungan ilmu-Nya.” (S. iv,
164) dan Tidak seorang wanita pun yang mengandung dan melahirkan, melainkan
dengan setahu Dia.” S.xxxV.12) dan lagi : “Yang mempunyai kekuatan yang amat
tangguh.” (S.Li.58). Allah mempunyai karunia yang besar.” (S.Lvii.29). Allah
itu Maha Kaya, Tumpuan Puji.” (S.xxxv.11). Yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.” (S.Lv.78).
Mereka juga mengakui bahwa sifat-sifat-Nya tidaklah
bermacam-raam, tidak juga sama; bahwa pengetahuan-Nya tidak dama dengan kekuatan-Nya,
bukan pula sesuatu yang lain dari kekuatan-Nya, dan demikian juga dengan semua
siat-Nya, seperti pendengaran, penglihatan, wajah dan tangan ----
pendengaran-Nya tidak sama dengan penglihatan-Nya, tidak juga sesuatu yang lain
dari penglihatan-Nya, demikian juga sifat-sifat-Nya bukanlaepelikan-kepelikan
esensi (Tuhan).” h Dia, tapi juga bukan selain Dia.
Mereka berselisih mengenai masalah campurtangan,
kedatangan dan turunnya Dia. Sebagian besar mereka beranggapan bahwa ini semua
merupakan sifat-sifat-Nya, sepanjang tiga masalah itu sesuai dengan Dia, tapi
ketiganya tidak diungkapkan dalam sebagian besar sitiran dan kisah-kisah (Yitu
al-Qur-an dan Hadits), sekalipun begitu, orang harus mempercayainya tanpa
sangsi lagi. Muhammad ibn Musa al-Wasithi berkata : “Karena esensi-Nya tidak
ada penyebabnya, maka sifat-sifat-Nya pun tidak ada penyebabnya pula: berusaha
menunjukkan kekekalan itu berarti menghilangkan harapan untuk memahami segala
sesuatu dari hakikat sifat-sifat itu atau atau kepelikan-kepelikan esensi
(Tuhan),” Salah seorang tokoh Sufi memberi penafsiran esoteris atas sifat-sifat
ini dengan mengatakan : “Makna campur tangan-Nya adalah bahwa Dia membawa
sendiri apa yang Dia kehendaki; sedangkan makna turunnya Dia ke sebuah benda
adalah bahwa Dia mendekatkan benda itu pada diri-Nya. Kedekatan-Nya berarti
perkenan-Nya dan kejauhan-Nya berarti penghinaan oleh-Nya; dan begitu juga
halnya dengan semua sifat yang masing-masing bermakna ganda ini.
7.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG MASALAH APAKAH
TUHAN TELAH BERHENTI MENCIPTA
Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah Tuhan
telah berhenti mencipta atau tidak. Ebagian besar dari merreka mayoritas
pemimpin dan orang-orang termasyhur di antara mereka mengatakan bahwa tidak
mungkin Tuhanmnedapat sifat kekekalan pada waktu Dia belum berhak menunutut
kekekalan. Tidak benar Dia berhak dari nama Pencipta karena Dia mencipta, atau
nama Pembuat karena Dia mengawasi pembuatan makhluk-makhluk yang bsia mati,
atau nama pembentuk karena Dia membentuk beberpa bentuk; sebab jika begitu,
maka berarti selamaya Dia tidak sempurna, karena Dia hanya menjadi sempurna
kalau Dia mencipta sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!.
Mereka berpendapat bahwa Tuhan selamanya Pencipta.
Pembuat, Pembentuk, Pemaf, Penyayang, Pengasih dan seterusnya, dikarenakan
semua sifat-Nya yang dengan sifat-sifat tersebut, Dia memberi sifat pada
diri-Nya sendiri, karena Dia telah diberi sifat dengan semua itu dalam masa pra
kekekalan. Karena Dia disifati pengetahuan, kekuatan, kebesaran, keagungan dan
kekuasaan, maka dengan begitu Dia disifati dengan pembuatan (takwin), penentuan
dan pembentukan, demikian juga dengan kehendak, kebaikan, pengampunan dan
pengasihan. Mereka tidak membedakan antara sebuah sifat yang merupakan tindakan
dan sbuah sifat yang tidak dapat diperikan dengan tindakan seperti kehebatan,
kegemilangan, pengetahuan dan kekuatan. Sama saja halnya, karena telah
ditetapkan bahwa Dia Mendengar, Melihat, Berkuasa, Mencipta, Membuat dan
Membentuk dan bahkan Dia Terpuji; toh jika Dia berhak atas nama-nama ini
semata-mata karena kebaikan benda yang diciptakan, dibentuk dan dibuat, maka
berarti Dia butuh mencipta; sedangkan kebutuhan merupakan tanda keduniawian.
Lebih-lebih, hal ini akan mengisyaratkan perubahan dan pengalihan dari satu keadaan
ke keadaan lain. Tuhan akan menjadi bukan Pencipta, lalu menjadi Pencipta lagi;
Bukan Yang Berkehendak, tetapi kemudain Berkehendak lagi; dan hal ini akan
berarti “tebenam” sebagai yang ditolak oleh Ibrahim Karib Tuhan a.s. ketika dia
berkata “Aku tidak suka kepada sesuatu yang dapat terbenam.” (S.iv.76).
Mencipta dan membuat merupakan sifat-sifat Tuhan, yang dengan jalan itu Dia
telah diberi sifat sejak pra kekekalan. Padahal, tindakan dan sesuatu yang
dilakukan bukan merupakan suatu hal yang sama, begitu juga dengan membentuk dan
membuat. Tapi jika tindakan dan sesuatu yang dilakukan itu adalah sama, maka
berarti makhluk-makhluk itu ada dengan sendirinya, sebab hubungan (ma’na)
antara Tuhan dengan mereka tidak ada, kecuali bahwa mereka sebelumnya tidak ada
lalu ada.
Tapi dengan sebagai ari mereka menolak doktrin di atas
dan mempertahan pendapat bahwa hal itu mengisyaratakan bahwa penciptaan itu
maujud-bersama dengan Tuhan dan pra-kekekalan.
Mereka mengakui bahwa Dia tidak berhenti menjadi
Pengausa, Tuhan dan Rabb, tanpa rakyat atau abdi. Oleh sebab itu, dengan cara
yang sama, bolehlah dakatakan baha Dia adalah Pencipta, Pembuat dan Pembentuk
tanpa ada ciptaan, buatan atau bentukan.
8.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG NAMA-NAMA
TUHAN
Mereka berselisih paham mengenai nama-nama (Tuhan).
Sebagian mempertahankan pendapat bahwa nama-nama Tuhan itu bukan Tuhan, tapi
juga bukan yang selain Tuhan, sama dengan doktrin mereka mengenai
sifat-sifat-Nya. Sebagian lain berpendapat bahwa nama-nama Tuhan adalah Tuhan.
9.
AJARAN
KAUM SUFI TENTANG AL-QUR’AN
Mereka mengakui bahwa Al-Qur’an merupakan firman nyata
dari Tuhan, dan bahwa Kitab itu tidak dicipta atau dimulai pembuatannya secara
lambat laun, atau merupakan suatu pembaharuan; bahwa Al-qur’an itu disitir oleh
lidah kita, ditulis dalam buku-buku kita dan dilestarikan dalam dada kita, tapi
tidak tinggal di dalamnya. Mereka juga mengakui bahwa Al-Qur’an itu bukan
merupakan badan, unsur atau aksiden.
10.
PERSELISIHAN
KAUM SUFI TENTANG SIFAT FIRMAN
Mereka berselisih paham mengenai sifat firman Tuhan.
Sebagian besar berpendapat bahwa firman Tuhan merupakan suatu sifat Tuhan yang
abadi yang maujud dalam esendi-Nya, yang tidak sama dengan pembicaraan
makhluk-makhluk; dan bahwa firman itu tidak mengandung sifat esensial (ma’iyah),
seperti juga esensi-Nya tidak mengandung sifat esesial itu, kecuali hanya untuk
menegaskan. Salah seorang dari mereka telah berkata : “Firman Tuhan terdiri
atas perintah, larangan, keterangan, janji (harapan) dan ancaman. Tuhan itu
selamanya memerintah, melarang, memberi keterangan, memberi harapan, mengancam,
memuji dan menyalahkan. Oleh sebab itu, karena kamu telah diciptakan dan karena
akalmu telah matang, bertindaklah menurut peraturan tersebut; sebab kamu akan
disalahkan karena ketidakpatuhanmu dan diberi pahala karena kepatuhanmu (dan
semua ini telah ditakdirkan) ketika kamu diciptakan. Sebab dengan cara yang
sama kita diperintah dan dipanggil (oleh Tuhan) lewat Al-Qur’an yang diwahyukan
kepada Nabi, jauh sebelum kita diciptakan atau maujud.”
Sebagian besar mereka mengakui bahwa firman Tuhan tidak
terdiri dari tulisan, suara atau ejaan, melainkan bahwa tulisan, suara dan
ejaan tersebut merupakan tanda-tanda dari firman-Nya dan bahwa ketiganya
memiliki alat-alat dan anggota-anggota sendiri; anak lidah, bibir dan lidah.
Karena Tuhan tidak memiliki anggota dan tidak membutuhkan alat-alat, maka
Firman-Nya tidak terdiri atas tulisan atau suara. Seoang tokoh Sufi berkata
dalam makalahnya : “Siapa pun yang berbicara dengan menggunakan tulisan, berarti
dia tunduk pada penyebab; sedangkan dia yang pembicaraannya tergantung (pada sesuatu yang lain), tidak lepas dari
kebutuhan.
Sebuah kelompok sufi berpendapat bahwa Firman Tuhan
memang terdiri dari tulisan dan suara, dan mereka mempertahankan pendapat bahwa
firman itu hanya bisa diketahui dengan cara tersebut, dan mereka menegaskan
bahwa Firman itu merupakan suatu sifat Tuhan dan esensi-Nya sebagai yang tak
diciptakan, Ini adalah pandangan Harits al-Muhasibi dan golongan Modern ibn.
Salim.
Jadi, akar masalah ini adalah karena telah ditetapkan
bahwa Tuhan itu pra kekal dan Dia tidak sama dalam hal apa pun dengan
makhluk-makhluk, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat
makhluk, maka dengan demikian Firman Tuhan itu tidak terdiri dari tulisan dan
suara, sebagaimana pembicaraan makhluk-makhluk. Lebih-lebih Tuhan telah
menegaskan bahwa hanya Dia-lah yang memiliki firman itu, ketika Dia berfirman :
“Dan terhadap Musa, Allah bercakap-cakap secara
langsung.” Dan juga : “Adapun perintah yang
kami ucapkan bila Kami menghendaki sesuatu ialah : “KUN”! Maka jadilah ia.”
Dan lagi : “Supaya dia sempat mendengarkan Firman
Allah.” Oleh sebab itu Dia disipati dengan kekekalan; sebab jika Dia
tidak selamanya disifati begitu, maka firman-Nya pasti akan sama saja dengan
pembicaraan makhluk-makhluk yag dilahirkan dari waktu ke waktu dalam pra
kekekalan Dia pasti telah diberi sifat kebalikannya, yaitu diam atau gagap; dan
karena telah ditetapkannya, bahwa Dia tidak berubah dan esensi-Nya tidak mudah
dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa, maka pastilah Dia tidak diam, lalu
berfirman lagi. Karena telah ditetapkan bahwa Dia berfirman dan bahwa firman
itu tidak diciptakan lambat laun, perlulah kita mengakui hal ini. Karena telah
ditetapkan bahwa firman itu tidak terdiri dari tulisan dan suara, maka perlulah
kita mempertahankan penegasan semacam ini.
Kata “Qur’an” dapat ditafsirkan dalam beberpa cara dari
segi tata bahasa. Kata itu bisa dianggap sebagai kata benda verbal dari akar
kata “membaca” seperti yang difirmankan Tuhan : Manakala Kami telah selesai
membacakan, maka ikutilah bacaannya itu.” (S.Lxx,18). Kata itu juga bisa
diterapkan pada huruf-huruf dari abjad yang ada dalam salinan-salinan Kitab
Suci, seperti yang dikatakan Nabi : “Janganlah
bepergian dengan membawa Al-Qur’an di negeri musuh.” Karena itu, Firman
Tuhan dinamakan Qur’an – setiap Qur’an (bacaan) yang bukan Firman Tuhan itu
diciptakan dan dimulai pembuatannya secara lambat laun, sedangkan Al-Qur’an
yang merupakan Firman Tuhan tidak diciptakan, tidak pula dimulai pembuatannya
seccara lambat laun. Meskipun demikian, kata “Qur’an” hanya bisa dipahami dalam
konotasi umumya yang berarti Firman Tuhan, dan dalam hal itu ia tidak
diciptakan.
Orang-orang yang menahan diri agar tidak mengungkapkan
diri mereka sendiri dalam masalah ini, bertindak begitu disebabkan oleh salah
ssatu dari dua alasan berikut. Mereka menahan diri karena mereka ingin
memerikannya secara lambat laun – sebab memang mereka berpandangan bahwa firman
itu tercipta, Atau, mereka menahan diri disebabkan oleh keberatan-keberatan
keagamaan. Atau, mereka menahan diri karena terikat pada konsepsi bahwa firman
itu merupakan sifat Tuhan dalam esensi-Nya. Satu-satunya sebab yang membuat
mereka menahan diri agar tidak mengungkapkan dan mengucapkan istilah “penciptaan”
(sebagai yang diterapkan di sini) adalah bahwa mereka terikat pada gagasan yang
menganggap firman itu merupakan sifat Tuhan – sedangkan sifat-sifat Tuhanitu
tidak tercipta --- dan dengan demikian mereka tidak akan dihukum karena menolak
apa yang mestinya mereka terima. Karena itu, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an
merupakan firman Tuhan, dan sesudah itu mereka bungkam, karena baik hadits
maupun puisi-puisi yang disitir mengisyaratakan bahwa firman itu tidak dicipta;
dan dipandang dari segi ini, mereka benar.
11.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PENGLIHATAN (NAZHAR)
Para Sufi mengakui bahwa Tuhan akan bisa dilihat dengan
mata di dunia mendatang, dan bahwa oarng-orang yang beriman akan bisa
melihat-Nya sedang orang-orang yang tidak beriman tidak; sebab, itu merupkana
karunia Tuhan sebagaimana yang difirmankan : “Untuk
orang-orang yang berbuat kebaikan ada pahala dan bahkan ada pula tambahannya.”
Mereka berpendapat bahwa penglihatan itu lewat akal, mungkin, dan lewat
pendengaran, pasti. Mengenai kemungkinan melihat melalui akal, hal ini mungkin
karena Tuhan itu maujud, dan segala sesuatu yang maujud (logisnya) bisa
dilihat. Sebab Tuhan telah menanamkan daya lihat dalam diri kita; dan jika daya
lihat Tuhan itu tidak ada, maka permohonan Musa, “Wahai Tuhanku! Perlihatkan
diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu.” Akan merupakan (bukti) kebodohan
dan kekafiran. Lebih-lebih, ketika Tuhan menjadikan penglihatan itu tergantung
pada syarat bahwa gunung itu harus tetap tegak ( Dia berfirman, “Kalau bukit
itu masih tetap tegak di tempatnya semula, mungkin engkau dapat melihat Aku”, dan
mengingat juga bahwa tetap tegaknya bukit itu secara nalar mungkin – kalau
memang Tuhan membuatnya tetap tegak – maka hal ini berarti bahwa penglihatan
yang tergantung pada hal itu (tetap tegaknya gunung) pun secara nalar mungkin
dan bisa diterima. Maka, kaerena telah ditetapkan bahwa penglihatan lewat akal
itu mungkin, dan lebih-lebih karena telah dibuktikan bahwa penglihatan lewat
pendengaran tersebut pasti -- Than
berfirman : “Saat wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri-seri,
melepas pandang kepada Tuhannya.” Dan lagi : “ Untuk orang-orang yang berbuat
kebaikan, ada pahala yang baik dan bahkan ada pula tambahannya.” Dan lagi : “
idak, yang sebenarnya mereka pada waktu itu benar-benar ditutup dari rahmat
Tuhan. – dan karena hadits menegaskan bahwa penglihatan itu memang ada, seperti
kata Nabi : “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu
seperti kamu melihat bulan purnama di malam hari, tanpa kebingungan
mencari-cari Dia.” Yang mengenainya banyak kisah masyhur dan sahih, maka
perlulah kita menegaskan hal ini, dan pecaya bahwa hal itu benar.
Penafsiran esoteris (batiniah) orang-orng yang menyangkal
kemungkinan penglihtan akan Tuhan, seperti misalnya mereka yang menafsirkan “melepas
pandang kepada Tuhannya.” Sebagai memandang kepada pahala Tuhannya,” sama
sekali tidak bisa dibenarkan, sebaba pahala dari Tuhan itu tidak sama dengan
Tuhan. Demikian juga dengan mereka yang mengatakan bahwwa “perlihatkanlah
diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihatMu.” Merupakan permohonan akan sebuah
tanda; hal ini tak bisa dibenarkan, sebab Tuhan sebelumnya telah memperlihatkan
tanda-tanda-Nya kepada Musa. Demikian pul halnya dengan mereka yang menafsirkan
ayat : “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” Dengan pengertian :
karena Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan maa di dunia ini, maka begitu
juga di dunia nanti. Tuhan memang menyangkal bahwa Dia daapt dicapai oleh
penglihatan, sebab penglihatan seperti itu akan mengisyaratkan cara (kafiyah)
dan pembatasan, Dengan demikian, yang disangkal-Nya adalah penglihatan yang
mengisyaratkan cara dan pembatasan, bukan penglihatan yang di dalamnya tidak
ada cara, tidak pula pembatasan.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia
ini, baik dengan mata maupun dengan hati, kecuali dari sudut pandang iman;
sebab penglihatan ini merupakan puncak karunia dan rahmat paling mulia, dan
karena itu tidak dapat terjadi kecuali ditempat yang paling mulia. Jika mereka
telah diberi rahmat yang paling mulia itu di dunia ini, maka tidak akan ada
bedanya antara dunia ini, yang akan lenyap nanti, dengan surga yang abadi; dan
karena Tuhan telah mencegah manusia yang diajak-Nya berbicara itu dari
mendapatkannya di dunia kini, wajarlah kalua manusia-manusia lain yang berada
di tingkat lebih di bawah di cegah juga . Lebih-lebih, dunia ini merupakan
tempat tinggal sementara, sehingga mustahil kalau Yang Kekal dapat dilihat di
tempat tinggal yang sementara itu. Lebih jauh lagi, jika mereka telah melihat
Tuhan di dunia ini, kepercayaan mereka
terhadap-Nya akan bersifat aksiomtis (dharurah). Pendeknya, Tuhan telah
menyatakan bahwa penglihatan itu akan diberikan-Nya di dunia nanti, bukan di
dunia ini. Oleh sebab itu, perlulah seseorang membatasi diri pada apa yang telah
dinyatakan dengan jelas oleh Tuhan.
12.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TETANG PENGLIHATAN
NABI
Mereka berselisih paham mengenai apakah Nabi melihat
Tuhan sewaktu dalam perjalanan malan. Sebagian dari mereka, termasuk
tokoh-tokoh Sufi terpenting, menyatakan bahwa Muhammad tidak melihat-Nya dengan
matanya, begitu pula makhluk-makhluk lain di dunia ini. Lebih-lebih, dikishakan
bahwa Aisyah berkata : “Siapapun yang mengatakan bahwa
Muhammad melihat Tuhannya, bohong.” Pendapat ini dianut juga oleh yang
lain-lain, oleh al-Junaid, an-Nuri dan Abu Sa’id al-Kharraz. Sebagian di antara mereka menegaskan bahwa
Nabi melihat Tuhan dalam perjalanan malamnya, dan khusus di pilih di antara
orang-orang lain untuk (mendapat karunia) melihat-Nya, seperti Musa juga
ditunjuk (mendapat karunia) berbicara denga-Nya. Untuk tujuan ini mereka menyitir
kisah yang diceritakan oleh Ibn Abbas, Asma’ dan Anas, dn pendapat ini didukung
oleh Abu Abdillah al-Qurasy, al-haikal, dan beberapa tokoh Sufi yang
terkemudian. Salah seorang dari mereka telah mengemukakan bahwa Muhammad
melihat Tuhan dengan hatinya, bukan dengan matanya; dan mereka menyitir firman
Tuhan sebagai berikut, “Apa yang dilihatnya itu,
hatinya tidak mengingkarinya.”
Tapi kami tidak mengenal seorang syeikh pun dalam masalah
ini --- yaitu, tak seorangpun dikenal sebagai seorang ahli yang sah – dan kami
tidak mendapati masalah ini dikemukakan dalam buku-buku, karangan-karangan
maupun risalah-risalah mereka, kami pun tidak mendengar masalah itu dikemukakan
oleh siapa saja yang telah kami hubungi, yaitu bahwa Tuhan bisa dilihat di
dunia ini, atau bahwa salah satu makhluk-Nya pernah melihat-Nya; dengan
perkecualian sebuah kelompok yang tidak begitu penting di antara kelompok-kelmpok Sufi. Memang benar
bahwa beberapa orang telah menegaskan bahwa sebagian orang Sufi mengaku pernah
melihat Tuhan; tapi semua syeikh setuju untuk menyalahkan orang-orang yang
membuat pernyataan ini dan untuk membuktikan kesalahan pengakuan mereka, dan
mereka telah menulis buku-buku untuk tujuan ini, yakni, antara lain, Abu Sa’id
al-Kharraz; al-Junaid juga telah menulis dan membuktikan kesalahan mereka yang
telah membuat pengakuan semacam itu. Labih jauh mereka menegaskan bahwa
orang-orang yang berlagak telah meihat Tuhan itu, dalam kenyataannya tidak
mengnal Tuhan, dan buku-buku mereka membuktikan kenyataan itu.
13.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG TAKDIR DAN PENCIPTAAN
TINDAKAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta dari semua
tindakan hamba-hamba-Nya; bahkan karena Dia adalah pencipta esensi mereka, maka
segala apa yang mereka lakukan, yang baik- maupun buruk, adalah menurut
ketentuan, takdir, keinginan dan kehendak Tuhan. Kalau tidak, maka mereka
bukanlah hamba-hamba yang tunduk pada Rabbnya dan bukan ciptaan-ciptaan. Tuhan
berfirman : “Katakanlah : Allahlah yag menciptakan
segala sesuatu.” Dan lagi : “ Segala sesuatu
Kami ciptakan serba berukuran .... segala sesuatu yang telh mereka kerjakan
tercatat dalam buku..” Nah karena
tindakan-tindakan itu merupakan “sesuatu-sesuatu”, maka Tuhan-lah yang
menciptakan mereka. Sebab, tindakan-tindakan itu tidak tidak diciptakan,
berarti Tuhan adalah Pencipta “sesuatu-sesuatu” tentu saja, bukan segala
sesuatu dan dengan demikian, firman-Nya (“Yang menciptakan segala sesuatu”)
hanya bohong belaka --- Maha Suci Tuhan dari itu! Lebih lebih, sudah jelas
bahwa tindakan-tindakan itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan esensi;
sehingga jika Tuhan adalah Pencipta esensi-esensi itu sedang hamba-hamba-Nya
adalah pencipta-pencipta tindakan-tindakannya, maka makhluk itulah yang lebih pantas
menerima pujian karena tindakan penciptaannya, dan penciptaan oleh hamba-hamba
itu akan dapat menjadi lebih besar daripada penciptaan Tuhan; konsekuensinya,
mereka pasti lebih sempurna dalam
kekuasaan dan lebih produktif dalam penciptaan dibandingkan dengan Tuhan. Tapi
Tuhan berfirman : “Apakah berhala-berhala yang
telah mereka jadikan sekutu Allah itu dapat menciptakan sesuatu seperti ciptaan
Tuhan, sehingga kedua ciptaan itu sama dengan pandangan mereka? Katakanlah : “Allah-lah
yang menciptakan segala-galanya! Dia lah Tuhan yang Maha Esa dan Perkasa!.”
Jadi Tuhan menyangkal adanya penciptaan
selain Dia. Tuhan juga berfirman : “Dan di
masing-masing Kami atur jarak perjalanan.” Dengan begitu Dia menyatakan
bahwa Dia telah mengukur perjalanan hamba-hamba-Nya. Lebih kauh Tuhan berfirman
: “Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa-apa
yang kamu perbuat itu,” dan lagi : “ Dari
kejahatan makhluk-Nya.” Dengan begitu menunjukan bahwa sebagian makhluk-Nya itu jahat; dan lagi : “Dan janganlah engkau turutkan pula orang yang hatinya
telah Kami alpakan dari mengingat Kami.”
Yaitu Tuhan menciptakan kealpaan dalam hatinya: dan lebih jauh lagi : “Kamu rahasiakan atau pun kamu lahirkan perkataanmu, Dia
mengetahui segala yang di dalam hatimu, apakah Tuhan yang telah mencipta itu
tidak mengetahuinya, padahal Dia Maha Teliti dan Mengetahui.” Dengan
begitu Dia menyatakan bahwa
perkataan-perkataan mereka, dan semua yang mereka rahasiakan atau mereka
lahirkan, merupakan ciptaan-Nya.
Umar a.s. berkata : “Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai masalah yang kita hadapi ini? Apakah
itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atau baru saja dirancangkan?.”
Nabi menjawab : “Sesuatu yang telah ditetapkan.”
Umar berkata : “Kalau begitu apakah kita tidak akan
percaya?”
Beliau menjawab : “Laksanakan (apa yang ingin kau
laksanakan), sebab semua orang telah diciptakan untuk tujuan itu.”
Nabi juga ditanya : “Bagaimana
pendapatmu mengenai wabah penyakit yang menimpa kita, dan apa yang sebaiknya
kita pakai untuk mengobati diri kita? Apakah semua ini menyalahi ketetapan
Tuhan?
Beliau menjawab : “Sesungguhnya,
tidak beriman seseorang sampai dia beriman pada Tuhan dan ketetapan Tuhan, baik
maupun buruk.”
Jadi karena Tuhan mungkin menciptakan sesuatu esensi yang
jahat, maka mungkin pula Dia menciptakan tindakan yang jahat. Nah, umumnya
diakui bahwa tindakan orang yang gemetaran adalah ciptaan Tuhan; dengan
demikian semua gerakan begitu juga halnya, kecuali dalam satu hal Tuhan telah
menciptakan gerakan dan kehendak bebas. Abu Bakr al-Wasithi menafsirkan Firman
Tuhan : “ Dan kepunyaan Allah pulalah segala
makhluk yang sudah ditelan kesunyian malam dan siang itu.” Sebagai
berikut : Jika seseorang mengaku bahwa sesuatu yang
ada di dalam Kerajaan-Nya --- yaitu, “yang sudah di telan kesunyian malam dan
siang” itu --- baik sebuah pemikiran ataupun gerakan, adalah miliknya, atau ada
karena dia, atau diperuntukan baginya, atau datang dari dia, maka berarti dia
telah melawan kekuasaan mutlak (Tuhan), dan melemahkan kekuasaan-Nya.”
Sedang mengenai firman Tuhan : “Ya, milik-Nya-lah penciptaan dan penawaran.”
Dia menafsirkan sebagai berikut : “Penciptaan adalah mengadakan, dan penawaran
adalah membebaskan; Jika Tuhan tidak menawari anggota-anggota tubuh dengan
penawaran untuk pembebasan, maka mereka pasti tidak bisa menurutkan Dia, tidak
pula bisa melawan Dia.”
14.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG (BATAS) KEMAMPUAN
Mereka mengakui bahwa setiap tarikan nafas, setiap
lirikan mata dan setiap gerakan mereka bisa terjadi berkat indera yang
diberikan oleh Tuhan kepada mereka, dan merupakan suatu kemampuan yang Dia
ciptakan untuk mereka bersamaan dengan tindakan-tindakan mereka, bukan
sebelumnya atau sesudahnya, dan bahwa tidak ada tindakan yang dapat
dilaksanakan tanpa ini semua; sebab, kalau tidak, berarti mereka memiliki sifat
Tuhan, bisa melakukan segala yang mereka inginkan dan menetapkan segala yang
mereka kehendaki, dan Tuhan tidak lagi akan menjadi Yang Maha Kuat, Yang Maha
Berkuasa – seperti dalam firman-Nya : “Begitulah
Allah berbuat menurut kehendak-Nya.” Tidak lebih dari budak yang
melarat, lemah dan hina.
Jika saja kemampuan ini ditentukan oleh pemilikan anggota
badan yang sehat, maka tiap orang yang
memiliki karunia itu akan dapat mencapai taraf yang sama; tapi pengamalan menunjukan bahwa seseorang dapat saja
memiliki anggota badan yang sehat, sedang tindakannya bisa jadi tidak sama
sehatnya. Dengan demikian maka kemampuan tidak berasal dari indera dan
menjelmakan dirinya dalam badan yang sehat; indera adalah sesuatu yang beragam
tingkatannya pada berbagai saat, seperti yang bisa dilihat oleh orang pada
dirinya sendiri. Lebih-lebih, karena indera itu merupakan suatu aksiden dan
aksiden itu tidak dapat bertahan sendiri, atau bertahan lewat sesuatu yang
bertahan di dalamnya --- sebab jika sebuah benda tidak da dengan sendirinya,
dan tidak sesuatu pun bisa jadi ada karenanya, maka benda itu tidak dapat
bertahan lewat pertahanan benda lain, seebab pertahanan benda lain itu tidak
mengandung arti pertahanan untuknya – maka hal itu berarti benda itu tidak
memiliki pertahanan sendiri, dan karenanya, tiak dapat tidak, kesimpulannya
adalah indera masing-masing tindakan itu berbeda dari indera tindakan lain.
Jika halnya tidak demikian, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan
Tuhan pada saat mereka bertindak, dan firman tuhan : “Dan
kepada engkau-lah kami memohon pertolongan.” Tidak akan ada artinya.
Lebih jau lagi, jika indera itu tidak ada sebelum adanya tindakan, dan tidak
dapat bertahan sampai ada tindakan tersebut, maka tindakan itu pasti dilakukan
dengan indera yang telah tiada; yaitu tanpa Indera apa pun, yang
mengisyaratakan putusnya hubungan antara Tuhan dan Hamba sekaligus. Sebab jika
demikian halnya, maka jelas mungkin bahwa tindakan-tindakan itu, bisa ada
dengan sendirinya, tanpa perantara. Tapi Tuhan berfirman, dalam kisah Musa dan
hamba-Nya yang kuat (Khidzir) “sesungguhnya engkau
tidak akan sanggup sabar bersama ku.” Dan juga : “Demikian penjelasan persoalan yang kamu tidak sanggup
sabar menghadapinya itu.” Yang Dia maksudkan sebagai “yang tidak kamu
miliki indera untuk melakukannya.”
Mereka mengakui bahwa mereka diberi kepercayaan dengan
tindakan-tindakan dan tanggung jawab dalam arti sejatinya, yang utuhnya mereka
diberi pahala dan dihukum; dan oleh sebab itu Tuhanmengeluarkan perintah dan
larangan, dan menyampaikan berita gembira serta ancaman-ancaman. Arti istilah
“tanggung jawab” itu adalah bahwa manusia bertindak karena sebuah indera yang
dibuat (oleh Tuhan). Seorang Tokoh Sufi berkata :
“Makna tanggung jawab adalah bahwa manusia itu bertindak demi mencari
keuntungan atau menolak kesialan.”
Maka Tuhan berfiman : “Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri, dan
yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri pula“. Lebih jauh mereka akui
bahwa mereka melaksanakan kehendak dan keinginan bebas yang menyangkut
“tanggung jawab” mereka, dan bahwa mereka tidak dipaksa atau ditekan di luar
kemauan mereka. Yang kami maksud dengan “kehendak bebas” adalah bahwa Tuhan
telah menciptakan dalam diri kita kehendak bebas, sehingga dalam hal ini tidak
ada masalah tekanan atau penolakan. Al-Hasan ibn Ali berkata : “Tuhan dipatuhi
bukan karena terpaksa, atau tidak dipatahui dikarenakan tekanan yang
berlebihan; Dia tidak meninggalkan hamba-Nya sama sekali tanpa melakukan
sesuatu di kerajan-Nya”. Sahl ibn Abdillah berkata : “Tuhan tidak memberi
kekuatan kepada orang yang saleh lewat paksaan, Dia menguatkan mereka liwat
Iman.” Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Siapa
pun yang tidak percaya pada takdir adalah orang kafir, dan siapapun yang
mengatakan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak patuh pada Tuhan adalah
seorang pendosa.
15.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PAKSAAN
Sebagian mereka menyaakan bahwa gagasan mengenai paksaan
itu kabur, dengan mengatakan bahwa paksaan hanya dapt terjadi dalam hal dua
orang yang sama-sama tidak mau mengalah, yaitu kalau seseorang memberi perintah
orang lain dan orang lain itu menolak (untuk mematuhi), kemudian orang yang
pertama memaksa orang yang kedua agar melakukan perintahnya, Paksaan berarti
seseorang itu dipaksa untuk melakukan sesuatu hal tertentu, meskipun ia lebih
suka melakukan hal yang lain, sehingga kemudian dia terpaksa melakukan hal yang
tidak disukainya dan meninggalkan hal yang disuskainya; dan kalau bukan kaena
paksaan dan tekanan itu, maka dia pasti telah melakukan hal yang
ditinggalkannya dan meninggalkan hal yang dilakukannya. Nah, kami tidak
menemukan hal semacam itu dalam masalah pencarrian manusia akan iman dan
kekafiran, kepatuhan dan ketidak patuhan. Orang yang beriman memilih iman,
menyukainya, menyetujui, menginginkannya dan lebih menyukainya dibandingkan
dengan kebalikannya. Sementara dia tidak menyukai kekafiran, membencinya, tidak
menyetujuinya, tidak menginginkannya dan lebih menyukai kebalikannya. Tuhan
telah menciptakan pilihan untuknya, kesetujuan dan keinginan akan iman, dan kebencian,
ketidak sukaan dan ketidak-setujuan akan kekafiran; sebab Tuhan berfirman : “Tetapi Allah telah menanamkan cinta dalam hatimu terhadap
keimanan, dan menjadikan keimanan itu terasa indah dalam hatimu. Sebaliknya
menjadikan kebencian dalam hatimu terhadap kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.”
Di pihak lain, orang kafir memilih kekafiran, menyetujuinya, menyukainya,
menginginkannya dan lebih menyukainya dibanding kebalikannya, sementara dia
tidak menyukai iman, membencinya, tidak menyutujuinya, tidak menginginkannya
dan lebih menyukai kebalikannya. Tuhan telah menciptakan ini semua sebab Dia
berfirman : “Demikianlah sunnah Kami yang berlaku
bagi setiap umat, yaitu mereka memandang baik setiap pekerjaan yang
dilakukannya.” Dan lagi : “Dan barangsiapa
yang dikehendaki-Nya untuk dibiarkan sesat oleh-Nya, disempitkan-Nya dada orang
itu.” Tak satu pun dari keduanya dicegah
untuk (mengikuti) kebalikan dari pilihannya, atau dipaksa mengikuti yang
dicarinya; oleh sebab itu mereka semua terikat pada rencana Tuhan dan tunduk
pada keputusan-Nya. Tempat tinggal orang-orang kafir adalah neraka, sebagai
ganjaran dari apa yang telah mereka lakukan. Dan :”Kami tidak menganiaya
mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri sendiri.” Tuhan itu tidak akan
ditanya tentang apa-apa yang diperbuat-Nya, malahan mereka jualah yang akan
ditanya.”
Ibn al-Farghani berkata : “Tidak ada pemikiran atau
gerakan kecuali atas perintah Allah. Inilah arti firman-Nya, “Jadlah”!. Sebab,
milik-Nya adalah ciptaan perintah dan perintah ciptaan, sedangkan penciptaan
adalah sifat-Nya. Dengan dua huruf ini, Dia tidak memberi kesempatan bagi
seorang pandai pun untuk mengaku bahwa segala sesuatu di dunia ini atau di
dunia nanti adalah miliknya, atau ada kaena dia, atau diadakan untuk dia.
Karena itu, ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan keculai Allah.
16.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEMANFAATAN
Mereka mengakui bahwa Tuhan memperlakukan hamba-hamba-Nya
sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, dan membuat ketetapan bagi mereka
dengan cara yang dikehendaki-Nya, tidak soal apakah hal itu mendatangkan
manfaat bagi mereka atau tidak; sebab ciptaan itu adalah ciptaan-Nya dan
perintah itu adalah perintah-Nya. –
“Tuhan tidak akan ditanya tentang apa-apa yang diperbuat-Nya, malahan mereka
jualah yang akan ditanyai.” Kalau bukan karena hal ini, maka tidak akan ada
bedanya antara hamba dan Rabb. Tuhan berfirman : “Dan janganlah orang-orang
kafir itu Allah hendak menyiksa mereka dalam kehidupan dunia ini, dan kelak
nyawa mereka akan melayang dalam keadaan kafir,” dan lagi : “Merekalah
orang-orang yang tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hatinya.”
Doktrin “Manfaat terbesar” itu
mengisyaratkan bahwa kekuatan (Tuhan) terbatas dan bahwa kekayaan-Nya bukannya
tak ada habisnya, dan bahwa Tuhan sendiri dalam hal itu tidak mampu; sebab jika
Dia berurusan dengan orang-orang sampai pada “batas manfaat mereka” maka tidak
ada lagi yang tersisa di luar “batas” itu, sehingga bahkan jika Tuhan ingin
menambah “manfaat” mereka, Dia tidak akan mampu melakukannya, dan tidak
memiliki alat sama sekali untuk menjamin mereka dengan “manfaat” berikutnya di
luar yag telah diberikann-Nya untuk mereka sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari
itu!
Mereka mengakui bahwa seluruh urusan Tuhan dengan hamba-hamba-Nya –
kebaikan, kesehatan, keamanan, iman, petunjuk, kecitaan, hanyalah merupakan
suatu siskap merendahkan diri dari pihak-Nya; kalau pun Dia tidak bertindak
demikian, hal itu tetap saja bida dilakukan-Nya dengan mudah. Hal ini sama
sekali bukan merupakan kewajiban Tuhan; sebab jika Tuhan telah diwajibkan
mengikuti cara bertindak semacam itu, maka Dia tidak lagi pantas dipuji dan
disyukuri.
Mereka mengakui bahwa pahala dan hukuman bukanlah masalah
kebaikan hati, melainkan kehendak, sifat pengasih dan keadilan Tuhan. Manusia
tidak sepantasnya dihukum selamanya karena dosa-dosa yang telah tidak
dilakukannya lagi, jika mereka tidak sepantasnya mendapat pahala selamanya dan
tak terbatas karena jumlah tindakan-tindakan (baik) mereka yang terbatas.
Mereka mengaku bahwa jika Tuhan meu menghukum semua orang
yang ada di surga dan di bumi, tetap saja Dia tidak bertindak secara tidak adil
terhadap mereka, dan bahwa jika Tuhan akan membawa semua orang Kafir ke surga,
hal itu pun bukan mustahil, sebab ciptaan itu adalah ciptaan-Nya, dan perintah
itu adalah perintah-Nya. Tapi Dia telah menyatakan bahwa Dia akan memberi
rahmat pada orang-orang yang beriman untuk selamanya, dan menghukum orang-orang
kafir untuk selamanya pula, dan Dia benar dala setiap firman-Nya dan semua yang
Dia nyatakan itu benar. Oleh sebab itu, Dia pasti berurusan dengan manusia
dengan cara yang seperti itu, dan Dia tidak mungkin berlaku sebaliknya; sebab
Tuhan itu tidak berdusta – sungguh Tuhan jauh lebih tinggi dari itu!.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak bertindak atas alasan
apa pun, sebab jika tindakan-tindakan Tuhan itu ada alasannya, maka alasan itu
ada alasannya, dan dengan begitu bersifat ad infinitum; dan itu salah. Tuhan
berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang sudah
terlebih dahulu mendapat taufik dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka.”
Dan lagi : “Dia telah memilihmu.” Dan lagi : “Dan telah lebih dahulu ditetapkan
oleh Tuhanmu, bahwa Aku akan memenuhi neraka jahanan dengan jin dan manusia
(durhaka) semuanya.” Daln lagi : “Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk
penghuni neraka itu banyak jin dan manusia.” Tak satu pun dari firman Tuhan itu
yang tidak adil atau salah; sebab, ketidak-adilan itu merupakan sesuatu yang
terlarang, dan benar-benar terdiri dari tindakan yang meletakkan sesuatu tidak
pada tempatnya; sedangkan aniaya merupakan suatu penyelewengan dari jalan yang
telah dibuat lurus dan dari teldan yang telah ditetapkan oleh Dia Yang Ada di
atas dan Yang Menguasai manusia-manusia di bawah. Karena Tuhan tidak berada di
bawah kekuasaan seorang pun, dan karena Dia tidak diperintah atau disesali oleh
yang ada di atas-Nya, maka tidak mungkin Dia bertindak tidak adil atau aniaya
dalam ketetapan=Nya. Tiada yang kotor dalam diri-Nya; sebab yang kotor adalah
yang Dia buat kotor, dan yang indah adalah yang Dia buat indah. Seseorang
berkata : “Yang kotor adalah yang dilarang-Nya, sedang
yang indah adalah yang diperintahkan-Nya.” Muhammad ibn Musa berkata : “Hal-hal yang
tampak indah adalah yang indah karena pengungkapan-Nya, sedangkan hal-hal yang
tampak kotor adalah kotor karena selubung-Nya; keduanya merupakan sifat yang
ada dalam pasca kekekalan dan yang telah ada dalam pra-kekekalan.” Hal ini berarti bahwa yang mengembalikan engkau dari
benda-benda kepada Tuhan adalah indah, sedangkan yang mengembalikan engkau
kepada benda-benda dan bukan kepada Tuhan adalah kotor; Jadi yang kotor dan
yang Indah adalah benda-benda yang sifat-sifatnya telah ditetapkan oleh Tuhan
dalam pra-kekekalan. Kalau tidak, hal itu bisa jadi berarti bahwa yang
tampak indah itu dibukakan dari selubung larangan, sehingga tidak da lagi
selubung antara manusia dengan yang indah itu; sedangkan yang kotor ada di
balik selubung, yaitu larangan. Penafsiran yang kedua itu sesuai dengan sabda
Muhammad saw : “Dan di atas gerbang-gerbang itu terdapat selubung-selubung yang
terjuntai”, dikatakan bahwa gerbang yang terbuka itu adalah peraturan Tuhan
yang tak dapat diganggu gugat (muharim), sedangkan selubung itu adalah
batas-batas (larangan-larangan)Nya (hudud).
