Bahayanya kata-kata SUFI.. jika belum siap jangan coba-coba memasukinya... jika kontra sangat berbahaya Sejarah telah membuktikan banyak Nabi Dan Wali Yang terbunuh, Rasul pun ada juga (Nabi Daud As) Bagi Pemula lebih baik Baca dulu Tafsir Al-Qur'an yang umum, lebih baik lagi tafsir perkata karena, banyak kata Arab yang tidak bisa di tafsirkan. (Maaf.. banyak salah ketik)
SAMBUNGAN JILID 1.
DAFTAR NAMA SUFI DI BUKU INI
15.
Ahmad bin Harb
16.
Hatim al-Ashamm
17.
Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari
18.
Ma’ruf al-Karkhi
19.
Sari as-Saqathi
20.
Ahmad bin Khazruya
21.
Yahya bin Mu’adz
22.
Syah bin Syuja’
23.
Yusuf bin al-Husain
24.
Abu Hafshin al-Haddad
25.
Abul Qasim al-Junaid
26.
“amr bin ‘Utsman
27.
Abu Sa’id al-Kharraz
28.
Abul Husain an-Nuri
29.
Abu ‘Utsman al-Hiri
30.
Ibnu Atha’
31.
Sumnun
32.
At-Tirmidzi
33.
Khair an-Nassaj
34.
Abu Bakar al-Kattani
35.
Ibnu Khafif
36.
Al-Khallaj
37.
Ibrahim al-Khauwah
38.
Asy-Syibli
15. AHMAD
BIN HARB
Ahmad bin Harb an-Nisaburi adalah seorang pertapa yang
terkenal di Nishapur. Ia seorang perawi hadits yang dapat dipercaya, dan pernah
ikut berjuang di dalam berbagai perang suci. Ia datang ke Baghdad pada masa
Ahmad bin Hambal dan memberikan pengajaran di kota tersebut. Ia meninggal pada
tahun 234 H/849M. Dalam usia 85 tahun.
AHMAD BIN HARB
DAN SEORANG PENGANUT AGAMA ZOROASTER
Ahmad bin Harb bertetangga denganseorang penganut agama
Zoroaster, yang bernama Bahram. Suatu hari si tetanggaini menyuruh seorang
rekannya pergi berdagang. Di dalam perjalanan, semua barang-barangnya kemudian
dicuri orang.
Begitu mendengar berita ini, Ahmad berkata kepada
murid-muridnya : “Mari! Suaut musibah telah menimpa tetangga kita. Sebaiknya
kita mengunjunginya dan menghibur hatinya. Walaupun dia penganut agama
Zoroaster, ia adalah tetangga kita.”
Ketika mereka sampai ke rumah Bahram, Bahram sedang
menyalakan api pemujaannya. Bahram segera menyambut mereka dan mencium lengan
bajunya. Bahram menduga bahwa tamu-tamunya tentu lapar walaupun roti yang dimilikinya
pasti tak mencukupi. “Janganlah merepotkan dirimu,” tegur Ahmad bin Harb, “Kami
datang untuk menyatakan bahwa kami turut prihatin. Aku mendengar
barang-barangmu dicuri orang.
“Memang benar,” Jawab Bahram. “Tetapi aku mereka hanya
mengambil separuh dari harta kekayaanku. Yang ketiga : Seandainya pun seluruh
harta kekayaanku hilang, aku masih mempunyai agamu, soal harta gampang dicari.
Ahmad bin Harb senang sekali mendengar kata-kata Bahram
itu.
Ia pun berkata kepada murid-muridnya : “Catatlah kata-kata
ini. Semerbak agama Islam membersit dari
kata-kata Bahram,” Kemudian ia bertanya kepada Bahram : “Tetapi mengapa engkau
memuja api!.?”
Bahram menjawab : “Alasan pertama adalah agar api tidak
akan membakar tubuhku. Yang kedua adalah karena di dunia telah kuberikan minyak
sedemikian banyaknya kepada api sehingga di akhirat nanti ia tidak akan
menghianati diriku, dan akan mengantarkanku kepada Tuhan.”
“Engkau sangat keliru, Api adalah lemah, tidak tahu
apa-apa dan tidak dapat dipercayai. Semua perkiraan yang menjadi landasan
pemikiramu adalah salah. Apabila seorang anak kecil menyiramkan sedikit air
kepada api itu, niscaya ia akan padam.
Sesuatu yang selemah itu, dapatkah mengantarkan engkau kepada Yang Maha Kuat?
Sesuatu yang tidak berdaya menghindarkan lontaran segumpal tanah, dapatkah
mengantarkan engkau kepada Tuhan? Lagi pula sebagai bukti betapa kebodohan api
itu, jika engkau menaburkan cendana dan minyak ke dalam api, niscaya
kedua-duanya akan dibakarnya, sedang ia tidak tahu yang manakah yang lebih baik
di antara keduanya. Sampai saat ini telah tujuh puluh tahun lamanya engkau
menyembah api, sedang aku tidak pernah. Tapi jika kita berdua sama-sama
memasukan tangan kita ke dalam api, niscaya ia akan membakar tanganku dan
tanganmu. Suatu bukti bahwa api tidak setia kepadamu.”
Katakata Ahmad bin Harb ini menggoncangkan hati si
penganut agama Zoroaste ini. Maka berkatalah ia kepada Ahmad bin Harb : “Akan
ku ajukan empat buah pertanyaan kepadamu. Jika engkau dapat menjawab semuanya,
akan kuterima agamamu itu> Mengapakah Allah menciptakan ummat manusia?
Setelah menciptakan ummat manusia, mengapakah Dia memberikan makanan kepada
mereka? Mengapakah Dia mematikan manusia? Dan setelah mematikan mereka ,
mengapakah Dia membangkitkan mereka kembali?.”
“Allah menciptakan ummat manusia agar mereka menjadi
hamba-hambaNya,” jawab Ahmad bin Harb. “Dia memberikan makanan kepada ummat
manusia agar mereka mengenal-Nya sebagai Yang Maha Memelihara. Dia mematikan
ummat manusia agar mereka tahu akan Kemahakuasaan-Nya. Kemudian Dia
menghidupkan ummat manusia kebali agar mereka mengenal-Nya sebagai Yang Maha
Kuasa dan Maha Tahu.”
Egitu Ahmad selesia dengan jawabannya, Bahram mengucapkan
syahada :
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”
Seketika itu juga Ahmad bin Harb berseru nyaring dan
jatuh pingsan. Tidak berapa lama kemudian ia ssadar kembali dan murid-muridnya
bertanya : “Mengapakah engkau sampai jatuh pingsan seperti itu?.”
“Ketika Bahram mengangkat tangannya dalam berssaksi itu,”
jawab Ahmad bin Harb, “sebuah seruan dari dalam lubuk hatiku yang terdalam
berkata : “Ahmad bin Harb, Bahram adalah penganut agama Zoroaster selama tujuh
puluh tahun tetapi akhirnya ia memberikan kesaksiannya. Engkau telah beriman
selama tujuh puluh tahun, tetapi akhirnya apakah yang hendak kau berikan?.”
AHMAD BIN HARB DAN AHMAD SAUDAGAR
Di Nishapur tinggalah dua orang lelaki, yang seorang
adalah Ahmad bin Harb dan yang lainnya adalah Ahmad Saudagar.
Ahmad bin Harb adalah seorang yang sedemikian khusyuknya
di alam mengingat Allah, sehingga ketika tukan cukur hendak menggunting
kumisnya ia masih saja menggerak-gerakan bibirnya. “Janganlah bergerak-gerak
sementara aku menggunting kumismu,” si tukang cukur memperingatkan.
“Jangan hiraukan diriku, lakukanlah urusanmu sendiri,”
jawab Ahmad bin Harb.
Dan setiap kali di cukur, sebanyak itu pula bibirnya
terluka.
Suatu ketika Ahmad bin Harb menerima sepucuk surat, telah
lama ia hendak membalasnya tetapi tidak ada waktunya yang senggang. Pada suatu
hari seorang muazzin sedan azan. Ketika si muazzin sampai kepda seruan :
“Marilah .....” Ahmad bin Harb berkata kepada salah seorang sahabtnya :
“Jawablah surat ssahabtku ini. Katakan kepadanya, jangan
mengirimiku surat lagi karena aku tidak mempunyai waktu untuk membalsanya,
Katakan kepadanya : “Sibukkanlah dirimu dengan Allah,” Cukup sekian!.”
Lain halnya dengan Ahmad Saudagar yang sedemikian
khusyuknya dalam kecintaannya kepada kekayaan dunia, sehingga ketika pada suatu
hari setelah menyuruh hamba perempuannya mempersiapkan makanan, dan setelah si
hamba melaksanakan perintahnya itu, ia masih terus juga menghitung-hitung
hingga malam tiba dan tertidur.
Ketika keesokan paginya ia terbangun, ia memanggil hamba
perempuannya itu dan menegur : “Kemarin engkau tidak mempersiapkan makanan
untukku.”
“Telah ku persiapkan, tetpi tuan sedemikian asyik dengan
perhitungan-perhitungan.”
Untuk ke dua kalinya si hamba memasak makanan dan
menyajikan makanan itu di depan tuannya, tetapi sekali lagi tuannya tidak
sempat mencicipi santapan itu. Untuk ketiga kalinya si hamba mempersiapkan
makanan tetapi tuannya masih tidak mempunyai
kesempatan untuk menikmatinya. Si hamba masuk dan menemukan tuannya
sedang tertidur nyenyak, maka makana itu diusapkannya ke bibir tuannya. Ketika
terbangun dari tidurnya Saudagar Ahmad berseru kepada pelayannya itu : “Bawalah
air pembasuh tangan.” Ia mengira bahwa makanan itu telah dimakannya.
AHMAD BIN HARB DAN
PUTERANYA
Ahmad bin Harb mempunyai seorrang putera yang masih
kecil. Putera ini diajarnya untuk percaya kepada Allah.
“Setiap kai engkau
menginginkan makanan atau apa saja,” Ahmad bin Harb berkata kepada puteranya
itu, “Pergilah ke jendela itu dan katakanlah : Ya Allah, aku minta ......’”.
Setiap kali puteranya pergi ke jendela itu, kedua orang
tuanya segera mempersiapkan segala sesuatu yang diinginkannya.
Pada suatu ketika kedua orang tuanya tidak ada di rumah,
si anak merasa lapar. Seperti yang biasa dilakukannya, ia pun pergi ke jendela
itu dan berkata :
“Ya Allah, aku minta roti.”
Seketika itu juga diterimanyalah roti itu. Ketika kedua
orang tuanya pulang, mereka menemukan si anak sedang duduk memakan roti.
“Dari manakah engkau memperoleh roti ini,” mereka
bertanya.
“Dari Dia yang telah memberikan roti kepadaku setiap
hari.” Jawabnya.
Kedua orang tua itu pun sadar bahwa putera mereka telah
mantap di atas jalan kesaslehan.
16. HATIM
AL-ASHAMM
Abu Abdur Rahman Hatim bin Unwan al-Ashamm (“Si Tuli)
seorang pribumi Balkh, adalah murid dari Syaqiq al-Balkhi. Hatim mengunjungi
Baghdad dan meninggal dunia di Wasyjard di dekat Tirmiz apa tahun 237 H/852 M.
ANEKDOT ANEKDOT
MENGENAI DIRI HATIM TULI
Kelapangan hati Hatim Tuli sangat besasr, sehingga pada
suatu hari didatangi seorang wanita tua mengajukan subah pertanyaan, pada saat
itu pula secara tidak sengaja ia buang angin. Hatim berkata kepadanya.
“Berbicaralah dengan lebih keras. Pendengaranku kurang
tajam.” Kata-kata ini diucapkannya agar si wanita tidak merasa malu. Si wanita
kemudain melantangkan suara dan Hatim memberikan jawaban terhasap masalahnya.
Selama wanita tua itu masih hidup, yaitu hampir lima belas tahun lamanya, Hatim
tetap berpura-pura tuli. Hal iini dilakukan agar tidak ada seorang pun yang
menyampaikan kepada si wanita mengenai keadannya yang sebenarnya. Stelah wanita
tua tu meninggal dunia barulah Hatimm menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepadanya secara spontan, sedang sebelumnya ia selalu menyela dengan
kata-kata : “Berbicaralah dengan lebih keras!.” Itulah sebabnya mengapa ia
dijuluki Hatim Tuli.
oooOOOooo
Pada suatu hari dalam khotbahnya di kota Balkh, Hatim
Tuli memanjatkan doa : “Ya Allah, siapa pun juga di antara jama’ah ini yang
telah melakukan dosa-dosa yang paling
besar dan aniaya, dan telah melakukan perbuatan-perbuatan yang paling tercela,
ampunkanlah dia.”
Di antara jama’ah itu ada seorang yang kerjanya mencari
mayat. Telah banyak kuburan yang dibongkarnya dan kain kafan yang dilucutinya.
Malam harinya seperti biasanya ia pu membongkar kuburan. Ketika sedang menggali kubur itu tiba-tiba suara dari dalam kuburan itu
berseru kepadanya :
“Tidakkah engkau mempunyai malu? Pagi tadi ketika
mendengarkan khotbah Hatim, engkau telah beroleh ampunan, tetapi malam ini
engkau kembali mengulangi perbuatanmu seperti yang sudah-sudah?
Ia segera melompat keluar, berlari mendapatkan Hatim.
Kepada Hatim dikisahkannya pengalamannya itu dan setelah itu ia pun bertaubat.
oooOOOooo
Sa’ad bin Muhammad ar-Razi mengisahkan, telah
bertahun-tahunaku menjadi murid Hatim dan selama itu beru sekali aku melihatnya
dalam keadaan marah. Hatim pergi ke pasar dan disana dilihatnya seorang
pedagang sedang meringkus salah seorang langganannya sambil berteriak-teriak.
“Barangkali ia mengambil dagangan ku, Kemudian memakannya
dan tidak mau membayar.”.
Hatim segera menengahi : Tuan, bermurah hatilah!.”
“Aku tak sudi bermurah hati. Yang kuinginkan adalah
uangku sendiri,” jawab si pedagang.
Segala bujukan Hatim tidak ada gunanya. Hatim menjadi
marah dilepaskannya jubahnya dan dengan disaksikan orang banyak dihamparkannya
jubah itu ke atas tanah. Jubah itu penuh dengan uang emas, semuanya asli tidak
ada yang palsu.
“Ayo, ambillah uang ini sejumlah yang menjadi hak mu,”
kata Hatim. Awas, jangan ambil lebih daripada itu. Jika tidak ingintanganmu
akan terkena sampar.”
Si pedagang mengambil uang sejumlah yang menjadi haknya.
Tetapi ia tidak dapat menahan diri, sekali lagi diulurkannya tangannya hendak
mengambil lebih banyak, tetapi seketika itu juga tangannya terkena sampar.
oooOOOooo
Seorang lelaki mendatangi Hatim dan berkata : “Aku adalah
seorang kaya. Aku ingin memberikan sebagian dari kekayaanku untukmu dan
sahabt-sahabatmu. Maukah engkau engkau menerimanya.?”
“Aku takut apabila nanti engkau mati aku terpaksa berseru
kepada Allah : “Ya Tuhan Yang Maha Memberi Nafkah, yang memberi nafkah kepadaku
di atas dunia ini telah mati,” jawab Hatim.
oooOOOooo
Hatim mengisahkan : Ketika aku ikut berperang seorang
tentara Turki meringkusku. Tubuhku dibantingnya dan aku hendak dibunuhnya.
Tetapi aku tidak peduli dan tidak gentar. Aku hanya dapat menantikan dan menyaksikan
apa yang hendak dilakukannya terhadap diriku. Ia sedang meraih pedangnya ketika
sebuah anak panah menancap di tubuhnya dan ia pun jatuh tersungkur. Aku lalu
bertanya :
“Engkaukah yang membunuhku, atau akulah yang membunuhmu?,”
oooOOOooo
Ketika Hatim tiba di kota Baghdad, kahlifah lalu diberi
tahu orang : “Pertapa dari Khurasan telah tibaQ.” Kata mereka.
Khalifah segera memerintahkan agar hatim dibawa ke
hadapannya. Ketika memasuki istana, hatim berseru kepada Khalifah :
“Wahai khalifah pertapa!.”
Khalifah menyahut :
“Aku bukan seorang pertapa. Seluruh dunia berada di bawah
perintahku. Engkau inilah seorang pertapa.”
Hatim membalas :
“Tidak, engkaulah seorang pertapa. Allah telah berkata :
“Katakanlah! Sesungguhnya kenikmatan di atas dunia ini adalah sedikit. Dan
engkau cukup puas dengan yang sedikit itu. Jadi, engkaulah seorang pertapa,
bukan aku. Aku tidak akan puas baik dengan dunia ini maupun dengan akhirat.
Bagaimanakah aku dapat diaktakan sebagai seorang pertapa.?”
17. SAHL
BIN ‘ABDULLAH AT-TUSTARI
Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari, lahir di
Tustar (Ahwaz) di sekitar tahun 200H/815 M. Ia belajar dari Sofyan ats.Tsauri
dan pernah bertemu dengan Dzun Nun al-Mishri. Kehidupannya yang tenang
terganggu pada tahun 261 H/874M. Ketika terpaksa mengungsi ke Bashrah, dan
meninggal dunia di sana pda tahun 282 H/896 M. Sebuah komentar singkat mengenai
Al-Qur’an diduga sebagai karyanya dan ia telah memberikan sumbangan-sumbangan
yang penting bagi perkembangan teori
sufisme. Ia menjadi tokoh yang berpengaruh besar berkat jasa muridnya Ibnu
Salim yang mendirikan mazhab Salimiyah.
MASA REMAJA SAHL
BIN ‘ABDULLAH AT-TUSTARI
Mengenai dirinya sendiri, Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari
berkisah sebagai berikut :
Aku masih ingat ketika Allah bertanya, “Bukankah Aku
Tuhanmu.” Dan aku menjawab, “Ya,
sesungguhnya Engkau-lah Tuhanku.” Akupun masih ingat ketika berada di dalam
rahim ibuku.
Umurku baru tiga tahun ketika aku mulai beribadah
sepanjang malam. Pamanku yang bernama Muhammad bin Shawwar pernah menangis karena
terharu menyaksikan perbuatanku itu dan berkata kepdaku : Tidurlah Shahl!
Engkau membuatku cemaas.
Secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan aku
senantisasa mematuhi anjuran-anjuran paman. Pada suatu hari aku berkata
kepadanya. “Paman, aku mendapatkan sebuah pengalaman yang sangat aneh. Aku
seolah-olah melihat kepalaku bersujud di depan tahta.”
“Rahasiakanlah pengalaman ini dan jangan katakan kepada
siapa pun juga,” paman menasehatiku. Kemudian ia menambahkan, “Apabila di dlam tidur tubuhmu gelisah, ingatlah dirimu.
Dan apabila lidahmu bergerak ucapkanlah : “Allah besertaku, Allah memelihara
diriku, Allah menyaksikan diriku.
Saran ini kulaksanakan dan hal ini kusampaikan kepadanya.
“Ucapkanlah kata-kata itu tujuh kali setiap malam,” paman
menyarankan.
Kemudian ku sampaikan kepadanya bahwa saran itu telah
kulaksanakan.
“Ucapkanlah kata-kata itu lima belas kali setiap malam,”
Saran paman kulaksanakan dan kesyahduan memenuhi kalbuku.
Setahun telah berlalu. Kemudian paman berkata kepadaku :
“Laksanakanlah saran-saranku itu terus menerus hingga ke
liang kuburmu. Hasilnya adalah milikmu sendiri baik di dunia ini maupun di
akhirat nanti.”
Beberapa tahun berlalu. Aku senantiasa melakukan hal yang
serupa sehingga kesyahduan itu menembus ke dalam lubuk hatiku yang terdalam.
Paman berkata kepadaku :
“Sahl, Jika Allah menyertai seseorang manusia dan
menyaksikan dirinya, bagaimanakah ia dapat mengingkari-Nya? Allah menjaga
dirimu sehingga engkau tidak dapat mengingkari-Nya.”
Setelah itu aku pergi mengasingkan diri. Kemudian tiba
waktunya aku hendak disekolahkan. Aku berkata, “Aku kuatir kalau konsentrasiku
akan buyar. Buatlah sebuah persyaratan dengan guru, bahwa aku akan hadir selama
satu jam dan belajar dengan sedapat-dapatnya, tetapi setelah itu aku boleh pergi
untuk melakukan urusanku yang sesungguhnya.”
Dengan syarat itu barulah aku mau disekolahkan dan
memperlajari al-Qur’an. Pada waktu itu usia ku baru tujuh tahun. Sejak itu aku
terus menerus berpuasa, sedang makananku satu-satunya adalah roti. Ketika
berusia duabelas tahun aku dihadapkan kepada sebuah masalah yang belum
terpecahkan oleh siapapun juga. Maka aku bermohon agar aku dikirimkan ke
Bashrah untuk mencari jawaban masalah ini. Aku tiba di Bashrah, bertanya-tanya
kepada para cendekia di kota itu, tetapi tak seorangpun di antara mereka dapat menjawab pertanyaanku.
Dari Bashrah aku melanjutkan perjalanan ke Abdan untuk menemui seorang yang
bernama Habib bin Hamzah. Dia lah yang dpat menjawab pertanyaanku itu. Untuk
beberapa lamanya aku tinggal bersama Habib bin Hamzah dan banyak faedah yang ku
petik dari pelajaran-pelajarannya.
Kemudian aku pergi ke Tustar. Pada waktu itu makananku
sehari-hari sudah sedemikian sederhana : Dengan uang satu dirham untuk membeli
tepung yang kemudian digiling dan dibakar menjadi roti. Setiap malam menjelang
fajar tiba aku berbuka puasa dengan sedikit roti tawar. Dengan cara yang
seperti ini uang satu dirham itu dapat kumanfaatkan untuk setahun.
Setelah itu aku bertekad hendak berbuka puasa sekali
dalam tiga hari. Kemudian sekali dalam lima hari. Kemudian sekali dalam tujuh
hari, dan demikianlah seterusnya sehingga sekali dalam dua puluh hari. (menurut
salah satu riwayat, Sahl menyatakan bahwa ia pernah berbuka puasa sekali dalam
tujuh puluh hari.) Kadang-kadang aku hanya memakan satu buah badan untuk setiap
empat puluh hari.
Untuk beberpa tahun aku melakukan percobaan-percobaan
dengan rasa kenyang dan lapar. Pada awal mulanya aku medapatkan bahwa aku
merasa lemah karena lapar dan merasa kuat karena kenyang. Tetapi di kemudian hari
aku mendapatkan bahwa aku merasa kuat karena lapar dan merasa lemah karena
kenyang. Maka bermohonlah aku kepada Allah, “Ya
Allah, tutuplah kedua mata Sahl, sehingga ia melihat kenyang di dalam lapar dan
melihat lapar di dalam kenyang, karena keduanya berasal dari Engkau juga.”
oooOOOooo
Pada suatu hari Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari berkata, “Taubat adalah kewajiban setiap manusia di setiap saat,
tanpa perduli apakah ia manusia yang telah dimuliakan Allah ataupun manusia
kebanyakan, dan tanpa perduli apakah ia patuh atau ingkar kepada Allah.”
Pada masa itu di Tustar ada seorang yang mengaku sebagai
seorang terpelajar dan pertapa. Orang ini menyangkal pernyataan Sahl bin
‘Abdullah at.Tustari di atas, “Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustari menyatakan bahwa seorang yang ingkar harus bertaubat karena
keingkarannya dan seorang yang patuh harus bertobat karena kepatuhannya.
Akirnya berhasilan orang itu membuat orang banyak
menentang Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari. Kemuidan ia menudh Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustari sebagai seorang bid’ah dan kafir. Maka semua pihak, dari rakyat
biasa sampai kaum bangsawan, menyerang Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari. Sahl bin
‘Abdullah at.Tustari menahan dirinya, Ia tidak mau berbantahan dengan mereka
untuk membenarkan kesalahpahaman mereka itu. Denga kobaran api suci agama,
dituliskannya semua harta benda yang dimilikinya yaitu : kebun-kebun,
rumah-rumah, perabot-perabot, permadani-pemadani, jembangan-jembangan, emas dan
perak, masing-masing di atas secarik kertas. Kemudian ia memanggil orang-orang
berkumpul dan setelah berkumpul kertas-kertas tadi dilemparkannya akepada
mereka untk menajdi rebutan. Kepada setiap orang yang berhasil mendapatkan
sehelai di antara kertas-kertas itu, Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari memberikan
harta benda miliknya yang tertulis di situ. Hal ini dilakukannya sebagai tanda
terima kasihnya kepada mereka karena membebaskan dirinya dari harta benda dunia
ini. Setelah menyerahkan segala harta kekayaannya itu berangkatlah Sahl bin
‘Abdullah at.Tustari menuju Hijaz. Ia berkata kepada dirinya sendiri :
“Wahai diriku, kini tiada sesuatu pun yang masih ku
miliki. Janganlah menerrima apa-apa lagi dari diriku karena akan sia-sia
belaka.”
Hatinya setuju untuk tidak meminta apapu juga. Tetapi
ketika sampai di kota Kufah, hatinya berkata : “Hingga sejauh ini aku tidak
pernah meminta sesuatu pun jua darimu. Tetapi pada saat ini aku ignin sekerat
roti dan sepotong ikan. Berikanlah roti dan ikan kepadaku, dan engkau tidak
akan ku usik lagi di sepanjang perjalanan menuju Mekkah.”
Ketika memasuki kota Kufah, Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari
melihat sebuah penggilingan yang sedang digerakkan oleh seekor unta. Sahl bin
‘Abdullah at.Tustari bertanya : “Berapakah yang kalian bayar untuk
memperkerjakan unta ini?.”
“Dua dirham.”
“Lepaskanlah unta ini dan ikatlah aku sebagai
penggantinya. Berikanlah aku satu dirham untuk kerjaku hingga waktu isa nanti.”
Unta itu pun dilepasan dan tubuh Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustetelah malam tiba ia pun memperoleh upahnya sebesar satu dirham. Dengan
uang itu dibelinya sekerat roti dan sepotong ikan yang kemudian ditaruhnya di
depan dirinya. Maka berkatalah Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari kepda dirinya
sendiri : “Wahai hatiku, setiap kali engkau menghendaki makanan ini, cmkanlah
olehmu bahwa engkau harus melakukan pekerjaan seekor keledai dari pagi hingga
matahari terbenam untuk mendapatkannya.”
Kemudian Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari meneruskan
perjalannya ke Ka’bah, dimana ia bertemu dengan banyak tokoh-tokoh sufi. Dan
dari Ka’bah ia kembali ke Tustar, dimana Dzun Nun sudah menantikan
kedatangannya.
ANKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SAHL.
Amr bin Laits jatuh
sakit dan semua tabib tidak berdaya untuk menyembuhkannya. Maka dikeluarkannya
sebuah pengumuman yang berbunyi : “Adakah seseorang yang dapat menyembuhkan
penyakit melalui doa?.”
Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari adalah seorang manusia yang
makbul doanya,” orang-orang berkata.
Maka dimintalah pertolongan Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustari. Karena ingat perintah Allah yang berbunyi : “Turutilah perintah
orang-orang yang memegang pemerintahan,” Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari memenuhi
permintaan itu. Setelah duduk di depan Amr, berkatalah Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustari kepadanya :
“Sebuah doa hanya makbul bagi seorang yang menyesal. Di
dalam penjaramu aa orang-orang yang dihukum karena tuduhan-tudhuhan palsu.”
Amr segera membebaskan sorang-orang yang dimaksudkan Sahl
bin ‘Abdullah at.Tustari itu dan kemudian ia bertaubat. Setelah itu barulah
Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari berdoa :
“Ya Allah, seperti kehinaan yang telah Engkau tunjukan
kepadanya karena keingkarannya, maka tunjukan pulalah kepadanya Kemuliaan
karena kepatuhanku. Ya Allah, seperti batinnya yang telah Engkau beri selimut
taubat, maka berikan pulalah kepada raganya selimut kesehatan.”
Begitu Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari seledai mengucapkan doa itu Amr bin Laits
segar bugar kembali. Banyak uang yang hendak diberikannya kepada Sahl bin
‘Abdullah at.Tustari , tepai Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari menolak dan meninggalkan tempat itu.
Sehubungan dengan sikapnya ini salah seorang muridnya tiak setuju dan berkata
kepada Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari :
“Bukankah lebih baik apabila uang itu engkau terima
sehingga bisa dapat menggunakannya untuk melunasi hutang-hutang kita?.”
“Apakah engkau menginginkan emas?” jaab Sahl bin
‘Abdullah at.Tustari , nah saksikannlah olehmu!.”
Maka terlihatlah oleh si murid betapa seluruh padang
pasir dipenuhi oleh emas dan permata merah delima. Kemudian Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustari berkata :
“Mengapakah seseorang yang telah memperoleh karunia Allah
yang seperti ini harus menerima pemberian hamba-hamba-Nya?”
Setiap kali melakukan
latihan mistik. Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari akan mengalami ekstase selama lima hari terus
menerus dan selama itu pula ia tidak makan. Jika latihan itu dilakukannya di
musim dingin, keringatnya mengucur dan membasahi pakainnya. Jika di dalam
keadaan ekstase ini para ulama bertanya kepadanya, maka Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustari akan menjawab : “Janganlah
kalian bertanya kepdaku karena di dalam saat-saat mistis seperti ini kalian
tidak akan dapat memetik manfaat dari diriku dan dari kata-kataku.”
oooOOOooo
Sahl bin ‘Abdullah
at.Tustari sering berjalan di atas air tanpa sedikitpun kakinya menjadi basah.
Seseorang berkata kepada Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari :
“Orang-orang berkata bahwa engkau dapat berjalan di atas
air.”
“Tanyakanlah kepada Muazzin di masjid ini,” jawab Sahl
bin ‘Abdullah at.Tustari. “Ia adalah orang yang dapat diperaya.”
Kemudian orang itu mengisahkan :
“Telah kutanyakan
si Muazzin dan ia menjawab : “Aku tak pernah menyaksikan hal itu. Tetapi
beberapa hari yang lalu, katika hendak bersuci, Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari
tergelincir ke dalam kulah, dan seandainya aku tidak ada di tempat itu niscaya
ia telah binasa.”
Ketima Abu Ali bin Daqqaq mendengar kisah ini, ia pun
berkata :
“Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari mempunyai berbagai
kesaktian, tetapi ia ingin menyembunyikan hal itu.”
oooOOOooo
Pada suatu ketika Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari duduk di
dalam masjid. Seekor burung dara jatuh dari udara karena udara yang terlampau
panas. Menyaksikan hal ini Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari berseru :
“Syah al-Kiramni telah meninggal dunia!.”
Ketika diselediki ternyata benarlah kata-katanya itu.
oooOOOooo
Singa-singa dan banyak binatang buas lain sering
mengunjungi tampat kediaman Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari. Dan Sahl bin
‘Abdullah at.Tustari akan memberi makan dan merawat mereka. Sampai hari ini pun
rumah Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari di Tutsar itu disebut orang sebagai “rumah
binatang-binatang buas”.
oooOOOooo
Setelah lama bertirakat malam dan melakukan disiplin diri
yang keras, kesehatan Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari terganggu, ia menderita
penyakit blennorrhoea yang parah, sehingga setiap sebentar ia harus ke kamar
kecil. Karena itu ia selalu menyeddiakan sebuah guci di dekatnya. Tetapi
menjelang waktu-waktu shalat penyakit itu reda dan ia dapat bersuci dan
melakukan ibadah. Apabila ia naik ke ata mimbar, ia sama sekali menjadi segar
bugar tanpa keluhan sedikit pun juga. Tetapi begitu ia turun dari mimbar,
penyakit itu datang kembali. Walau dalam keadaan seperti ini tapi ia tak pernah
melalaikan perintah Allah.
Menjelang ajalnya ia ditemani oleh keempat ratus orang
muridnya. Mereka bertanya kepada Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari :
“Siapakah yang akan duduk ditempatmu dan siapakah yang
akan berkhotbah di atas mimbar sebagai penggantimu?.”
Pada waktu itu ada seorang penganut agama Zoroaster yang
berenama Suadh-Dil.
“Yang akan menggantikanku adalah Syadh-Dil,” jawab Sahl bin
‘Abdullah at-Tustari, sambil membuka matanya.
“Syeikh sudah tidak dapat berpikir waras lagi,”
murid-muridnya saling berbisik.
“Ia mempunyai empat ratus orang murid, semuanya
orang-orang terpelajar dan taat beragama, tetapi yang diangkatnya sebagai
penggantinya adalah seorang penganut agama Zoroaster.”
“Hendikan omelan-omelan kalian. Bawalah Syadh-Dil
kepadaku,” teriak Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari.
Murid-murid Sahl bin
‘Abdullah at-Tustari segera menjemput si penganut agama Zoroaster itu. Ketika
melihat Syadh-Dil berkatalah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari kepadanya :
“Tiga hari setelah kematianku, setelah shalat ‘Ashar,
naiklah ke atas mimbar dan berkhotbahlah sebagai pengantiku.”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari menghembuskan nafanya
yang terakhir. Tiga hari kemudian setelah Shalat “Ashar, masjid semakin penuh
sesak. Syadh-Dil masuk dan naik ke atas mimbar, semua orang melongo
menyaksikannya.
“Apakah arti semua ini? Seorang penganut agama Zoroaster
yang mengenakan topi Majusi dan sabuk pinggang Majusi!.”
Syadh-Dil mulai berkhotbah.
“Pemimpin kalian telah mengangkat diriku sebagai
wakilnya. Dia bertanya kepadaku : Syadh-Dil, belum tibalah saatnya engkau
memutus sabuk Majusi dari pinggangmu?” Kini saksikanlah oleh kalian semua, akan
ku putuskan sabukku ini.”
Dikeluarkannya sebuah pisau dan diputuskannya sabuk
pinggang yang dikenakannya itu. Kemudian Syadh-Dil meneruskan :
“Pemimpin kalian kemudian bertanya pula : “Belum tibalah
saatnya engkau melepaskan topi Majusi dari kepalamu?. Kini saksikanlah oleh
kalian semua, kulepaskan topi ini dari kepalaku.”
Kemudian Syadh-Dil berseru :
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Syeikh juga menyuruhku untuk
mengatakan kepda kalian : “Dia yang menjadi Syeikh dan guru kalian telah
memberikan nasehat yang baik kepada kalian, dan kewajiban seorang murid adalah
menerima nasehat gurunya. Saksikanlah oleh kalian betapa Syadh-Dil telah
memutuskan sabuknya yang terlihat. Jika kalian ingin bersua dengan aku di hari
Hari Berbangkit nanti, kepada setiap orang di antara kalian aku serukan,
putuskanlah sabuk di dalam hatimu,”
Semua jama’ah menjadi gempar ketika Syadh-Dil selesai
berkhotbah dan manifestasi-manifestasi spiritual yang mengherankan tejadilah.
oooOOOooo
Ketika jenazah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari diusung ke
pemakaman, jalan-jalan penuh sesak denan manusia. Pada waktu itu di Tustar ada
seorang Yahudi yang berusia tujuh puluh tahun> Ketika mendengar suara orang
ramai itu ia pun berlari keluar rumahnya untuk menyaksikan apa yang sedang
terjadi. Ketika rombongan itu lewa di depannya, si Yahudi tua berseru :
“Kalian lihatlah apa yang aku lihat? Malaikat-malaikat
turun dari langit dan mengelus-ngeluskan sayap mereka ke peti matinya.”
Seketika itu juga ia mengucapkan syahadah dan menjadi
seorang Muslim.
oooOOOooo
Pada suatu hari ketika Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari
sedang duduk beserta sahabat-sahabatnya, lewatlah seorang lelaki. Sahl bin
‘Abdullah at-Tustari berkata kepada sahabat-sahabatnya : “Orang itu mempunyai
sebuah rahasia.”
Ketika mereka menoleh, orang itu telah berlalu.
Setelah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari mati, ketika salah
seorang muridnya duduk di makam Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, lelaki tadi
lewat pula di situ. Murid Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari menegurnya :
“Syeikh yang terbaring di dalam makam ini pernah
mengatakan bahwa engkau mempunyai sebuah rahasia. Demi Allah yang telah
memberikan rahasia itu kepadamu, pertunjukkanlah kepadaku.”
Lelaki itu menunjuk ke makam Sahl bin ‘Abdullah
at-Tustari da berseru :
“Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, berbicaralah!.”
Dari dalam kuburan terdengarlah suara yang lantang :
“Tiada Tuhan Kecuali Allah Yang Esa dan Tiada Bersekutu.”
Lelaki itu kemudian bertanya :
“Telah dikatakan : Barangsiapa yakin bahwa Tiada Tuhan
Selain Allah, maka tiadalah gelap baginya di dalam alam kubur. Benarkah
demikian Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari?.”
Dari dalam kuburan itu terdengar jawaban Sahl bin
‘Abdullah at-Tustari :
“Benar!.”
18.
MA’RUF AL-KARKHI
Diriwayatkan kedua orang tua Abu Mahfuzh Ma’ruf bin Firuz
al-Karkhi, adalah penganut agama Kristen. Pengisahan seorang imam Syiah yang
bernama ‘Ali bin Musa ar –Razi mengenai bagaimana Ma’ruf sampai memeluk agama
Islam umumnya kurang dipercayai. Ma’ruf adalah seorang tokoh mistik yang
terkemuka di Baghdad. Ia meninggal dunia pada tahun 200H/815 M.
MENGAPA MA’RUF AL
KARKHI MENGANUT AGAMA ISLAM
Kedua orang tua Ma’ruf al-Karkhi beragama Kristen. Di
sekolah, gurunya pernah berkata : “Tuhan adalah yang ketiga dari yang ketiga.”
Ma’ruf al-Karkhi membantah : “Tidak, Tuhan itu adalah
Allah Yang Esa.”
Si Guru memukul Ma’ruf al-Karkhi, tetapi ia tetap dengan
bantahannya. Pada suatu hari kepala sekolah memukul Ma’ruf al-Karkhi
habis-habisan. Karena itu Ma’ruf al-Karkhi melarikan diri dan tidak seorang pun
tahu ke mana perginya. Kedua orang tua Ma’ruf al-Karkhi berkata :
“Asalkan dia mau pulang, agama apa pun yang hendak
dianutnya akan kami anut pula.”
Ma’ruf al-Karkhi menghadap ‘Ali bin Musa ar-Razi yang
kemudian membimbingnya ke dalam Islam. Beberapa lama telah belalu. Pada suatu
hari Ma’ruf al-Karkhi pulang dan mengetuk pintu rumah orang tuanya.
“Siapakah itu?” tanya kedua orang tuanya.
“Ma’ruf,” jawabnya.
“Agama apakah yang telah engkau anut?.”
“Agama Muhammad Rasulullah.”
Ayah bundahnya segera menganut agama Islam pula.
oooOOOooo
Setelah itu Ma’ruf al-Karkhi belajar di bawah bimbingan
Daud at.Ta’i dan menjalani disiplin diri yang keras. Terbuktilah bahwa ia
sedemikian taat beragama dan mempreaktekan disiplin yang sedemikian kerasnya
sehingga ketabahannya itu menjadi termasyhur ke mana-mana.
Muhammad bin Manshur at-Tusi meriwayatkan pertemuannya
dengan Ma’ruf al-Karkhi di kota Baghdad. “Ku lihat di wajahnya ada goresan
bekas luka. Aku bertanya kepadanya : Kemarin aku bersamamu tetapi tidak
terlihat oleh ku bekas luka ini. Bekas apakah ini?” Ma’ruf al-Karkhi menjawab :
“Jangan hiraukan segala sesuatu yang
bukan urusanmu. Tanyakanlah hal-hal yang berfaedah bagi dirimu. Tetapi
aku terus mendesak Ma’ruf al-Karkhi : Demi hak Allah yang kita sembah,
jelaskanlah kepadaku.
Maka berkatalah Ma’ruf al-Karkhi : “Kemarin malam aku
berdoa semoga aku dapat ke Mekkah dan mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul.
Ketika hendak minum di sumur zamzam aku tergelincir dan mukaku terbentur ke
sumur itu. Itulah yang menyebabkan bekas luka itu.”
Pada suatu ketika Ma’ruf al-Karkhi turun ke sungai Tigris
dengan maksud hendak bersuci. Al=Qur’an dan sajadahnya tertinggal di masjid.
Seorang wanita tua masuk ke masjid, mengambil dan membawa kabur Al-Qur’an
berserta sajadah itu. Ma’ruf al-Karkhi segera mengejarnya. Setelah wanita itu
tersusul, sambil menundukkan kepda agar tidak sampai memandang wajah wanita
itu, Ma’ruf al-Karkhi bertanya :
“Apakah engkau mempunyai seorang putera yang dapat
membaca Al-Qur’an?.”