17.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG JANJI (BAIK) DAN
ANCAMAN
Mereka mengaui bahwa ancaman mutlak (dari Tuhan)
diberikan kepada orang-orang kafir, dan janji mutlak diberikan kepada
orang-orang yang melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Beberapa orang
mengatakan bahwa pengampunan dosa-dosa kecil diperoleh dengan jalan
penghindaran dari dosa-dosa besr, sebab Tuhan berfirman : “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang
mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahanmu yang kecil-kecil dan Kami
masukan kamu ke dalam surga, tempat yang sangat mulia.” Yang lain
memasukannya ke dalam katagori yang sama seperti dosa besar, mengingat
kemungkinan hukumnya, dengan mengemukakan firman Tuhan : “Sekiranya apa yang ada di dalam hatimu kamu lahirkan atau
kamu sembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu.” Mereka menjelaskan kata-kata “Jika kamu menjauhi
dossa-dosa besar yang kamu dilarang mengerjakannya.” Sebagai mengacu pada
penyembahan berhala-berhala serta kekafiran; itu mencakup banyak jenis yang
bisa di anggap sebagai terliput oleh kata benda jamak. Penafsiran yang lain
adalah bahwa kalimat itu mengacu kepada sejumlah orang yang masing-masing
memiliki satu dosa besar sehingga secara bersama semuanya itu disebut dosa-dosa
besar.
Mereka mengatakan adanya kemungkinan pengampunan dosa
besar yang tergantung pada kehendak (Yuhan) dan syafa’at Nabi. Mereka
bependapat bahwa sudah jelas bahwa orang-orang yang menegakkan shalat itu akan
dijauhkan dari neraka dikarenakan iman mereka; Sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa-dosa selain itu
terhadap orang-orang yang dikehendaki-Nya.” Dengan begitu dia menjadikan
kehendak-Nya sebagai syarat sehubungan dengan (pengampunan) atas dosa yang tak
sebesar kemusyirakn.
Singkatnya, mereka berpendapat bahwa orang beiman itu
berrada di antara ketakutan dan harapan; dia mengharapkan belas kasih Tuhan
untuk mengampuni dosa-dosa besarnya, dan takut akan hukuman-Nya atas dosa-dosa
kecilnya; sebab pengampunan itu sudah termasuk dalam kehendak (Tuhan), dan
kehendak (Tuhan) tidak dikenai syarat oleh berbagai pertimbangan dosa besar
maupun dosa kecil. Mereka yang menetapkan syarat-syarat ketat dan keras untuk
bertobat atas perbuatan dosa-dosa kecil, dengan begitu, tidak bermaksud untuk
mengisyaratkan bahwa ancaman (Tuhan) merupakan akibat yang sudah semestinta,
melainkan untuk lebih memperbesar keseriusan dosa dengan cara menekankan apa
yang sebenarnya merupakan hak Tuhan, agar orang itu selalu menjauh dari
perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Mereka menggunankan istilah “dosa kecil”
hanya untuk memperbandingkan satu dosa dengan dosa yang lain. Mereka menuntut
setiap jiwa agar menunaikan sepenuhnya apa yang sudah menjadi hak Tuhan dan
manjauhi dari apa yang sudah dilarang oleh Tuhan, serta melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah
diperintahkan oleh Tuhan dengan mempertimbangkan kelemahan-kelemahan yang
melekat pada syarat-syarat setiap tindakan. Dengan ini semua, mereka merupakan
orang-orang yang paling penuh harapan sepanjang hal itu menyangkut diri mereka
sendiri; bahkan ancaman-ancaman Tuhan itu seakan hanya tertuju pada mereka,
sedang janji-jani-Nya pada orang-orang lain.
Al-Fudhail, pada malam Arafah, ditanya : “Bagaimana
pendapatmu tentang keadaan manusia?”
Dia menjawab : “Diampuni, kecuali dengan kehadiran saya
di antara mereka.”
Sarri as-Saqathi berkata : “Aku memandang cermin
berkali-kali dalam sehari; takut jangan-jangan mukaku berubah menjadi hitam.” Dia
juga berkata : “Aku tidak ingin mati di tempat aku dikenal, sebab aku takut
kalau bumi tidak mau menerimaku, dan aku menajdi terlantar.”
Mereka juga ingin agar semua orang memiliki pemikiran-pemikiran terbaik mengenai
Tuhan mereka. Yahya berkata : “Jika orang tidak memiliki pemikiran yang baik
mengenai Tuhan, maka dia tidak senang pada Tuhan.” Tetapi kalau menyangkut diri
mereka sendiri, mereka menganggap diri mereka yang paling buruk dibandingkan
dengan semua manusia lain, paling jahat, tidak ada baiknya sama sekali, baik di
dunia ini maupun di dunia nanti.
Pendeknya, Tuhan berfirman : “Di
samping itu, ada segolongan orang berdosa lainnya yang telah mengakui
dosa-dosanya, ialah mereka yang telah mencampur-adukan amal kebajikan dengan
amal kejahatan.” Dengan begitu menetapkan bahwa orang beriman memiliki
dua (macam) tindakan; yang satu baik, yang satunya lagi buruk; yang baik
mendukungnya, yang buruk bertentangan dengannya. Tuhan telah menjanjikan pahala
bagi tindakan yang mendukungnya, dan mengancamkan hukuman bagi tindakan yang
menetangnya. Ancaman itu adalah yang dituntut oleh Tuhan dari hamba-hamba-Nya,
sedangkan janji adalah yang dituntut oleh hamba-hamba-Nya dari Tuhan ---- yaitu
bahwa selama ini Tuhan telah membebankan hal tersebut sebagai sebuah kewajiban
atas diri-Nya. Jika Dia meminta dari hamba-hamba-Nya penunaian sepenuhnya akan
hak-hak-Nya, dan (sebaliknya) tidak menunaikan sepenuhnya hak-hak mereka, hal
itu berarti bahwa Dia tidak sesuai dengan sifat-Nya Yang Maha Pemberi,
mengingat bahwa Dia tidak tergantung pada mereka, sedangkan mereka tergantung
pada-Nya. Tapi akan lebih sesuai dengan sifat Maha Pemberi-Nya, dan lebih
sesuai dengan kebaikan-Nya, jika Dia menunaikan hak-hak mereka, dan bahkan
lebih dari hak-hak mereka --- begitu Pemurah Dia – dan Dia sendiri membebaskan
utang mereka kepada-Nya. Dan Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Allah tiak akan
merugikan seseorang walaupun sebesar zarah. Bahkan jika perbuatan itu hanyalah
perbuatan kebajikan yang sekecil zarah pun, Tuhan akan melipatgandakan
pahalanya. Dan akan diberikan-Nya pahala yang besar di sisi-Nya.” Kata “di
sisi-Nya” mengisyaratkan bahwa itu merupakan suatu sikap merendahkan diri, dan
bukannya merupakan suatau pahala sama sekali.
18.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG SYAFAAT
Mereka bersepakat untuk mastikan semua yang telah
dinyatakan oleh Tuhan di dalam Kitab-Nya mengenai syafaat, dan semua yang telah
diwahyukan dalam kisah-kisah yang diceritakan mengenai Nabi. Tuhan berfirman :
“Dan nanti Tuhanmu akan memberikan karunia-Nya
kepadamu agar kamu merasa senang.” Semoga Tuhan-mu mengangkatmu ke tingkat yang
terpuji.” Dan mereka tidak dapat memberikan syafaat kepada siapa pun kecuali
kepada mereka yang diridhai Tuhan.” --- dan orang-oran kafir itu berkata :
“Karena itu, tak ada bagi kami seorang pun pemberi syafaat.” Nabi berkata :
“Syfaatku untuk mereka di antara umatku yang telah melakukan dosa-dosa besar.”
Beliau juga berrkata : “Doaku menyamarkan syafaatku untuk umatku.”
Mereka percaya pada “Shiratal Mustaqim.” Dan menganggap
bahwa lintasan tersebut merupakan sebuah jembatan yang direntangkan di atas
neraka, Aisyah pernah menyitir firman Tuhan : “Pada waktu Bumi ini berganti
rupa dengan bentuk bumi yang lain.” Lalu bertanya, “Kalau begitu, di mana nanti
para manusia itu, wahai Rasul Allah? Nabi menjawab : “Di atas lintasan.
Mereka percaya pada mizan, dan beranggapan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia itu akan ditimbang, seperti firman Tuhan : “Siapa yang berat timbangan kebaikannya, itulah
orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya,
irtulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri.” Mereka mempercayai
hal ini, meskipun mereka tidak mengerti bagaimana masalah ini akan
diselelsaikan; sebab, mengenai masalah ini dan masalah-masalah serupa yang cara
penyelesaiannya tidak mereka ketahui, mereka berkata : “Kami percaya kepada apa
yang telah difirmankan oleh Tuhan sesuai dengan apa yang telah dimaksudkan oleh
Tuhan dengan firman-Nya itu; dan kami percaya pada apa yang telah dikatakan
oleh Rasul Allah, sesuai dengan apa yang dikehendakinya.”
Mereka percaya bahwa Tuhan akan menjauhkan dari neraka
setiap orang yang dalam hatinya terdapat iman, meskipun sebesar zarah, sesuai
dengan sebuah hadits: “Mereka percaya bahwa surga dan neraka itu kekal, tapi
keduanya merupakan ciptaan, yang ada selamanya tanpa pernah lenyap atau hancur;
sejalan dengan hal itu, maka penghuni-penghuninya pun kekal di sana, diberi
pahala atau hukuman selamanya, dengan kebahagiaan yang tak ada akhirnya atau
hukuman yang tak henti-hentinya.
Dalam soal-soal lahiriah, mereka memperlihatkan iman di
hadapan orang-orang beriman; tap mengenai hati merreka, mereka mempercayakannya
pada Tuhan. Mereka percaya “tempat tinggal” itu merupakan tempat tinggal iman
dan kediaman.” Dan bahwa penghuni-penghuninya adalah orang-orang berriman dan
orang-orang Muslim. Menurut padangan mereka, orang-orang Muslim yang melakukan
dosa-dosa besar adalah orang-orang beriman berdasarkan iman yang mereka miliki,
tapi menjadi pelaku kejahatan disebabkan oleh kerusakan yang ada dalam diri
mereka. Mereka berranggapan bahwa sembahyang di belakang sebarang (imam) itu
boleh saja, tidak soal apakah imam tersebut seorang saleh atau pendosa. Mereka
juga beranggapan bahwa berdoa untuk orang mati pun boleh saja, asalkan orang
itu adalah salah seorang dari mereka yang berrkiblat ke Makkah. Mereka
beranggapan bahwa ibadah Jum’at, majelis (muslim) dan perayaan-perayaan akan
mengikat tiap-tiap orang Muslim yang tidak memiliki lasan yang absah yang
berada di bawah kepemimpinan sembarang imam, tak soal apakah imam tersebut
seorang saleh atau pendosa; dan begitu juga halnya dengan peran suci dan
Pejalanan ke Tanah Suci. Mereka beranggapan bahwa kekalifahan itu benar, dan
bahwa kekalifahan itu ada hak-hak orang-orang quraisy, Mereka bersepakat
mengenai urutan-urutan : Abu Bakr; Umar, usman dan Ali. Mereka beranggapan
bahwa meniru para “sahabat” dan
orang-orang suci di masa lalu itu boleh saja, tapi mereka bungkam tentang
pertikaian yang timbul di antara mereka, tapi beranggapan bahwa ini semua sama
sekali tidak mengurangi “ bagian lebih baik” yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk
mereka.
Mereka percaya bahwa tiap-tiap orang yang diberi
kesaksian oleh Nabi bahwa dia akan masuk surga, sesungguhnya telah ada di
surga, dan bahwa oarng-orang seperti itu tidak akan dihukum di neraka. Mereka beranggapan bahwa mengangkat senjata melawan
pemerintahan itu tidak bisa dibenarkan, meskipun pemerintah itu tidak bisa
dibenarkan, meskipun pemerrintah itu telah berbuat salah. Mereka
beranggapan bahwa sudah merupakan tugas semua orang untuk berbuat baik, dan
menahan diri agar tidak berbuat jahat dengan menciptakan kebaikan, belas ksih,
kehalusan budi, kemurnian hati, kebajikan dan kelembutan dalam berbicara.
Mereka percaya pada hukuman di kubur dan pertanyaan Munkar dan Nakir. Mereka
percaya pada Perjalanan Mi’raj Nabi dan baha beliau dibawa ke langit ke tujuh,
dan dibawa ke tempat-tempat yang dikehendaki-Nya, hanya dalam satu malam,
sementara belaiu sendiri tetap jaga dengan jasadnya. Mereka menegaskan
kebenaran penglihatan (akan Tuhan) dan beranggapan bahwa hal itu merupakan
kabar gembira bagi orang-orang beriman, atau merupakan peringatan. Terakhir,
mereka mempertahankan pendapat bahwa pada waktu seseorang mati atau terbunuh,
maka hal itu merupakan pemenuhan takdir; mereka tidak setuju bahwa takdir orang
itu jatuh dengan tiba-tiba.” Tapi beranggapan bahwa kalau takdir itu datang,
maka dia datang pada waktu yang semestinya, dan tidak akan dapat diundurkan
atau dimajukan barang satu jam pun.
19.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG ANAK-ANAK
Mereka percaya bahwa anak-anak dari orang-orag beriman
ada bersama orangtua mereka di surga, tapi mengenai anak-anak dari orang-orang
gkafir mereka berselisih paham. Sebagian mengajarkan bahwa Tuhan tidak
menghukum sorang pun, kecuali orang yang benar-benar durhaka dan kafir yang
menyebabkannya gagal di pengadilan (Tuhan). Sebagian besar mereka mengembalikn
urusan-urusan mereka kepada Tuhan, karena beranggapan : terserah pda Tuhan,
apakah Dia akan menghukum atau memberi ampunan kepada mereka. Mereka setuju
bahwa mengusap sepatu itu benar. Mereka beranggapan bahwa mungkin saja Tuhan
menghidupi orang jahat. Mereka tidak setuju akan (semua) pertengkaran dan
pertikaian mengenai agama, dendam dan permusuhan mengenai takdir, karena mereka
percaya bahwa lebih baik bagi mereka dirusuhkan dalam menghadapi pengadilan
yang akan menimpa daripada memperturutkan rasa permusuhan dalam hal agama.
Mereka beranggapan bahwa pencarian pengetahuan itu
merupakan tindakan yang paling mulia, yakni pengetahuan tentang waktu yang
telah ditentukan, dan kewajiban-kewajiban lahiriah dan batiniah yang
ditetapkan. Mereka adalah orang-orang yang paling baik terhadap makhluk-makhluk
Tuhan, yang membedakan orang Arab (fasih) dari orang asing (ajam), dan yang
paling murah hati dalam memberikan milik mereka, tapi yang paling hati-hati
dalam menghindari apa yang dimiliki oleh orang-orang lain, dan yang paling
tulus dalam pengelakannya dari dunia ini, karena mereka adalah pengikut yang
paling ingin tahu mengenai Sunnah dan perbuatan-perbuatan para wali, dan yang
paling waspada dalam mengikuti mereka.
20.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEWAJIBAN-KEWAJIBAN
YANG DIBEBANKAN OLEH TUHAN KEPADA WAKIL-WAKILNYA
Mereka amengakui bahwa semua peraturan yang dibebankan
oleh Tuhan kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, dan semua kewajiban yang
ditentukan oleh Nabi (dalam hadits) bersifat mengikat bagi orang-orang dewasa
yang telah matang pemikirannya, dan bahwa peraturan dan kewajiban tersebut
tidak boleh ditinggalkan atau diabaikan dengan cara apapun oleh siapa pun,
entah dia seorang beriman yang jujur (shiddiq), seorang suci atau seorang ahli
Ma’rifat, meskipun dia mungkin telah mencapai barisan yang paling jauh, tingkat
yang paling tinggi, tempat yang paling mulia atau taraf yang paling agung.
Mereka beranggapan, tidak ada tempat bagi seseorang untuk dapat lepas dari
ketentuan-ketentuan (‘adab) hukum keagamaan, dengan mendapat izin untuk
melakukan hal-hal yang dihalalkan oleh Tuhan, atau menghalalkan hal-hal yang
diharamkan oleh Tuhan, atau lali dalam melaksanakan semua kewajiban keagamaan tanpa alasan yang sah,
yaitu alasan yang ditentukan oleh pengadilan yang disetujui oleh orang-orang
Muslim dan diakui oleh ketentun-ketentuan hukum agama. Semakin suci isi hati
seseorang, semakin tinggi tarafnya dan semakin mulia tempatnya, demikian pula,
usahanya pun semakin keras, disertai keikhlasan dan ketakwaan yang lebih besar
(pada Tuhan).
Mereka bersepakat bahwa tindakan-tindakan
itu bukan merupakan sebab dari kebahagiaan atau kedukaan, tapi kebahagiaan dan
kedukaan itu ditakdirkan dan ditentukan oleh kehendak Tuhan. Begitulah
disebutkan dalam sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar : “Inilah kitab dari Rabb seluruh alam, di dalamnya ada
nama-nama penghulu surga, beserta nama-nama orang tua dan suku-suku mereka.”
Lalu jumlahnya pun ditetapkan, dan sesudah itu tidak akan ada penambahan maupun
pengurangan sama sekali. Dengan cara yang sama,
Nabi berbicara tentang orang-orang yag menghuni neraka : “Orang yang
berbahagia dalah dia yang berbahagia sewaktu berada dalam peurt ibunya, dan
orang yang beduka adalah dia yang berduka sewaktu berada dalam perut ibunya.”
Labih jauh lagi, mereka bersepakat bahwa tindakan-tindakan itu tidak menentukan
pahala atau hukuman, tapi bahwa pahala atau hukuman
itu ditentukan oleh karunia, keadilan dan ketetapan Tuhan. Mereka
mengakui bahwa rahmat surga adalah milik orang-orang yang telah ditakdirkan
oleh Allah untuk bahagia, tanpa sebab; dan bahwa hukuman neraka adalah milik
orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk berduka, tanpa sebab pula.
Menurut hadits (qudsi) “Orang-orang ini (akan) berada di surga, dan Aku tidak
peduli; orang-orang ini (akan) berada di neraka, dan Aku tidak peduli;” Tuhan
berfirman : “Sesungguhnya telah kami sediakan bagi
penghuni neraka, banyak jin dan manusia.” Dan lagi : “Sesungguhnya, orang-orang
yang sudah lebih dahulu mendapat taufik dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka.”
Mereka mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia merupakan tanda-tanda dari
apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuknya, seperti kata Nabi : “Tindakan itu, bagi setiap orang, diperssiapkan untuk
menghadapi sesuatu yang untuknya dia dicipta. “ Al-Junaid berkata : “
Kepatuhan membawa berita-berita gembira menurut yang telah ditakdirkan oleh
Tuhan bagi orang yang patuh, dan demikian juga halnya dengan orang yang tidak
patuh.” Tokoh sufi lain berkata : “Ibadah merupakan suatu hiasan bagi bagian-bagian
lahiriah, dan kalau seseorang sudah menghiasi anggota-anggota tubuhnya, maka
Tuhan tidak akan membiarkan dia meninggalkan anggota-anggota tubuh itu tak
terisi.” Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata : “Tindakan-tindakan itu merupakan
pakaian para hamba : orang-orang yang oleh Tuhan ditempatkan jauh (dari Dia)
pada saat pembagian (takdir) akan terlepas pakaiannya, tapi orang-orang yang
oleh Tuhan didekatkan (pada-Nya) mengagumidan memegangnya erat-erat.”
Sekalipun begitu; mereka bersepakat bahwa Tuhan memberi
pahala dan hukuman untuk tindakan-tindakan itu; sebab Dia menjanjikan pahala
bagi perbuatan-perbuatan yang benar dan megancamkan hukuman bagi
perbuatan-perbuatan jahat; Dan Dia akan memenuhi janji-Nya serta mewujudkan
ancaman-Nya, sebab Dia Maha Benar dan firman-firman-Nya merupakan kebenaran.
Mereka mengatakan bahwa telah menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk
berusaha sebisanya untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan atasnya dan
melaksanakan apa yang telah dituntut darinyauntuk dilakukan, menurut yang telah
ditentukan; dan kalau dia telah sepenuhnya melaksanakan tugasnya, maka kemudian
didatangkan pdanya ilham-ilham, sesuai dengan hadis : “Jika seseorang bertindak
menurut apa yang diketahuinya, Tuhan akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang
belum dia ketahui. “Tuhan berfirman : “Kepada oang-orang yang berjuang di pihak
Kami, sunguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami.” Dan lagi : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang dapat mendekatkan kepada keridhaan-Nya dan berjihadlah
pada jalan-Nya, semoga semua beruntung.” Yahya berkata : “Jiwa dari ma’rifat tidak akan pernah mencapai hatimu,
selama masih ada kewajiban pada Tuhan yang belum kemu laksanakan.”
Al-Junaid berkata : “Tuhan akan berurusan dengan hamba-hamba-Nya pada hari
akhir dengan cara yang sama dengan ketika Dia berurusan dengan mereka pada
mulanya. Dia mulai menciptakan mereka dengan kemuliaan, memerintah mereka
dengan belas kasih dan bejanji kepda mereka dengan sikap merendahkan diri serta
memberikan kepada merreka tambahan-tambahan kemuliaan. Jika seseorang bisa
melihat kebaikan-Nya yang dahulu itu, akan mudah baginya untuk melaksanakan
perintah-Nya; dan jika dia mengikuti perintah-Nya, dia akan sampai kepada
janji-Nya; dan jika dia telah memiliki janji-Nya, tidak ada keraguan lagi bahwa
Dia akan memberinya tambahan-tambahan.” Sahl ibn Abdillah a-Tustari berkata : “Jika seseorang menutup matanya dari Tuhan walaupun hanya
sekejap, dia tidak akan dituntun selama hidupnya.”
21.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG MA’RIFAT KETUHANAN
Mereka sepakat bahwa satu-satunya
petunjuk menuju Tuhan adalah Tuhan sendiri, dengan beranggapan bahwa fungsi
akal merupakan fungsi yang dimiliki oleh manusia berakal yang membutuhkan
petunjuk; sebab akal merupakan sesuatu yang diciptakan pada suatu waktu, dan karena itu hanya bisa
menjadi petunjuk bagi segala sesuatu yang seperti dia juga. (Berlawanan dengan pandangan Mu’tazillah, yang beranggapan
bahwa Tuhan dapat dikenal dengan akal).
Seseorang bertanya pada An-nuri : “Apakah petunjuk kepada
Tuhan itu? Dia menjawwab : “”Tuhan”, yang
lain bertanya :”Lalu bagaimana dengan akal?”
An Nuri berkata : “Akal itu lemah, dan yang lemah
itu hanya bisa menunjuk pada yang lemah seperti dia juga.” Ibn-Atha
berkata : “Akal itu merupakan alat untuk mencapai
segala sesuatu yang berhubungan dengan hamba, bukan untuk mencapai Tuhan.”
Yang lain berkata : “Akal itu berkisar di
sekitar yang diciptakan (Kawn), tapi
kalau sampai pada pencipta (mukawwin), dia larut.” Al-Qahthabi berkata :
“Sesuatu yang dibentuk oleh akal akan tunduk padanya, kecuali dari sudut
pandang pendalilan; Jika saja Tuhan tidak membuat diri-Nya dikenal oleh akal
karena kebaikan-kebaikan-Nya, maka akal tidak mungkin bisa mencapai-Nya, sampai
pada pendalilan pun. Mereka mengutip puisi berikut ini, yang ditulis oleh tokoh
esar sufi :
Siapa yang mencari Tuhan, dengan akal sebagai
petunjuknya, Tuhan akan mendorongnya ke arah kebingungan yang sia-sia. Dengan
kekacauan Dia bingungkan hati nuraninya, hingga putus asa, dia berseru, “Hamba
tiada kenal Engkau.”
Seorang tokoh besar Sufi berkata : “Tak seorang pun
mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya;
Tak seorang pun
menyatakan keesaan-Nya keculai kecuali orang yang kepdanya Dia telah menyatakan
keesaan-Nya;
Tak seorang pun mempercayai-Nya kecuali orang yang
kepadanya Dia telah memperlihatkan karunia-Nya;
Tak seorang pun mengenali-Nya kecuali orang yang hati
nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri;
Tak seorang pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah
didekatkan oleh-Nya kepada-Nya.
Tak seorang pun mempersembahkan budi pada-Nya kecuali
orang yang telah dipilih sendiri oleh-Nya;
Yang dimaksud dengan “Orang yang telah dibuat-Nya
mengenal-Nya”, adalah “orang yang kepadanya Tuhan membuat diri-Nya dikenal; dan
yang dimaksud dengan “orang yang kepadanya Dia telah menyatakan keesaan-Nya”
adalah “Dia telah memperlihatkan padanya bahwa dia Esa.” Al-Junaid berkata : “Ma’rifat terdiri dari dua jenis : Ma’rifat
pengungkapan-Diri (ta’arruf) dan ma’rifat pengajaran (ta’rif).” Makna “pengungkapan Diri” adalah bahwa Dia menyebabkan mereka
mengenal-Nya, dan mengenal benda-benda lewat Dia, atau dalam kata-kata Ibrahim,
“Aku tidak suka akan sesuatu yang dapat terbenam.” Sedang makna “Pengajaran” adalah bahwa Dia memperlihatkan pada
mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di dalam diri mereka sendiri,
dan kemudian menanamkan dalam diri mereka sebuah karunia khusus (luthf),
sehingga benda-benda (material) itu menunjukkan adangan Sang Pembuat. Inilah
Ma’rifat yang bisa dicapai oleh orang-orang yang beriman pada umumnya,
sedangkan yang disebut pertama tadi adalah ma’rifat yang hanya bisa dicapai
oleh orang-orang terpilih; dan pada hakikatnya tak seorang pun bisa mengenal
Dia, kecuali lewat Tuhan. Maka Muhammad ibn Wasi’ berkata : “Aku tak pernah
melihat sebuah benda pun, tanpa melihat Tuhan di dalamnya.” Seorang tokoh Sufi
lain berkata : “Aku tak pernah melihat sebuah benda pun, tanpa melihat Tuhan di
dalamnya.” Ibn ‘Atha berkata : “Tuhan telah mengungkapkan diri-Nya pada orang-orang
awam lewat ciptaan-Nya, sebab Dia berfirman : “Apakah mereka tidak
memperhatikan bagaimana unta itu diciptakan?.” Pada orang-orang terpilih Dia
telah mengungkapkan diri-Nya lewat firman dan sifat-sifat-Nya, sebab Firman-Nya
: “Tidakkah mereka teliti al-Qur’an?.” Dan “Dan Kami wahyukan dalam al-Qur’an
penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin.” Allah mempunyai asma’ilhusna,
nama-nama yang Agung.” Kepada pra Nabi Dia telah mengungkapkan diri-Nya lewat
diri-Nya sendiri, sebab Dia berfirman : “Begitulah peintah-Kami, dikirmkanlah
suatu Utusan Wahyu kepada engkau.” Dan lagi : “Tidakkah engkau perhatikan
kekuasaan Tuhanmu, bgaimana Dia memperpanjang atau memperpendek bayang-bayang.”
Salah sorang ahli ma’rifat mengubah puisi :
Kini jangan lagi berdiri di antara Kebenaran dan
Aku
Atau petunukk akliah
Atau bukti, atau wahyu
Kini, maju dengan benderang bintang Kebenaran itu
Telah hilang dari pandang
Berkelip, sengan sinar tak lagi terang
Hanya Dia mengenal Tuhan, padanya Tuhan
memperlihatkan
Diri-Nya akankah yang kekal
Sebagai yang fana dikenal?
Bukan dalam karyanya Tuhan dikenal..
Dapatkah kala yang tak berbatas dikurung
Dalam satu kejadian yang kebetulan?
Dari Dia, melalui Diam milik-Nya, satu kebenaran
Ilahi
Satu pengetahuan terbukti dan kuat
Telah membuat hati kami menatap
Ini telah ku buktikan, kini ku nyatakan
Inilah imanku yang takkan pupus;
Dan inilah bahagianku yang tak kan hapus;
Tiada Tuhan selain Allah, tiada seteru-Nya memiliki
Keagungan-Nya yang tak bertara
Keunggulan-Nya yang menjadi hak-Nya.
Kala manusia bisa berdua dengan Tuhan, dan tahu
Innilah ungkapan lidah mereka,
Dan ini pengakuan hati mereka.
Ekstase dan kegembiran ini menjalin kawan dengan
lawan
Dala persaudaraan jelata,
Kerja demi kebaikan semua.
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Tuhan membuat kita mengenal diri-Nya lewat Dia sendiri, dan
menuntuk kita kepada pengetahuan tentag diri-Nya lewat diri-Nya
sendiri,sehingga penyaksian ma’rifat muncul dari ma’rifat lewat ma’rifat
setelah dia yang memilik ma’rifat diajari tentang ma’rifat oleh Dia yang
merupakan obyek ma’rifat. Ini berarti ma’rifat itu tidak ada
penyebabnya, yang terjadi hanyalah baha Tuhan mengajarkan ma’rifat kepada ahli
ma’rifat, dengan demikian menjadikannya mengenal-Nya. Salah seorang syeikh
berkata : “Segenap pengejawantahan obyek material (Mukawwanat) bisa dikenal
dengan akal yang menyibaknya. Tuhan itu terlalu besar
untuk bisa disibak oleh akal. Dia
sendiri mengajarkan kepada kita bahwa Dialah Tuhan kita dengan berfirman :
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Dan bukanya, “Siapa Aku ini? Dengan begitu memberi
peluang bagi akal untuk menyibak-Nya. Inilah saatnya ketika Dia muncul pertama
kali sebagai guru mereka. Oleh sebab itu Dia tidak tergantung pada akal dan
jauh lebih mulia dari segala pencerapan (persepsi).
Mereka mengakui. Tidak ada orang yang mengenal Tuhan
kecuali orang yang berakal, sebab akal itu merupakan satu alat yang bisa
membuat manusia mengetahui apa saja yang bisa diketahuinya. Sekalipun begitu,
akal tidak bisa mengetahui Tuhan dengan sendirinya. Abu Bakr as-Sabbak berkata
: “Ketika Tuhan menciptakan akal, Dia bertanya,
Siapakah Aku ini?, maka akal itu bungkam. Karena itu, Dia mengolisnya dengan
cahaya keesaan (Wahdaniyyah). Akal pun membuka matanya seraya berkata :
“Engkaula Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau.” Dengan begitu, akal tidak memiliki
kemampuan untuk mengenal Tuhan, kecuali lewat perantara Dia.
22.
PERSELISIHAN KAUM SUFI TENTANG SIFAT MA’RIFAT
Mereka berselisih paham mengenai sifat ma’rifat itu
sendiri. Al-Jaunaid berkata : “Ma’rifat merupakan perwujudan kebodohanmu pada
saat ilmu-Nya tiba.” Seseorang yang berdiri di dekatnya berkata : “Ceritakan
pada kami lebih banyak.” Dia pun melanjutkan : “Dia adalah obyek, sekaligus
subyek ma’rifat. (Tuhan itu ‘arif dan ma’ruf).
Yang dimaksudkannya adalah. “Engkau tidak tahu tentang Dia dalam aspek
kekamuanmu, dan baru bisa mencapai ma’rifat-Nya lewat aspek ke-Dia-an itu. (Sesuatu hal yang biasa di lingkungan Sufi : “Engkau”
menisyaratkan yang banyak, sedang “Dia” menunjukan bahwa segala sesuatu “yang
lain” tertelan dalam diri Tuhan), Sesuai dengan ujar-ujar Sahl :
“Ma’rifat adalah ma’rifat dari kebodohan itu”. Sahl juga berujar : “Ilmu itu
ditetapkan oleh ma’rifat dan akal ditentukan oleh ilmu, tapi ma’rifat
ditentukan oleh esesninya sendiri.” Artinya, kalau Tuhan menyebabkan seseorang
memiliki ma’rifat akan diri-Nya sendiri, sehingga dia mengenal Tuhan lewat
pengungkapan diri-Nya sendiri kepadanya, berarti Dia menemparkan pengetahuan
dalam diri orang tersebut. Karenanya, dia mendapatkan pengetahuan lewat
ma’rifat, dan dalam dirinya akal bekerja mengolah pengetahuan yang diberikan
oleh Tuhan kepadanya. Seorang tokoh Sufi lain berkata : “Pengetahuan tentang
aspek lahir benda-benda adlah ilmu, dan pengetahuan tentang aspek batin
benda-benda adalah ma’rifat.” Yang lain berkata : “Tuhan telah membuat ilmu
bisa diperoleh secara bebas oleh orang-orang beriman, tapi Dia menyimpan
ma’rifat hanya untuk wali-wali-Nya.” Abu Bakr al-Warraq berkata : “Ma’rifat
adalam ma’rifat tentang bentuk-bentuk dan nama-nama benda sedang ilmu adalah
ilmu tentang realitas benda-bnda. Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Ma’rifat
tentang Tuhan adalah ilmu tentang pencarian Tuhan sebelum pengalaman aktual
tentang Dia; sedang ilmu tentang Tuhan, setelah adanya pengalaman itu. Oleh
sebab itu, ilmu tentang Tuhan lebih rahasia dan lebih pelik daripada ma’rifat
tentang Tuhan.” Faris berkata : “Ma’rifat menyerap (ahli ma’rifat) dalam esensi
obyek ma’rifat itu.” Tokoh Sufi lain berkata : “Ma’rifat mengambil bentuk
pandangan rendah terhadap semua nilai kecuali nilai-nilai Tuhan.” Seseorang
bertanya pada Dzun Nun : “Dengan cara apa engkau mendapat ma’rifat Tuhanmu?”
Dia menjawab : “Jika aku berkeinginan untuk membangkang, lalu mengingat
kebesaran Tuhan, aku merasa malu pada-Nya.” Artinya, dia menganggap kesadarannya
akan kedekatan Tuhan sebagai suatu bukti ma’rifat Tuhan. Seseorang berkata pada
Ulayyan : “Bagaimana hubunganmu dengan Tuhan? Dia menjawab : “Aku tak pernah
berpaling dari-Nya sejak aku mengenal-Nya.” Yang lain bertanya : “Sejak kapan
engkau mengenal-Nya?” Dia menjawab : “Sejak saat mereka menganggapku gila
(majnun).” Dengan demikian dia menganggap penghormatannya kepada kekuasaan
Tuhan sebagai bukti dari ma’rifat ke-Tuhanannya. Sahl berkata : “Maha suci
Tuhan, yang ma’rifat ke-Tuhana-nya tidak dapat dicapai oleh manusia kecuali
pengetahuan bahwa mereka tidak mampu mengenal-Nya.
23.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG RUH
Al-Junaid berkata : Ruh adalah sesuatu yang
diketahui hanya oleh Tuhan, dan tak satu
makhluk pun mengetahuinya. Oleh sebab itu, ruh tidak dapat diungkap dengan cara
lain kecuali sebagai sesuatu yang maujud. Tuhan berfirman : “Kataakanlah, Ruh
itu urusan Rabbku.” Abu Abdillah an-Nibaji berkata : “Ruh adalah sesuatu yang
terlalu halus untuk dilihat, dan terlalu besar untuk disentuh, tidak dapat diungkapkan
dengan cara lain kecuali bahwa dia maujud.” Ibn ‘Atha berkata : “Tuhan
menciptakan ruh sebelum jasad, sebab Dia berfirman, “Dan Kami menciptakanmu,”
yaitu ruh, lalu kami bentuk kamu,” yaitu jasad.” Tokoh Sufi lain berkata : “Ruh
adalah suatu (esensi) yang halus yang maujud dalam suatu (jasad) kasar, seperti
juga penglihatan yang merupakan esensi halus yang maujud dalam (jasad) kasar,”
Sebagian besar mereka mengakui bahwa ruh ialah obyek,
yang karenanya jasad hidup. Seorang tokoh Sufi berkata : “Ruh merupakan
seberkas cahaya, nafas semerbak (ruh), yang lewatnya kehidupan berlangsung.
Sedang Jiwa (nafs) merupakan sebuah angin panas, yang lewatnya nafsu timbul.”
Al-Qahtabi berkata : Tuh tidak pernah dimasukan di
bawah perendahan oleh kata “Jadilah” --- inilah jawaban atas pertanyaan, apakah
ruh itu? Oleh sebab itu, dalam pandangannya, satu-satunya fungsi
ruh adalah untuk membuat kehidupan, dan
berada dalam keadaan hidup, seperti juga menghasilkan kehidupan, adalah sifat
Tuhan, sebagaimana membentuk dan mencipta adalah sifat Sang Pencipta.
Pandangannya ini didasarkannya atas firman Tuhan : “Katakanlah, ruh itu ada di
bawah perintah Tuhanmu.” Mereka menafsirkan kata “Perintah” di sini sebagai
firman Tuhan, dan firman Tuhan itu tidak dicipta. Tapi, ini sama saja dengan
menyatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki kehidupan hanya bisa hidup lewat
firman Tuhan “Hiduplah”, sehingga ruh dalam hal itu sama sekali tidak merupakan
sesuatu (yang maujud) dalam tubuh.
24.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PARA MALAIKAT DAN RASUL
Sebagian besar tokoh Sufi menahan diri agar tidak
melibatkan diri dengan pertanyaan apakah para Rasul lebih dipentingkan
ketimbang pra malaikat, atau sebaliknya, dengan mengatakan bahwa keunggulan
dimiliki oleh mereka yang lebih dipentingkan oleh Tuhan, dan bahwa masalah ini
bukan merupakan masalah esensi, bukan pula masalah tindakan. Tapi, beberapa
orang mengatakan bahwa para malaikat lebih dipentingkan ketimbang para Nabi,
dan beberapa orang yang lain mengatakan bahwa para Nabi lebih dipentingkan ketimbang
para malaikat. Muhammad ibn al-Fadhl berkata : “Malaikat sebagai suatu
keseluruhan lebih baik ketimbang orang beriman sebagai suatu keseluruhan, tapi
ada beberapa orang beiman tertentu yang lebih baik daripada malaikat.” Artinya,
menurut mereka, para Nabi itulah yang lebih baik.
Mereka mengakui bahwa beberapa rasul tertentu lebih baik
daripada yang selebihnya, dengan menafsir firman Tuhan : “Sesungguhnya kami
telah memberikan keutamaan kepada beberapa Nabi lebih dari sebagai yang lain.”
Tapi mereka menolak untuk menrinci sipa di antara mereka yang lebih disukai dan
siapa yang kurang disukai, dengan begitu, hal ini sejalan dengan sanda Nabi :
“Jangan memilih-milih di antara nabi-nabi itu.” Sekalipun begitu, mereka
menetapkan, sebagai sebuah prinsip, bahwa Muhammad adalah yang paling baik di
antara semua nabi, dengan berdasarkansabda beliau : “Akulah penghulu seluru
puyra Adam, bukannya takabur. Adam dan semua yang hidup sesudahnya berada di
bawah panji-panjiku.” Serta sabda-sabda beliau yang lain, juga pada firman
Tuhan : “Kamu adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia.”
Karena mereka adalah umat yang paling baik, sedangkan mereka adalah mereka umat
beliau, maka hal ini berarti bahwa nabi mereka adalah nabi yang terbaik – bukti
ini, dan bukti-bukti lain keunggulan beliau, bisa ditemukan dalam Al-Qur’an.
Mereka semua mengakui bahwa para nabi itu lebih baik dari
manusia baisa, dan bahwa tidak ada orang yang dapat menyaingi kebaikan para
nabi, entah dia orang yang benar-benar beriman, wali atau yang lain, betapa pun
besar kekuasaannya dan hebat kedudukannya. Nabi berssabda kepada Ali : “Dua
orang ini adalah penghulu para sesepuh penghuni surga, yang hidup terdahulu
maupun tekemudian, kecuali para nabi dan rasul.” Dengan menunjukan kata-kata
ini kepada Abu Bakr dan Umar, dan mengisyaratkan bahwa mereka adalah
manusia-manusia terbaik setelah para nabi. Abu Yazid al-Bistami berkata :
“Taraf akhir orang mukmin sejati adalah taraf awal nabi, dan taraf akhir nabi
tidak memiliki batas.” Sahl ibn Abdillah
berkata : “Tujuan-tujuan para ahli ma’rifat hanya sampai pada selubung, dan
disana mereka berhenti dengan pandangan ke bawah, lalu izin diberikan kepda
mereka dan mereka mengucap salam, mereka pun diberi pakaian jubah berkekuatan
ketuhanan, dan diajuhkan dari kesalahan. Sedang tujuan-tujuan yang dicapai para
nabi adalah berkeliling di seputar singgasana dan diberi pakaian cahaya, nilai
mereka dimuliakan, dan mereka digabungkan denga
Yang Maha Besar, dan dibuat-Nya ambisi pribadi mereka mati, dan
dilepaskan-Nya mereka dari nafsu, dan dijadikan-Nya mereka hanya berurusan
dengan Dia dan demi Dia,” Abu Yazid berkata : “Jika satu zarah saja dari diri
nabi mengejawantah dalam penciptaan, maka tiada sesuatu pun yang berada di
bawah Singgasana akan bisa menanggungnya.” Dia juga berkata : “Ma’rifat dan
pengetahuan manusia itu, kalau dibandingkan dengan ma’rifat dan pengetahuan
Nabi, adalah bagaikan setets embun yang menetes dari pucuk kantung air kulit.”
Salah seorang dari mereka berkata : “Tak satu nabi pun mencapai kesempurnaan
kesetujuan (taslim) dan kepasrahan (tafwid), kecuali Yang Terkasih dan Sang
Karib. Dengan alasan ini, tokoh-tokoh besar Sufi tak berharap bisa mencapai
kesempurnaan, meski mereka dalam keadaan dekat (dengan Tuhan) dan telah mengalami
perenungan yang sejati. Abu’l Abbas dan Ibn Atha berkata : “Taraf yang paling
rendah dari para rasul adalah yang paling tinggi dari para nabi, dan taraf
paling rendah dari para nabi adalah yang paling tinggi dari orang-orang mukmin
sejati, dan taraf yang paling rendah dari orang-orang yng benar-benar beriman
adalah yang paling tinggi dari para syuhada, dan taraf paling rendah dari para
syuhada adalah yang paling tinggi dari orang-orang takwa, dan taraf paling
rendah dari orang-orang takwa adalah yang paling tinggi dari orang-orang yang
beriman.
25.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KESALAHAN-KESALAHAN
PARA NABI
Al-Junaid, an-Nuri dan tokoh-tokoh besar Sufi lainnya
beranggapan bahwa apa-pun yang terjadi atas para nabi hanya mempengaruhi mereka
secara lahiriah saja, dan bahwa hati nurani mereka terserap oleh perenungan
akan Tuhan. Mereka menyitir firman Tuhan untuk menunjang pandangan ini :
“Tetapi dia lupa, dan tidak mempunyai cara berpikir yang kuat.” Mereka
mengatakan bahwa segenap tindakan tidak akan paripurna kecuali yang didahului
oleh ketetapan hati dan niat, dan bahwa segala sesuatu yang tidak didahului
dengan ketetapan hati dan niat, berarti bukan suatu perbuatan. Tuhan menyangkal
hal ini dalam kasus Adam ketika Dia berfirman, “Tapi dia lupa dan tidak mempunyai
cara berpikir yang kuat.” Ketika Tuhan mencal mereka karena hal-hal tersebut,
hal itu dilakukan-Nya hanya demi memberi tanda bagi orang-orang lain, agar
mereka tahu bahwa jika mereka tidak patuh (pada Tuha), mereka masih
berkesempatan untuk mencari ampunan Tuhan. Tapi tokoh-tokoh Sufi lain mengakui
kesalahan-kesalahan (para nabi) ini. Meski demikian, mereka menjelsakan bahwa
kesalahan-kesalahan tersebut merupakah kekhilafan-kekhilafan yang muncul dari
penafsiran yang salah : mereka ditegus karena taraf mereka yang tinggi dan
tempat mereka yang mulia, dan hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi yang
lain-lain dan peringatan agar para nabi itu melestarikan keunggulan mereka atas
orang-orang lain. Beberpa tokoh Sufi mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan
mereka mestinya dianggap sebagai contoh-contoh kealpaan dan kelalaian, dan
mereka menjelssakan bahwa para nabi itu alpa pada hal-hal yang “rendah” karena
“(mereka keasyikan) dengan hal-hal yang tinggi. Begitulah penjelasan yang
mereka berikan sehubungan dengan kejadian nabi alpa bersembahyang – bahwa dia
assyik dengan sesuatu yang lebih besar dari sekedar bersembahyang; sebab
bukanlah beliau bersabda : “Kesenanganku adalah dalam bersembahyang.” Dengan
kata-kata itu beliau memberi tahu kita bahwa ada sesuatu dalam sembahyang yang
menyenangkannya. Beliau tidak mengatakan: “Aku telah menjadikan sembahyang
kesenanganku”. Tapi orang-orang menegaskan bahwa para nabi dapat melakukan
kesalahan dan kelalaian menganggap kesalahan dan kelalaian itu hanya sebagai
dosa-dosa kecil yang dengan mudah dapat dihilangkan dengan tobat. Maka Tuhan
berfirman, ketia Dia menuturkan perkataan Adam dan Istrinya : “Wahai Tuhan
kami, kami telah mengaiaya diri kami sendiri.” Dan lagi : “Kemudian Tuhan
memilihnya, menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” Sedangkan mengenai Daud
Dia berfirman : “Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya. Lalu dia meminta
ampun kepada Tuhannya ssambil menyungkur sujud dan bertaubat.”
26.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG KEKUATAN GAIB
(KARAMAH) PARA WALI
Mereka bersepakat dalam mengakui kekuatan-kekuatan gaib
para wali, meski sejauh mengakui keajaiban seperti berjalan di atas air,
bebicara dengan binatang, pergi dari satu tempat atau disaat lain daripada saat
dan tempatnya berada. Semua contoh mengenai hal ini tercatata sebagaimana
mestinya di dalam kisah-kisah dan hadis-hadis, dan juga dibicarakan dalam kitab
suci. Misalnya cerita mengenai “orang yang memiliki pengetahuan mengenai
al-Kitab.” Yang mengatakan : “Saku sanggup membawanya kepadamu dalam sekejap
mata!.” Dan cerita mengenai Maryam, ketika Zakaria berkata kepadanya : “Hai
Maryam! Dari mana engkau mendapatkan makanan ini? Maryam menjawab : “Dari
Allah.” Juga cerita mengenai dua orang yang berada bersama Nabi. Kemudian
pergi, lalu cambuk yang mereka bawa bersinar. Hal yang semacam itu bisa terjadi
pada msa Nabi maupun pada masa-masa lain. Karena kekuata-kekuatan gaib itu
diberikan pada masa Nabi untuk menguji kebenaran (pernyataannya), maka, dengan
alasan yang sama, kekuatan-kekutan gaib tersebutbisa juga terjadi pada
masa-masa lain. Setelah wafatnya Nabi, hal ini terjadi pada Umar ibn Khattab,
ketika dia memanggil Sariyah dan berkata : “Wahai Sariyah ibn Hisn, Gunung itu!
Gunung it!, Umar pada waktu itu sedang berkhutbah di mimbar dan Sariyah sedang
mengahdapi musuh yang jauhnya sebulan perjalanan dari sana. Cerita ini terbukti
benar. Orang-orang yang menyangkal pendapat ini beralasan bahwa, jika demikian,
hal itu mengisyaratkan penghinaan terhadap fungsi nabi, sebab seorang nabi
dibedakan dengan orang lain hanya oleh adanya fakta bahwa di mampu mendatangkan
mukjizat yang membuktikan kebenaran sabda-sabdanya, yang tidak bisa dilakukan
oleh orang-orang lain. Oleh karena itu, jika kemampuan tersebut muncul dari
diri orang lain, maka yang nabi dan yang bukan nabi tidak akan ada bedanya
lagi; atau, bukti kebenaran sabda-sabda nabi tidak akan ada lagi. Lebih-lebih,
hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat membedakan seorang nabi
dengan yang bukan nabi. Tapi Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Seorang nabi itu
menjadi nabi bukan dikarenakan oleh mukjizatnya, melainkan karena Tuhan
mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Jika Tuhan telah mengutus seseorang,
dan memberi wahyu kepadanya, maka jadilah dia nabi, tak soal apakah dia
memiliki kekuatan-kekuatan gaib atau tidak. Dan, adalah merupakan suatu
kewajiban untuk menerima pengakuan seorang Rasul, sekalipun dia tidak melihat
mukjizat yang mendahului kedatangannya; sebab tujuan mukjizat yang sesungguhnya
dalah memberi bukti-bukti yang tak terbantahkan oleh orang-orang yang
menyangkal dan mengguatkan ancaman hukuman atas orang-orang yang keras kepala.”
Alasan untuk menerima pernyataan seorang nabi adalah karena dia memanggil
orang-orang agar mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri sebagai
suatu kewajiban, yaitu pengakuan atas keesaan-Nya, sekaligus sangkalan atas
pernyataan bahwa Dia bersekutu, dan pelaksanaan semua yang oleh akal tidak
dinyatakan mustahi, melainkan justru waib atau dibolehkan. Kenyataannya, ada
dua macam hal yang tersangkut di sini, yaitu nabi (sejati) dan nabi palsu. Nabi
itullah yang benar, sedang nabi palsu itu salah; Tapi, dalam penampilan dan
pembicaraan mereka (seolah-olah) sama.
Mereka mengakui bahwa Tuhan memberi nabi sejati, kekuatan
sebuah mukjizat, sedangkan nabi yang ssalah tidak memiliki kemampuan seperti
nabi yang benar itu, sebab hal itu akan mengisyaratkan bahwa Tuhan tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah. Sedangkan mengenai wali sejati,
tapi bukan nabi, dia tidak membuat pernyataan bahwa dia seorang nabi, atau
penyataan lain yang palsdu atau tidak benar, dia hanya mengajak orang untuk
menerima kebenaran atau yang benar. Jika Tuhan memberi suatu suatu kekuatan
gaib (karamah) kepadanya, hal ini sama sekali tidak menjadikan ragu kedudukan
nabi; sebab, orang yang benar itu sesuai dengan nabi, baik dalam perkataan
maupun perbuatan, dan penampilan kekuatan gaib oleh dia itu malah untuk
memperkuat nabi dan mengejawantahkan pernyataannya, menguatkan bukti
kenabiannya dan haknya agar perbuatan dan pernyataannya sebagi nabi diterima,
dan juga menegaskan prinsip bahwa Tuhan itu Esa.
Beberapa tokoh Sufi mempertahankan pendapat mereka bahwa
mungkin saja Tuhan akan membuat musuh-musuh-Nya bisa memiliki – yaitu dengan
cara yang sebegitu rupa, sehingga tidak menimbulkan keraguan (dalam diri orang
lain) beberpa kekuatan tertentu, dengan maksud menyeeret meraka pelan-pelan
menuju kehancura. Kekuatan-keuatan itu kemudian mendatangkan kesombongan dan
kecongkakan dala jiwa mereka, dan mereka membayangkan bahwa kekuatan-kekuatan
itu merupakan kekuatan gaib yang pantas mereka terima karena tindakan-tindakan
mereka dan merupakan hak mereka dikarenakan perbuatan-perbuatan mereka; mereka
membual mengenai tindakan-tindakan mereka, menganggap diri mereka lebih unggul
dibanding orang-orang lain; mereka memandang rendah hamba-hamba Tuhan dan
bersikap sangat angkuh terhadap mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang
direncanakan oleh Tuhan atas diri mereka. Tapi mengenai para wali, kalau
anugerah gaib diberikan oleh Tuhan kepada mereka, mereka justru merasa semakin
takut dan semakin merasa hina di hadapan Tuhan, dan mereka semakin menghina
diri mereka sendiri sehingga dengan mudah mengakui kekuasaan Tuhan atas diri
mereka; dan ini menambah kekuatan dan kemampuan mereka untuk melaksanakan
tugas-tugas yang berat, dan mempertebal rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas
semua yang telah Dia berikan kepadanya.
Jadi para nabi itu diberi mukjizat-mukjizat,
orang-orang suci diberi kekuatan-kekuatan gaib, dan musuh-musuh (Tuhan) diberi
tipuan-tipuan. Seoang tokoh Sufi berkaa : “Kekuatan-kekuatan gaib yang diberikan kepada
orang-orang suci tidak mereka ketahui dari mana datangnya; sedangkan para nabi
tahu darimana (asal)nya mukjizat-mukjizat mereka, dan perkataan-perkataan
mereka menegaskan mengenai mukjizat-mukjizat tersebut. Perbedaan ini
dikarenakan adanya kenyataan bahwa, bahwa para wali, ada bahaya bahwa mereka
jadi tergoda (oleh kekuatan-kekuatan
gaib mereka), sebab mereka tidak dijaga Tuhan sedang kan para nabi, karena
mereka tahu bahwa mereka berada di bawah lindungan Tuhan, bahaya itu tidak
muncul.
(Mereka menjelaskan perbedaan antara kekuatan gaib dan
mukjizat sebagai berikut). Kekuatan gaib para wali merupakan jawaban bagi doa,
atau penyempurnaan dari keadaan kejiwaan, atau jaminan atas kekuatan untuk
melaksanakan sesuatu tindakan, atau pemberian alat untuk dignakan sebagai mata
pencaharian, dalam cara yang di luar kebiasaan; sedangkan mukjizat yang
diberikan kepada para nabi itu merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu
dari sesuatu yang tidak ada, atau mengubah sifat yang esensial dari sebuah
obyek.
Beberapa ahli ilmu kalam dan tokoh Sufi mengakui bahwa
mukjizat-mukjizat ini bisa jadi diberikan kepada orang-orang yang slah, dengan
cara yang tidak mereka ketahui pada saat mereka mengaku memiliki
mukjizat-mukjizat tersebut, tapi sikap mereka sama sekali tidak menimbulkan
keraguan. Contoh-contoh hal ini adalah; kisah mengenai Sungai Nil yang mengalir
ketika Fir’aun menyuruhnya mengalir; dan kisah mengenai Dajjal, seperti yang
diceritakan oleh Muhammad saw. yang akan membunuh seseorang kemudian, sebagai
yang beliau gambarkan, akan menghidupkannya kembali. Mereka menjelaskan kedua
masalah ini dengan menyatakan bahwa masing-masing mengkau memiliki sesuatu yang
sama sekali tidak menimbulkan keraguan, sebab siffat-sifat mereka yang
sesungguhnya memiliki bukti yang cukup dari kepalsuan pernyataan bahwa mereka
memiliki kekuatan-kekuatan Tuhan (rububiyah).
Mereka berselisih paham mengenai kemungkinan bagi wali
untuk mengetahui bahwa dirinya seorang wali. Seorang tokoh Sufi berkata : “Hal
ini tidak mungkin, sebab pengethuan semacam itu akan menghapuskan ketakutannya
akan masalah itu dan dengan begitu mengisyaratkan rasa aman (amn). Padahal
isyarat rasa man itu berarti hapusnya kehambaan,Sebab hamba (tuhan) itu berada
di antara ketakuan dan harapan, Tuhan berffirman : “Mereka berdoa kepda Kami
dengan perasaan harap-harap cemas.” Tapi tokoh terbesar dan terpenting Sufi
mempertahankan pendapatnya bahwa mungkin saja bagi wali itu untuk menyadari
kewaliannya; sebab kewalian itu merupakan karunia (karamah) dan Tuhan untuk
menusai; dan manusia diizinkan untuk menyadari kerunia dan kemurahn Tuhan,
sebab dengan begitu hatinya akan tersentuh dan lebih bersyukur.
Ada dua jenis kewalian. Yang pertama adalah semata-mata
terjauhkannya seseorang dari permusuhan, dan dalam hal ini berlaku umum bagi
semua orang beriman; tidak perlu orang itu menyadarinya, atau mengetahuinya,
sebab hal itu hanya dimaksudkan dalam arti umum, sebagaimana dinyatakan dalam
kalimat ini, “Orang yang beriman adalah karib (wali) Tuhan.” Yang kedua adalah
kewalian orang-orang yang khusus dipilih, dan hal ini perlu disadari dan
diketahui oleh orang itu. Kalau seseorang memiliki kwajlian ini, maka ia dijaga
agar tidak berbangga diri dan, karena itu, dia tidak jatuh dalam kecongkakan;
dia dijauhkan dari orang –orang lain, yaitu dalam arti ikut menikmati
kesenangan dari kebanggan mereka, dan karenanya mereka tidak bisa menggodanya.
Dia dihindarkan dari kesalahan-kesalahan yang telah menjadi sifat manusia,
meskipun sebutan sebagai manusia biasa tetap melekat dalam diri mereka; karena
itu, dia tidak ikut menikmati kesenangan nafsunya, dalam cara yang begitu rupa,
seperti kalau dia asyik-masyuk di dalam agamanya, meskipun kesenangan alamiah tetap dinikmatinya. Ini semua merupakan
sifat-sifat khusus dari kekariban Tuhan (wilayah) dengan manusia, dan jika
seseoang memiliki sifat-sifat ini, maka musuh itu tidak akan mampu mencapainya
dan membawanya ke dalam kesesatan; sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya, hamba-hamba
Ku, tidak ada kemampuanmu untuk menyesatkan mereka. Sekalipun begitu, dia tidak
dijaga oleh Tuhan dari melakukan dosa-dosa yang lebih kecil maupun yang lebih
besar; tapi jika jatuh ke dalam salah satunya, maka tobat yang tulus sudah
tersedia dekat kepadanya. Tapi, Nabi dijaga oleh Tuhan; semuanya mengakui bahwa
tidak ada dosa besar yang bisa menghinggapinya, sementara sebagian orang lain
bahkan beranggapan bahwa hal itu berlaku pula untuk dosa-dosa kecil.
Lebih-lebih, dalam dirinya, rasa takut akan masalah itu jelas sudah terlewatkan
tanpa ada penghalang. Nabi memberi tahu para sahabat bahwa mereka adalah para
penghuni surga, da mengenai sepuluh orang di antara mereka, diberi kesaksian
bahwa mereka akan dimasukan ke dalam surga; yang mengisahkan hadits ini adalah
Sa’id ib Zaid, dan dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang tersebut.
Jadi, kesaksian Nabi itu harus diterima dengan persetujuan bulat, kemantapan
dan kepercayaan; dan ini jelasa mengisyaratkan kemanan dari peraliha, dan
hapusnya rasa takut akan perubahan. Toh, masihh ada kisah-kisah termasyhur yang
diceritakan untuk menggambarkan rasa takut yang encekam orang-orang ini (yang
telah diberi tempat di surga), atas kesaksian nabi. Abu Bakr berkata :
“Kalau-kalau aku menjadi seperti sebuah korma yang dicucuki burung-burung.”
Umar berkata : “Kalau-kalau kau menjadi jerami begini. Kalau-kalau aku menjadi
bukan apa-apa.” Abu Ubaidah berkata : “Kalau saja aku bsia menjadi seekor
biri-biri, dan pemilik-ku akan menjadikan aku korban dan memakan dagingku serta
meneguk kaldu dagingku.” A’isyah berkata : “ Kalau-kalau aku menajdi selembar
daun dari pohon ini.” Padahal wanita itulah yang diberi kesaksian bahwa wanita
ini adalah istri nabi di dunai Kini dan dunia nanti.” Perasaan-perasaan itu
mengusik hati mereka, karena mereka takut jangan-jangan mereka menanggung dosa
karena tindakan-tindakan mereka yag menentang (Tuhan), tidak mencermin
penghormatan kepada Tuhan dan kepada kekuasaan-Nya; sebab, mereka memiliki rasa
hormat kepada Tuhan yang begitu besar sehingga mereka tidak mungkin
menentang-Nya, sekalipun mereka tidak akan dihukum oleh-Nya. Maka Umar berkata
: “Alangkah baiknya orang seperti Suhaib itu! Dia tidak akan ingkar dari Tuhan,
sekalipun jika dia tidak takut kepada-Nya.” Yang dia maksudkan adalah “ Suhaib
tidak ingkar dari Tuhan bukan karena dia takut akan akibat-akibatnya, tapi
karena dia takzim kepada Tuhan dan menghormati kekuasaan-Nya, serta malu kana
Dia, Jadi, rasa takut dari orang-orang yang perkataan-perkataannya telah kami
kutip itu, bukanlah rasa takut akan peralihhan dan perubahan; sebab, rasa takut
akan kedua hal itu, pada saat Nabi telah membuat kesaksian, akan mengisyaratkan
keraguan atas penuturan Nabi, dan itu berarti kekafiran; rasa takut itu pun
bukanlah rasa takut akan hukuman neraka, tanpa mereka harus ada di sana
selamanya, sebab mereka telah tahu bahwa mereka tidak akan dihukum dengan
neraka karena perbuatan-perbuatan mereka. Sebab, sekalipun mereka melakukan
dosa-dosa kecil, dosa-dosa tersebut akan diampuni karena mereka menjauh dari
dosa-dosa besar , atau dikarenakan penderitaan yang mereka alam selama berada
di dunia. Abdullah ibn Umar menuturkan bahwa Abu Bakr al-Siddiq berkata : “Aku
sedang berada bersama Rasulullah ketika ayat yang berikut ini diturunkan :
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, tentu akan diberi pembalasan yang setimpal
dengan kejahatan itu. Nabi berkata : “Tidakkah engkau sebaiknya ku suruh
menyitir ayat yang baru saja diturunkan kepadaku itu?” Aku mebjawab : “Tentu
saja, Wahai Rasul Allah!. Maka beliau menyuruhku menyitir ayat itu; dan aku
tidak tahu apa yag menimpaku, tapi aku merasa seakan-akan punggungku patah, dan
aku meregangkan badanku. Melihat itu Nabi bertanya : “Apa yang membuat mu
sakit, Abu Bakr? Aku menjawab : “Wahai Rasul Allah! Aku memohon kepdamu demi
bapak dan ibuku, adakah di antara kita yang belum pernah melakukan kejahatan?
Sesungguhnya kita diberi balasan untuk semua perbuatan kita>’ Nabi menyahut
L “Untuk engkau, Abu Bakr, dan untuk orang-orang beriman, mereka akan diberi
balasan untuk semua perbuatan mereka di dunia ini, sehingga engkau akan bertemu
dengan Tuhan tanpa tanggungan dosa, tapi, untuk yang selebihnya. Tuhan akan
mengumpulkan balasan untuk mereka itu, dan mereka akan diberi balasan itu nanti
pada Hari Kebangkitan.” Atau, jika mereka melakukan dosa-dosa besar , maka
tobat akan segera menghapuskannya, dan kesaksian Nabi mengenai surga akan
terpenuhi untuk mereka; sebab, hais ini secara jelas menyatakan bahwa Abu Bakr
akan melewati Hari Kebangkitan tanpa tanggungan dosa sama sekali. Pada
kesempatan lain Nabi berkata kepada Umar : “Bagaimana engkau tahu bahwa Tuhan
belum memberi keputusan mengenai orang-orang yang bertempur di Badr, padahal ia
berfirman : “Lakukan apa yang kamu inginkan, sebab Aku telah mengampunimu?.”
Beberapa hali mempertahankan pendapat mereka bahwa
sementara mereka diberi janji surga, mereka tidak diberi janji bahwa mereka
tidak akan dihukum. Jika hal ini benar, maka mereka akan takut pada neraka,
sekalipun mereka tahu bahwa mereka tidak akan berada di sana selamanya; dan,
dalam hal itu, orang-orang yang lebih disukai, sama sekali tidak berbeda dengan
orang-orang beriman lainnya, yang sudah jelas akan di jauhkan dari neraka. Nah,
Jika ada kemungkinan bahwa Abu Bakr dan Umar ankan masuk neraka, sekalipun nabi
telah melukiskan mereka sebagai “Pemimpin para sesepuh penghuni surga, baik
yang lebih dulu maupun yang kemudian, maka akan ada kemungkinan bahwa al-Hasan
dan al-Husain juga akan (masuk neraka) sekalipun Nabi tela melukiskan mereka
sebagai “Pemimpin para peuda penghuni surga”. Kalau begitu, Jika ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan memasukan para pemimpin penghuni surga ke neraka,
dan menghukum mereka di sana, maka tidak ada kemungkinan bahwa seseorang bisa
masuk surga tanpa lebih dulu dihukum dengan neraka, Lebih jauh lagi Nabi
berkata : “ Sedangkan mengenai orang-orang dari taraf yang lebih tinggi, mereka
akan dipandang oleh orang-orang yang ada di bawah mereka sebagaimana engkau
memandang sebuah bintang yang muncul dari kaki langit. Sesungguhnya Abu Bakr
dan Umar ada di antara mereka, dan mereka diberkahi. Nah, Jika dua orang ini
akan dimasukan ke neraka, dan di sana mereka dihinakan – sebab Tuhan berfirman
: “Siapa yang Engkau masukan ke dalam neraka, sesungguhnya Engkau telah
menghinakannya.”” Lalu bagaimana yang lain-lain bisa dijauhkan dari sana? Lgi,
Ibn Umar bercerita bahwa suatu hati Nabi bersama Abu Bakr dan Umar masuk ke
Masjid, yang seorang di samping kanannya dan yang seorang lagi di samping
kirinya, dan beliau memegang tangan meraka dan berkata : “Beginilah kami nanti
akan diangkat ke tampat yang lebih tinggi pada Hari Kebangkitan.” Jika hal ini
mungkin, seperti disebutkan di atas, bahwa kedua orang itu nanti akan masuk
neraka, maka mungkin pula bagi orang yang ketiga untuk masuk neraa. Tapi Nabi
berkata : “Akan masuk surga tujuh puluh umatku tanpa melalui penghitungan.”
Ukkayah ibn Mihshan al-Asadi berkata : “Wahai Rasul Allah! Doakanlah kepada
Tuhan agar aku termasuk salah seorang dari mereka.” Nabi menyahut : “ Engkau
salah seorang dari mereka.” Nah, Abu Bakr dan Umar itu lebih baik dibanding
Ukkasyah, sebab Nabi melukiskan mereka sebagai “para pemimpin para sesepuh
penghuni surga, baik yang lebih dahulu maupun yang kemudian.” Lalu, bagaimana
mungkin Ukkasyah akan masuk surga tanpa melalui penghitungan, padahal dia tidak
melebihi mereka dalam kebaikannya, kalau mereka saja masuk neraka? Ini jelas
merupakan sebuah kesalahan besar. Jadi hadis-hadis ini menjelaskan bahwa tidak
ada kemungkinan kedua orang itu dihukum dengan
neraka, terutama dilihat dari kesaksian Nabi bahwa mereka akan berada di surga.
Bagaimanapu juga, mereka aman; dan apapun yang telah dikatakan mengenai delapan
orang yang telah disebutkan sebelumnya, apakah mereka itu aman atau tidak,
hanya menyangkut mereka saja, dan lepas dari yang dua orang ini.
Sedangkan mengenai cara para wali tahu perihal (tempat
yang telah disediakan untuk mereka di surga) lepas dari sepuluh orang yang
disebut terdahulu – sebab mereka menyimaknya dari percakapan langusng dengan
Nabi, Sedangkan yang lain-lain tidak menikmati hak khusu ini, mengingat bahwa
mereka tidak hidup pada masa nabi --- mereka menjadi tahu periha itu dari
kemurahan Tuhan yang diberikan kepaa mereka sebagai wali; sebab hati nurani
mereka mengenal keadaan-keadaan kejiwaan itu, yang merupakan tanda-tanda
kekariban dengan Tuhan. Allah memilih mereka dan menjauhkan diri merka dari
hal-hal lain agar mereka bisa dekat kepada-Nya, sehingga hati nurani mereka
menjadi kebal dari segala kejadian, peristiwa maupun perubahan, yaitu hal-hal
yang bisa menarik mereka agar menjauh dari-Nya; lebih-lebih mereka mereka bisa
menikmati penglihatan dan wahyu-wahyu yang hanya diperuntukan oleh Tuhan bag
orang-orang yang secara khusus dipilih sendiri oleh-Nya di alam kekal, dan juha
menikmati hal-hal semacam itu yang tidak diberikan-Nya kepada musuh-musuh-Nya.
Ada Hadis Nabi yang berrkenaan dengan Abu Bakr al-Siddiq : “Dia lebih unggul daripada kamu bukan karena dia banyak
berpuasa dan berdoa, tapi karena sesuatu yang telah diisikan di dalam dadanya,
atau di dalam hatinya.” Inilah arti hadis itu, yang menenteramkan hati
mereka, karena mereka merasakan dalam hati mereka karunia dan rahmat Tuhan, dan
bahwa karunia dan rahmat itu nyata dan bukan hanya tipuan belaka, seperti yang
terjadi pada orang yang oleh Tuhan diberi.” tanda-tanda dan yang “kemudian dia
berpantang mempercayainya”. Mereka tahu bahwa tanda-tanda yang nyata itu tidak sama dengan tanda-tanda
yang menipun dan menyesatkan, sebab tanda-tandan yang menipu itu hanya
mempengaruhi tata lahir mereka saja dan berupa suatu kejadian luar biasa yang
menarik hati orang yang kena tipu itu serta memerdayakan dia, sehingga dia
mengira bahwa tanda-tanda tersebut merupakan gejala-gejala yang menandai
kesucian seseorang dan kedekatannya (kepada) Tuhan; padahal sebenarnya, tanda-tanda
itu sebenarnya, tanda-tandan itu semata-mata tipuan dan kecurigaan. Kalau
memang mungkin bahwa Tuhan akan membuat karunia khusus yang doanugerahkan
oleh-Nya kepada prara wali-Nya sama dengan tipuan-tipuan yang digunakan-Nya
untuk membawa musuh-musuh-Nya ke dalam kehancuran, maka hal ini berarti bahwa
Dia bisa saja berusaha dengan para wali-Nya sebagaimana Dia berurusan dengan
musuh-musuh-Nya.Dia bahkan bisa saja mengutuk nabi-nabi-Nya dan menjauhkan
mereka dari-Nya, sebagaimana yang Dia lakukan terhadap orang-orang yang telah
diberi-Nya tanda-tanda; tapi Tuhan sama sekali tidak dapat dikatakan sepeerti
itu. Lebih-lebihm jika memang mungkin bagi musuh-musuh (Tuna) untuk menikmati
tanda-tanda yang dimiliki oleh para wali, dan orang-orang terpilih, sedangkan
yang menunjuk seseorang sebagai wali dan
orang terpilih itu, dalam kenyataannya, tidak menunjuk mereka, maka bagi mereka
itu tidak akan ada petunjuk menuju kebenaran sama sekali. Tapi tanda-tanda
walayah itu bukan hanya hiasan luar dan pengejawatahan dari yang luar
biasasaja; tanda-tandanya yang benar ada di dalam dan merupakan
pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh Tuhandi dalam hati nurani, yaitu
pengalaman-pengalaman yang hanya diketahui oleh Tuhan serta orang-orang yang
telah menikmati pengalaman-pengalaman tersebut.
27.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG IMAN
Menurut sebagian besar tokoh Sufi, iman terdiri atas
pengucapan lisan, tindakan dan niat. Nabi, menurut hadis yang diriwayatkan oleh
Ja’far ibn Muhammad dari orang-orang tua beliau, mengatakan : Iman itu merupakan pengakuan dengan lidah, pembuktian
dengan hati dan pelaksanaan dengan tindakan.” Mereka mengatakan,
akar-akarnya imna adalah pengakuan dengan lidah beserta pembuktian dengan hati,
dan cabangnya adalah pelaksanaan perintah-perintah (Tuhan). Mereka juga
menatakan bahwa iman itu ada di luar dan di dalam, yang di dalam itu merupakan
satu benda, yaitu hati, sedang yang di luar merupakan banyk hal.
Mereka bersepakat bahwa aspek lahir iman adalah sebesar
aspek batinnya, dan bukannya hanya satu bagian saja dari yang lahir itu; sebab,
bagian batin iman itu merupakan bagian dari keseluruhannya, maka bagian luar
iman itu pun harus merupakan bagian dari keseluruhannya, yaitu dalam
melaksanakan perintah-perintah Tuhan; sebab, ini berlaku umum bagi semua yang
lahir, sebagaimana pentahkikan (verisikasi) itu berlaku umum bagi semua yang
batin. Mereka mengatakan bahwa iman itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil.
Al-Junadi – Syal dan tokoh-tokoh Sufi yang lebih dahulu menganggap bahwa
pentahkikan itu bisa juga lebih besar atau lebih kecil. Berkurangnya
pentahkikan berarti peranjakan dari iman, sebab, itu merupakan pentahkikan dari
apa yang telah dituturkan dan di janjikan oleh Tuhan, dan keraguan yang paling
kecil pun akan hal ini sama dengan kekafiran; lebih besarnya pentahkikan bisa
diartikan sebagai kekuatan dan kemantapan. Pengakuan lidah tidak beragam, tapi
pelaksanaannya bisa jadi lebih bessar atau lebih kecil. Seorang tokoh Sufi
berkata : “Istilah yang beriman, merupakan ssalah satu nama Tuhan, sebab Dia
berfirman : “Yang memberi kedamaian, yang beriman yang melindungi.” Lewat iman,
Tuhan membuat orang yang berimana merasa aman dari hukuman-Nya. Kalau orang yang beriman itu membuat pengakuan dan
pentahkikan, dan juga melaksanakan segala kewajiban, menahan diri dari hal-hal
yang dilarang, maka dia aman dari Hukuman Tuhan. Jika seseorang tidak melakukan
hal tersebut sama sekali, maka dia akan hidup kekal di neraka. Kalau seorang
itu membuat pengakuan dan pentahkikan, tapi tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban-kewajibannya;
oleh karena itu, dia aman dari hukuman yang kekal, tapi bukan berarti tidak
dihukum sama sekali. Rasa amannya berarti tidak menyeluruh, tidak sempurna;
tapi, rasa aman orang yang melaksanakan segala kewajiban itu bersifat
menyeluruh, dan tidak kurang. Dengan begitu maka rasa aman yang tidak sempurna
merupakan akibat dari iman yang tidak sempurna, sebab pemenuhan rasa aman itu
bergantung pada pemenuhan iman. Nabi melukiskan iman seseorang yang tidak
berhasil melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai “kelemahan”, ketika
beliau berkata : “Orang seperti itu
lemah dalam iman.” Ia adalah orang yang melihat sesuatu sebagai yang tidak
dapat dibenarkan, dan tidak membenarkannya di dalam hati, tapi membenarkannya
dalam tata lahir nya; maka Nabi mengatakan bahwa iman di dlam batin tanpa iman
di lahir adalah iman yang lemah. Beliau juga menggunakan istilah “kesempurnaan”
dalam hal ini, ketika beliau berkata : “Bahwa orang
beriman paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
Akhlak itu terdiri atas yang batin dan yang lahir; oleh akrena itu beliau
melukiskan seseorang sebagai pemilik iman sempurna jika dia baik dalam
keduanya, dan lemah jika dia tidak baik pada keduanya. Seorang tokoh Sufi
berkata : “Iman yang lebih besar atau
lebih kecil itu merupakan masalah kualitas, bukan esensi; pertambahannya
adalah dalam hal kebaikan , kebagusan dan kekuatannya, sedang pengurangannya
adalah dalam hal kebaikan, kebagusan dn kekuatannya pula, bukan dalam
eseensinya. Nabi berkata : “Banyak laki-laki yang
sempurna, tapi perempuan tidak, kecuali empat orang.” Nah, kekurangan-kekurangan dari
perempuan-perempuan yang lain itu bukan merupakan masalah sifat-sifat esensi
mereka, melainkan sifat pelengkap mereka. Beliau juga melukiskan mereka kurang
dalam hal intelektualitas dan agama, dan beliau menerangkan bahwa kekurangan
yang ke dua itu muncul karena dalam kenyataan, mereka tidak bersembahyang dan
berpuasa pada masa haid mereka. Nah, “Agama” itu, dalam kenyataannya, adalah
Islam, dan Islam itu identik dengan iman dalam pandangan orang-orang yang
menganggap beramal itu tidak merupakan bagian dari iman. Salah seorang tokoh
besar Sufi, ketika di tanya apakah iman itu, menjawab : “Iman dalam diri Tuhan
tidak bisa lebih besar atau lebih kecil; dalam diri para Nabi bisa lebih besar
atau lebih kecil, tapi dalam diri orang-orang lain bisa lebih besar dan lebih
kecil. Yang dimaksudkan dengan kata-kata “dalam diri Tuhan tidak bisa lebih
besar atau lebih kecil”, adalah bahwa iman itu merupakan sebuah gelar Tuhan yang
dengan it Dia diberi sfat. Tuhan berfirman, “Yang memberi kedamaian, yang
beriman, yang Melindungi.” Nah, gelar Tuhan itu tidak dapat diperkirakan
sebagai yang lebih besar atau lebih kecil. Tapi, adalah mungkin bahwa “Iaman
dalam Diri Tuhan” berarti iman yang di berikan-Nya kepada seseorang sesuai
dengan ke-Mahatahuan-Nya, yang tidak lebih besar pada saat iman itu di
ejawantahkan, dan yang tidak lebih kecil daripada iman yang telah diketahui
Tuhan dan diberikan kepada orang itu. Nabi-nabi itu berada dalam kedudukan yang
bisa menikmati tambahan dari Tuhan lewat kekuatan, kemntapan, dan perenungan
atas hal-hal gaib; sebab Tuhan berfirman : “Demikianlah Kami perlihatkan kepada
Ibrahim kerajaan langit dan bumi, agar Ibrahim termasuk orang-orang yang
benar-benar yakin.” Orang-orang yang lain mendapat tambahan dalam hal batin
mereka lewa kekuatan dan kemntapan, tapi mengalami pengurangan menynakgut
cabang-cabang iman mereka, karena kelemahan-kelemahan mereka dalam melaksanakan
perintah-perintah Tuhan, dan karena mereka melakukan dosa-dosa yang di larang (oleh Tuhan). Tapi, para Nabi
terjaga dari melakukan dosa-dosa, dan terjaga dari kelemahan-kelemahan dalam
melaksanakan perintah-perintah Tuhan; oleh karena itu, mereka tidak dapat
diperikan sebagi tidak sempurna dalam hal apa pun.
28.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI HAKIKAT IMAN
Salah seorang syekh berkata : “Unsur iman itu
ada empat : penyatuan tanpa batas, ingatan tanpa selaan, keadaan tanpa pemerian
dan ekstase tanpa waktu.” Kata-kata “keadaan (hal0 tanpa pemerian
(na’t)” berarti bahwa yang diperikannya adalah juga keadaannya, sehingga dia
diberi sifat dengan setiap keadaan mulia yang diperikannya; ekstase tanpa waktu
(waqt)” berarti bahwa dia merenungkan Tuhan pada setiap waktu. Seorang tokoh
Sufi berkata : Jika iman seseorang sejati adanya, maka dia tidak akan
menggubris fenomena (kaun) dan obyek-obyek fenomenal; sebab, kerendahan tujuan
itu muncul dari kurangnya ma’rifat.” Yang berkata : “Iman yang sejati adalah
pemujaan akan Tuhan, dan buahnya adalah rasa malu terhadap Tuhan.” Telah
dikatakan bahwa : “Sedang mengenai orang yang
beriman, dadanya diluaskan dengan cahaya Islam, dan hatinya dipalingkan kepada
Tuhan-nya; bagian dalam hatinya (fu’ad) menyaksikan Tuhan-nya, dan pemahamanya
pun jelas; dia berada bersama tuhannya, merasa puas kalau dia dekat, dan
menangis kalau Dia jauh,” Yang lain berkata : “Iman kepada Tuhan adalah
merenungkan ketuhanan-Nya,” Abu’l Qasim al-Baghdadi berkata : “Iman adalah yang
menyatukanmu dengan Tuhan dan yang memusatkan pikiranmu kepada Tuhan. Tuhan itu
esa, dan begitu pula, orang yang beriman itu satu. Jika orang menyesuiakan diri
dengan benda-benda, maka nafsu-nafsu memisahkan dirinya; dan jika orang itu
terpisahkan dari Tuhan oleh nafsu-nafsunya, dan mengikuti syahwat serta benda-benda
yang diinginkannya, maka dia kehilangan Tuhan. Tidakkah engkau tahu bahwa tuhan
memerintahkan mereka untuk mengulang-ulang akad perjanjian mereka pada setiap
pemikiran dan pandangan? Sebab Tuhan berfirman : “Hai orang-orang yang
berriman! Tetaplah percaya.” Nabi berkata : “Kekafiran
itu lebih tersembunyi di antara umatku daripada jejak seekor semut di atas batu
pada malam gelap.” Nabi juga berkata : “Semoga
mereka yang memuja uang itu binasa, semoga mereka yang memuja kelamin itu
binasa, semoga yang pakaian itu binasa.” Saya bertanya pada seorang
syekh kita mengenai iman, dan dia berkata : “Itu berarti bahwa engkau mesti
benar-benar tanggap akan panggilan Tuhan, melenyapkan dari hatimu semua
pemikiran mengenai pergimu dari-Nya, sehingga engkau selalu ada bersama semua
yang menjadi milik Tuhan dan menghidanr dari semua yang bukan menjadi milik
Tuhan.” Pada kesempatana lain, saya menanyakan kepadanya pertanyaan yang sama,
dan dia menjawab : “Iman adalah sesuatu yang tidak boleh digantikan, dan tugas
yang tidak boleh dilalaikan. Kata-kata “Hai orang-orang yang berriman”,
mengandung arti, “Hai orang-orang pilihan dan ma’rifat-Ku! Hai orang-orang yang
dekat dan selalu merenungkan Aku!.” Beberpa tokoh Sufi menganggap Iman dan
Islam itu khusus.” Seorang tokoh Sufi berkata : “Iman itu merupakan perwujudan
dan kepercayaan, Islam itu kerendahan hati dan penghambaan.” Yang lain berkata
: “Tauhid adalah sebuha rahasia dan itu bisa dicapai dengan pernyataan bahwa
Tuhan itu tidak dapat dilihat, ma’rifat itu adalah suatau ketakwaan, dan itu
berarti bahwa engkau mengenal Tuhan dalam gelar-gelar-Nya, Iman itu adalah
ikrar hati untuk menjaga rahasia itu, dan untuk mengenal ketakwaan itu; Islam
adalah perenungan kemaujudan Tuhan di dalam segala sesuatu yang dibutuhkan
darimu.”
29.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI MAZHAB-MAZHAB YANG
SAH
Berkenaan dengan masalah-masalaha yang menimbulkan
perbedaan pendapat di antara para ahli hukum, tokoh-tokoh Sufi mencari jalan
yang lebih hati-hati dan konservatif, dan sebisanya mengikuti konsesus kedua
pihak yang saling bertentangan itu. Mereka beranggapan bahwa
perbedaan-perbedaan di antara para ahli hukum itu akan mendatangkan kebenran,
dan bahwa tak satu pihak pun yang benar-benar bertentangan dengan yang lainnya.
Dalam pandangan mereka, setiap orang yang berusaha mencari kebenaran
(berijtihad) itu benar adanya, dan setiap orang yang memegang prinsip tertentu
dalam hukum sebagai yang benar, lewat analogi dengan prinsip-prinsip serupa
yang ditetapkan dan al-Qur’an dan Sunnah, atau lewat penggunaan penafsiran
secara bijaksana, adalah benar dalam memegang kepercayaan yang semacam itu.
Tapi jika seseorang tidak memiliki dasar yang cukup kuat dalam hukum, maka dia
meski tunduk kepada keputusan ahli-ahli hukum terdahulu yang dianggapnya lebih
pandai, yang penilaiannya dianggap tegas olehnya.
Mereka percaya akan kemustajaban doa mereka, sebab dalam
pandangan mereka hal ini merupakan jalan yang baik, asal orang itu yakin
mengenai saat yang tepat dalam melakukannya, dan begitu pula pada kemustajaban
pelaksanaan semua tugas keagamaan pada waktu-waktu yang semestinya. Mereka
tidak mengizinkan adanya pemendekan, penangguhan atau penghilangan , kecuali
dengan alasan yang tepat. Mereka setuju, bahwa kalau sedang bepergian, orang
boleh memendekkan sembahyangnya, tapi jika dia terus-menerus pergi dan tidak
memiliki tempat tinggal yang tetap, maka dia harus melaksanakan sembahyang
dengan penuh. Mereka beranggapan bahwa orang boleh membatalkan puasa. Mereka
menafisrkan prinsip “kemampuan”, dalam hubungannya dengan kewajiban pergi ke
tanah suci, dalam arti yang paling luas, dan tidak membtasai syarat-syaratnya
pada pemilikan perbekalan dan jumlahnya. Ibn Atha berkata : “Kemampuan itu
terdiri atas dua hal : Keadaan dan kekayaan. Jika seseorang tidak memiliki
keadaan yang diperrlukan untuk menunjangnya, maka kekayaannya akan bisa
menolongnya untuk mencapai hal itu.
30.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENGHASILAN
Mereka mengakui bahwa orang diizinkan memiliki
penghasilan dari perdagangan, perniagaan atau pertanian, atau cara-cara lain
yang diizinkan oleh syariah, asal orang itu berhatai-hati, tidak tergesa-gesa
dan cermat dalam menghinndari hal-hal yang kesahannya diragukan,
penghasilan-penghasilan ini hendaknya dipakai untuk keperluan saling bantu
dengan menekan nafsu-nafsu, dan selalu siaga membantu yang lain serta bermurah
hati kepada tetangga. Mereka beranggapan, bahwa orang harus mencari nafkah jika
dia memiliki tanggungan-tanggungan yang mesti ditunjang olehnya. Menurut
Al-Junaid, cara yang tepat untuk mencari nafkah, disamping syarat-syarat
terdahulu, adalah dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang akan mebawa orang
itu lebih dekat kepada Tuhan, dan menyibukan diri dalam pekerjan-pekerjan itu
dengan semangat yang sama dengan pekerjaan-pekerjaan sunnah yang diperintahkan
kepada orang itu, bukannya dengan gagasan bahwa pekerjaan-pekerjaan itu
merupakan alat mata pencaharian atau alat untuk mendapatkan keuntungan. Tapi
tokoh-tokoh lain beranggapan bahwa mendapat penghasilan itu boleh saja, tapi
bukan berarti bahwa hal itu perlu, asalkan kepercayaan orang itu kepada Tuhan
tak berkurang sama sekali, atau keagamaannya terpengaruh; tapi, sebenarnya,
akan lebih tepat kalau seseorang menyibukan diri dengan melaksanakan
kewajiban-kewajiban Tuhan, dan dalah tugas yang utama bagi orang itu untuk
menjauh dari segala penghasilan demi menyempurnakan kepercayaan dan imannya
kepada Tuhan. Sahl berkata :”Tidaklah pantas bagi orang-orang yang menaruh
kepercayaan kepada Tuhan mencari penghasilan, kecuali dengan tujuan mengikuti
Sunnah Nabi; dan bagi yang lain-lain, hal itu tidaklah pantas, kecuali untuk
tujuan saling menolong.