“Tidak”, jawab wanita itu.
“Kalau begitu, kembalikanlah al-Qur’an itu kepdaku. Sajadah
itu biarlah untukmu.
Perempuan itu terheran-heran akan kemurahan hati Ma’ruf
al-Karkhi, maka baik al-Qur’an maupun sajadah itu diserahkannya kembali.
Tetapi Ma’ruf al-Karkhi mendesak : “tidak, ambillah
sajadah ini. Sajadah ini adalah hakmu yang halal..”
Si wanita bergegas meninggalkan tempat itu dengan
perasaan malu dan tak habis pikir.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI MA’RUF
Pada suatu hari ketika V berjalan bersama murid-muridnya,
mereka bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke tujuan yang
sama. Di sepanjang perjalanan sampai ke sungai Tigris anak-anak muda itu
menunjukkan tingkah laku yang memuakkan.
Sahabat-sahabat Ma’ruf al-Karkhi mendesaknya : “Guru,
mintalah kepada Allah Yang Maha Besar untuk membenamkan mereka semua sehingga
bumi ini bersih dari kehadiran mereka
yang menjijikkan.”
Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Tengadahkanlah tangan
kalian!.”
Setelah itu berdoalah Ma’ruf al-Karkhi : “Ya Allah,
karena Engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di atas dunia ini,
maka berikan pulalah mereka kebahagiaan di akhirat nanti.” Sahabat-sahabat
Ma’ruf al-Karkhi terheran-heran dan berkata :
“Guru, kami tak mengetahui rahasia yang terkandung di
dalam doamu itu.”
Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Dia, kepada siapa aku berdoa
tadi, mengetahui rahasianya. Tunggulah sebentar. Sesaat ini juga rahasia itu
akan terbuka.”
Ketika remaja-remaja itu melihat syeikh Ma’ruf al-Karkhi,
mereka segera memecahkan kecapi-kecapi mereka dan menumpahkan anggur yang
sedang mereka minum. Denga tubuh gemetar mereka menjatuhkan diri di depan
syeikh dan bertaubat.
Kemudian Ma’ruf al-Karkhi berkata kepda
sahabat-sahabatnya. “Kalaian saksikan betapa kehendak kalian telah dikabulkan
tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang jua-pun.”
oooOOOooo
Pada suatu hari raya terlihat olehku Ma’ruf al-Karkhi
sedang memungut biji-biji kurma.
“Apakah yang sedang engkau lakukan?.”
Aku bertanya kepadanya.
“Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Tadi aku menemui seorang
anak yang sedang menangis. Aku bertanya kepadanya. “Apakah yang engkau tangiskan?.”
Anak itu menjawab : “Aku seorang anak yatim piatu, tiada punya ayah bunda.
Anak-anak lain mempunyai pakaian baru, tetapi aku tidak. Anak-anak lain
mempunyai kacang, tetapi aku tidak.” Maka biji-biji kurma ini ku kumpulkan
untuk ku jual dan uangnya untuk membeli kacang sehingga ia dapat bersuka-suka
dan bermain-main seperti anak-anak lain.”
Aku pun berkata : “Serahkanlah hal ini kepadaku dan tak
usahlah engkau bersusah payah.”
Sari melanjutkan kisahnya : “Anak itu ku bawa pulang dan
ku berikan pakaian. Kemudian ku belikan kacang dan ku bessarkan hatinya.
Seketika itu juga terlihatlah oleh ku cahaya terang benderang yang memancar
dari dalam lubuk hatiku dan aku sangat berbahagia.”
oooOOOooo
Ma’ruf al-Karkhi mempunyai seorang paman yang menjadi
Gubernur di suatu kota. Pada suatu hari ketika si paman lewat di sebuah padang,
ia melihat Ma’ruf al-Karkhi sedan makan roti. Di depan Ma’ruf al-Karkhi ada
seekor anjing. Secara berganti-ganti Ma’ruf al-Karkhi memasukan sekerat roti ke
mulutnya sendiri dan ke mulut anjing itu. Menyaksikan perbuatannya itu si paman
berseru :
” Tidak malukan engkau memakan roti bersama-sama dengan
seekor anjing?.”
Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Karena mempunyai rasa
malulah aku memberikan roti kepada yang miskin.”
Kemudian Ma’ruf al-Karkhi menengadahkan kepalanya dan
memanggil seekor burung yang sedang terbang di angkasa. Si burung menukik,
hinggap di tangannya, sedang sayap-sayapnya menutupi kepala dan mata Ma’ruf
al-Karkhi. Setelah itu Ma’ruf al-Karkhi berkata kepada pamannya.
“Jika seseorang malu terhadap Allah, maka segala sesuatu
akan malu terhadap dirinya.”
Mendengar kata-kata ini si paman terdiam dan tak dapat
berkata apa-apa.
oooOOOooo
Pada suatu hari wudhu Ma’ruf al-Karkhi batal. Segera ia
bersuci dengan pasir. Melhat hal ini orang-orang menegurnya :
“Lihatlah, di situ
sungai Tigris, tetapi mengapakah engkau bersuci dengan pasir?.”
Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Mungkin sekali aku telah
mati sebelum sampai ke situ.”
oooOOOooo
Pada sutu hari beberapa orang Syi’ah mendobrak pintu
rumah Riza dan menyerang Ma’ruf al-Karkhi sehingga tulang rusuknya patah.
Ma’ruf al-Karkhi tergeletak dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Sari as Saqathi berkata kepada Ma’ruf al-Karkhi.
“Sampaikanlah wasiamu yang terakhir.”
Ma’ruf al-Karkhi bekata : “Apabila aku mati, lepaskanlah
pakaianku dan sedekahkanlah. Aku ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan
telanjang seperti ketika aku dilahirkan dari rahim ibuku.”
Ketika Ma’ruf al-Karkhi meninggal, prikemanusiaan dan
kerendahan hatinya sedemikian harum sehingga semua kaum, baik yang beragama
Yahudi, Kristen maupun Islam mengakuinya sebagai salah seorang di antara
mereka.
Pelayanannya menyampaikan bahwa Ma’ruf al-Karkhi pernah
berpesan : “Jika ada suatu kaum yang dapat mengangkat peti matiku nanti, maka
aku adalah salah seorang di antara mereka.”
Kemudian ternyatalah bahwa orang-orang Kristen tidak
dapat mengangkat peti matinya. Begitu pula dengan orang-orang Yahudi. Ketika
tiba giliran orang-orang Muslim ternyata mereka berhasil. Kemudian mereka
men-shalat-kan jenazah dan menguburnya di tempat itu juga.
oooOOOooo
Sari meriwayatkan sebagai berikut ini : Setelah Ma’ruf al-Karkhi mati, dalam
suatu mimpi aku bertemu dengan dia. Ma’ruf al-Karkhi sedang berdiri di bawah
tahta. Matanya terbuka lebar seperti seorang yang terkesimma dan berputus asa.
Kemudian terdengarlah seruan Allah kepada malaikat-malaikatnya.
“Siapakah dia ini?.”
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Yang Maha Tahu,”
Malaikat-malaikat itu menjawab.
“Dia inilah Ma’ruf al-Karkhi,” terdengar sabda-Nya. “Ia terkesima
dan terpesona karena cinta kasih kami. Hanya dengan meandang Kami sajalah ia
dapat sadar kembali. Hanya dengan menemui Kami ssajalah ia akan menemukan
dirinya kembali.”
19. SARI
AS-SAQATHI
Orang-orang mengatakan bahwa Abul Hasan Sari bin al-Mughallis
as-Saqathi adalah murid Ma’ruf ak-Karkhi dan paman Junaid. Ia adalah seorang
tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad dan pernah mendapat tantangan dari Ahmad
bin Hambali. Mula-mula ia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang bekas
dan ia meninggal pada tahun 253 H/867 M. Dalam usia 98 tahun.
KEHIDUPAN SARI
AS. SAQATHI
Sari as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali
mengajarkan kebenaran mistik dan “Peleburan” sufi di kota Baghdad. Kebanyakan
syeikh-syeikh sufi di negeri Irak adalah murid-murid Sari as-Saqathi. Ia adalah
paman Junaid dan murid Ma’ruf al-Kerkhi. Ia juga pernah bertemu dengan Habib
ar-Ra’i.
Pada mulanya Sari as-Saqathi tinggal di kota Baghdad di
mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apanila hendak shalat,
digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya.
Padda suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam
mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari
as-Saqathi dan berkata :
“Syeikh dari Gunug Lukam mengirim salam kepadamu.”
Sari as-Saqathi menyahut : “Si syeikh hidup menyepi di
atas gunung dan oleh kaena itu seala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang
manusia harus dapat hidup di tengah keramian dan menghusukkan diri kepada Allah
sehingga kita tidak pernah lupa kepda-Nya walau sesaatpun.”
Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari as-Saqathi
tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari
as-Saqathi membeli buah badam seharga enampuluh dianr. Pada waktu harga buah
badam sedang naik, seorang pedagang perantara daang menemui Sari as-Saqathi.
“Buah-buah badam ini hendak kujual,” Sari as-Saqathi
berkata kepadanya.
“Berapakah harganya?.” Tanya si perantara.
“Enampuluh enam diar.”
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh
dinar.” Si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik
keuntungan lebih dari lima persen. “ jawab Sari as-Saqathi, dan aku tidak akan
melanggar peraturan sendiri.”
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual
barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar,” sahut si
pedagang perantara.
Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari
as-Saqathi.
oooOOOooo
Pada mulanya Sari as-Saqathi menual barang-barang bekas.
Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar.
“Pasar terbakar!,” orang-orang berteriak.
Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari
as-Saqathi : “Bebaslah aku sudah!.”
Setelah api reda ternyata toko Sari as-Saqathi tidak
termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari as-Saqathi menyerahkan
segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan
kesufian.
oooOOOooo
“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan
spiritual ini,” seseorang bertanya kepada Sari as-Saqathi.
Sari as-Saqathi menjawab :
“Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku.
Kepadanya ku berikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin.
“Semoga Allah memberkahi engkau,” Habib ar.Ra’i mendoakan ddiriku. Setelah ia
mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi.”
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang
anak yaitm. “Berikanlah pakaian untuk anak ini,” pinta Ma’ruf kepadaku. Maka
anak itu pun ku beri pakaian. Kemudian Ma’ruf berkata : “Semoga Allah membuat
hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini,”. Karena kemakbulan
doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaan di dunia ini.”
SARI AS-SAQATHI DAN SEORANG ANGGOTA ISTANA
Pada suatu hari ketika Sari as-Saqathi sedang memberikan
ceramah. Salah seorang di antara sahabt-sahabt intim khalifah, Ahmad Yazid si
juru tulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba
dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan
kata-katanya,” kata Yazid kepada para pengiringnya. “Kita telah mengunjungi
berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi.”
Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari as-Saqathi.
Sari as-Saqathi berkata : “Di antara kedelapan belas ribu
dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk
ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia
baik maka ia terlampau baik sehingga malaekat-malaekat sendiri iri kepadanya.
Jika ia jahat, maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk
bersahabt dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu
masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa.”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikan Sari
as-Saqathi ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya, sehingga ia tak
sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangs, Ahmad bangkit dan pulang ke
rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun
yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula
ke tempat Sari as-Saqathi berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika
khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang
ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika cerramah selesai ia menghampiri Sari
as-Saqathi.
“Guru,” ucap Ahmad kata-katamu telah mencekam hatiku dan
membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan
mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukanlah kepadaku jalan yang
ditempuh para khalifah.”
“Jalan manakah yang engkau inginkan,” tanya Sari
as-Saqathi. “Jalan para sufi atau jalan hukum? Jalan yang ditempuh orang banyak
atau jalan yang ditemuh oleh manusia-manusia pilihan?.”
“tunjukankedua jalan itu kepadaku,” Yazid meminta kepada Sari
as-Saqathi. Maka berkatalah Sari as-Saqathi :
“Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah
shalat lima kali dalam sehari di belkang seorang imam, dan keluarkanlah zakat,
Jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap ddua puluh
dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia
pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terpereosok ke dalam
perangkap-pereangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah
terima. Demikianlah kedua jalan tersebut.”
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang
belantara. Beberpa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut
dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari as-Saqathi dan berkata
:
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera
yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk
mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah
tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa hari
ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu
kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia. Tolong, lakukanlah
sesuatu untuk diriku.”
Permohonan wanita tua itu
menggugah hati Sari as-Saqathi. Maka berkatalah ia : “Janganlah berduka.
Ia dalam keadaan baik. Apabila ia
kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan
berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya.”
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad
kembali kepada Sari as-Saqathi. Sari as-Saqathi memerintahkan kepda
pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya,” Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya
pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara
itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman,” Ahmad bekata kepada Sari
as-Saqathi, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamian dan telah
mengeluarkan aku dari kegelapan, Aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian
dan menganugrahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan akhirat.”
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan
isterinya Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika
si Ibu melihat Ahmad yang ssudah berubah sekali keadaannya, ia pun menubruk
dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang
menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari
as-Saqathi sendiri pun tidak dapat menahan air matanya. SI anak merebahkan diri
ke haribaan ayahnya. Tetapi betapapun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau
pulang ke rumah.
“Wahai imam kaum Muislimin, “ Ahmad berseru kepada Sari
as-Saqathi, “mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada meraka?”
Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku.”
Sari as-Saqathi menjawab : “Ibumu terus menerus bermohon
seihingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau
datang.”
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir,
isterinya meratap : “Belum lagi mati, engkau telah membuatku jadi janda dan
puteramu jadi yatim. Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan ku
lakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu.”
“Baiklah,” jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya
dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke
tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anak itu :
“Sekarang pergilah engkau seorang diri.”
Melhat hal ini si isteri menjerit : “Aku tidak sampai
hati membiarkannya,” dan anak itu ditariknya ke dalam dekapnnya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu,” kata Ahmad kepada
isterinya, “Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian.”
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun
telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat ‘Isa, seseorang
mendatangi Sari as-Saqathi di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari
as-Saqathi :
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan,
“Hidupku hampirnberakhir. Tolonglah aku.”
Sari as-Saqathi pergi ke temepat Ahmad. IA menemukan
Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang
menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sari as-Saqathi mendengar bahwa Ahmad sedang
membacakan ayat yang berbunyi : “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para
pekerja,” Sari as-Saqathi mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan
mendekapkan ke dadanya. Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang Syeikh,
dan berkatalah ia :
“Guru, engka datang tepat pada waktunya. Hidupku akan
berakhir sesaat lagi.”
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir.
Sambil menangis Sari as-Saqathi kembali ke kota untuk menyelesaikan
urusan-urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai
berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari as-Saqathi bertanya
kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?” jawab mereka. “Kemarin malam
terdengar sebuah seruan dari atas langit : “Barang siapa ingin menshalatkan
jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut :
Pada suatu hari aku mengunjungi Sari as-Saqathi dan
kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya. “Apakah yag
telah terjadi?.”
Sari as-Saqathi menjawab : “Aku telah berniat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan. Di dalam mimpi kau bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia amenjawab : “Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi,”. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!.”
Sari as-Saqathi menjawab : “Aku telah berniat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan. Di dalam mimpi kau bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia amenjawab : “Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi,”. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!.”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas
tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.
oooOOOooo
Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan, “Pada suatu malam
aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke
Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah
olehku seseorang yang berwajah ssangat menakutkan. Aku menjadi gentar. Orang
itu menegurku :
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?.”
“YA,’ jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang
seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada
Dia.”
“Siapakah engkau?.” Aku bertanya.
“Iblis,” jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu degan engkau,” aku berkata
kepadanya.
“Bagaimana engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau
sadari engkau lupa kepada Allah. Apapun maumu untuk bertemu dengan aku?.” Tanya
si iblis.
“Ingin ku tanyakan kepadamu, apakah engkau dapat
memperdayakan orang-orang miskin?”
“Tidak,” jawab si iblis.
“Mengapakah demikian?.”
Si iblis menjawab : “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat. Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi.”
Si iblis menjawab : “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat. Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi.”
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat
engkau perdayakan?.”
“Ya, aku melihat mereka,” jawab si iblis, “dan apabila
mereka berada di dalam keadaan ekstase, dapatlah kulihat sumber keluh kesah
mereka itu.”
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk
ke dalam masjid dan di sana ku dapati Sari as-Saqathi yang sedang menekurkan
kepala ke atas kedua lututnya.
“Dia telah berdusta, seteeru Allah itu,” Sari as-Saqathi
berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau
disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada iblis.”
oooOOOooo
V mempunyai seorang ssaudara perempuan yang pernah
meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya.
Hidupku tidak
patutu diperlakukan seperti itu,” Sari as-Saqathi berkata kepada saudara
perempuannya itu.
Pada suatu hari ia masuk kamar Sari as-Saqathi dan
terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sari as-Saqathi, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk
mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak
familimu.
Sari as-Saqathi menjawab. “Jangan engkau salah sangka.
Dia adalah penduduk alam kubur. Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak.
Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan
kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku.”
20. AHMAD
BIN KHAZRUYA
Abu Hamid bin Khazruya al-Balkhi, seorang warga yang
terkemuka di kota Balkh, mempersunting puteri yang shaleh dari gubernur kota
itu. Di antara sahabat-sahabat intimnya adalah Hatim asl-Ashamm dan Abu Yazid
al-Bustham. Ia pergi ke Nishapur dan meninggal dunia tahun 240 H/864 M dalam
usia 95 tahun.
AHMAD BIN
KHAZRUYA DAN ISTERINYA
Ahmad bin Khazruya mempunyai seribu orang murid yang
masing-masing apat terbang di angkasasa dan berjalan di atas air. Ahmad bin
Khazruya selalu mengenakan seragam tentara. Isterinya Fatimah merupakan seorang
pembimbing ke jalan kesufian. Ia adalah puteri pangeran kota Balkh. Setelah
bertaubat, ia mengirim utusan kepda Ahmad bin Khazruya disertai pesan :
“Lamar;ah
aku kepada ayahku.”
Ahmad bin Khazruya tidak memberi jawaban, kemudian
dikirimnya utusan kedua dengan pesan.
“Ahmad bin Khazruya, ku sangka engkau lebih berjiwa
satria daripada yang sebenarnya. Jadilah seorang pembimbing, jangan jdi seorang
pembegal!.”
Maka Ahmad bin Khazruya lalu mengirimkan wakilnya untuk
melamar Fatimha kepada ayahnya. Karena menginginkan keridhaan Allah, ayah
Fatimha menyerahkan puterinya kepada
Ahmad bin Khazruya. Fatimah meninggalkan segala urusan dunia dan memperoleh
ketenangan menyertai Ahmad bin Khazruya di dalam penyepian.
Hari demi hari mereka lali sehingga suatu ketika Ahmad
bin Khazruya bermaksud dmenemui Abu Yazid, Fatimah ikut serta. Ketika
berhadapan dengan Abu Yazid, Fatimah membuka cadar mukanya dan turut
berbincang-bincang. Ahmad bin Khazruya kesal menyaksikan kelakuan isterinya itu
dan api cemburu membakar dadanya.
Fatimah, alangkah berani sikapmu ketika berhadapan dengan
Abu Yazid,” tergus Ahmad bin Khazruya kepada isterinya.
“Engkau mengenal ragaku, tetapi Abu Yazid mengenal
batinku. Engkau membangkit hasaratku, tetapi Abu Yazid mengantarkan aku kepada
Allah. Buktinya, Abu Yazid dapat hidup tanpa ku temani tetapi engkau senantiasa
membutuhkan kehadiranku, jawab Fatimha.
Sikap Abu Yazid terhadap Fatimah tidak canggung. Suatu
hari terlihatlah olehnya jari-jari tangan Fatimah yang berinai. Abu Yazid lalu
berkata :
“Fatimah, mengapakah engkau mencat jari-jari tanganmu?”
“Abu Yazid, sebelumnya engkau tak pernah memperhatikan
jari-jari tanganku yang berinai ini, karena inilah aku tak merasa canggung
terhadapmu. Kini, setelah engkau memperhatikan tanganku, tak pantas lagi aku
bergaul denganmu,” sela Fatimha.
Mendengar ini Abu Yazid tak mau kalah : “Aku telah
meminta kepada Allah agar wanita-wanita yang terpandan oleh ku tidak lebih
menggairahkan hatiku daripada dinding. Dan demikianlah ang diperbuat-Nya
terhadap diri mereka dalam pandangan mataku.”
Setelah itu Ahmad bin Khazruya dan Fatimah berangkat ke
Nishapur. Di sana mereka mendapat sambutan yang hangat. Suatu waktu, Yahya bin
Mu’adz singgah di Nishapur sebelum meneruskan perjalanannya menuju Balkh. Ahmad
bin Khazruya bermaksud menyelenggarakan pesta pesta menyambut kedatangannya, ia
pun meminta pendapat Fatimha.
“Apakah yang kita perlukan untuk pesta penyambutan
Yahya?.”
“Beberpa ekor lembu dan domba” jawab Fatimah,
“Perlengkapan-perlengkapan, lilin-lilin dan minyak mawar. Di samping itu kita
masih membutuhkan beberapa ekor keledai.”
“Apakah ada seorang pejabat yang datang untuk bersantap
maka anjing-anjing tetangga pun harus mendapat bagian juga, jawab Fatimha.
Demikianlah semanagat kekesatriaan sejati Fatimha, karena
itulah Abu Yazid pernah berkata :
“Jika ada yang ingin menyaksikan seorang laki-laki sejati
yang bersembunyi di balik pakaian perempuan, pandanglah Fatimha!.”
AHMAD BIN KHAZRUYA BERGUMUL DENGAN BATINNYA SENDIRI
Ahmad bin Khazruya berkisah sebagai berikut :
Telah lama sekali aku menindas hawa nafsuku. Suatu hari
orang-orang berangkat ke medan perang, khasratku pun timbul menyertai mereka.
Batinku membisikan beberapa hadits yang menjelaskan pahala-pahala akhirat bagi
yang berjuang di jalan Allah. Aku terheran-heran dan berkata dalam hati :
“Batinku biasanya tidak gampang mematuhi kehendakku. Tak
seperti sekarang ini. Mungkin hal ini karena aku senantiasa berpuasa sehingga
batinku tak dapat lagi menaggung lapar lebih lama dan ingin agar aku
menghentikan puasaku.
Aku lalu membulatkan tekad, “Aku akan berpuasa terus
menerus selama perjalanan.”
“Aku sangat setuju,” jawab batinku.
“Mungkin batinku berkata demikian karena aku bisa
melaksanakan shalat di sepanjang malam dan ingin agar aku tidur dan
beristirahat di malam hari.”
“Aku tidak akan tidur sebelum fajar,” tekadku pula.
“Aku sangat setuju,” jawwab batinku.
Aku semakin terheran-heran. Kemudian terpikirlah olehku
bahwa mungkin batinku berkata demikian karena ingin bergaul dengan orang ramai,
jemu dalam kesepian dan membutuhkan hiburan.
Maka aku pun bertekad : “Kemana pun aku pergi, aku akan
menyendiri dan tidak akan berkumpul bersama orang lain.
“Aku seuju sekali.” Batinku malah menyetujuinya pula.
Habislah sudah dayaku. Dengan segala kerendahan hati aku
bermohon kepada Allah semoga Dia berkenan menunjukan kepadaku tipu daya
batinku, atau memaksa batinku untuk mengaku secara terus terang kepadaku. Maka
berkatalah batinku kepadaku.
“Setiap hari dengan menindas segala keinginanku, engkau
akan terbunuh, aku bebas dan seluruh dunia akan gempar dengan berita “Ahmad bin
Khazruya” yang gagah perkasa telah matiterbunuh dengan mahkota syuhada di ata
kepalanya.”
“Maha besar Allah yag menciptakan batin yang munafik, baik selagi hidup maupun
sesudah mati. Engkau bukanlah seorang Muslim sejati di dunia ini maupun di akhirat
nanti. Aku sangka engkau ingin menaati Allah, rupanya engkau hanya sekedar
mengencangkan ikat pinggangmu,” seruku.
Sejak saat itu, aku lipat gandakan perjuangganku melawan
batinku sendiri.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI AHMAD BIN KHAZRUYA
Seorang pencuri behasil masuk ke dalam rumah Ahmad bin
Khazruya. Setiap sudut telah diperiksanya tetapi tak satupun yang ditemukannya.
Dengan rasa putus asa ia hendak meninggalkan tempat itu, Ahmad bin Khazruya
memanggilnya.
“Anak muda, ambillah ember itu, timbalah air dalam sumur
itu, kemudian bersucilah dan shalat. Jika nanti ku dapatkan sesuatu, akan ku
berikan kepadamu supaya engkau tidak meninggalkan rumah ini dengan tangan
kosong.
Anak muda itu berbuat seperti yang disarankan Ahmad bin
Khazruya. Ketika hari telah siang, seorang lelaki membawa seratus dinar emas
untuk syeikh Ahmad bin Khazruya.
“Ambillah uang ini untuk ganjaran shalatmu tadi malam.”
Ahmad bin Khazruya berkata kepada si penucri. Sesaat itu juga tubuhnya gemetar,
ia menangis dan berkata :
“Aku telah memilih jalan yang ssalah. Baru satu malam
berbakti kepada Allah, sudah sedemikian banyaknya karunia yang dilipahkan-Nya
kepaadaku.”
Si pencuri bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Ia tidak
mau menerima emas tersebut dan kemudian ia menjadi salah seorang murid Ahmad
bin Khazruya.
oooOOOooo
Suatu ketika Ahmad bin Khazruya mengenakan pakaian
compang camping lalu mampir di persinggahan para sufi. Sebagai seorang sufi,
sepenuh hati ia membaktikan diri dengan kewajiban-kewajiban spiritual. Tetapi
para sufi yang berada di persinggahan itu merupakan ketulusan Ahmad bin
Khazruya.
“Orang ini tidak tingggal di persinggahan ini.” Mereka
berbisik kepada syeikh mereka.
Pada suatu hari Ahmad bin Khazruya pergi ke sumur dan
timbanya terjatuh. Para sufi di tempat itu mencaci maki Ahmad bin Khazruya.
Ahmad bin Khazruya segera berkata kepada ketua mereka dan berkata kepadanya.
“Bacalah Fathihah agar timba yang terjatuh itu keluar
dari dalam sumur.”
“Permintaan apakah ini?.” Seru sang syeikh dengan heran.
“Jika engkau tidak mau, izinkanlah aku yang
membacakannya,”
Syeikh lalu memberikan izin, Ahmad bin Khazruya
membacakan fathihah dan timba itupun muncullah ke permukaan air. Menyaksikan
kejadian ini si syeikh melepaskan topinya dan bertanya :
“Anak muda, siapakah engkau ini sebenarnya sehingga
gudang gandumku hanya seperti dedak dibanding dengan sebutir gandum mu?.”
Ahmad bin Khazruya menjasab, “Sampaikan kepada
sahabat-sahabatmu agar mereka menghargai musafir.”
oooOOOooo
Seorang lelaki mendatangi Ahmad bin Khazruya dan berkata
: “Aku sakit dan miskin. Ajarilah aku suatu cara sehingg aku terlepas dari
cobaan-cobaan ini.”
“Tuliskanlah setiap macam usaha yang engkau ketahui di
atas secarik kertas. Taruhlah kertas itu di dalam sebuah kantong dan bawalah
kantong itu kepadaku,” jawab Ahmad bin Khazruya.
Lelaki itu menuliskan setiap macam usaha pada sehelai
kertas lalu ia masukan ke dalam sebuah kantong, kemudian di berikannya kepada
Ahmad bin Khazruya. Ahmad bin Khazruya memasukan tangannya ke dalam kantong itu
dan mengeluarkan secarik kertas. Ternyata di atas kertas itu tertulis perkataan
“merampok”.
“Engkau harus menjadi seorang perampok,” ujar Ahmad bin
Khazruya.
Lelaki itu terheran-heran, namun ia segera meninggalkan
tempat itu dan bergabung dengan sekawanan perampok.
“Aku suka melakukan pekerjaan seperti ini, tetapi apakah
yang harus ku lakukan?” tanyanya kepada mereka.
“Ada satu peraturan yang harus ditaati di dalam pekerjaan
seperti ini,” perampok-perampok itu menerangkan. “Apap pun pekerjaan yang kami
perintahkan kepadamu, harus engkau laksanakan.”
“Akan ku taati perintah kalian.” Ia meyakinkan para
perampok itu.
Beberapa hari ia bergabung dengan mereka. Pada suatu hari
lewatlah sebuah khlifah. Perampok-perampok itu menghadang, dan membawa seorang
kafilah itu, yaitu seorang yang kaya raa kepada sahabat baru mereka.
“Potong lehernya,” perintah mereka.
Lelaki itu tertegun. Iapun berkata dalam hati “Kepala
perampok ini telah membunuh banyak manusia. Lebih baik jika dia sendirilah yang
ku bunuh daripada saudagar ini.”
“Jika engkaumenghendaki pekerjaan ini, taatilah perintah
kami,” kepala perampok itu berkata kepadanya. “Jika tidak, pergilah dari sini
da carilah pekerjaan lain.”
“Jika harus menaati perintah, maka perintah Allah-lah
yang harus ku taati, bukan perintah perampok-perampok,” putus lelaki itu sambil
menghunus pedangnya, dia lepaskan saudagar tersebut dan melayanglah kepala
ketua perampok itu. Melihat ini perampok-perampok lain segera mengambil langkah
seribu, barang-barang rampasan kafilah itu mereka tinggalkan dan saudagar itu
selamat. Si saudagar memberinya emas dan perak sedemikian banyaknya sehingga ia
dapat hidup dengan tenang sesudahnya.
oooOOOooo
Pada suatu ketika Ahmad bin Khazruya menjamu seorang guru
sufi. Untuk itu Ahmad bin Khazruya
menyalakan tujuh puluh batang lilin. Melihat pelayanan yang mewah ini, si guru
sufi mencela.
“Aku tak senang menyaksikan semua ini. Tetekbengek
seperti ini tidak ada hubungannya dengan sufisme.”
Ahmad bin Khazruya menjawab : “Jika demikian padamkanlah
lilin-lilin yang telah ku nyalakan bukan karena Allah.”
Sepanjang malam si guru sufi sibuk menyiramkan air dan
pasir tetapi tak satupun di antara ketujuh puluh lilin itu dapat dipadamkannya.
Keesokan harinya Ahmad bin Khazruya berkata kepada si guru sufi,
“Mengapa engkau begitu terheran-heran. Mari ikutilah aku,
akan kutunjukan hal yang benar-benar menkjubkan.”
Mereka lalu pergi dan sampai di pintu sebuah gereja.
Ketika melihat Ahmad bin Khazruya beserta sahabat-sahabatnya, pengurus gereja
itu mempersilahkan mereka masuk. Kemudian ia mempersiapkan jamuan di ats meja
dan mempersilahkan Ahmad bin Khazruya bersantap.
“Orang-orang yang bermusuhan tidak bersantap
bersama-sama,” ujar Ahmad bin Khazruya.
“Jika demikian, Islamkanlah kami,” jawab kepala pengurus
gereeja itu.
Ahmad bin Khazruya mengIslamkan mereka yang semuanya
berjumlah tujuh puluh orang itu. Pada malam itu Ahmad bin Khazruya bermimpi dan
didalam mimpi itu Allah berkata kepadanya :
“Ahmad, engkau telah menyalakan tuju puluh lilin untuk-Ku
dan karena itu untukmu Ku nyalakan tujuh puluh jiwa dengan api iman.”
21. yahya
bin mu’adz
Abu Zakariya Yahya bin Mu’adz ar-Razi, salah seorang
murid Ibnu Karram, meninggalkan Rayy, kota kelahirannya, dan beberapa lama
menetap di Balkh. Kemudian ia pindah ke Nishapur, di kota ini ia meninggal
dunia pada tahun 258 H/871 M. Sejumlah syair-syair diperkirakan sebagai hasil
karyanya.
YAHYA BIN MU’ADZ
DAN HUTANGNYA
Yahya bin Mu’adz meminjam uang sebesar seratus ribu
dirham kepada seseorang. Kemudian membagi-bagikannya kepada orang-orang yang
berperang di jalan Allah. Orang-orang yang berangkat ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji, orang-orang miskin, yang menuntut ilmu dan juga kepada
para sufi. Tidak lama kemudian, oarnag-orang yang meminjamkan uang tersebut
menagihnya sehingga Yahya bin Mu’adz menjadi sangat gundah.
Suatu malam ia bermimpi. Dalam mipi itu Nabi Muhammad
berkaa kepadanya,
“Yahaya, janganlah engkau berduka cita, karena akupun
turut bersedih menyaksikan kegundahanmu itu. Bangunlah dan pergilah menuju
Khurasan. Engkau akan menjumpai seorang perempuan yang telah menyisihkan tiga
ratus ribu dirham untuk melunaskan hutang-hutangmu yang sebanyak seratu ribu
dirham itu.”
“Ya Rasulullah,” seru Yahya bin Mu’adz. Di kota manakan
dan siapakah perempuan itu?.”
“Bejalanlah dari satu kota ke kota lain dan
berkhotbahlah,” jaab Nabi. “Kata-katamu akan mendatangkan kesembuhan jiwa bagi
ummat manusia. Seperti halnya aku, menemuimu di dalam mimpi, maka akupun hendak
menemui perempuan itu di dalam mimpi pula.”
Maka berangkatlah Yahya bin Mu’adz menuju Nishapur, Di
depan kubah Masjid Nishapur dibangunlah mimbar sebagai tempat Yahya bin Mu’adz
berkhotbah.
“Wahai penduduk Nishapur,” Yahya bin Mu’adz berseru, “Aku
datang kemari karena disuruh Nabi Muhammad saw. Ia katakan kepadaku. ‘Seseorang
akan melunasi hutang-hutangmu,”. Sesungguhnya aku punya hutang sebanyak seratus
ribu dirham. Ketahuilah bahwa kata-kataku selalu mengandung keindahan, tetapi
hutang ini telah menutupi keindahan
tersebut.”
“Akan kusumbangkan uang sebesar lima puluh ribu dirham,”
salah seorang hadirin menawarkan bantuan.
“Akan ku sumbangkan uang sebesar empat puluh ribu
dirham,” yang lainnya menawarkan pula.
Tetpai Yahya bin Mu’adz menolak sumbangan-sumbangan ini
dengan dalih “Muhammad saw, hanya mengatakan satu orang.”
Yahya kemudian memulai khotbahnya. Di hari pertama tujuh
mayat terpaksa di usung keluar dari khalayak ramai yang mendengarkan. Kemudian
setelah menyadari bahwa hutanngya tidak akan terlunasi di kota Nishapur, iapun
menerukan perjalanan ke kota Balkh. Di kota ini orang-orang menahan dirinya dan
diminta agar ia mau memberikan khotbah. Untuk itu ia mendapatkan sumbangan
sebesar seratus ribu dirham. Tetapi seorang syeikh di kota itu tidak senang
kepada khotbah-khotbahnya karena mengira bahwa Yahya bin Mu’adz pecinta
kekayaan.
Si syeikh berkata, “Semoga Allah tidak memberkahinya!.”
Ketika
meninggalkan kota Balkh perampok-perampok menghadang Yahya bin Mu’adz dan
merampas semua uang yang dibawanya.
“Itulah akibat dari doa si syeikh,” Orang-orang yang
mendengar peristiwa perampokan itu berkata sesama mereka.
Yahya bin Mu’adz meneruskan perjalanannya ke Hirat,
beberapa orang meriwayatkan, dengan melalui Meerv. Dalam Khotbahnya di kota
Hirat inipun ia mengisahkan mimpinya itu, Puteri pangeran Hirat kebetulan
mendengarkan dan mengirim pesan kepadanya.
“Wahai imam, janganlah engkau berkeluh kesah lagi karena
hutangmu. Pada malam Nabi berbicara kepadamu di dalam mimpi itu, ia telah
berbicara pula kepadaku. Aku berkata kepadanya “Ya Rasulullah, aku akan pergi
mencarinya. “Tidak usah, dia akan datang kemari mencarimu, jawab Nabi. Sejak
malam itu aku menanti-nantikanmu. Jika gadis lain hanya memperoleh tembaga dan
kuningan, maka ketika ayah menikahkan aku, aku memperoleh emas dan perak.
Barang-barang perakku berharga tiga ratus ribu dirham. Semuanya akan kuserahkan
kepadamu denga syarat bahwa engkau harus berkhotbah di kota ini empat hari
lagi.”
Yahya bin Mu’adz menyanggupi untuk memperpanjang
khotbahnya selama empat hari lagi. Pada hari pertama, sepuluh mayat harus
disingkirkan. Hari kedua, dua puluh lima mayat, pada hari ketiga ada empat
puluh mayat, dan di hari yang keempat, tujuh puluh mayat. Pada hari yang kelima
Yahya bin Mu’adz meninggalkan kota Hirat dengan membawa barang-barang perak
sepenanggungan tujuh ekor unta. Ketika sampai di Balham, puteranya yang
menemaninya membawa barang-barang itu berkata di dalam hatinya.
“Apabila sampai di kota, semoga ayah tidak menyerahkan
semua barang-barang ini dengan begitu saja kepaa orang-orang tempat dia
berutang dan kepada orang-orang miskin tanpa sedikit pun menyisihkan untuk
diriku.”
Di waktu shubuh ketika Yahya bin Mu’adz menghadap Allah
dengan menyenthkan dahinya ke tanah, tanpa diduga-duga sebuah batu jatuh
menimpa kepalanya.
“Berikan uang kepda orang-orang yang berpiutang
kepadaku.” Seurnya, dan kemudian ia menemui ajalnya.
Orang-orang yang mengikuti jalan Allah mengusung jenazah
Yahya bin Mu’adz di bahu mereka dan membawanya ke Nishapur untuk dikuburkan di
sana.
YAHYA BIM MU’ADZ AR-RAZI DAN SAUDARANYA
Yahya bin Mu’adz mempunyai seorang saudara yang pergi ke
Mekkah dan kemudian bertempat tinggal di dekat Ka’bah. Saudara nya itu mengirim
surat kepada Yahya bin Mu’adz.
“Ada tiga hal yang ku cita-citakan. Dua di antaranya
telah terlaksana. Tinggal satu yang belum tercapai. Doakanlah kepada Allah
semoga Dia berkenan menyempurnakan keinginanku yang terakhir ini. Keinginanku
yang pertama adalah melewatkan hari-hari
tuaku di suatu tempat yang paling suci di atas dunia ini dan segala tempat.
Keinginanku yang kedua adalah memiliki seorang hamba untuk merawat diriku dan
menyediakan air untuk bersuci dan kini Allah telah menganugerahkan seorang
hamba perempuan yang baik budinya. Keinginanku yang ketiga adalah untuk bertemu
denganmu sebelum ajalku. Doakanlah kepada Allah, semoga Dia mengabulkan
keinginanku ini.”
Yahya bin Mu’adz menjawab surat saudaranya itu :
“Berkenaan dengan isi suratmu baha engkau menginginkan tempat
terbaik di atas dunia, hendaklah engkau menjadi yang terbaik di antara semua
manusia dan setelah itu tinggalah di sembarang tempat yang engkau kehendaki.
Suatu tempat menjadi mulia karena orang-orang yang menemparinya, bukan
sebaliknya.
Mengenai keinginanmu akan seorang hamba yang pada saat
ini telah engkau dapatkan, jika engkau adalah seorang manusia yang benar dan
berbakti, niscaya engkau tidak mengambil hamba Allah menjadi hambamu sendiri,
karena menghalangi dirinya untuk mengabdi kepada Allah dan membuatnya sibuk
untuk mengabdi kepadamu. Engkau sendirilah yang harus menjadi hamba. Engkau
ingin menjadi seorang yang dipertuan pdahal yang patut dipertuan hanyalah
Allah. Menghambakan diri adalah kewajiban manusia. Seorrang hamba Allah
haruslah menjadi seorang hamba. Jika seorang hamba Allah menghasratkan keduduka
yang hanya pantas dimiliki Allah, maka ia tak obahnya Fir’aun.
Terakhir sekali, tentang keinginanmu bertemu denganku,
sesungguhnya jika engkau benar-benar memikirkan Allah, niscaya kau takkan
teringat kepadaku. Karena itu, mengabidlah kepada Allah sehingga sedikit pun
tiada ingatan kepda saudaramu di dalam pikiranmu. Dalam pengabdian itu kita harus
rela untuk mengorbankan putera sendiri; apalagi seorang saudara! Jika engkau
telah menemukan Dia, apakah faedah yang dapat kau petik dari perjumpaan kita.