Ini semua merupakan doktrin-doktrin sejati para Sufi,
sepanjang yang telah kami buktikan dari yang telah dinyatakan dalam kitab-kitab
mereka, yang nama-namanya telah kami sebutkan pada awal buku ini, atau telah
kami dengan dari para ahli yang dapat dipercaya yang mengenai prinsip-prinsip
mereka dan menguji doktrin-doktrin mereka, atau sepanjang kami memahami teka
teki dan acuan-acuan terselubung dan terkandung dalam wacana aktual mereka.
Memang, semua ini tak diungkapkan dalam cara yang sama seperti cara kami
menuturkannya. Sebagian besar bukti yang telah kami sitir merupakan susunan
kami sendiri, yang mengungkapkan apa yang telah kami kumpulkan dari kitab-kitab
dan risalah-risalah mereka; tapi, apabila orang itu mempelajari wacana dan
buku-buku mereka, dia akan tahu bahwa apa yang telah kami tuturkan ini benar
adanya. Sungguh pun begitu, kalau bukan karena keseganan kami untuk membuat
sebuah pembahasan yang panjang, maka pasti kami telah mengutip bab-bab dan
syair-syair dari buku-buku mereka untuk setiap pokok masalah yang telah kami
kemukakan, sebab semua ini tidak dituliskan secara cukup jelas dalam buku-buku
itu.
Dan kini kami akan menyebutkan doktrin-doktrin Sufi
yangkhusus, ungkapan-ungkapan tertentu yang mereka gunakan, ilmu-ilmu yang
mereka pelajari, dan pokok-pokok isi umum wacara mereka, dengan keterangan
tentang makna-makna mereka yang perlu. Dari Tuhan kami minnta batuan,s ebab
tiada kekuasaan atau kekuatan kecuali dari Tuhan.
31.
MENGENAI ILMU-ILMU SUFI TENTANG
KEADAAN-KEADAAN (AHWAL)
Saya katakan (dan semoga Tuhan menjadi penolong saya) :
Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmu Sufi adalah ilmu-ilmu mengenai keadaan-keadaan
ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini merupakan warisan dari tindakan-tindakan,
dan hanya dialami oleh orang-orang yang tindakan-tindakannya benar. Nah,
langkah pertama menuju perbuatan yang bernar adalah mengetahui ilmu-ilmu yang
menyangkut masalah itu, yaitu peraturan-peraturan yang sah yang terdiri atas
prinsip-prinsip hukum (fiqh) yang mengatur cara-cara salat, berpuasa dan
tugas-tugas keagamaan lainnya, juga mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur
perkawinan, perceraian, transaksi-transaksi dagang, dan masalah-masalah lain
yang mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah ditetapkan dan
ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu merupakan ilmu-ilmu yang
bisa didapatkan dengan jalan mempelajarinya; dan sudah menjadi kewajiban
manusia untuk berusaha mencari ilmu ini dan aturan-aturannya, sepanja g dia
mampu mencari hingga batas kemampuan akalnya sebagai manusia, setelah dia
mendapat dasar yang menyeluruh dalam ilmu agama dan cara-cara memahami
Al-Qur’an, Sunnah serta konsensus para salaf sampai batas memahami doktrin yang
benar dari Muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jika Tuhann menolongnya memperoleh
pencapaian yang lebih tinggi daripada ini, sehingga dia bisa membuang segala
keraguan pandangan atau pemikiran yang menimpanya, hal itu bagus sekali; tapi,
bahkan jika dia berrpaling dari pemikiran-pemikiran jahat dengan mecari
perlindungan dari kesseluruhan pengetahuan yang dimilkinya, dan menghindari
pandangan yang melawannya dan yang menjauhkannya dari (Tuhan), maka itu
merupakan bagian yang cukup sesuai untuk dirinya, jika memang Tuhan menghendaki;
sebab dia disibukkan dengan pelaksanaan pengetahuannya dan dia melaksanakan itu
menurut apa yang diketahuinya.
Oleh karena itu, yang paling penting adalah
bahwa dia harus tahu mengenai kejahatan-kejahatan jiwa, dan benar-benar
mengenal jiwa itu, pendidikannya, dan penempaan akhlaknya; dia juga harus tahu
mengenai tipu-tipu muslihat musuh dan godaan-godaan dunia ini serta cara-cara
untuk menjauhkan diri darinya. Ilmu ini merupakan ilmu tentang kebijaksanaan
(hikmah). Kalau jiwa itu ditegur dengan sepantasnya, dan kebiasaan-kebiasaannya
diubah, kalau dia diajari tata cara ketuhanan dengan menguasai
anggota-anggotanya dan menjaga jari-jari serta indera-inderanya, maka akan
mudah bagi seseorang untuk mengubah akhlaknya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya,
sehingga dia tidak lagi terkungkung dalam urusan-urusannya sendiri dan
menghindar serta mengelakkan diri dari dunia ini. Kalau sudah begitu maka,
orang itu akan bisa mengawasi pikiran-pikirannya dan memurnikan bagian-bagian
lahirnya; dan inilah ilmu ma’rifat itu. Di balik itu adalah ilmu-ilmu pemikiran, ilmu-ilmu
perenungan dan wahyu; semua ilmu ini seluruhnya terdiri atas ilmu isyarat
(isyarah), dan inilah yang merupakan ilmu utama yang dimiliki oleh orang-orang
sufi, yang mereka dapatkan setelah mereka menguasai semua ilmu yang telah kami
sebut sebelum ini. Istilah ‘Isyarat” diberrikan kepada ilmu ini; karena
perenungan yang dinikmati oleh hati, dan wahyu yang diberikan kepada kesadaran
(sirr) tidak dapat diungkapkan secara harfiah; hal itu harus dipelajari lewat
pengalaman nyata akan yang gaib, dan hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang
telah mengalami keadaan-keadaan gaib ini serta hidup dalam keadaan-keadaan itu.
Sa’id ibn al-Musayyib meriwayatkan dari Abu Harairah, bahwa Nabi berkata : “Sesungguhnya, sebagian pengetahuan itu berkenaan dengan
sesuatu yang tersembunyi, yang bisa diketahui oleh mereka yang mengenal Tuhan.
Kalau mereka membicarakan mengenai ilmu itu, maka hanya orang-orang yang tidak
mengindahkan Tuhan saja yang tidak menyetujuinya.” Penuturan berikut
adalah dari Abdul Wahid ibn Zaid : “Aku bertanya kepada al-Hasan mengenai ilmu
batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Hudzaifah mengenai ilmu batin, dan
dia menyahut, aku bertanya kepada Rasul Allah mengenai ilmu batin, dan dia
menyahut,aku bertanya kepada Jibril megenai ilmu batin, dan dia menyahut, dan
aku bertanya kepada Tuhanmengenai ilmu batin, dan Dia berfirman : “Itu adalah
rahasia dari rahasia Ku; Aku menanamkannya di dalam hati hamba-Ku dan tak satu
makhluk-Ku pun yang memahaminya.” Abul Hasan ibn Abi Dzar mengutip puisi
berikut dari Al-Syibli dalm bukunya “Minhaj al-Din :
Ilmu orang-orang Sufi itu tak terrbatas;
Ilmu yang tinggi, mulia suci;
Di dalamnya hari para syekh tenggelam
dalam-dalam,
Dan manusia yang andai, menghargainya dengan
tanda itu.
Nah, setiap tingkatan itu ada awal dan akhirnya; dan di
antara yang dua itu ada berbagai keadaan. Setiap tingkatan ada ilmunya sendiri,
dan setiap keadaan itu ada isyaratnya sendiri. Dalam setiap tingkatan, ada satu
penegasan dan satu sangkalan; tapi tidak semua yang disangkal di dalam satu
tingkatan itu disangkal pula di dalam tingkatan yang sebelumnya; begitu pula,
tidak semua yang ditegaskan di dalam satu tingkatan akan di tegaskan di dalam
tingkatan sesudahnya. Ini sesuai dengan perkataan Nabi : “Jika seseorang tidak memiliki keimanan, maka dia tidak
memiliki iman.” Ini menunjuk pada iman dari keimanan itu, bukan iman
dari kepercayaan keagamaan. Nah, oarng-orang yang ditegus ini merasakan hal
ini, sebab mereka telah berada dalam tingkatan keimanan atau telah melewati
tingkatan itu; Nabi memahami keadaan jiwa mereka, maka Beliau menjelaskan diri
Beliau kepada mereka. Nah, jika orang yang sedang berbicara itu tidak
mengindahkan keadaan kejiwaan para pendengarnya, tapi hanya menguraikan secara
terperinci ssuatu tingkatan yang menegaskan dan menyangkal, maka ada
kemungkinan bahwa di antara para pendengarnya ada orang yang belum pernah
berada dalam tingkatan itu; apa yang disangkalnya bisa jadi telah ditegaaskan
di dalam tingkatan pendengar itu, shinga dia akan beranggapan bahwa pembicaran
itu telah menyangkal suatu yang oleh pengetahuan ditegaskan; dan bahwa dia
kalau tidak berbuat suatu kesalahan, telah jatuh ke dalam bid’ah, atau bahkan
telah terelempar ke dalam kekafiran. Karena adanya peristiwa seperti itu, maka
tokoh-tokoh Sufi mencari ungkapan-ungkapan teknis untuk ilmu-ilmu mereka, yang
mereka pahami dalam lingkungan mereka sendiri; ungkapan-ungkapan itu mereka
gunakan sebagai kode, yang akan bisa dimengerti oleh sesama Sufi, tapi tidak
bisa dimengerti oleh pendengar mana pun yang belum pernah berada dalam
tingkatan yang sama. Karenanya, pendengar itu akan melakukan salah satu dari
kedua hal berikut : Dia menganggap baik pembicara
itu dan menerimanya serta menyalahkan dirinya sendiri karena
kekurang-mengertiannya sehingga dia tidak sanggup menangkap maksud pembicara
itu; atau dia menganggap buruk pembicara itu, menganggapnya gila dan menganggap
apa yang dikatakannya merupakan ocehan sinting, dan bahkan jika pembicara itu
memang hanya mengoceh saja, hal itu masih lebih baik daripada kalau dia menolak
dan menyangkal kebenaran. Seorang
ahli ilmu kalam berkata kepada Abul Abbas ibn Atha : “Ada apa dengan kamu
semua,orang-oran Sufi? Kamu semua telah membuat ungkapan-ungkapan yang kamu
gunakan untuk memohon kepada para pendengarmu dengan cara berbicara yang begitu
aneh, dan kamu meninggalkan caa berbicara yang biasa. Bukankah ini tidak lain
ditujukan untuk mendatangkan kekacauan, atau menyembunyikan sebuah doktrin yang
keji? Abul-Abbas menyahut : “Kami melakukan ini hanya karena kami waspada
terhadap Dia, dan kaerna kekuasaan-Nya atas kami, sehingga yang lain-lain tidak
akan dapat mencicipi (kegembiraan yang dingkapkan dengan) (istilah-istilah)
ini.” Lalu dia mulai menyitir puisi sebagai berikut :
Inilah hal kterrbaik yang pernah diwahyukan
oleh Allah;
Dan kami ungkapkan, tapi pada kami sendiri
tetap tersembunyi;
Satu kebenaran yang menyingsing yang, bagai
si pecinta, diuacpkan dari bibir ke bibir.
Dalam cahanya sendiri, ku bungkus dia rapat;
Dan ku sembunyikan, kalau-kalau ada orang
yang tak mengenal kedalamannya.
Membukanya, dan dengan ungkapan-ungkapan
kasa membuang;
Keindahan kejiwaannya; atau, orang yang tak
pandai
Memahaminya, tidak, tan sampai sepenuhnya,
Akan dibawanya itu dengan tangannya, dan
diumumkannya;
Dan kebodohan akan menyebar karena
tipuannya;
Dan pengetahuan akan hilang selamanya, dan
keindahannya;
Akan lenyap; jejaknya terkubur dalam pasir
yang mengalir.
Puisi yang berikut ditukan untuk orang yang sama :
Kala orang awam menanyai kai;
Kami menjawab mereka dengan tanda-tanda
rahasia;
Serta teka-teki gelap, sebab lidah manusia
itu..
Tidak mampu mengungkapkan kebenaran yang
begitu tinggi,
yang jangkauannya..
Melewati ukuran manusia ; tapi hatiku..
Telah mengenalnya, dan mengenal
kegairahannya..
Yang menggetarkan dan mengisi tubuhku,
Setiap bagian..
Tanpa melihat engkau, perasaan gaib ini
menangkap
Seni berbicara yang asasi, sebagai orang
yang tahu..
Menaklukan dan membungkam musuh yang ummi.
32.
MENGENAI SIFAT DAN MAKNA TASAWUF
Saya mendengar bahwa Abul-Hasan Muhammad ibn Ahmad
al-Farisi berkata : “ Unsur-unsur Tasawuf itu ada
sepuluh jumlahnya. Yang pertama adalam pemecilan pengesaan; yang kedua
adalah pengertian audisi (sama’); yang ketiga adalah persahabatan yang baik;
yang keempat adalah kelebih sukaan kepada yang lebih disukai; yang ke lima
adalah pemasrahan pilihan pribadi; yang keenam adalah pergerakan ekstase; yang
ketujuh adalah pengungkapan pikiran; yang kedelapan adalah perjalanan yang
banyak; yang kesembilan adalah
pemasrahan rizki; yang kesepuluh adalah penolakan untuk menimbun (harta).
Pemecilan pengesaan berarti bahwa pemikiran mengenai
penyembahan kepada banyak tuhan atau ketidakpercayaan akan adanya Tuhan tidak
akan dapat merusak kesucian akan kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa. Audisi
mengandung arti bahwa orang harus mendengarkan dalam tuntunan pengalaman gaib,
bukan hanya melalui proses belajar. Kelebihsukaan kepada yang lebih disukai
berarti bahwa orang itu harus lebih menyukai orang lain lebih menyukai,
sehingga dia akan mendapatkan kebaikan dari kelebihsukaan itu. Pergerakan
ekstase terwujud kalau kesadaran tidak hampa dari sesuatu yang menimbulkan
ekstase dan tidak dipenuhi pemikiran-pemikiran yang mencegah orang mendengarkan
anjuran-anjuran Tuhan. Pengungkapan pikiran berarti bahwa orang itu harus
menguji setiap pemikiran yang masuk ke dalam kesadarannya, dan mengikuti apa
yang berasal dari Tuhan, tapi meninggalkan apa yang tidak berasal dari Tuhan.
Perjalanan yang banyak, ditujukan untuk melihat peringatan-peringatan yang
dapat dicari di langit dan di bumi; sebab Tuhan berfirman : “Tidakkah mereka menjelajahi bumi ini untuk menyelidiki
bagaimana nasib bangsa-bangsa yang sebelum mereka? Dan lagi.
“Katakanlah: “Mengembaralah di muka bumi ini, lalu perhatikan bagaimana Allah
memulia penciptaan segala-galanya.” Dan kata-kata : “Mengembaralah di muka bumi
ini”, dijelaskan sebagai mengandung
arti, dengan tuntunan ma’rifat, bukannya dengan kegelapan kejahilan, demi memotong
ikatan (kebenaran) dan melatih jiwa. Pemasrahan rizki diartikan sebagai
tuntutan agar jiwa bertawakal kepada Tuhan. Penolakan untuk menimbun hanya
diartikan sehubungan dengan kondisi pengalaman gaib, dan bukan sehubungan
dengan peraturan-peraturan ilmu kalam. Karena itu, ketika salah seorang dari
mereka yang duduk dalam mahkamah itu wafat dengan meninggalkan satu dinar, nabi
berkata mengenai orang itu : “Sebuah cap pembakaran (di neraka).
33.
MENGENAI PENGUNGKAPAN PIKIRAN
Salah seorang dari Syekh itu berkata : Pikiran itu ada
empat : Dari Tuhan; dari malaikat; dari diri sendiri dan dari setan. Pikiran
yang berasal dari Tuhan merupakan suatu teguran yang baik; yang dari Malaikat,
suatu dorongan agar patuh; yang dari diri sendiri, pemenuhan nafsu; yang dari
setan, ajakan kepada keingkaran. Dengan tuntunan pengesaan, pikiran dari Tuhan
itu diterima, dam dengan tuntunan ma’rifat, pikiran dari malaikat itu diterima;
dengan tuntunan iman, (pikiran mengenai) diri sendiri itu disangkal, dan dengan
tuntunan Islam, (pikiran mengenai) setan itu di tolak.
34.
MENGENAI TASAWUF DAN KETENTERAMAN BERSAMA
TUHAN
Al-Junaid berkata : “Tasawuf merupakan pelestarian
saat-saat, yaitu bahwa seseorang tidak mengindahkan apa yang ada di luar
batas-batasnya. Tidak mengakui segala sesuatu kecuali Tuhan, dan hanya berurusan
dengan saatnya yang tepat.” Ibn Atha berkata : “Tasawuf berarti merasa tenteram
bersama Tuhan.” Abu Ya’qub al-Susi berkata : “Sufi adalah orang yang tidak
pernah merasa tidan tenteram kalau ada sesuatu yang di ambil dari padanya, dan
tidak pernah repot-repot mencari (apa yang tidak dimilikinya).” Al-Junaid
ditanya : “Apakah Tassawuf itu?” Jawabnya : “Itu adalah menggantungkan
kesadaran pda Tuhan; dan hal ini tidak dapat dicapai kecuali kalau jiwa menjauh
dari sebab-sebab (asbab) sekunder, lewat kekuatan ruh, dan tinggal bersama
Tuhan. Al-Syibli ditanya : “Mengapa orang-orang itu dipanggil Sufi? Dia
menjawab : “Karena mereka telah di cap dengan kamaujudan citra dan penegasan
gelar (Tuhan). Jika mereka telah dicap dengan ketiadaan citra itu, maka hanya Dia
saja yang tetap ada, yang mengadakan citra dan menegaskan gelar itu, dan
menuangkan citra-citra itu kepada mereka, Tapi tidak membenarkan bahwa semua
orang yang benar-benar tahu mesti memiliki citra atau gelr.” Abu Yazid berkata
: “Paar Sufi adalah anak-anak yag duduk di pangkuan Tuhan.” Abu Abdillah
al-Nijabi berkata : “Tasawuf adalah seperti penyakit birsam, (Tumor di perut), pada tahap pertama si sakit
meracau; tapi, ketika penyakit itu menguasainya, dia menjadi bisu.” Yang
dimaksudkannya adalah bahwa Sufi pada mulanya melukiskan keadaannya dan
berbicara seperti yang diperintahkan oleh keadaannya itu; tapi setelah wahyu
diberikan kepadanya, dia menjadi bingung dan menahan lidahnya. Saya mendengar
faris berkata : “Selama gagasan-gagasan muncul dalam pemikiran seseorang ,
menurut suara jiwa, dia pun menemukan dalam hatinya nilai yang lebih tinggi
daripada keadaan yang terdahulu, maka jadilah dia membuka rahasia; tapi
mengenai pencapaian, itu menyelubungi cara-cara pemenuhan kepuasan, sehingga
pada akhirnya dia bisu saja, tak berselera.”
Ketika Al-Nuri ditanya mengenai Tasawuf, dia menjawab : “Itu merupakan
pengungkapan rahasia keadaan, dan suatu pencapaian ketinggain (maqam).” Ketika
diminta untuk melukiskan sifat-sifat mereka (yaitu para Sufi), dia berkata :
“Mereka membawa kegembiraan ke dalam (hati) orang-orang lain, dan menjauh dari
keinginan untuk membahayakan mereka. Tuhan berfirman : “Bersikaplah pemaaf, anjurkanlah berbuat amal kebajikan dan
berpalinglah dari orang jahil.” Dengan pengungkapan rahasia keadaan”
yang dimaksudkannya addalah bahwa oang Sufi, jka dia mengungkapkan mengenai
dirinya sendiri, adalah dalam hubungannya dengan keadaan kejiwaannya sendiri,
dan tidak menyinggung keadaan kejiwaan orang lain, secara teoritis; dan yang
dimaksud engan “pencapaian ketinggian (maqam),” dia memberitahukan bahwa orang
semacam itu terbawa oleh keadaannya sendiri lewat keadaannya sendiri, menjauh
dari keadaan orang-orang lain. Puisi dari Al-Nuri berikut ini, dengan tepat
sekali melukiskan apa yang diucapkannya :
“Jangan
bicarakan ini” Engkau berkata,
Lalu
ke dalam rahasia tanpa kata, Engkau membawa Jiwa kembaraku;
Bisakah
ucapan memerikan yang tak terucap?
Tidak
semua orang yang berseru,
“Nah,
begiliha kau!” Engkau anggap demikian;
Kalau
perbuatan-perbuatan telah menampakkan
Bahwa
begitulah dia, maka Engkau akui milikmu.
Tujuan kami adalah untuk melukiskan beberapa di antara
keadaan-keadaan itu dalam bahasa orang-orang Sufi sendiri, tapi tidak dengan
cara berpanjang-panjang, sebab kami tidak menyukai pembicaraan yang panjang.
Kami akan menuturkan wacana-wacana para Syekh, hanya yang cukup mudah
dimengerti saja, untuk menghindari teka-teki yang gelap dan isyarat-isyarat
terselubung. Kami akan memulai dengan Tobat.
35.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI TOBAT
Al-Junaid ditanya : “Apakah tobat itu?” Dia menjawab :
“Tobat adalah pelupaan dosa seseorang.” Sahl, ketika diajukan pertanayan yang
sama, menjawab : “Tobat berarti tidak melupakan dosa seseorang.” Perkataan
Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan semacam itu sepenuhnya
mejauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran tidak ada lagi jejaknya, sampai
orang itu merasa seakan-akan dia tidak pernah mengetahuinya. Ruwain berkata :
“Arti tobat adalah bahwa engkau harus bertobat atas tobat itu.” Arti ini mirip
dengan yang dikatakan oleh Rabi,ah : “Aku memohon ampun kepada Tuhan karena
ketidaktulusan dalam berbicara; Aku mohon ampun kepada Tuhan.” Al-Husain am
Maghazili, ketika ditanya mengenai tobat, berkata : “Apakah yang engkau
tanyakan mengenai tobat peralihan, atau tobat tanggapan? Yang lain berkata :
“Apakah arti tobat peralihan itu? Ruwain menjawab : “Bahwa engkau harus takut
kepada Tuhan karena kekuasaan-Nya atas dirimu.” Yang lain bertanya : “Dan
apakah tobat tanggapan itu? Ruwain
menyahut : “Bahwa engkau harus malu kepada Tuhan karena Dia ada di dekatmu.”
Dzu’l Nun berkata : “Tobat orang awam adalah tobat dari
dosanya; Tobat orang terpilih adalah tobat dari kekhilafannya; Tobat para Nabi
adalah tobat dari kesadaran mereka akan ketidaksempurnaan mencapai apa yang
telah dicapai orang lain.” Al-Nuri bekata : “tobat berarti bahwa engkau
harus berpaling dari segala sesuatu kecuali Tuhan.” Ibrahim al-Daqqak berkata :
“Tobat berarti bahwa engkau harus menghadap Tuhan tanpa berbalik lagi, bahkan
jika sebelumnya engkau telah berbalik dari Tuhan tanpa menghadap kembali.
36.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI ZUHUD
Al-Junaid berkata : “Zuhud adalah keadaan pada saat
tangan kosong dari pemilikan, dan hati dari ambisi.” Ali
ibn Abi Thalib, ketika ditanya mengenai sifat zuhud, menjawab : “Itu berarti
bahwa orang tidak peduli siapa yang memanfaatkan (benda-benda) dunia ini, entah
dia seorang beriman atau kafir.” Yahya berkata : “zuhud berarti
meninggalkan apa yang bisa ditinggalkan.” Ibn Maruq berkata : “Tak ada satu
sebab sekuder pun, kecuali Tuhan, yang bisa menguasai orang yang zuhud.”
Al-Syibli, ketika ditanya mengenai zuhud, berkata : “Malang bagimmu! Berapa
nilai yang ada di dalam sesuatu yang tidak lebih daripada selembar sayap seekor
nyamuk, sehingga zuhud harus dilaksanakan berkaan dengannya?,” Abu Bakr
al-Wasithi berkata : “Mengapa engkau begitu tak sabar untuk meninggalkan suatu
tempat yang hina. Atau seberapa lamakah engkau akan tetap bersemangat untuk
berpaling dari sesuatu yang ditimbang oleh Tuhansebagai tidak lebih berat
daripada selembar sayap seekor nyamuk.?” Al-Syibli, ketika ditanya lagi
mengenai zuhud, berkata : “Dalam kenyataannya, zuhud itu tak ada; Jika
seseorang berzuhud dari sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukan
zuhud; dan jika seseorang berzuhud dari sesuatu yang menjadi miliknya,
bagaimana bisa dikatan bahwa itu zuhud, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya
dan dia masih memilikinya? Zuhud berarti menahan nafsu, bermurah hati dan
berbuat kebaikan. Hal itu seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia menafsirkan
zuhud sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya; dan
jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat dikatakan
bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu itu memang telah tertinggalkan;
sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang
itu meninggalkannya.
37.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KESABARAN
Sahl berkata : “Kesabaran adalah pengharapan akan lipuran
dari Tuhan; kesabaran merupakan kebaktian yang paling mulia dan paling tinggi.”
Yang lain berkata : “Kesabaran berarti bersikap sabar terhadap kesabaran.” Hal
ini menandakan bahwa orang tidak boleh mencari pelipur di situ. Yang lain
menggubah syair di bawah ini :
Dengan
kesabaran, dia bersabar menanggung,
Hingga
kesabaran, berseru “Kan memberikan pertolongannya.”
Dan,
karena terdidik dalam kesabaran..
“Wahai
kesabaran, bersabarlah!” dia menyahut...
Sahl berkata : “Firman Tuhan yang berbunyi : “Minta
tolonglah kamu dengan kesabaran dan shalat (Qs.2:42), mengandung arti : “Mintalah
pertolongan Tuhan, dan bersabarlah dengan perintah dan takdir Tuhan>” Sahl
juga berkata : “Kesabaran itu rahmat, dan dengan itu segala sesuatu diberi
rahmat.” Abu Amar al-Damisyqi menjalskan firman Tuhan : “Bencana (penyakit)
telah menimpaku,” Artinya : Bencana telah menimpaku, dan mengajarkan kesabaran
kepadaku, sebab Engkaulah yang paling Pengasih, di antara yang pengasih.” Yang
lain berkata : “Dia (yaitu Ayyub) bersikap tidak sabar hanya demi Tuhannya,
bukan untk dirinya sendiri, karena, penyakit itu telah begitu menguasai
badannya, sehingga dia takut kalau-kalau akalnya tidak bekerja lagi.” Mereka
mengutip puisi berikut, yang digubah Abul Qasim Summun, daam hubungannya dengan
masalah ini :
Ah,
telah ku minum dari kantung waktu,
Dan
telah kuteguk segala ceria dan kepedihannya,
Yah,
telah ku tempelkan mulut kantung itu pada bibirku,
Dan...
ku hisap habis setiap tetesnya...
Dan
takdir telah menungkan ke dalam pialanya...
Kesedihan
yang terminum, dari lautan kesabaran ..
Yang
telah kuisikan penuh-penuh..
Dan
ku sodorkan kembali kepada takdir itu..
Dengan
kesabaran aku diladami, dan menggelinding..
Waktu
bergelantungan, aku pun berseru :
“Bersabarlah
engkau Wahai Jiwaku!
Atau
Engkau kan binasa karena kesedihan.”
Begitu
besar penderitaanku, sehingga...
Gunung-gunung
pun bergetar pada ketinggiannya,
Akan
lenyap, bagai bintang yang jatuh...
Akhirnya
hilang dari pandangan...........
38.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEFAKIRAN
Abu Muhammad al-Jurairi berkata : “Kefakiran berarti
bahwa orang tidak boleh mencari yang tidak maujud, sampai rang itu gagal
menemukan hal yang maujud.” Maksudnya adalah, bahwa orang tidak boleh mencari
mata pencaharian, kecuali jika orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan
tugas keagamaan, karenanya Ibn al-Jalla berkata : “Kefakiran adalah, bahwa
tidak ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu.” Perkataan itu mengandung
arti sama dengan firman Tuhan : “Sedang mereka lebih mengutamakan kepentingan
orang lain, ketimbang kepentingan mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan (pua). Abu Muhammad Ruwai, ibn Muhammad, berkata : “Kefakiran itu
berati ketidak maujudan semua maujud, dan pemasrahan semua benda yang tidak ada
lagi.” Al-Kattani berkata : “Kalau seseorang benar-benar membutuhkan Tuhan,
berati dia benar-benar kaya karena dia bersama Tuhan; tak satu pun dari dua
keadaan itu sempurna oleh ketiadaan salah satunya.” Al-Nuri berkta : “Fakir
adalah orang yang harus bungkam ketika dia tidak memiliki sesuatu, dan bermurah
hati serta tidak hanya memikirkan dirinya sendiri kalua dia memiliki sesuatu.”
Salah seorang dari tokoh-tokoh besar Sufi berkata : “ Orang yang fakir dilarang
berleha-leha, dan juga dilarang meminta. Maka Nabi berkata : “ “Jika dia telah
memohon kepada Tuhan, maka Tuha pasti telah memenuhinya.” Hal ini menandakan
bahwa dia tidak akan memohon sebegitu rupa>” Al-Darraj berkata : “Aku
mengamati lengan baju tuanku, mencari-cari kotak celak, dan di dlamnya
kutemukan sepotong perak. Aku terperanjat dan waktu beliau datang aku
mendekatinya dan berkata : “Lihat, saya menemukan sepotong (perak) di lengan
baju tuan!’ Bilia menyahut : “Aku telah melihatnya. Kembalikanlah.” Lalu beliau
berkata : “Ambillah, dan belilah sesuatu dengannya.” Aku bertanya : “ Apakah
gunanya potongan ini, dalam padangan hukum-Nya yang tuan puja? Beliau menjawab
: “Tuhan tidak memberikan kepdaku yang kuning dan yang putih di dunia ini,
kecuali ini; dan aku bermaksud untuk membuat pernyataan bahwa benda itu harus
dibungkus dalam alas tilamku, sehingga aku bisa mengembalikannya kepada Tuhan.”
Saya mendengar Abul-Qasim al baghdadi menuturkan anekdor
berikut ini, yang didengarnya dari Al-Dauri : “Pada malam perayaan, kami ada
bersama Abul-Husain al Nuri, di Masjid Syunizi. Seorang laki-laki mendatangi
kami da berkata kepada al-Nuri, “Tuan, besok akan ada perayaan. Apa yang akan
tuan kenakan?Al Nuri mulai menyitir puisi ini :
“Esok
akan ada perayaan!, seru mereka,
“Pakaian
apa yang tuan kenakan?’ Dan ku menyahut :
“Pakaian
pemberian-Nya, yang telah menuangkan
penuh-penuh
unemelaratan..
Dan
kesabran adalah bajuku, dan mereka menutup
Sebuah
hati yang pada setiap pesta menampak Pecintanya..
Adakah
pakaian yang lebih indah untuk menjelang
Sang Karib..
Atau
mengunjungi Dia, kecuali yang telah dipinjamkan oleh-Nya?
Kala
engkau, Pengahrapanku, tiada dekat..
Setiap
saat adalah kedukaan dan ketakuran;
Tapi
sementara aku bida memandang dan mendengar engkau..
Seluruh
hartaku, dan hidup itulah perayaan!!!”
Salah seorang tokoh Sufi ditanya : “Apa yang telah mencegah orang kaya itu dari
menyerahkan kelebihan harta mereka kepaa kelompok ini?” Dia menjawab : “Tiga
hal. Yang pertama adalah, bahwa yang mereka miliki itu tidak baik; nah,
orang-orang Sufi itu adalah pilihan Tuhan; dan apa yng telah dipilih untuk hamba-hamba Tuhan adalah yang diterima (oleh
Tuhan), sedang Tuhan hanya menerima yang baik saja. Yang ke dua adalah bahwa
orang-orang Sufi itu pantas menerima
(karunia Tuhan), dan karenanengapa engkau tidak meminta kepada orang-orang agar mereka memberimu makanan? Dia menyahut :
“Aku takut meminta kepada mereka, kalau-kalau mereka menolak diriku dan menjadi
binasa karenanya. Aku telah mendengar nabi berkata : “Jika permintaan itu tulus, yang menolak
dirinya akan binasa.”
39.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KERENDAHAN HATI
(TAWADHU)
Al-Junaid ditanya mengenai kerendahan hati dan dia
berkata : “Itu adalah merendahkan sayap dan mengerutkan pinggang.” Ruwain
berkata : “Kerendahan hati adalah hati yang merendahkan diri di hadapan Tuhan,
yang megetahui yang gaib.” Sahl berkata : Penyempurnaan zikir kepada Tuhan
adalah perenungan, dan penyempurnaan kerendahan hati dalam perasaan senang
bersama Tuhan.” Yang lain berkata : “Kerendahan hati adalah menerima kebenaran
dari Kebenaran dan demi Kebenaran. Yang lain berkata : Kerendahan hati adalah
berbesar hati pada masa-masa sulit, teguh dalam kepasrahan, dan menanggung
beban dari orang-orang beragama.
40.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETAKUTAN (KHAUF)
Abu Amr al-Damisyqi berkata : “Orang
yang takut itu adalah yang meresa lebih takut kepada dirinya sendiri daripada
kepada musuh.”Ahmad ibn al-Sayyid Hamdawaih berkata: “Orang yang takut
itu dibuat takut oleh hal-hal yang menyebabkan (yang lain) merasa takut.” Abu
Abdillah ibn al-Jalla berkata : “Orang yang takut adalah yang ditetntramkan
dari hal-hal yang menyebabkan rasa takut.” Ibn Khubaiq berkata : “Orang yang
takut itu diliputi keadaan-keadaan tiap-tiap sat mistis. Pada suatu waktu dia
dibaut takut oelh hal-hal yang menyebabkan
rasa takut, dn pada waktu yang lain hatinya ditenteramkan.” Orang yang
takut akan hal-hal yang menyebabkan rasa takut adalah orang yang dikuasai oleh
rasa takut sampai sedemikian rupa, sehingga dia sepenuhnya menjadi rasa takut,
dan segala sesuatu menjadi takut kepadanya. Maka dikatakan bahwa, “Siapa pun
yang merasa takut kepda Tuhan, akan ditakuti oleh segala sesuatu.” Orang yang
ditenteramkan hatinya dari hal-hal yang membuat rasa takut itu sifatnya adalah
sedemikian rupa, sehingga ketika hal-hal itu berupaya mengganggu zikirnya, maka
mereka tidak bisa mempengaruhinya, sebab rasa takutnya kepada Tuhan membuatnya
tidak menyadari adanya segala sesuatu, maka segala sesuatu itu pun tidak akan
menyadari adanya dia. Puisi berikut akan memberi penjelasan akan hal ini :
Dia
yang dibakar api, adalha dia yang melihat api;
Tapi
dia yang menjadi api --- bagaimana bisa terbakar..?
Ruwain berkata : “Orang yang takut adalah dia yang tidak
merasa takut kepada apa pun selain Tuhan.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa dia
takut kepada Tuhan, bukan demi dirinya sendiri, melainkan akrena rasa takzimnya
kepada Tuhan. Rasa takut hanya demi dirinya sendiri
adalah rasa takut kepada rasa itu sendiri. Sahl berkata : “Rasa takut
(Khauf) itu laki-laki, pengharapan (raja’) itu perempuan.” Yang dimaksudkannya
adalah, bahwa dari yang dua itu lahirlah hakikat iman. Dia juga berkata : “Jika
seseorang merasa takut kepada yang selain Tuhan, sedang dia meletakkan
harapannya kepada Tuhan, maka Tuhan memberinya rasa aman dari ketakutan itu dan
dia pun diselubungi.”
41.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETAKWAAN
Sahl berkata : “Ketakwaan itu berarti merenungkan
keadaan-keadaan dalam keadaan uzlah.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa orang
tidak boleh takut kepada sesuatu selain Tuhan, berlindung kepada Tuhan dan
mendapatkan kesenangan dalam diri-Nya. Firman Tuhan : “Dan
bertakwalah kamu kepada Allah sepenuh kemampuanmu, mengandung arti,
takutlah kepda Tuhan dengan segenap kekatanmu. Sahl berkata : “Sepenuh
kemampuanmu memperlihatkan kebutuhan dan keinginan akan Dia.” Muhammad ibn
Sinjan berkata : “Ketakwaan berarti meninggalkan segala seuatu kecuali Tuhan.”
Sahl, memberi penjelasan tentang firman Tuhan, “Namun
yang akan sampai kepada-Nya hanyalah ketakutan hatimu jua.” Sebagai
berikut : Dasar ketakwaan adalah menghindar dari yang dilarang dan menjauh dari
jiwa (Nafsu) semakin banyak mereka melakukan tanpa merasakan kesenangan dalam
jiwa mereka semakin banyak kemantapan yang mereka capai.” Puisi berikut
disebut-sebut sebagai gubahan oleh Al-Nuri :
Wahai
Tuhan, aku takut kepada-Mu; bukan karena
Aku
takut kepada kemurkaan yang akan tiba;
Karena
betapa
Hal
itu bisa menakutkan, sedangkan tiada pernah ada karib...
Yang
lebih baik daripada Engkau?
Engkau
tahu benar rencana hati,
Tujuan
rahasia pikiran:
Dan
aku memuja Engkau, Cahay Ilahi,
Agar
tak ada cahaya lain membutakanku.
42.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEIKHLASAN
Al-Junaid berkata : “Keikhlasan adalah sesuatu yang
dengan jalan itu Tuhan didambakan, apa pun tidankannya.” Ruwaim berkata :
“Keikhlasan adalah mengangkat rasa hormat seseorang dari perbuatannya.” Saya
mendengar Faris menuturkan, bahwa sejumlah orang melarat datang dari Khurasan
menemui Abu Bakr al-Qahtabi, yang mengatakan kepada mereka : “Apa yang
diperintahkan oleh Syekh Kalian? --- yaitu Abu Usman. Mereka menjawab : “Dia
memerintah kami agar selalu patuh, tapi selalu melihat kesalahan-kesalahan kami
yang ada di situ.” Abu Bakr menyahut : “Mestinya dia malu! Tidakkah dia
memerintahkan kamu semua gar tidak menyadari akan kepatuhanmu, di dalam
pandangan Dia yang merupakan Pencipta kepatuhanmu?” Seseorang berkata kepada
Abul-Abbas ibn Atha : “Apakah Keikhlasan itu?” Dia menjawab : “Sesuatu yang
bebas dari kesalahan.” Abu Ya’qub al-Shufi berkata : “Tindakan
yang benar-benar ikhlas adalah yang tidak diketahui oleh malaikat yang akan
mencatatnya, maupun oleh setan yang akan merusaknya, atau oleh jiwa yang akan
membanggakannya.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa seseorng itu harus
memisahkan dirinya sendiri sepenuhnya demi Tuhannya, dan berpaling dari
tindakan itu kepada-Nya.
43.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI SYUKUR
Al-Harits al-Muhasibi berkata : “Syukur adalah tambahan
yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang bersyukur.” Yang dimaksudkannya
adalah bahwa kelau seseorang itu bersyukur, maka Tuhan akan menambahkan
rakhmat-Nya, dan dengan demikian ddia terlimpahi rahmat. Abu Sa-id ak-Kharraz
berkata : “Syukur itu artinya mengenal Yang memberim dan mengakui sifat
ketuhanan-Nya.” Abu Ali al-Rudzabari berkata :
Andai
seluruh anggota tubuhku berlidah..
“Tuk
memuja Engkau yang begitu pemurah..
Segenap
karunia baru akan menyimpan lagu pujaan...
Dan
seluruh puji bagi-Mu tak ‘kan ternyaynyikan.
Seorang tokoh Sufi berkata : “Syukur berarti tidak
menyadari rasa syukur akibat kesadaran akan hadirnya Yang Memberi.” Yahya ibn
Mu’adz berkata : “Setiap pemberian Tuhan harus disyukuri, dan harus begitu
selamanya.” Puisi yang berikut ini dianggap berasal dari Abdul-Husain al-Nuri :
Tuhan,
aku berterima kasih pada-Mu, bukan karena aku..
Dapat
membayar kembali kasih-Mu dengan cara begitu,
Tapi
agar aku dikatakan,
“Dia
menerima pemberian Tuhan dengan penuh syukur.
Setiap
saat indah yang kulewatkan bersama-Mu..
Kini
telah menjadi kenangan bagiku..
Karena
inilah harta terakhir dari syukur...
Kegembiraan
yang dikenang...
Salah seorang tokoh besar Sufi selalu mengatakan dalam
doa-doanya : “Wahai Tuhan, Engkau tahu, aku tiada mampu berterimakasih
kepada-Mu, berterimaksihlah pada Diri Mu Sendiri untukku.”
44.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI TAWAKAL
Sirri al-Saqati, berkata : “Tawakal adalah pelepasan dari
kekuasaan dan kekuatan.” Ibn Masruq berkata : “Tawakal adalah kepasrahan kepda
ketetapan takdir.” Sahl berkata : “Kepercayaan berarti merasa tenang di hadapan
Tuhan.” Abu Abdillah al-Qyrasyi berkata : “Kepercayaan berarti meninggalkan
setiap tempat berlindung kecuali Tuhan.”
Abu Sa’id al-Kharaz berkata : “Tuhan memberikan kecukupan bagi orang-orang di
kerajaan-Nya, dan mereka dibebaskan dari keadaan-keadaan dalam mempercayai-Nya
agar Tuhan mencukupi mereka, sebab, betapa tak layaknya jika kaum yang suci
menetapkan persyaratan.” Dia menganggap bahwa jika seseorang bertawakal kepada
Tuhan hanya demi mendapatkan kecukupan, berarti dia menyaratkan agar Tuhan
membuatnya berkecukupan. A;-Syibli berkata : “Tawal adalah dusta yang pantas.”
Sahl berkata : “Semua keadaan punya muka dan punggung, kecuali tawakal’ tawakal
adalah muka tanpa punggung.” Dia menunjuk kepada tawakal akan perhatian (kepada
Tuhan), bukan tawakal demi mendapat kecukupan dari Tuhan; yaitu tawakal yang
tidak mencari balas jasa dari Tuhan. Seorang tokoh Sufi berkata : “Tawakal
adalah rahasia yang hanya diketahui oleh hamba Tuhan.” Perkataan ini memliki
arti yang sama dengan perkataan lain yang dianggap berasal dari salah seorang
tokoh Sufi : “Tawakal yang sesungguhnya adalah meninggalkan tawakal itu, dan
itu berarti bahwa Tuhan harus sampai kepada mereka sebagai mana Dia sampai
kepada mereka sebelum mereka diwujudkan.” Seorang tokoh Sufi berkata kepada
Ibrahim al-Khawwas : “Ke mana Tasawuf membawamu?” Dia amenjawab : “Kepada
tawakal.” Yang lain berkata : “Mestinya engkau malu! Yang dimaksudkannya adalah
bahwa meletakkan tawakal pada Tuhan hanya demi dirinya sendiri adalah
semata-mata merupakan suatu jalan melindungi diri dari beberapa ketidak-enakan
yang mungkin menimpa.
45.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEPUASAN (RIDHA)
Al-Junaid berkata : “Kepuasana adalah melepaskan kehendak
bebas.” Al-Harits al-Muhasibi berkata : “Kepuasan adalah tenteramnya hati di
bawah ketetapan takdir.” Dzu’l-Nun berkata : “Kepuasan adalah kesenangan hati
di jalan takdir.” Ruwaim berkata : “Kepuasan adalah mengharapkan ketetapan
(Tuhan) dengan senang hati.” Ibn Atha berkata : “Kepuasan adah penghargaan hati
untuk apa yang telah dipilih Tuhan bagi hamba-Nya sejak mula-mula sekali, sebab
apa yang telah dipilih oleh-Nya bagi dia adalah yang terbaik.” Sufyan berkata
kepada Rabi’ah : “Wahai Tuhan, puaslah dengan diriku.” Wanita itu berkata kepadanya
: “Apakah engkau tidak malu meminta kepuasan dari Dia yang kepadanya engkau
sendiri merasa tidak puas?” Sahl berkata : “Kalau kepuasan itu disatukan dengan
keridhaan (Tuhan), barulah kepuasan itu kekal; dan ‘Untuk mereka kebahagiaan
dan tempat kembali terbaik di akhirat.” Dia menunjuk kepada firman Tuhan dalam
kata-kata itu : “Allah Ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.”
Perkataan ini berarti bahwa kepuasan di dunia dalam menerima ketentuan (Yuhan)
akam mewarisi keraidhaan (Tuhan) di dunia mendatang bersama apa yang telah
dicatat oleh pena-pena itu. Tuhan berfirman : “Demikianlah, telah berlaku
keputusan Allah terhadap para hamba-Nya dengan adil. Maka berkumandanglah
ucapan : “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam!.” Ini merupakan pernyataan
orang-orang bertuhan ssatu dari kedua pihak, yaitu para penghuni surga dan
penghuni neraka; sedang bagi orang-orang kafir, mereka tidak dijinkan
menyuarakan “pujian” sebab, mereka diselubungi. Puisi al-Nuri berikut ini
sungguh sangat mengena.
Ah,
kepuasan itu adalah minuman yang pahit
Dierguk
oleh kesenangan, kala hidup menjadi huru-hara gelap.
Diambil
untuk kegembiraan; tapi dia
Mengungkap
hal-hal yang paling suci,
Bahkan
di hadirat Tuhan. Selalu binatang yang mandul itu.
Yang
paling serakah di padang gembalaan.
46.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEPASTIAN
Al-Junaid berkata : Kepastian adalah hilangnya keraguan,”
Al-Nuri berkata : “Kepastian adalah perenungan.” Ibn Atha berkata : “Kepastian
adalah sesuatu yang tidak tersentuh oleh kebalikannya sepanjang waktu.” Dzu’l
Nun berkata : “ Segala sesuatu yang dilihat mata dihubungkan dengan
pengetahuan, dan yang diketahui oleh hati dihubungkan dengan pengetahuan, dan
yang diketahui oleh hati dihubungkan dengan kepastian.” Yang lain berkata :
“Kepastian adalah mata hati.” Abdullah berkata : “Kepastian adalah penyatuan
selang waktu, dan pemutusan apa-apa yang ada di antara jarak waktu.” Kata-kata
ini mengandung arti yang sama dengan kata-kata Haritsah : “Dan seolah-olah saya
melihat Singgasana Tuhan-ku tampil; daya lihatnya disatukan dengan yang
tak terlihat, dan selubung yang ada di
antara dia dan yang tak terlihat telah hilang. Sahl berkata : “Kepastian adalah
wahyu. “Maka yang lain berkata : “Jika selubung itu telah diangkat, tidak akan
aku memiliki kepastian lebih bessar dari pada ini.”
47.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI ZIKIR
Zikir yang sesungguhnya adalah melupakan semuanya kecuali
Yang Esa. Maka Tuhan berfirman : Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika engkau lupa.” Yaitu, jika engkau telah melupakan apa
yang bukan Tuhan, maka berarti engkau telah mengingat Tuhan. Nabi berkata : “Orang yang sendiri itu lebih utama.” Mereka
bertanya : “Siapakah orang yang sendiri itu, wahai Rasul Allah?” Dia menjawab :
“Laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat.”
Yang sendiri” adalah dia yang tidak bersama sia-siapa. Salah seorang tokoh
besar Sufi berkata : “Ingatan itu membuang alpa;
dan kalau kealpaan itu telah hilang, maka engkau menajdi orang yang ingat,
bahkan jika engkau diam saja.” Puisi yang berikut ini dianggap merupakan
gubahan al-Junaid :
Aku
mengingat Engkau;
Tak
akan kenanganku
Walau
dalam sekejap mata pun
Lepas
dari engkau
Aku
mengingat engkau;
Tapi
tak ada yang lebih mudah..
Dibanding
kata yang gampang terucap..
Terlupa
segera setelah terdengar..
Saya mendengar Abul Qasim al-Baghdadi menuturkan, bahwa
dia bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi : “Apakah yang membuat jiwa
para “Ahli ma’rifat” itu sakit? Mereka membenci zikir, dan senang akan
perenungan, tapi, sebenarnya, perenungan itu tidak mendatangkan penyelesaian,
sedangkan zikir itu tidak membawa mereka jauh dari penderitaan. Kebanggan
mereka ada dalam kehormatan yang tersembunyi di balik perenungan, dan yang
membuat mereka lupa akan penderitaan dalam susah payah mereka.” Dengan
mengatakan, “Mereka menganggap enteng buah dari zikir.” Dia mengisyaratkan
bahwa buah-buah zikir ini merupakan kesenangan jiwa (Nafsu), dan sudah tentu
para ahli ma’rifat itu telah berpaling dari jiwa dan kesenangan-kesenangannya.
Tapi, perenungan mereka adalah tentang keagungan, kebesaran, pilihan dan
kebaikan Tuhan; mereka merenungkan utang mereka pada Tuhan, dan karena itu
mereka menghormati-Nya, sementara mereka berpaling dari pemikiran mengenai
kebaikan apa saja yang mungkin mereka miliki di hadapan Tuhan, karena
menghargai Dia. Sebab Nabi berkata, atas persetujuan Tuhan, “Jika seseorang selalu mengingat Ku sehingga ia lupa
berdoa kepada-Ku, Aku anugerahkan baginya pahala yang lebih mulia daripada
pahala yang Ku berikan bagi mereka yang berdoa kepada-Ku.” Firman ini bisa ditafsirkan begini : Jika
seseorang begitu terpusat perhatiannya dalam merenungkan keagungan-Ku sehingga
dia lupa mengingat Aku dengan lidahnya .... Sebab ingatan dengan lidah itu
berarti berdoa; lebih-lebih, perenungan mengenai keagungan-Nya itu
membingungkan dia, dan membuat dia tidak mengingat Tuhan lagi. Inilah arti
kata-kata Nabi : “Aku tidak bisa
membllang pujian yang menjadi milik-Mu.” Puisi Al-Nuri berikut dikutip dalam
hubungannya dengan hal ini :
Begitu
menggebu cintaku, aku sungguh ingin,
Untuk
menyimpan kenangan-Nya, selamanya dalam hatiku;
Tapi
wahai, gairah yang membakarku..
Menghanguskan
pikiran ku, dan membutuhkan ingatanku!.
Dan
sungguh ajaib, gairah
Itu
sendiri tersapu, menjauhd an mendekat
Kekasih
berdiri, dan seluruh rasa
Kenanganku
tersapu dalam harapan dan ketakutan..
Al-Junaid berkata : “Jika
seseorang mengatakan “Tuhan” sedangkan dia belum pernah merenung, maka dia
seorang pendusta.” Kebenaran pernyataan ini disaksikan oleh firman Tuhan
: “Mereka mengatakan : “Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar utysan Allah.”
..... Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.”
Tuha menuduh mereka pendusta, meskipun pernyataan mereka itu benar adanya,
karena pernyatan itu tidak didasarkan atas
perenungan. Yang lain berkata : “Hati adalah untuk merenung, lidah
adalah untuk mengutarakan perenungan itu; Jika seseorng mengutarakan sesuatu
tanpa merenungkannya, maka dia adalah saksi yang tidak sah.” Salah seorang
tokoh Sufi berkata :
Engkaulah
pencipta kesusahanku, Tuhan, bukan kenanganku,
Sebab
Engkau akan menghapus segala kenanganku,
Kenangan
adalah selubung, dan bersekutu dengan pikiran..
Untuk
membutakan hatiku, dan menyembunyikan Engkau dari
Pandangan-ku
Inilah penafsirannya : Zikir adalah alat bagi oang yang
mengingt; oleh karena itu, jika saya tak merenung pada saat ssaya mengingat,
maka klalaian itu adalah pada diri saya, sebab , sifat-sifat orang itu
sendirilah yang mencegahnya dari merenungkan Tuhannya. Sarri as-Saqati berkata
: “Aku menemani seorang berkulit hitam (negro) di padang pasir dan aku
mengamati bahwa setiap kali dia mengingat Tuhannya, warna kulitnya berubah
putih. Aku berkata : “Saudaraku, sungguh, jika engkau mengingat Tuhan
sebagaimana Dia mestinya diingat, kulitmu sendiri pun akan berubah, dan
bentukmu berganti.” Lalu dia mulai bernyanyi :
Kami-kmai
mengingta ... namun kealpaan
Bukanlah
kebiasaan kami, tapi cahaya bersinat..
Udara
gaib terhirup, dan Tuhan dekat..
Lalu
hilang lenyaplah kedirina, dan aku
Ada
sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas
Bersaksi
atas Dzat-Nya dan dengan itu dikenal,
Syair berikut dari Ibn Atha bisa juga dikutip :
Zikir adalah dari jenis yang lain, kulihat,
Yang pertama oleh cinta dan rindu bisa di
atasi;
Yang berikut, hubungan jiwa,
Dan dengannya bercampur, sebagai
keseluruhan tanpa kehidupan
Oleh ruh dipercepat pada nafa..
Yang berikut melepas ruh, dan berurusan
dengan kematian..
Yang kadang tersembunyi, kdang tampak, yang
akhir menjulang..
Tinggi atas mahkota kepala, dan segala
kekuatan
Penglihatan dan pemikiran, ya, setiap
fantasi..
Dari benak tiada sanggup menjangkau. Dengan
jelas
Mata hati kemudian melihat Dia, dan mencaci
Zikir, sebagai beban yang berat
ditanggungnya.
Dia membagi zikir menjadi beberapa kelas. Yang pertama adalah zikir hati, berarti bahwa Dia yang
diingat dulunya terlupakan, lalu teringat kembali; yang kedua adalah Zikir tentang sifat-sifat Dia yang diingat; yang ketiga adalah perenungan mengenai Dia yang
diingat. Dan yang terakhir ini, maka berarti
orang itu telah melewai zikir; sebab sifat-sifat Dia yang diingat membuat
engkau jauh dari sifat-sifatmu sendiri, dan dengan begitu engkau jauh dari
zikir.
48.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEINTIMAN (UNS)
Al-Junaid ditanya : “Apakah keintiman itu?” Dia menjawab
: “Keintiman adalah hilangnya kegugupan, bersamaan dengan berlangsungnya
pesona.” Yang dimaksudkan dengan hilangnya kegugupan adalah karena harapan
lebih lazim dibanding ketakutan. Dzu’l Nun, ketika ditanya mengenai hal yang
sama berkata : “Keintiman adalah keberanian si pencinta dengan Yang
Dicintainya.” Perkataannya mengandung arti yang sama dengan kata-kata Karib
(Ibrahim) : “Perlihatkanlah kepdaku, bagaimana cara Engkau menghidupkan kembali
orang-orang yang sudah mati.” Dan kata-kata orang yang berbicara dengan Tuhan
(Musa) : “Perlihatkanlah diri-Mu agar aku dapat melihat-Mu.” Jawaban Tuhan :
“Engkau tak akan melihat-Ku.” Yang seolah-olah merupakan suatu alasan saja,
berarti, Engkau tidak akan mampu.” Ibrahim al-Maristani ditanya mengenai
keintiman, dan dia menjawab : “Keitniman adalah kegembiraan hati ketika ada bersama
Yang Dicintai.” Syibli ditanya tentang hal yang sama, dan dia menjawab :
“Keintiman adalah rasa terpisah dari dirimu sendiri.” Dzu’l Nun berkata :
“Keadaan terendah keintiman adalah bahwa seseorang itu harus dibuang ke dalam
api, sekalipun begitu dia tidak dijauhkan dari Dia yang yang telah dikenalnya.”
Seoang tokoh Sufi berkata : “Keintiman berarti bahwa seseorang itu harus
bertul-betul akrab dengan zikir sehingga dia dijauhkan dari bayangan (semua)
yang lain.” Syair Ruwaim dikutip di sini dalam hubungannya dengan masalah ini :
Keindahan-Mu
adalah kesenangan hatiku,
Dan
tak henti-hentinya menguasai benakku;
Kasih-Mu
telah menempatkan diriku, dalam pandangan-Mu.
Terpisah
dari semua manusia.
Ingatan
itu datang kepadaku..
Dengan
berita gembira dari Sang Karib;;
“Lihat,
karena Dia telah berjanji kepdamu
Engkau
akan menjangkau dan memperoleh akhir dirimu.”
Di
manapun Engkau memberi terang,
Wahai
Engkau yang menjadi tujuan jiwaku!
Engkau
tampak jelas dalam penglihatanku,
Dan
tetap ada dalam hatiku.
49.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEDEKATAN (QURB)
Sarri As-Saqathi ditanya : “Apakah kedekatan itu? Dia
menyahut : “Kedekatan adalah kepatuhan.” Yang lein berkata : “Kedekatan berarti
engkau, pada saat yang sama, bersikap lancang terhadap-Nya, dan tunduk
dihadapan-Nya; sebab Tuhan berfirman : “Tetap Sujud dan mendekatlah kepada-Ku.”
Ruwaim ditanya mengenai kedekatan, dan dia berkata : “Menghilangkan setiap
penghalang.” Yang lain, ketika ditanya mengenai hal yang sama, menyahut : “Itu
berarti engkau menyaksikan apa yang telah dilakukan-Nya terhadap dirimu.” Arti
perkataan ini adalah, bahwa engkau melihat tindakan-tindakan serta
pemberian-pemberian-Nya kepdamu, dan di situ engkau tidak sadar akan
tindakan-tindakan dan usaha-usahamu; atau itu bisa juga mengisyaraktkan bahwa engkau menganggap dirimu sendiri sebagai
wakil Tuhan, menurut firman Tuhan, : “Waktu kamu melempar itu, sebenarnya bukan
kamu yang melempar, melainkan Allah jualah,: dan “Sebenarnya, bukan kamu yang
membunuh mereka itu, tetapi Allah.” Al-Nuri menulis sebagai berrikut :
Aku
telah mengira bahwa, setelah menjauh
Dari
diri, dalam kekhusyukan, aku harus membuat jalan..
Menuju
Engkau : Tapi, oh! Tak satu makhluk pun boleh
Mendekati
Engkau, kecuali lewat jalan yang Engkau tunjuk..
Aku
tak bisa hidup lebih lama lagi, Tuhan, tanpa Engkau..
Tangan-Mu
ada di mana-mana, tiada mampu aku lari..
Ada
yang berhasrat dengan harap untuk datang kepada-Mu..
Dan
telah Engkau tampakkan dalam diri mereka tujuan Tinggi..
Lihat,
aku telah memutuskan setiap pemikiran dari diriku..
Dan
mematikan kehadiran, agar bisa menjadi milik-Mu..
Berapa
lama, buah hatiku? Habis tenagaku..
Tak
kuat lagi ku jalani pembuangan ini..
Inilah penafsirannya : Keadaanku membuatku mengira-ngira
bahwa kekhusyukanku kepada Mu dan menjauhnya diriku dari semua yag selain
Engkau merupakan jalan untuk mendekat kepada Mu. Tapi kekusyukan dan
kemenjauhan itu hanyalah alat; dan kedekatan dengan diri-Mu tak dapat dicapai
dengan alat apa pun yang ku miliki, kecuali dengan perantraan Engkau sendiri,
sebagaimamana kedekatan itu datang dari-Mu. Dia meneruskan : Beberapa orang
telah berusaha mendekat kepada-Mu lewat perbuatan-perbuatan dan
tindakan-tindakan kepatuhan mereka, dan Engkau telah menyatu bersama mereka
dengan karunia-Mu. Aku tiada berbuat apa-apa yang bisa mendekatkan-Mu kepadaku,
dan aku merasa akan musnah karena kerinduanku untuk berada dekat dengan-Mu;
tapi aku sendiri tak memiliki alat untuk datang ke situ. Syair berikut juga
karya An-Nuri :
Aku
melihat-Nya lewat,
Dan
ku sangka Dia dekat,
Tapi
tuntutan-Nya membuatku pilu, dan harapanku mati.
Lalu,
kala datang keputusasaan,
Dan
memberikan kesaksian..
Cemerlang
dengan mukjizat baru yang tak kan berakhir..
Dia mengatakan : Setiap kali aku berputus asa sepanjang
menyangkut diriku sendiri, karunia yang telah diperlihatkan-Nya mengobati
keputusasaanku.
50.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENYATUAN (ITTIHAD)
Penyatuan berarti pemisahan dari segala sesuatu yang
selain Tuhan, dalam hati tidak melihat – dalam arti memuja – apa-apa kecuali
Tuhan, dan tidak mendengar apa-apa kecuali firman Tuhan. An-Nuri berkata :
“Penyatuan adalah pengungkapan hati dan perenungan kesadaran.” Pengungkapan
hati itu dilukiskan dalam kata-kata Haritsah : “Seolah-olah sya melihat
Singgasana Tuhan saya tampil.” Sedangkan perenungan (dari) kesadaran itu
ditunjukan dalam perkataan Nabi : “Pujalah Tuhan seolah-olah engkau
melihatnya.” Dan perkataan Ibn Umar : “Kami melihat Tuhan di tempat itu. Yang
lain berkata : “Penyatuan terjadi ketika kesadaran datang dalam keadaan alpa.”
Yang berarti bahwa pemujaan kepada Tuhan itu mengacaukan pemujaan kepada segala
sesuatu yang lain. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Penyatuan adalah
ketika hamba itu tidak bersaksi atas apa pun yang ada padanya kecuali mengenai
Pembuat dirinya.” Sahl berkata : “Mereka digerakkan oleh kesusahan, karena itu
mereka berada dalam kekacauan. Kalau mereka sedang tenang, maka mereka pasti
telah mencapai penyatuan.”
51.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI CINTA (MAHABBAH)
Al-Junaid berkata : “Cinta adalah kecenderungan hati,”
berarti bahwa cinta cenderung kepada Tuhan dan apa yang yang berhubungan dengan
Tuhan, tanpa dipaksa, Yang lain berkata : “Cinta adalah penyesuaian.” Yaitu
kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhan, menjauhakn diri dari apa
yang dilarang oleh Tuhan, dan puas
dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh-Nya. Muhammad ibn Ali al-Kattani
berkata : “Cinta berarti lebih menyukai Kekasihnya.”
Yang lain berkata : “Cinta berarti lebih menyukai
apa yang dicintai untuk orang yang dicintainya.” Abu Abddillah al-Nibaji
berkata : “ Cinta adalah kesenangan jika
itu ditujukan kepda makhluk, dan pembinasaan jika itu ditujukan kepada
Pencipta.” Yang dimaksudkannya dengan “pembinasaan” adalah, bahwa tidak da
minat pribadi yang tinggal, baha cinta yang semacam itu tidak ada penyebabnya,
dan baha si pecinta tidak bertahan lewat penyebab apa pun. Sahl berkata :
“Barang siapa mencintai Tuhan, dialah kehidupan; tapi barang siapa mencintai,
maka dia tidak memiliki kehiduan.” Dengan kata-kata “Dialah kehidupan” yang
dimaksudkannya adalah bahwa kehidupan itu serasi , sebab pecinta menemukan
kesenangan di dalam segala sesuatu yang datang kepadanya dari kekasihnya, entah
itu sesuatu yang mendatangkan kebencian
atau yang diinginkan; sedangkan dengan kata-kata “dia
tidak memiliki kehidupan” yang dimaksudkannya adalah, karena dia selalu
berusaha mencapai apa yang dicintainya, dan selalu takut kalau-kalau dia dihalangi
untuk mencapainya, maka seluruh kehidupannya musnah. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Cinita
adalah suatu kesenangan, dan dengan Tuhan tidak ada kesenangan; sebab
keadaan-keadaan hakikat itu merupakan kekagetan, penyerahan dan kebingungan.
Cinta manusia kepada Tuhan adalah suatu pemujaan yang bersemayam di dalam hati,
dan penafian cinta kepada sesuatu selain Tuhan. Cinta Tuhan kepada manusia
adalah bahwa Dia menyusahkannya, dan membuatnya tidak layak untuk apa pun
kecuali untuk Dia. Inilah arti firman Tuhan : “Dan
aku telah memilihmu untuk-Ku.” Tapi kata-kata “membuatnya tidak layak
untuk apa pun kecuali untuk Dia” berati, bahwa tidak ada bagian dirinya yang
tinggal, yang memungkinkannya melakukan hal-hal lain, atau menaruh perhatian
pada kondisi-kondisi material. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Cinta itu
ada dua macam : Cinta yang diakui, yang dimiliki oleh mereka yang terpilih dan
orang-orang awam, dan cinta gairah dalam arti pencapaian. Sehubungan dengan
yang kedua ini, tidak ada pertimbangan mengenai diri atau makhluk-makhluk lain,
atau mengenai penyebab-penyebab sekunder atau kondisi-kondisi sekunder, sebab
ada penyerapan tolak ke dalam perenungan tentang apa yang ada beserta Tuhan dan
dari Tuhan.” Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini :
Dengan
dua jalan aku mencintai Engkau : secara egois,
Dan
kemudian, dengan penghargaan terhadap-Mu.
Cinta
dirilah yang telah menyiakanku..
Kecuali
memikirkan Engkau dengan segenap pemikiran;
Cinta
paling sucilah yang ada ketika Engkau bentangkan..
Slubung
menutupi pandanganku yang terpesona.
Bukan
keberatan atas puji yang begini atau begitu..
Milik-Mu
adalah puji dua-duanya kuharap.
Ibn Abd al-Shamad berkata : “Cinta
adalah yang mendatangkan kebutaan dan ketulian; Cinta membutakan segalanya
kecuali terhadap Yang Dicinta, sehingga orang itu tidak melihat apapun kecuali
Dia. Nabi berkata : “Cintamu adalah sesuatu yang mendatangkan kebutaan
dan ketulian.” Dia juga menyitir syair berikut ini :
Cinta
membuatku tuli dari segala kecuali suara-Nya;
Pernahkah
cinta se aneh ini?
Cinta
membutakanku, dan hanya kepada-Nya semata aku memandang
Cinta
membutakan, dan karena tersembunyi, membunuh..
Dia juga menyitir :
Ada
kelebihan cinta
Yang
tak bisa ditahan manusia, cinta membubung tinggi
Melebihi
segala nilai, kala begitu banyak hal menakutkan
Turu,
Atau biarkan diamenyamai yang dibawa oleh kemarahan
Dia
akan gembira, atau biarkan dia melewati segala ukuran
Dia
akan bersuka, dan menganggapnya kesenangan
Nah, orang-orang Sufi memang memiliki ungkapan-ungkapan
khas dan istilah-istilah teknis tertentu yang mereka pahami di lingkungan
mereka sendiri, tapi sangat jarang digunakan oleh orang lain. Kami akan terus
menuliskan semuanya itu sepanjang masih sesuai, dengan memberi pelukisan
arti-artinya dengan kata-kata atau ungkapan (frase). Di sini semata-mata
bertujuan memberi penjelasan mengenai arti beberapa ungkapan, bukan pengalaman
yang diliputi ungkapan itu; sebab, pengalaman seperti itu disebutkan pun
mustahil, apalagi dijelaskan. Esensi yang sesungguhnya dari keadaan-keadaan
kejiwaan orang-oranng Sufi adalah sedemikian rupa, sehingga ungkapan-ungkapan
itu saja tidak cukup untuk melukiskannya. Sekalipun begitu, ungkapan-ungkapan
ini dipahami sepenuhnya oleh orang-orang yang telah mengalami keadaan-keadaan
itu.
52.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PELEPASAN DAN
PEMISAHAN
Arti pelepasan adalah bahwa tata lahiriah seseorang harus
dilepaskan dari kejadian-kejadian, dan batinnya dari pahala; yaitu, seseorang
tidak boleh mengambil apa pun dari segala kejadian di dunia ini, atau mencari
imbalan apa pun yang orang itu telah disumpah untuk menjauhinya, baik itu
merupakan hal-hal yang bersifat sementara, ataupun bersifat kekal; sebaliknya,
orang harus memathui hal itu karena itu merupakan kewajiban kepada Tuhan, dan
bukan disebabkan oleh sebab atau alasan lain. Lebih jauh, hal itu berarti,
bahwa kesadaran seseorang harus dilepaskan dari pertimbangan berbagai keadaan
dan tahapan, yang di dalamnya orang itu berada dari waktu ke waktu, dalam arti
bahwa orang itu tidak puas atau terikat pada keadaan-keadaan itu.
Arti pemisahan adalah, bahwa seseorang harus memishkan
dirinya dari segala bentuk, dan terpisah dalam keadaan dan tindakannya; yaitu
bahwa tindakan orang itu harus sepenuhnya ditujukan untuk Tuhan, dan bahwa
mereka tak boleh memiliki pemikiran tentang diri, penghargaan pada jasmani atau
penghargaan pada imbalan. Lebih-lebih, orang harus dipisahkan dalam keadaan-keadaannya
dari keadaan-keadaan itu sendiri, dengan begitu dia tidak menyadari adanya
keadaan itu; sama sekali, karena perhatiannya terserap sepenuhnya pada
penglihatan akan Dia yang menentukan keadaan itu; dan dalam keadaan terpisah
dari segala bentuk, orang itu harus tak berhubungan bentuk-bentuk itu atau
berusaha agar terjauh dari bentuk-bentuk itu. Telah dikatakan : “Pelepasan
berarti bahwa seseorang itu tidak memiliki, pemisahan berarti bahwa orang itu
tidak dimiliki.” Syair berikut dari Amr ibn Usman al-Makki, melukiskan :
Sendiri
bersama Tuhan yang sendiri, dia sendiri;
Tetap
satu dia, sebab Hasratnya hanya Satu,
Maka
telah ku lihat mereka, masing-masing dalam tarafnya.
Para
pencari yang sendiri itu, dan lihat, dia
Yang
pergi paling jauh, paling dekat pada tujuan.
Orang dari dunia yang diberi kesaksian itu,
dengan semangat jiwa
Berpaling, dan membumbung tinggi, tinggi
dalam terbangnya.
Sendiri, sendiri dalam segala
penderitaannya,
Yang lain terbang dari jiwanya melompat ke
Dalam gairah yang sepi, Yang lain lagi
membuka
Ikatan yang rapuh dari kedirian, dan
terbangun
Sendiri, tapi tidak sendiri, Tuhan yang
Pemurah
Menerima pilihannya Sendiri dengan curahan
penuh cinta.
Orang yang
“membumbung tinggi, tinggi dalam terbangnya sendiri” adalah yang “sendiri dalam
segala penderitaannya” karena dia tidak dapat menemukan jalan sama sekali untuk
mendapatkan yang dicarinya dan tak akan henti-hentinya berusaha. Orang yang
“Tidak merasakan penderitaan ini. Akhirnya dia yang “membuka ikatan yang rapuh dari kedirian”
karena telah melewati masa kediriannya adalah orang yang terpilih dan
didekatkan (oleh Tuhan), dan dia sendiri ada bersama Realitas itu.
53.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEGAIRAHAN (WAJD)
Kegairahan (ekstase) adalah suatu perasan yang merasuki
hati, entah itu berupa rasa takut, rasa sedih, atau bayangan kehidupan yang
akan datang, atau mengungkapkan keadaan antara manusia dengan Tuhan. Mereka
berkata : “Dan kegairahan merupakan pendengaran dan penglihatan oleh hati,”
Tuhan berfirman : “Sebab bukan mata mereka yang
buta melainkan hati yang ada dalam dada mereka itulah yang buta.” Dan
lagi : “Dan menggunakan pendengarannya, sebab dia
menyaksikan sendiri.” Jika kegairahan seseorang itu lemah, berarti dia
memamerkan kegairahanyya; “pameran” ini terjadi ketika yang dirasakannya di
dalam batinnya terejawantah dalam tata lahirnya. Tapi, jika kegairahannya kuat;
dia mengatasi dirinya sendiri dan menajdi pasif. Tuhan berfirman : “Tegak bulu roma orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingati Allah.”
Al-Kegairahan adalah lidah api yang muncul dari hati, dan timbul dari
kerinduan, dan pada rahmat atau hukuman Tuhan itu (warid), anggota-anggota
tubuhnya tergerak, entah oleh kegembiraan atau kesedihan.” Mereka telah berkata
: “Kegairahan itu sama dengan yang berlalu (zawal), sedang ma’rifat itu mantap
dan tidak akan berlalu>’ Syair berikut ini adalah gubahan Al- Junaid :
Dalam
gairah senangnlah dia
Menemukan,
dalam kegairahan itu, ketenangannya;
Tapi
kalau Kebenaran datang, gairah
Itu
sendiri dilenyapkan.
Dulu
pernah kegairahan menjadi kesenangan bagiku;
Tapi
Dia yang benar-benar ku temui
Dalam
kegairahan mengambil seluruh penglihatanku,
Dan
terhadap yang lain-lainnya aku buta.
Salah seorang tokoh besar Sufi mengubah syair berikut :
Dia
perlihatkan selubung dan wibawanya
Mengguncangkan
kebesaran hakikat segala
Dan
setiap bentuk yang terbayang. Sayang, Dia
Harus
selalu dirasa dalam kegairahan,
Mengenai
lidah api itu tak lain dari bayangan
Dari
ketidak mampuan yang ateralahkan (Kemampuan yang lebih tinggi)
Kegairahan
hanya menyentuh bentuk, yang lari
Di
hadapan sifat ketuhanan-Nya yang bercahaya
Dan
dia bersama mereka. Aku pun sebelumnya menemukan
Kesenangan
dalam kegairahan; tapi sengsaralah hatiku,
Kadang
di sana, kadang di sini. Lalu, sebagai pelipurku,
Dia
berikan kepadaku kesaksian, lepas
Dari segalanya kecuali Yang Disaksikan; kegairahan
itu
Tertelan,
dan semua kesenangan
Dari
segala bentuk yang terlihat, ada dalam Kesatuan yang Esa.
Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Kegairahan adalah
berita-berita gembira yang dikirimkan oleh Tuhan tentang penaikan sang Sufi
menuju tingkatan-tingkatan perenungannya.” Yang lain berkata :
Adalah
lebih pantas bahwa Dia
Yang
dengan segala pemberian-Nya membawakanku kegairahan
Haruskah
karunia-Nya yang tak terbatas
Menyapu
bersih jiwaku dari setiap jejaknya?
Kala
pertama Dia datang kepadaku
Kala
pertama Dia menggerakan jiwaku menuju kegairahan
Aku
tahu bahwa Dia akan membawa
Hadiah
yang jauh di luar jangkauan angan-angan
As-Syibli menulis syair berikut ini :
Aku
percaya bahwa kegairahan itu meragukan
Jika
dia muncul bukan dari penyaksian;
Dan
setiap saksi itu terlempar,
Kala
Kebenaran itu membawa saksinya yang jelas.
54.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETERKUASAAN
Keterkuasaan adalah suatu keadan yang dialami oleh para
Sufi, yang di dalamnya dia tidak mampu melihat penyebabnya atau menjaga
sikapnya, dan sama sekali tidak mampu membedakan apa-apa mengenai keadaan yang
menimpanya; bahkan dia mungkin melakukan sesuatu yang akan menyebabkan dia
tidak diterima dengan baik oleh mereka yang tidak mengerti keadaan dirinya.
Tapi kalau keterkuasaan itu telah lewat,
maka dia akan kembali kepada keadaan dirinya yang normal.
Kekuatan-kekutan ini mungkin merupakan rasa takut, rasa terpesona, rasa hormat,
rasa malu atau yang semacam itu. Suatu pelukisan diberikan dalam cerita Abu
Lubabah ibn Mundzir. Banu Quaraizhah bermaksud berunding dengannya, ketika Nabi
menghendaki mereka tunduk kepada wewenang Sa’id ibn Mu’adz; dan Sa’id menunjuk
lehernya dengan tangan, mengisyaratkan hukum bunuh. Lalu dia bertobat atas apa
yag telah dilakukannya, karena amenyadari bahwa dia telah bersikap tidak setia
kepada Tuhan dan Rasul-Nya; maka dia pun pergi dengan kebingungan dan akhirnya
mengikat dirinya sendiri pada salah satu ting masjid, sambil berkata : “Aku
tidak akan meninggalkan tempatku ini sampai Tuhan mengapuni apa yang telah ku
lakukan.” Dia bertindak bagitu karena takut kepda Tuhan yang menguasainya, dan
mencegahnya pergi kepada Nabi seperti yang seharusnya dia lakukan, menurut
perintah Tuhan : “Kalau mereka, telah menganiaya dirinya sendiri, lalu datang
kepadamu sambil memohon ampunan kepda Allah, sedang Rasul pun ikut pula
memohonkan ampunan.....” Sebab tidak ada tertulis di dalam Hukum bahwa
seseorang mesti diikat pada tembok atau tiang. Ketika Nabi berkata bertapa lama
orang itu dalam perjalanan untuk menemui beliau, beliau berucap : “Kalau saja
dia telah datang kepadaku, aku pasti telah memohonkan ampun untuknya; tapi
karena dia telah melakukan apa yang kini telah dilakukannya, maka bukanlah aku
yang harus membebaskannya dari tempat ini, sampai Tuhan mengampuninya.” Ketika
Tuha melihat bahwa dia memang tulus, dan apa yang terjadi merupakan akibat rasa
takut yang menguasinya, maka Dia pu mengampuninya. Lalu Tuhan mewahyukan
ampunan-Nya, dan Nabi membebaskannya. Nah, ketika rasa takut ini menguasai Abu
Lubabah, dia tidak mampu mengamati penyebabnya dan tidak tahu bahwa Rasul harus
mohon ampun, sebab Tuhan berfirman : “Kalau mereka telah menganiaya dirinya sendiri....”
Dia juga tidak mampu menjaga seikapnya, yaitu meminta maaf kepada orang yang
didosainya, sehingga dia menentang Nabi ketika beliau hendak mengdakan gencatan
senjata dengan orang-orang kafir pada tahun Hudaibiyah; Umar melompat bangun
dan datang kepada Abu Bakr, berkata : “Wahai Abu Bakr! Tidakkah Beliau itu
Rasul Allah?” Dia berkata : “Ya.” Umar berkata : “Tidakkah kita ini orang-orang
Muslim?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata : “Tidakkah mereka itu orang-orang
kafir?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata : “Lalu, mengapa kita membawa
pertimbangan-pertimbangan duniawi ke dalam agama kita?” Abu Bakr berkata :
“Wahai Umar! Berpeganglah engkau pada sanggurdi beliau.”(Menuruti perintahnya),
sebab, aku bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.” Umar berkata : “Dan aku pun
bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.” Lalu dia dikuasai oleh perasaannya, dan
dia datang kepada Nabi dan berkata kepada beliau seperti yang dikatakannya
kepada Abu Bakr; dan Nabi menjawab seperti Abu Bakr dan menyudahinya dengan
kata-kata : “Aku adalah hamba Tuha dan Rasul-Nya; aku
tak akan menetang perintah-Nya, dan Dia
tak akan meninggalkanku.” Sesudah itu Umar sering berkata : “Aku tak
henti-hentinya berbpausa, memberi sedekah, membebaskan para tawanan serta
berdoa, untuk menebus kelakuanku pada hari itu, sebab aku takut akan kata-kata
yang telah kuucapkan; sampai akhirnya aku berharap agar segala sesuatunya
berjalan baik.” Sama halnya ketika dia menentang Nabi, ketika beliau berdoa
untuk Abdullah ibn Ubay. Umar berkata : “Beberapa perubahan datang pada diriku,
dan aku berdiri di hadapannya serta berkata : “Wahai Utusan Allah; maukah
nekgua berdoa untuk orang ini, mengingat bahwa dia telah berkata begini dan
begini pada hari ini dan ini?” Begitulah dia menyebutkan harinya satu demi
satu, sampai Nabi berkata kepadanya : “Biarkan aku; aku
telah diberi pilihan, dan aku telah memilih.Abu Taibah, yang menoreh
kulit Nabi lalu meminum darah beliau, sesuatu yang terlarang dalam Hukum: ini
dilakukannya dalam keadaan dia dikuasai. Tapi Nabi memaafkannya, dan berkata :
“Engkau telah memagari dirimu sendiri dengan pagar neraka.”
Ceita-cerita semacam itu --- dan banyak lagi lainnya –
membuktikan bahwa keterkuasaan itu merupakan keadaan murni dari jiwa yang pada
saat itu orang diizinkan berbuat hal-hal yag dilarang, dalam keadaan tidak
sadar Tapi, jika orang itu ada dalam keadaan tenang, seperti halnya Abu Bakr,
dikarenakan kondisi yang agak lebih tinggi, maka dia akan menjadi lebih mantap,
dan keadaannya lebih sempurna.
55.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KEMABUKAN (SUKR)
Kemabukan itu jelas terlihat ketika seseorang sementara
dia tidak sepenuhnya tidak sadar akan hal-hal di sekelilingnya, tidak bisa
membedakan hal-hal itu; yaitu, dia tidak bisa membedakan apa yang dapat
diterima dan menyenangkan dengan kebalikannya, dikarenakan oleh hubungannya
dengan Tuhan. Rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan menghilangkan kemampuannya
untuk membedakan apa yang menyakiti dirinya dan apa yang mendatangkan
kesenangan baginya. Ini terlukis dalam beberapa penuturan. Misalnya, ada hadits
mengenai Haritsyah, yang mengatakan : “Dalam pandanganku sama saja antara batu
dan lempung, emas dan perak.” Amaka Abdullah ibn Mas’ud berkata : “Aku tidak
perduli, ke dalam keadaan mana di antara yang dua itu aku akan jatuh, Entah
kekayaan atau kemiskinan; sebab, bila jatuh ke dalam kemiskinan, aku akan
sabar, dan jika ke dalam kekayaan, aku akan bersyukur.” Dia tidak bisa
membedakan lagi mana yang lebih menyenangkan dan mana yan sebaliknya, sebab dia
dikuasai oleh suatu perasaan yang diperolehnya dari Tuhan, yaitu kesabaran dan
syukur.
Kewarasan, yang menggantikan kemabukan, adalah suatu
keadaan yang membuat seseorang bisa membedakan, dan mengetahi apa yang
menyakitkan dan apa yang menyenangkan, tapi dengan sengaja memilih yang
pertama, jika itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan; maka dia tidak akan merasa
sakit, melainkan senang, dalam pengalaman yang sebenarnya menyakitkannya.
Dikatakan bahwa salah seornag tokoh Sufi berseru : “Jika Engkau hendak
menimpakan atasku kemalangan, aku hanya akan merasakan cinta yang lebih besar
terhadap-Mu.” Abu’l-Darda dituturkan sebagai telah berkata : “Aku mencintai mati, sebab aku rindu kepada Tuhanku; Aku
mencintai sakit, sebab aku tunduk karena dosa-dosaku; aku mencintai melarat,
sebab aku tunduk pada Tuhanku.” Salah seorang sahabt berkata : “Betapa
berharganya dua hal yang menjijikan itu, kematian dan kemelaratan!.” Keadaan
ini lebih sempurna dibanding (yang mendahuluinya), sebab orang yang mabuk itu
jatuh ke dalam suatu yang mendatangkan kebencian tanpa menyadarinya, sehingga
dia tidak memiliki kesadaran akan perasaan benci; sedangkan yang lain lebih
menyukai yang menyakitkan daripada yang menyenangkan, dan kemudian menemukan
kesenangan di dalam kesakitannya, sebab dia telah terpesona karena adanya Dia
yang menyebabkan adanya kesakitan itu. Orang yang waras, yang sifatnya
mengatasi kemabukan, kadang-kadang akan lebih menyukai kesakitan daripada
kesenangan tanpa mempertimbangkan pahala atau mengharapkan balas jasa; orang
yang semacam itu merasakan sakit dalam kesakitan, dan senang dalam kesenangan;
yang dimilikinya adalah kesabaran dan rasa syukur. Salah seorang tokoh Sufi
menggubah syair ini :
Jika,
dalam keadaan waras, aku
Tidak
lagi melihat
Kecuali
yang menjadi milik-Nya, kebenaran lebih tinggi
Apa
yang menunggu dalam kemabukan, yang merupakan
Keadan
yang lebih mulia?
Kini
datang kewarasan
Atau
biarkan aku dalam
Kemabukan;
melaksanakan rencana-Mu;
Mabuk
atau waras, selamanya aku milik-Mu.
Yang dimaksudkannya adalah, jika keadaan yang bisa
membedakan itu bisa membuatku hanya menyadari apa yang menjadi milik Tuhan dan
tidak menyadari apa yang menjadi milikku, akan seperti apakah keadaan mabuk
itu, keadaan yang didalamnya kemampuan memperbedakan melarut? Tuhan-lah yang
menguasai diriku dalam pelaksanaan tugas-tugasku, yang mengawasi diriku dalam
keadaanku. Kedua keadaan itu membawa pengaruh bagi diriku, tapi keduanya
sesungguhnya milik Tuhan, dan bukan milikku sama sekali; dan selamanya aku akan
ada dalam kedua keadaan ini.
56.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KETIADAAN DAN
KEHADIRAN
Ketiadaan menandaskan bahwa seseorang itu tidak sadar
akan hasratnya sendiri, dan tidak tahu mengenai hasrat-hasrat itu sama sekali,
meskipun semua itu masih ada dalam dirinya, hanya dia tidak ada bersama
hasrat-hasrat itu karena dia ada bersama sesuatu yang menjadi milik Tuhan.