22. SYAH
BIN SYUJA’
Diriwayatkan bahwa Abul Fawaris Syah bin Syuja’
al-Kirmani berasal dari keluarga bangsawan dan banyak karya-karyanya mengenai
sufisme, yang telah hilang. Ia meninggal setelah tahun 270H/884 M.
SYAH BIN SYUJA
AL-KIRMANI DAN ANAK-ANAKNYA
Syah bin Syuja’ al-Kirmani mempunyai seorang putera. Di dada si putera ia tuliskan kata : “Allah” dengna warna hijau. Begitu
menginajk dewasa, karena tidak bisa bertahan dari dorongan-dorongan hatinya, si
anak menyenangkan diri berjalan-jalan ssambil mambawa kecapinya. Sambil memetik
kecapi, dengan suaranya yang merdu ia senandungkan lagu-lagu yang sangat
menyentuh.
Pada suatu malam, dalam keadaan mabuk, ia menyusuri
jalan-jalanraya sambil memainkan kecapinya itu. Ketika ia sampai di satu
pelosok kota, seorang pengantin perempuan yang baru pindah ke tempat itu,
bangkit dari sisi suaminya yang sedang tertidur untuk melihatnya. Si Suami
terbangun, dilihatnya isterinya tak ada di sisinya, ia bangkit dan menyaksikan
apa yang sedang terjadi. Maa berserulah ia kepada si pemuda, :
“Anak muda, belum tibalah saatnya engkau bertaubat?.”
Kata-kata ini menghujam jantungnya dan ia segera menjawab
“Sudah tiba, sudah tiba.”
Mantelnya dicabik-cabiknya, kecapinya ia hancurkan.
Kemudian ia mengunci diri di dalam kamarnya dan selama empat puluh hari tidak
makan apa-apa. Sesudah itu ia pun keluar dari kamarnya dan pergi mengembara.
Mengenai kelakuan anaknya itu, Syah bin Syuja’ al-Kirmani berkomentar :
“Yang kucapai selama empatpuluh tahun telah diperolehnya
dalam waktu empat puluh hari saja.”
Syah bin Syuja’ al-Kirmani juga mempunyai seorang puteri.
Para pangeran Kirmani telah datang untuk melamarnya. Syah bin Syuja’ al-Kirmani
minta kelonggaran selama tiga hari sebelum memberi keputusan. Kemudain ia pergi
menjelajahi masjid ke masjid, akhirnya terlihatlah olehnya seorang guru sufi
yang sedang shalat dengan khusyuk. Syah bin Syuja’ al-Kirmani dengan sabar
menanti si guru sufi selesai dengan shalatnya. Kemudian ia bertanya :
“Apakah engkau telah berkeluarga?.”
“Belum”, jawan sang guru sufi.
“Maukah engkau seorang isteri yang bisa membaca
al-Qur’an?,”
“Siapakah yang mau menikahkan puterinya kepadaku?.” Harta
kekayaanku hanya tiga dirham.”
“Akan ku serahkan puteriku kepdamu,” jawab Syah bin
Syuja’ al-Kirmani.” “Dari tiga dirham yang engkau miliki itu belanjakanlah satu
dirham untuk roti, satu dirham untuk minyak mawar dan selebihnya untuk engikat
tali perkawinan.”
Akhirnya mereka sepakat. Malam itu juga Syah bin Syuja’
al-Kirmani mengantarkan puterinya ke rumah si guru sufi. Ketika memasuki rumah
itu terlihatlah oleh si gadis sepotong roti kering di dekat sekendi air.
“Roti apakah ini?” tanyanya.
“Roti kemarin yang ku simpan untuk hari ini,” jawab si
guru sufi.
Mendengar jawaban itu si gadis hendak meninggalkan rumah
si guru sufi.
“Sudah ku sadari bahwa puteri Syah bin Syuja’ al-Kirmani
takkan sanggup heidup bersama diriku yang miskin seperti ini” kata sang guru
sufi.
“Aku meninggalkanmu bukan karena sdikit hartamu” jawab si
gadis, “Tetapi karena sedikit iman dan kepercayaanmu sehingga engkau menyimpan
roti kemarin dan tidak percaya bahwa Allah akan memberikan rezeki kepdamu setiap
hari. Aku jadinya heran kepada ayahku, dua puluh tahun lamanya ia memingitku
dan mengatakan, “Akan kunikahkan engkau dengan seorang yang taqwa kepda Allah,”
Tetapi ternyata ia menyerahkan aku kepda seseorang yang tidak pasrah kepada
Allah untuk makanannya sehari-hari.”
“Apakah kesalahanku ini dapat diperbaiki?.” Si Guru sufi
bertanya.
“Dapat”, jawab si gadis. “Pilihlah satu di antara dua,
aku atau roti kering itu.”
23. YUSUF
BIN AL-HUSAIN
Abu Ya’qub bin al-Husain ar-Razi telah melakukan
perjalanan yang jauh, dari Rayy kota kelahirannya, sampai ke Arab dan Mesir di
mana ia bertemu dengan Dzun Nun al-Mishri dan belajar kepadanya. Kemudian ia
kembali ke Rayy untuk mengajar di sana dan di Rayy inilah ia meninggal dunia
tahun 304 H/ 916 M.
PERTAUBATAN YUSUF
AL HUSAIN AR-RAZI
Kehidupan spiritual Yusuf bin al-Husain ar-Razi dimulai
sebagai berikut :
Ia melakukan perjalanan bersama saabt-sahabatnya di
negara Arab. Ketika sampai ke suatu daerah kekuasaan suatu suku, seorang puteri
kepala suku itu melihatnya, lantas tergila-gila kepada Yusuf bin al-Husain
ar-Razi yang memang berwajah tampan. Setelah menanti saat-saat yang tepat,
akhirnya si gadis dapat menghadang Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Dengan tubuh
gemetar Yusuf bin al-Husain ar-Razi meninggalkan si gadis dan berangkat menuju
perkampungan yang lebih jauh letaknya.
Suatu malam,
ketika Yusuf bin al-Husain ar-Razi tertidur dengan menyandarkan kepala ke
lututnya, ia bermimpi sedang berada di suatu tempat yang belum dikenalnya.
Seseorang sedang duduk di atas sebuah tahta dengan segala kebesaran sebagaimana
layaknya seorang raja, di sekelilingnya berdiri pengawal-pengawal berjubah
hijau. Karena rasa ingin tahu siapa mereka, Yusuf bin al-Husain ar-Razi
menghampiri mereka. Smeua memberi jalan kepda Yusuf bin al-Husain ar-Razi dan
bersikap hormat kepadanya.
“Siapakah kalian?.” Tanya Yusuf bin al-Husain ar-Razi.
“Kami adalah malaikat-malaikat, dan yang duduk di atas
tahta itu adalah Yusuf as. Ia datang berkunjung kepada Yusuf bin al-Husain
ar-Razi.
Marilah kita dengarkan lanjutan kisah ini menurut
penuturan Yusuf bin al-Husain ar-Razi, sendiri :
Aku tak dapat menahan air mataku dan berseru : “Siapakah
aku ini sehingga Nabi Allah sendiri telah datang untuk mengunjungiku?.”
Yusuf as. Turun dari tahtanya dan merangkulku. Kemudian
ia mendudukan aku ke atas tahta itu. Aku bertanya kepadanya.
“Wahai Nabi Allah, siapakah aku sehingga engkau
sedemikiann baiknya kepadaku?.”
Yusuf as. Menjawab : “Ketika gadis jelita itu
menghadangmu tetapi engkau menyerahkan diri kepada Allah dan minta
perlindunganNya, Allah menunjukan dirimu kepadaku dan para malaikat ini. Dan
Allah berkata kepadaku “Lihatlah wahai Yusuf! Engkau adalah Yusuf yang berahi
terhadap Zulaiha dan menolaknya. Tetapi dia ini Yusuf yang tak berahi terhadap
puteri seorang raja Arab dan melarikan dirinya. Allah sendiri mengutusku
beserta malaikat-malaikat ini untuk emngunjungimu. Ia sampaikan kabar gembira
padamu bahwa engkau adalah salah seorang di antara manusia-manuisa
kesayangan-Nya.”
Kemudian Yusuf as. Menambahkan : “Di dalam setiap zaman
ada seorang penunjuk jalan. Penunjuk jalan pada zaman ini adalah Dzun Nun
al-Mishri. Dia telah mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah.
Pergilan kepadanya.”
Ketika Yusuf bin al-Husain ar-Razi terjaga (pengisah meneruskan kisahnya), hatinya
sangat terharu. Hasratnya menggelora. Ia sangat ingin mengetahui yang terbesar
di antara nama-nama Allah. Berangkatlah ia ke negeri Mesir. Sesampainya di
masjid Dzun Nun, iapun mengucapkan salam dan duduk. Dzun Nun membalas salamnya.
Setahun lamanya Yusuf bin al-Husain ar-Razi duduk di sudu masjid itu. Ia tak
berani bertanya kepada Dzun Nun. Setelah setahun barulah Dzun Nun bertanya
kepadanya.
“Anak muda, dari manakah engkau?.”
“Dari Rayy”, jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.
Setahun pula Dzun Nun tidak menegurnya dan Yusuf bin
al-Husain ar-Razi tetap duduk di pojoknya. Pada akhir tahun yang kedua itu Dzun
Nun bertanya kepadanya.
“Anak muda, apakah tujuanmu ke mari?.”
“Untuk menemui mu.” Jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.
Setelah itu setahun pula lamanya, Dzun Nun tidak
berkata-kata kepadanya.
“Anak muda, apakah yang engkau kehendaki?.”
“Aku datang supaya engkau mengatakan kepadaku Nama Yang
Terbesar,” jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.
Setahun pula Dzun Nun membisu. Kemudian diberikannya kepada
Yusuf bin al-Husain ar-Razi sebuah tabung kayu yang tertutup dn berkata :
“Pergilah ke seberang sungai Nil. Di suatu tempat ada
seorang tua. Berikanlah tabung ini kepadanya dan ingatlah apa-apa yang dikatakannya
kepadamu.
Yusuf bin al-Husain ar-Razi menerima tabung kayu itu dan
pergilan ia menyeberangi sungai Nil. Di tengah-tengah perjalanan hatinya
tergoda.
“Apakah yang bergerak-gerak di dalam tabung ini?, Ia
bertanya di dalam hati. Tabung itu di bukanya dan seekor tikus meloncat keluar,
kemudian melarikan diri. Yusuf bin al-Husain ar-Razi merasa bingung.
“Kemanakah aku harus pergi sekarang? Haruskah aku ke
orang tua itu atau kembali kepada Dzun Nun?.”
Akhirnya ia memutuskan
untuk menjumpai si orang tua itu. Menyaksikan kedatangan Yusuf bin al-Husain ar-Razi
yang menenteng tabung kayu yang telah kosong itu, si orang tua tersenyum dan
menegurnya :
“Engkau menanyakan Nama Allah yang Terbesar keapda Dzun
Nun?.”
“Ya”, jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.
“Dzun Nun mengetahui sikapmu yang tidak sabar dan oleh karena
itu dititipkannya seekor tikus kepadamu. Maha Besar Allah, seekor tikus aja
tidak dapat engkau jaga, apalagi Nama Yang Terbesar itu.”
Yusuf bin al-Husain ar-Razi malu sekali, iapun kembali ke
masjid Dzun Nun . Dzun Nun menyambutnya :
“Kemarin, tujuh kali aku memohon izin Allah untuk
menyampaikan nama-Nya yang terbesar itu, tetapi Allah tidak memperkenankannya.
Hal ini berarti, belum tiba saatnya. Kemudian Allah menunjukiku : “Cobalah ia
dengan seekor tikus” Dan setelah engkau ku coba ternyata beginilah jadinya.
Kembalilah ke negeri asalmu dan tunggulah hingga saat yang tepat.”
“Sebelum aku meninggalkan tempat ini, berilah aku sebuah
petuah” Yusuf bin al-Husain ar-Razi bermohon kepada Dzun Nun.
“Akan ku beri padamu tiga petuah ,: jawab Dzun Nun, “Yang ssatu besar, yang
satu sedang dan yang terakhir kecil. Petuah yang besar adalah : Lupakanlah
segala sesuatu yang telah engkau baca dan hapuskanlah segala sesuatu yang telah
engkau tulis, agar selubung penutup matamu terbuka.”
“Petuah ini tak dapat kulaksanakan,” jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.
“Petuah yang sedang adalah : Lupakanlah aku dan jangan bicarakan diriku
dengan siapa pun juga. Jika seseorang berkata, muridku mengatakan begini” atau
“guruku mengatakan begitu,” sesungguhnya semua itu memuji dirinya sendiri.”
“Petuah inipun taka dapat kulaksanakan,” sela Yusuf bin al-Husain ar-Razi.
“Yang terakhir yang kecil adalah : Serulah manusia kepada Tuhan mereka.”
“Aku penuhi syarat tersebut.”
Maka berangkatlah Yusuf bin al-Husain ar-Razi ke Rayy. Ia
adalag dari keluarga terhormat dan karena itu warga kota datang menyambut
kedatangannya. Ketika memulia khotbahnya, Yusuf bin al-Husain ar-Razi
mengemukakan realitas-realitas mistik. Mendengar ajarn-ajaran ini, penduduknya
yang hanya mengenal doktrin eksoteris melalui pengajaran formal marah dan
menentang Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Nama Yusuf bin al-Husain ar-Razi jatuh
sehingga akhirnya tak seorang pun yang mau datang mendengar ceramahnya.
Seperti biasanya, suatu hari ia pun tampil untuk
berceramah. Tetapi ketika itu tak seorang pun yang hadir mendengarkannya, iapun
bermaksud pulang. Saat itu, seorang perempuan tua berseru :
“Bukankah engkau telah berjanji kepada Dzun Nun bahwa
engkau akan menyeru manusia bukan karena mereka tetapi karena Allah semata?.”
Yusuf bin al-Husain ar-Razi tersentak mendengar kata-kata
ini. Ia pun memulai khotbahnya. Demikian dilakukannya secara terus menerus
selama lima puluh tahun, baik ada yang mendengar atau tidak.
YUSUF BIN AL-HUSAIN DAN IBRAHIM BIN KHAUWASH
Ibrahim bin Khauwash adalah salah seorang murid Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Berkat
persahabatannya dangan Yusuf bin al-Husain ar-Razi itulah Ibrahim bin Khauwash
memperoleh kemajuan spiritual yang menakjubkan, sehingga ia sanggup berjalan
mengarungi padang pasir tanpa bekal makanan dan bintanag tunggangan. Melalui
Ibrahim bin Khauwash inilah kita mendengar kisah berikut ini :
Pada suatu malam, terdengar oleh ku sebuah suara yag
menyeruku.
“Pergi dan kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi, engkau
adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!.”
Kata-kata ini sedemikian menyedihkan hatiku, sehinga
seandainya sebuah gunung ditimpakan ke atas kepalaku, niscaya lebih mudah
kutanggungkan daripada menyampaikan kata-kata itu kepda Yusuf bin al-Husain
ar-Razi.
Malam eskonya terdengar pula seruan yang lebih keras.
“Katakan kepda Yusuf bin al-Husain ar-Razi,” engkau
adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak.”
Aku bangun, bersuci dan memohon ampunan Allah. Aku
merenungi hal ini hingga malam yang ketiga, dan seruan itu terdengar pula :
“Katakan kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi,” engkau
adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!.” Jika pesan ini tiak
engkau sampaikan kepdanya, akan kami timpakan bencana kepadamu sehingga kau tak
dapat bangun lagi.”
Dengan sangat sedih, akupun bangkit dan pergi ke masjid,
di mana kulihat Yusuf bin al-Husain ar-Razi sedang duduk di tempat imam shalat.
“Adakah syair yang hapal olehmu?,” Yusuf bin al-Husain
ar-Razi bertanya ketika ia melihat kedatanganku.”
“Ya”, jawabku, Akupun mengingat-ingat sebuah syait
berbahasa Arab lalu ku senandungkan. Yusuf bin al-Husain ar-Razi begitu senang
mendengar syair itu. Ia berdiri dan tetap berdiri untuk waktu yang lama. Air
matanya bercucuran, seolah bercampur dengan darah. Kemudian ia berpaling kepadaku
dan berkata :
“Sejak dilahirkan hingga saat ini, orang-orang telah
membacakan a;-Qur’an untukku, namun tak setets air mata yang pernah
kutumpahkan. Tetapi melalui sebuah syair yang engkau senandungkan itu, aku
mengalami keadaan seperti ini, air mataku
bercucuran. Sanagatlah tepat apabila orang-orang mengatakan bahwa aku adalah
orang bid’ah. Seruan Ilahi terlah berkata dengan sebenarnya, bahwa aku adalah
salah seorang di antara orang-orang yang ditolak. Seseorang yang sedemikian
terharu mendengar sebuah syair tetapi al-Qur’an tak sedikit pun emggugah
hatinya. Adalah benar-benar salah seorang yang ditolak.”
Hatiku goncang karena menyaksikan kejadian ini dan
mendengarkan kata-katanya. Goyahlah keyakinanku kepda Yusuf bin al-Husain
ar-Razi. Aku takut. Aku pu bangkit dan berjalan ke arah padang pasir. Dalam
perjalanan tersebut kebetulan aku bertemu dengan Khidir dan ia berkata kepdada
ku :
“Yusuf bin al-Husain ar-Razi telah menerima pukulan
Allah, tetapi tempatnya adalah puncak tertinggi di dalam surga. Seorang manusia
haru menempuh jalan Allah sedemikian jauh dan sedemikian kokohnya, sehingga
walau dahinya ditampar oleh tangan penolakan, tempatnya masih tetap di puncak
tertinggi di dalam surga. Apabila di atas jalan Allah ini tingkat para raja tak
tercapai olehnya, setidak-tidaknya tingkatannya tidak di bawah para menteri.”
YUSUF AL-HUSAIN DAN SEORANG HAMBA PEREMPUAN
Seorang saudagar telah membeli seorang hamba perempuan
seharga seirbu dinar di Nishapur. Ia berpiutang kepada seoang di kota lain. Si
Saudagar hendak pergi ke sana dengan segera untuk menagih piutangnya itu.
Tetapi di kota Nishapur tak seorang pun yang dapar dipercayainya untuk dititipi
hamba perempuannya itu. Oleh karena itu pergilah iamenemui Abu ‘Utsman al-Hiri
dan menjelaskan masalah yang dihadapinya itu. Mula-mula Abu “utsman menolak
titipan budak perempuan itu, tetapi si sauagar tetap meminta pertolongannya :
“Izinkanlah dia tinggal di dalam haremmu. Aku akan
kembali dalam waktu secepatnya.”
Akhirnya Abu “Utsman menyerah dan si saudagar meninggalkan
tempat itu. Tanpa di sengaja terpandanglah gadis itu oleh Abu “Utsman dan iapun
tergila-gila kepadanya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya
pergilah ia ke rumah gurunya Au Hafshin bin Haddad, untuk meminta nasehat. Abu
Hafshin bin Haddad menasehatkan :
“Pergilah ke Rayy dn mintalah nasehat kepda Yusuf bin
al-Husain ar-Razi.”
Maka berangkatlah Abu ‘Utsman ke negeri Iraq. Ketika
sampai di kota Ryy, ditanyakannya tempat tinggal Abu Yusuf bin al Husain.
Tetapi orang-orang mencegahnya ke sana.
“Apakah urusanmu dengan manusia bid’ah yang terkutuk itu?
Engkau tampaknya sebagai seorang yang saleh, bergaul dengannya berarti
menjerumuskan dirimu sendiri.”
Sedemikian banyak keburukan-keburukan Yusuf bin al-Husain
ar-Razi yang diperkatakan orang sehingga Abu ‘Utsman menyesal, mengapa ia
sampai datan ke kota Rayy itu. Akhirnya iapun kembali ke Nishdi Nishapur.
“Apakah engkau
telah bertemu dengan Yusuf bin al-Husain ar-Razi? Ssatu pertanyaan Abu Hafshin
menyambut kedatangannya di Nishapur :
“tidak,” jaab Abu ‘Utsman.
“Mengapa tidak? Tanya Abu Hafshin.
“Aku dengar segala tingkah laku Yusuf bin al-Husain
ar-Razi,” kemudian lalu dikisahkannya segala sesuatu yang disampaikan penduduk
Rayy kepadanya. “Oleh karena itulah aku tidak pergi menemuinya dan kembali ke
Nishapur.”
“Kembalilah ke Rayy, dan temuilah Yusuf bin al-Husain
ar-Razi,” Abu Hfshin mendesak ‘Utsman.
Abu ‘Utsman pergi lagi ke Rayy dan sekali lagi
bertanya-tanya di manakah tempat tinggal Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Dan
penduduk kota Rayy seratus kali lebih banyak meburuk-burukkan Yusuf bin
al-Husain ar-Razi daripada sebelumnya.
“Aku mempunyai suatu urusan penting dengan Yusuf bin
al-Husain ar-Razi.” Abu ‘Utsman menjelaskan kepada mereka.
Akhirnya mereka mau juga menunjukan kediaman Yusuf bin
al-Husain ar-Razi. Sesampainya di tempat Yusuf bin al-Husain ar-Razi,
dilihatnya seorang tua yang sedang duduk. Dan seoran remaja tampan yang tak
berjanggut berada di depannya. Si pemuda sedang menyajikan sebuah cembung dan
cangkir. Wajahnya berseri-seri. Aby ‘Utsman masuk, mengucapkan salam dan duduk.
Syeikh Yusuf bin al-Husain ar-Razi memulia pembicaraan, mengucapkan
ajaran-ajaran yang sedemikian mulia dan luhur, membuat Abu ‘Utsman
terheran-heran. Akhirnya berkatalah Au ‘Utsman :
“Demi Allah, dengan kata-kata dan pemikiran-pemikiran
seperti ini, apakah yang telah terjadi atas dirimu? Anggur dan seorang remaja
yang belumberjanggut?.”
“Remaja yang tak berjanggut ini adalah puteraku, dan
hanya sedikit orang yang tahu baha ia adaalah puteraku,” jwab Yusuf bin
al-Husain ar-Razi. “Aku sedang mengajarkan al-Qur’an kepadanya. Bejana anggur
ini, kebetulan ku temukan di tempt sampah. Bejana ini ku ambil, ku cucui dan
kuisi air, sehingga aku dapat menyuguhkan air kepada orang-orang yang ingin
minum karena selama ini aku tak punya sebuah tempayan pun.”
Abu ‘Utsman bertanya pula, “Demi Allah, mengapakah engkau
bertingkah laku seperti ini sehingga orang-orang mengatakan hal-hal yang
bukan-bukan mengenai dirimu?.”
“Aku bertingkah laku seperti ini agar tidak ada orang yang
sudi menitipkan hamba perempuannya yang berbangsa Turki kepada ku.”
Mendengar jaaban
ini, Abu ‘Utsman merebahkan dirinya di kaki sang syiekh. Sdrlah ia bahwa Yusuf
sebenarnya telah mencapai tingkat kesalehan yang tinggi.
24. ABU
HAFSHIN AL-HADDAD
Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad, seorang pandai besi
di kota Nishapur, berkunjung ke Baghdad dan berjumpa dengan Junaid yang kagum
menyaksikan pengabdiannya kepda Allah. Abu Hafshin juga pernah berjumpa dengan
asy-Syibli dan tokoh-tokoh mistik lainnya di kota Baghdad. Setelah kembali ke
Nishapur ia amelakukan usahanya seperti dahulu dan meninggal dunia di Kota ini
pda tahun 265 H/879M.
BAGAIMANA ABU
HAFSHIN BIN HADDAD BERTAUBAT
Ketika masih remaja, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad
jatuh cinta kepada seorang gadis pelayan. Ia sedemikian tergila-gila sehingga
tak dapat hidup dengan teenang.
“Ada seorang dukun Yahudi yang tinggal di pinggiran kota
Nishapur. Ia tentu dapat menolongmu,” sahabt-sahabatnya menyarankan.
Maka pergilah Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad
menemui dukun Yahudi itu dan menerangkan masalah yang sedang dihadapinya.
Si Yahudi menyarankan : “Selama empat puluh hari
janganlah engkau melakukan shalat, dengan cara bagaimanapun juga janganlah kau
patuhi perintah Allah,d an jangan lakukan perbuatan-perbuatan baik. Selama itu
pula jangan engkau sebut-sebut nama Allah dan sama sekali jangan memikirkan
hal-hal yang baik. Setelah semua ini engkau lakukan, barulah aku sanggup dengan
sihirku membuat kehendakmu itu tercapai.”
Selama empat puluh hari Abu Hafshin melaksanakan nasehat
si dukun. Setelah itu si dukun membuatkan sebuah jimat untuknya, tetapi
ternyata juga masih tidak ada hasilnya.
Si Yahudi berdalih : “Sudah pasti bahwa selama ini engkau
pernah melakukan perbuatan baik. Jika tidak, tentu tujuanmu itu telah
tercapai.”
“Tak ada pelanggaran yang pernah ku lakukan,” Abu Hafshin
‘Amr bin Salam al-Haddad membela diri. “Satu-satunya kebajikan yang ku ingat
adalah menyepak sebuah batu ketika aku datang ke sini agar tak ada orang yang
tersandung karenanya.”
“Jangan menjengkelkan Allah yang perintah-perintah-Nya
hendak engkau tentang selama empat puluh hari. Dia tak akan menyia-nyiakan
kemurahan-Nya walau untuk kebajikan kecil seperti yang telah engkau lakukan,”
cela si Yahudi.
Kata-kata itu mengobarkan api di dalam dada Abu Hafshin
‘Amr bin Salam al-Haddad, bahkan sedemikian berkobarnya sehingga ia bertaubat
melalui si Yahdi itu.
Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad terus melakukan
usahanya sebagai pandai besi, dan menyembunyikan keajaiban yang telah terjadi
terhadap dirinya itu. Setiap hari ia memperoleh uang satu dinar. Dan setiap
malam pula uang satu dinar itu diberikannya kepada orang-orang miskin, atau
secara sembunyi-sembunyi dimasukannya ke dalam kotak surat di rumah para janda.
Kemudian, bila waktu Isa telah tiba, ia pun pergi mengemis dan dengan uang yang
diperolehnya melalui cara ini ia berbuka puasa. Kadang ia mengumpulkan bawang
atau lainnya sisa-sisa yang terdapat di kamar cuci umum, lalu dijadikannya
sebagai santapannya.
Demikianlah perilaku Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad
untuk beberapa lama. Pada suatu hari seorang buta berjalan di dalam pasar
sambil membaca ayat .”Aku berlindung kepada Allah dari syaithan
yang terkutuk. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka
akan ditunjukan Allah kepada mereka yang tak pernah mereka sangka sebelumnya
........”Ayat ini menyesakkan dada Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad
sehingga ia tak sadarkan diri, Sehingga, ketika itu dipertukangannya, sebagai
ganti jepitan ia masukan tangannya ke dalam tungku perapian untuk mengambil
sepotong besi yang sedang membara. Besi tersebut ia taruh ke atas paron untuk
di palu naka-anak buahnya. Semua anak buah Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad
tersadar, betapa Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad menempa besi panas itu
dengan tangannya sendiri.
“Tuan, apakah yang engkau perbuat ini?.” Seru mereka.
“Pali!.” Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad memberi
perintah.
“Tuan, apakah yang harus kami palu?.” Tanya mereka, “besi
ini telah bersih.”
Barulah Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad sadar.
Dilihatnya abesi yang membara di tangannya dan didengarnya seruan-seruan anak
buahnya : “Besi itu telah bersih. Apakah yang harus kami palu?.” Besi tersebut
dilemparkannya. Bengkel itu segera ditinggalkannya dan siapa pun boleh
mengurusnya.
“Sudah lama sebenarnya aku ingin meninggalkan usaha
tersebut, tapi tak dapat. Akhirnya kejadian in menimpa diriku dan secara paksa
membebaskanku. Betapa pun aku mencoba meninggalkan usaha itu, namun sia-sia.
Akhirnya usaha itu sendiri yang meninggalkan diriku.”
Sesudah itu, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad
menjalani kehidupan dengan disiplin diri yang keras, menyepi dan bermeditasi.
ABU HAFSHIN BIN HADDDAN DAN JUNAID
Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad hendak ke tanah suci
menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak dapat membaca dan berbahasa Arab. Ketika
sampai di kota Baghdad, murid-murid sufi saling berbisik.
“Sangatlah memalukan apabila syiekh dari segala syeikh di
Khurasan masih memerlukan juru bahasa untuk memahami bahasanya sendiri,,”
Junaid menyuruh murid-muridnya untuk menyongsong
kedatngan Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad. Abu Hafshin ‘Amr bin Salam
al-Haddad sendiri menydari apa yang sedang dipikirkan oleh “para sahabat” itu
dan segera ia berbicara dala bahasa Arab sehingga orang-orang baghdad itu kagum
akan kemurnian bahasa Arabnya. Beberpa cendekiawan berkumpul di sekelilingnya
dan bertanya tentang cinta yang menyebabkan seseorang rela mengorbankan diri.
“Engkau lebih pintar berbicara, Jawablah pertanyaan mereka
itu, “Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad berkata kepada Junaid.
“Menurut pendapatku, “ Junaid memulai, “apabila kita
benar-benar mengorbankan diri sendiri, maka kita tidak beranggapan bahwa kita
telah mengorbankan diri dan membanggakan segala perbuatan yang telah kita
lakukan.”
“Hebat sekali,” seru Abu Hafshin ‘Amr bin Salam
al-Haddad. “Tetapi menurut pendapatku, mengorbankan diri sendiri berarti berlaku adil kepada
orang lain dan tidak mengharap agar orang lain berlaku adil kepada diri kita
sendiri.”
“Laksanakan petuah ini, hai sahabat-sahabat,” Junaid
berkata kepada mereka.
“Pelaksanaan yang benar, lebih sulit dari sekedar kata-kata.” Abu Hafshin
‘Amr bin Salam al-Haddad menandaskan.
Ketika mendengar kata-kata Abu Hafshin ‘Amr bin Salam
al-Haddad ini, Junaid berseru kepada sahabat-sahabat :
“Bangkitlah sahabat-sahabat! Di dalam pengorbanan diri
sendiri, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad melebihi Adam beserta anak
cucunya.”
oooOOOooo
Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad menanamkan rasa
hormat dan disiplin ke dalam diri sahabat-sahabtnya. Tak seorang pun di antara
murid-muridnya yang berani duduk di depannya dan menatp matanya. Di depannya
mereka selalu berdiri dan tidak akan duduk sebelum dipersilahkan. Abu Hafshin
‘Amr bin Salam al-Haddad sendiri dduduk ai antara mereka bagaikan seorang
sultan.
Melihat hal Junaid menegurnya : “Engkau mengajar
sahabt-sahabatmu tingkah laku seperti menghadap sultan.”
“Engkau hanya melihat apa yang terlihat, tetapi bukankah
dari alamat surat saja kita dapat menduga apa yang tertulis di dalam nya.”
Jawab Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad.
Setelah itu, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad
melanjutkan : “Surulah sahabat-sahabatmu memasaka kaldu dan halwa.
Junaid lalu menyuruh seorang muridnya memasak kaldu dan
halwa. Setelah selesai, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad berkata :
“Pangilah seorang kuli dan letakkan makanan ini ke atas
kepalanya. Kemudian suruh ia berjalan sambil membawa makanan ini sampai ia
letih dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Di depan rumah siapa pun ia
berhenti suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapa saja yang membuka
pintu, ia berikan saja kaldu dan halwa ini kepadanya.”
Si kuli mematuhi segala perintah ini. Ia pun berjalan
sampai kelelahan dan tak sanggup lagi meneruskan. Makanan-makanan itu
diletakkannya di depan sebuah rumah, kemudian ia memanggil penghuni rumah itu.
Ternyata pemilik rumah itu adalah seorang lelaki yang telah tua, ia menyahut :
“Jika engkau membawa kaldu dan halwa, barulah ku bukakan
pintu.”
“Aku membawa kaldu dan halwa.” Jawab si kuli.
“Masuklah,” lelaki itu mempersilahkan setelah membukakan
pintu.
“Aku sangat heran,” belakangan si kuli mengisahkan
kejadian itu,” Aku bertanya kepada lelaki tua itu, “Apakah yang telah terjadi.?
Bagaimanakah engkau bisa tahu bahwa aku membawa kaldu dan
halwa?.”
Orang tua itu menjawab : “Ketika aku sedang berdoa tadi
malam, teringat olehku bahwa anak-anakku sudah lama meminta kaldu dan halwa
kepadaku. Aku tahu bahwa doaku tadi malam tidaklah percuma,”
oooOOOooo
Ada seorang murid yang senantiasa melayani Abu Hafshin
‘Amr bin Salam al-Haddad dengan sangat takzim. Junaid sering memperhatikan si
murid karena senang melihat sikapnya. Junaid bertanya kepada Abu Hafshin ‘Amr
bin Salam al-Haddad “
“Sudah berapa tahunkah ia berada di bawah bimbinganmu?.”
“Sepuluh tahun,” jawab Abu Hafshin ‘Amr bin Salam
al-Haddad.
“tingkah lakunya tiada tercela dan sikapnya sopan.
Benar-benar seorang pemuda yang mengagumkan,” Junaid memberi penilaian.
“Ya”, jawab Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad. “Sudah
tujuhbelas ribu dinar disumbangkannya untuk tujuan kita ini, kemudian
dipinjamkannya pula tujuh belas ribu dinar untuk keperluan yang sama. Walau
demikian, ia masih belum berani juga mengajukan satu pertanyaan pun kepada
kami,”
oooOOOooo
Kemudian Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad berangkat
mengarungi padang pasir. Inilah pengisahan mengenai pengalamannya di padang
pasir itu :
Di tengah padang pasir itu, aku bertemu dengan Abu Thurab
dan lalu kami berjalan bersama-sama. Sudah enambelas hari aku tak makan ketika
terlihat olehku sebuah teelaga, aku ingin minum dan melangkah ke arah telaga
itu. Tetapi aku berrhenti dan merenung.
“Apakah yang menyebabkan engkau berhenti?.” Abu Thurab
bertanya kepadaku.
“Aku ingin menyaksikan, mana yang akan menang di antara
pengetahuan dengan kepastian, sehingga dapat ku pilih yang menang di antara
keduanya. Jika kemenangan diperoleh oleh pengetahuan, air telaga ini akan ku
minum, tetapi jika kepastian yang menang, aku akan terus berjalan,” jawabku.
“Engkau pasti akan mendapat kemajuan,” Abu Thurab berkata
padaku.
oooOOOooo
Ketika sampai di kota Mekkah, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam
al-Haddad menyaksikan jamaah-jamaah yang miskin dan terlunta-lunta. IA ingin
sekali memberikan sesuatu kepada mereka tetapi tak ada yang dimilikinya dan
oleh karena itu ia sangat gelisah. Kegelisahan ini sedemikian mencekam hatinya
dan ia tak sanggup meredakannya, akhirnya dipungutnya sebuah batu dan ia
berteriak :
“Demi keagungan-Mu, jika Engkau tidak memberikan sesuatu
kepadaku, akan ku hancurkan semua lampu-lampu di dalam masjid itu!.”
Kemudian ia mengelilingi Ka’bah. Taka lama kemudian
datanglah seorang lelaki menghampiri dan memberinya sekantong emas yang
kemudian dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin tersebut.
oooOOOooo
Setelah selesi menunaikan ibadah haji, Abu Hafshin ‘Amr
bin Salam al-Haddad kembali ke Baghdad. Sahabat-sahabat Junaid menyongsong
kedatangannya.
Oleh-oleh apakah yng engkau bawa untuk kami?.” Tanya
junaid kepadanya.
“Yang hendak ku katakan inilah oleh-olehku,” jawab Abu Hafshin ‘Amr bin
Salam al-Haddad. “Mungkin sekali di antara sahabat-sahabat kita ada yang tidak
sanggup menghadapi kehidupan ini seperti yang seharusnya. Jika tingkah lakunya
kepadamu kurang cocok, carilah ke dalam dirimu sebuah alasan untuk
memaafkannya, Lalu maafkanlah kesalahannya itu. Bila debu salah faham tak dapat
dihilangkan karena maaf itu, sedang kau berada di pihak yang benar, cari pula
alasan untuk memaafkannya lalu maafkan perbuatannya itu. Apabila debu salah
faham tetap tak dapat dihilangkan, cari pula alasan alin walau sampai empat
puluh kali. Apabila debu itu tak dapat dihilangkan sedang engkau berada di
pihak yang benar, dan keempatpuluh alasan itu tidak dapat mengimbangi kesalahan
yang telah dilakukannya terhadap dirimu, maka duduklah dan berkatalah kepada dirimu
sendiri : “Betapa keras kepala dan betapa kelam hatimu ini! Betapa kesat
hatimu, betapa buruk kelakuanmu, betapa angkuhnya engkau! Saudaramu telah
mengajukan empat puluh alasan agar kesalahannya dimaafkan, tetapi engkau tidak
dapat menerima alasan-alasan itu dan tetap membenci dia. Aku berlepas tangan
terhadapmu. Engkau tahu apa yang kau inginkan, berbuatlah sekehendakmu!.”
Junaid sangat kagum mendengar kata-kata ini.
“Tetapi siapakah yang mempunyai kekuatan seperti itu?.”
Junaid bertanya kepada dirinya sendiri.
ABU HAFSHIN DAN
SYIBLI
Selama empat bulan Syibli menerima Abu Hafshin ‘Amr bin
Salam al-Haddad sebagai tamu. Setiap hari ia menyajikan aneka macam santapan
dan berbagai panganan kecil.
Ketika pamit, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad berkata
kepada Syibli.
“Jika engkau datang ke Nishapur akan kuajarkan kepadamu
cara menjamu tamu dan kemurahan hati yang sejati.”
“Apakah kesalahan yang telah kulakukan?.” Syibli
bertanya.
“Engkau terlampau merepotkan dirimu. Jamauan yang berlebihan tidaklah sama dengan
kemurahan hati. Engkau harus meladeni tamu seperti meladeni dirimu sendiri. Dengan
demikian kedatangan tamu tidak merupakan beban kepadamu dan kepergiannya tidak
merupakan alasan untuk merasa lega. Jika engkau terus menjamu tamu secara
berlebihan, maka kedatangannya akan engkau anggap sebagai beban dan kepergiannya sebagai kelegaan.
Seorang yang beranggapan demikian terhadap tamu, tak dapat dikatakan bersipat
pemurah.”
Ketika Sybli datang ke Nishapur, ia menginap di rumah Abu
Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad. Semua tamu berjumlah empat puluh orang, dan
sewaktu malam tiba, Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad menyalakan empat puluh
satu buah pelita.
“Bukankah engkau sendiri mengatakan bahwa kita jangan
berlebihan?.” Subli menegus Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad.
“Jika demikian, padamkanlah olehmu lampu-lampu itu.”
Sybli menuruti, tetapi betapa pun ia berusaha hanya satu
lampu yang dapat didpadamkannya.
Syiekh, apakah artinya semua ini?” Syubli bertanya kepada
Abu Hafshin ‘Amr bin Salam al-Haddad.
“Kalian adalah empat puluh utusan Allah, karena seorang
tamu adalah utusan Allah. Jadi wajarlah apabila demi Allah aku menyalakan
sebuah pelita untuk masing-masing di antara kalian dan sebuah untuk diriku
sendiri. Keempat puluh pelita yag ku nyalakan demi Allah itu tidak sanggup
engkau padamkan, tetapi satu pelita yang ku nyalakan untuk diriku sendiri itu
berhasil engkau padamkan. Segala hal yang telah kau lakukan di Baghdad itu
dahulu, engkau lakukan demi diriku, tetapi yang ku lakukan di sini, ku lakukan
demi Allah. Jadi yang kau lakukan dahulu itu merupakan hal yang
berlebih-lebihan tetapi yang ku lakukan ini bukan.”
25. ABUD
QASIM AL-JUNAID
Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz
an-Nihawandi, adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan
dari Sari as-Saqathi. Ia adalah teman akrab al-Muhasibi yang merupakan penyebar
besar aliran “waras” sufisme. Ia telah
mengembangkan sebuah doktrin theosofi yang mempengarahi keseluruhan mistisme
ortodoks Islam. Teorinya yang dijelaskannya kepada tokoh-tokoh semasanya masih
dapat kita temukan hingga saat ini. Ia mninggal pada tahun 198H/910 M di
Baghdad, sebagai ketua dari sebuah aliran yang besar dan berpengaruh luas.