Seseorang berkata kepada al-Auza’i : “Kami melihat pelayan perempuanmu yang
bermata biru di pasar.” Dia menyahut : “Apakah dia bermata biru? Ketika Abu
Sulaiman al-Darani diberi tahu tentang ini, dia berkata : “Mata hati mereka terbuka,
dan mata di kepala mereka tertutup.” Dengan begitu dia menunjukan baha meskipun
dia tidak sadar akan fakta bahwa perempuan itu bermata biru, tapi dalam dirinya
akan kesukaan terhadap perempuan-perempuan yang bermata hitam, sebab dia
berkata : “Apakah dia bermata biru?
Kehadiran menandakan bahwa seseorang itu menganggap
hasratnya adalah milik Tuhan, bubkan miliknya sendiri; apa pun yang diturutnya, dia menurut pada
jiwa kehambaannya, dan tunduknya sifat kemanusiaannya, bukan demi kesenangan
ataupu nafsu.
Tapi tetap ada ketiadaan di balik ini, yang didalamnya
seseorang tidak sadar akan keterlarutannya; tidak ada bedanya antara orang yang
melarut dalam kehadiran keberlangsungan, dengan orang yang masih berlangsung
(hidup), sebagai yang dijelaskan oleh Haritsah dalam kasus dirinya sendiri.
Kehadiran adalah suatu kesadaran akan rasa terkuasai, bukan suatu kesadaran
yang bisa dilihat, sementara ketiadaan adalah ketiadaan dari apa yang
menguntungkan arau apa yang membahayakan, bukan ketiadaan yang berarti terselubungi
atau terselimuti. Al-Nuri menulis :
Jika
aku ada, tidak ada pandangan yang kulihat
Ketika
aku memandang; cukuplah bahwa Dia
Yang,
walaupun tak terlihat, ada di mana-mana,
Menatap
mata jiwaku tak henti-hentinya.
Jika
aku tiada, rahasia itu bertapa anehnya....
Ketiadaan
lewat ketiadaan tiada berkisar;
Lalu
apakah ketiadan-Nya dalam cahaya uang indah
Mengejawantah
di balik segala kekuatan perubahan?
Salah seorang Syekh kami menjelaskan kehadiran sebagai
berikut : “Kehadiran berarti bahwa apa ppun yag disaksikan oleh seseorang,
orang itu memandangnya rendah dan menganggapnya seolah-olah tidak ada, karena
kehadiran Tuhan yang menguasainya.” Inilah arti syair berikut ini :
Sesungguhnya,
segala sesuatu selain Tuhan itu sia-sia
Dan
Hampa,
dan setiap keindahan harus dihancurkan.
Maka Musa berkata : “Ini sungguh-sungguh suatu cobaan
dari engkau.” Dia beranggapan bahwa orang-orang Samaritan itu tidak ada
dikarenakan kesadarannya akan Tuhan. An-Nuri menulis :
Tuhan
mengirimkan tipuan-tipuan untuk menyelubungi diriku,
Dan aku
tersembunyi dari seluruh umat manusia;
Kekuasaan-Nya
tak terbatas
Mencemaskan
benak yang mencerap
Kala,
tiada tahu bahwa aku tak punya bagian di dalam nya
Dan
mengenai urusan kala, aku tak menyadarinya,
Satu
perintah Tuhan aku tunggu,
Dan kucaci
tangan nasib
57.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMUSATAN DAN
PEMISAHAN
Bagian pertama pemusatan itu adalah pemusatan niat, yaitu
bahwa semua niat seseorang itu harus menjadi satu niat saja. Begitulah
dikatakan dalam hadits : “Jika seseorang membuat banyak niat menjadi satu niat saja,
yaitu niat untuk keadaan mendatang, maka Tuhan akan memenuhi semua niatnya,
tapi jika niat-niatnya tercerai berai, Tuhan tidak akan peduli di lembah mereka
yang mana dia akan lenyap.” Ini merupakan hasil usaha dan disiplin.
Tapi pemusatan itu, yang merupakan tujuan khusus para Sufi, dalam kenyataannya
merupakan suatu keadaan kejiwaan; dalam keadaan ini niat tidak lagi cerai
berai. Para sufi itu tidak lagi harus
berusaha sendiri untuk memusatkan niat-niat itu; melainkan, niat-niat itu telah
terpusat dan menjadi satu niat saja di hadapan Dia yang memusatkan mereka,
sehingga pemusatan itu terjadi semata-mata karena Tuhan, dan tidak ada yang
lain.
Pemisahan, sebagai lawan dari pemusatan, adalah suatu
keadaan yang di dalamnya, para Sufi dipisahkan dari niat-niat jasmaniah dan
dari hasrat akan kesenangan dan hal-hal yang bisa mendatangkan kesenangan; Dia
dipisahkan dari dirinya sendiri, dan gerakan-gerakan yang dibuatnya bukanlah
untuk dirinya sendiri. Bisa juga terjadi pada beberapa keadaan bahwa orang yang
terpusat itu akan mengikuti hasratnya sendiri, dan tidak dicegah untuk berbuat
begitu; tapi dia tidak akan mampu memusatkan hasrat-hasrat itu, dan
hasrat-hasrat itu tidak membawa pengaruh atas dirinya; dan dia tidak berkebertan
dengan ini, tapi justru menginginkannya, sebab dia tahu bahwa ini merupakan
perbuatan Tuhan, dan dengan begitu Tuhan memilihnya dan mendekatkannya kepada
diri-Nya.
Salah seorang tokoh Sufi ditanya, “Apakah pemusatkan itu?
Dia menjawab : “ Yakni pemusatan isi hati yang paling daalam atas sesuat yang sangat penting, dan ketundukannya. Di
situ; sebab Dia tak mempunyi persamaan maupun kebalikan.” Yang lain berrkata :
“Dia memusatkan niat-niat itu pada diri-Nya Sendiri waktu Dia menyatukan mereka
dengan meninggalkannya. Dan Dia memisahkan mereka dari-Nya Sendiri ketika
mereka mencari-Nya lewat sesuatu yang menjadi bagian dari diri mereka sendiri;
pencerai-beriaian itu terjadi dikarenakan oleh hasrat akan penyebab sekunder,
dan pemusatan itu terjadi kalau mereka merenungkan Dia dalam setiap masalah.
Pemisahan yang dibicarakannya itu adalah pemisahan yang datang sebelum adanya
pemusatan; yang dimaksudkannya adalah bahwa pemisahan itu merupakan hasil
pencarian untuk mendekati Tuhan lewat perbuatan-perbuatan, sedangkan ketika
mereka tahu bahwa Tuhan sendiri yang mendekatkan mereka, maka mereka sampai
pada pemusatan itu. Salah seorang tokoh Sufi menulis :
Dengan
pemusatan mereka termuliakan
Dari
kedirian, sebeagaimana sebelum lahirnya kala,
Dan
pemisahan itu yang menjadikan mereka mulia,
Tapi
hanya sementara, hanya sedikit,
Menyatu
dengan diri mereka sendiri, tercabut dari kemanusiaan,
Dan
kesaksian atas Kebenran yang mereka temukan;
Dalam
pemusatan yang lepas dari kala, mereka berkisar
Di
balik keliaran tak berjalur perubahan ini
Karena,
seperti kala yang tak berbentuk dan kala tak bernyawa,
Mereka
tak melihat bahwa mereka harus terpusat,
Lalu,
karena tercerai berai, mereka mendapat
Kehidupan
yang lebih berkecukupan, yang dulu mereka miliki di..
Surga,
maka ketiadaan merupakan buah dari pemusatan,
Dan
keadaan, pahala dari pemisahan.
Pada
dua hal ini, ada atau tidak.
Jalur
kenisbian bergantung
Kata-kata “Dengan pemusatan mereka termuliakan dari
kedirin” berarti bahwa pengetahuan mereka bahwa mereka ada demi Tuhan,dalam engetahuan-Nya
akan diri mereka, membuat mereka kehilangan diri mereka sendiri pada masa
ketika mereka ada demi Dia; maka pemusatan itu mendatangkan keadaan tidak ada,
sebagaimana halnya bahwa tidak ada sesuatu yang ada tanpa sepengetahuan Dia.
Pemisahan adalah syarat untuk terbawanya mereka dari tidak da kepada ada.
Kata-kata “Menyatu dengan diri mereka sendiri” berarti bahwa mereka menganggap
diri mereka sendiri, pada masa mereka ada, seperti pada masa mereka belum
(ada), tidak memiliki kekuasaan untuk mencelakai atau mendatangkan keuntungan,
sementara pengethuan Tuhan tidak berubah dalam diri mereka. Pemusatan mereka
adalah bahwa Tuhan menghilangkan sifat-sifat yang tak jelas bentuknya (rasm)
dari diri mereka, yaitu bahwa tindakan-tindakan dan sifat-sifat mereka ,
sebagaimana rasm itu, tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi perubahan
atau peralihan, tapi sesuai dengan pengetahuan Tuhan, menakdirkan dan
menetapkan. Syarat adanya mereka terhapuskan dalam pengetahuan Tuhan yang
kekal, sebab mereka kala itu tidak ada, tidak memiliki bentuk ataupun
kemaujudan. Maka ketika Tuhan menjadikan meaka ada, Dia semata-mata menggerakan
dalam diri mereka sesuatu yang sebelumnya telah dimaksudkan-Nya untuk mereka.
Pemusatan itu berarti bahwa mereka itu tak hadir (di dunia ini), dan menolak
menganggap diri mereka sendiri sebagai yang mempu menentukan, sementara
pemisahan berarti bahwa meraka menganggap keadaan-keadaan dan tindakan-tindakan
mereeka sendiri (sebagai yang mampu menentukan). Ada dan tidak ada merupakan
syarat-syarat yang berubah dalam diri mereka, bukan dalam diri Tuhan.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : Pemuasan itu berarti bahwa
Tuhan membuat mereka menemukan diri-Nya dan diri mereka sendiri, atau Dia
menghilangkan kemaujudan mereka dari diri mereka sendiri dalam masa mereka
menjadi ada demi Dia.” Maksudnya sama dengan maksud hadits (Qudsi) ini : “Aku menjadi telinga, mata dan kaki tangan baginya, sehingga
lewat Aku dia mendengar dan Lewat Aku dia melihat.” Karena, sebelumya
mereka melaksanakan urusan-urusan mereka lewat diri mereka sendiri dan demi
mereka sendiri , sedangka kini mereka melaksanakan urusan-urusan mereka lewat
Tuhan dan demi Tuhan.
58.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI WAHYU
Sahl berkata : “Wahyu itu ada dalam tiga keadaan : wahyu
berupa suatu esensi, yang tidak terselubung; wahyu berupa sifat-sifat esensi
yang merupakan penerangan; dan wahyu berupa kondisi esensi, yang merupakan
kehidupan di dunia mendatang. Kata-kata “wahyu berupa suatu esesi” berarti
pewahyuan keterkuasaan yang terjadi di dunia ini, sebagaimana yang dilukiskan
dalam perkataan Abdullah ibn Umar : “Kami meliaht Tuhan di tempat itu,” yaitu
pada saat perjalanan menuju Ka’bah (maka Nabi berkata : “Sembahlah Tuhan seakan
engkau melihatnya)- dan wahyu visual (yang dapat dilihat) yang akan terjadi di
dunia mendatang. Yang dimaksudkannya dengan “wahyu berupa sifat esensi yang
merupakan penerangan” adalah bahwa kekuasaan Tuhan atas dirinya diwahyukan
kepadanya, Hingga dia tak takut kepada sesuatu pun kecuali Tuhan, bersamaan
dengan pemberian Tuhan untuk mencukupi kepbutuhannya, sehingga dia tak
mengharap sesuatu pun kecuali Tuhan; suatu kondisi yang ditunjukan sebagai yang
sesuai untuk semua sifat esensi lewat perkataan Haritssah, “Seolah-olah aku
melihat Singgasana Tuhan ku tampil; seakakn-akan firman Tuhan terwahyukan
kepadanya pada saat Dia berhubungan dengannya, sehingga hubungan itu bagi
Haritsah menjadi seakan-akan suatu penglihatan yang langusng. Sedangkan wahyu
berupa kondisi, akan datang di dunia nanti, “Sebagian manusia masuk surga dan sebagian
lagi masuk neraka.”
Salah seorang Tokoh besar Sufi berkata : “Tanda dari
wahyu Tuhanke dalam hati adalah bahwa hati itu tidak bersaksi akan sesuatu yang
dapat dikuassai oleh ungkapan atau terkandung dalam pengertian; Jika seseorang
mengungkapkan atau mengerti tentang sesuatu, maka hal itu adalah pemikiran akan
isyarata, bukan suatu masalah pemujaan. Yang diamksudkannya (dengan wahyu)
adalah bahwa dia bersaksi akan sesuatu yang tidak dapat diutarakan, sebab
kesaksiannya ada dalam jiwa pemujaan dan pesona, dan ini tidak memungkinkan dia
menguraikan kesaksiannya. Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini
:
Kala
cahaya kebenaran tampak,
Aku
tenggeelam dalam ketakziman,
Dan aku
sebagi orang yanng tak pernah melancong kemudian
Pergi
ke kehidupan di bawah
Kala
aku menjauh
Dari
dalam Dia, dan mencapai Dia,
Pencapaian
pun kemudian menjadi diri yang terbukti sia-sia
Dan
diri itu mati
Dalam
penyatuan suci
Dengan
Dia, hanya Dia saja yang kulihat;
Aku
tinggal sendiri, dan kebahagiaan besar itu
Tiada
menjadi milik ku lagi
Penyatuan
yang gaib
Dari
diri inni telah memisahkan diriku;
Kini
menyaksikan rahasia pemusatan
Yang
dua menjadi satu
Artinya : Kalau kebenaran muncul, ketakziman menguasai
diriku, sehingga aku tidak mampu mengutarakan (pengalamanku) karena ketakziman
itu, senhingga aku menjadi menjadi orang
yang yang tidak pernah dijumpai Tuhan. Kalau aku menjauh dari diriku sendiri,
maka kemaujudankan menjadi milik-Nya, dan kalau aku tidak ada , maka kemaujudan
(pribadi)ku hilang. Kondisi kestuan itu, yaitu kepergianku meninggalkan diri,
membuatku tidak dapat menyaksikan apa pun kecuali Dia; sedangkan kondisi
pelepasan dan tekanan dalam diriku sendiri, membuatku tak menyaksikan Dia. Oleh
karena itu, seakan-akan pemusatanku lewat Dia memisahkanku dari diriku sendiri.
Kondisi penyatuan berati bahwa Tuhan-lah yang mengawasiku, bukan aku sendiri,
dalam tindakan-tindakanku; sebab Tuhan itu ada, aku tidak. Maka Tuhan berfirman
kepada Nabi-nya : “Dan waktu kamu melempar itu, bukan
kamu yang melakukannya, melainkan Allah jualah.” Inilah ungkapan Sufi
itu; Ilmu Agama mengajarkan bahwa Tuhan itu pengawasku, dan aku, lewat Dia,
mengawasi diriku sendiri, sehingga kemudian ada hamba dan Yang Diperhambai
sekaligus. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Wahyu adalah pembukaan dalam
esensi Tuhan; tabir itu berarti bahwa keadaan dirimu sebagai makhluk mencegahmu
untuk melihat apa yang tak terlihat.” Dengan “pembukaan tabir kemakhlukan” yang
dimaksudkannya dalah bahwa Tuhan menopangmu selama adanya pemindahan wahyu dari
yang tak terlihat, sebab makhluk itu tidak dapat menahan keadaan-keadaan yang
dimiliki oleh yang tak terlihat. Tabir yang muncul aetelah adanya wahyu itu
merupakan keadaan yang di dalamnya segala sesuatu ditutup darimu, sehingga kamu
tidak dapat menyaksikannya, ini dilukiskan dalam cerita Abdullah ibn Umar. Dia
sedang mengelilingi ka’bah ketika seseorang menyalaminya. Dia tidak membalas
salam orang itu; dan ketika orang itu mengeluhkan ni, dia berkata : “Kami
melihat Tuhan di tempat itu.” Mengenai wahyu Tuhan kepadanya, dia memberi bukti
dengan mengatakan, “Kami melihat Tuhan,” sedangkan mengenai tabir yang
menutupnya, dia memberi bukti dengan ketidaksadarannya ketika ada orang yang
menyalaminya. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang tokoh besar Sufi :
Rahasia
Tuhan begi mereka yang terselubungi tidak dibukakan;
Jangan
berusaha menyiarkan apa yang telah disembunyikan-Nya.
Darimu;
dengan apa yag tidak engkau pahami,
Sendiri,
janganlah berpura-pura.
Tidakkah
sepatutnya bahwa Hakikat,
Yang
terejawantah, akan menyembunyikan dirinya dalam dirimu
59.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KELUHURAN (FANA)
DAN KEBAKAAN
Keluhuran adalah suatu keadaan yang di dalamnya seluruh
hasrat meluruh darinya, sehingga para Sufi itu tidak mengalami perasaan
apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan; dia telah luruh dari segala
sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan dia luruh, maka
Amir ibn Abdillah berkata : “Aku tidak peduli apakah aku melihat seorang perempuan atau
sebuah tembok.” Lalu Tuhan sendiri mengawasinya, dan mengawasinya
sedemikian rupa sehingga dia melaksanakan tugas-tugasnya dmei Tuhan dan
menuruti segala kehendak-Nya; dia sepenuhnya terjaga dalam memberikan apa yang
menjadi hak Tuhan, dan dia terjauh dari segala minat pribadi serta penentangan
terhadap Tuhan, sehingga dia sama sekali tidak bermaksud menetang-Nya. Inilah
yang dimaksudkan dengan perlindungan Tuhan (“ishmah) dan pada hal inilah hadits
yang termasyhur itu mengacu : “Aku menjadi telinga
dan mata baginya.”
Kebakaan, yang mengikuti keluruhan, mengandung arti bahwa
para Sufi itu meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan tetap
tinggal dikarenakan sesuatu yag menjadi milik Tuhan,. Salah seorang tokoh Besar
Sufi berkata : “Kebakaan adalah keadaan para Nabi.”
Mereka berpakaian secarik GOA (Sakinah) dan apa –pun yang mendatangi mereka
tidak akan mencegah mereka melaksanakan tugas-tugas mereka terhadap Tuhan, dan
untuk menerima karunia-karunia-Nya; sebab, “Tangan Allah-lah yang selalu
terbuka; Dia memberi karunia menurut cara yang Dia kehendaki.” Kalau seseorang
itu baka, maka, segala sesuatu baginya menjadi hanya satu saja, dan semua yang
diperbuatnya selaras, bukan sebaliknya, sengan Tuhan; dia luruh dari yang tidak
selaras dan tetap tinggal pada yang selaras. Nah, kenyataan bahwa “segala
sesuatu baginya menjadi hanya satu saja” tidak mengisyaratkan bahwa yang tidak
selaras itu menjadi selaras baginya, atau bahwa larangan menjadi sama dengan
perintah baginya, Hal itu semata-mata berarti bahwa apapun yang terjadi
padanya, terjadi sesuai dengan perintah dan keridhaan Tuhan, jadi tak ada
sesuatu pun yang tidak menyenangkan Tuhan. Apa yang dilakukannya, dilakukannya
demi Tuhan, bukan demi kesenangannya sendiri, baik di dunia kini maupun di
dunia nanti. Inilah yang dimaksudkan oleh ungkapan Sufi “Dia luruh dari
gelarnya sendiri dan tinggal dalam gelar Tuhan,” sebab apa yang dilakukan oleh
Tuhan, Dia llakukan demi yang lain, bukan demi diri-Nya sendiri, tiak mencari
keuntungan dari situ ataupun menghindari bahaya. === Tuhan jauh dari semua itu==
tapi semata-mata untuk mendatangkan keuntungan atau kerugian bagi yang lain.
Sama halnya, para Sufi yang baka dikarenakan Tuhan, dan luruh dari dirinya, melakukan
apa yang dilakukannya bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk
menghindari kerugian; Seluruh perasaan pribadi dan hasrat untuk mendapatkan
keuntungan pribadi telah hilang dari dirinya. Nah, ini hanya mengacu paa maksud
dan tujuan; jangan ditafsikan bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa para Sufi itu
tidak mengalami kesenangan sama sekali
dalam melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, maka dia tidak mengharapkan
adanya pahala ataupun takut akana danya hukuman. Adalah benar bahwa dua
perasaan ini, pengharapan dan ketakutan, terus menerus ada dalam dirinya; tapi
dia mengharapkan pahala dari Tuhan hanya agar selaras dengan Tuhan, sebab Tuhan
menghendaki itu bagi dirinya, dan telah memerintahkannya untuk meminta itu
darinya, dan dengan demikian dia tidak bertindak demi kesenangan sendiri, sama
halnya, dia takut akan hukuman Tuhan karena dia menghormati Tuhan dan ingin
selaas dengan-Nya. Dan Tuhan membuat makhluk-makhluk-Nya merasa takut. Maka
dalam segala perbuatannya dia bertindak demi kesenangan yang lain, bukan demi
kesenangannya sendiri. Dalam arti inilah pepata ini mestinya dipahami; “Orang yang beriman
itu makan untuk memenuhi selera keluarganya.” Salah seorang tokoh Sufi menggubah baris-baris
syair berikut ini :
Dari
ranti diri dan kedirian yang mencekik
Tuhan
membebaskannya; dan kemudian
Memakaiakan
lagi padanya lempung yang lember,
Sehingga
rahasia-rahasia Tuhan bisa terlihat,
Maka
bentuk dari bentuk harus ditarik.
Pada
fajar mempesona dari wahyu.
Kehendak
Tuhan yang gpasti dan Mahakuasa
Akan
mengisi setiap hati dengan kegairahan
Arti yang menyeluruh dari keluruhan dan kebakaan adalah
bahwa para Sufi itu meluruh dari perasaan-perasaannya sendiri, dan tinggal di
dalam perasaan-perasaanmilik yang lain.
Juga ada jenis lain dari keluruhan, yang merupakan
keluruhan kesadaran akan ketidakselarasan (dengan Tuhan) dan dari semua
perbuatan yang secara sengaja ditujukan pada ketidak-selarasan, dan untuk baka
secara selaras dengan (Tuhan), dengan senagaja dan sungguh-sungguh mengarahkan
tujuannya pada keadaan itu dalam setiap perbuatannya. Dalam hal ini ada juga
keluruhan dari penghormatan terhadap sesuatu seain Tuhan dan baka untuk
menghormati Tuhan. Arti yang terakhir itu tampak dalam contoh yang diceritakan
mengenai Abu Hazim. Dia berkata : “Apakah dunia ini? Yang telah lewat adalah impian, dan
yang ada sekarang merupakan harapan yang sia-sia dan angan-angan. Dan apakah setan itu, sehingga dia mesti
ditakuti? Jika dia dipatuhi, dia tidak mendatangkan keuntungan, Jika dia tidak
dipatuhi, dia tidak mendatangkan kerugian.” Dia berkata begitu
seolah-olah dunia dan setan itu tidak ada baginya. Keluruhan perasaan-perasaan
pribadi terlukis dalam cerita Abdullah ibn Mas’ud, yang berkata : “Aku
sebelumnya tidak tahu bahwa ada di antara para sahabat Muhammad yang
menghendaki dunia, hingga Tuhan berkata, Di
antaramu ada yang menghendaki kesenangan dunia dan ada pula yang menginginkan
kebahagiaan akhirat.” Dia telah luruh meninggalkan segala hasrat untuk
dunia ini. Dalam hal ini termasuk juga kata-kata Haritsah : “Aku brpaling dari
dunia ini, dan seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan tampil.” Dia telah
luruh meninggalkan yang sementara menuju yang kekal, dan dari semuanya yang
lain menuju Yang Mahakuasa, Sama halnya dengan cerita Abdullah ibn Umar.
Seserang menyalaminya pada waktu dia sedang mengelilingi Ka’bah , dan dia tidak
menyahutsalam orang itu. Orang itu mengeluhkan hal itu pada beberapa temannya;
dan Abdullah berkata : “Kami melihat Tuhan di temept itu.” Sama halnya juga
dengan kata-kata Amir ibn ‘Abd al-Qays “ Aku lebih suka ditembus pucuk lembing
berkali-kali, daripada mengalami peristiwa seperti yang baru saja kamu
sebutkan.” Uaitu, pada saat dia sedang beroda. Di ceritakan bahwa Al Hasan berkata
: “Orang yang sama dengan dia, tidak dipilih Tuhan di antara kita.” Adalagi
suatu keluruhan yang lebih jauh, yang berarti tidak sadar sama sekali akan
hal-hal luaran sebagai yang terjadi pada Musa, ketika Tuhan menurunkan Wahyu di
bukit : “Musa pun tersungkur pingsan.” Dan pada keadaan yang berikutnya, Dia
yang membuatnya tidak sadar, tidak juga memberi ketenangan kepadanya mengenai
hal itu.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Tanda keluruhan sang Sufi
adalah keluruhannya dari hasratnya akan dunia ini dan dunia nanti, kecuali
hasratnya akan Tuhan. Maka akan turun untuknya sebuah wahyu dari kekuatan Tuhan
yang memperlihatkan kepadanya bahwa hasratnya akan Tuhan meninggalkannya demi
penghormatannya kepada Tuhan; lalu turun untuknya sebuah wahyu dari Tuhan yang
memperlihatkan kepadanya keluruhan hasratnya kepada penglihatan akan Tuhan; dan
yang tinggal adalah penglihatan akan sesuatu yang menjadi milik Tuhan, Tuhan
yang Esa dan Kekal hanya sendiri di dalam keesaanya; dan dengan Tuhan tidak ada
kefanaan atau kebakaan untuk yang lain selain Tuhan.” Kata-kata “Luruhnya dia
meninggalkan hasratnya akan dunia ini” mengandung arti pencarian akan
benda-benda material, dan “dunia nanti” berarti pencarian pahala. “Hasrat akan
Tuhan”-nya baka, sebab itulah keridhaan Tuhan dengannya dan kedekatannya
dengan-Nya. Lalu datang kepadanya penghormatan kepada Tuhan, bahwa Dia akan
mendekat atau merasa senang dengan yang seperti dia, maka dia memandang rendah
dirinya sendiri dan menghormati Tuhan. Akhirnya datang kepadanya suatu keadaan
yang di dalamnya hak Tuhan sepenuhnya menelan dirinya, dan membuatnya tidak
sadar akan penglihatan akan sifatnya sendiri, yaitu penglihatan akan keluruhan
hasartanya. Kemudian tinggal-lah dalam dirinya suatu yang datang dari Tuhan
untuk dirinya; sedang apa yang datang dari dirinya untuk Tuhan , meninggalkan
dirinya. Maka jadilah dia seperti ketika ada dalam pengetahuan Tuhan, sebelum
Tuhan memunculkan dirinya dan ketika sesuatu yang datang kepadanya dari Tuhan,
datang tanpa adanya tindakan dari dirinya.
Keluruhan bisa juga diungkapkan dengan cara yang lain;
yakni menjauh dari sifat-sifat manusia dalam (menanggung) beban menakutkan
sifat-sifat Tuhan, sehingga sifat-sifat manusai, yaitu kebodohan dan ketidak
adilan, hilang, seperti firman Tuhan : “Lalu amanat itu diterima oleh manusia, Dengan demikian,
manusia itu sangat zalim dan bodoh.” Sifat-sifat itu juga termasuk
tiak tahu bersyukur, tidak kenal terimakasih dan setiap sifat yang patutu
disalahkan; dan semua ini hilang, dalam arti bahwa pengetahuan Tuhan menang
atas kebodohan manusia, keadilan Tuhan atas ketidakadilan manusia, teima kasih
Tuhan atas kekufuran manusia, dan seterusnya, Abul Qasim Faris berkata : “Keluruhan
adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi
menyaksikannya sebagai disembunyikan oleh Dia yang membuat sifat itu lenyap,”
Dia juga berkata : “Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak
ada, tapi tafsikan baha sifat itu tertutup oleh suatu kesenangan yang
menggantikan realisasi rasa sakit,” Kesenangan ini, yang muncul pada diri Sufi
dalam keadaan kejiwaannya, adalah seperti yang menimpa kerabat-kerabat wanita Yusuf;
“Mereka mengiris jarao-jari mereka sendiri.” Sebab sifat-sifat mereka sendiri
telah lenyap dikarenakan kesenangan yang memenuhi hati mereka ketika melihat
Yusuf, dan Yusuf membuat mereka tidak sadar akan rasa sakit yang mereka derita
dikarenakan jari-jari mereka yang teriris. Dalam masalah ini, salah seorang
dari tokoh-tokoh senagkatan kami menulis syair berikut ini :
Kala
wanita-wanita Mesir itu mengiris tangan mereka
Dikarenakan
ketampanan rupa seseorang,
Mereka
tahu mengenai pesona, yang menahan
Semua
kejutan, dan tak merasa marah.
Pupuslah
sudah sifat manusia mereka,
Kesenangan
dan ketidaksenangan,
Hapuslah
sudah semua kebiasaan
Mereka
tidak mengacuhkan tapak tangan yang berdarah
Tapi
dia, sang istri pangeran
Tiada
mengiris tangannya, tak membiarkannya berdarah;
Sebab
Yusuf adalah cinta dan kehidupannya,
Dan
Yusuf tak ikut campur dalam perbuatan itu.
Syair berikut ini juga melukiskan keadaan keluruhan :
Maka
kami mengingat ---- nama kealpaan
Bukanlah
kebiasaan kami, tapi cahaya bersinar,
Udara
gaib terhirup, dan Tuhan dekat.
Lalu
hilang lenyaplah kedirian, dan aku
Ada
sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar jelas
Bersaksi
ata Dzat-Nya dan dengan itu di kenal
Beberapa tokoh Sufi menganggap keadaan-keadaan ini
sebagai suatu keadaan tunggal, lepas dari kenyataan bahwa berbaga istilah
diterapkan untuk keadaan-keadaan itu. Maka mereka menyetarakan keluruhan dengan
keberkesinambungan, pemusatan dan pemisahan, dan begitu juga kehadiran dengan
ketidakhadiran, kemabukan dengan kewarasan. Sebab Sufi itu pergi meninggalkan
apa yang menjadi milik Tuhan; sementara, sebaliknya, dia bukan bersama apa yang
menjadi milik Tuhan, dan dengan demikian pergi meninggalkan apa yang menjadi
miliknya. Ketika dia pergi, dia juga terpusat, dia juga terpisah, sebab dia
tidak menyaksikan sendiri, Begitu pula kerabat-kerabatnya. Dia baka sebab Dia
tinggal bersama Tuhan, Yang memusatkannya pada Diri-Nya sendiri; dia pergi
meninggalkan sesuatu yang selain Tuhan, sebab dia terpisah dari sesuatu itu. Dia
tak hadir dan mabuk, sebab kemampuan membedakan itu – yang telah kami jelaskan
dalam hubungannya dengan kesenangan dan kesakitan – hilang, dan dalam hal ini,
segala sesuatu menjadi satu baginya. Dia tidak menyaksikan gejala
ketidakselarasan, sebab Tuhan hanya memerintahkannya agar bertindak selaras
dengan diri-Nya. Pembedaan hanya bisa terjadi dalam hubungannya dengan dua hal;
dan kalau segala hal telah menjadi satu saja maka pembedaan itu habislah.
Kelompok yang lain menjelaskan keluruhan sebagai berikut
: “Para Sufi itu dijauhkan dari setiap
jejak pribadi (rasm) dan dari semua jejak semacam itu tanpa dirinya (marsum),
sehingga selama masa (waqt) gaibnya dia tinggal tanpa kebakaan sepanjang yang
bisa dipahaminya, tanpa pergi meninggalkan sepanjang dia sadar, dan tanpa masa
sepanjang dia memahami; tapi penciptanyalah yang tahu mengenai ketetapan
tinggalnya dan kepergiannya, dan Dia menjaganya dari setiap tindakan yang patut
di cela.
Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah para Sufi
yang telah luruh, akan pernah kembali lagi pada sifat-sifatnya. Sebagian
mengatakan bahwa para Sufi itu pasti kembali dan bahwa keadaan keluruhan itu
tidak tetap; sebab, jika tidak begitu, maka anggota-anggota tubuh pra Sufi itu
akan kehilangan manfaatnya untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan, dan jelas
tidak akan mampu melakukan sesuatu pun dalam hubungannya denga kehidupannya di
dunia ini, begitu juga di dunia nanti. Dalam hubungan ini, Abu’l Abbas ibn Atha
telah menulis sebuah buku yang berjudul “Kembalinya dan Asal Mula Sifat-sifat.
Tapi tokoh-tokoh besar Sufi, dan mereka yang memiliki pengalaman-pengalamana
yang bernar, di antaranya al-Junaid, al-Kharraz dan An-Nuri, tidak beranggapan
bahwa para Sufi itu tidak kembali kepada sifat-sifatnya sendiri setelah
keluruhannya itu. Mereka mendebat dengan mengatakan bahwa keluruhan itu
merupakan suatu karunia dan pemberian Tuhan bagi Sufi itu, suatu tanda kesukaan
khusus, bukan suatu kondisi yang dicari, itu merupakan suatu yang diberikan
oleh Tuhan kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya dan ditunjuk-Nya sendiri.
Oleh karena itu, jika Dia mengenbalikan Sufi itu pada sifatnya sendiri, Dia
akan mengambil lagi apa yang telah diberikan-Nya, dan menjemput kembali apa
yang telah diserahkan-Nya, dan ini tidak cocok dengan sifat Tuhan; atau jika
hal itu dianggap sebagai akibat dari suatu perubahan pikiran, maka itu
merupakan sifat oarng yang mencari pengetahuan lebih banyak, dan ini disangkal
dalam hubungannya dengan Tuhan; atau jika ini ditafsirkan sebagai suatu tipuan
atau kecohan, maka Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai tukang tipu, dan Dia
tidak pernah mengecoh orang-prang beriman, Dia hanya mengecoh orang-orang
munafik dan orang-orang gkafir. Keluruhan bukan merupakan suatu keadaan yang
bisa dicapai dengan kebaikan pribadi, dan bahwa kebalikannya harus juga dicari
secara demikian.
Jika disangkal bahwa Sufi itu nantinya akan berpaling
dari iman, yang merupakan taraf tertinggi, sebab dengan itu semua keadaan telah
dapat dicapai, inilah jawaban kami. Iman yang dirinya seseorang itu kebali
adalah iman yang telah didapatkannya lewat pengakuan lidah dan perbuatan anggota-anggota
tubuhnya; iman yang semacam itu tidak bercampur dalam hatinya yang
sesungguhnya, baik sebagai suatu perwujudan yang langsung maupun suatu
kepercayaan yang benar. Dia hanya mengakui tanpa mengetahui kebenran apa yang
diakuinya; seperti yang dituturkan dalam hadits : “Malaikat (kematian) akan datang kepada
seseorang ketika dia telah berada dalam kubur, dan akan bertanya : “Apakah yang
kamu katakan mengenai orang ini? Dia akan menjawab : “Aku mendengar orang ini
mengatakan sesuatu dan karena itu aku mengatakannya.” Orang yang semacam itu adalah seorang peragu,
dan tidak memiliki kepastian. Atau, kalau tidak, maka dia mengakui dengan
lidahnya, tapi mengingkari dengan diam-diam pengakuannya itu; maka orang
munafik itu mengakui dengan lidahnya, sedang hatinya mengingkari pengakuannya
itu, dan diam-diamm menentangnya. Atau mungkin dia mengakui dengan lidahnya,
dan tidak mengingkari pengakuan itu atau diam-diam menentangnya, di dalam
hatinya, tapi apa yang diakuinya itu tidak ada kebenarannya, baik lewat
pemikiran maupun lewat ilham; dia belum mendapatkan pembuktiannya lewat
ilu sehingga dia memiliki bukti-bukti
kebernarnnya, dan dia belum merasakan di dalam hatinya suatu keadaan kejiwaa
yang akan bisa menghilangkan keraguannya. Seperti apa pun masalahnya, kedukaan
merupakan bagian yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk dirinya; keraguan timbul
dalam dirinya, yang dikarenakan entah oleh pikirannya sendiri ataupun oleh
pendebatan-pendebatan orang lain; dia tergoda, dan berpaling dari iman kepada
kebalikannya. Sedangkan mengenai orang yang yang diberi bagian yang lebih baik
dari Tuhan, tidak ada keraguan dalam dirinya, dan semua sangkalan
meninggalkannya; sebagai akibat dari apa yang telah didapatkannya dari
pengetahuan di dalam kitab dan Sunnah, dengan bukti-bukti yang masuk akal, yang
menghapuskan pikiran-pikiran jelek serta serta menolak segala keraguan akibat
pendebatan itu, sebab tidaklah mungkin sesuatu yang benar itu ditentang dengan
bukti-bukti yang juga benar, dan dengan begitu maka tidak ada keraguan pada
dirinya sama sekali. Juga, karena dia telah mendapatkan iman yang benar, dan
Tuhan sendiri, lewat perlindungan-Nya, menolakkan bagi dirinya segala pikiran
jelek dan dengan demikian juga menolakkan dari dirinya para pendebat yang
mendatangkan keraguan-keraguan dengan karunia-Nya yang istimewa, sehingga dia
tidak lagi harus menemui para pendebat itu, maka kebenaran imannya akan aman,
meskipun dia mungkin tidak memiliki kemampuan membeberkan yang dibutuhkan untuk
bedebat dengan pendebat itu, atau untuk menghalau pikirannya sendiri; atau
kalau tidak, karena kebenaran dari pengakuannya telah ditegaskan dengan
penglihatan atau ilham, sebagaimana halnya dengan Haritsah, yang mengatakan
kepada kita bahwa dia benar-benar melihat apa yang dipercayainya; sehingga sesuatu
yang (secara normal) tidak ada, menggantikan apa yang ada, sebab dia berkata
bahwa dia berpaling dari dunia yang terlihat ini, dan yang tidak terlihat
menjadi terlihat baginya, dan yang terlihat tak terlihat – maka Al-Darani
berkata : “Mata hati mereka terbuka dan mata kepala mereka tertutup.”
Kalau pengakuan seseorang itu dibenarkan dengan jalan ini
maka dia tak akan kembali dari akhirat ke dunia kini, atau meninggalkan sesuatu
yang lebih baik untuk sesuatu yang lebih buruk. Ini semua merupakan sarana-sarana
yang digunakan oleh Tuhan untuk melindungi, dan itu merupakan suatu bukti
janji-Nya : “Tuhan
memberi jawaban yang pasti kepada yang beriman, baik dalam kehidupan di dunia
kini maupun di dunia nanti.” Oleh karena itu, ditegaskanlah bahwa
orang yang sungguh-sungguh beriman itu tidak dapat digoyahkan dari imannya,
sebab iman itu merupakan karunia, pemberian dan tana kesukaan yang istimewa
dari Tuhan untuk dia; jauh sekali Tuhan dari perbuatan mengambil kembali apa
yang telah Dia berikan, atau menjemput kembali apa yang telah Dia anugerahkan.
Nah, iman yang sesungguhnya itu, dan iman yang
semata-mata merupakan formalitas saja, masing-masing memiliki ketrampilan yang
sama, tapi sifat-sifat keduanya yang sebenarnya berbeda, sebaliknya keluruhan
itu, dan semua keadaan istimewa lainnya, secara lahiriah tampak berbeda, tapi
sifat-sifat yang sebenarnya sama. Keadaan-keadaan itu bukan merupakan akibat
kebaikan pribadi, melainkan sebagai tanda keridhaan (Tuhan). Oleh karena itu,
tidak masuk akal-lah kalau orang mempertahankan pendapat bahwa Sufi itu, yang
telah pergi, kembali lagi kepada sifat-sifatnya sendiri. Jika seseorang
penganut pendapat ini, sedangka dia telah menegaskan bahwa Tuhan memilih dan
menunjuk sendiri Sufi itu, dan sesudah itu mengembalikannya lagi pada
keadaannya yang semula, maka berarti dia menyatakn bahwa Tuhan memilih apa yang
sesungguhnya tidak Dia pilih, dan menunjuk apa yang sesungguhnya tidak Dia
tunjuk. Hal ini, jelas tidak masuk akal; sama tidak masuk akalnya kalau
dikatakan bahwa hal itu mungkin saja, dengan maksud untuk meltih Sufi itu dan
menjaganya dari godaan, sebab Tuhan tidak menjaga apa yang telah diberikan-Nya
kepada hamba-Nya dengan maksud untuk mengambilnya lagi, atau mengembalikan
orang itu dari keadaan yang lebih tinggi ke keadaan yang lebih rendah. Ini
terlukais dalam kisah para nabi; sebab pendapat yang semacam itu, seperti yang
sebelumnya, akan mengisyarakatkan bahwa mustahil bagi Tuhan menjaga para Nabi
agar tidak terkena godaan, maka diturunkannya taraf para Nabi tersebut ke taraf
para wali atau bahkan ke taraf yang lebih rendah lagi, dan itu tidakm masuk
akal. Kebaikan Tuhan dalam menjaga para Nabi-nya dari berbuat dosa, dan menjaga
orang-orang suci-Nya dari godaan, terlalu banyak untuk di hitung atau
diingat-ingat, dan kekuasaan-Nya terlalu besar untuk dibatasi menjadi satu atau
dua tindakan saja.
Jika suatu sangkalan, yang menyatakan bahwa kasus orang
yang kepadanya telah dibawakan tanda-tanda Tuhan, “dan kemudian berpantang
mempercayainya.” Dipakai menyangkal pendapat ini, maka sangkalan itu tidak sah.
Orang yang “berpantang mempercayainya” itu sama sekali tidak pernah merasakan
keadaan kejiwaan atau mengalami keadaan itu, dan dia tidak pernah terpilih atau
ditunjuk (oleh Tuhan); sebaliknya, dia dibawa pelan-pelan menuju kehancuran,
sebab dia kena tipu dan kena kecoh. Secara lahiriah dia mendapatkan tanda-tanda orang terpilih,
tapi dalam kenyataannya dia adalah orang
yang ditolak’ secara lahiriah dia terhiasi dengan kesibukan-kesibukan yang
berharga dan rangkaian doa-doa suci, tapi hatinya buta dan kesadarannya
terselubungi. Dia tidak pernah mengetahui nikmatna pilihan itu, atau
merasakan senangnya iman, dan dia tidak pernah mengenal Tuhan dengan cara
merasakan ehadiran Dia (Syuhud);
begitulah yang dimaksud oleh Tuhan ketika Dia berfirman : “Dan dialah salah seorang dari yang terperdaya.”
Demikian juga berfirman semnegani iblis : “Dan dia
termasuk yang kafir.” AL-Junaid berkata : “Iblis tidak pernah bisa
merenung kalau dia masih ingkar.” Abu
Sulaiman berrkata : “Seseorang itu tidak akan kembali, kecuali dia yang
dalam perjalanan; jika mereka telah tiba di tujuan, mereka tidak akan pernah
kembali.”
Sufi yang telah luruh dijaga dalam melaksanakan
tugas-tugasnya kepada Tuhan, sebagai yang dilukiskan dalam kisah berikut ini.