MASA REMAJA
JUNAID AL-BAGHDADI
Sejak kecil Abul Qasim al-Junaid sudah merasakan kegelisahan
spirituaal. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana,
cerdas dan mempunyai intuisi yang tajamm.
Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Abul Qasim
al-Junaid mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terajadi?, tanya Junaid kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi
ia tidak mau menerimanya,” ayahnya menjelaskan. “Aku menangis karena seumur
hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi
ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan
memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya.” Junaid
berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah
Junaid ke rumah pamannya. Sesampainnya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?.” Terdengar sahutan dari dalam.
“Junaid,” jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah
yang sudah menjadi hakmu ini.”
“Aku tidak mau menerimanya,” Sari menyahut.
“Demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan
sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini,”
Junaid berseru.
“Junadi, bagaimanakah Allah telah sedemikian bainya
kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?.” Sari bertanya.
“Allah berbuak baik kepadamu,” Jawab Junaid,” karena
telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena
telah membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau
menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, harus
mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berrhak menerimanya.”
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima
dirimu.”
Sambil berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima
sedekah itu. Untuk Junaid disediakannya tempat yag khusus di dalam lubuk
hatinya.
oooOOOooo
Abul Qasim al-Junaid baru berumur tujuh tahun ketika Sari
membawanya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat
raus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka
mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“Kemukakan pula pendapatmu,” Sari mendorong Junaid. Maka
berkatalah Junaid.
“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah
dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran.”
“Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati.”
Keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi
kesyukuran yang dikemukakan Junaid itulah yang paling tepat.
Sari berkata Junaid.
“Nak, tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia
yang istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu.”
Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar
kata-kata pamannya itu.
“Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?.”
Sari bertanya kepadanya.
“Dengan duduk mendengarkanmu,” jawab Abul Qasim
al-Junaid.
Abul Qasim al-Junaid lalu kembali ke Baghdad dan
berdagang barang pecah belah. Setiap hari ia menurunkan tirai tikoya dan
melakukan shalat sunnat sebanyak empat ratus raka’at. Belakangan hari, usaha
itu ditinggalkannya dan ianng mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari.
Di dalam kamar itulah ia menyibukkan diri untuk menyempurnakan bathinnya. Dan
di situ pula ia membentangkan sajadah ketekunan sehingga tudak sesuatu hal pun
selain Allah yang terpikirkannya.
JUNAID DI UJI
Selama empat puluh tahun Abul Qasim al-Junaid menekuni
kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai shalat Isa ia
berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan
shalat Shubuh tanpa perlu berwudlu lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu,” Abul Qasim al-Junaid
berkisah, “timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku
telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru
kepadaku “ Junaid, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk
pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh : “Ya Allah, dosa apakah
yang dilakukan Junaid?.” Suara itu menjawab : “Apakah engkau hidup untuk
melakukan dosa yang lebih besar daripada itu?.”
Abul Qasim al-Junaid mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apakah manusia belum patutu untuk menemui Tuhannya,”
bisik Abul Qasim al-Junaid, “maka segala amal biaknya adalah dosa semata.”
Abul Qasim al-Junaid lalu terus berdiam di dlam kamarnya
dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjan malam. Tetapi lidah
firnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada
khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita
tak mempunyai bukti,” jawab Khalifah.
Kebetulah sekali khalifah mempunyai seorang hamba
perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu
dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya
itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu
permata yang mahal.
“Pegilah ke tampat Abul Qasim al-Junaid,” khalaifah
memerintahkan hamba perempuannya, “berdirilah di depannya, buka cadar dan
perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dn pakaianmu untuknya. Setelah
itu katakanlah kepada Junaid : “Aku datang kemari agar engkau mau melamar
diriku, sehingga bersamamu aku dapat mengabdikan diri untuk berbakti kepada
Allah. Hatiku tidak berrkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian
perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap
daya upayamu.”
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Abul Qasim
al-Junaid. Si gadis menemui Junaid dan
melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan
kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid. Abul Qasim al-Junaid
membisu dan tak memberi jawaban. Si gadis mengulangi daya upayanya dan Abul
Qasim al-Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!.” Serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si
gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan
menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia
memohonkan ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan
menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya,” khalifah
berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi
Abul Qasim al-Junaid. “Manusia seperti Junaid tidak dapat dipanggil untuk
menghadapnya,” ia berkata.
Setelah bertemu dengan Abul Qasim al-Junaid, khalifah
bertanya :
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan
tubuh gadis yang sedemikian eloknya?.”
“Wahai pangeran kaum Muslimin,” Abul Qasim al-Junaid
menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian
besarnya, sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama
empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah
diterbangkan angin. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau
lakukan sesuatu hal kepada orang lain apabila engkau sendiri tidak
menginginkannya!.”
“Selama tiga puluh tahun aku mengawasi batinku,” Abul
Qasim al-Junaid mengatakan, “Setelah itu selama sepuluh tahun bathinku mengawasi
diriku. Pada saat ini, telah dua puluh tahun lamanya aku tidak mengetahui
sesuatu pun mengenai bathinku dan bathinku tidak mengetahui sesuatu pun
mengenai diriku.”
“Selama tiga tahun,” Abul Qasim al-Junaid melanjutkan,
“Allah telah berkata-kata dengan Junaid melalui lidah Junaid sendiri, sedang
Junaid tidak ada dan orang-orang lain tidak menyadari hal itu.”
JUNAID BERKHOTBAH
Ketika lidah Abul Qasim al-Junaid telah fasih mengucapkan
kata-kata mulia, Sari as-Saqathi mendesak bahwa Junaid berkewajiban untuk
berkhotbah di depan umu. Mula-mula Abul Qasim al-Junaid enggan; ia tidak ingin
melakukan hal itu.
“Apabila guru masih ada, tidaklah pantas bagi si murid
untuk berkhotbah,” Junaid berkilah.
Kemudian pada suatu malam Abul Qasim al-Junaid bermimpi
dan dalam mimpi tersebut ia bertemu dengan Nabi saw.
“Berkhotbahlah!.” Nabi berkata kepadanya.
Keesokan paginya ia hendak pergi mengabarkan hal itu
kepada Sari, tetapi ternyata Sari sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Sebelumnya engkau selalu merasa enggan, dan menantikan
agar orang-orang mendesakmu untuk
berkhotbah. Tetapi mulai saat ini engkau harus berkhotbah karena kata-katamu
dijadikan sebagai alat bagi keselamatan seluruh dunia. Engkau tak mau
berkhotbah ketika dimohonkan murid-muridmu, engkau tak mau ketika diminta oleh
para syiekh di kota Baghdad. Dan engkau tak mau berkhotbah ketika ku desak.
Tetapi kini Nabi, sendirilah yang memberi perintah kepadamu, oleh karena itu
engkau harus mau berkhotbah.”
“Semoga Allah mengampuni diriku,” jawab Abul Qasim
al-Junaid. “Tetapi bagaimanakah engkau bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa
dengan Nabi dalam mimpiku?.”
“Aku bertemu dengan Allah dalam mimpi,” jaab Sari, “dan
Dia berkata kepadaku : “Telah Ku-utus Rasul-Ku untuk menyuruh Junaid berkhotbah
di atas mimbar.”
“Aku mau berkhotbah,” Abul Qasim al-Junaid menyerah,
“Tetapi dengan satu syarat bahwa yang mendengarkan khotbah-khotbahku tidak
lebih dari empat puluh orang.”
Pada suatu hari Abul Qasim al-Junaid berkhotbah. Jumlah
pendengar hanya empat puluh orang. Delapan belas orang di antaranya menemui
ajal, mereka sedang sisanya yang berjumlah dua puluh dua orang jatuh pingsan
dan harus digotong ke rumahnya masing-masing.
Di dalam kesempatan lain Abul Qasim al-Junaid berkhotbah
di dalam masjid besar. Di antara jamaahnya ada seorang pemuda Kristen tetapi
tak seorang pun yang mengetahui bahwa ia beragama Kristen. Si pemuda
menghampiri Abul Qasim al-Junaid dan berkata : “Nabi pernah berkata :
“Berhati-hatilah dengan wawasan seseorang yang beriman karena ia dapat melihat
dengan nur Allah,” Apakah maksudnya?.”
“Yang dimaksudnya adalah,” Abul Qasim al-Junaid menjawab,
“bahwa engkau harus menjadi seorang Muslim dan melepaskan sabuk ke kristenanmu
itu, karena sekarang ini adalah zaman Islam.”
Si pemuda segera memeluk Islam setelah mendengar jawaban
Abul Qasim al-Junaid tersebut.
oooOOOooo
Setelah berkhotbah beberapa kali, orang-orang menentang
Abul Qasim al-Junaid. Junaid menghentikan khotbahnya dan mengurung diri di
dalam kamarnya. Betatapun ia didesak untuk berkhotbah kembali, ia tetap
menolak.
“Aku sudah cukup puas,” jawab Abul Qasim al-Junaid, “Aku
tidak mau ke atas mimbar dan mulai berkhotbah.
“Apakah kebijaksanaan yang terkandung di dalam
perbuatanmu ini?.” Seseorang bertanya kepadanya.”
Abul Qasim al-Junaid menjawab : “Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi
berkata : “Di hari-hari terakhir nanti yang menjadi juru bicara di antara ummat
manusia adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dia lah yang akan berkhotbah
kepada ummat manusia.” Aku menyadari bahwa aku adalah yang terbodoh di antara
ummat manusia dan aku berkhotbah karena kata Nabi itu, aku takkan menentang
kata-katanya itu.”
oooOOOooo
Pada suatu ketika mata Abul Qasim al-Junaid sakit dan
dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke
dalam matamu,” si tabib menasehatkan.
Ketika tabib itu telah pergi, Abul Qasim al-Junaid
bersuci, shalat dan setelah itu pergi tidur. Ketika terbangun ternyata matanya
telah sembuh dan terdengarlah oleh sebuah seruan : “Junaid lbersedia mengorbankan
matanya demi nikmat Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohon
ampunan Kami untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami
kabulkan.
Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Abul
Qasim al-Junaid telah sembuh :
“Apakah yang telah engkau lakukan?.” Ia bertanya.
“Aku bersuci untuk shalat,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu
segera masuk Islam.
“Inilah kesembuhan dari Snag Pencipta, bukan dari
makhluk.-makhluk ciptaan-Nya,” katanya kepada Abul Qasim al-Junaid. “Mataku lah
yang selama ini sakit, bukan matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib,
bukan aku.”
oooOOOooo
Abul Qasim al-Junaid mengisahkan : Pada suatu ketika aku
iengin melihat Iblis. Aku berdiri di pintu masjid dan dari kejauhan terlihatlah
oleh ku seorang tua yang sedang berjalan ke arahku. Begitu aku memandangnya,
rasa ngeri mencekam perasaanku.
“Siapakah engkau ini?.” Aku bertanya kepadanya.
“Yang engkau inginkan,” jawabnya.
“Wahai makhluk yang terkutuk,” aku berseru, “Apakah yang
menyebabkan engkau tidak mau bersujud kepada Adam?.”
“Bagaimanakah pendapatmu Junaid?.” Iblis menjawab,”Jika
aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?.”
Abul Qasim al-Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi
bingung karena jawaban iblis itu.
Dari dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan,
“Katakan, engkau adalah pendusta. Seandainya engaku adalah seorang hamba yang
setia niscaya engkau mentaati perintah-Nya.”
Ketika Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring
“Demi Allah Junaid, engkau telah membinasakan aku!” Dan setelah itu ia pun
hilang.
oooOOOooo
Pada masa sekarang ini semakin sedikit dan sulit
ditemukan saudara-saudara seagama,” seseorang berkata di depan Abul Qasim
al-Junaid.
Abul Qasim al-Junaid membalas, “Jika engkau menghendaki
seseorang untuk memikul bebanmu, maka orang-orang seperti itu memang sulit dan
sedikit dijumpai. Tetapi jika engkau menghendaki seseorang untuk ikut memikul
bebannya, maka orang seperti itu banyak sekali pdaku.”
oooOOOooo
Bila Abul Qasim al-Junaid berkhotbah mengenai keesaan
Allah, ia sering membahasnya dari sudut-sudut pandangan yang berbeda, sehingga
tak seorang pun dapat memahaminya. Pada suatu hari Syibli yang berada di antara
pendengar-pendengar mengucapkan : “Allah, Allah!.”.
Mendengar ucapan itu Abul Qasim al-Junaid berkata :
“Apabila Allah itu tidak ada, maka menyebutkan sesuatu yang tidak ada adalah
suatu pertanda dari ketiadaan, dan ketiadaan adalah sesuatu hal yang
diharamkan. Apabila Allah itu ada, maka menyebut nama-Nya sambil merenungi-Nya
sebagai ada adalah suatu pertanda tidak menghargai.”
oooOOOooo
Seseorang membawa uang lima ratus dinar dan memberikan
uang itu kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Adakah yang masih engkau miliki selain daripada ini?.”
Abul Qasim al-Junaid bertanya kepadanya.
“Ya, banyak!.” Jawab orang itu.
“Apakah engkau masih ingin mempunyai uang yang lebih
banyak lagi?.”
“Ya.”
“Kalau begitu ambillah uang ini kembli, engkau lebih
berhak untuk memilikinya. Aku tidak memiliki sesuatu pun tapi aku tak
menginginkan sesuatu pun.”
oooOOOooo
Ketika Abul Qasim al-Junaid sedang berkhotbah, salah
seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis.
“Orang ini cukup sehat,” Abul Qasim al-Junaid berkata di
dalam hati. “Ia dapat mencari nafkah. Tetapi mengapa ia mengemis dan
menghinakan dirinya seperti ini?.”
Malam itu Abul Qasim al-Junaid bermimpi, di depannya
tersaji makanan yang tertutup tudung.
“Makanlah!.” Sebuah suara memerintah Abul Qasim
al-Junaid.
Ketika Abul Qasim al-Junaid mengangkat tudung itu,
terlihatlah olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.
“Aku tidak mau memakan daging manusia.” Abul Qasim
al-Junaid menolak.
“Tetapi bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika
berada di dalam masjid?.”
“Abul Qasim al-Junaid segera menyedari bahwa ia bersalah
karena telah berbuat fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku tersentak dalam keadaan takut,” Abul Qasim al-Junaid
mengisahkan. “Aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua raka’at.
Setelah itu aku pergi ke luar mencari si pengemis. Kudapatkan ia sedang berada
di tepi sungi Tigris. Ia sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ
dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah olehnya aku yang
sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku : : Abul Qasim al-Junaid,
sudahkah engkau bertaubat karena telah berprasangka buruk terhadapku?.” Sudah,”
jawab ku, “Jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah Yang menerima taubat
hamba-hamba-Ny. Dan jagalah pikiranmu.”
oooOOOooo
“Au telh mendpat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus
dari seorang tukang cukur, “Abul Qasim al-Junaid merenungi dan setelah itu ia
pun berkisah sebagai berikut :
Suatu ketika sewaktu aku berada di Mekkah, kulihat
seorang tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Aku berkata kepadanya
: “Jika karena Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?.”
“Aku bersedia,” jawab si tukang cukur. Ia segera
menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada langganannya itu : “Berdirilah,
apabila nama Allah diucapkan, hal-hal yang lain harus ditunda.
Ia menyuruhku duduk,. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya
rambutku. Setelah selesai ai memeberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi
beberapa keping mata uang.
“Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu,” katanya
kepadaku.
Aku pun lalu bertekad bahwa hadiah yang pertama sekali ku
peroleh sejak saat itu akan kuserahkan kepada si tukang cukur tersebut.
Oleh sejak saat itu aku menerima sekantong uang emas dari
Bashrah. Uang ini kuberikan kepada tukang cukur itu.
“Apakah ini?” ia bertanya kepadaku.
“Aku telah bertekad,” aku menjelaskan. “hadiah yang
pertama sekali kuperoleh akan kuberikan kepadamu. Uang itu baru saja kuterima.”
Tetapi si tukang cukur menjawab :
“Tidakkah engkau malu kepada Allah?” Engkau telah
mengatakan kepadaku : “Demi Allah, cukurlah rambutku,” tetapi kemudian engkau
memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan
sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?.”
oooOOOooo
Seorang pencuri telah dihukum gantung di kota Baghdad.
Ab. “ul Qasim al-Junaid datang dan mencium kakinya.
“Mengapa engkau berbuat demikian?.” Orang–orang bertanya kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Semoga seribu belas kasih Allah dilimpahkan-Nya
kepadanya,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
“Semoga seribu belas kasih Allah dilimpahkan-Nya
kepadanya,” jawab Abul Qasim al-Junaid. “Ia tlah membuktikan bahwa dirinya
setia di dalam usahanya. Sedemikian sempurna ia melakukan pekerjaannya sehingga
utnuk itu direlakannya hidupnya.”
oooOOOooo
Pada suatu malam seorang pencuri menyusup masuk ke rumah
dan masuk ke kamar Abul Qasim al-Junaid. Tak sesuatu pun yang ditemukannya
kecuali sehelai pakaian. Pakaian itu diambilnya, seteelah itu ia pergi
meninggalkan rumah Abul Qasim al-Junaid. Keesokan harinya ketika Abul Qasim
al-Junaid sedang berjalan-jalan di pasar, dilihatnya pakaiannya itu di tangan
seorang pedagang perantara yang sedang menawarkan kepada seorang pembeli.
Calon pembeli itu berkata :
“Sebelum kubeli pakaian ini aku meminta seseorang yang
ssanggup memberi kesaksian bahwa pakaian itu memang kepunyaanmu.”
“Akulah yang akan memberi kesaksian bahwa pakaian itu
adalah miliknya.” Abul Qasim al-Junaid berkata sambil menghampiri mereka.
Maka pakaian itu pun terkjuallah.
oooOOOooo
Seorang perempuan tua datang menghadap Abul Qasim
al-Junaid dan bermohon, “Puteraku pergi entah ke mana doa kanlah agar ia kembali.”
“Bersabarlah,” Abul Qasim al-Junaid menasehati perempuan
tua itu.
Dengan sabar perempuan tua itu menanti beberapa hari
lamanya. Kemudian ia kembali kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Bersabarlah,” Abul Qasim al-Junaid mengulangi
nasehatnya.
Kejadian seperti ini telah beberapa kali berulang.
Akhirnya wanita tua itu datang dan berkata lantang, “Aku sudah tak dapat
bersabar lebih lama lagi. Doakanlah kepada Allah.”
Abul Qasim al-Junaid menjawab : “Jika engkau berkata
dengan sebenarnya, puteramu tentu telah kembali. Allah berkata : Dialah yang akan
menjawab orang yang berduka apabila orang itu menyeru kepada-Nya.”
Setelah itu Abul Qasim al-Junaid berdoa kepda Allah.
Ketika perempuan sampai di rumahnya ternyata anaknya telah berada di sana.
oooOOOooo
Seorang murid mengira bahwa dirinya telah mencapai
derajat kesempurnaan.
“Oleh karena itu lebih baik aku menyendiri,” ia berkta
dalam hatinya.
Maka pergilah ia mengasingkan diri di suatu tempat dan
untuk beberapa lamanya berdiam di sana. Setiap malam beberapa orang yang
membawa seekor unta datang kepadanya dan berkata : “Kami akan mengatarmu ke
surga,” Maka naiklah ia ke atas punggung unta. Itu dan mereka pun berangkat ke
suatu tempat yang indah dan nyaman, penuh dengan manusia-,anusia gagah dan
tampan, di mana banyak terdapat mekanan-makanan lezat dan anak-anak sungai. DI
tempat itu ia tinggal hingga fajar, kemudian ia jatuh tertidur dan ketika
terjaga ternyata ia berada di kamarnya sendiri kembali. Karena pengalaman ini,
ia menjadi bangga dan angkuh.
“Setiap malam aku diantarkan ke surga,” ia membanggakan
dirinya.
Kata-katanya ini terdengar oleh Abul Qasim al-Junaid.
Abul Qasim al-Junaid segera bangkit dan datang ke tampat di mana ia mendapatkan
muridnya itu sedang berlagak dengan sangat angkuhnya. Abul Qasim al-Junaid
bertanya apakah yang telah dialaminya dan si murid mengisahkan seluruh
pengalamannya ini kepada syeikh.
“Malam nanti apabila engkau diantarkan ke sana,” Abul
Qasim al-Junaid berkata kepada muridnya itu, “ucapkanlah : “Tiada kekuasaan dan
kekuatan kecuali pada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar.”
Malam itu, seperti baisanya si murid diantarkan pula ke
tempat tersebut. Dalam hatinya ia tidak yakin terhadap perkataan syeikh Abul
Qasim al-Junaid, tetapi ketika sampai di tempat itu, sekedar sebagai percobaan
ia mengucapkan : Tiada kekuasaan dan kekuatan..........”.
Sesaat itu pula orang-orang yang berada di tempat itu
meraung-raung dan melarikan diri. Kemudian terlihatlah olehnya bahwa tempat itu
hanyalah tempat pembuangan sampah sedang dihadapannya berserakan tulang-tulang
binatang. Setelah menyadari kekeliruannya itu, si murid bertaubat dan bergabung
denganm murid-murid Abul Qasim al-Junaid yag lain. Tahulah ia bahwa menyendiri
bagi seorang murid adalah bagaikan racun yang mematikan.
oooOOOooo
Salah seorag murid Abul Qasim al-Junaid menyendiri di
sebuah tempat yang terpencil di kota Bashrah. Suatu malam, sebuah pikiran buruk
terlints di dalam hatiny. Ketika ia memandang ke dalam cermin terlihatlah
olehnya betapa wajahnya telah berubah hitam. Ia sangat terperanjat. Segala daya
uapaya dilakukan untuk membersihakan wajahnya, tetapi sia-sia. Sedemikian
malunya dia sehingga tidak berani menunjukan mukanya kepada siapa pun. Setelah
tiga hari berlalu, barulah kehitaman wajahnya kembali normal sedekit demi
sedikit.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Siapakah itu,” ia bertanya.
“Aku datang untuk mengantar surat dari Abul Qasim
al-Junaid,” sebuah sahutan dari luar.
Si Murid membuka surat Abul Qasim al-Junaid.
“Mengapa tidak engkau jaga tingkah lakumu di hadapan Yang
Maha Besar. Telah tiga hari tiga malam aku bekerja sebagai seorang tukang celup
untuk memutihkan kembali wajahmu yang hitam itu.”
oooOOOooo
Sutu hari, salah seorang murid Abul Qasim al-Junaid
melakukan suatu kesalahan kecil. Karena malu ia melarikan diri dan tidak mau
pulag. Beberapa hari kemudian, ketika berjalan-jalan dengan sahabt-sahabat di
dalam pasar, tiba-tiba terlihatlah oleh Abul Qasim al-Junaid muridnya itu. Si
murid lari karena malu.
“Seekor burung kita terlepas dari sangkar,” Abul Qasim
al-Junaid berseru kepada sahabt-sahabatnya dan mengejar si murid.
Ketika menoleh ke belakang, si murid melihat bahwaa
Syeikh membuntutinya. Mak ia pun mempercepat larinya. Akhirnya ia bertemu jalan
buntu, karena malu ia tetap menghadapkan mukanya ke tembok. Tak lama kemudian
si syeikh telah berada di tempat itu.
“Hendak ke manakah engkau guru?,” si murid bertnya kepada
Abul Qasim al-Junaid.
“Apabila seseorang membentur dinding, seorang syeikh
dapat membeikan bantuannya,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Murid itu dibawanya pulang ke Tekkia. Sesampainya di sana
si murid menjatuhkan dirinya di depan kaki san g guru dan memohon ampun kepada
Allah. Semua yang yang menyaksikan pemandangan ini tergugah hatinya, banyak di
antara mereka yang ikut bertaubat.
oooOOOooo
Syeikh Abul Qasim al-Junaid mempunyai seorang murid yang
dicintainya melebihi muridnya yang lain. Murid-murid lain merasa iri, hal ini
disadari oleh syeikh melalui intuisi mistiknya.
“Sesungguhnya ia melebihi kalian di dalam tingkah laku
dan tingkat pemahamannya,” Abul Qasim al-Junaid menjelaskan kepada mereka.
“Begitulah menurut pendapatku. Tetapi mari kita membuat sebuah percobaab agar
kalian semua menyadari hal itu.”
Kemudian Abul Qasim al-Junaid memerintahkan agar dua
puluh ekor burung dibawakan kepadanya.
“Ambil burung-burung ini oleh kalian, seekor seorang,”
Abul Qasim al-Junaid berkata kepada murid-muridnya. “Bawalah burung itu ke
suatu tempat yang tak terlihat oleh siapa pun juga, kemudian bunuhlah. Setelah
itu bawalah kembali ke sini.
Setiap murid pergi dengan membawa seekor burung, membunuh
burung itu dan membawa bangkainya kembali, kecuali murid kesayangan Abul Qasim
al-Junaid itu. Ia pulang dengan membawa seekor burung yang masih hidup.
“Mengapa tak kau bunuh burungmu itu?.” Abul Qasim
al-Junaid bertanya kepadanya.
“Karena guru mengatakan hal itu harus dilakukan di suatu
tempa yang tidak dapat dilihat oleh siapapun juga,” jawab si murid. “Dan ke
mana pun aku pergi, Allah senantiasa menyaksikannya.”
“Kalian saksikanlah tingkat pemahamannya!.” Abul Qasim
al-Junaid berkata kepada seluruh muridnya. “Bandingkanlah dengan yang
lain-lainnya.”
Semua murid Abul Qasim al-Junaid segera mohon ampunan
Allah.
oooOOOooo
Abul Qasim al-Junaid mempunyai delapan orang murid
istimewa yang melaksanakan setiap buah pikirannya. Pada suatu har, terpikirkan
oleh mereka bahwa mereka harus terjun ke perang suci. Keesokan paginya Abul
Qasim al-Junaid menyuruh pelayannya mempersiapkan perlengkapan perang. Beserta
ke delapan murid tersebut ia lalu berangkat ke medan perang.
Ketika kedua belah pihak yang bertempur saling
berhadapan, tampillah seorang satria perkasa dari pasukan kafir itu, lantas
dibinasakannya ke delapan murid Abul Qasim al-Junaid.
“Aku menengadah ke langit,” Abul Qasim al-Junaid
mengisahkan, “dan di sana terlihat olehku sembilan buah usungan. Roh
masing-masing dari ke delapan muridku yang syahid itu di angkat ke sebuah
usungan; jadi masih ada stu usungan yang kosong. “Usungan yang masih kosong itu
tentulah untukku,” aku berpikir dan karena itu aku pun mencebur kembali ke
dalam kancah pertempuran. Tetapi satria perkasa yang telah membunuh ke delapan
sahabatku itu tampil dan berkata : “Abul Qasim al-Junaid, usungan yang ke
sembilan itu adalah untuk ku. Kembalilah ke Baghdad dan jadilah seorang syeikh
untuk kaum Muslimin. Dan bawalah aku ke dalam Islam.”
“Maka jadilah ia
seorng Muslim. Dengan pedang yang telah digunakannya untuk membunuh ke delapan
muridku itu ia pun berbalik membunuh orang-orang kafir dalam jumlah yang sama.
Kemudian ia sendiri terbunuh sebagai seorang syuhada. Rohnya.” Abul Qasim
al-Junaid mengakhiri kisahnya. “ditaruh ke atas usungan yang masih kosong tadi.
Kemudian kesembilan usungan itu menghilang tidak terlihat lagi.”
oooOOOooo
Seorang sayyid bernama Nairi, sedang melakukan perjalanan
ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Baghdad ia pun
pergi mengunjungi Abul Qasim al-Junaid.
“Dari manakah engkau datang sayyid?.” Abul Qasim
al-Junaid bertnya setelah menjawab salam.
“Aku datang dari Ghilan,” jawab sangn sayyid..
“Keturunan siapakah engkau?.” Tanya Abul Qasim al-Junaid.
“Aku adalah keturunan ‘Ali, pangeran kaum Muslimin,
semoga Allah memberkatinya.” Jawabnya.
“Nenek moyang mu itu bersenjatakan dua bilah pedang,”
ujar Abul Qasim al-Junaid. “Yang satu untuk melawwan orang-orang kafir dan yang
lainnya untuk melawan dirinya sendiri. Pada saat ini, sebagai puteranya, pedang
manakah yang engkau gunakan?.”
Sang sayyid menangis sedih mendengar kata-kata ini. Di
rebahkannya dirinya di depan Abul Qasim al-Junaid dan berkatalah ia :
“Guru, di sinilah ibdah hajiku. Tunjukanlah kepadaku
jalan menuju Allah.”
“Dadamu adalah tempt bernaung Allah. Usahakanlah sedaya
upayamu agar tidak ada yang cemar memasuki tempat bernaung-Nya itu.”
“Hanya itulah yang ingin ku ketahui,” si sayyid berkata.
JUNAID MENINGGAL DUNIA
Keika ajalnya sudah dekat, Abul Qasim al-Junaid menyuruh
sahabt-sahabtnya untuk membentangkan meja da mempersiapkan makanan.
“Aku ingin menghembuskan nafasku yang terakhir ketika
sahabat-sahabatku sedang menyantap seporsi sop.” Abul Qasim al-Junaid berkata.
Kesakitan petama menyerang dirinya.
“Berilah aku air utuk bersuci,” ia meminta kepada
sahabt-sahabatnya.
Tanpa disengaja mereka lupa membersihkan sela-sela jari
tangannya. Atas permintaan Abul Qasim al-Junaid sendiri kekhilafan ini mereka
perbaiki. Kemudian Abul Qasim al-Junaid bersujud sambil menangis.
“Wahai ketua kami,” murid-muridnya menegurnya. “dengan
semua pengabdian dan kepatuhanmu kepada Allah seperti yang telah engkau
lakukan, mengapakah engkau bersujud pada saat-saat seperti ini?.”
“Tidak pernah aku merasa perlu bersujud daripada
saat-saat ini,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Kemudian Abul Qasim al-Junaid membaca ayat-ayat al-Qur’an
tanpa henti-hentinya.
“Dan engkaupun membaca al-Qur’an?.” Salah seorang
muridnya bertanya.
“Siapakah yang lebih berhak daripadaku membaca al-Qur’an,
karena aku tahu bahwa sebentar lagi catatan kehidupanku akan di gulung dan akan
kulihat pengabdian dan kepatuhanku selama tujuh puluh tahun tergantung di
angkasa pada sehelai benang. Kemudian angin bertiuap dan mengayunkan ke sana ke
mari, hingga aku tak tahu, apakah angin itu akan memisahkan atau
mempertemukanku dengan-Nya. Di sebelahku akan membentang sebing pemisah surga
dan neraka, dan di sebelah yang lain malaikat maut. Hakim yang adil akan
menantikanku di sana, teguh tak tergoyahkan di dalam keadilan yang sempurna.
Sebuah jaan telah terbentang di hadapanku dan aku tak tahu kemana aku hendak
dibawa.”
Setelah tamat dengan a;-Qur’an yang dibacanya,
dilanjutkannya pula tujuh puluh ayat dari surat al-Baqarah.
Kesakitan ke dua menyerang Abul Qasim al-Junaid.
“Sebutlah nama Allah,” sahabat-sahabatnya membisikkan.
“Aku tidak lupa,” jawab Abul Qasim al-Junaid. Tangannya
meraih tasbih dan keempat jarinya kaku mencengkeram tasbih itu, sehingga salah
seorang muridnya harus melepaskannya.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang,” Abul Qasim al-Junaid berseru, kemudian menutup matanya dan
sampailah ajalnya.
Ketika jenazahnya dimandikan, salah seorang yang ikut
memandikannya bermasud membasuh matanya. Tetapi sebuah suara dari langit
mencegah : “Lepaskan tanganmu dari mata sahabat-Ku. Matanya tertutup bersama
nama-Ku dan tidak akan dibukakan kembali kecuali ketika dia menghadap-Ku
nanti,” kemudian ia hendak membuka jari-jari Junaid untuk dibasuhnya. Sekali
lagi terdengar suara mencegah : “Jari-jari yang telah kaku bersama nama-Ku
tidak akan dibukakan kecuali melalui perintah-Ku.”
Ketika jenazah Abul Qasim al-Junaid diusung, seekor
burung dara berbulu putih hinggap di sudut petimatinya. Percuma saja para sahabat
mencoba mengusir burung itu. Karena ia tak mau pergi. Akhirnya burung itu
berekata :
“Jaganlah kalian menyussahkan diri kalian sendiri dan
menyusahkan aku. Cakar-cakarku telah tertancap di sudut peti mati ini oleh paku
cinta. Itulah sebabnya aku hinggap di sini. Janganlah kalian bersusah payah.
Sejak saat itu jazadnya dirawat oleh para malaikat. Jika bukan karena kegaduhan
yang kalian buat, niscaya jazad Abul Qasim al-Junaid telah terbang ke angkasa
sebgai seekor elang putih bersama-sama dengan kami.”
26. ‘AMR
BIN ‘UTSSMAN
Abu Abdullah ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy, salah seorang
murid Junaid, mengunjungi Isfahan dan meninggal dunia di kota Baghdad pada tahun 291 H/ 904 M. Atau
pada tahun 297H/910 M.
‘AMR BIN ‘UTSMAN
AL-MAKKIY DAN KITAB RAHASIA
Suatu hari ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menterjemahkan
Kitab Rahasia di atas sehelai kertas.Kertas tersebut ditaruhnya di bawah
sajadahnya. Ketika ia pergi bersuci, saat itu ia dengar ada kegaduhan, lalu ia
menyuruh seorang hamba untuk mengambil kertas tesebut. Si hamba membalik
sajadah itu, ternyata kertaas tersebut telah hilang. Hal ini segera
dismpaikannya kepada tuannya.
“Buku itu telah hilang dicuri orang.” ‘Amr bin ‘Utsman
al-Makkiy berkata. Kemudian aia menambahkan. “Orang mencuri Kitab Rahasia itu
niscaya dalam waktu dekat ini akan dipotong kaki dan tangannya. Ia akan
dimasukan ke dalam kurungan, kemudian dibakar dan abunya akan diterbangkan
angin. Pada saat ini pastilah ia telah sampai ke tempat Rahasia itu.”
Sesungguhnya inilah yang tertulis di dalam Kitab Rahasia
itu : Ketika roh ditiupkan ke dalam tubuh Adam, Allah memereintahkan kepada
semua malaikat untuk bersujud kepadanya. Semuanya bersujud ke atas tanah.
Tetapi Iblis berkata : “Aku tidak mau bersujud. Akan kupertaruhkan hidupku, dan
akan kulihat rahasia manusia itu walaupun karena itu aku akan dikutuk, disebut
ingkar, berdosa dan munafik.”
Iblis tidak besujud. Oleh karena itulah ia dapat melihat
dan mengetahui rahasia manusia, dan hanya manusia sajalah yang mengetahui
rahasia Iblis. Jadi Iblis dapat mengetahui rahasia manusia karen ia tidak mau
bersujud dan karena tak bersujud iatulah ia memegang sebuah rahasia. Semua
makhluk membenci Iblis karena rahasia mereka telha dilihatnya.
“Kami telah menguburkan rahasia itu dai dalam tanah,”
mereka berkata. “Syarat untuk mendapatkan rahasia ini adalah seseorang yang
melihatnya akan dipenggal kepalanya agar rahasia ini tidak dibocorkannya.”
“Di dalam hal ini, berilah aku kelonggaran,” si Iblis
berseru, “Janganlah kalian membunuhku. Sesungguhnya aku telah mengetahui
rahasia itu. Rahasia itu diperlihatkan kepadaku sewaktu mataku ini awas.”
Pedang Aku Tak Perduli berkumandang :
“Engkau adalah di antara orang-orang yang diberi
kelonggaran. Kami beri engkau kelonggaran, tetapi Kami membuat
manusia waspada terhadapmu. Jadi walau engkau tidak Kami binasakan, engkau akan
dicurigai dan di cap sebagai pendusta, dan tak seorang pun yang akan
menganggapmu sebagai pemuka kebenaran. Mereka akan bekata : “Ia adalah sebangsa jin dan telah mengingkari perintah
Allah.”
Ia adalah syaithan. Betapakah ia akan mengatakan
kebenaran? Oleh karena itulah ia dilaknat, ditolak, ditinggalkan dan di
abaikan.
Demikianlah terjemahan Kitab Rahasia oleh ‘Amr bin
‘Utsman al-Makkiy.
‘AMM BIN ‘UTSMAN MENGENAI CINTA
Di dalam kitab mengenai Cinta, ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy
menyatakan sebagaiberikut : “Allh Yang Maha besar menciptakan hari, tujuh puluh
ribu tahun sebelum sukma, dan hati itu dimasukkan-Nya ke dalam Taman
Shilaturrahmi. Dia menciptakan rahasia, tujuh puluh ribu tahun sebelum hati,
dan rahasia ini dimasukkan-Nya ke derajat keesaan.
Setiap hari Allah memperlihatkan tiga ratus enam pulluh
kali karunia dan memperdengarkan tiga ratus enam puluh kata cinta kepada sukma.
Setiap hari diperlihatkan-Nya tiga ratus enam puluh kali keindahan kepada rahasia.
Maka mereka dapat melihat segala sesuatu di dalam dunia
ini. Dan mereka menyangka bahwa tiada sesuatu pun yang lebih berharga daripada
mereka. Kesombongan dan keangkuhan terwujud di dalam diri mereka.
Oleh karena itu, Allah menguji mereka. Disembunyikan-Nya
rahasia di dalam sukma dan disembunyikan-Nya sukma di dalam hati. Kemudian
disembunyikan-Nya hati di dalam jasmani. Kemudian diberi-Nya akal kepada
mereka.
Allah mengutus para Nabi dengan perintah-perintah-Nya.
Dan setiap orang di antara mereka berusaha mencari tempatnya masing-masing.
Allah memerintahkan agar mereka shalat, maka jasmani pun melakukan shalat, hati
mencapai cinta, sukma menjadi lebih dekat kepada-Nya dan rahasia berpadu dengan
keesaan.
“AMR BIN UTSMAN BERKIRIM SURAT KEPADA JUNAID
Ketika berada di Mekkah, ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy
menulis surat kepada Junaid, Jurairi dan Syibli di negeri Irak. Beginilah bunyi
suratnya :
“Ketahuilah oleh kalian, wahai tokoh-tokoh terkemuka dan
ketua-ketu di negeri Irak, bahw kalian harus mengatakan kepada setiap orang
yang ingin berkunjung ke negeri Hijaz dan menyaksikan keindahan Ka’bah, Engkau tidak
sampai ke sana kecuali dengan semangat yang gundah. Dan katakan
kepada setiap orang yang menginginkan permadani kehampiran-Nya dan istana
keagungan-Nya, Engkau tidak akan sampai ke sana kecuali dengan sukma yang
gunda.”
Di akhir surat itu ‘Amr bin ‘Utsman
al-Makkiy menulis, “Inilah pesan dari ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy dan
ketua-ketua negeri Hijaz yang senantiasa bersama Dia, di dalam Dia, dan karena
Dia. Jika salah seorang di antara kamu mempunyai cita-cita yang luhur, maka
katakanlah, kepadanya : Ambillah jalan ini di mana terdapat dua ribu gunung
berapi yang menggelegar dan dua ribu samudra yang penuh badai dan mara bahaya.
Jika engkau tidak sanggup, maka jangalah berlagak palsu, karena berlagak palsu
tidak sesuatu pun dapat engkau peroleh.”
Seelah menerima surat itu, Junaid memanggil ketua-ketua
negeri Irak untuk berkumpul. Kemudian setelah membacakan surat itu kepada
mereka, Junaid bertanya :
“Apakah yang dimaksud dengan gunung-gunung di dalam surat
ini?.”
“Yang dimaksud dengan gunung-gunung tersebut adalah
ketiadaan,” jawab mereka, “Sebelum manusia seribu kali ditiadakan dan seribu
kali dihidupkan kembali, ia tidak akan dapat mencapai istana keagungan.”
“Dan apa pula yang dimaksud di antara dua ribu gunung
berapi it baru satu sajalah yang pernah ku daki,” kata Junaid.
“Engkau cukup beruntung karena tel melalui salah satu di
antara gunung-gunung itu,” Jurairi berkata, “Hingga saat ini baru tiga langkah
yag aku tempuh.”
Syibli menangis terisak-isak, kemudian berkata :
“Engkau beruntung
Junaid, karena telah melalui sebuha gunung. Dan Engkau pun beruntung
Jurairi, karena telah menempuh tiga langkah. Hingga saat ini aku belum melihat
debu-debunya baik dari kejauhan sekalipun.”