Seseorang berkata kepada Al-Junaid : “Abu’l Husain al-Nuri terlah berdiri
selama beberapa hari di masjid Syunizi, tanpa makan, minum, atau tidur, dan
setiap saat dia berkata. “Tuhan, Tuhan.” Dan dia bersembahyang pada waktu-waktu
yang tepat.” Lalu seseorang yang berdiri di sampingnya berkata : “Dia waras.”
Al-Juanid berkata : “Tidak! Orang yang mengalami ekstase itu dijaga oleh Tuhan
dalam ekstase mereka.”
Nah, jika Sufi yang telah luruh itu tidak kembali kepada
sifata-sifat yag manapun, maka dia tidak akan kembali kepada sifat-sifatnya
sendiri, melainkan ditempatkan dalam keadaan yang di sana dia tetap tinggal
bersama siffat-sifat Tuhan. Orang yang luruh itu tidak hilang akal, atau gila;
tidak pula sifat-sifat kemanusiaannya lenyap, sehingga dia akan menjadi
malaikat atau hantu; dia hanya luruh dari perasaan-perasaannya sendiri, sebagai
yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Orang yang luruh itu bisa jadi seperti salah satu dari
dua jenis yang ada. Dia mungkin seperti orang yang tidak bisa dianggap sebagi
seorang pemimpin atau teladan; keluruhannya bisa jadi berarti mangkir dari sifat-sifatnya sendiri, sehingga dia tampak
benar-benar gila dan hilang akal, sebab dia tidak bisa lagi membedakan apa yang
bisa mendatangkan keuntungan baginya, dan tidak lagi mencari kesenangannya
sendiri; dan juga karena dia dijaga hanya untuk melaksanakan tugas-tugasnya
kepada Tuhan. Di antara orang-orang yang semacam itu, banyak yang termasuk umat
(Muhammad), yaitu Hilal si orang Habsyi,
budak Al-Mughirah ibn Syu’bah yang hidup pada masa Nabi, dan yang disebut-sebut
oleh Nabi secara istimewa; Uwais al-Qarni, yang hidup pada masa Umar ibn
al-Khattab, dan yang di sebut-sebut oleh Nabi (sebelumnya) di hadapan Umar dan
Ali; dan banyak yang lain-lainnya lagi. Sebaliknya, orang yang luruh itu bisa
jadi seorang pemimpin yang patut diikuti; mengatur mereka yang mendekatkan diri
kepadanya; orang semacam itu ditunjuk untuk mengatur dan memberi pelajaran bagi
kerabat-kerabatnya. Dia dipindahkan ke dalam keadaan-keadaan, dan dia mengatur
urusan-urusannya lewat sifat-sifat Tuhan, bukan oleh sifat-sifatnya sendiri,
dengan cara-cara yang telah kami jelaskan sebelumnya. Seseorang bertanya kepada
Al-Junaid : “Apakah firasat (firasah) itu?” Dia menjawab : “Firasat adalah
hilangnya kecermatan.” Yang lain berkata : “Apakah orang yang memiliki firasat
mendapatkan sifat itu pada saat hinggapnya kecermatan itu saja, atau dia
memilikinya selamanya? Dia menjawab : “Selamanya. Itu merupakan suatu pemberian
(Tuhan) dan karenanya ada bersama dia terus menerus.” Dengan begitu Al-Junaid
mengisyaratkan bahwa pemberian (Tuhan) itu ada terus menerus.
Jika seseorang mengikuti dengan sekssama kitab-kitab
Sufi, dan mengerti acuan-acuannya, dia akan tahu bahwa doktrin mereka adalah
seperti ayng kami tuturkan. Sesungguhnya, doktrin ini dan masalah-masalah
serupa ini oleh orang-orang sufi tidak didokumentasikan atau dituliskan; tapi
doktrin itu mereka kenal dari pemahaman mereka yang benar mengenai teka-teki
doktrin itu dan dari tanggapan yang benar berkenaan dengan isyarat-isyarat
doktrin itu. Tuhanlah yang paling tahu.
60.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI HAKIKAT MA’RIFAT
Salah seorang Syeikh berkata : “Ma’rifat terdiri atas dua
jenis; Ma’rifat kebenaran dan ma’rifat hakikat. Ma’rifat kebenaran merupakan
penegasan Keesaan Tuhan atas sifat-sifat yang dikemukakan-Nya. Sedang ma’rifat
hakikat adalah ma’rifat yang tidak bisa dicapai dengan alat apa pun, disebabkan
oleh sifat (Tuhan) yang tak dapat ditembus dan tahkik ketuhanan-(Nya) mustahil
dipahami; Tuhan berfirman : “Sedang pengetahuan mereka tidak dapat menjangkau-Nya.”
Dia adalah Yang Tak Dapat Ditembus, Hakikat yang gelar-gelar dan sifat-sifatnya
tak dapat dilihat.”
Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Ma’rifat adalah
panggilan hati lewat berbagai tafakur untuk menghayati ekstase-ekstase yang
ditimbulkan oleh kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan
(hakikat) yang berurutan.” Maksudnya, hati menyaksikan kekuasaan-Nya, dan
merasakan besarnya kebesaran Tuhan dan Mulia-Nya, Kehebatan-Nya, yang tak dapat
diungkapkan dengan kata-kata.
Al-Nunaid ditanya : “Apakah ma’rifat itu? Dia menjawab :
“Ma’rifat adalah beradanya hati di antara pernyataan kebesaran Tuhan yang tak
bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya yang tak bisa dirasakan.” Pada saat
lain dia ditanya dengan pertanyaan yang sama dan dia menjawab : “Ma’rifat
berarti mengetahui bahwa apap pun yang
engkau bayangkan dalam hatimu, Tuhan merupakan kebalikannya. Kenapa sampai
terjadi kekacauan itu! Tuhan tidak merupakan bagian dari orang mana pun, dan
orang itu tidak merupakan bagian dari Tuhan. Dia, adalah suatu kemaujudan yang
bergerak ke sana ke mari di dalam ketiadaan. Ungkapan itu tidak ditujukan untuk
Dia; Seba makhluk-makhluk itu didhului oleh sesuatu, dan yang didahului itu
tidak dapat memahami yang mendahului.” Arti kata-kata “Dia adalah suatu
kemaujudan yang bergerak ke sana ke mari di dalam ketiadaan” adalah bahwa orang
yang mengalami keadaan ini (adalah suatu maujud, dan seterusnya); dia (yaitu
al-Junaid) berkata bahwa dia ada dalam padangan mata dan penglihatan, tapi
tidak dalam pandangan gelar dan sifat. Al-Junaid juga berkata : “Ma’rifat adalh
pikiran yang mempersaksikan masalah-masalah mengenai kepulagan, dan bahwa ahli
ma’rifat tidak memiliki kekuasaan, baik sehubungan dengan keberlebihan ataupun
kelemahan.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa ahli ma’rifat tidak mempersaksikan
sendiri keadaannya, melainkan pengetahuan Tuhan kan dirinya, dan bahwa
kepulangannya adalah menuju tepat yang telah diadakan untuknya oleh Tuhan sejak
sebelumnya, dan bahwa dia di awasi oleh (Tuhan) baik dalam ibadah maupun dalam
kekuarangannya. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Kalau ma’rifat masuk ke dalam hati, hati tidak
mampu menanggungnya, ma’rifat bagaikan matahari yang sinarnya mencegah
pelahitnya merasakan batas dan esensinya.” Ibn al-farghani berkata :
“Yang mengetahui
bentuk (rasm) itu merasa bangga, yang mengetahui kesan (wasm) itu merasa
bingung, yang mengetahui yang telah pergi sebelumnya merasa tidak berdaya, yang
mentehaui Tuhan itu teguh, dan yang mengenal Yang Mahapengatur itu hina.”
Yang dimaksudkannya adalah baha jika seseorang bersaksi atas dirinya sendiri
bahwa dia melaksanakan tugas-tugasnya bagi Tuhan, da bertindak sia-sia, jika
dia bersaksi atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya sebelumnya, dia
bingug, sebab dia tidak tahu tentang pengetahuan Tuhan mengenai dirinya, atau
apa yang telah dituliskan oleh Pena mengenai dirinya, jika dia tahu bahwa apa
yang telah ditakdirkan untuknya itu tidak dapat dimajukan atau dimundrkan, dia
kurang pandai mencari; jika dia mengenal Tuhan, dakn kekuasaan Tuhan atas
dirinya, dan bahwa cukuplah Tuhan itu baginya, dia teguh dan tidak dibingungkan
oleh hal-hal yang menakutkan atau oleh kebutuhan-kebutuhannya, dan jika ia tahu
bahwa Tuhan menguasai segala urusannya, dia merendahkan dirinya di bawah
ketetapan dan penilaian Tuhan. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Jika
Tuhan memberinya pengetahuan mengenai Dia, maka Dia menempatkan apdanya
ma’rifat yang membuatnya tidak merasakan cinta, ketakutan, harapan, kemelaratan
atau kekayan, sebab semua ini merupakan tujuan, dan Tuhan jauh dari itu.” Yang
dimaksudkannya adalah bahwa dia merasakan keadaan-keadaan ini, sebab keadaan-keadaan
itu merupakan gelar-gelarnya sendiri; dan gelar-gelarnya itu jauh dari cukup
untuk mendapatkan apa yang merupakan hak Tuhan. Puisi berikut ini dianggap
sebagai karya salah seorang tokoh besar Sufi :
Engkaulah
peindungku, Tuhan, dan penjagaku,
Engkau
jauhkan aku dari wabah yang riuh;
Engkaulah
harapanku di hadapan laan-lawanku,
Dan
kalu aku haus, Engkau puaskan hausku,
Hamba
Tuhan itu mengambil kuda, sebab dia berharap
Dapat
mendaki tebing surga tertinggi yang rahasia,
Lalu,
tenggelam dalam lorong tak berujung;
Dia
pelajari setiap mukjizat yang dikandungnya.
Dia
merobek perekat rahasia yang mengandung
Obat
ajaib bagi hati dia yang mencintai;
Tapi
ketika bertemu, dia begitu takjub
Hingga,
walau masih hidup, tampak matilah dia.
Yang dimaksudkannya adalah bahwa dia begitu takjub dan
bingung dikarenakan perasaan batinnya berupa penghormatan dan rasa terpesona
akan Tuhan, sehingga ketika orang melihat dirinya, dia tampak bagaikan sudah
mmati, meskipun dia masih hidup, dan meluruh dari memikirkan apa-apa yang
menjadi miliknya, sebab dia tidak memiliki sendiri kekuatan untuk memajukan
atau memundurkan (apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan).
61.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PENGESAAN (TAUHID)
Pengesaan itu memiliki tujuh unsur : pemisahan yang kekad
dari yang sementara, Menempatkan Yang Kekal di atas persepsi makhluk, tidak
lagi menyekutukan gelar-gelar-Nya, menghlangkan prinsip sebab akibat dari gelar
ketuhanan, mengangkat Tuhan di atas kekuasaan (makhluk) yang sementara untuk
mempengaruhi atau mengubah Dia, dan memuliakan Dia atas segala pembedaan dan
penghitungan (mental) serta menyatakan bahwa Dia lepas dari prinisp kias.
Muhammad ibn Musa al-Wasithi berkata : “Pengesaan itu
adalah bahwa segala kemampuan lidah untuk berkata, atau segala kata untuk
mengungkapkan, suatu pemuliaan atau pelepasan atau pemisahan itu, ada
penyebabnya; padahal, hakikatnya jauh dari itu semua.” Maksudnya, semua ini
termasuk dalam sifat-sifat atau gelar-gelar pribadi, yang seperti manusia juga,
ada pembuatnya dan penyebabnya; sedangkan hakikat Tuhan itu adalah penyifatan
oleh Dia Sendiri. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Pengesaan itu
merupkana pemencilan dirimu sebagai seorang individu tunggal, dan itu berarti
Tuhan membautmu tidak menyaksikan dirimu sendiri.” Faris berkata : “Pengesaan
itu tidak benar sepanjang masih ada dalam dirimu kaitan pelepasan. Jika
pengesaan itu ada dalam pembicaraan, Tuhan tidak melihat hati orang yang esa
itu menyatu dengan-Nya, dan jika pengesaan itu ada dalam keadaan (hal), maka
orang yang percaya kepada yang esa itu mangkir dari segala pembicaraan; tapi
penglihatan akan Tuhan itu merupakan suatu keadaan yang menyebabkan para Sufi
melihat segala sesuatu yang menjadi milik Tuhan. Bagaimana pun juga, tidak ada
cara lain untuk mencapai pengesaan Tuhan, kecuali dengan pembicaraan atau
keadaan. Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Pengesaan berarti pemisahan dari
diri sendiri sepenuhnya, tapi dengan satu syarat, yaitu melaksanakan sepenuhnya
segala sesuatu yang dibebankan atas dirimu dan bahwa tak ada sesuatu pun yang
akan kembali kepadamu untuk memisahkanmu dari Tuhan.” Maksudnya, seseorang
harus berusaha keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, sesudah itu
membebaskan dirinya dari adanya kenyataan bahwa dia telah melaksanakan
tugasnya; pengesaannya melepaskannya dari sifat-sifatnya sendiri, dan karena
itu tidak ada sesuatu pun yang akan kembali kepadanya, sebab sifat-sifatnya itu
akan memishakannya dari Tuhan. Al-Syibli berkata : “Para Sufi itu tidak
mencapai pengesaan yang sesungguhnya, sampai dia merasa dilepaskan dari
kesadarannya sendiri. Sebab Tuhan mengejawantah dalam dirinya.” Yang lain berkta
: “Orang yang mempercayai keesaan Tuhan adalah orang yang dipisahkan oleh Tuhan
sepenuhnya dari kedua dunia itu, sebab Tuhan melindunginya, dan Dia telah
berfirman : “Kami adalah teladan-teladan kamu dalam kehidupan di dunia ini dan
nanti.” Oleh karena itu Kami tidak menegembalikan kamu kepada wujud (ma’na)
yang laind dari Kami, di dunia kini maupun nanti. Inilah tanda orang yang
percaya kepada keesaan Tuhan itu; dalam dirinya tidak pernah melintas suatu
ingatan penghargaan kepada apa pun yang
tidak mengandung hakikat di hadapan Tuhan. Segala kesaksian terpaling
dari kesadarannya dan segala keinginan akan balas jasa terlepas dari hatinya.”
Dia tak melihat satu kesaksian pun, tak mengharapkan satu balas jasa pun, tak
mempelajari satu rahasia pun dan tak mengacuhkan satu kebaikan pun. Sedangkan
dalam( melaksanakan) tugas-tugasnya dia terselubung dari (memperhitungkan bahwa
dia telah melaksanakan) tugas-tugasnya; dan meskipun dia teikat pada hasrat, ia
mampu lepas dari hasrat itu. Dia tidak memiliki bagian dalam setiap bagian,
sebab dia terkurung di dalam kecukupan dari segala bagian. Tuhan adalah bagian
yang paling mencukupi; kalau dia merasa kurang
dekat dengan Tuhan, maka dia kekuarangan segala sesuatu; walaupun mungkin
dia memiliki segala sesuatu, dan kalau ddia menemukan Tuhan, dia merasa
memiliki segala sesuatu, walau pun mungkin dia tidak memiliki benda sebesar
atom pun.” Yang dimaksudkan penulis itu adalah bahwa sementara dia melaksanakan
tugas-tugasnya, dia tidak melihat bahwa dia sedang melaksanakan tugas-tugasnya;
dia juga melepaskan dari segala hasratnya, sementara dia melihat jiwanya
mematikan hasrat-hasrat itu. Bagian untuk dirinya dari Tuhanadalah kemaujudan
Tuhan; dia terkurung di situ, dan tak memiliki kekuatan untuk maju atau mundur.
Salah seorang tokoh Sufi menulis puisi ini :
Maka,
Kebenaran diketahui dalam ekstase,
Sebab,
Kebenaran itu akan ada di mana-mana;
Dan
bahkan akal yang paling cerdas pun gagal
Memahami
rahasia ini
62.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI PEMERIAN MA’RIFAT
Al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar ditanya : “Kapankah ahli
ma’rifat itu bersama Tuhan?” Dia menjawab : “Ketika kesaksian itu muncul dan
kesaksian-kesaksian itu hilang, indera-indera itu lenyap dan ketulusan musnah.”
Ketia dia mengatakan : “Kesaksian itu muncul. Maksudnya adalah kesaksian Tuhan,
yaitu apa yang dilakukan-Nya terhadap Sufi itu sebelumnya, kebaikan-Nya dan
pemberian-pemberian ma’rifat, pengesaan dan iman kepada-Nya yang begitu banyak,
pemikiran akan hal ini akan menyebabkan tindakan-tindakan para Sufi itu sendiri,
kesalehan dan kepatuhannya sendiri, akan lenyap dari benaknya. Lalu dia akan
melihat bahwa sebagian besar dirinya tertelan dalam sebagian kecil dari Tuhan,
meski yang demikian Tuhan itu banyak dan yang dimilikinya sedikit. Keluruhan
kesaksian adalh hilangnya pemikiran akan orang-orang lain, apakah mereka akan
merugikan atau menguntungkan, menyalahkan ayau memuji, sementara lenyapnya
indera-indera itu dicontohkan di dalam hadits (Qudsi) ini : “Lewat aku dia
berkata dan lewat aku dia melihat.”. Musnahnya ketulusan berati bahwa ketika
Sufi itu memikirkan sifatnya sendiri --- sebab sifatnya tunduk kepada penyebab,
seperti dirinya sendiri – dia tiak lagi menganggap dirinya tulus, dan tidak
lagi menganggap tindakan-tindakannya pernah atau kan tulus.
Dzul Nun ditanya : “Bagaimanakah kesudahan ahli Ma’rifat itu?” Dia menjawab :
“Ketika dia tetap seperti dia sebelumnya di tempat dia sebelumnya di hadapan
sesuatu yang dihadapinya sebelumnya.” Dengan ini, yang dimaksudkannya adalah
bahwa dia merenungkan Tuhan dan tindakan-tindakan-Nya, bukannya merenungkan
dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya. Yang lain berkata : “orang yang
paling mengenal Tuhan adalah orang yang paling bingung.” Dzu’l Nun
ditanya : “Apakah langkah pertama yang harus diambil oleh ahli ma’rifat?” Dia
menjawab : “Kebingungan, sesudah itu kebutuhan, sesudah itu penyatuan, sesudah
itu kebingungan.” Kebingungan yang pertama adalah pada tindakan-tindakan dan
karunia-karunia Tuhan terhadap dirinya; sebab, dia merasa bahwa rasa syukurnya
kepada Tuhan tidak sesuai dengan karunia Tuhan itu, dan dia tahu bahwa dia
perlu bersyukur lantaran karunia-karunia itu; bahkan, jika dia bersyukur,
kesyukurannya merupakan suatu karunia yang harus disyukurinya. Dia merasa bahwa
tindakan-tindakannya tidak cukup patut untuk membawanya bertemu Tuhan; sebab
dia mengecilkan arti tindakan-tindakan itu, menganggap tindakan-tindakan itu
sebagai kewajibannya, yang tidak akan terhapuskan dalam keadaan apapun.
Dikatakan bahwa Al-Syibli pada suatu kesempatan berdiri untuk bersembahyang,
dan menanti lama sekali, sesudha itu bersembahyang; dan setelah dia selesai
bersembahyang dia berkata : “Aduh! Jika aku berdoa, aku menyangkal, dan jika
aku tidak berdoa, aku tidak bersyukur.” Yang dimaksudkannya : “ Aku menyangkal
besarnya kebaikan dan sempurnanya karunia (Tuhan), kalau aku bandingkan itu
dengan tindakan bersyukurku yang buruk itu. Lalu dia mulai bersyair :
Kini,
terrpujilah Tuhan, bahwa aku bagaikan seekor kodok
Yang
makanan pokonya tersedia di air dalam
Dan
membuka mulutnya, dan segera penuh;
Ia
mempertahankan kedamaiannya, dan pasti mati dalam kesedihan
Kebingungan yang kedua adalah di dalam keliaran tanpa
penyatuan yang tak berarah, yang di dalamnya pengertian ahli ma’rifat itu
lenyap dan akalnya menciut di hadapan kebesaran kekuasaan, pesona dan keagungan
Tuhan. Telah dikatakan : “Di sisi pengesaan ini terdapat keliaran yang di
dalamnya pikiran-pikiran itu lenyap.” Abu’l-Sauda bertanya kepada salah seorang
tokoh besar Sufi : “Apakah ahli ma’rifat itu memiliki kesempatan (waqt)?” Dia
menjawab : “Tidak,” Yang lain bertanya : “Mengapa tidak?” Tokoh Sufi itu
menjawab : “Sebab, kesempatan adalah suatu jarak waktu untuk penyegaran setelah
kemarahan, dan ma’rifat itu (bagaikan) ombak yang menarik (ahli ma’rifat),
terkadang mengangkatnya, terkadang membantingnya, dan kesemepatannya itu hitam
dan gelap.” Lalu dia berkata :
Ma’rifat
membuat satu tuntutan, dan hanya satu;
Bahwa,
segala sesuatu darimu harus dihapuskan.
Maka,
ketika penyelidikan panjang itu dimulai pertama kali,
Yang
mencari, belajar menjaga kemurnian pandangannya
Faris berkata : “Ahli ma’rifat adalah seseornag yang
pengetahuannya merupakan suatu keadaan kejiwaan, dan yang geraknnya
berlimpah-limpah.” Junaid, ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat berkata : “Warna air itu
adalah warna wadahnya.” Yang dimaksudkannya adalah bawa dalam setiap
keadaan dia mengikuti apa yang lebih patut; nah, keadaan-keadaannya itu
berbeda-beda, maka dia disebut :Putera sang waktu>” Dzu’l Nun berkata, utnuk
menjawab pertanyaan yang sama : “Dia ada di sisi dan kemudian pergi,” yang
berarti bahwa ahli ma’rifat itu tak pernah terlihat pada dua kesempatan dalam
keadaan yang sama, sebab dia diawasi oleh Yang lain. Puisi berikut ini dianggap
sebagai gubahan Ibn Atha :
Andaikan waktu punya lidah ‘tuk berbicara, maka ‘kan bertutur..
Bahwa dalam selubung hasrat aku senang;
Tapi, waktu tak tau tingkatku yang sejati lagi tinggi,
Karena kuselalu bergerak ke suatu ketinggian..
Sahl ibn Abdillah berkata : “Keadaan pertama dalam
ma’rifat adalah ketika sang Sufi mendapatkan suatu kepastian di dalam hatinya,
yang dengan itu anggota-anggota tubuhnya menjadi tenang, dan suatu sifat
kebenaran di dalam anggota-anggota tubuhnya yang dengannya dia merasa aman di
dunia ini, serta suatu kehidupan di dalam jiwanya yang dengannya dia mencapai
kemenangan di dalam keadaannya yang mendatang.”
Oleh karena itu, ahli ma’rifat telah berusaha keras untuk
melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, dan ma’rifatnya merupakan suatu
perwujudan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, oleh karena itu dia
sungguh-sungguh berpaling dari segala sesuatu dami Tuhan. Tuhan berfirman : “Engkau melihat
air mata mereka bercucuran, disebabkan apa yang mereka ketahui sebagai
kebenaran.” Barangkali, yang mereka maksud dengan “mereka diketahui
sebagai kebenaran” adalah yang telah mereka
ketahui sebagai kebaikan Tuhan dan pencarian-Nya akan diri mereka,
berpalingnya Dia kepada mereka serta terpilihnya mereka di antara
kerabat-kerabat mereka. Begitulah halnya dengan Ubai ibn Ka’ab. Nabi berkata
kepadanya : “Sesungguhnya, Tuhan telah memerintahkan aku untuk menyitir
(ayat-ayat suci) di hadapanmu.” Ubai berkata : “Wahai Rasul Allah! Adakah aku
disebutkan di situ?” Nabi berkata : “Ya”. Maka Ubai lalu meratap, sebab dia
tidak melihat ada keadaan yang di dalamnya dia bisa menghadap Tuhan, tak ada
syukur yang bisa menyamai karunia Tuhan, tak cukup ingatannya akan Dia; oleh
karena itu dia bungkam sja, lalu meratap. Nabi juga berkata kepada haritsah :
“Kau telah tahu, maka berpeganglah erat-erat (padanya).” Beliau menuturkan
kepadanya ma’rifat itu, dan menyuruhnya berpegang erat-erat padanya, tanpa
memberi tanda kepadanya dengan tindakan apa pun. Ketika ditanya mengenai ahli
ma’rifat, Dzu’l Nun berkata : “Dia adalah orang yang meskipun menyatu dengan
ma’rifat itu, terpisah darinya.” Sahl berkata : “Mereka yang memiliki ma’rifat
Tuhan adalah sebagai oarng-orang dari A’raf, yang mengenal satu sama lain
dengan tanda-tanda; Tuhan telah menempatkan mereka pada keadaan mereka, dan
mengangkat mereka tinggi-tinggi melebihi kedua tempat itu, memberi mereka
pengetahuan mengenai dua kerajaan itu.” Salah seorang tokoh Sufi menulis
baris-baris puisi ini :
Sayang
nian, mereka yang telah menjalani
Kehdipan
dunia ini, dan pergi di jalan mereka sendiri!
Bertahun-tahun
sudah ku berlomba dengan mereka;
Bagian
yang mereka mainkan tak bisa kumainkan;
Kehdupan
mereka penuh rahasia dan terpencil.
Di
tengah suasana kesombongan atau keningratan,
Manusia-manusia
berseru, yang melihat mereka dilucuti
Mereka
tak terbentuk, tak bernyawa!
63.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI YANG MENCARI DAN
YANG DICARI
Yang mencari itu dalam kenyataanya adalah yang dicari,
dan Yang Dicari Yang Mencari; sebab orang yang mencari Tuhan itu hanya
mencari-Nya karena mula-mula Tuhan mencarinya lebih dulu. Maka Tuhan berkata :
“Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya.” Dan lagi : “Allah senang
kepada mereka dan mereka pun senang pula kepada Allah>” dan agi : “Kemudian
Allah menerima tobat mereka, agar mereka selalu kembali kepada-Nya>”
Pencarian-Nya akan mereka merupakan penyebab pencarian mereka akan Dia; sebab
penyebab dari segala sesuatu itu adalah tindakan-tindakan Tuhan, sedang
tindakan-tindakan-Nya tidak bersebab. Jika Tuhan mencari seseorang, tidak akan
mungkin bagi orang itu untuk tidak mencari Tuhan; Maka Tuhan telah membuat
orang yang mencari menjadi yang dicari. Yang Dicari menjadi Yang Mencari.
Sekali pun begitu (dalam bahasa orang-orang sufi), orang yang mencari adalah
yang tindakannya mendahului perkataannya, sedang yang dicari adalh dia yang
perkataannya mendahului tindakannya. Orang yang mencari itu dilukiskan dalam
firman Tuhan : “Orang-orang yang berjuang di pihak Kami akan Kami tunjuki
jalan-jalan Kami>” Orang semacam itulah yang dicari Tuhan, Yang memalingkan
hatinya dan menanamkan di dalamnya suatu karunia, untuk menggerakan hatinya
agar berjuang demi Dia dan berpaling kapda-Nya serta mencari-Nya. Lalu Dia
ungapkan baginya keadaan kejiwaan itu. Begitulah halnya dengan haritsah, yang
berkata : “Aku memalingkan diriku dari dunia ini, dan berpuasa di siang hari serta
berjaga di malam hari>” lalu dia berkata : “Dan seolah-oleh aku melihat
Singgasana Tuhan tampi.” Dengan kata-kata ini dia menunjukan bahwa ilham dari
yang tak terlihat itu mendatangi dirinya, setelah dia berpaling dari dunia ini.
Orang yang “dicari” sebaliknya, dijauhkan secara paksa dari dunia ini oleh
Tuhan, dan diungkapkan
baginya keadaan itu, sehingga lewat kekuatan pewawasan itu dia bisa digerakan
untuk berjuang demi Tuhan-nya, dan berrpaling kepaa-Nya serta menanggung beban
yang ditempatkan oleh Tuhan atas dirinya. Maka begitulah halnya dengan
kemampuan sihir Fir’aun sebab mereka berkata : “Kami tidak akan mengutamakan
daripada keterangan-keterangan nyata .... Karena itu hukumlah kamu sesuka
hatimu.” Begitu pula halnya dengan Umar ibn Al-Khattab. Ketika dia datang untuk
membunuh Nabi; sebab Tuhan mencegahnya dalam perjalanannya. Sama halnya juga
kisah Ibrahim ibn Adham, dia pergi untuk memburu kesenangan, dan sebuah suara
memanggilnya, berkata : “Bukan untuk ini kamu diciptakan, dan bukan untuk ini
kamu diperintah.” Dua kali suara itu memanggilnya, dan pada kali ketiga
panggilan itu datang dari bagian depan sadel kudanya. Lalu dia berkata : “Demi
Tuhan, aku tidak akan ingkar dari Tuhan sesudah ini, sepanjang Tuhanku selalu
melindungiku dari dosa.” Maka inilah yang dimaksudkan dengan “dijauhkan secara
paksa.” Orang-orang ini diberi ilham mengenai keadaan kejiwaan, dan dengan
begitu dijauhkan dari keinginan-keinginan dan kekayaan-kekayaan duniawi mereka.
Ahli Hukum Abu Abdillah al-Baraqi pernah mengutip puisi, karangannya sendiri,
ini untuk saya :
Hati
si pencari itu tertancap dalam kesucian,
Dan
hasrat itu membawa langkahnya menuju setiap celah pegunungan;
Ke
sepanjang lembah mana pun tujuannya,
Tempatnya
satu-satunya adalah Tuhan segala manusia.
Dia
membayar dengan kesucian, dengan cara suci pula,
Dan
kesucianlah yang dibawa ke dalam hati oleh lentera,
Yang
dicarinya adalah tempat tinggal Sang Pencari:
Lipat
tigalah rahmat si pencari yang dicari!.
64.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI UPAYA KERAS
(MUJAHADAH) DAN IBADAH
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Ibadah yang
sesungguhnya adalah melaksanakan apa yang telah dibebankan oleh Tuhan sebagai
suatu tugas, asal itu diartikan sebagai suatu kewajiban; yaitu, bahwa tugas
tersebut harus dilaksanakan tanpa mengharapkan balasan, meskipun engkau tahu
bahwa itu merupakan suatu karunia (Tuhan); tugasmu kepada Tuhan itu sudah
cukup, ketika engkau melaksanakan tindakan itu, untuk membuang segala
pengharapan akan karunia dan balas-jasa. Sebab Tuhan berfirman : “Sesungguhnya
Allh telah membeli jiwa dan harta orang mukmin,” yaitu bahwa mereka boleh
membaktikan diri mereka sebagai hamba, bukan dengan jiwa yang loba.”
Seseorang berkata kepada Abu Bakr al-Wasithi : “Dengan
cara bagaimana sang Sufi melaksanakan
perbuatannya?” Dia menjawab : “Dengan cara meluruh dari tindakan-tindakannya,
yang menjadi ada didkarenakan sesuatu yang selain dia.” Abu Abdillah al-Nibaji
mengatakan : “Kesenangan dalam kepatuhan itu merupakan buah permisahan dari
Tuhan. Seseorang itu tidak disatukan dengan Tuhan dikarenakan hal itu, atau
dijauhakan (Dari Tuhan, dikarenakan tiadk adanya hal itu); dia tidak
mempercayainya sebagai sesuatu yang patut diandalkan, dia pun tidak
meninggalkannya karena dorongan semangat
penentangan. Dia melaksanakan tugas-tugasnya semata-mata demi Tuhan,
sebagai seorang budak dan hamba, bersandar pada apa (yang ditakdirkan oleh
Tuhan) di dalam masa pra-kekekalan.” Yang dimaksudkannya dengan “Kesenangan
dalam kepatuhan” adalah menganggap hal itu mendahului dirinya, tanapa menyadari
karunia Tuhan dalam membantu orang itu (untuk patuh). Firman Tuhan :
“Sesungguhnya seruan dari Tuhanitu lebih baik.” Ditafsirkan bahwa itu lebih
baik daripada di dalam akalmu, atau yang dapat diutarakan oleh lidahmu. Zikir
yang sesungguhnya berarti meluakan yang selain Tuhan, sebab, Tuhan berfirman :
“Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika engkau lupa.” Maka Firman Tuhan : “Makan
minumlah sesenang hatimu, berkat perbuatan kebajikan yang telah kamu lakukan
pada masa silam.” Ditafsirkan bahwa pada masa silam itu mereka tidak mengingat
Tuhan, sehingga kamu harus tahu bahwa apa yang kamu peroleh itu dikarenakan
kebaikan Tuhan; bukan didkarenakan tindakan-tindakan sendiri.
Abu Bakr al-Qahtabi berkata : “Jiwa orang yang percaya
kepada, pada keesaan Tuhan itu muak dengan segala gelar sifat-sifat mereka yang
teelah ternyatakan, dan segala sesuatu yang muncul dari sifat-sifat itu mereka
anggap menjijikan. Mereka terrpisah dari kesaksian-kesaksian mereka,
perolehan-perolehan mereka, dan keuntungan-keuntungan mereka, dan mereka tidak
mampu menyatakan tuntutan apa pun di hadapan-Nya, sebab mereka telah
mendengarkan-Nya berfirman : “Dan jangan mempersekutukan seorang pun dengan
Tuhan dalam peribadatan.” Dengan “kesaksian” yang dimaksudkannya adalah
kemanusiaan, dengan “keuntungan” adalah balas jasa, dengan
“perolehan-perolehan” adalah benda-benda material. Abu Bakr al-Wasithi berkata
: “Arti perkataan Tuhan Maha Besar” pada saat berdoa adalah “Engkau terlalu
besar untuk bisa digabungkan dengan doa, atau untuk dipisahkan dengan jalan
menghapuskan doa.” Sebab, pemisahan dan penyatuan itu bukan merupakan
tindakan-tindakan (pribadi), melainkan menuruti suatu ketetapan yang
ditakdirkan di dalam kekekalan.”Al-Junaid berkata : “Janganlah hendaknya
tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa ikut bersenang dan berrgembira di
dalam kesatuan dengan Dia yang tak bisa didekati dengan alat apa pun kecuali
lewat Dia sendiri.” Ibn Atha berkata : “Janganlah
hendaknya tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa rasa takjub dan hormat kepada
Dia yang telah melihat engkau melaksanakannya.” Yang lain berkata :
“akna doa adalah pelepasan dari segala rintangan, dan pemissahan dengan
hakikat-hkikat.” Rintangan-rintangan itu adalah segala sesuatu yang selain
Tuhan, hakikat-hakikat adalah segala sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan
dan dari Tuhan. Yang lain berkata : “Berdoa adalah menyatu.” Saya mendengar
Faris berkata : “Makna puasa adalah mangkir dari penglihatan manusia di dalam
penglihatan Tuhan. Sebab Tuhan berfirman di dalam kisah Maryam : “Sesungguhnya
aku telah berjanji kepada Tuhan Yang Mahapengasih untuk berdiam diri, maka aku
tiak akan berbicara dengan siap pun pada hari ini.” Yaiitu karena aku mangkir
dari mereka di dalam penglihatan Tuhan, dan karenanya aku tidak akan dapat, dalam
keadaanku itu. Menggubris sesuatu yang bisa membingungkan diriku atau
melepaskanku dari Dia.” Hal ini terbukti dalam perkataan Nabi : “Puasa itu suat
penjagaan.” Yaitu suatu selubung yang menutupi segala sesuatu kecuali Tuhan.
Tuhan pun berfirman : “Puasa itu bagian-Ku, dan Aku akan memberi pahala untu
itu.” Salah seorang tokoh Sufi berekata : “Itu berarti, Aku yang menjadi pahala
untuk itu.” Abu’l Hasan ibn Abi Dzarr berkata : “Itu mengandung arti,
ma’rifat-Ku menjadi pahala bagi orang yang berpuasa.” Sudah tentu itu merupakan
pahala yang cukup, sebab tidak ada sesuatupun yang dapat memperoleh ma’rifat
Tuhan, atau bahkan mendekatinya saja.” Saya mendengar Abu’l Hasan al-Hasani
al-Hamadani mengatakan : “Arti firman Tuhan “Puasa itu bagian-Ku” adalah bahwa
hasrat-hasrat itu meninggalkannya; yaitu pertama hasrat dari setan, kalau-kalau
dia akan merusak-kannya, sebab setan itu tidak berhasrat akan sesuatu yang
menjadi milik Tuhan; yangg berikutnya adalah hasrat dari jiwa, kalau-kalau jiwa
itu menyombongkan diri, sebab jiwa itu hanya menyombongkan apa yang menjadi
miliknya; yang berikutnya lagi, hasrat dari musuh-musuh di dunia mendatang,
sebab mereka hanya mengambil apa yang menjadi milik manusia, bukan yang menjadi
milik Tuhan.” Inilah arti firman Tuhan itu, sepanjang yang saya pahami.
Seorang tokoh Sufi berkata : “Kesulitan penderitaan
adalah keinginan akan kesenangan dan pengharapan yang ditempatkan pada setiap
tindakan pribadi, jika seseorang percaya kepada kesenangan dan pengharapan itu,
maka akibatnya adalah kesedihan; dan kesedihan yang diperolehnya itu merupakan
kesengan bagi musuh-musuhnya.” Al-Nuri menulis :
“Hari
ini aku hampir mencapai tujuanku!” aku berseru;
Sayang,..
tujuan yang hampir tercapai itu masih ssangat jauh.
Aku
tak berjuang, tapi jatuh; tapi, untuk nerusaha
Dan
kalah dalam perang, itu pun suatu pertempuran
Kini,
segala harapan pupus, tapi kasih-Mu..
Akan
selalu memberi ampun, sifat pemurah-Mu menyetujui;
Kalau
tidak, maka surga kan kering; aku mesti terbuang.
Yang lain menulis :
Sungguh,
bahwa aku memuja dan mengingat Engkau..
Dalam
pengharapan akan pencapaian;
Begitu
rindu anak-anak ketakmanatapan itu
Akan
kesenangan yang sia-sia
Tuhan,
bagaiman Wahyu-Mu yang cemerlang
Akan
kutanggung,
Dan
meninggalkan dunia ini, nan penuh selubung dan godaan
Dengan
cara tak biasa?
Dia berkata : “Jika dalam tindakan dan usahaku aku
mencari pahala – dan inilah yang dicari oleh orang-orang yang berusaha dan
bersusah payah mencari (mutu) ketuhanan itu --- bagaimana aku akan memikirkan
wahyu yang membawaku dari ketakutan akan kabr-kabar mengenai keadaan-keadaan
dan saat-saatku yang berubah, dan dari anggapan akan perbuatan-perbuatan serta
usaha-usahaku sendiri, yang merupakan hal-hal yang menyelubungi diriku dari-Mu?
65.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI MENGAJAR ORANG LAIN
Seseorang berkata kepada Al-Nuri : “Kapan seseorang itu boleh mengajar
sesamanya?” Dia menjawab : “Ketika dia telah memahami masalah ke-Tuhanan, pada
waktu itu barulah dia boleh mengajari hamba-hamba Tuhan; tapi kalau dia tidak
memahami masalah ke-Tuhan-an, maka penderitaan dirinya itu diderita pula oleh
seluruh negeri, dan ditanggung oleh semua orang.” Sirri al-Saqathi
berkata : “Aku ingat ketika orang-orang datang kepadaku, dan aku berkata,
“Wahai Tuhan!” Berilah mereka pengetahuan yang akan menjauhan mereka dariku,
sebab aku tidak suka mereka datang kepadaku.” Sahl berkata : “Selama tiga puluh
tahun aku berbicara dengan Tuhan, dan orang-orang itu mengira aku berbicara
dengan mereka.” Al-Junaid berkata kepada Al-Syibli : “Kami mempelajari ilju ini
sedalam-dalamnya, dan kemudian menyembunyikannya dalam ruangan-ruangan di bawah
tanah; tapi engkau telah datang dan memamerkannya di atas kepala orang-orang
itu.” Al-Syibli menyahut : “Aku berbicara, dan aku mendengarkan; adakah sesuatu
di dunia ini selain diriku? Salah seorang tokoh besar Sufi berkata kepada
Al-Junaid, ketika dia sedang berbicara dengan orang-orang itu : “Wahai Abu’l
Qasim! Tuhan tidak senang kepada orang yang memiliki satu pengetahuan tertentu
sampai Dia melihat dia hidup dalam pengetahuan itu, tetaplah tinggal di situ,
tapi jika tidak, turunlah.” Maka
Al-Junaid bangkit, dan tidak berbicara dengan orang-orang selama dua bulan.
Sesudah itu dia muncul lagi dan berkata : “Kalau bukan karena aku telah mendengar
Nabi berkata : “ Pada hari akhir pemimpin orang-orang itu akan menjadi yang
paling hina di antara mereka, maka aku tidak akan muncul di hadapanmu.”
Al-Junaid juga berkata : “Aku tidak pernah berbiicara dengan orang-orang itu,
sampai tiga puluh orang yang paling terpandang itu menunjukku, berkata :
“Engkau pantas memanggil (orang-orang lain) mendekati Tuhan.” “Seseorang
bertanya kepada salah seorang Sufi itu : “”Mengapa engkau tidak mengajar?” Dia
menjawab : “Inilah suatu dunia yang telah berbalik dan pergi; dan orang yang
mengikuti dia yang telah berbalik itu lebih terbelakang dari yang lain.” Abu
Mansur al-Panjakhini berkata kepada Abu’l Qasim al-Hakim : “Dengan tujuan apa
aku mesti berbicara dengan orang-orang itu.” Dia menjawab : “Aku tidak mengenal
tujuan yang berkaitan dengan keingkaran, kecuali meninggalkannya,” Abu Usman
Sa’id ibn Isma’il al-Razi minta izin kepada Abu Hafsh al-Haddad, yang waktu itu
menjadi gurunya, untuk mengajar orang-orang. Abu Hafs bertanya kepadanya : “Dan
apa yang mendorongmu untuk berbuar itu?” Dia menjawab : “Aku kasihan terhadap
mereka, dan akan menasehati mereka.” Yang lain bertanya : “Apakah ukuran dari
rasa kasihanmu terhadap mereka?” Dia menjawab : “Jika aku ahu bahwa Tuhan akan
menghukum diriku sebagai ganti semua orang yang beriman kepada-Nya, dan akan
membawwa mereka ke surga, aku akan merasa senang.” Maka Abu Hafs memberikan
izin. Nah, diapu menghadapi ujian-ujian; dan ketika Abu Usman telah
menyelesaikan pelajarannya, seseorang berdiri untuk mengemis. Abu Usman mencegah orang itu dengan memberikan baju
yang dipakainya. Lalu Abu Hafs berkata : “Engkau menipu, waspadalah dalam
mengajar orang-orang ini, selama hal itu masih ada dalam dirimu.” Abu Usman
bertanya : “Hal apa itu, tuan?” Dia menjawab : “Bukankah engkau begitu ingin
untuk menasehati mereka. Dan bukankah engkau ingin begitu ingin mengasihani
mereka, sehingga engkau lebih suka kalau mereka mendapatkan pahala lebih dahulu
daripada engkau, dan engkau mengikuti mereka?” Saya mendengar penuturan yang
berikut ini dari Faris, yang mendaptkannya dari Abu Amr al-Anmati dan
menyalaminya.” Al-Junaid menyahut : “Dan damai untukmmu, wahai Panglima Hati.
Berbicaralah!” Al-Nuri berkata : “Wahai Abu’l Qasim! Engkau telah menipu
mereka, dan mereka menempatkan engkau di atas mimbar; aku telah menasehati
mereka dan mereka telah membuangku ke tumpukan sampah.” Al-Junaid berkata :
“Aku tidak pernah merasakan kesedihan melebihi kesedihan waktu itu.” Pada hari
Jum’at berikutnya dia datang pada kami dan berkata : “Kalau engkau melihat
seorang Sufi mengejar orang-orang itu, ketahuilah bahwa dia kosong.” Ibn Atha
berkata : “Firman Tuhan, “Dan katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan yang bisa
merasuk ke dalam jiwa mereka.” Yang berarti, (katakanlah kepada mereka) menurut
kemampuan pemahaman mereka dan batas akal mereka.” Yang lain berkata : “Firman
Tuhan>” Andaikata dia membaut-buat sebagian perkataan atas nama Kami,
niscaya Kami ikat persendiannya.” Berarti jika dia telah menatakan mengenai
hal-hal ekstasis (spiritual) dari orang –orang materialis,” Penafsiran ini dibenarkan
dalam firman lain : “katakan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadamu
oleh Tuhanmu.” Tuhan tidak berfirman, “Katakan kepada mereka sesuatu yang
dengannya Kami membuat diri Kami kamu kenal.” Al-Husain al-Maghazili melihat
Ruwaim ibn Muhammad sedang mengajar orang-orang mengenai masalah kemelaratan;
dia berhenti, dan berkata padanya :
Mengapa
engkau kenakan pisau yang berkilau itu,
Yang
dengan itu tak seorang pun pernah dikuliti?
Congkak
nian engkau dengan senjata terhunus.
Pergi,
ambillah gelang kaki yang tersepuh emas!
Dia bermaksud memerikan suatu keadaan yang belum pernah
dialaminya. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Jika seseorng mengajar
tanpa mengetahui arti yang di bicarakannya, dia mirip seekor keledai dalam
kepura-puraannya itu. Tuhan berfirman : “Bagai keledai yang membawa kitab-kitan
tebal.”
66.
MENGENAI KETAKWAAN DAN AMAL-AMALNYA
Al-Harits al-Muhasibi mendapat warisan dari bapaknya
lebih dari 30.000 dinar, tapi tidak mau menyentuhnya sepeser pun, dan
mengatakan : “Dia seorang Qadariah.” Abu Usman berkata : “Aku sedang di rumah
Abu Bakr ibn Abi Hanifah bersama Abu Hafs. Kebetulan kami memperkatakan tentang
seorang teman yang tidak hadir, dan Abu Hafs berkata : “Jika aku memiliki
secarik kertas, akan ku tulis kepadanya.” Aku berkata, “Inilah, ada secarik.”
Saat itu Abu Bakr sedang pergi ke pasar. Abu Hafs menyahut, “Barangkali Abu
Bakr telah meninggal dunia, tanpa kita ketahui, dan kertas itu telah menjadi
milik pewarisnya. Oleh karena itu dia tidak jadi menulis.” Abu Usman juga berkata
: “Aku sedang bersama Abu Hafs, ketika dia menyimpan sejumlah kismis. Aku
mengambil kismis itu dan memasukannya ke dalam mulutku. Dia tiba-tiba menyambar
leherku dan berkata, “Engkau penipu, engkau makan kismisku.” Aku menjawab. “Aku
yakin akan ketidakhadiranmudalam masalah-masalah dunia ini, sebab aku tahu
bahwa engkau tidak memetingkan dirimu sendiri, dan karena itulah aku mengambil
kismis itu.” Dia menjawab : “Wahai orang tolo! Engkau mempercayai hati yang
tidak dikuasai oleh tuannya!” Saya mendengar banyak dari syekh itu berkata :
“Syekh itu akan menghindar dari behubungan dengan orang yang melarat
dikarenakan salah satu dari ketiga alasan ini: Jika ddia melaksanakan
perjalanan haji setelah menerima uang dari orang lain: Jika dia pergi ke
Khurasan; Dan jika dia memasuki Yaman. Mereka mengatakan : “Jika dia pergi ke
Khurasan, dia melakukan hal itu hanya untuk memperoleh kemudahan, dan di
Khurasan tidak ada apa pun yang halal atau baik untuk dimakan; dan mengenai
Yaman, ada banyak jalan di sana menuju kerusakan,” Abu’l Mughith tidak pernah
beristirahat atau tidur dengan berbaring, tapi sepanjang malam dia berdiri
mendoa; dan setiap kali matanya terasa letih, dia akan duduk dan meletakkan
keningnya di atas lututnya, dan tidur sebentar. Seseorang bertanya kepadanya :
“Berbaik hatilah terhadap dirimu sendiri.” Dia menyahut : “Tuhan yang Baik
belum berbuat baik kepadaku sehingga aku belum juga mendapatkan kemudahan.
Apakah engkau belum mendengar bahwa Tuhan Para Utusan itu berkata, Orang yang paling
susah adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang benar-benar percaya, dan
sesudah itu yang semacamnya dan yang semacamnya.” Dikatakan bahwa Abu
Amr al-Zajjaji tinggal di Mekkah selam bertahun-tahun, dan tidak pernah
melaksanakan kebutuhan alamiahnya di daerah Haram, tapi selalu pergi keluar
untuk melakukan hal itu dan kemudian kembali dalam keadaan suci untuk
beribadah. Saya mendengar Faris menuturkan anekdot berikut ini : “Abu Abdillah
yang dikenal sebagai Syikthal, tidak mau berbicara dengan orang-orang , tapi memencilkan
diri di padang pasir di daerah Kufah, tanpa makan apa-apa kecuali makanan yang
dihalalkan. Aku bertemu dengannya pada suatu hari, dan dengan mendekatinya aku
berkata : “Aku mohon kepadamu demi nama Tuhan, maukah engkau mengatakan padaku
apa yang mencegah dirimu dari megajar orang? Dia menyahut : “Wahai manusia!
Kemaujudan ini bukan lain daripada suatu khayalsan di tengah hakikat, dan
adalah tidak sah bagi kita untuk berbicara mengenai sesuatu yang tidak
mengandung hakikat. Dan mengenai Yang Nyata itu, kata-kata tak mampu
memerikannya; lalu apa gunanya mengajar? Kemudian meninggalkanku dn belalu.”
Faris juga mengatakan kepadaku bahwa dia mendengar Al-Husain al-Maghazili
berkata : “Aku melihat Abdullah al-Qasysya’ suatu malam berdiri di tepi sungai
Tigris dan berkata, “Tuhanku, aku haus; Tuhanku, aku haus.” Begitulah dia terus
menerus sampai pagi; lalu dia berkata ‘Aduh! Engkau membuat sesuatu menjadi halal bagiku tapi mencegahku untuk
mengambilnya; dan Engkau membuat sesuatu haram bagiku tapi memberiku kebebasan
untuk mendapatkannya; lalu apa yang mesti kulakukan?” Maka dia kembali, dan
tidak minum.” Saya mendengar juga orang yang sama menuturkan bahwa dia
mendengar seorang laki-laki melarat berkata : “Pada tahun sulit, aku berada
bersama beberpa orang; aku meninggalkan mereka, dan kemudian kembali dan
memerinksa orang-orang yang luka. Aku melihat Abu Muhammad al-Jurairi, yang
waktu itu usianya lebih dari seratus tahun, dan berkata kepadanya : “Tuan,
mengapa engkau tidak berdoa, agar (kesedihan) yang engkau lihat ini bisa
dihilangkan?” Dia menyahut : “Aku telah melakukan itu.” Dan kemudian ia
menambah kan : “Sesungguhnya, aku melakukan apapun yang hendak kulakukan. Aku
mengulangi permohonanku kepadanya dan dia berkata : “Saudaraku, ini bukan
waktunya berdoa, kini adalah waktu untuk patuh dan pasrah.” Aku berkata
kepadanya : “Apakah engkau membutuhakn sesuatu?” Dia menjawab : “Aku haus’.
Maka aku bawakan dia air, dan dia mengambilnya serta ingin meminumnya, lalu dia
melihat kepadaku dan berkata : “Orang-orang ini haus, dan aku minum. Tidak, itu
keserakahan.” Maka dia kembalikan air itu kepadaku dan segera sesudah itu dia
mati.” Faris juga menuturkan bahwa dia mendenegar salah seorang sahabat
Al-Jurairi berkata : “Selama dua puluh tahun aku tidak pernah memikirkan
tentang makanan sampai pemikiran akan hal itu dibawa ke dalam hatiku; dan
selama dua puluh tahun aku melakukan sembahyang fajar pada saat aku baru saja
menyelesaikan sembahyang malamku, yang kedua; dan selama dua puluh tahun aku
tidak pernah memendekkan doa-doa-ku kepada Tuhan, karena takut jangan-jangan
Dia nanti akan membuktikan kesalahanku lewat mulutku sendiri. Selama dua puluh
tahun, lidahku hanya mendengarkan hatiku; Lalu keadaanku berubah, dan selama
dua puluh tahun hatiku hanya mendengarkan lidahku.” Arti perkataannya, “Lidahku
hanya mendengarkan hatiku” adalah :Aku hanya berbicara atas dasar hakikat yang
aku miliki.” Dan “hatiku hanya mendengarkan lidahku” adalah “Tuhan menjadikan
lidahku, seperti yang dituliskan dalam hadis (Qudsi): “Lewat Aku dia mendengar,
lewat Aku dia melihat dan lewat Aku dia berbicara.” Salah seorang Syekh kami
mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Muhammad ibn Sa’dan berkata : “Selama
dua puluh tahunaku membaktikan diri kepada Abu’l Maghith dan tak sekali pun aku
melihatnya menyesali apa pun miliknya yang ketinggalan.” Dikatakan bahwa Abu’l
Sauda melaksanakan perjalanan haji kecil enam puluh kali, dan Ja’far ibn
Muhammad alj-Khuldi lima puluh kali. Salah seorang syekh kami – saya cenderung
beranggapan bahwa dia adalah Abu Hamzah
al-Khurasani --- melaksanakan perjalanan suci sepuluh kali demi Nabi, sepuluh
kali demi para sahabat Nabi. Dan satu kali perjalanan suci demi dirinya
sendiri; dan dia berharap perjalanan-perjalanan sucinya yang lain bisa membuat
perjalanan sucinya sendiri diterima oleh Tuhan.
67.
MENGENAI ANUGERAH TUHAN KEPADA PARA SUFI DAN
PERINGATANNYA TERHADAP MEREKA LEWAT SUARA-SUARA GAIB
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Pada mala Arafah,
perasaan akan dekatnya Tuhan memutuskan diriku dari hasrat untuk berdoa kepada
Tuhan. Kemudian jiwaku menentangku agar aku berdoa kepada Tuhan; dan aku
mendengar sebuah suara berkaa : “Setelah engkau menemukan Tuhan, apakah engkau
akan berdoa kepada yang selain Tuhan?” Abu Hamzah al-Khurasani berkata : “Suatu
saat, pada saat aku melaksanakan perjalanan haji, aku sedang berjalan sepanjang
jalan itu ketika tiba-tiba aku jatuh ke dalam sebuah sumur. Jiwaku menentangku
agar berteriak minta tolong; tapi aku berkata : “Tidak, demi Tuhan, aku tidak
akan berteriak! Aku baru saja akan selesai dengan renungan itu ketika dua orang
lewat di ujung sumur, dan salah seorang dari mereka berkata kepada yang satunya
: “Mari kita isi mulut sumur ini agar rata dengan jalan .’ Maka mereka membawa
sebuah tongkat dan sebuah tikar alang-alang; aku tergerak untuk berteriak; lalu
aku berkata : “Wahai Engkau yang lebih dekat kepadaku dibanding mereka!” Dan
aku merasa tenang ssampai mereka selesai mengisi sumur dan pergi. Lalu aku
melihat sebilah kaki tejuntai ke sumur dan berkata, “Tangkap aku dan pegang
erat-erat.” Maka aku memegangnya dan melihat bahwa ia adalah seekor singa; dan
aku mendengar sebuah suara berkata : “Wahai Abu Hamzah, luar biasa! Kami telah
menyelamatkan engkau dari kebinasaan di dalam sumur lewat seekor singa.” Salah
seorang sahabt kami bercerita kepada saya bahwa dia mendengar Abu Walid
menuturkan kisah berikut ini : “Suatu hari sahabat-sahabat kami membawakan susu
dan aku berkata : “Itu akan mencelakakan diriku.” Lalu suatu hari aku berdoa
kepada Tuhan dengan mangatakan : “Wahai Tuhan,ampuni aku, sebab Engkau tahu
bahwa aku tidak pernah menyekutukan Engkau denagn Tuhan- tuhan lain, walaupun
hanya sekejap mata !” Aku mendengar sebuah suara berkata : “Tidak juga pda
malam hari kisah susu itu?” Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Suatu kali pernah
aku berada di padang pasir dan benar-benar kelaparan. Jiwaku menuntutku agar
minta makanan kepada Tuhan; dan aku berkata : “Itu bukan tindakan orang yang
mempercayai Tuhannya.” Lalu jiwaku menuntutku agar aku berdoa kepada Tuhan
meminta kesabaran; dan ketika aku akan melakukan ini, aku mendengar sebuah
suara berkata :
‘Lihat,
akulah malam!’ Dia berseru dengan congkak;
Tapi
tak seorang pun pernah datang
Untuk
mencari pertolongan kami ditolak,
Dan
diusir dalam kehinaan.
Begitu
lirih manusia kuasa itu menangis
Dalam kelemahan yang menyedihkan
Seakan-akan
kami tak pernah terlihat
Olehnya,
ataupun dia terlihat oleh kami.
Bahwa fenomena dari suara gaib itu asli, dipersaksikan
oleh cerita berikut ini : “Ketika mereka ingin membasuh (tubuh) Nabi, mereka
berselisih dengan mengatakan : “Demi Tuhan, kami tidak tahu apakah kai mesti
melepaskan seluruh pakaian Nabi sebagaimana yang kami lakukan dengan
orang-orang mati lainnya di antara kami, atau kemi basuh beliau dengan pakaian
masih menempel.” Ketika mereka sedang berselisih paham itu, Tuhan menidurkan
mereka, hingga dagu setiap yang hadir tersampir di atas dada mereka. Lalu
sebuah suara yang ditujukan kepada mereka dari arah Ka’bah, yang tak seorang
pun tahu suara siapa itu, mengatakan : “Basuhlah Nabi dengan pakaiannya masih
menempel.”
68.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA
DENGAN PEMBERIAN WAWASAN BATIN
Abu’l Abbas ibn al-Muhtadi berkata : “Suatu kali pernah
aku berada di padang pasir, dan akumelihat seorang laki-laki berjalan di
hadapanku dengan kaki telanjang dan kepala tanpa penutup, dan dia tidak membawa
dompet. Aku berkata kepada diriku sendiri : “Bagaimana orang ini berdoa ? Dia
tidak memiliki kesucian, maupun doa.” Orang itu berpaling kepadaku dan berkata
: “Dia tau apa yang ada di dalam hatimu, karena itu takutlah padanya.” Segera
sesudah itu aku pingsan; dan ketika sadar, aku mohon ampun kepada Tuhan akrena
telah salah menganggap orang itu. Dan ketika aku sedang berjalan sepanjag jalan
itu, dia datang lagi di hadapanku; ketika aku melihatnya, aku merasa takut, dan
berhenti berjalan. Tapi dia berpaling kapdaku dan menyitir ayat suci :
“Allahlah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan mengampuni
perbuatan-perbuatan buruk mereka.” Lalu dia menghilang, dan aku tidak pernah
melihatnya lagi.” Abu’l Hasan al-Farisi mengatakan kepada saya bahwa dia
mendengar Abu’l Hasan al-Muzayyin berkata : “Aku pergi sendirian ke apdang
pasir dan memisahkan diri dari orang-orang. Ketika aku ada di Al-Umaq, aku
duduk di pinggir sebuah kolam di sana, dan jiwaku mulai berbicara kepadaku
mengenai cara dia memisashkan diri dari umat manusia, dan berkelana di padang
pasir, dan suatu rasa bangga merasukinya. Kemudian, lihat, Al-Kattani muncul di
hadapanku === “atau mungkin juga orang lain saya masih ragu” == di seberang
kolam; dia memanggilku sambil berkata : “Wahai tukang melamun! Berapa lama
engkau berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang ssia-sia? === Juga
diriwayatkan bahwa suara itu mengatakan : “Wahai tukang melamun! Janganlah
engkau berbicara dengan dirimu sendiri mengenai hal-hal yang sia-sia.” Dzu’l
Nun berkata : “Suatu kali aku melihat
seorang pemuda mengenakan baju rombengan dan jiwaku memberontak terhadapnya,
tapi hatiku berssaksi bahwa dia seorang wali. Maka aku pisahkan hatiku dari
jiwaku, merenung. Pemuda itu melihat apa yang ada dalam benakku, sebab dengan
melihat kepadaku dia berkata : “Waai Dzu’l Nun, jangan melihat kepadaku dengan
maksud untuk mengetahui sifatku. Mutiara itu hanya bsia ditemukan di dalam
kerangnya.” Kemudian dia berpaling pergi seraya menyitir puisi :
“Aku
melihat dunia ditelantarkan dikarenakan kecongkakan,
Kerajaanku
tak seorang pun mengurus;
Aku
seorang pemuda berakal,
Aku
mengenal nilai diriku dan nilai mereka,
Aku
seorang pengausa dan raja.
Biar
saja nasib tersenyum atau meerengut,
Sebab
kebebasan selubungku
Kepuasan
hati adalah pakaianku.”
Wawasan kejiwaan
itu merupakan suatu fenomena asli yang dipersaksikan oleh hadits berikut ini :
“Takutlah pada wawasan orang yang beriman, sebab sesungguhnya dia melihat
dengan cahaya Tuhan.”
69.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA
MELALUI PEMIKIRAN
Abu Bakr ibn Mujahid al-Muqri menuturkan kisah berikut
ini. Abu Amr ibn al-Ala pada suatu hari datang untuk memimpin para jamaah untuk
berdoa. Waktu itu dia bukan seoarng imam, sehingga dia harus didatangkan.
Setelah melangkah, dia berkata kepada orang-orang itu : “Tempatkan diri kalian
masing-masing.” Lalu dia pingsan dn tidak sadar sampai keesokan harinya. Ketika
ditanyakan kepadanya mengenai hal ini dia berkata : “Pada saat aku berkata pada
kalian, “Tempatkan diri kalian msing-masing,” suatu pemikiran dari Tuhan
merasuki hatiku, seolah-olah Tuhan berfirman kepadaku : “Wahai hamba-Ku!
Sudahkah engkau tempatkan dirimu bersamaku kecuali hanya sekejap mata saja, dan
engkau telah berani memerintah orang lain untuk menempatkan diri mereka?”
Al-Junaid berkata : “Suatu kali aku sakit, dan mohon pada Tuhan agar Dia
berkenan menyembuhkanku. Dia bersabda kepadaku di dalam kesadaranku : “Jangan
masuk di antara Aku dan jiwamu.” Salah seorang sahabt kami mendengar Muhammad
ibn Sa’dan menuturkan bahwa dia mendengar salah seorang tokoh besar Sufi
berkata : “Setiap kali aku tidur sebentar, aku mendengar sebuah suara
memanggilku dan berkata : “Apakah engkau tidur dari-Ku? Jika engkau tidur
dari-Ku, sesungguhnya aku akan melecutmu dengan cambuk.”
70.
MENGENAI PERINGATAN TUHAN KEPADA MEREKA LEWAT
PENGLIHATAN DAN MUKJIZAT
Abu Bakr Muhammad ibn Ghalib berkata kepada ssaya bahwa
dia diberi tahu oleh Muhammad ibn Khafif bahwa dia mendengar Abu Bakr Muhammad
ibn Ali al-Kattani berkata : “Aku menemui Nabi seperti yang biasa ku lakukan ==
waktu itu adalah kebiasaannya untuk menemani Nabi pada setiap Senin dan Kamis
malam kalau dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang akan dijawab oleh
Nabi.” == dan aku melihat beliau datang kepadakau bersama empat orang. Lalu
beliau berkata kepadaku : “Wahai Abu Bakr! Kenalkah engkau dengan orang ini?”
Aku menjawab : “Ya. Itu Abu Bakr.” Beliau bertanya : “Kenalkah engkau dengan
orang ini?” Aku menjawab : “Ya, dia Usman,” Beliau berkata : “Kenalkah engkau
dengan orang yang keempat ini?” Di situ aku ragu-ragu dan tidak menjawab. Nabi
mengulang pertanyaan itu dan aku tetap ragu-ragu; beliau bertanya untuk yang
ketiga kalinya dan aku tetap ragu-ragu, sebab aku cemburu kepadanya. Lalu Nabi
mengepalkan tangannya dan menunjuk aku dengan itu; lalu beliau melepaskan
kepalannya dan memukul dadaku sambil berkata : “Wahai Abu Bakr, katakanlah!
Inilah Ali ibn Abi Thalib.” Nabi kemudian mengenalkan diriku kepada Ali yang
memegang tanganku dan mengatakan : “Bangunlah Abu Bakr, dan pergilah ke
Al-Safa.” Dan aku pergi ke Al-Safa bersamanya, sementara aku masih tidur di
kamarku; dan aku terbangun, dan lihat, aku berada di Al-Safa.
Amsnyur ibn Abdillah mengatakan kepada saya bahwa dia
mendengar Abu Abdillah ibn al-Jalla berkata : “Aku memasuki kota Madinah dalam
keadaan merasa lapar. Aku pergi ke kubur (Nabi) dan memberi salam kepada Nabi
dan kedua sahabt beliau, Abu Bakr dan Umar; lalu aku berkata : “Wahai Nabi
Tuhan! Aku sedang merasa lapar dan aku menjadi tamumu malam ini.” Lalu aku
berpaling ke samping dan tidur di antara batu kubur dan mimbar; dan lihat, Nabi
mendatangiku dan memberiku sepotong makanan. Aku memakannya separuh, lalu
terbangun dan menemukan dalam tanganku separuhnya lagi.” Yusuf ibn al-Husain
berkata : “Kami sedang bersama seorang
pemuda yang telah mempelajari hadis sebelum dia selesai mempelajari Al-Qur’an,
seseorang mendatanginya ketika sedang tidur, dan berkata kepadanya :
Jika
engkau tidak sebegitu jahat
Padaku,
lalu mengapa kitabku engkau hinakan?
Pikirkanlah,
jika engkau tidak buta,
Kata-kataku
nan halus yang terkandung di situ.”
Bahwa penglihatan itu merupakan suatu fenomena asli,
dipersaksikan oleh kisah berikut yang diceritakan oleh Al-Hasan al-Basri : “Aku
memasuki Masjid Basrah dan mendapati sejumlah sahabat kami duduk di sana. Aku
duduk bersama mereka dan mendengarkan mereka memperkatakan seseorang, dan
mempermalukan dia. Aku melarang mereka untuk memperkatakan dia dengan
membawakan berbagai hadis yang menuturkan tentang masalah pergunjingan yang
kudengar sebagai berasal dari Nabi dan Isa Putra Maryam. Orang-orang itu
kemudian menahan diri dan mulai membicarakan masalah lain; tapi tak lama
kemudian nama orang itu muncul lagi, dan mereka kembali membicarakannya sedang
aku ada bersama mereka. Lalu mereka pergi ke rumah mereka masing-masing dan aku
kembali ke rumahku sendiri. Ketika aku tidur, seorang laki-laki hitam datang
dalam mimpiku. Ia memegang sebuah mangkuk anyaman yang diatasnya ada sekerat
daging babi. Dia berkata kepadaku : “Makan.” Aku berkata : “Aku tidak mau
makan, ini adalah daging babi.” Dia berkata : “Makan” Aku berkata : “Aku tak
mau makan, itu daging babi yang haram.” Dia berkata : “Engkau harus
memakannya.” Lagi-lagi aku menolaknya. Lalu dia membuka rahangku dan memasukan
daging itu ke mulutku, dan aku mulai mengunyahnya sementara dia terus berdiri
di hadapanku; aku takut membuangnya, tapi aku tidak juga mau menelannya. Dalam
keadaan itu aku bangun; dan sejak saat itu selama tiga puluh hari tiga puluh
malam tak sesuatu pun kuminum atau kumakan mendatangkan kesenangan bagiku,
sebab aku merasakan dalam mulutku rasa daging itu dan membauinya dengan
hidungku.
71.
KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA YANG TIMBUL DARI
RASA CEMBURUNYA
Sejumlah orang datang untuk mengunjungi Rabi’ah ketika
perempuan itu sedang menderita suatu penyakit. Mereka berakta kepadany : “
Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab : “Demi Tuhan, aku tidka tahu sebab
penyakitku, kecuali bahwa surga dipamerkan dihadapanku dan aku merindukan itu
di dalam hatiku; dan aku menganggap bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, dan karena
itu menyalahkan diriku. Hanya Dia yang dapat membahagiaanku.” Al-Junaid berkata
: “Aku datang pada Sirri al-Saqathi dan mendapatkan sepotong mangkuk yang pecah
di dalam kamarnya. Aku berkata kepadanya : “Apakah ini? Dia menyahut : “Kemarin
dulu, putriku yang masih kecil membawakan sepoci air untukku, dan berkata
kepadaku, “Ayah, poci itu tergantung di sini; kalau sudah dingin, minumlah,
sebab malam ini panas sekali.” Ketika aku jatuh tertidur.” Aku elihat seorang
perempuan cantik masuk ke kamarku dan aku berkata, “Siapakah engkau? Dia
menyahut : “Hamba-Nya yang tidak minum air dingin dari pooci. Lalu dia
menyambar poci itu dengan tangannya dan poci itu pun pecahlah; dan inilah poci
yang engkau lihat.” Poci itu tetap tinggal di tempat yang sama, tanpa
dipindah-pindahkan, sampai tertutup debu.”
Al-Mujayyin berkata : “Sekali waktu aku pernah tinggal di
sebuah tempat di padang pasir selama tujuh hari, tanpa ada sesuatu pun yang
masuk ke mulutku. Kemudian seseorang mengundangku ke rumahnya dan menawarkan
kepdaku kurma dan roti; tapi aku tidak dapat makan. Ketika malam hari, aku
merasa ingin makan, maka aku mengambil biji kurma dan kucoba itu untuk membuka
mulutku. Biji itu mematahkan gigiku. Salah seorang di antara gadis-gadis di
rumah itu berseru : “Ayah, berapa banyak tamu kita yang makan malam ini? Aku
menjawab : “Tuhanku, aku kelaparan selama tujuh hari, dan kini Engkau iri hati
kepadaku. Terwujudlah kehendak-Mu, aku tidak akan menikmatinya.”
Ahmad ibn al-Salim berkata : “Sekali waktu aku sedang
berjalan di sepanjang jalan menuju Mekkah, ketika aku mendengar seseorang
berseru, “Wahai manusia Tuhan, milik Tuhan! Aku berkata. “Apakah yang
menyakitkanmu? Dia menyahut : “Ambillah dariku dirham-dirham ini; aku tidak
dapat mengingat Tuhan selama uang itu ada padaku” Maka aku mengambil uang itu
darinya; dan dia berseru; “Tuhan, inilah aku, di sinilah aku!” Waktu itu, uang
itu berjumlah empat belas dirham.” Abu’l Khair al-Aqtha” suatu kali pernah ditanya
apa sebab tangannya terpotong. Dia berkata : “Aku sedang berada di Gunung
Lukkam, atau mungkin di Libanon, bersama seorang temanku. Lalu datanglah
seseorang yang merupakan wakil pemerintah, sedang membagikan dinar. Dia
memberiku satu dinar, dan aku membuka tanganku, dia pun menempatkan dinar itu
di atasnya, lalu aku menjatuhkan dinar itu ke pangkuan temanku dan berdiri.
Satu jam kemudian para opsir pemerintah mencari maling; dan mereka menahanku
dan memotong tanganku.”
Keaslian fenomena dipersaksikan ooleh Hadis Nabi : “
“Tuhan melindungi hamba-hamba-Nya dari dunia ini, Jika
dia mencintai-Nya, bahkan seperti ketika engkau melindungi dirimu yang sakit.”
72.
KARUNIA TUHAN BERUPA KESULIAN-KESULITAN YANG
HARUS MEREKA TANGGUNG
Faris mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Abu’l
Hasan al-Alawi, murid Ibrahim al-Khawwas, berkata : “Aku melihat al-Khawwas
berada dalam suatu masjid di kota Dinawar, duduk di tengah-tengahnya, sementara
salju berjatuhan di badannya. Tergugah rasa kasihanku kepadanya, maka aku berkata
kepadanya : “Bagaimana jika engkau
pindahkan atap itu?” Dia menyahut, “Tidak” Lalu dia menyitir :
Jalan
menuju Mu, jelas dan lebar,
Sebab,
tak seorang pun yang mencari-Mu memerlukan penunjuk
Dalam
dinginnya musim dingin Engkaulah musim semiku,
Dalam
panasnya musimm panas,
Engkaulah
penutup tubuhku.
Lalu dia berkata kepadaku : “Berikan kepadaku tanganmu.
Aku berikan kepadanya tanganku dan dia menempatkannya ke dalam bajunya, dan
lihat, dia berkeringat.” Saya mendengar Abu’l-Hasan al-Farisi berkata : “Aku
sedang berada di suatu padang pasir, ketika aku merasa sangat haus, sehingga
karena lemahnya badanku, aku tidak mampu berjalan. Aku tahu bahwa sebelum
seseorang mati kehausan, matanya berair; oleh karena itu aku duduk, menunggu
mataku berair. Tiba-tia ku dengar sebuah suara. Aku melihat berkeliling, lalu
menampak seekor ular putih, bersinar bagai perak murni,d an bergerak cepat
sekali ke arahku. Aku merasa takut hingga berjingkrak karenanya, yang malah
mendatangkan kekuatan dalam diriku. Setelah lepas dari kelemahan badanku, aku
mulai berjalan, sedang ular itu berdesis di belakangku. Aku terus berjalan,
sampai tiba di tempat air, lalu suara itu hilang. Aku berpaling berkeliling dan
tak dapat melihat ular itu; aku minum air itu, dan aku selamat. Sekarang, kapan
saja aku menderita kesedihan atau penyakit, segera setelah aku melihat ular itu
di dalam mimpiku, aku mengenalinya sebagai suatu tanda bahwa kesedihanku telah
teratasi dan penyakitku hilang.
73.
KARUNIA TUHAN KEPADA MEREKA KETIKA MEREKA
MENINGGAL DN SESUDAHNYA
Abu’l-Hasan, yang disebut sebagai Qazzaz, berkata : “Kami
sedang ada di Fajj, ketika seorang pemuda tampan mendatangi kami dengan
mengenakan pakaian dari kulit kambing yang sudah terlalu usang. Dia menyalami
kami dan berkata : “Adakah tempat yang besih di sini untukku menanti ajal?”
Kami sangat terkejut tapi mengtataakan bahwa temapt itu ada, dan menunjukkan
baginya jalan ke sebuah sumur di dekat situ. Dia pergi dan membersihkan
dirinya, dan berdoa sebentar. Kami menunggu dia selama satu jam, dan ketika dia
tidak balik lagi kami mendatanginya, dan mendapai tdia telah meninggal dunia.
Para sahabat Sahl ibn Abdillah menuturkan bahwa ketika Sahl sedang disucikan di
atas tandu jenazah, dia melihat jari telunjuknya yang di tangan kanan menegang dan
menunjuk-nunjuk. Abu Amr al-Istakhri berkata : “Aku melihat Abu Turab
al-Nakhsyabi di padang pasir, berdiri, mati, tanpa sesuatu pun menopangnya.”
Ibrahim ibn Syaiban berkata : “Seorang murid datang ke rumahku dan sakit di
sana, lalu mati. Setelah dia dimasukan ke kubur, aku ingin membuka pipinya dari
kain yang menyelubunginya dan menempatkannya di atas tanah sebagai suatu tanda
akan kesederhanaan, sehingga mungkin Tuhan akan berbelas kasihan terhadapnya.
Dia tersenyum memandang wajhku dan berkata : “Apakah engkau merendahkan diriku
di hadapan Dia yang menghabiskan waktu berssamaku?” Aku menjawab : “Tidak,
kawanku; apakah memang kehidupan sesudah kematian itu ada? Dia menyahut :
“Tidakkah engkau tahu bahwa karib-karib-Nya tidak mati, melainkan dipindahkan dari
satu tempat ke tampat lain? Ibrahim ibn Syaiban juga berkata : “Aku mengenal
seorang pemuda di kampungku, yang saleh dan tidak pernah meninggalkan masjid,
dan aku senang sekali kepadanya. Suatu hari da jatuh sakit. Pada suatu hari
Jum’at aku pergi ke kota untuk berdoa; dan sudah menjadi kebiasaanku, setiap
kali aku pergi ke kota, melewatkan waktu siang malam bersama saudara-saudaraku.
Setelah tengah hari aku merasa gelisah, maka aku kembali ke kampung ketika
senja menjelang. Aku mencari pemuda itu dan orang-orang berkata, “Kami kira dia
sedang kesakitan. “Aku pergi mendatanginya lalu menyaaminya, dan berjabat
tangan dengannya; dan ketika kami sedang berjabat tangan dia meninggal. Lalu
aku mendahului orang lain untuk menyucikan dirinya, dan tanpa sengaja
menuangkan air ke tangan kirinya, bukannya tangan kanannnya; tangannya
dijauhkan dari diriku dan daun bunga seroja yang ada di atasnya jatuh.
Orang-orang di dekatku pingsan. Dia membuka matanya dan memandang kepadaku, dan
aku sangat terkejut, lalu berdoa untuknya. Lalu aku memasuki kuburan untuk
menutupi tubuhnya; dan ketika aku membuka wajahnya, dia membuka matanya dan
terrsenyum, sampai gigi-gigi geraham dan gigi serinya kelihatan. Maka kami
menutupkan tanah rapat-rapat ddi atasnya dan menaburkan debu di atasnya.”
Bahwa ini merupakan suatu fenomena yang asli,
dipersaksikan oleh kisah berikut ini : “Al-Rabi’ ibn Khirasy telah bersumpah
bahwa dia tidak akan tertawa lagi, sampai dia tahu apakah dia da di surga atau
neraka. Maka begitulah dia menunaikan sumpahnya dan tak seorang pun melihatnya
tertawa, ssampai dia meninggal. Mereka menutupkan matanya dan menutupi
tubuhnya; kemudian mereka memerintahkan gara kubur digali dan kain
pembungkusnya di bawa ke situ. Saudaranya, Rab’i berkata : “Saudara kami selalu
berjaga sepnjang malam, dan berpuasa
sepanjang hari yang panas.” Ketika mereka duduk di sekitarnya, kain itu
dibukakan pada wajhnya, dan dia menyapa mereka dengan sebuah senyumman.
Saudaranya, Ra’i bertanya : “Saudaraku, adakah kehidupan sesudah kematian? Dia
menyahut : “Ya, aku telah bertemu Tuhanku, dan Dia menerima ku dengan tenang
dan ridha, dan Dia bukanlah Tuhan yang pemrah. Dia telah memakaikan bagiku baju
dari sutera dab brokat, dan aku telah menemukan bahwa hal itu lebih mudah
daripada yang kalian sangka, maka janganlah kalian tertipu. Dan sekrang
kawanku, Muhammad, menantiku untuk berdoa bagiku, oleh karena itu bercepatlah,
segerakanlah! Lalu, ketika dia telah selesai berbicara, nafasnya putus,
bagaikan suara batu koral yang dilemparkan ke dalam air. Kisah ini dituturkan
kepada A’isyah, Ummul Mukminin (Ibu orang-orang beriman); dan dia berkata :
“Seorang saudara dari pura-putra suku Aibs, semoga Tuhan berbelas kasih
terhadap jiwanya. Akumendengar Nabi berkata : “Seseorang
di antara umatku akan berbicara setelah dia maninggal, salah seorang dari
pengikutku yang terbaik.”
74.
MENGENAI KARUNIA-KARUNIA LAIN YANG DIBERIKAN
KEPADA MEREKA
Abu Bakr al-Qahtabi berkata : “Aku sedang berada dalam
pertemuan dengan Sumnun, ketika seseorang berdiri dan menanyakan tentang cinta,
dia berkata : “Aku tidak mengenal seorang pun hari ini yang kepadanya aku
merasa bebas berbicara mengenai hal ini, dan yang akan bisa memahaminya.” Pada
saat itu seekor burung hinggap di atas kepalanya dan jatuh di atas lututnya dan
berkata, “Jika ada, inilah dia! Maka dia mulai berbicara, menunjuk kepada
burung itu : “Aku telah mendengar begini dn begitu mengenai keadaan orang-orang
itu, dan mereka mengalami ini dan itu, dan berada dalam keadaan begini dan
begitu.” Begitulah dia terus berbicara dengan burung itu, sampai burung itu
jatuh dari lututnya dan mati.”
Abu Bakr ibn Mujahid menuturkan bahwa Ahmad ibn Sinan
al-Aththar berkata bahwa dia mendengar salah seorang dari kawan-kawannya
berkata : “Suatu hari aku pergi ke Wasith dan melihat seekor burung putih di
tenga perairan, mengatakan : “Tuhan dimuliakan di atas kealpaan manusia.”
Al-Junaid berkata : “Aku bertemu dengan seorang murid yang masih muda duduk di
bawah pohon di apdang pasir, dan aku berkata kepadanya, “Anak muda, mengapa
engkau duduk di sini? Dia menjawab : “Aku mencari sesuatu yang hilang.” Aku
pergi meninggalkannya; dan ketika aku telah agak menjauh darinya. Lagi-lagi aku
melihatnya, sebab ddia telah dipindahkan ke suatu tempat di dekatku. Aku
bertanya kepadanya : “Mengapa engkau duduk di sini sekarang? Dia menjawab :
“Aku telah menemukan sesuatu yang membuatku mencari di tempat ini, dan
karenanya aku terus mengikutinya.” Dan aku tidak tahu yang mana di antara kedua
keadaan orang itu yang lebih mulia, pencariannya akan keadaannya, atau
ketetapannya untuk berada terus di tempat dia mendpatkan keinginannya.”
Abu Abdillah Muhammad ibn Sa’dah menuturkan baha dia
mendengar salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Suatu hari aku duduk di
seberang Ka’bah, ketika aku mendengar suara ribut yang meratap-ratap kelaur
dari banguna itu, mengatakan : “Wahai tembok! Jauhkan dirimu dari para Wali dan
Karibku; sebab barang siapa mengunjungimu, maka sesungguhnya ia mengelilingi
dirimu, tapi barangsiapa mengunjungi Aku, maka sesungguhnya ia berada dalam
kehadiranku.”
75.
MENGENAI AUDISI (SAMA’)
Audisi adalah suatu istilah setelah masa bersusah-payah
(Ruhaniah), dan suatu hiburan bagi mereka yang mengalami keadaan-keadaan ke
(jiwa)an, juga sebagai suatu sarana untuk membangunkan kesadarn orang-orang
yang menyibukkan diri mereka dengan hal-hal lain. Audisi lebih banyak diartikan
demikian dariapda masa istirahat dari hal-hal alamiah, karena jiwa itu tidak
mungking cenderung kepadanya atau beristirahat di situ; Sebab dia datang dan
pergi menurut ketentuan Tuhan. Para Sufi, yang menikmati ilham dan pengalaman
langsung tidak membutuhkan bantuan-bantuan semacam itu, sebab mereka memiliki
sarana yang akan membawa hati mereka berjalan di taman ilham.
Saya mendengar Faris berkata : “Aku sedang bersama Quthah
al-Maushili, yang telah tinggal selama empat puluh tahun di dekat tiang di
masjid Baghdad. Kami berkata kepadanya : “Inilah penyanyi yang baik itu.
Mestikah kami panggil dia untukmu? Dia menyahut : “Masalahku terlalu
menyedihkan sehingga tak seorang pun bisa
membebaskan ku dan tak satu kata pun bisa merasuk ke dalam diriku. Aku terlalu
kebal.”
Kalau Audisi itu menembus telinga, dia menggerakkan
segala sesuatu yang ada dalam hati; dan orang itu akan bingung, karena dia
terlalu lemah untuk menerima rahmat itu, atau keadaan kejiwaannya memberinya
kekuatan untuk mengatasi dirinya sendiri. Abu Muhammad Ruwaim berkata :
“Orang-orang itu mendengar Dzikr pertama mereka ketika Tuhan berfirman,
ditujukan kepada mereka “Tidakkah Aku ini Tuhanmu?”
Dzikr itu mereka sembunyikan di dalam hati, bakan saat fakta (yang dberitakan)
itu tersimpan dalam akal mereka. Maka, ketika mereka mendengar (seorang Sufi) ber-dzikr,
rahasia-rahasia yang ada dalam hati mereka muncul, dan mereka dipaksa, bahkan
saat rahasia-rahasia akal mereka muncul ketika Tuhan memberi tahu mereka
mengenal hal ini, dan mereka percaya.”
Saya mendengar Abu’lQasim al-Baghdadi berkata : “Audisi
ada dua macam. Tingkat yang satu adalah orang yang mendengarkan
pelajaran-pelajaran dan dari situ mengambil suatu nasihat; orang yang semacam
itu hanya mendengarkan yang dibutuhkannya saja dan dengan menyertakan hatinya
di situ. Tingkat yang satunya lagi mendengarkan musik yang merupakan makanan
bagi jiwa; dan ketika jiwa itu mendapatkan makanannya, maka dia pun mecapai keadaannya
yang sepatutnya, dan menyingkir dari perintah jasmani; dan kemudian muncullah
di dalam diri orang yang mendengar itu suatu keributan dan suatu pergerakan.”
Abu Abdillah al-Nibaji berkata : “Audisi menggerakkan
pikiran dan mendatangkan nasihat; yang selebihnya adalah suatu godaan.”
Al-Junaid berkata : “Belas kasih (Tuhan) diturunkan kepada orang melarat
lewat tiga cara : “Ketika dia makan, sebab dia hanya makan kalau sedang lapar;
Ketika dia berbicara, sebab dia hanya berbicara kalau dia merasa terpaksa; dan
pada saat audisi, sebab dia hanya mendengarkan dalam keadaan Eksstase.”
SEPANJANG, Sabtu : 26-10-2013
TERIMAKASIH BANYAK, MOHON IZIN MENGCOPY, SMG JD AMAL SOLEH PANJENENGAN. ALHAMDULILLAH SAYA MENEMUKAN MATERI INI TERKAIT TUGAS KULIAH SAYA. SANGAT BERMANFAAT.AMIN.
BalasHapus