27. ABU
SA’ID AL-KHARRAZ
Abu Sa’id Ahmad
bin Isa al-Kharraz dari Baghdad adala seorang tukang sepatu, ia telah berjumpa
dengan Dzun Nun al- Mishri, dan bersahabat dengan Bisyr al-Hafi dan Sari as.
Saqathu. Dialah yag dianggap telah merumuskan doktrin mistik mengenai kelepasan
(dari sipat-sipat manusiawi) dan kelanjutan (Di dalam sipat-sipat Ilahi). Banyak
buku-buku yang telah ditulisnya dan sebagian di antaranya masih dapat
diketemukan pada saat ini. Tanggal kematiannya belum dapat dipastikan, mungkin
sekali antara tahun 279H/892 M dan 286H/899 M.
AJARAN ABU SA’ID
AL-KHARRAZ
Abu Sa’id
al-Kharraz dijuluki sebagai “Lidah sufisme”. Dia mendapat julukan
demikian karena tidak seorang pun di dalam masyarakat sufi ini yang dapat
menerangkan kebenaran mistik seperti dia. Dia telah mengarang empat ratus buah
buku dengan tema disasosiasi dan kekokohan dari segala macam pengaruh. Dan
sesungguhnya dia aalah seorang tokoh yang sulit di cari tandingannya.
Abu Sa’id
al-Kharraz berasal dari Baghdad, pernah bertemu dengan Dzun Nun, dan
bersahabat baik dengna Bisyr dan Sari as-Saqathi. Dialah tokoh sufi yang
pertama sekali mengemukakan teori “Kelepasan” dan “Kelanjutan” dalam pengertian
mistik dan memadarkan keseluruhan doktrinnya ke dalam kedua buah istilah ini.
Theolog-theolog tertentu penganut eksoterik tiak setuju dengan ajaran-ajarannya
yang pelik tersebut, dan menuduhnya telah berbuat fitnah karena ucapan-ucapan
tertentu yang mereka jumpai di dalam karya-karyanya. Terutamasekali mereka
mengecam “Kitab Rahasianya”, Khususnya satu bagian buku itu yang tidak dapat
mereka pahami sebagaimana yang seharusnya. Di dalam bagian itulah Abu Sa’id
mengatakan.
“Seorang hamba Allah yang telah kembali kepada Allah,
mentautkan dirinya kepada Allah, dan berada di dekat Allah, maka ia sama sekali
lupa kepada dirinya sendiri dan segala sesuatu kecuali Allah, sehingga apabila
engkau bertanya kepadanya, apa yang dicarinya maka tak sesuatu pun jawaban yang
diucapkannya kecuali “Allah,”Allah.”.
Bagian lain di dalam karya-karya Abu Sa’id al-Kharraz yang sering dikecam adalah
pernyataannya berikut ini ,
“Jika kepada salah seorang di antara tokoh-tokoh mistik
ini ditanyakan, “Apakah yang engkau kehendaki,” maka jaabnya “Allah” jika di
dalam keadaan seperti ini setiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata, maka
semuanya akan mengatakan “Allah”, “Allah,” Karena setiap anggota dan
sendi-sendi tubuhnya telah bermandikan nur Allah sehingga ia pun hanyut ke
dalam Allah. Begitu dekat ia kepada Allah sehingga tak seorang pun dapat mengatakan
‘Allah’ di depannya. Karena segala sesuatu yang bergerak dari realitas kepada
realitas dan dari Allah kepada Allah. Karena bagi manusia kebanyakan tidak
sesuatu jua pun berasal dari Allah, maka bagaimanakah mereka dapat mengucapkan
“Allah”. Di sinilah semua akal dari manusia-manusia yang berpikir berakhir di
dalam ketakjuban.”
oooOOOooo
Abu Sa’id
al-Kharraz pernah pula berkata :
“Kepada semua
manusia diberi pilihan, berada jauh atau dekat kepada Allah. Aku sendiri
memilih berada jauh dari Allah, karena aku tidak kuat menanggungkan beban
kehampiran itu. Secara sama, Lukman pernah berkata : “Kepadaku diberi pilihan,
kebijaksanaan atau kesanggupan untuk melihat kejadian di masa mendatang. Aku
memilih kebijaksanaan karena aku tidak kuat menanggungkan beban dari
kesanggupan melihat ke masa depan itu.”
oooOOOooo
Abu Sa’id
al-Kharraz mengisahkan mimpi-mimpi yang berikut ini :
Pada suatu ketika aku bermipi dua malaikat turun dari
langit dan bertanya kepadaku : “Apakah kesetiann itu?.” Aku pun menjawab, “Memenuhi
perjanjian dengan Allah.” Jawabanmu benar.” Malaikat-malaikat itu berkata dan
keduanya terbang lagi ke atas langit.
Kemudian aku bermimpi bertemu dengan Nabi, Ia bertanya
kepadaku : “Apakah engkau mencintaiku kepada Allah, membuat aku tak sempat mencintaimu,”
Kemudian Nabi berkata : “Barangsiapa mencintai Allah sesungguhnya ia
mencintaiku pula.”
oooOOOooo
Dalam sebuah mimpi yang lain aku bertemu dengan Iblis.
Aku mengambil sebuah tongkat untuk memukulnya. Tetapi di sat itu juga terdengar
olehku seruan dari langit : “Ia tidak takut kepada tongkat itu, yang
ditakutinya adalah cahaya di dalam hatimu.” Kemudian aku berkata kepada Iblis :
“Kemarilah!”. Si Iblis menjawab : “Apalah dayaku terhadapmu? Engkau telah
mencampakkan sesuatu yang dapat ku gunakan untuk menyesatkan manusia.” Apakah
itu?”, tanyaku. “Dunia”, jawabnya. Kemudian ketika meninggalkan ku, ia menoleh
ke belakang dan berkata : “Ada suatu hal kecil di dalam diri manusia yag dapat ku
gunakan untuk mencapai tujuanku, “Apakah itu?, aku bertanya. “Duduk bersama
dengan para remaja,” jawab Iblis.
Ketika berada di Damaskus, sekali lagi aku bertemu dengan
Nabi di dlam mimpi. Sambil di topang oleh Abu Bakar dan ‘Umar, Nabi
menghampiriku. Ketika itu aku sedang meneyenandungkan sebait syair sambil
menepuk-nepuk dada. Nabi berkata akepadaku : “Keburukannya lebih besar dari
kebaikannya.” Yang dimaksudnya adalah bahwa seseorang jangan suka bersyair.
oooOOOooo
Abu Sa’id
al-Kharraz mempunyai dua orang putera. Salah seorang nya telah meninggal
dunia. Pada suatu malam Abu Sa’id
al-Kharraz bermimpi bertemu dengan puteranya yang telah meninggal dunia
itu.
“Nak, apakah yang telah dilakukan Allah terhadapmu?.” Abu
Sa’id al-Kharraz bertanya.
“Dia membawaku ke hadirat-Nya dan banyak memberi
kebahagiaan kepadaku.” Jawab puteranya.
“Nal, berilah aku petuah,” Abu Sa’id al-Kharraz memohon kepada anaknya.
Puteranya menjawab : “Ayah, janganlah berpikiran suram
mengenai Allah.”
“Lanjutkanlah!,” minta Abu Sa’id al-Kharraz.
“Ayah, jika ku katakan niscaya engkau tidak akan sanggup
melaksanakannya.”
“Aku bermohon kepada Allah untuk menguatkan diriku,”
jawab Abu Sa’id al-Kharraz.
“Ayah, jangan biarkan sehelai benang pun memisahkanmu
dari Allah.”
Diriwayatkan bahwa selama tiga puluh tahun sejak ia
bermimpi itu hingga wafatnya Abu Sa’id
al-Kharraz tidak pernah melupakan mimpinya itu.
28. ABUl
HUSIN AN-NURI
Abul Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri, lahir di Baghdad
dan keluarganya berasal dari Khurasan. Ia adalah murid Sari as-Saqathi dan
sahabt karib al-Junaid. Sebagaia seorang tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad
ia telah mengubah berbagai syair mistis yang indah. Ia meninggal pada tahun
295H/908 M/
DISIPLIN DIRI
ABDUL HUSAIN AN-NURI
Abul Husain Ahmad an-Nuri melakukan disiplin diri seperti
yag dilakukan oleh Al-Juaid. Ia dijuluki Nuri (Manusia yang memperoleh cahaya)
karena setiap kali ia berbicara di suatu ruangan pada malam yang gelap, dari
mulutnya keluar cahaya sehingga seluruh ruangan tersebut menjadi terang. Alasan
lain mengapa ia dijuluki demikian adalah
karena ia menjelaskan rahasia-rahasia
yang paling pelik dengan cahaya intuisi. Tetapi versi yang ketiga
mengatakan bahwa ia mempunyai sebuah
tempat menyepi di tengah padang pasir, di mana ia biasa shalat di sepanjang
malam dan apabila ia berada di tempat itu, orang-orang dapat menyaksikan cahaya
yang memancar dari tempat tersebut.
Pada awal kehidupan mistiknya, setiap hari ia keluar
rumah pagi-apgi sekali dan pergi ke tokoya untuk mengambil beberapa potong roti
uantuk dibagi-bagikannya sebagai sedekah. Setelah itu barulah ia pergi ke
masjid untuk shalat Shubuh dan tetap di situ sampai tengah hari. Kemudian ia
baru pergi ke tokonya. Orang-orang di rumah menyangka bahwa ia telah makan di
toko dan orang-orang di toko menyangka bahwa ia telah makan di rumah. Yang
demikian dilakukannya secara terus menerus selama dua puluh tahun tanpa seorang
pun yang mengetahui perihal yang sesungguhnya.
Mengenai dirinya sendiri, Abul Husain Ahmad an-Nuri
berkisah sebagai berikut :
Bertahun-tahun aku berjuang, mengekang diri dan
meninggalkan pergaulan ramai. Betapapun aku telah berusaha keras, namun jalan
belum terbuka bagiku.
“Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku.”
Aku berkata di dalam hati. “Jika tidak, biarlah aku mati terlepas dari hawa
nafsu ini.”
“Wahai jasmaniku,” aku berkata. “Bertahun-tahun sudah
engkau menuruti hawa nafsumu sendiri, makan, melihat, mendengar,
berjalan-jalan, mengambil, tidur, bersenang-senang dan memuaskan hasratmu. Sungguh,
semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuk lah ke dalam penjara, akan ku
belenggu dirimu dan kukalungkan kepada lehermu segala kewajiban kepada Allah.
Jika engkau sanggup bertahan dalam keadaan seperti itu, engkau pasti meraih
kebahagiaan. Tapi jika kau tak sanggup
maka setidaknya engkau akan mati di atas jalan Allah.”
Maka, berjalanlah aku di atas jalan Allah. Pernah ku
dengar bahwa hati para mistik merupakan alat yang ama t awas danmengetahui
rahasia segala sesuatu yang terlihat dan terdengar oleh mereka. Karena aku
sendiri tak memiliki hati yang seperti itu, maka aku pun berkata kepada diriku
sendiri : “Ucapan-ucapan
para Nabi dan manusa-manusia suci adalah benar. Mungkin sekali aku
telah bersikap munafik dalam usahaku selama ini, dan kegagalanku ini adalah
karena kesalahanku sendiri. Di sini tak ada tempat untuk berbeda pendapat.
Sekarang aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga aku benar-benar
mengenalnya.”
Maka, aku merenungi diriku sendiri. Ternyata kesalahanku
adalah bahwa hati dan hawa nafsuku bersatu. Bila hati dan hawa nafsu berpadu, celakalah! Karena jika
ada sesuatu yang menyinari hati, maka hawa nafsu akan menyerap sebagian
daripadanya. Sadarlah aku bahwa hal inilah yang menjadi sumber
dilemma yang ku hadapi selama ini. Segala sesuatu yang datang dari hadirat
Allah ke dalam hatiku, sebagian diserap oleh hawa nafsuku.
Sejak saat itu, segala perbuatan yang diperkenankan oleh
hawa nafsuku tidak ku lakukan. Yang aku lakukan adalah hal-hal lain yang tak
disukainya. Misalnya, apabila hawa nafsuku berkenan jika aku Shalat, berpuasa,
bersedekah, menyepi atau bergaul dengan sahabt-sahabatku, maka aku melakukan
hal yang sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa nafsuku dapat
ku buang dan rahasia-rahasia mistik mulai terbuka di dalam diriku.
“Siapakah engkau,” aku bertanya..
“Aku adalah mutiara dari Lubuk Tanpa Hasyrat.” Terdengar
jawaban. “Katakan kepada murid-muridmu, lubukku adalah Lubuk Tanpa Hasyrat dan
mutiaraku adalah Mutiara dari Lubuk Tanpa maksud.”
Keudian aku turun ke sungai Tigris dan berdiri di antara
dua buah biduk.
“Aku tidak akan beranjak dari tempat ini,” aku berkata.
“sebelum ikan terjerat ke dalam jalaku.”
Akhirnya masuklah seekor ikan ke dalam jalaku. Ketika ku
angkat jalaku itu, akupun berseru : “Alhamdulillah, perjuanganku telah
berhasil.”
Aku menunjungi Junaid dan berkata kepadanya : “Sebuah
karunia telah dilimpahkan kepdaku.”
“Abul Husain Ahmad an-Nuri, junaid menjawab, “Jika yang
terjerat oleh jalamu itu adalah seekor ular, bukan seekor ikan, itulah pertanda
sebuah karunia. Karena engkau sendiri telah campur tangan. Hal itu hanyalah
sebuah tipuan, bukan sebuah karunia. Tanda dari suatu karunia adalah bahwa engkau sama sekali
tidak ada di sana lagi.”
NURI DI DEPAN KHALIFAH
Ketika Ghulam Khalil menyatakan perang terhadap para
sufi, ia pergi menghadap khlaifah dan mencela mereka.
“Orang-orang telah menyaksikan beberapa kelompok sufi berdendang-dendang,
menari-nari dan menghujjah Allah. Sepanjang hari mereka berjalan hilir mudik,
dan di malam hari mereka bersembunyi di dalam kuburan-kuburan di bawah tanah,
dan berkhotbah. Sufi-sufi ini adalah manusia-manusia bid’ah. Seandainya
pangeran kaum Muslimin bersedia mengeluarkan perintah agar sufi- \sufi ini
dibunuh, niscaya doktrin bid’ah akan musnah, karena sesungguhnya mereka itulah
pemimpin-pemimmpin para bid’ah. Jika hal ini dilakukan oleh pangeran kaum Muslimin,
aku jamin bahwa ia akan memperoleh pahala yang berlimpah.”
Khalifah segera memerintahkan agar Abul Hamzah, Raqqam,
Syibli, Nuri dan Junaid dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berkumpul,
khalifah memerintahkan agar mereka dibunuh. Algojo mula-mula hendak memancung
Raqqam tetapi nuri meloncat, menerjang maju dan berdiri menggantikan Raqqam.
“Bunuhlah aku yang sedang tertawa-tawa bahagia ini
terlebih dahulu,” kata Nuri.
“Belum tiba giliranmu.” Jawab si algojo, “ sebuah pedang
bukanlah sebuah senjata yang harus dipergunakan secara tergesa-gesa.”
“Janalnku ini berdasarkan kecintaan,” Nuri menjelaskan,
“Aku lebih mencintai sahabatku daripada diriku sendiri. Yang paling berharga di
atas dunia ini adalah kehidupan. Aku ingin memberikan beberapa saat kehidupan
kepada Saudara-saudaraku ini, karena
itulah aku ingin mengorbankan hidupku
sendiri, walau aku berpendapat bahwa sesaat di atas dunia dalah jau
lebih berharga daripada seribu tahun di akhirat. Dunia ini adalah tempat
berbakti di akhirat adalah tempat ygn dekat kepada Allah, sedang untuk
menghampiri-Nya harus berbakti kepada-Nya.”
Ucapan-ucapa Nuri ini disampaikan kepada khalifah yang
menjadi sangat kagum karena ketulusan dan kejujuran Nuri itu. Maka
diperintahkannya agar hukuman itu ditangguhkan dan persoalan mereka diserahkan
kepada qadhi.
“Mereka tak dapat dintuntut tanpa bukti-bukti,” si qdhi
menjelaskan. Sesungguhnya si qadhi telah mendengarkan khotbah-khotbah Nuri dan
mengetahui keahlian Nuri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Maka berpalinglah
ia kepada Syibli. “Akan ku tanyakan orang gila ini mengenai sesuatu bidang yang
tidak akan sanggup dijawabnya,” ia berkata di alam hati.
“Berapakah yang dizakatkan seseorang bila ia memiliki
uang dua puluh dinar?.” Si qadhi bertanya kepada Sybli.
“Dua puluh setengah dinar,” jawab Sybli.
“Siapakah yangmenetapkan zakat yang sebesar itu?.” Si
qadhi menanya.
“Abu Bakar yang agung,” Jawab Sybli, “Ia memberikan semua
yang dimilikinya sebanyak empat puluh ribu dinar sebagai zakat.” Jawab Sybli.
“Ya, tetapi mengapakah engkau tadi menambahkan setengah
dinar?.
“Sebagai denda.” Jawab Sybli, “Ia telah menyimpan uang
dua puluh dinar dan oleh karena itu ia harus membayar setengah dinar sebagai
dendanya.”
Kemudian si qadhi berpaling kepada Nuri dan
mempertanyakan sebuah masalah hukum. Nuri segera memberi sebuah jawaban yang
membuat si qadhi bingung, Nuri memberi penjelasan.
“Qadhi, engkau telah mengajukan semua pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi tak
satu pun di antaranya yang penting. Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba
yang berdiri karena Dia, yang berjalan dan beristirahat karena Dia, yang hidup
karena Dia dan berdiam diri merenungi-Nya. Apabila sesaat saja mereka berhenti
merenungi-Nya nisaya binasalah mereka. Melalui Dia mereka tidur, melalui Dia
mereka makan, melalui Dia mereka menerima, berjalan, melihat, mendengar dan
melalui Dia mereka ada. Inilah ilmu yang sesungguhnya, bukan yang engkau
pertanyakan itu.”
Si qadhi terbungkan ak dapat berkata apa-apa. Kemudian ia
mengirim surat kepada khalifah.
“Jika orang-orang seperti mereka ini dianggap sebagai
orang yang tiada bertuhan dan bid’ah, maka keputusanku adalah bahwa seluruh
dunia ini tiada seorang pun yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa.”
Khalifah memerintahkan agar tahanan-tahanan itu di bawa
ke hadapannya.
“Adakah sesuatu hal yang kalian inginkan?.” Khalifah
bertanya kepada mereka.
“Ada” mereka menjawab. “Kami ingin agar engkau melupaka
kami. Kami ingin agar engkau tidak memuliakan kami dengan restumu dan tidak
mengusir kami dengan murkamu, karena bagi kami, kemurkaanmu itu sma dengan
restumu, dan restumu itu sama dengan kemurkaanmu.”
Khalifah menangis dengan hati yang tersayat dan
membebaskan mereka dengan segala hormat.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI NURI
Pada suatu hari
melihat seseorang yang sedang shalat sambil memutar-mutar kumisnya.
“Janganlah engkau sentuh kumis Allah,” Nuri
menghardiknya.
Seruan itu dilaporkan orang kepada Khalifah. Ahli-ahli
hukum sudah sepakat bahwa ucapan seperti itu, berarti Nuri telah tergelincir ke
dalam kekafiran. Oleh karena itu, Nuri dihadapkan kepada khalifah.
“Benarkah engkau telah mengucapkan kata-kata seperti
itu?.” Tanya khalifah.
“Benar,” jawab Nuri.
“Mengapa engkau berkata demikian?.” Tanya khalifah lagi.
“Siapakah yang memilik hamba Allah?.” Nuri balik bertanya
kepada khalifah.
“Allah,” jawab khalifah.
“Siapakah yang memiliki kumis hamba-Nya itu?,” Nuri
melanjutkan.
“Dia yang memiliki si hamba,” jaab khalifah.
Di kemudian hari khalifah berkata : “Aku bersyukur kepada
Allah karena Dia telah mencegahku untuk membinasakan Nuri.”
“Di kejauhan yang tak terlihat, nampaklah oleh ku sebuah
cahaya,” Nuri berkata, “aku tersu menatapnya hingga aku sendirilah yang menjadi
cahaya itu.”
oooOOOooo
Pada suatu hari Junaid mengujungi
Abul Husain Ahmad an-Nuri. Sesampainya di rumah Abul Husain Ahmad an-Nuri, Abul
Husain Ahmad an-Nuri menyambut kedatangannya denga merebahkan diri di depan Junaid. Kemudian
Nuri mengeluh karena ia telah diperlakukan secara tidak adil.
“Perjuanganmu semakin berat, sedangkan engkau sudah kehabisan tenaga. Selama
tiga puluh tahun ini. apabila Dia ada, maka akupun tiada, dan apabila aku ada,
maka Dia pun tiada. Ada-Nya adalah tiadaku. Semua permohonan-permohonanku
dijawab-Nya dengan ‘Aku sajalah yang ada, atau engkau saja.”
Junaid berkata kepaa
sahabt-sahabatnya : “Saksikanlah oleh kalian seorang manusia yang telah
mengalami percobaan yang semakin beratnya dan telah bingung dibau Allah.”.
Kemudian Junaid berpaling kepda Nuri
dan berkata :
“Memang begitulah seharusnya. Dia tertutup oleh engkau.
Apabila Dia terlihat melalui engkau meka engkau menjadi tiada dan segala yang
ada adalah Dia.
oooOOOooo
Beberapa sahabt mengunjungi Junaid
dan berkata : “Telah beberpa hari ini, baik siang maupun malam, dengan membawa
sebuah batu di tangannya Abul Husain Ahmad an-Nuri berjalan hilir mudik sambil
berteriak-teriak : “Allah, Allah,” Dan selama itu ia tidak makan, tidak minum
dan tidak tidur tetapi ia tetap melakukan shalat tepat pada waktunya dan pernah
melalaikannya.”
Kemudian mereka berkata :
“Ia masih waras dan belum beralih ke
dalam keadaan lupa diri. Hal ini terbukti karena ia masih ingat kapan harus
melakukan shalat dan masih dapat melakukannya. Itulah tanda bahwa ia masih
sadar dan belum lupa diri. Seseorang yang telah lupa diri takkan sadar akan
sesuatu pun.”
“Bukan demikian halnya,” Junaid
menjawab, “Semuanya yang kalian katakan itu tidak benar. Sesungguhnya
manusia-manusia yang memuji-muji Allah, mereka akan dipelihara , dan di jaga
Allah agar mereka tidak lalai beribadah kepada-Nya, apabila tiba saatnya bagi
mereka untuk beribadah.
Junaid kemudian pergi mengunjungi
Nuri.
“Abul Husain” ia berkata kepada Abul Husain Ahmad an-Nuri,
“Jika engkau memang tahu bahwa dengan berteriak-teriak itu Allah berkenan kepadamu, katakanlah
kepadaku agar aku akan berteriak-teriak pula. Jika engkau memang tahu bahwa
kepuasan bersama Dia adalah lebih baik, maka pergilah menyepi sehingga bathinmu
memperoleh damai.”
Abul Husain Ahmad an-Nuri segera
menghentikan teriak-teriakannya itu. “engkau memang seorang guru sejati,”
katanya kepada Junaid.
oooOOOooo
Sybli sedang berkhotbah ketika Abul
Husain Ahmad an-Nuri masuk dan berdiri di sisinya.
“Sejahteralah engkau wahai Abu
Bakar!.” Abul Husain Ahmad an-Nuri mengucap salam kepada Sibli.
“Semoga engkau pun memperoleh
sejahtera, wahai pangeran di antara manusia-manusia yang murah hati,” Sibli
membalas salamnya.
Abul Husain Ahmad an-Nuri berkata :
“Allah Yang Maha Besar tidak senang terhadap seorang berilmu yang mengajarkan
ilmunya sedan ia sendiri tidak melaksanakannya. Jika engkau melaksanakan hal-hal
yang engkau ajarkan ini tetapi di atas mimbar itu, Jika tidak, turunlah.”
Sybli merenung. Ternyata ia sendiri
tidak melaksanakan hal-hal yang dikhotbahkannya itu. Oleh karena itu ia pun
turun dari atas mimbar itu. Selama empat bulan ia mengunci diri dan tak pernah
keluar dari rumahnya. Kemudian dengan berbondong-bondong orang mendatangi
Sybli, membawa dan menyruhnya berbicara di atas mimbar. Hal ini terdengar oleh
Abul Husain Ahmad an-Nuri dan ia pun segera ke tempat itu.
“Abu Bakar,” Nuri berseru kepada
Sybli. “Engkau menyembunyikan kebenaran dari mereka, jadi wajarlah apabila
mereka menyuruhmu berbicara di atas mimbar. Aku sendiri dengan setulus hati
telah mencoba manasehati mereka tetapi mereka mengusirku dengan lontaran batu
dan melemparkanku ke termpat sampah.”
“Wahai pangeran di antara
manusia-manusia yang murah hati. Apakah naseehat yang hendak kau sampaikan itu
dan apakah kebenaran yang aku sembunyikan itu?.” Sybli bertanya kepada Nuri.
“Nasehatku,” Abul Husain Ahmad
an-Nuri menjawab, “biarkanlah manusia pergi kepada Tuhannya. Rahasia yang
engkau sembunyikan adalah bahwa engkau menjaid sebuah tirai yang memishkan
Allah dari manusia. Siapakah engkau ini sebenarnya sehingga engkau menjadi
penengah di antara Allah dengan ummat manusia sedangkan menurut pandanganku
engkau belum patut dimuliakan seperti itu?.”
oooOOOooo
Abul Husain Ahmad an-Nuri duduk
bersama seseorang. Keduanya menangis tersedu-sedu. Ketika orang itu telah
pergi, Abul Husain Ahmad an-Nuri berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan
bertanya :
“Tahukah kalian siapakah orang
tadi?.”
“Tidak,” jawab mereka.
“Dia itu Iblis,” Abul Husain Ahmad
an-Nuri menjelaskan kepada sahabt-sahabtnya. “Tadi ia mengisahkan
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan riwayat hidupnya, kemudian ia
meratapi kedukaan hatinya karena telah berpisah dari Allah. Seperti yang telah
kalian saksikan si Iblis menangis dan aku pun turu menangis beserta dia.”
oooOOOooo
Ja;far al-Khuldi berkisah, Abul
Husain Ahmad an-Nuri sedang berdoa di suatu tempat yang terpencil. Aku dapat
mendengar apa-apa yang diucapkannya.
“Ya Allah,” Abul Husain Ahmad
an-Nuri berkata di dalam doanya, “Engkau menghukum penghuni-penghuni neraka.
Semua mereka adalah ciptaanMu, melalui ke MahatahuanMu, KemahakuasaanMu dan
Kehendak Mu, sejak sedia kala. Jika
Engkau memang menghendaki manusia ke dalam neraka, Engkaulah yang berkuasa
untuk melemparkan mereka ke dalam neraka dan mengantarkan mereka ke dalam
surga.”
Aku takjub mendengar kata-kata itu.
Kemudian pada suatu malam aku bermimpi.
Dalam mimpi ituseseorang datang menjumpai ku dan berkata :
“Allah memerintahkan : “Katakanlah
kepada Abul Husain, sesungguhnya Aku telah memuliakan dan menaruh belas kepada
mu karena doamu itu.”
oooOOOooo
Abul Husain Ahmad an-Nuri
meriwayatkan, pada suatu malam ketika kulihat tidak seorang pun yang berada di
sekita Ka’bah aku pun berjalan mengelilingi. Setiap kali melalui Hajarul Aswad
aku melakukan shalat dan beroda :
“Ya Allah, berikanlah kepadaku suatu
kehidupan dan suatu sipat yang kekal.”
Kemudian pada suatu hari terdengarlah
olehku sebuah suara dari dalam Ka’bah :
“Abul Husain, apakah engkau hendak
menyamai-Ku? Aku tidak berubah dari sipat-Ku tetapi aku membuat hamba-hamba Ku
bergerak dan berubah. Hal itu Ku laukan agar Ketuhanan menjadi jelas berbeda
dari penghambaan. Hanya Aku sajalah yang kekal di dalam satu sipat sedang sipat
manusia senantiasa berubah.”
oooOOOooo
Sybli meriwayatkan : Aku pergi mengunjungi Abul Husain Ahmad an-Nuri. Aku
dapati ia sedang bermeditasi dan tak sehelai rambutnya pun yang bergerak.
“Dari siapakah engaku belajar meditasi yang seperti ini?,” aku bertanya
kepadanya.
“Dari seekor kucing yang duduk di lobang tikus,” jawab Abul Husain Ahmad
an-Nuri. Binatang itu malah lebih tenang daripada aku.”
oooOOOooo
Pada suatu malam penduduk Qadisiyah
gempar mendengar berita :
“Seorang sahabat Allah terkurung di
Lembah Singa. Selamatkanlah dia!.”
Semua orang bergegas ke Lembah
Singa. Di sana mereka menemui Nuri sedang duduk di pinggir lobang kuburan yang
telah di galinya sendiri, sedang singa-singa duduk mengurung dirinya.
Orang-orang menyelamatkan Nuri dan membawanya kembali. Sesampainya di Wadisiyah
mereka bertanya kepadanya apakah sebenarnya yang telah terjadi.
“Setelah beberapa lama aku
berpuasa,” Nuri mengisahkan. “Ketika aku berjalan di padang psir itu
terlihatlah olehku sebuah pohon kurma. Aku ingin sekali mencicipi buah kurma
yang segar itu. Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri : “Ternyata masih
ada hasrat di dalam hatimu. Akan kumasuki Lembah Singa ini agar engaku
dicabik-cabiknya sehingga engkau tidak bisa menginginka kurma lagi.”
oooOOOooo
Nuri mengisahkan, suatu hari ketika
aku sedang mandi di sebuah telaga, seorang pencuri melarikan pakaianku. Belum
sempat aku keluar dari telaga itu, si pencuri telah kembali untuk menyerahkan
pakaian itu kepadaku lagi. Ternyata tangannya terkena sampar. Aku berseru : “Ya
Allah, karena ia telah mengembalikan pakaianku, maka sembuhkan pulalah
tangannya!.”
Sesaat itu juga tanganya sembuh.
oooOOOooo
Pasar budak di kota Baghdad terbakar
dan banyak orang yang terbakar hidup-hidup. Di dalam sebuah toko, dua orang
budak yahudi yang tampan terkurung api.
Pemilik budak itu berteriak-teriak :
“Siapa saja yang dapat menyelamatkan mereka, akan kuberi seribu keping dinar
emas.”
Tetapi tak seorang pun berani
mencoba menyelamatkan budak-budak itu. Pada saat itu muncullah Nuri dan
terlihat olehnya kedua budak yang masih muda itu berteriak-teriak meminta
tolong.
Sambil mengucap “Dengan nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” Nuri mencebur ke dalam lautan api itu
dan menyelamatkan keduanya. Kemudian pemilik budak-budak itu hendak memberi
seribu dinar emas seperti yang telah dijanjikannya, kepada Nuri.
“Simpanlah ems-emasmu itu,” Nuri
menolak,” Berterimakasih lah kepada Allah. Sesungguhnya kemuliaan yang telah
diberikan kepadaku ini adalah karena aku tidak mau menerima emas dan menukar
akhirat dengan dunia.”
oooOOOooo
Pada suatu hari ada seorang buta
mengeluh : “Ya Allah, Ya Allah.” Nuri lalu menghampiri orang buta itu dan
berkata :
“Apakah yang engkau ketahui tentang
Allah? Seandainya pun engkau telah mengenal-Nya mengapakah engkau masih
hidup?.”
Setelah berkata demikian kesadaran
Nuri hilang dan dadanya dipenuhi oleh
hasrat mistis. Maka berjalanlah ia menuju padang pasir melalui padang
alang-alang yang baru ditebas sehingga aku dan tubuhnya penuh luka. Daai setiap
tetes darahnya yang tertumpah ke atas tanah terdengar suara : Ya Allah, Ya
Allah.”
Abu Nasr bin Sarraj mengatakan
ketika orang-orang membawa Nuri pulang dari padang alang-alang itu mereka
berkata kepadanya : “Katakanlah, tiada Tuhan selain Allah.”
Nuri menjawab : “Aku justru sedang
menuju kepada-Nya,”
Dan tidak lama kemudian ia pun
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
29. ABU
‘UTSMAN AL-HIRI
Abul ‘Utsman Sa’id bin Ismail al-Hiri an-Nisaburi berasal
dari Rayy dimana ia berkenalan dengan Yahya bin Mu’adz ar-Razi dan Syah bin
Syuja’ al-Kirmani. Kemudian ia pindah ke Nishapur, di sana ia sangat
terpengaruh oleh Abu Hafshin al-Haddad. Ia pernah mengunjungi Junaid di
Baghdad. Ia meningal tahun 298H/911 M di Nishapur.
PENDIDIKAN ABU
‘UTSMAN AL-HIRI
Sejak kecil hatiku telah mencari-cari realitas,” Abu
‘Utsman al-Hiri meriwayatkan. “Aku agak enggan kepada penganut-penganut agama
yang formal, dan aku merasa yakin bahwa di samping hal-hal yang diyakini oleh
orang banyak masih ada perwujudann-perwujudan lahiriah jalan hidup Islam yang
mengandung berbagai rahasia.”
Suatu hari Abu ‘Utsman al-Hiri berangkat ke sekolah. Ia
ditemani oleh empat orang hamba yang masing-masing berasal dari Ethiopia. Yunani, Kasmir dan Turki. Abu ‘Utsman al-Hiri menjinjing sebuah kotak
pena yang terbuat dai emas, mengenakan sorban yang terbuat dari kain halus dan
berjubah sutera. Di tengah perjalanan ia melewati sebuah rumah persinggahan tua
yang tiada berpenghuni lagi. Abu ‘Utsman al-Hiri mengintip ke dalam dan
terlihatlah olehnya seekor keledai dengan luka-luka di punggungnya. Seekor
burung gagak sedang mematuki luka-luka itu dan si keledai tiada berdaya
mengusirnya. Menyaksikan hal ini Abu ‘Utsman al-Hiri merasa kasihan.
“Untuk apakah engkau menyertai aku?.” Abu ‘Utsman al-Hiri
bertanya kepada salah seorang hambanya.
“Untuk menolongmu memecahkan setiap persoalan yang engkau
hadapi,” si hamba menjawab.
Abu ‘Utsman al-Hiri segera melepaskan jubah suteranya dan
menyelimuti keledai itu, kemudian ia membalut luka-luka di punggung binatang
itu dengan sorbannya. Tanpa mengeluarkan suara, keledai itu memohon kepada
Allah Yang Maha Besar agar memberkahi Abu ‘Utsman al-Hiri. Sebelum Abu ‘Utsman
al-Hiri sampai di rumah, ia dihadapkan dengan sebuah pengalaman spiritual yang
hanya dialami oleh manusia-manusia sejati.
Seperti seorang yang sangat bingung, ia mendapatkan
dirinya di antara orang-orang yang sedang mendengarkan khotbah Yahya bin Muadz.
Kata-kata Yahya bin Muadz membuka sebuah pintu di dalam hatinya. Kemudian Abu
‘Utsman al-Hiri meninggalkan rumah kedua orag tuanya dan untuk beberapa lamanya
mengikuti Yahya sambil mempelajari disiplin para Sufi. Demikianlah yang
dilakukan Abu ‘Utsman al-Hiri, sehingga pada suatu hari tibalah rombongan yang
baru berkunjung kepada Syah bin Syuja’
al-Kirmani dan menyampaikan kisah-kisah mengenai manusia suci itu. Kisah-kisah
ini membuat Abu ‘Utsman al-Hiri ingin sekali berkunjung kepada Syah bin Syuja’.
Setelah direstui oleh pembimbing spiritualnya, berangkatlah ia ke Kirman untuk
mengabdi kepada Syah bin Syuja’, tetapi Syah bin Syuja’ tidak mau menerimanya.
“Dirimu penuh dengan keinginan” Syah bin Syuja’ berkata
kepada Abu ‘Utsman al-Hiri. “Tempat Yahya adalah keinginan. Kemajuan spiritual
tidak akan terdapat di dalam diri seorang yang dibesarkan di dalam keinginan.
Kesetiaan buta kepada keinginan menimbulkan kemalasan. Bagi Yahya sendiri,
keinginan itu adalah peniruan semata.”
Dengan segala kerendahan hati Abu ‘Utsman al-Hiri
bermohon kepada Syah bin Syuja’, Dua puluh hari lamanya ia menanti di depan
pintu rumah Syah bin Syuja’, akhirnya si syeikh terpaksa menerimanya. Demikianlah Abu ‘Utsman al-Hiri menjadi murid Syah bin
Syuja’ dan banyak memperoleh manfaat dari ajaran-ajarannya, sampai ketika Abu
‘Utsman al-Hiri menyertainya ke Nishapur untuk mengunjungi Abu Hafshin. Pada
waktu itu Syah bin Syuja’ mengenakan jubah pendek. Abu Hafshin menyongsong kdatangannya dan memuji-mujinya.
Abu ‘Utsman al-Hiri ingin sekali menjadi murid Abu
Ahfshin, tetapi karena hormatnya kepada Syah bin Syuja’ ia merasa segan
menyampaikan hasratnya itu. Lagi pula Syah bin Syuja’ seorang guru yang sangat
cinta kepada murid-muridnya. Maka Abu ‘Utsman al-Hiri bermohon kepada Alalh
supaya dibukakan jalan untuk dapat tinggal bersama Abu Hafshin tanpa
mengecilkan hati Syah bin Syuja’. Abu ‘Utsman al-Hiri mengetahui bahwa Abu
Hafshin adalah seorang manusia yang banyak memperoleh kemajuan spiritual.
Ketika Syah bin
Syuja’ merasa telah tiba saatnya bagi mereka untuk kembali ke Kirman, ia
menyuruh Abu ‘Utsman al-Hiri mempersiapkan perbekalan mereka. Kemudian pada
suatu hari, dengan sangat ramah Abu Hafshin berkata kepada Syah bin Syuja’. :
“Biarkanlah anak muda ini bersamaku karena aku sengat
senang kepadanya.
Syah bin Syuja’ berpaling kepada Abu ‘Utsman al-Hiri dan
menasehatkan : “Taatilah perrintah-perintah syeikh!.”
Setelah itu berangkatlah ia tanpa Abu ‘Utsman al-Hiri.
Ditinggalkannya Abu ‘Utsman al-Hiri untuk memulia kehidupan baru.
oooOOOooo
Abu ‘Utsman al-Hiri mengisahkan : “Usiaku masih muda
ketika Abu Hafshin membebeaskanku dari asuhannya. “Aku tak ingin engkau berada di dekatku lagi,” Abu
Hafshin bekata kepdaku. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku tak berani
membelakangi Abu Hafshin. Maka dengan air mata bercucuran aku beringsut mundur
dari hdapannya. Kemudian di hadapn rumah Abu Hafshin aku bangun sebuah tempat
kediaman dan kubuat sebuah lobang dari mana aku dapat melihat Abu Hafshin. Aku
bertekad tidak akan meninggalkan tempat itu kecuali syeikh sendiri yang
memerintahkan demikian. Ketika Syeikh mengetahui tempatku itu dan melihat
keadaanku yang sangat menyedihkan, ia lalu memanggilku dan memberkahiku dengan
menikahkan puterinya kepadaku.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI ABU ‘UTSMAN
Abu ‘Utsman al-Hiri berkata : Selama empat puluh tahun,
betapa pun keadaan yang ditakdirkan Allah kepadaku, tak pernah ku sesali, dan
betapaun ia merubah keadaanku, tak pernah membuatku marah.”
Kisah berikut ini merupakan bukti kebenaran kata-kata Abu
‘Utsman al-Hiri di atas. Seseorang yang tidak mempercayai kata-kata Abu ‘Utsman
al-Hiri mengirimkan sebuah undangan kepdanya. Undnagan itu diterima oleh Abu
‘Utsman al-Hiri, maka ia pun pergilah ke rumah orang itu. Tetapi sesampainya di
sana orang itu berteriak kepadanya : “Wahai manusia rakus! Di sini tidak ada
makanan untukmu. Pulang sajalah!.”
Abu ‘Utsman al-Hiri beranjak meninggalkan tempat itu
tetapi belum jauh ia melangakah orang tadi berteriak memanggilnya : “Syeikh,
kemarilah!.”
Abu ‘Utsman al-Hiri berbalik tetapi orang itu terus
menggodanya : “Engkau sangat rakus. Tidak pernah merasa cukup. Pergilah dari
sini!.”
Si Syeikh pun pergi meninggalkan tempat itu. Orang itu
memanggilnya lagi dan Abu ‘Utsman al-Hiri pun menghampirinya pula.
“Makanlah batu atau pulang sajalah!.”
Sekali lagi Abu ‘Utsman al-Hiri beranjak pergi. Tiga
puluh kali orang itu memanggil dan mengusirnya, dan tiga puluh kali pula syeikh
Abu ‘Utsman al-Hiri datan dan pergi tanpa sedikit pun menunjukkan kejengkelan
hatinya. Akhirnya orang itu berlutut di depan Abu ‘Utsman al-Hiri, dengan air
mata bercucuran ia meminta maaf kepadanya. Dan sejak itu ia menjadi murid Abu
‘Utsman al-Hiri.
“engkau benar-benar manusia yang sangat kokoh!.” Katanya
kepada Abu ‘Utsman al-Hiri. “Tiga puluh kali engkau kuusir dengan kasar tetapi
sedikit pun engkau tan menunjukkan kemangkelan hatimu.”
Abu ‘Utsman al-Hiri menjawab : “Hal itu adalah sepele.
Anjing-anjing juga berbuat seperti itu. Apabila anjing-anjing itu engkau usir
mereka pun egi dan apabila engkau panggil mereka pun datang tanpa sedikit pun
menunjukan rasa jengkal. Sesuaut hal yang dapat dilakukan anjing, sama sekali
tidak ada artinya. Lain halnya dengan perjuangan manusia.”
oooOOOooo
Pada suat hari Abu ‘Utsman al-Hiri sedang berjalan-jalan
menjelajahi sepanjang jalanan, tiba-tiba seseorang dari loteng sebuah rumah
menumpahkan senampan abu yang jatuh tepat ke ats kepalanya. Menyaksikan
kejadian itu sahabt-sahabat Abu ‘Utsman al-Hiri marah dan hendak menyerang,
tetapi segera dicegahnya.
“Kita harus bersyukur seribu kali karena kita yang
seharusnya dihukum dengan api dibebaskan dengan abu.”
oooOOOooo
Seorang pemuda berandalan yang sedang mabuk keluyuran
dengan sebuha kecapi di tangannya. Tetapi ketika melihat Abu ‘Utsman al-Hiri,
ia segera memasukan untaian-untaian rambutnya ke dalam pecinya dan menyembunyikan
kecapinya ke balik lengan bajunya. Ia menyangka bahwa Abu ‘Utsman al-Hiri akan
melaporkan tingkah lakunya kepada yang berwajib. Dengan seramah mungkin Abu
‘Utsman al-Hiri menghampirinya.
“Jangan kuatir,” kat Abu ‘Utsman al-Hiri, “orang-orang
yang bersaudara adalah satu.”
Mendapat perlakuan seperti ini, si pemuda bertaubat dan
menjadi murid Abu ‘Utsman al-Hiri. Pemuda itu disuruhnya mandi dan diberinya
pakaian, kemudian ia menegadahkan kepdanya dan berdoa.”
“Ya Allah, telah ku lakukan kewajibanku. Selanjutnya
adalah urusan-Mu.”
Sesaat itu juga si pemuda mengalami suatu pengalaman
mistik yang sedemikian menakjubkan sehingga Abu ‘Utsman al-Hiri sendiri
terheran-heran.
Pada waktu shalat ‘Asharr, datanglah Abu ‘Utsman al-
Maghribi. Abu ‘Utsman al-Hiri berkata kepadanya : “Syeikh, haitku terbakar oleh
api cemburu. Yang selama hidup ku dambakan telah dilimpahkan kepda pemuda yang
masih mengeluarkan bau anggur dari dalam perutnya ini. Maka tahulah aku kini,
bahwa manusialah yang ber usaha tetapi Tuhan yang menetukan.”
.
30. IBNU
ATHA’
Abul Abbas Ahmad
bin Muhammad bin Sahl bin Atha’al-Adami adalah sahabat akrab al-Junaid. Ia
seorang penggubah syair-syair mistik dan seorang tokoh sufi terkemuka di kota
Baghdad. Ibnu Atha’ dihukum mati pada tahun 309 H/922 M.
ANEKDOT-ANEKDOT
MENGENAI IBNU ATHA’
Ibnu Atha’
termasuk salah seorang murid Junaid yang menonjol. Pada suatu hari
beberapa orang pergi ke tempatanya berkhotbah dan mendapatkan seluruh lantai
basah.
“Apakah yang terjadi,” mereka bertanya.
“Aku mendapatkan sebuah pengalaman mistik,” Ibnu Atha’ menjelaskan. “Dalam keadaan malu dan dengan
air mata bercucuran aku berrjalan hilir mudik di dalam ruangan ini.”
Mengapa demikian?.” Mereka bertanya lagi.
“Ketika aku masih kacil,” Ibnu Atha’ menjawab,” Aku pernah mencuri seekor burung
dara milik tetangga. Hal ini teringat olehku. Lalu aku berikan seribu dinar
perak kepada pemilik burung itu sebagai penggantinya. Tetapi batinku tetap
gelisah. Aku pun menangis, kuatir apakah akibat yang akan kutanggungkan karena
perbuatanku tersebut.”
oooOOOooo
“Berapa kaliah engkau membaca al-Qur’an setiap hari?.”
Seseorang bertanya kepada Ibnu Atha’ .
Ibnu Atha’ menjawab
: “Dahulu aku biasa menamatkan al-Qur’an dua kali dalam duapuluh empat jam.
Tetapi sekarang ini. Walau sudah empat belas tahun aku membacanya, aku baru
sampai kepada surah al-Anfal.”.
oooOOOooo
Ibnu Atha’ mempunyai
sepuluh orang putera, semuanya gagah dan tampan. Ketika mereka menyertai Ibnu Atha’ dalam suatu perjalanan, perampok menghadang
mereka. Kemudian para perampok itu hendak memenggal kepala mereka satu persatu.
Ibnu Atha’ tidak berkata apa-apa, dan
setiap kali salah seorang dari puteranya di dipenggal kepalanya, ia
menengadahkan kepala ke atas langit dan tertawa. Sembilan orang telah terbunuh.
Para penyamun hendak menghabiskan anaknya yang ke sepuluh.
“Sungguh seorang ayah yang baik hati,” puteranya yang ke
sepuluh itu berseru kepadanya. “Sembilan orang puteramu telah dipenggal dan
engkau tidak berkata apa-apa, malahan tertawa-tawa.”
“Wahai buah hati ayah!.” Ibnu Atha’ menajwab, “Dia-lah yang melakukan hal ini,
apakah yang dapat kita katakan kepada-Nya? Dia Maha Tahu dan Maha Melihat.
Sesungguhnya Dia bisa. Jika Dia memang menghendaki menyelamatkan anak-anakku
semuanya.”
Mendengar ucapan Ibnu Atha’ ini, penyamun yang hendak membunuh puteranya
yang ke sepuluh itu terguguah hatinya dan berseru : “Orang tua, seandainya tadi
kata-kata itu engkau ucapkan, niscaya tak seorang pun di antara anak-anakmu
yang akan terbunuh.”
oooOOOooo
“Bagaimana kalian ini wahai para sufi,” beberpa theolog bertnya kepada Ibnu
Atha’,”
kalian telah emnciptakan istilah-istilah yang aneh bagi pendengar-pendengarnya
tetapi memberi keputusan dengan berkata biasa saja? Hanya ada dua kemungkinan,
yang pertama kalian hanya berlagak, karena berlagak tidak berkaitan dengan
kebenaran maka doktrin kalian jelas palsu. Yang keuda, doktrin tersebut
seimbang dan keseimbangan itu hendak kalian sembunyikan dari khalayak ramai?.”
“Semua ini kami lakukan karena doktrin itu sengat penting bagi kami,” Ibnu Atha’ menjawab. “Yang kami praktekkan itu sangat penting bagi
kami dan kami tak menginginkan sia pun juga, kecuali kami para sufi, yang
mengetahuinya. Untuk maksud ini kami tidak mau menggunakan bahasa yang dikenal
semua orang dan oleh karena itulah, kami menciptakanistilah-istilah khusus.”
MENGAPA IBNU ATHA’ MENGUTUK ALI BIN ISA
Ibnu Atha’ dituduh
seorang bid’ah. Ali bin Isa menjabat wazir khalifah, memanggil dan mencela Ibnu
Taha’ “Ibnu Atha’ menjawab dengan
kata-kata yang kasar. Si wasir murka dan memerintahkan hamba-hambanya
melepaskan sepatu yang sedang dipakainya, dengan sepatu itu mereka harus
memukul kepala Ibnu Atha’ sampai ia
mati. Di dalam penyiksaan itu Ibnu Atha’
meneriakkan kutukan kepadanya : “Semoga Allah memutuskan kaki dan
tanganmu.”
Di belakang hari khalifah marah kepada wazirnya, Ali bin
Isa, dan memerintahkan agar tangan dan kakinya dipotong.
Sehubungan dengan persitiwa ini beberapa di antara
tokoh-tokoh sufi menyalahkan Ibnu Atha’ dan
berkata : “Jika melalui doa-doamu engkau dapat memperbaiki manusia, mengapakah
engkau mengutuk dia? Seharusnya engkau mendoakan keselamatannya.” Tetapi
tokoh-tokoh sufi yang lain membela Ibnu Atha’
dan berkata : “Mungkin sekali Ibnu Atha’
mengutuk si wazir untuk membela kaum Muslimin karena ia adalah seorang
wazir yang zhalim.”
Sebuah penjelasan lain yang membela Ibnu Atha’ adalah : sebagai seorang manusia yang
berintuisi tajam, Ibnu Atha’ mengetahui malapetaka yang akan menimpa diri si
wazir. Ia hanya menyatakan persetujuannya terhadap takdir Allah itu, dengan
demikian Allah menyatakan kehendak-Nya melalui lidah Ibnu Atha’ , sedang Ibnu Atha’ sama sekali berlepas tangan.
Menurut pendapat saya sendiri, sesungguhnya Ibnu
Atha’ tiak mengutuk si wazir. Bahkan
sebaliknya. Ibnu Atha’ mendo’akan demikian
supaya si wazir dapat mencapai derajat seorang syuhada. Ibnu Atha’ mendoakan agar si wazir menanggung kehinaan
di atas dnia ini dan kehilangan kedudukannya yang tinggi berserta kekayaan yang
melimpah itu. Jadi dengan sudut pandang yang seperti ini terlihatlah bahwa Ibnu
Atha’ semata-mata menghendaki kebaikan
bagi Ali bin Isa, karena bukankah hukuman di atas dunia ini jauh lebih ringan
daripada di akhirat.?
31.
sumnun
Abul Hasan Sumnun bin Abdullah (Hamzah) al-Khauwash,
salah seorang sahabat Sari as-Saqathi, dijuluki sebagai “Si Pencinta” karena
tema dari ceramah-ceramah dan syair-syairnya adalah mengenai cinta mistis.
Sumnun didakwa oleh Ghulam al-Khalil. Ia meninggal kira-kira 300H/913 M.
RIWAYAT SUMNUN SI
PENCINTA
Sumnun dijukluki sebagai Si pencita (walaupun ia sendiri
menjuluki dirinya sebagau Sumnun Pendusta) adalah sahabat Sari as Saqathi dan
dan tokoh yang semasa dengan Junaid. Sumnun mempunyai sebuah doktrin yang
istimewa mengenai cinta dan doktrin ini lebih diutamakannya daripada dontrin mistik.
Jadi berlawanan sekali dengan pandangan mayoritas tokoh-tokoh sufi.
Ketika Sumnun memberi ceramah mengenai cinta, dari
angkasa meluncur seekor burung dan hinggap di atas kepalanya, kemudian pindah
ke tangannya dan setelah itu ke dadanya. Dan dari dada Sumnun burung itu
meloncat ke atas tanah, paruhna di patuk-patukkan dengan keras ke tanah
sehingga mengeluarkan darah. Sesaat kemudian burung itu kehabisan tenaga dan
mati.
Ketika Sumnun pergi ke Hijaz, orang-orang Faid
mengundangnya untuk memberikan ceramah. Sumnun naik ke atas mimbar hendak
berkhotbah ternyata tak seorang pun yang mendengarkannya. Maka perpalinglah ia
kepada lampu-lampu di dalama msjid itu dan berkata. “aku akan memberikan
pengajaran kepada kalian mengenai cinta.” Seketika itu juga lampu-lampu saling
berbenturan dan hancur berantakan.
Diriwayatkan, di hari taunya Sumnun menikah dan
mendapatkan seorang puteri. Ketika si puteri berusia tiga tahun, Sumnun sangat
sayang kepadanya. Dan pada suatu malam Sumnun bermimpi dan di dalam mimpi itu ia
menyaksikan dirinya telah berada di Hari berbangkit. Ia menyaksikan untuk
setiap golongan di tegakkan sebuah panji. Salah satu di antara panji-panji
tersebut sedemikian gemerlapnya sehingga menerangi padang-padang surgawi.
“Golongan apakah yang memiliki panji ini?.” Sumnun
bertanya.
“Golongan yang dikatakan Allah. Dia mencintai mereka dan mereka mencintai
Dia.” (maksudnya : golongan pencinta).
Sumnun menyelinap ke tengah orang-orang yeng berteduh di
bawah panji itu. Tetapi salah seorang di antara mereka mendorongnya keluar.
“Mengapa engkau mengusirku?.” Sumnun berteriak.
“Karena panji ini adalah panji para pencinta, sedang
engkau bukan seorang pencinta.”
“Aku bukan seorang pencinta.” Teriak Sumnun, “bukankah
orang-orang menjulukiku sebagai Sumnun Sang Pencinta dan Allah Maha Mengetahui
apa-apa yag terkandung di dalam hatiku ini”
“Sumnun, dahulu engkau memang seorang pencinta. Tetapi
sejak hatimu lebih cenderung kepda anakmu itu, namamu telah dihapus dari daftar
para pencinta.”
Di dalam mimpi, Sumnun meohon ampunan kepada Allah : “Ya
Allah, jika karena anakku aku akan tergelincir, tunjukilah aku jalan yang
baik.”
Ketika Sumnun terbangun, terdengarlah suara gaduh : “Anak
itu terjatuh dari atas loteng dan mati.”
Selanjutnya diriwiyatkan pula bahwa pada suatu ketika
Sumnun menyenandungkan syair :
Tidak ada kebahagiaan bagiku, kecuali di dlam diri-Mu;
Jadi, jika Engkau menghendaki, ujilah aku.
Sesaat itu juga saluran kencingnya tersumbat. Maka
dikunjunginyalah sekolah demi sekolah dan kepada anak-anak murid ia berpesan :
“Berodalah untuk pamanmu Sang Pendusta ini semoga Allah menyembuhkannya
kembali.”
SUMNUN DAN GHULAM KHALIL
Ghulam Khalil memperkenalkan dirinya sebagai seorang sufi, kepada khalifah,
ia menukar keselamatan yang kekal abadi dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi.
Di depan khalifah ia selalu menfitnah para sufi dengan maksud agar mereka
dihukum buang sehingga tak seorang pun memperoleh hikmah dari ajaran-ajaran
mereka. Dengan demikian ia memperoleh kekuasaan yang tidak tercela.
Ketika Sumnun dewasa, kemasyhuran namanya terseia ke
mana-mana. Namun Ghulam Khalil sering membuatnya menderita dan senantiasa
mencari-cari kesempatan untuk dapat menfitnah Sumnun.
Pada suatu ketika, seorang wanita kaya datang menyerahkan
dirinya kepada Sumnun. “Lamarlah aku,” si wanita berkata kepada Sumnun.
Sumnun menolak. Wanita itu mengadukan halnya kepada
Junaid dan meminta Junaid sebagai mewakilinya untuk membujuk Sumnun supaya mau
menikahinya. Tetapi Junaid malah memarahinya dan mengusirnya. Wanita itu pergi
menghadap Ghulam Khalil dan menjelekkkan-jelekkan Sumnun. Ghulam Khalil sangat
senang hatinya dan hal itu segera disamaikannya kepada khalifah. Khalifah
memberikan perintah agar Sumnun dihukum pancung. Algojo telah dipanggil dan
ketika khalifah hendak memerintahkan “penggal!” tiba-tiba ia menjadi bisu tak
dapat berkata-kata. Lidahnya kelu menyumbat tenggorokannya. Malam harinya ia
bermimpi dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berkata kepadanya :
“Kerajaanmu tergantung kepada hidup Sumnun.” Keesokaan harinya ia memanggil
Sumnun untuk dibebaskan dengan segala hormat dan diperlakukan denga penghargaan
yang setinggi-tingginya.
Sejak peristiwa itu, kebencian Ghulan Khalil terhadap
Sumnun semakin menjadi-jadi. Di hari tuanya Ghulam Khalil menderita penyakit kusta.
“Ghulam Khalil menderita penyakit kusta,” seseorang
mengabarkan kepada Sumnun.
Sumnun berkata : “Rupa-rupanya ada beberapa orang sufi
yang belum sempurna telah berniat buruk dan melakukan perbuatan yang tidak baik
terhadap dirinya. Memang Ghulam Khalil adalah penentang tokoh-tokoh sufi dan
telah berkali-kali menyusahkan mereka dengan perbuatannya. Semoga Allah
menyembuhkan Ghulam Khalil!.”
Kata-kata Sumnun itu disampaikan orang kepada Ghulam
Khalil. Ghulam Khalil bertaubat, memohon kepada Allah agar diampuni dosa-dosa
yang telah dilakukannya, dan mnyerahkan semua harta kekayaannya kepada para
sufi. Tetapi para sufi itu tidak mau menerimanya.
32.
AT-TIRMIDZI
Abu Abdullah Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain al-Hakim at-
Tirmidzi, salah seorang pemikir
mistisisme Islam yang kreatif dan terkemuka, diusir dari kota
kelahirannya. Tirmidzi, mengungsi ke Nishapur di mana ia meberikan
ceramah-cermah pada tahun 285H/898M. Karya-karyany yang bersifat psikologis
sengat mempernagaruhi Al-Ghazali, sedang teorinya yang menghebaohkan mengenai
Manuis aSuci dambil dan dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Sebagai seorang penulis
yang kreatif banyak di antara karya-karyanya, termasuk sebuah sketsa
otogiografi masih dapat ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan.
PENDIDIKAN DARI
HAKIM AT-TIRMIDZI
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bersama dua orang pelajar
lainnya bertekad dakan melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Ketika
mereka hendak berangkat, ibunya sangat sedih.
“Wahai buah hati ibu,” sang ibu berkata. “Aku seorang
perempuan yang sudah tua dan lemah, bila ananda pergi tak ada lagi seorang pun
yang ibunda punyai di atas dunia ini. Selama ini anandalah tempat ibunda
bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan
lemah ini?”
Kata-kata ini menggoyahkan semangat Muhammad bin Ali
at-Tirmidzi, ia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat
menegembara mencari ilmu itu. Suaut hari Muhammad bin Ali at-Tirmidzi duduk di
sebuah pemakaman meratapi nasibnya.
“Di sinilah aku! Tiada seorang pun yang perduli kepadaku
yang bodoh ini. Sedang kedua sahabtku itu nanti akan kembali sebagai
orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna.”
Tiba-tiba muncul seorang tua dengan wajah yang
berseri-seri. Ia menegur Muhammad bin Ali at-Tirmidzi :
“Nak, mengapakah engkau menangis?.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi meneceritakan segala keluh
kesahnya itu.
“Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari
sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabtmu itu dalam waktu yang singkat?.”
Orang tua itu bertanya kepada Muhammad bin Ali at-Tirmidzi.
“Aku bersedia,” jawab Muhammad bin Ali at-Tirmidzi.
“Maka, Muhammad bin Ali at-Tirmidzi mengisahkan, “ setiap
hari ia memberikan pelajaran kepadaku. Setelah tiga tahun berlalu barulah aku
menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Khidir dan aku memperoleh
keberuntungan yang seperti itu karena telah berbakti kepada ibuku.”
oooOOOooo
Setiap hari minggu (Abu Bakr al-Warraq mengisahkan)
Khidir mengunjungi Muhammad bin Ali at-Tirmidzi dan kemudian mereka
memperbincangkan berbagai persoalan. Pada suatu hari Muhammad bin Ali
at-Tirmidzi berkata kepadaku : “Hari ini engkau hendak ku ajak pergi ke suatu
tempat.”
“Terserah kepada guru,” jawabku.
Kami pun berangkat. Tatkala kami sampai di sebuah padang
pasir tiu aku melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon
yang rindang di pinggir sebuah telaga. Pada singgasana itu duduk seorang
berpakaian indah. Syeikh menghampirinya, orang itu berdiri dan memepersilahkan
syeikh duduk di atas singgasana itu. Kemudian orang-orang berdatangan dari
segala penjuru dan berkumpul di tempat itu. Semuanya berjumlah empat puluh
orang. Kemudian mereka memberi isyarat ke atas. Seketika itu juga tersajilah
berbagai hidangan dan mereka pun makan. Syeikh mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dan orang itu memberi jawaban. Tetapi bahasa yang mereka pergunakan sama sekali
tidak dapat kupahami. Beberapa lama kemudian Muhammad bin Ali at-Tirmidzi
memohon diri dan menginggalkan tempat itu.
“Mari kita pergi,” ajak Muhammad bin Ali at-Tirmidzi kepadaku.
“Engkau telah diberkahi.”
Sebentar saja kami telah berada kembali di Tirmidzi. Aku
bertanya kepada Syiekh Muhammad bin Ali at-Tirmidzi :
“Apakah artinya semua kejadian tadi? Temmpat apakah itu
dan siapakah orang itu.?”
“Itulah lembah pemukiman Putera-putera Israil,” jawab
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi, “Dan orang tadi adalah Paul.”
“Bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat
ini,?” tanyaku.
“Abu Bakr,” jawab Muhammad bin Ali at-Tirmidzi, “Jika Dia
mengantarkan maka sampailah kita. Apakah gunanya kita bertanya mengapa dan
bagaimana, yang perlu engkau sampai ke tujuan bukan untuk bertanya-tanya.”
Kemudian Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bertutur : Betapa
pun besar perjuanganku untuk menundukkan hawa nafsu, namun aku tidak berhasil.
Di dalam keputusasaan aku berkata : “Mungkin Allah telah menciptakan diriku ini
untuk disiksa di dalam neraka. Mengapakah diri yang terkutuk ini harus ku
pelihara lagi?. Maka aku pergi ke pinggir Sungai Oxus. Kepada seseorang yang
berada di situ aku minta tolong untuk mengikat kaki dan tanganku, dan setelah
itu iapun pergi meninggalkan seorang diri. Aku berguling-guling dan jatuh ke dalam air. Aku ingin mati
terbenam! Tetapi ketika terbentur permukaan air, ikatan di tanganku terlepas
dan sebuah gulungan ombak menghempaskan tubuhku ke pinggir. Dengan putus asa
aku berseru : “Ya Allah, Maha Besar Engkau yang menciptakan seseorang yang tak
pantas diterima baik di surga maupun di neraka!.” Berkat seruan ku di dalam
keputus asaan itu terbukalah mata hatiku dan terlihatlah olehku segala sesuatu
yang harus ku lakukan. Pada saat itu juga terbebaslah aku dari hawa nafsu.
Selama hataku, aku bersyukur terhadap saat-saat kebebasan itu,
Abu Bakr al-Warraq juga mengisahkan sebgaia berikut ini :
Pada suatu hari Muhammad bin Ali at-Tirmidzi menyerahkan
buku-bukunya kepadaku untuk dibuang ke sungai Oxus. Ketika ku periksa ternyata
buku-buku itu penuh dengan seluk beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. Aku tak
tega melaksanakan perintah Muhammad bin Ali at-Tirmidzi itu dan buku-buku tersebut
ku simpan di dalam kamarku. Kemudian aku katakan kepadanya bahwa buku-buku itu
telah ku lemparkan ke dalam sungai. Tetapi Muhammad bin Ali at-Tirmidzi
bertanya kepadaku : “Apakah yang engkau saksikan setelah itu.?
“Tidak sesuatu pun.” Jawabku.
“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu ke
dalam sungai. Pergilah dan buanglah buku-buku itu,” perintah Muhammad bin Ali
at-Tirmidzi.
“Ada dua persoalan,” aku berkata di dalam hati. “Yang
pertama, mengapa ia ingin membuang
buku-buku ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan kusaksikan
nanti setelah mencampakkan buku-buku ini kdalam iar?.”
Aku terus berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan
buku-buku itu. Tetapi seketika itu juga air sungai terbelah dan terlihatlah
olehku sebuah peti yang terbuka tutupnya. Buku-buku itu jatuh ke dalam peti
itu, kemudian tutup peti tersebut mengatup dan air sungai bersatu kembali. Aku
terheran-heran menyaksikan kejadian ini.
Ketika aku kembali, Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bertanya
: “Sudahka engkau lemparkan buku itu?.”
Aku menyahut : “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah
kepadaku apakah rahasia di balik semua ini?.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi menjelaskan : “Aku telah
menulis buku-buku mengenai ilmu sufi dengan keterangan-keterangan yang sulit
untuk dihamai oleh manusai-manusia biasa.
Saudara ku Khidir meminta buku-buku itu. Peti yang engkau
lihat tadi telah dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang
Allah Yang Maha Besar memerintahkan kepada air untuk mengatarkan peti itu
kepadanya.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI TIRMIDZI
Pada waktu itu ada seorang pertapa besar yang selalu
mengecam Muhammad bin Ali at-Tirmidzi. Padahal di atas dunia ini, kecuali
sebuah pondok, tidak sesuatu pun dimiliki Muhammad bin Ali at-Tirmidzi.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi pulang dari Hizaz, ternyata seekor induk anjing
telah msuk ke dalam pondoknya yang tak berdaun pintu itu da melahirkan anaknya
di situ. Muhammad bin Ali at-Tirmidzi tidak mau mengusir anjing itu. Delapan
puluh kali ia pulang pergi ke pondoknya, dan berharap agar si anjing telah
pergi meinggalkan pondok itu membawa anak-anaknya.
Pada malam harinya si pertapa bermimpi bertemu dengan
Nabi, Di dalam mimpi itu Nabi berkata kepadanya :
“Engkau menentang seorang manusia yang telah delapan
puluh kali memberikan pertolongan kepada seekor anjing. Jika engkau
menginginkan kebahagiaan yang abadi, kencangkanlah ikat pinggangmu dan
berbaktilah kepadanya..”
Si Pertapa, yang sebelumnya enggan membalas salam
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi sejak saat itu hingga matinya mengabdi kepadanya.
oooOOOooo
“Apabila guru marah pada kalian, apakah kalian tahu?.”
Seseorang bertanya kepada keluarga Muhammad bin Ali at-Tirmidzi.
“Ya, kami tahu,” mereka menjawab, “setiap kali ia marah
kepada kami, maka ia bersikap lebih ramah daripada biasanya. Kemudian ia tidak
mau makan dan minum. Ia menangis dan bermohon kepada Allah : “Ya Allah, apakah
perbuatanku ayng menimbulkan murka-Mu, sehingga engkau membuat keluargaku
sendiri menetangku? Ya Allah, aku mohon ampunan-Mu! Tunjukanlah mereka jalan
yang benar!.” Apabila ia bersipat seperti demikian, tahulah kami bahwa ia
sedang marah. Dan segera kami bertaubat agar ia terlepas dari dukacitanya itu.”
oooOOOooo
Telah beapa lama Muhammad bin Ali at-Tirmidzi tidak
pernah bertemu dengan Khidir. Pada suatu hari seorang pembantu yang masih gadis
memncuci pakaian bayi dan kotoran-kotoran bayi itu dimasukkannya ke dalam
sebuah baskom. Sementara itu syeikh Muhammad bin Ali at-Tirmidzi dengan
mengenakan jubah dan sorban yang bersih berjalan ke masjid. Karena suatu hal
yang sepele, tiba-tiba si gadis mengamuk dan isi baskom itu tertumpah ke atas
kepala Muhammad bin Ali at-Tirmidzi. Muhammad bin Ali at-Tirmidzi tak berkata
apa-apa dan menelan amarahnya. Tidak berapa lama kemudian bertemulah ia dengan
Khidir.
oooOOOooo
Kettika Muhammad bin Ali at-Tirmidzi masih remaja, ada
seorang wanita jelita minta dilamar olehnya, tetapi Muhammad bin Ali
at-Tirmidzi menolaknya. Pada suatu hari, setelah mengetahui bahwa Muhammad bin
Ali at-Tirmidzi sedang berada di dalam taman, si wanita segera berdandan dan
pergi pula ke sana. Tetapi begitu melihat kedatangannya, Syeikh Muhammad bin
Ali at-Tirmidzi segera mengambil langkah seribu. Si Wanita mengejar dan
berteriak-teriak bahwa Muhammad bin Ali at-Tirmidzi telah mencoba hendak
membunhnya. Muhammad bin Ali at-Tirmidzi tidak perduli, dipanjatnya sebuah
pagar yang tinggi dan melompat ke seberang.
Pada suatu hari di masa tuanya, ketika sedang mengkaji
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan apa-apa yang telah
diucapkannya, teringatlah ia kepada kejadian itu, Terpikirlah oleh Muhammad bin
Ali at-Tirmidzi : “Apakah salahya jika dahulu aku penuhi kebutuhan wanita itu?
Bukankah pada waktu itu aku masih remaja dan oleh karena itu masih sempat
bertaubat?.” Ketika menyadari pikiran yang seperti ini Muhammad bin Ali
at-Tirmidzi sangat menyesal.
“Wahai diriku yang keji dan pelawan!.” Ia berkata, “empat
puluh tahun yang lalu ketika engkau
masih remaja dengan semangat yang bergejolak, engkau tidak pernah berpikir
seperti ini. Tetapi di amsa tuamu ini, setelah sedemikian banyak perjuangan yng
engkau menangkan, mengapakah engkau menyesal karena tidak jadi melakukan sebuah
dosa?.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi sangat sedih. Tiga hari
lamanya ia menyesali pikiran itu. Setelah itu di dalam mimpi ia bertemu dengan
Nabi yang berkata kepadanya :
“Muhamaad, janganlah engkau bersedih hati. Yang telah
terrjadi itu bukanlah karena kesalahanmu. Hal itu karena engkau pikirkan empat
puluh tahun berlalu sejak kematianku. Waktuku untuk meninggalkan dunia ini
telah tertunda sedemikian lamanya, dan aku semakin jauh. Hal itu terjadi
bukanlah karena dosamu, dan bukan karena engkau kurang memperoleh kamejuan
spiritual. Yang engkau alami itu adalah karena waktumu untuk meninggalkan dunia
ini tertunda, bukan karena keaiban di dalam dirimu.
oooOOOooo
Kisah berikut ini diduga berasal dari Muhammad bin Ali
at-Tirmidzi.
Setelah Adam dan Hawa berkumpul kembali dn taubat mereka
diterima Allah, pada suatu hari Adam meninggalkna Hawa seorang diri karena
sesuatu keperluan. Maka datanglah Iblis beserta anaknya yang bernama Khannas
kepada Hawa.
“Aku harus pergi untuk melakukan sesuatu hal yang
penting,” si Iblis berkata kepada Hawa.”Tolong jaga anakku hingg aku kembali
nanti.”
Hawa menerima anak itu dan si Iblis pun pergi.
“Dia adalah anak Iblis yang dititipkannya kepadaku,”
jawab hawa.”Mengapa engkau sudi menolongnya?.” Adam mencela Hawa. Dengan sangat
marah anak Iblis itu dibunuhnya, dicincangnya, dan setiap cincnagan itu
digantungkannya pada dahan. Setelah itu pergilah Adam. Tidak lama kemudian
Iblis dataang.
“Di manakah anakku?.” Ia bertanya kepada Hawa.
Hawa menerangkan segala sesuatu yang telah terjadi :
“Adam mencincang-cincang tubuh anakmu dan setiap potongan
tubuh anakmu digantungkannya pada dahan pohon.”
Si Iblis meneyerukan nama anaknya. Potongan-potongan
tubuh anaknya berkumpul dan iapun hidup kembali, kemudain berlari menyambut
ayahnya.
“Jagalah dia,” si Iblis bermohon kepada Hawa. “karena ada
urusan lain yang harus kulakukan.”
Mula-mula hawa menolak tetapi Iblis bermohon sedemikian
gigihnya sehingga akhirnya ia pun menyerah. Setelah itu pergilah si Iblis
meninggalkan tempat itu. Ketika Adam pulang terlihatlah olehnya anak Ibllis
itu.
“Apakah artinya semua ini?” tanya Adam.
Hawa mengisahkan yang telah terjadi. Adam memukuli Hawa habis-habisan.
“Aku tak tahu apakah rahasia di balik semua ini.” Adam
menghardik,” sehingga engkau tidak memathui aku tetapi memathuhi seteru Allah
dan terperdaya oleh bujukannya.”
Anak itu dibunuhnya dan mayatnya dibakarnya, kemudian
sebagian abunya dibuangnya ke dalam air, sedang sebagiannya lagi dibuangnya ke
udara dan diterbangkan angin. Setelah itu Adam pergi. Si Iblis datang pula
menanyakan anaknya. Hawa menceritakan apa yang telah dilakukan Adam terhadap
anakanya. Si Iblis berteriak memanggil anaknya, abu-abu mayat anaknya yang
dibakar tadi berkumpul, kemudian si anak hidup kembali dan bersimpuh di depan
ayahnya.
Sekali lagi Iblis memohon pertolongan tetapi ditolak oleh
Hawa.
“Pastilah akau dibunuh Adam nanti,” jawabnya.
Iblis membujuk dengan berbagai sumpah sehingga akhirnya
Hawa sekali lagi menyerah. Si Iblis pun pergi. Adam kembali dan didapatinya
Hawa bersama naka itu lagi.
“Allah-lah yang mengetahui apa yang bakal terjadi
sekarang ini.” Adam menghardik penuh amarah. “engkau menuruti kata-katanya dan
tak memperdulikan kata-akata ku.”
Khannas disembelihnya dan dimasaknya. Separuh dari tubuh
Khannas dimakannya sendiri dan separuhnya lagi diberikannya kepada Hawa.
(Orang-orang mengatakan setelah tindakan Adam yang terakhir ini Iblis masih
dapat menghidupkan dan membawa Khannas dalam rupa seekor domba). Kemudian si
Iblis datang pula menanyakan anaknya dan Hawa menceritakan apa yang telah
terjadi :
“Anakmu dimasak Adam. Separuh tubuhnya aku makan dan
separuhnya lagi dimakan oleh Adam.”
“Inilah yang selama ini ku inginkan,” si Iblis berseru
girang. “Aku ingin menyusup ke dalam tubuh Adam. Kini setelah dadanya menjadi
tempat kediamanku, tercapailah sudah keinginanku itu.
33. KHAIR
AN-NASSAJ
Abul Hasan Muhammad bin Ismail (Khair bin Abdullah)
an-Nassaj dari Samara, seorang murid Sari as-Saqathi dan seorang pengikut
Junaid. Di kota Basharh ia diambil orang jadi budak, tetapi kemudian ia dapat
meneruskan perjalanannya ke Mekkah. Orang-orang mengatakan bahwa ia mencapai
usia seratus dua puluh tahun ketika ia meninggal dunia pda tahun 322 H/924 M.
KISAH KHAIR
AN-NASSAJ
Khair an-Nassaj adalah salah seorang ketua di antara
tokoh-tokoh sufi yang semasa dengan dia. Sebagai seorang murid Sari as-Saqathi,
ia dapat mempengaruhi Syibli maupun Ibrahim al-Kahuwas, dan dia sangat dikagumi
oleh al-Junaid. Kisah berikut ini menerangkan mengapa ia dijuluki Khair
an-Nassaj.
Ia meninggalkan kora kelahirannya Samarra untuk
menunaikan ibdah haji ke Mekkah. Di dalam perjalanan itu, ketika ia sampai di
gerbang kota Kufah dengan jubah tambal sulam dan wajah yang hitam, semua orang
yang melihatnya akan berkata : “Lelaki itu tampaknya adalah orang dungu!.”, Di
kota itu ada seseorang yang memperhatikannya.
“Akan ku suruh dia bekerja selama beberapa hari,” orang
itu berkata kepada dirinya sendiri, Setelah itu ia pun menghampiri.
“Apakah engkau seorang budak?.” Tanyanya.
“Ya!.”
“apakah kupelihara engkau sampai engkau dapat
kukembalikan kepada majikanmu,” orang itu berkata kepadanya.
“Itulah yang kuinginkan selama ini,” sahut Khair. “Selama
hidupku aku ingin bertemu dengan seseorang yang dapat mengembalikan aku kepada
majikanku.”
Orang itu lalu membawanya pulang.
“Sejak saat itu namamu Khair,” katanya.
Khair an-Nassaj tidak membantah, Ia benar-benar meyakini
ucapan bahwa “Seorang yang beriman tidak boleh berbohong,” Khair an-Nassaj
mengikuti orang itu dan bekerja padanya. Dia mengajar Khair an-Nassaj menenun
kain. Bertahun-tahun lamanya Khair an-Nassaj bekerja. Setiap kali orang itu
memanggil namanya, dalam sesaat Khair an-Nassaj telah datang menghadap.
Akhirnya setelah menyaksikan betapa Khair an-Nassaj memiliki ketulusan hati,
tingkah laku yang sempurna, ketajaman instuisi, dan kebaktian yang teguh, orang
itu pun bertaubatlah.
“Aku telah emlakukan kesalahan,” ia berkata kepada Khair
an-Nassaj, “Engkau bukan budakku. Pergilah kemana engkau suka.
Maka, berangkatlah Khair an-Nassaj ke kota Mekkah. Di
kota ini ia mencapai derajat kesalehan yang sedemikian tingginya sehingga
al-Juanid sendiri menyatakan : “Khair an-Nassaj adalah yang terbaik di antara
kita,” Ia lebih suka jika orang-orang tetap memanggilnya Khair dengan dalih :
“Tidak baik apabila aku mengubah nama yang telah
diberikan oleh seorang Muslim kepadaku.”
Sekali-kali Khair an-Nassaj mempereaktekkan keahliannya
bertenun. Kadang-kadang ia pergi ke sungai Tigris ddi mana ikan-ikan
menghampirinya sambi membawakan aneka rupa benda-benda untuk dirinya. Pada
suatu hari ketika sedang menenun kain untuk seorang wanita tua, si wanita
bertanya kepadanya : “Jika aku datang membawakan uang sat dirham tetapi engkau
tidak ada di teempat ini, kepada siapakah kutitipkan uang itu?.”
“Lemparkanlah ke dalam sungai Tigris,” jawab Khair
an-Nassaj.
Ketika wanita tua itu mengantarkan uang satu dirham itu,
Khair an-Nassaj sedang tak ada di tempat. Maka dilemparkannya uang tersebut ke
sungai Tigris. Ketika Khair an-Nassaj pergi ke tepi sungai, ikan-ikan
memberikan uang satu dirham itu kepadanya.
Orang-orang mengatakan bawa Khair an-Nassaj hidup sampai
usia seratus dua puluh tahun. Jalnya hampir tiba ketika masuk waktu Shalat
‘Isa. Malaikat Israil sedang membungkuk di atas tubuhnya ketika Khair an-Nassaj
mengangkat kepalanya.
“Semoga Allah melindungimu!.” Khair an-Nassaj berseru.
“Tunggulah sebentar. Engkau adalah seorang hamba yang menjalankan perintah, aku
pun seorang hamba yang menjalankan perintah. Kepadamu diperintahkan untuk
mengambil nyawaku, dan kepadaku pun di perintahkan : “Apabila telah tiba waktu
untuk shalat, maka shalatlah engkau!.” Waktu Shalat telah tiba. Engkau
mempunyai kesempatan luas untuk melaksanakan perintah. Tetapi kesempatanku
hanyalah di saat ini. Bersabarlah sehingga aku selesai shalat ‘Isa.”
Kemudian Khair an-Nassaj bersuci dan shalat. Begitu
selesai, ia pun meninggal dunia.
34. ABU
BAKAR AL-KATTANI
Abul Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Kattani, lehir
di Baghdad. Ia adalah seorang anggota dari kalangan Junaid. Ia pergi ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di sana hingga wafatnya pada tahun
322/934 M.
KESALEHAN ABU
BAKAR AL-KATTANI
Abu Bakar al-Kattani dijuluki sebagai Pelita Masjidil
Haram. Ia menetap di kota Mekkah hingga matinya. Ia selalu melakukan shalat di
sepanjang malam dan membaca al-Qur’an hingga tamat. Ketika tawaf di Ka’bah, ia
sempat membaca dua puluh ribu ayat. Selama tigapuluh tahun, ia duduk di bawah
air mancur di dalam Masjidil Haram dan selama itu pula ia ckup bersuci sekali
dalam dua puluh empat jam. Di samping itu ia pun tak pernah tidur.
Ketika masih rremaja ia meminta izin kepada ibunya untuk
pergi menunaikan ibadah haji.
“Ketika mencapai padang pasir,” Abu Bakar mengisahkan,
“Aku bermipi sehingga aku harus bersuci. Di dalam hati aku berkata, mungkin aku
tidak mempunyai persiapan yang selayaknya. Maka aku pun kembali pulang.
Sesampainya di rumah, kudapati Ibu sedang menantikan di balik pintu. Aku
bertanya kepadanya : Ibu, bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi?.”
“Ya,” jawab Ibuku, Tetapi tanpa engkau, aku tak sanggup
melihat rumah ini lagi. Sejak engkau pergi, aku duduk di tempat ini. Aku telah
bertekad tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum engkau pulang kembali.”
Itulah sebabnya sebelum ibuku meninggal dunia, aku tidak
mau mecoba mengarungi padang pasir lagi.
oooOOOooo
Abu Bakar al- Kattani meriwayatkan, sebagai berikut ini :
Ketika aku berada jauh di tengah padang pasir terlihatlah
olehku mayat seseorang. Mayat itu terrsenyum’
“He! Mengapakah engkau dapat tersenyum sedangkan engkau
sudah mati?.”Aku berseru.
“Karena ksih Allah,” jawab mayat itu.
oooOOOooo
“Ada sedikit kebencian di dalam hatiku kepada ‘Ali,
pangeran manusia-manusia yang beriman (Amirul mu’minin),” Abu Bakar al-Kattani
mengakui. “Lain tidak ada alasan karena Nabi pernah mengatakan : “Tidak ada satria sejati selain dari pada
‘Ali,” Dan karena kekesatriannya itulah, wlaupun golongan Muawiyah berada di
pihak yang salah dan dia di pihak yang benar, ‘Ali menyerah kepada mereka agar
pertempuran darah tidak terjadi.”
“Aku mempunyai sebuah rumah kecil antara Shafa dan
Marwah,” Abu Bakar al-Kattani melanjutkan. “Di rumah itu aku bermimpi melihat
Nabi beserta sahabt-sahabat yang dikasihinya. Nabi menghampiri dan merangkulku.
Kemudian sambil menunjuk ke arah Abu Bakar
ia bertanya : “Siapakah dia itu?.” Abu Bakar,” jawabku. Kemudian Nabi
menunjuk ke arah ‘Umar dan aku menjawab : “Umar.” Setelah itu Nabi menunjuk ke
arah ‘Utsman dan aku menjawab : “Utsman.” Terakhir sekali ketika Nabi menunjuk
ke arah ‘Ali, aku merasa sangat malu untuk menjawab karena selama ini aku
menaruh benci kepadanya. Kemudian Nabi mendamaikan aku dengan ‘Ali, dan kami
saling berangkulan. Setelah itu semuanya meninggalkan tempat itu kecuali aku
dan ‘Ali. “Ayo, marilah kita pergi ke gunung Abu Qubais,” ‘Ali mengajakku. Maka
naiklah kami ke puncak gunung itu dan dari tempat itu kami emandang Ka’bah.
Ketika aku terjaga, ternyata diriku telah berada di puncak gunung Abu Qubais.
Sedikit pun tidak tersisa kebencianku kepada ‘Ali lagi.”
oooOOOooo
Abu Bakar al-Kattani mengisahkan pula : “Aku pernah
besahabat dengan seseorang dan dalam perssahabatan itu aku merasa sangat
canggung. Aku beri dia suatu hadiah, tetapi kecanggungan itu tidak hilang. Aku
bawa ia ke rumahku dan kukatakan kepadanya : “Taruhlah kakimu di mukaku,”.
Mula-mula ia menolak, tetapi aku terus mendesak. Akhirnya ia menaruh kakinya ke
mukaku sedemikian lamanya sehingga kecanggunganku itu sirna dan berubah menjadi
cinta. Pada suatu ketika, dari sebuah sumber yang halal, aku menerima uang dua
ratus dirham. Uang itu ku bawa untuk sahabatku itu dan kutaruh di atas
sajadahnya. “Pergunakanlah uang itu untuk keperluanmu,” aku berkata kepadanya.
Dengan lirikan matanya ia meandang dan menjawab : “Hidupku yang seperti
sekarang ini telah ku beli dengan harga tujuh puluh ribu dninar.” Apakah engkau
hendak menghanyutkanku dengan uangmu itu?.” Kemudian ia bangkit menepiskan
sajadahnya dan meninggalkan tampat itu. Seumur hidup belum pernah aku menemukan
manusia yang bermartabat seperti dia, dan belum pernah aku malu seperti ketika
aku memunguti kepingan-kepinga dirham itu.”
oooOOOooo
Abu Bakar al-Kattani mempunyai seorang murid yang sedang
sekarat menantikan ajalnya. Si murid membuka matanya dan memandang ke arah
Ka’bah. Tepat pada saat itu seekor unta yang lewat di tempat itu menyepak
mukanya sehingga biji matanya tercungkil keluar.
Sesaat kemudian, terdengar oleh Abu Bakar al-Kattani sebuah suara yang
berkata di dalam dirinya : “Di dalam keadaan yang seperti ini katika
rahasia-rahasia dari Yang Ghaib hendak dibukakan kepadanya ia malah berpaling
ke arah Ka’bah. Oleh karena itulah ia dihukum. Apabila berhadapan dengan
Pemilik Rumah janganlah engkau berpaling memandangi rumah-Nya.”
oooOOOooo
Seorang tua berwajah cerrah berseri-seri, mengenakan
sebuah jubah yang anggun, pada suatu hari ia melewati gerbang Banu Syaibah dan
menghampiri Abu Bakar al-Kattani yang sedang berdiri dengan kepala merunduk.
Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata :
“Mengapakah engaku tidak pergi ke Maqam Ibrahim? Seorang
guru besar telah datang dan ia sedang menyampaikan hadits-hadits yang mulia.
Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya.”
“Siapakah perawi dari haduts-hadits yang di khotbahkannya
itu?.” Abu Bakar al-Kattani bertanya.
“Dari Abdullah bin Ma’marm, dari Zhuhri, dari Abu
Hurairah dan dari Muhammad,” jawab orang tua itu.
“Sebuah rantai perawi yang panjang,” Abu Bakar al-Kattani
berkata. “Segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rantaian panjang para
perawi di temepat itu dapat kita dengarkan secara langsung di tempat ini.”
“Melalui siapakah engkau mendengar?.” Orang tua itu
bertanya.
“Hatiku menyampaikannya padaku langsung dari Allah,”
jawab Abu Bakar al-Kattani.
“Apakah kata-katamu itu dapat dibuktikan?.” Orang tua itu
bertanya.
“Inilah buktinya,” Abu Bakar al-Kattani menjawab,” hatiku
mengatakan bahwa engkau adalah Khidir.”
“Selama ini aku mengira tiak ada sahabat Allah yang tidak
kukenal,” Khidir berkata. “Demikianlah halnya sebelum aku bersua dengan Abu
Bakar al-Kattani. Aku tidakmengenal dia tetapi dia mengenalku. Maka sadarlah
aku bahwa masih ada sahabt-sahabat Allah yang tidak kukenal tapi kenal
kepdaku.”
oooOOOooo
Abu Bakar al-Kattani meriwayatkan pula : di
dalam sebuah mimpi aku bertemu dengan seorang remaja yang sangat tampan.
“Siapakah engaku ini?.” Aku bertanya
kepadanya.
“Kesalehan,” jawabnya.
“Dimanakah tempatmu,” tanyaku.
“Di dalam hati orang-orang yang berduka.”
Kemudian aku bertemu dengan seorang
perempuan hitam yang sangat mengerikan.
“Siapakah engaku ini? Aku bertanya
kepadanya.
“Gelaktawa, sukaria, dan foya-foya,”
jawabnya.
“Dimanakah tempatmu?.” Tanyaku.
“Di dlam hati orang-orang yang berbuat
sesuka hati mereka dan orang-orang yang bersenang-senang.”
Ketika aku terbangun, aku bertekad, bahwa
seumur hidupku aku tidak akan tertawa kecuali apabila aku sudah tiadak kuasa
menahannya.
35. IBNU
KHAFIF
Abul ‘Abdullah Muhammad bin Khafifi bin Isfaksyad. Lahir
di Syiraz tahun 270H/882 M. Beliau adalah seorang tokoh suci di Persia, dan
berasal dari keluarga bangsawan. Setelah mendapat pengetahuan yang luas, Ibnu
Khafif berangkat ke Baghdad, di kota ini ia bertemu dengan al-Hallaj beserta
tokoh-tokoh sufi lainnya. Setidak-tidaknya telah enam kali ia menunaikan ibadah
haji ke Mekkah dan diriwayatkan pula bahwa ia pernah berkunjung ke Mesir dan
Asia Kecil. Ia telah menulis beberapa buah buku dan meninggal dunia dalam usia
lanjut di kota kelahirannya pada tahun 371H/982 M.
PERTAPAAN IBNU
KHAFIF
Ibnu Khafif dari Fars berasal dari keluarga bangsawan. Ia
dijuluki demikian karena ia memikul beban yang ringan, memiliki jiwwa yang
lapang, dan akan menghadapi masa perhitungan yang mudah. Setiap malam ia
memakan tidak lebih dari tujuh buah kismis sebagai pembuka puasanya. Pada sautu
malam pelayannya menyajikan delapan buah kismis kepadanya. Ibnu Khafif tidak
menyadari hal ini dan menghabiskannya. Tetapi karena tidak mendapatkan kepuasan
di dalam ibdahnya kepada Allah dan tidak seperti yang dialaminya setiap malam,
maka dipanggilnyalah si pelayan untuk meminta keterangannya.
“Aku telah memberikan delapan buah kismis kepadamu,” si
pelayan mengaku.
“Mengapa?, tanya Ibnu Khafif.
“Kulihat engkau sangat lemah dan aku merasa kasihan,”
jawab si pelayan, “Aku ingin agar engkau memperoleh kekuatan.”
“Dengan berbuat demikian engkau bukanlah sahabatku tetapi
musuhku,” hardik Ibnu Khafif. “Jika engkau memang bersahabt denganku, niscaya
engkau akan memberikan enam buah kismis kepadaku, bukan delapan buah.”
Pelayan itu dipecatnya dan digantinya dengan yang baru.
oooOOOooo
Ibnu Khafif mengisahkan seperti berikut ini.
Ketika masih muda, aku ingin sekali pergi ke tanah suci
untuk menunaikan ibadah haji. Ketika aku sampai ke kota Baghdad, kepalaku penuh
dengan kecongkakan sehingg aku tidak mau menemui Junaid. Aku meneruskan
perjalanan dengan membawa seutas tali dan sebuah timba. Ketika telah berada
jauh di tengah padang pasir, kau merasa sangat dahaga. Dari jauh terlihatlah
olehku sebuah telaga dan seekor rusa yang sedang minum. Begitu aku sampai di
tepi telaga itu ternyata airnya telah habis terserap bumi.
“Ya Allah, seruku, “apakah Abdullah lebih hina dari
seekor rusa?.
“Rusa itu tidak membawa tali dan timba,” kudengar sebuah
jawaban,” ia berpasarah diri kepada kami.”
Dengan hati gembira tali dan timba itu kubuang, kemudian
kulanjutkan perjalananku.
“Abdullah” kudengar sebuah panggilan, “Kami hanya
mengujimmu, ternyata engkau tabah, oleh karena itu kembalilah dan minumlah air
telga itu.”
Aku pun balik dan kudapati air telaga itu telah penuh
kembali,. Aku bersuci dan meminum air telaga tersebut. Setelah itu aku
berangkat dan di sepanjang perjalanan ke Madinah aku tidak pernah membutuhkan
air karena telah bersuci di telaga tadi.
Pada hari Jum’at ketika aku berada kembali di Baghdad,
aku pergi ke masjid. Juanid melihatku dan berkata kepadaku,
“Seandainya dulu engkau benar-benar bersabar, niscaya air
akan menyembur dari bawah kakimu.”
oooOOOooo
Ketika aku masih remaja (Ibnu Khafif meriwayatkan)
seorang guru sufi datng mengunjungiku. Setelah meliaht betapa aku sangat lapar,
ia mengajakku ke rumahnya. Ketika sampai, ternyata di dapur sedng dimasak
daging dan baunya memenuhi seluruh ruangan. Aku merasa mual dan tidak sanggup
memakannya. Sang guru sufi yang melihat keenggananku itu menjadi sangat malu.
Aku sendiri pun menjadi sangat bingung, lalu aku tinggalkan santapan itu.
Kemudain aku dan beberapa orang sahabt melanjutkan perjalanan.
Di Qadisiyah kami
tersesat, sedang bekal kami telah habis. Beberapa hari kami masih dapat
bertahan, tetapi akhirnya tiada berdaya. Penderitaan kami sedemikian beratnya
sehingga kami membeli seekor anjing dengan harga yang mahal. Kemudian kami
memanggang anjing itu. Sebagai lbagianku kuterimalah sekerat. Ketika aku hendak
memakannya teringatlah aku peristiwa di rumah guru sufi dan makanan yang
disuguhkannya kepadaku.
“Inilah hukumanku karena telah membuat malu san gguru
sufi.” Aku berkata dalam hati.
Aku memohon ampun kepada Allah, dan Allah menunjukkan
jalan kepada kami. Ketika sampai di rumah aku pergi meminta maaf kepada si guru
sufi.
oooOOOooo
Pada suatu hari aku mendengar berita bahwa di negeri
Mesir ada seorang tua dan seorang pemuda yang secara terus menerus mengadakan
meditasi. Maka berangkatlah aku ke Mesir dan di negeri itu ku temukan dua orang
yang dengan kepala tertunduk menghadap ka arah kota Mekkah. Tetapi setelah tiga
kali kuucapkan salam, mereka tetap membungkam.
“Demi Allah, jawablah salamku!.”, aku berseru kepada
mereka.
“Ibnu Khafif,” si pemuda menyahut sambil mengangkat
kepalanya, “Duniaini adalah kecil, dan dari dunia yang kecil ini hanya sedikit
yang masih tersisa. Dari sisa yang sedikit ini ambillah bagiamu yang
sebesar-besarnya. Engkau telah membuang banyak waktu dengan mengucapkan salam
kepada kami.”
Setelah berkata demikian si pemuda menundukkan kepalanya
kembali. Walaupun tadi aku merasa lapar dan dahaga, tetapi kini lapar dan
dahaga itu tidak terasa lagi. Aku benar-benar kagum terhadap mereka. Aku tidak
beranjak dari tempat itu. Shalat Zhuhur dan ‘Ashar aku lakukan bersama mereka.
Kemudian aku bermohon kepada mereka.
“Berilah aku sebuah pertuah.”
“Ibnu Khafif, jawab si pemuda. “Kami berdua adalah
manusia-manusia yang berduka. Kami tidak mempunyai lidah untuk memberikan
nasehat. Orang lainlah yang harus memberikan nasehat kepada orang-orang yang
berduka.”
Aku terus bertahan di tempat itu selama tiga hari tiga
malam dan selama itu pula aku tidak makan dan tidak tidur.
“Apakah yang ahrus ku katakan agar mereka mau memberikan
petuha kepadaku?.” Aku berkata dalam hati.
Si Pemuda mengangkat kepalanya dan berkata,
“Temuilan seseorang yang apabila
memandangnya engkau teringat kepada Allah, dan karena terpesona kepadanya
hatimu akan terjaga, yaitu seorang yang akan memberi nasehat melalui perbuatan,
bukan melalui kata-kata.
oooOOOooo
Setahun lamanya aku berdiam di Bizantium. Pada suatu hari
aku berjalan-jalan ke padang pasir. Di sana kulihat orang ramai sedang
menggotong mayat seorang rahib yang kurus kering. Kemudain mereka membakarnya
dan abunya itu mereka sapukan ke mata oarang-orang yang buta. Sungguh ajaib,
karena kekuasaan Allah, orang-orang buta itu dapat melihat kembali. Kemudian
orang-orang yang menderita penyakit, menelan abu itu pula dan sesatt itu juga
mereka menjadi sehat kembali. Aku terheran-heran, bagaimanakah itu mungkin
terjadi karena mereka sesungguhnya menganut agama yang salah. Pada malam itu
aku bermimpi bertemu dengan Nabi.
“Ya Rasulullah, apakah yang sedang engkau lakuka?.” Aku
bertanya.
“Aku telah datang demi engkau,” jawab Nabi.
“Ya Rasulullah, bagaimanakah keajaiban tadi bisa
terjadi?.” Aku bertanya.
“Itulah hasil kesungguhan hati dan disiplin
diri di dalam kesesatan, “jawab Nabi,” Coba bayangkan, apabila hal itu
dilakukan di dalam kebenaran.”
IBNU KHAFIF DAN ISTERI-ISTERINYA
Pada suatu malam Ibnu Khafif memanggil pelayannya.
“Carikanlah seorang wanita untukku,” katanya kepada si
pelayan.
“Kemanakah hendak ku cari seorang wanita tengah malam
seperti ini?.” Jawab si pelayan. “Tetapi aku mempunyai seorang puteri jika tuan
mengizinkan aku akan pergi menjemputnya.”
Pergilah dan bawa
puterimu itu ke mari,” kat Ibnu Khafif.
Si pelayan membawa puterinya dan di saat itu juga Ibnu
Khafif menikahinya. Tujuh bulan kemudian lahirlah seorang bayi, tetapi tidak
lama kemudian bayi itu mati.
“Suruhlah puterimu itu meminta cerai dariku.” Kata Ibnu
Khafif kepada pelayannya. “Atau kalua dia suka, dia boleh tetap tinggal
bersamaku.” “Tuan, apakah rahasia di balik semua ini?.” Si pelayan bertanya.
“Di malam pernikahan itu,” Ibnu Khafif menjelaskan.” Aku
bermimpi hari berbangkit telah tiba. Banyak orang yang berdiri kebingungan sedang
keringat melimpah sampai ke leher mereka. Tiba-tiba muncul seorang anak meraih
tangan ayah bundanya dan cepat bagaikan sngin dimbingbingnya mereka melalui
jembatan di antara surga dan neraka. Oleh karena itulah aku ingin mempunyai
seorang anak. Ketika anakku lahir dan kemudian mati, maka tercapailah sudah
keinginanku itu.”
Orang-orang mengatakan bahwa sejak itu Ibnu Khafif telah
menikah sebanyak empat ratus kali. Karena ia keturunan bangsawan maka ketika ia
bertaubat dan mencapai kesalehan yang sempurna, banyaklah wanita-wanita yang
memajukan diri untuk dilamarnya. Dalam waktu yang bersamaan ia beristeri dua
atau tiga orang. Salah seorang di antaranya, puteri wazir yang menjadi
isterinya selama empat puluh tahun.
Kepada isteri-isterinya ini beberapa orang pernah
bertanya bagaimanakah sikap Ibnu Khafif terhadap mereka secara pribadi.
“Tidak sesuatu pun yang kami keteahui mengenai dirinya.”
Jawab mereka.
“Kalau di antara kami ada juga yang tahu, tentulah ia itu
puteri wazir.”
Maka, bertanyalah mereka kepada puteri wazir, mereka
mendapat jawaban :
“Apabila kuketahui bahwa syeikh hendak berkunjung ke
kamarku di malam hari, ku persiapkan makanan yang lezat-lezat. Kemudian aku
berdandan. Ketia ia datang dan melihat apa yang aku lakukan, aku pun
dipanggilnya dan dipandanginya beberapa saat lamanya. Kemudian untuk beberapa
saat pula dipandangnya makanan yang telah ku sediakan itu. Pada suatu malam
syeikh menarik tanganku dan melapis tanganku dengan lengan bajunya kemudian
diusapkannya ke perutnya. “Tidak ingin kah engkau bertanya simpul-simpul apakah
ini?” ia bertanya kepadaku. Maka akupun bertanya. Simpul-simpul apakah itu?.
Semua ini adalah gejoolak-gejolak api ketahanan yang telah kusimpulkan satu
persatu agar aku dapat bertahan terhadap kejelitaan dan makanan lezat yang
engkau hidangkan kepadaku; jawab beliau. Kemudian ia pergi meninggalkan aku.
Itulah satu-satunya hubungan intim di antara kami. Alangkah kokoh disiplin diri
Ibnu Khafif.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI IBNU KHAFIF
Ada dua orang murid Ibnu Khafif, yang seorang bernama
Ahmad Tua dan yang seorang lagi Ahmad Muda. Di antara kedua muridnya ini Ibnu
Khafif lebih menyaangi Ahmad Muda. Murid-murid lain tidak setuju terhadap sikap
Ibnu Khafif ini. Mereka berdalih : Bukankah Ahmad Tua telah menjalankan lebih
banyak perintah dan disiplin diri?.” Setelah mengetahui perihal ini, Ibnu
Khafif ingin membuktikan kepadamereka, bahwa Ahmad Muda lebih unggul dari Ahmad
Tua. Pada saat itu ada seekor unta yang sedang tidur di depan pintu.
“Ahmad Tua,” Ibnu Khafif memanggil.
“Saya!.” Sahut Ahmad Tua.
“Angkatlah unta itu ke atas loteng,” periintah Ibnu
Khafif.
“Guru,” kata Ahmad Tua, “mana mungkin aku dapat
mengangkat unta itu ke atas loteng.”
“Cukup,” jawab Ibnu Khafif. Kemudian ia memanggil Ahmad
Muda.
“Ahmad Muda,” panggilnya.
“Saya,” Ahmad Muda menyahut.
“Angkatlah unta itu ke atas loteng.”
Ahmad Muda segera mengencangkan ikat pinggangnya,
menggulung lengan bajunya, dan berlari-lari keluar. Ahmad Muda menaruh kedua
tangannya ke bawah tubuh binatang itu dan dengan sekuat tenaga mengangkatnya,
namun sia-sia.
“Cukup, baik sekali!.” Ibnu Khafif berseru.
Kemudian berkatalah ia kepada murid-muridnya.
“Sekarang tahulah
kalian bahwa Ahmad Muda-lah yang telah melakukan kewajibannnya. Ia mentaati
perintah tanpa membantah. Yang dipentingkannya adalah perintahku dan tidak
perduli apakah perintah itu dapat dilaksanakannya atau tidak. Sebaliknya dengan
Ahmad Tua, ia hanya ignin berdalih dan membantah. Dari sikap yang terlihat kita
dapat memahami keinginan di dalam hati seseorang.”
oooOOOooo
Seorang pengelana mengunjungi Ibnu Khafif. Ia mengenakan
jubah hitam, syal hitam, celana hitam dan baju hitam. Di dalam batinnya, syeikh
Ibnu Khafif merasa cemburu. Ketika si pengelana melakukan shalat sunnat dua
raka’at dan mengucapkan salam, Ibnu Khafif bertanya kepadanya,
“Mengapa engkau berpakaian serba hitam?.
“Karena Tuhan-Tuhanku telah mati (Yang dimaksudnya adalah
hawa nafsunya).
“Pernahkah engkau menyaksikan seseorang yang
mempertuhankan hawa nafsunya?.”
“Usir orang itu keluar.” Ibnu Khafif
memberi perintah kepada murid-muridnya.
Dengan kasar si pengelana diusir ke luar.
Kemudian Ibnu Khafif memerintahkan pula,
“Bawa di masuk.”
Orang itu pun dibawa masuk. Perlakuan yang
seperti itu berulang-ulang sampai empat puluh kali. Akhirnya Ibnu Khafif
bangkit dari tempat duduknya, mencium kepala si pengelana dan memohon maaf.
“Engkau memang berhak berpakaian serba
hitam,” kata Ibnu Khafif. “Telah empat puluh kali murid-muridku menyakiti
hatimu tetapi engkau tetap tabah.”
oooOOOooo
Dari negeri yang jauh, datang dua orang sufi untuk
berkunjung kepada Ibnu Khafif. Karena tidak menemukan syeikh di tempatnya, maka
bertanya-tanyalah mereka, di manakah kiranya Ibnu Khafif berada pada saat itu.
“DI istana Azud ad-Daula,” seseorang memberikan
keterangan..
“Apakah urusan syeikh Ibnu Khafif di istana? Kedua sufi
itu bertanya-tanya. “Selama ini kita mengira bahwa ia adalah orang yang
mulia!.” Kemudian mereka berkata, “Lebih baik kita melihat-lihat kota ini.”
Maka pergilah mereka ke pasar. Kemudian mereka menuju ke
tempat tukang jahit untuk menamabalkan jubah mereka yang robek di sebelah
depannya. Tetapi ketika itu si penjahit lagi kehilangan guntingnya.
“Kalaian mencari gunting,” orang ramai menuduh mereka
berdua dan menyerahkan mereka kepada polisi. Kedua sufi itu digiring ke istana.
“Potonglah tangan mereka,” Azud ad-Daula memberikan
perintah.
“”Tunggu!.” Ibnu Khafif yang ketika itu berada di istana
berseru. “Mereka ini bukan pencuri.”
Maka kedua sufi itu pun dibebaskan. Kemudian Ibnu Khafif
berkata kepada mereka.
“Persangkaan buruk kalian terhadap diriku memang wajar.
Tetapi urusanku yang sebenarnya di istana adalah untuk tujuan-tujuan seperti
membebaskan tadi.”
Sejak itu keduanya menjadi murid Ibnu Khafif.
36.
AL-HALLAJ
Abul Mughits al-Husain bin Manshur al-Hallaj adalah tokoh
yang paling kontroversil di dalam sejarah mistisme Islam, ia lhir kira-kira
tahun 244 H/858M. Di dekat kota al-Baiza’ di Propinsi Fars. Al-hallaj sangat
sering melakukan pengembaraan, mula-mula ke tustar dan Baghdad, kemduain ke
Mekkah, dan sesudah itu ke Khuziztan, Khurasan, Transoxiana, Sistan, India dan
Turkistan. Terakhir sekali ia kembali kota Baghdad, tetapi karena
khotbah-khotbahnya yang berani mengenai bersatunya manusia dengan Allah ia
dipenjarakan, dengan tuduhan telah menyebarkan faham inkarnasionisme. Al-Hallaj
dijatuhi hukuman mati dan hukuman mati ini, dan hukuman ini secara kejam telah
dilaksanakan pada tanggal 29 Zulkaidah 309 H atau 28 Maret 913. Ia menulis
beberapa buah buku dan syair-syair yang banyak jumlahnya. Di dalam legenda
Muslim, al-Hallaj tampil sebagai prototip dari seorang pencinta yang mabuk dan
tergila-gila kepada Allah.
PENGEMBARAAN
AL-HALLAJ
Husain al-Manshur, yang dijuluki al Hallaj (pemangkas
bulu domba), mula-mula pergi ke Tustar, dan mengabdi kepada Sahl bin Abdullah
selama dua tahun. Setelah itu ia pindah ke Baghdad. Ia memulai pengembaraannya
ketika ia berusia delapan belas tahun.
Setelah itu ia pergi ke Bashrah dan mengikuti “Amr bin
“Utsman selama delapan belas bulan. Ya’qub bin Aqtha menikahkan putrinya kepada
Hallaj, dan setelah pernikahan itulah “Amr bin ‘Utsman tidak senang kepadanya.
Maka Hallaj meninggalkan kota Bashrah dan pergi ke Baghdad mengunjungi Junaid.
Junaid menyuruh Hallaj berdiam diri dan menyendiri. Setelah beberapa lama
menjadi murid Junaid ia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di Kota Mekkah selama
setahun, kemudian kembali ke Baghdad. Bersama sekelompuk sufi, ia mendengarkan
ceramah-ceramah Junaid dan mengajukan
beberapa pertanyaan yang tidak dijawab oleh Junaid.
“Akan tetapi tiba saatnya kelak, engkau akan membasahi
sepotong kayu dengan darahmu”, kata Junaid kepada Hallaj.
“Sewaktu akau membasahi sepotong kayu itu engkau akan
mengenakan pakaian golongan formalis”, balas Hallaj.
Kata-kata mereka terbukti kebenarannya. Sewaktu para
cerdik pandai yang terkemuka mengambil kesepakatan bahwa Al HAllaj harus
dihukum, Junaid sedang mengenakan jubah sufi dank karena itu ia tidak mau
memberi tanda tangannya. Khalifah menyatakan bahwa mereka perlu mendapatkan
tanda tangan Junaid. Maka pergilah Junaid untuk mengenakan sorban dan jubah
kaum ilmuwan. Kemudian ia kembali ke madrasah dan menandatangani surat
keputusan itu. Junaid menuliskan :
“Kami memutuskan sesuai dengan hal-hal yang terlihat.
Mengenai kebenaran yang terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang Maha Tahu”.
Ketika Junaid tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan,
Hallaj menjadi jengkel dan pergi menuju Tustar tanpa pamit. Di sini ia tinggal
selama setahun dan mendapatkan sambutan luas. Karena Hallaj kurang acuh
terhadap doktrin yang populer pada masa itu, para theology sangat benci
kepadanya. Sementara ‘Amr bin ‘Utsman menyurati orang-orang Khuziatan dan
memburuk-burukan nama Hallaj. Tetapi Hallaj sendiri sebenarnya sudah bosan di
tempat itu. Pakaian sufi dilepaskannya dan ia mencebur ke dalam pergaulan
orang-orang yang mementingkan duniawi. Tetapi pergaulan ini tidak mempengaruhi
dirinya. Lima tahun kemudian ia menghilang. Sebagian waktunya dilewatinya di
Khurasan dan Transoxiana, dan sebagian lagi di Sistan.
Kemudian Hallaj
kembali ke Ahwaz, khotbah-khotbahnya disambut baik oleh kalangan atas maupun
rakyat banyak. Di dalam khotbah-khotbahnya itu ia mengajarkan rahasia-rahasia
manusia, sehingga ia dijuluki sebagai Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia.
Setelah itu ia mengenakan jubah guru sufi yang lusuh dan pergi ke Tanah Suci
bersama-sama dengan orang-orang yang berpakaian seperti dia. Ketika ia sampai
ke Kota Mekkah, Ya’qub an-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Oleh
karena itu Hallaj kembali ke Bashrah dan setelah itu ke Ahwaz.
“Kini telah tiba saatnya aku harus pergi ke negeri-negeri
yang penduduknya ber-Tuhan banyak untuk menyeru mereka ke jalan Allah”, kata
Hallaj.
Maka berangkatlah ia ke India, Transoxiana dan Cina untuk
menyeru mereka ke jalan Allah dan memberikan pelajaran-pelajaran kepada mereka.
Setelah ia meninggalkan negeri-negeri tersebut banyaklah oarng-orang dari sana
yang berkirim surat kepadanya. Orang-orang India menyebut Hallaj sebagai Abul
Mughits, orang-orang Cina menyebutnya Abul Mu’in, dan orang-orang Khurasan
menyebutnya Abul Muhr, orang-orang Fars menyebutnya Abu ‘Abdullah, dan
orang-orang Khuzistan menyebutnya Hallaj yang Mengetahui Rahasia-rahasia. Di
kota Baghdad ia dijuluki sebagai Mustaslim dan di kota Bashrah sebagai
Mukhabar.
SEMANGAT HALLAJ
Setelah itu banyak cerita-cerita orang mengenai Hallaj.
Maka berangkatlah ia ke Mekkah dan menetap ia di sana selama dua tahun. Ketika
kembali, Hallaj telah mengalami banyak perubahan dan menyerukan kebenaran
dengan kata-kata yang membingungkan siapapun jua. Orang-orang mengatakan bahwa
Hallaj pernah diusir dari lebih lima puluh kota.
Mengenai diri Hallaj, orang-orang terpecah dua,
orang-orang yang menentang dan mendukung Hallaj sama banyaknya. Dan mereka
telah menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Hallaj. Tetapi lidah
fitnah menyerangnya dan ucapannya-ucapannya disampaikan orang kepada Khalifah.
Akhirnya semua pihak sependapat bahwa Hallaj harus dihukum mati karena
menyatakan Akulah Yang Haq (Ana al Haq – termuat dalam Kitab Tawasin – karangan
Al Hallaj. Sebagai pembanding Muhammad Iqbal sufi muda yang pernah menjadi
Perdana Menteri India dan juga pernah sebagai saksi perjanjian Renfil antara
Indonesia dan India, menyatakan : Ana Ahmad bila Mim – saya Ahmad tanpa Mim –
Ahad - Allah, karena tidak ada fitnah, maka tidak ada masalah. Pen.)
“Katakan, hanya Dia-lah yang Haq”, mereka berseru kepada
Hallaj.
“Ya, Dia-lah Segalanya”, jawab Hallaj. “Kalian mengatakan
bahwa Dia telah hilang. Sebaliknya, Husain-lah yang telah hilang. Samudera
tidak akan hilang atau menysut aairnya”.
“Kata-kata yang diucapkan Hallaj ini mengandung
makna-makna esoteric”, kata mereka kepada Junaid.
“Bunuhlah Hallaj”, jawab Junaid, “Pada zaman ini kita
tidak memerlukan makna-makna esoteric”.
Kemudian kelompok theology yang menentang Hallaj menyampaikan
ucap-ucapannya yang diputarbalikan kepada Mu’tashim. Mereka berhasil membuat
wazir ‘Ali bin Isa menentang Hallaj. Khalifah memberikan perintah agar Hallaj
dijebloskan ke dalam penjara. Setahun lamanya Hallaj mendekam di dalam penjara,
tetapi orang tetap mengunjungi dan meminta nasihat sehubungan dengan
masalah-masalah yang mereka hadapi. Kemudian dikeluarkanlah larangan untuk
mengunjungi Hallaj di dalam penjara. Selama lima bulan tidak ada yang datang
kepadanya kecuali Ibnu Atha dan Ibnu
Khafif, masing-masing sekali. Pada suatu kali Ibnu Atha’ menyurati Hallaj:
“Guru, mohonkanlah ampunan karena kata-kata yang telah
engkau ucapkan, sehingga engkau dapat dibebaskan”.
“Katakanlah kepada Ibnu Atha’, jwab Hallaj, “siapakah
yang menyuruhku untuk minta maaf”.
Mendengar jawaban ini, Ibnu Atha’ tidak dapat menahan
tangisannya. Kemudian ia berkata :
“Dibanding dengan Hallaj kita lebih hina daripada debu”.
Orang-orang mengatakan, bahwa pada malam pertama Hallaj
dipenjarakan, para penjaga mendatangi kamar tahanannya, tetapi mereka tidak
menemukan dirinya. Seluruh penjara mereka geledah, namun sia-sia saja. Pada
malam ke dua, betatapun mereka mencari, mereka tidak menemukan Halaj dan kamar
tahanannya. Pada malam ke tiga barulah mereka dapat menemukan Hallaj di dalam
kamarnya.
Para penjaga bertanya kepada Hallaj.
“Di manakah engkau pada malam pertama, dan dimanakah
engkau beserta kamar tahananmu pada malam yang ke dua? Tetapi kini engkau dan
kamar tahananmu telah ada pula di sini, mengapakah bisa demikian?”
Pada malam pertama”. Kata Hallaj, “Aku pergi ke Hadirat
Allah, oleh karena itu aku tidak ada di tempat ini. Pada malam kedua Allah
berada di tempat ini oleh karena itu aku dan kamr tahananku ini mejadi sirna.
Pada malam yang ketiga aku disuruh kembali ke tempat ini agar hokum-Nya dapat
dilaksanakan. Kini laksanakanlah kewajiban kalian”.
Ketika Hallaj dijebloskan ke dalam penjara, ada tigaratus
orang yang dikurung di tempat itu. Malam itu Hallaj berkata kepada mereka :
“Maukah kalian jika aku membebaskan kalian ?”
“Mengapa engkau tidak membebaskan dirimu sendiri?”, jawab
mereka.
“Aku adalah tawanan Allah. Aku adalah penjaga pintu
keselamatan”, jawab Hallaj. “Jika ku kehendaki, dengan sebuah gerak isyarat
saja semua belenggu yang mengikat kalian dapat kuputuskan.
Kemudian Hallaj membuat gerakan dengan jarinya dan
putuslah semua belenggu mereka. Tawanan-tawanan itu bertanya pula,
“Kemanakah kami harus pergi, pintu-pintu penjara masih
terkunci”.
Kembali Hallaj membuat sebuah gerakan dan seketika itu
juga terlihatlah sebuah celah di tembok penjara.
“Sekarang pergilah kalian”, seru Hallaj.
“Apakah sengkau tidak turut beserta kami?”, mereka
bertanya.
“Tidak”, jawab Hallaj. “Aku mempunyai sebuah rahasia
dengan Dia, yang tidak dapat disampaikan kecuali di atas tiang gantungan”.
Esok harinya para penjaga bertanya kepada Hallaj.
“Kemanakah semua tahanan di sini?”
“Aku telah membebaskan mereka”, jawab Hallaj.
“Engkau sendiri, mengapa tidak meninggalkan tempat ini?”.
Tanya mereka.
“Dengan berbuat demikian, Allah akan mencela diriku. Oleh
karena itu aku tidak melarikan diri”.
Kejadian ini disampaikan kepada Khalifah. Khalifah
berseru,
“Pasti akan timbul kerusuhan. Bunuhlah Hallaj atau
pukulilah dia dengan kayu sehingga ia menarik ucap-ucapannya kembali”.
Tiga ratus kali Hallaj dipukuli dengan kayu. Setiap kali
tubuhnya dipukul terdengar sebuah suara lantang yang berseru :
“Janganlah takut wahai putera Manshur”.
Kemudian ia digiring ke panggung penghukuman. Dengan
menyeret tigabelas rantai yang membelenggu dirinya, Hallaj berjalan dengan
mengacung-acungkan ke dua tangannya.
“Mengapa engkau melangkah sedemikian angkuhnya?, mereka
bertanya.
“Karena aku sedang menuju ke tempat penjagalan”,
jawabnya.
Ketika mereka sampai ke panggung penghukuman di Bab at
Taq, Hallaj mencium panggung itu sebelum naik ke atasnya.
“Bagaimanakah perasanmu pada saat ini?, mereka menggoda
Hallaj.
“Kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah di puncak
tiang gantungan”, jawa Hallaj.
Ketika itu Hallaj mengenakan sebuah celana dan sebuah
mantel. Ia menghadap ke arah kota Mekkah, mengangkat kedua tangannya dan berdoa
kepada Allah.
“Yang diketahui-nya tidak diketahui oleh siapapun juga”,
Halaj berkata dan naik ke atas.
Sekelompok murid-muridnya bertanya : “Apakah yang dapat
engkau katakana mengenai kami murid-muridmu ini dan orang-orang yang mengutukmu
dan hendak merajammu itu?”
“Mereka akan memperoleh dua buah ganjaran tetapi kalian
hanya sebuah”, jawab Hallaj. “Kalian hanya berpihak kepadaku, tetapi mereka
terdorong oleh Iman yang teguh kepada Allah Yang Esa untuk mempertahankan
kewibawaan hokum-Nya”.
Syibli dating dan berdiri di depan Hallaj.
“Bukankah Kami telah melarang engkau ………………….? “Kemudian
ia bertanya ke Al Hallaj “Apakah Sufisme itu ?.
“Bagian yang terendah dari sufisme adalah hal yang dapat
kau saksikan ini”, jawab Hallaj.
“Dan bagian yang lebih tinggi?, Tanya Syibli.
“Bagian itu takkan terjangkau olehmu”, jawab Hallaj.
Kemudian semua penonton mulai melempari Hallaj dengan
batu. Agar sesuai dengan perbuatan orang ramai, Syibli melontarkan sekepal
tanah dan Hallaj mengeluh.
“Engkau tidak mengeluh ketika tubuhmu dilempari batu”,
orang-orang bertanya kepadanya. “Tetapi mengeluh karena Sekepal tanah?”
“Karena orang-orang yang merajamku dengan batu tidak
menyadari perbuatan mereka. Mereka dapat dimaafkan. Tetapi tanah yang
dilemparkan ke tubuhku itu sungguh menyakitkan karena ia tahu bahwa seharusnya
ia tidak melakukan hal itu”.
Kemudian kedua tangan Hallaj dipotong tetapi ia tertawa.
“Mengapa engkau tertawa?”, orang-orang bertanya
kepadanya.
“Memotong tangan seseorang yang terbelenggu adalah
gampang”, jawab Hallaj. “Seorang manusia sejati adalah seorang yang memotong
tangan yang memindahkan mahkota aspirasi dari atas tahta”.
Kemudian kedua kakinya dipotong. Al Hallaj tersenyum.
“Dengan kedua kaki ini aku berjalan di atas bumi”, ia
berkata. “Aku masih mempunyai dua buah kaki yang lain, dua buah kaki yang pada
saat ini sedang berjalan menuju surga. Jika kalian sanggup, putuskanlah kedua
kakiku itu!”.
Kemudian kedua tangannya yang bunting itu diusapkannya ke
mukanya, sehingga muka dan lengannya basah oleh darah.
“Mengapa engkau berbuat demikian?” orang-orang bertanya.
Hallaj dmenjawab :
Telah banyak darahku yang tertumpah. Aku menyadari
tentulah wajahku telah berubah pucat dan kalian akan menyangka bahwa kepucatan
itu karena aku takut. Maka kusapukan darah ke wajahku agar tampak segar di mata
kalian. Pupur para pahlawan adaalah darah mereka sendiri”.
“Tetapi mengapakah engkau membasahai lenganmu dengan
darah pula?”
“Aku bersuci”.
“Bersuci untuk sholat apa?”
“Jika seseorang hendak sholat sunnat dua ropka’at karena
cinta kepada Allah”, jawab Hallaj. “Bersucinya tidak cukup sempurna jika tidak
menggunakan darah”.
Kemudian kedua biji matanya dicungkil. Orang ramai
gempar. Sebagian menangis dan sebagiannya lagi terus melemparinya dengan batu.
Ketika lidahnya hendak dipotong, barulah Hallaj bermohon :
“Bersabarlah sebentar, berilah aku kesempatan untuk
mengucapkan sepatah dua patah kata”. Kemudian dengan wajah menengadah ke atas.
Hallaj berseru : “Ya Allah, janganlah engkau usir mereka (di akhirat nanti)
karena meraka telah menganiaya aku demi engkau juga, dan janganlah Engkau cegah
mereka untuk menikmati kebahagian ini. Segala Puji bagi Allah, karena mereka
telah memotong kedua kakiku yang sedang berjalan di atas jalan-Mu. Dan apabila
mereka memenggal kepalaku, berarti mereka telah mengangkatkan kepalaku ke atas
tiang gantungan untuk merenungi keagungan-Mu”.
Kemudian telinga dan hidungnya dipotong. Pada saat itu
muncullah seorang wanita tua yang sedang membawa kendi. Melihat keadaan Hallaj
itu, si wanita berseru :
“Mampuslah dia. Apakah hak si pencuci bulu domba ini
untuk berbicara mengenai Allah ?”
Kata-kata terakhir yang diucapkan Hallaj adalah :
“Cinta kepada yang Maha Esa adalah melebur ke dalam Yang
Esa”. (Manunggaling Kawula Gusti. Pen.)
Kemudian disenandungkannya ayat berikut :
“ Orang-orang yang tidak mempercayai-Nya ingin segera
mendapatkan-Nya, tetapi orang yang mempercayai-Nya takut kepada-Nya sedang
mereka mengetahui kebenaran-Nya”.
Itulah ucapan yang terakhir. Kemudian mereka memotong
lidahnya. Ketika tiba saatnya Sholat, barulah mereka memenggal kepadala Al
Hallaj. Ketika dipenggal itu Hallaj masih tampak tersenyum. Sesaat kemudian ia
pun mati.
Orang ramai menjadi gempar. Hallaj telah membawa bola
takdir ke padang kepasrahan. Dan dari setiap anggota tubuhnya terdengar
kata-kata : “Akulah yang Haq”.
Keesokan harinya mereka berkata :
“Fitnah itu akan menjadi lebih besar daripada ketika ia
masih hidup”. Maka mayat al Hallaj dibakarlah oleh mereka. Dari abu pembakaran
mayatnya, terdengar seruan : “Akulah yang Haq”. Bahkan ketika bagian-bagian
tubuhnya dipotong, setiap tetets darahnya membentuk perkataan Allah. Mereka
menjadi bingung dan membuang abu itu ke sungai Tigris. Ketika abu-abunya
mengambang di permukaan air, dari abu-abu itu terdengar ucapan : “Akulah yang
Haq”.
Ketika ia masih hidup, Hallaj pernah berkata :
“Apabila mereka membuang abu pembakaran mayatku ke sunga
Tigris, kota Baghdad akan terancam air bah. Taruhlah jubahku di tepi sungai
agar Baghdad tidak binasa”.
Seorang hamba, setelah menyaksikan betapa air sungai
mulai menggelora, segera mengambil jubah tuannya dan menaruh jubah itu di
pinggir sunga Tigris. Air sungai mereda kembali dan abu-abu itu tidak bersuara
lagi. Kemudian orang-orang mengumpulkan abu-abu nya dan menguburkannya.
37.
IBRAHIM AL-KHAUWASH
Abu ishaq Ibrahim al-Khauwash dari Samara adalah seorang
sahabt al-Junaid, ia termasyhur karena pengembaraan-pengembaraannya yang lama
di padang pasir. Ia meninggal dunia di Rayy pada tahun 291 H/ 904 M.
IBRAHIM
AL-KHAUWASH DI PADANG PASIR
Ibrahim al-Khauwash semasa dengan Junaid dan Nuri, beliau
terkenal sebagai pemimpin orang-orang
yang berpasrah diri kepada Allah. Sedemkian pasrahnya ia kepada Allah
sehingga karena tercium buah apel saja ia meu menempuh perjalanan menempuh
padang pasir. Tetapi betatapun uniknya, di dalam kepasrahannya itu, ia tidak
pernah lupa membawa jarum, benang, gunting dan botol. Apabila ditanyakan
mengapa ia membawa benda-benda itu, maka jawabnya : “Benda-benda yang
sedikit ini tidak mengurangi kepasrahan
ku,”. Berikut ini adalah kisah tentang keanehan-keanehan yang dialaminya di
dalam pengembaraannya itu.
Sewaktu aku di tengah padang pasir aku melihat seorang
dara yang beada dalam keadaan ekstase dan berjalan-jalan tanpa penutup kepala.
“Wahai anak gadis, tutuplah kepalamu,” aku berseru
kepadanya.
“Wahai Khauwash, tutuplah matamu,” balas gadis itu.
“Aku sedang mencinta,” sahutku, dan seorang pencinta
tidak akan menutup matanya sedang engkau hanya terpandang olehku secara tidak
sengaja..”
“Aku sedang mabuk,” balas gadis itu,” dan seorang pemabuk
tidak akan menutup kepalanya.”
“Di warung manakah engaku telah menjadi mabuk?.” Tanyaku.
“Berhati-hatilah Khauwash,” si gaid berseru. “Engkau
telah menyakiti hatiku. Selain daripada Allah, siapakah yang berada di dua
tempat?.”...........................
“Anak gaids apakah engkau ingin aku temani?.” Aku
bertanya.
Engkau masih bodoh, Khauwash” jawabku. “Aku bukanlah
semacam perempuan yang mendambakan lelaki.”
oooOOOooo
Pasa suatu ketika, sewaktu berada di tengah padang pasir,
aku melihat Khidir dalam rupa seekor burung yang sedang terbang. Setelah
mengetahui siapa sebenarnya burung itu, segera aku menundukkan kepalaku. Aku
takut kepasrahanku kepada Allah akan berkurang. Seketika itu juga Khidir menghampiriku
dan berkata :
“Seandainya engkau terus memandangku, niscaya aku tidak
akan turun menemuimu.”
Namun aku mengucapkan salam kepadanya karena aku takut
kepasrahanku kepada Allah akan berkurang.
oooOOOooo
Pada suatu hari, di tengah padang pasir, aku sampai ke
sebuah pohon di tepi sebuah mata air. Tiba-tiba seekor singa yang bertubuh
besar muncul dan menghampiriku. Aku berserah diri kepada Allah Setelah dekat
berulah aku tahu bahwa singa itu berjalan terpincang-pincang. Binatang itu
merebahkan dirinya di hadapanku dan mengerang kesakitan. Setelah ku amati
ternyata kakinya begkak dan bernanah. Kuambil sepotong kayu dan kutoreh bengkak di kakinyaitu sehingga semua nanah di
dalamnya keluar. Kemudian dengan secarik kain, kaki singa itu ku balut. Singa
itu bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi tidak berapa lama
kemudain, sing aitu datang lagi bersma anak-anaknya yang masih kecil. Sambil
mengibas-ibaskan ekor, mereka mengelilingiku. Mereka membawa spotong roti yang
kemudian mereka taruh di hdapanku.
oooOOOooo
Pada suatu keetika ku tersesat di pang pasir, untuk
beberpa lama aku berjalan ke satu arah yang tetap tetapi aku tidak menemukan
jalan. Berhari-hari lamanya aku kehilangan arah seperti itu sehinngga pada
akhirnya aku dengan koko ayam. Aku kegirangan dan berjalan ke arah datangnya
suaru kokok ayam tersebut. Tetapi yang ku jumpai adalah seseorang yang segera
menyerang dan memukul tengkukku. Pukulan itu sangat menyakitkan.
“Ya Allah,” aku berseru.” Beginikah perlakuan mereka
terhadap seseorang yang memasrahkan diri kepada-Mu?.”
Maka terdengarlah oleh ku sebuah suara yang ditujukan
kepadaku :
“Selama engkau percaya kepada-Ku, selama itu pula engkau
mulia menurut pandangan-Ku. Tetapi karena engkau telah mempercayai kokok seekor
ayam, maka terimmalah olehmu pukulan itu sebagai hukumanmu.”
Badanku masih terasa perih tetapi aku tetap melanjutkan
perjalanan.
“Khauwash.” Terdengar seruan,” Pukulan orang-orang itu
telah mencederai dirimu, tetapi lihatlah apa yang dihadapanmu itu.”
Aku mengangkat kepala dan terlihat di depanku kepala
orang yang memukulku tadi.
oooOOOooo
Aku telah bersumpah akan mengembara di padang pasir tanpa
perbekalan, makanan, binatang tunggangan. Begitu aku memasuki padang pasir,
seorang pemuda mengejarku dan mengucapkan salam.
“Assalamu alaikum Syeikh,” katanya.
Aku berhenti dan kujaab salamnya. Kemudian tahulah aku
bahwa dia beragama Kristen.
“Bolehkah aku berjalan bersamamu?.” Si pemuda beranya.
“Tempat yang ku tuju terlarang untukmu, maka apakah
faedahnya bagimu untuk berjalan bersama ku,” jawabku.
“Tidak mengapa,” jawabnya. “Mungkin sekali dengan
berjalan bersamamu akan membawa keberktan.”
Setelah seminggu berjalan, pada hari yang ke delapan si
pemuda berkata kepadaku.
“Wahai pertapa budiman dari kaum Hanafiah, beranikah
dirimu untuk meminta sekedar makanan
dari Tuhan mu karena aku merasa lapar.”
“Ya Tuhanku,” aku berdoa.” Demi Muhammad saw. Janganlah
Engkau membuatku malu di depan orang asing ini tetapi turunkanlah sesuatu
dengan kegaiban.”
Sesaat itu juga terlihatlah olehku sebuah nampan yang
penuh dengan roti, ikan panggang, kurma dan sekendi air. Maka duduklah kami
untuk menyantap hidangan itu.
Kamudian kami meneruskan perjalanan hingga genap satu
minggu pula. Pada hari yang ke delapan aku berkata kepada teman seperjalananku
itu.
“Wahai Rahib, tunjukanlah kebolehanmu karena aku telah
merasa lapar.
Sambl bersandar pada tongkatnya, si pemuda berdoa dengan
bibir komat-kamit. Sesaat itu juga terciptalah dua buah meja yang masing-masing
penuh dengan halwa, ikan, kurma dan sekendi air. Aku terheran-heran.
“Makanlah wahai pertapa!.” Si pemuda Kristen berkata
kepadaku.
Aku sanagt malu menyantap hidangan itu.
“Makanlah,” si pemuda mendesak,” sesudah itu akan ku
sampaikan kepadamu beberapa buah kabar gembira.”
Aku tidak mau makan sebelum engkau menyampaikan kabar
gembira itu,” jawabku.
“Yang pertama adalah bahwa aku akan melepaskan sabukku
ini, katanya.
Setelah bekata demikian dilepaskannya sabuk yang sedang
dikenakannya. Kemudian dia menlanjutkan kata-katanya.
“Aku bersaksi, tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Kabar gembira yang ke dua salah
sesungguhnya doaku tadi adalah “Ya Alla, demi orang tua yang mulia di
pandanganMu ini, orang tua penganut agama yang benar ini, berilah aku makanan
agar aku tidak mendapat malu dihadapannya,” Sesungguhnya hal ii terjadi karena
berkatmu juga.”
oooOOOooo
Suatu hari ketika aku melintasi daerah Syiria terlihatlah
olehku pohon-pohon delima. Aku mengekang hasratku dan tak sebuah pun dari delim
a-delima itu yang aku makan karena semuanya asam, sedaang yang ku inginkan
adalah yang rasanya manis. Tidak berapa lama kemudian ketika memasuki lembah
aku menemukan orang yang terbaring, lemah dan tak berdaya. Ulat-ulat telah
merayapi tubuhnya, tabuhan berdesingan di sekelilingnya dan kadang-kadang
menyengatnya. Melihat keadaan yang menyedihkan itu, timbullah rasa kasihanku. Setelah
menghampirinya aku bertanya kepadanya. “Bolehka aku menodakanmu agar engkay
terlepas dari penderitaan ini?.”
“Tidak,” jawab orang itu.
“Mengapa,” aku bertanya.
“Karena kesembuhan adalah kehendakku dan penderitaan ini
adalah kehendak-Nya.”
“Setidak-tidaknya izinkan aku mengusir tabuhna-tabuhan
ini,” bujukku.
“Khauwash,” ia menjawab, “Usirlah hasratmu terhadap
buah-buah delima yang rasanya manis itu. Apakah perrlunya engkau mengganggu
diriku? Berdoalah untuk kesembuhan
hatimu sendiri. Apakah perlunya engkau medoakan kesembuhan jasmaniku?”
“Bagaimanakah engkau tahu bahwa aku bernama Khauwwash?
“Barang siapa mengenal Allah, maka tidak sesuatu pun yang
tersembunyi daripadanya,” ia menjawab.
“Bagaimanakah perasannmu terhadap tabuhan-tabuhnan ini?
Aku bertanya pula.
“Selama tabuhan-tabuhan itu menyengat tubuhku dan
ulat-ulat ini menggerogoti tubuhku, aku merasa bahagia.” Jawabnya.
oooOOOooo
Pernah ku dengar bahwa di Bizantium ada seorang rahib
yang telah tujuh puluh tahun lamanya berdiam di sebuah biara dalam keadaan
membujang.
“Sungguh mengagumkan!.” Aku berseru. “Empat puluh tahun
adalah kualifikasi untuk menjadi seorang rahib.”
Maka berangkatlah aku untuk mengunjungi si rahib. Ketika
aku telah dekat ke biara itu, si rahib membuka sebuah pintu kecil. Begitu
melihat kedatanganku ia berseru.
“Ibrahim, mengapakah engaku kemari? Aku tidak berada di
sisi sebagai pertapa yang membujang seumur hidup. Aku mempunyai seekor anjing
yang suka menggit orang. Kini aku sedang mengawasi anjingku itu dan mencegahnya
apabila hendak menyerang manusia. Jadi aku ini bukanlah seperti yang engkau
persangkakan.”
Mendengar jawaban itu aku pun breseru.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau dapat membimbing hambamu
apabila ia tersesat.”
“Ibrahim,” rahib itu menegusku,” Sampai kapankah engkau
hendak mencari-cari manusia? Carilah dirimu sendiri dan setelah engkau temukan,
berjaga-jagalah karena setiap hari hasrat yang menyimpang mengenakan tiga ratus
enam puluh pakaian kemuliaan Ilahi untuk menyesatkan manusia.
38.
AS-SYIBLI
Keluarga Abu Bakr Dulaf bin Jahdar (Ja’far bin Yunus)
Asy-Syibli, berasal dari Khurasan, tetapi ia sendiri dilahirkan di Baghdad atau
Samarra. Ayahnya adalah seorang pemuka istana dan ia sendiri diangkat untuk
mengabdi kepada negara. Sebagai Gubernur Demavend ia dipanggil ke Baghdad untuk
dilantik dan di kota inilah ia bertaubat kepada Allah. Sebagai salah seorang
sahabat Junaid, ia menjadi seorang tokoh terkemuka di dalam peristiwa
al-Khallaj yag menghebohkan itu. Namanya menjadi aib karena tingkah lakunya
yang eksentrik, tingkah laku yanng menyebabkan ia dikirim ke sebuah rumah sakit
gila. Asy-Syibli meninggal dunia pada tahun 334 H/486 M. Dalam usai 87 tahun.
PANGGILAN TERHADAP SYIBLI
Abu Bakr asy-Syibli adalah Gubernur Di Demavend. Ia
dipanggil Khalifah ke Baghdad. Maka bersama-sama dengan Gubernur Rayy dan
rombongan, berangkatlah ia menghadap khalifah. Setelah dilantik dan
dikenakan jubah kehormatan, mereka
pulang. Di tengah perjalanan, Gubernur Rayy bersin dan mengusapkan jubah
kehormatan itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatannya itu dilaporkan orang kepada
khalifah dan khalifah memberikan perintah agar jubah kehormatan itu dilepaskan
daripadanya, kemudian ia dihukum cambuk dan dipecat. Peristiwa ini membuka mata
Syibli.
“Seseorang yang mempergunakan jubah anugerah seorang
manusia sebagai sapu tangan” Syibli merenung, “dianggap patutu dipecat dan
dihina. Dan oelh karena itu lepaslah jubah dinasnya. Bagaimana pula halnya
dengan seseorang yang mempergunakan jubah anugerah Raja alam semesta sebagai
sapu tangan? Apakah yang akan ditimpakan kepada dirinya?.”
Syibli segera menghadap khalifah dan berkata :
“Wahai pangeran, engkau sebagai seorang manusia tidak
suka apabila jubah anugerahmu diperlakukan secara tidak hormat, dan semua orang
mengetahui betapa tinggi nilai jubahmu itu. Raja alam semesta telah
menganugerahkan kepadaku sebuah jubah kehormatan di samping cinta dan
pengetahuan.Betapakah Dia akan suka apabila aku menggunakannya sebagai
saputangan di dalam mengabdi seorang manusia?.”
Ditnggalkannya istana khalaifah dan bergabunglah ia
dengan murid-murid Kahir an-Nassaj. Di situ dialaminya sebuah pengalaman yang
aneh dan Khair mengirim Syibli kepada Junaid. Maka pergilah Syibli menghadap
Junaid.
“Engkau dikatakan sebagai seorang penjual mutiara.
Berilah ayau juallah kepadaku sebutir,” Syibli berkata kepada Junaid.
“Jika ku jual kepdamu, engkau tidak akan sanggup
membelinya dan jika kuberikan kepadamu, karena begitu mudah mendapatkannya, engkau tidak akan menyadari betapa tinggi
nilainya. Oleh karena itu lakukanlah seperti yang telah aku lakukan. Dengan
kepla terlebih dahulu. Ceburilah lautan ini dan apabila engkau menanti dengan
penuh kesabaran, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”
“Jadi apakah yang harus kulakukan kini?” Syibli bertanya.
“Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun,”
jawab Junaid.
Hal itu dipenuhi Syibli. Setelah setahun berlalu, Junaid
memberikan instruski-instruksi yang lain kepadanya. Pekerjaanmu sekarang ini
bersipat komersial dan akan mencemarkan namamu. Mengemislah setahun lamanya,
sehingga engkau tidak disibukkan hal-hal yang lain.
Setahun pula lamanya Syibli menysuri jalan-jalan di kota
Baghdad. Tetapi tak seorang pun yang mau memberikan sedekah kepadanya. Maka
kembalilah ia kepada Junaid dan menyampaikan hal ini.
“Sekarang sadarilah nilai dirimu. Karena dirimu ini tidak
ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan
janganlah segan kepada amereka. Untuk beberpa lamanya engkau pernah menjadi
bendahara dan untuk beberpa lamanya engkau pernah menjadi gubernur. Sekarang
kembalilah ke temepat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah
engkau rugikan.
Syibli kembali ke Demavend. Rumah demi rumah dimasukinya. Maksudnya adalah untuk memberi imbalan kepada setiap orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang yang pernah dirugikannya tetapi orang itu tidak diketahui kemana perginya.
Syibli kembali ke Demavend. Rumah demi rumah dimasukinya. Maksudnya adalah untuk memberi imbalan kepada setiap orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang yang pernah dirugikannya tetapi orang itu tidak diketahui kemana perginya.
“Dengan mengingat orang itu,” Syibli berkata, “aku telah
membagi-bagikan seratus ribu dirham, tetapi batinku tetap tidak menemuka
kedamaian.”
Setelah empat tahun berlalu, Syibli kembali kepada
Junaid.
“Masih ada sisa-sisa keangkuhan di dalam dirimu.
Mengemislah negkau selama setahun lagi.” Junaid berkata kepada Syibli.
“Setiap aku mengemis,” Syibli mengisahkan, semua yang ku
peroleh ku serahkan kepada Junaid, dan junaid membagi-bagikannya kepada
orang-orang miskin. Pada malam harri aku dibiarkannya lapar,” Setahun kemudian
berkatalah Junaid kepadaku.
“Kini ku terima engkau sebagai sahabatku tetapi dengan
satu syarat, yaitu engkau harus menjadi pelayan bagi sahabat-sahabatku yang
lain.”
Maka setahun pula lamanya aku menjadi pelayan
sahabt-sahabat itu. Setelah itu berkatalah junaid kepadaku.
“Abu Bakr, bagaimanakah sekarang pandanganmu terhadap
dirimu sendiri?”
“Aku memandang diriku ini sebagai orang yang terhina di
natara makhluk-makhluk Allah,” jawabku.
“Jika demikian sempurnalah keyakinanmu,” kata Junaid.
Pada saat itu
Sybli telah memperoleh kemajuan, ia sering mengisi lengan bajunya dengan
gula dan kepada setiap anak-anak yang dijumpainya akan disuapinya dengan
sepotong gula dan setelah itu ia akan berkata kepada si anak : Seburtlah
Allah.”
Setelah itu diisinya banjunya dengan uang dirham dan
dinar. Kemudian ia akan berkata kepada mereka : Kepada setiap orang di antara
kalian yang menyebutkan Allah sekali saja, akan ku berikan uang emas.”
Tetapi di belakang hari api cemburu menggelora di dalam
dadanya. Dihunusnya sebuah pedang dan
berserulah ia :
“Setiap orang yang menyebutkan Allah akan ku penggal
kepalanya dengan pedang ini.”
“Dahuu engkau memberikan gula dan emas,” kata mereka,
“tetapi mengapa sekarang engkau akan memenggal kepala?.”
“Dahulu ku kira mereka menyebutkan nama-Nya karena
pengalaman dan pengetahuan yang sebenarnya,” kata Syibli. “Tetapi kini sadarlah
aku bahwa mereka menyebutkan nama-Nya tanpa sepenuh hati dan karena kebiasaan
semata-mata. Aku tidak rela nama-Nya diucapkan oelh leidah-lidah yang kotor.”
Setelah itu disetiap tempat yang dapat ditemuinya
dituliskannya nama Allah. Tiba-tiba didengarlah olehnya sebuah suara yang
bekata kepadanya :
“Berapa lama lagikah engkau menyibukkan dirimu dengan
sebuah nama? Jika engkau benar-benar seorang pencari, bangkitlah dan carilah
Yang Mempunyai Nama itu.!.”
Kata-kata ini sangat memepngaruhi dirinya. Ia sama sekali
tidak dapat merasa damai dan tenang seperti sediakala. Sedemikian kuatnya bara
cinta menguasai dirinya, sedemikian dalamnya ia tenggelam dalam gejolak mistis,
sehingga ia tidak dapat menahan diri dan mencebur ke sungai Tigris. Tetapi air
sungai menyongsong tubuhnya dan melemparkannya ke pinggir. Kemudian ia
meloncat ke dalam api, tetapi nyala api
tidak dapat membakarnya. Maka dicarinyalah suatu tempat di mana singa-singa
lapar berkumpul, dan melompatlah ia ke tengah-tengah gerombolan singa itu
tetapi singa-singa itu lari berserakan meninggalkan dirinya seorang diri. Dari
puncak gunung ia terjun tetapi angin menyambut tubuhnya dan mendaratkannya
dengan empuk. Kegelisahannya kini menjadi-jadi.
“Alangkah celaka seseorang ,” Syibli berseru, yang tidak
diterima air maupun api, oleh binatang-binatang buas maupun gunung-gunung.
“Tetapi seketika itu juga terdengarlah olehnya sebuah
suara yang berkata :
“Seseorang yang diterrima oleh Allah tidak diterima oleh
yang lain-lainnya.”
Kemudian orang-orang merantai dan membelenggu Syibli.
Mereka membawanya ke rumah sakit gila.
“Dia sudah gila,” kata mereka.
“Menurut penglihatan kalian diriku iigia dan kalian
waras.” Jawab Syibli,” Semoga Allah menambahkan kegilaanku dan kewarasan
kalian, sehingga karna kegilaan ini aku semakin dekat kepada-Nya. Dan karena
kewarasan itu kalian semakin jauh daripada-Nya.”
Khalifah mengirimkan seseorang untuk menyembuhkan Syibli.
Para penjaga datag dan secara paksa mendorongkan obat ke dalam mulutnya.
“Tidak perlu kalian bersusah-susah. Penyait ini bukanlah
penyakit yang dapat disembuhkan oleh obat,” cegah Syibli.
ANEKDOT=ANEKDOT MENGENAI DIRI SYIBLI
Pada suatu hari beberapa orang sahabatnya mengunjungi
Syibli yang sedang dirantai.
“Siapakah kalian. Syibli bertanya kepada mereka.
“Sahabt-sahabatmu,” jawab mereka.
Seketika itu juga Syibli melempari mereka dengan batu dan
mereka semua melarikan diri.
“Pembohong,” Syibli meneriaki mereka. “Apakah para
sahabat akan lari dari sahabat mereka hanya karena beberapa butir batu?
Kelakuan kalian ini membuktikan bahwa kalian adalah sahabat kalian sendiri,
bukan sahabt-sahabatku.”
oooOOOooo
Ketika orang-orang menyaksikan Syibli berlari-lari sembil
membawa bara api di tangannya.
“Hendak kemanakah engkau,” orang-orang bertanya
kepadanya.
“Aku hendak membakar Ka’bah,” Syibli menjawab,” sehingga
orang-orang hanya mengabdi kepada Yang Memiliki Ka’bah.”
Di dalam peristiwa lain, Syibli sedang membawa spotong
kayu yang dibakar di kedua ujungnya.
“Aku hendak membakar neraka dan dengan api di satu ujung
kayu ini dan surga dengan api di ujung lainnya,” Syibli menjawab, “sehingga
manusia dapat mengabdi karena Allah semata-mata.
oooOOOooo
Sudah beberapa hari lamanya, baik di waktu siang maupun
di waktu malam Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil meneriakan,
“Hu,Hu.”
“Apakah artinya semua ini?.” Sahabat-sahabatnya bertanya.
“Merpati hutan yang berada di atas pohon itu menerikana
“ku, Ku, maka akupun mengiringinya dengan “hu’ Hu” jawab Syibli.
Diriwayatkan bahwa merpati hutan itu tidak menghentikan
“Ku’Ku” nya sebelum Syibli menghentikan ‘Hu’ Hu’ nya.
oooOOOooo
Diriwayatkan baha ketika Syibli pertama sekali memulai
disiplin diri, beberapa tahun lamanya ia biasa mengusapkan garam ke matanya
agar ia tidak tertidur. Dikatakan bahwa untuk maksud tersebut ia telah menghabiskan tujuh onggok
garam.
“Allah Yang Maha Besar sedang mengawasi diriku,” Syibli
berkata. Kemudian ia menambahkan, “Seseorang yang tertidur adalah lalai dan
seorang yang lalai ditutup penglihatannya.”
Ketika Junadi mengunjungi Syibli, didapatinya Syibli
sedang melukai kulit alis matanya dengan sebuah penjempit.
“Megapakah engkau melakukan hal ini?.” Junaid bertanya
kepadanya.
“Kebenaran telah menjadi nyata, tetapi aku tidak kuat
memandangnya,” jawab Syibli, “Kulukai diriku dengan harapan Alalh akan berkenan
memandangku walaupun untuk sekilas saja.”
oooOOOooo
Syibli sering pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat
kayu. Setiap kali ia terlena, ia memukul tubuhnya dengan kayu-kayu itu. Pada
suatu kali, semua kayu yang dibawanya telah terpatahkan, maka dinding gua itu
dipukul dan ditendangnya.
oooOOOooo
Karena tenggelam di dalam ekstase mistis, mulailah Syibli
berkhotbah dan kepada khalayak ia mengajarkan rahasia mistik. Junaid mencela
perbuatan Syibli.
“Kita hanya mengucapkan kata-kata tersebut di dalam gua,”
kata Junaid kepadanya. “Tetapi engkau datang dan mengumandangkan kata-kata itu
kepada semua orang.”
“Aku berkata dan aku mendengra,” jawab Syibli. “Di dunia
dan di akhirat nanti siapakah yan ada kecuali aku? Atau lebih tepat lagi,
kata-kata ini berasal dari Allah dan kembali kepada Allah, sedang Syibli sama
sekali tidak ada.”
Jika demikian halnya, engkau memperoleh keleusasaan,”
jaab Junaid.
oooOOOooo
Suatu hari Syibli terus menerus mengucapkan “Allah,
“Allah”,
Soerang murid yang masih muda dan serius berkata
kepadanya,
“Mengapakah engkau tidak mengucapkan “Tiada Tuhan kecuali
Allah?.”
Syibli mengeluh, kemudian ia menjelaskan.
“Aku kuatir begitu kuucapkan “tiada Tuhan,” nafasku
terhenti dan aku tidak sempat melanjutkannya dengan kecuali Allah,” jika hal
seperti itu terjadi celakalah aku.
Penjelasan Syibli ini sedemikian menggugah hati si murid.
Tubuhnya gemetar dan sesaat kemudian ia menemui ajalnya. Sahabat-ssahabatnya
datang dan memaksa Syibli untuk menghadap kahlifah di Istana. Syibli, yang
madih berada di dalam alunan ekstase berjalan sempoyongan seperti orang yang
sedang mabuk. Ia dituduh melakaukan pembunuhan.
“Syibli bagaimanakah pembelaanmu?” khalifah bertanya
kepadanya.
“Pemuda itu terbakar oleh gelora api cinta di dalam
kedambaannya mendengar keagungan Allah.” Syibli menjawab. “Ia telah terlepas
dari segala ikatan dan telah bebas dari segala hawa nafsu. Telah habis
kesabarannya dan tak dapat bertahan lebih lama lagi karena terus menerrus
dikunjungi utusan-utusan dari hadirat Ilahi. Gemerlap cahaya keindahan karena
merenungi kunjungan Ilahi yang menyusup ke dalam kalbunya. Bagaikan seekor
burung sukmanya terbang meninggalkan raga. Apakah kesalahan atau kejahatan yang
telah dilakukan Syibli di dalam hal ini?.”
“Cepat antarakan Syibli ke rumahnya,” khalifah memberikan
perintah. “Kata-katanya sedemikian menggoncangkan batinku sehingga aku kuatir
akan terjatuh dari tahta ini.”
oooOOOooo
Sewaktu Syibli berada di
kota Baghdad, ia berkata :
“Kita membutuhkan uang seribu dirham untuk membei sepatu
bagi orang –orang miskinyang hendak pergi ke tanah suci.”
Seorang pemuda beragama Kristen berdiri dan berkata :
“Akan ku berikan uang sebanyak itu dengan satu syarat,
yaitu engkau akan membawaku serta.”
“Anak muda,” jawab Syibli, “engkau tidak boleh menunaikan
ibadah haji.”
“Kalian tidak mempunyai keledai. Anggaplah aku sebagai
keledai dan bawalah aku pergi.” Jawab di pemuda.
Akhirnya berangkatlah mereka dan si pemuda Kristen yang
menyertai mereka, dengan cekatan melayani segala keperluan mereka.
“Bagaimanakah keadaanmu anak muda?.” Tanya Syibli.
“Aku sedemikian senang memikirkan bahwa aku dapat
menyertai kalian sehingga aku tidak dapat tidur,” jawab si pemuda.
Si pemuda Kristen membawa sebuah sapu. Setiap kali mereka
berisitirahat di sebuah persinggahan ia segera menyapu lantainya dan mencabuti
semak-semak yang tumbuh di tempat itu. Ketika sampai di tempat di mana setiap
orang harus mengenakan pakaian ihram, dilihatnya apa yang dilakukan oleh
orang-orang lain dan ditirunya perbuatan mereka itu. Akhirnya sampailah mereka
ke Ka’bah.
Syibli berkata kepada pemuda Kristen itu!.
“Dengan mengenakan sabuk itu aku tidak mengizinkan engkau
memasuki Masjidil Haram.”
Pemdua itu merebahkan kepalanya ke pintu Masjidil Haram
dan mengeluh :
“YA Allah, Syibli mengatakan bahwa ia tidak mengizinkan
aku ke dalam rumah-Mu.”
Seketika itu juga terdengarlah sebuah seruan :
“Syibli, Kami telah membawanya dari Kota Baghdad dengan
mengobarkan api cinta di dalam dadanya, dengan rantai cinta Kami telah
menyeretnya ke rumah kami. Syibli, berilah jalan kepadanya! Dan engkau
sahabtku, masuklah!.”
Si pemuda Kristen masuk ke dalam Masjidil Haram untuk
ikut melaksanakan ibadah haji. Kemudian barulah teman-teman seperjalannya
masuk. Setelah selesai merekapun keluar dari Masjidil Haram, tetapi si pemuda
masih ada di dalam.
“Anak muda, keluarlah!” Syibli berteriak.
“Dia tidak mengijinkan aku keluar dari sini.” Terdengar
jawaban si pemuda. “Setiap kali aku hendak keluar kudapati pintu tertutup. Bagaimanakah
nasibku nanti?.”
oooOOOooo
Pada suatu ketika secara bersamaan Junaid dan Syibli
jatuh sakit. Seorang tabib yang beragama Kristen mengunjungi Syibli.
“Apakah keluhanmu?.” Si tabib bertanya.
“Tidak ada,” jawab Syibli.
“Apa” jawab si tabib.
“Aku tidak merasa sakit,” jawab Syibli.
Kemudian si tabib mengunjungi Junaid.
Junaid mengatakan setiap hal yang dirasakannya dengan
sejelas-jelasnya. Tabib Kristen itu memberikan obat, kemudian pergi. Di
belakang hari Junaid dan Syibli bertemu .
“Mengapakah engkau sudi menerangkan semua keluhanmu
kepada seorang Kristen?.” Syibli bertanya kepada Junaid.
“Agar si tabib Kristen itu menyadari, jika sahabat-Nya
sendiri diperlalukan-Nya seperti itu. Apakah yang akan dilakukan-Nya terhadap
musuh-Nya nanti.” Jawab junaid. Kemudian ia balik bertanya kepada Syibli. :
“Dan mengapakah engkau tidak mau mengatakan
keluran-keluhanmu kepadanya?.”
“Aku merasa malu untuk menyampaikan keluh kesahku kepada
musuh Sahabt-ku!.” Jawab Syibli.
oooOOOooo
Pada suatu ketika Syibli sedang berjalan-jalan dan
dilihatnya dua orang anak yang bertengkar karena satu buah kenari yang mereka
temukan.
“Bersabarlah kalian, biar aku yang membagi buah kenari
ini untuk kalian!.” Kata Syibli.
Ketika di belah ternyata buah kenari itu kosong. Kemudian
terdengarlah sebuah seruan kepada Syibli, “Teruskanlah, bagilah buah kenari itu
jika engkau benar-benar seorang penengah.”
Mengenai persitiwa ini di kemudian hari Syibli dengan
malu menyatakan :
“Semua pertengkaran karena buah kenari yang kosong! Dan
lagak sebagai penengah terhadap sesuatu yang sma sekali tidak ada.”
SYIBLI MENINGGAL DUNIA
Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan mata Syibli tampak
murung. Dimintanya abu, kemudian ditaburkannya abu itu ke atas kepalanya. Ia
sangat gelisah.
“Mengapakah engkau segelisah ini.” Sahabt-sahabtnya
bertanya-tanya.
“Aku sangat iri kepada Iblis,” jawab Syibli. “Di sini aku
duduk dalam dahaga tetapi Dia memberi kepada yang lain. Allah telah berkata :
Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari Kiamat (QS.38:78) Aku iri karena
Iblis-lah yang mendapatkan kutukan Allah itu, padahal aku pun ingin menerima
kutukan itu. Karena walaupun berupa kutukan, bukankah kutukan itu dari Dia dan
dari kekuasaan-Nya? Apakah yang diketahui oleh si laknat itu mengenai nilai
kutukan tersebut? Mengapa Alalh tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum Muslimin
dengan membuat mereka menginjak mahkota di atas singgasan-Nya? Hanya ahli
permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang raja mengenakan gelang
manik yang terbuat dari kaca atau kristal, tampaknya sebagai permata. Tetapi
jika pedagang sayur yang menempakan cicnin stempel dari batu permata dan
mengenakannya di jarinya, cincin itu tampak sebagai manik yang terbuat dari
kaca.”
Setelah itu, beberapa saat Syibli terlihat tenang.
Kemudian kegelisahannya kebali lagi.
“Mengapakah engkau gelisah lagi?.” Tanya
sahabat-sahabatnya.
“Angin sedang berhembus dai dua arah,” jawab Syibli.
“Yang satu angin kasih sayang dan yang lainnya kemurkaan. Siapa saja yang
terhembus angin kasih sayang maka tercapailah harapan yang akan tercapai itu,
maka aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah ini. Apabila angin
kemurkaan berhembus ke arahku, maka penderitaan ini tidak ada artinya
dibandingkan dengan bencana yang akan menimpa diriku nanti.” Selanjutnya Syibli
mengatakan :
“Tidak ada yang lebih berat di dalam batinku daripada uang
satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya, walaupun untuk itu aku
telah menyedekahkan seribu dirham. Batinku tidak memperoleh ketenangan. Berilah
aku air untuk bersuci.”
Sahabat-sahabatnya membawa air dan menolong Syibli
bersuci, tetapi mereka lupa mengguyurkan air ke janggutnya dan Syibli terpaksa
mengingatkan hal ini kepada mereka.
Sepanjang malam itu Syibli menyenandungkan syair berikut
ini.
Bagi setiap rumah yang Engkau ambil sebagai tempat-Mu.
Tiada faedahnya pelita untuk menerangi.
Ketika ummat manusia harus menunjukkan
Bukti-bukti mereka kepada Sang Hakim dan Raja.
Maka bukti kami, di negeri yang menggetarkan itu, adalah
Keindahan wajah-Mu yang selalu kami dambakan.
Orang-orang telah berkumpul untuk melaksanakan shalat
jenazahnya. Ia sedang menghadapi ajalnya tetapi ia masih mengetahui segala
sesuatu yang terjadi di sekeliling dirinya.
“Sungguh aneh!.” Syibli berkata, “Orang-orang mati telah
datang untuk menshalatkan seorang yang masih hidup.”
:Katakanlah : Tiada Tuhan selain Allah,” mereka berbisik
kepada Syibli.
“Karena tidak sesuatu jua pun selain daripada Dia, bagaimanakah aku dapat mengucapkan
sebuah penyangalan,” jawabnya.
“Tidak ada sesautu pun yang dapat menolongmu, ucapkanlah
syahadat,” mereka mendesak Syibli.
“Raja cinta berkata : “Aku tidak sudi menerima suap,”
balas Syibli.
Kemudian seseorang melantangkan suara untuk mendesak
Syibli.
“Telah datang pula seorang mati untuk membangunkan seorang yang hidup,” kata Syibli.
Beberapa saat berlalu. Kemudian mereka bertanya kepada
Syibli.
“Bagaimana halmu?”
“Aku telah kembali kepada Sang Kekasih,” jawab Syibli.
Setelah itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sepanjang – Sidoarjo, 04-10-2013
T A M
A T
Terima kasih atas postinganya, sudah lama sekali saya mencari buku ini yang dulu pernah saya baca. terima kasih, terima kasih terima kasih...
BalasHapusTerima kasih ijin copy ya mas..
BalasHapusTrimakasih...
BalasHapusAssalamualaikum kaka kaka, ingin bertanya terkait tulisan yang ditulis. Apakah ada karya atau tulisan yang dibuat oleh tokoh Sirri as-Suqhti? Dan apa nama kitab tersebut?
BalasHapusAssalamualaikum, kaka kaka, mohon
BalasHapusAssalamu alaikum...
BalasHapusKeren
BalasHapus