Dan membangun manusia itu, seharusnya dilakukan sebelum membangun apa pun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Dan ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

Hancurkan tatanan keluarga.
Hancurkan pendidikan.
Hancurkan keteladanan dari para tokoh masyarakat dan rohaniawan.

Kamis, 09 Juni 2016

Syair penghormatan kepada Nabi

Dalam himpunan kanonikal hadis terdapat kata-kata Nabi. “Orang belum beriman sebelum aku lebih dicintai olehnya dibandign ayahnya, putranya, dan semua manusia.”
 “SYAIR  PENGHORMATAN  KEPADA  NABI”
Bab ke-10  dalam Buku “Dan Muhammad Adalah Utusan Allah”
Penerbit : Mizan
Penyadur : Pujo Prayitno

Sana’i (meninggal 1131), eksponen besar Persia pertama dari kategori ini, menerangkan dengan sangat tepat kenapa na’t, puisi untuk menghormati Nabi, tidak pernah kehilangan pesonanya yang luas di sepanjang semua kulrut Islami :
Mengucapkan kata apapun selain Namamu
Adalah salah, keleiru;
Melantunkan pujian artistik apapun selain bagimu
Adalah malu, malu!
Dan seorang penyair Urdu awal abad ke-19 berseru :
Sahabat, di hadapan kita semua, perjalanan ke dalam ketakadaan
Namun bila memiliki kata-kata na’t, punya bekal untuk melalui jalan itu!
Baris-baris semacam itu mengungkapkan suatu perasaan yang sama-sama dimiliki oleh kebanyakan penyair dan penulis yang telah melakukan pemujian kepada Nabi dalam baris sajak. Namun pada saaat yang sama, semuanya merasa yakin bahwa hampir tak mungkin berbuat adil terhasdap keagungannya, atau untuk menggambarkan kerupawanannya dan kelembutannya dalam kata-kata yang tepat, Namun :
Mengapa manusia, malaikat dan jin tak memujinya
Padahal Allah SWT Sendiri telah memujinya?
Pertanyaan ini bukan saja dilontarkan oleh soerang penyair Muslim, tetapi juga oleh seorang penyair Hindu, Shivpasad Dohi, yang telah mengklaim bahwa jiwanya  adalah “ngengat yang mengelilingi lilin pertemuan dengan Muhammad”.
Memang rumusan inilah, bahwa “Allah Sendiri telah memujinya”, yang telah menyebabkan kesulitan-kesulitan serius bagi para penyair dan penghimpun puisi na’tiyyah. Satu contoh penting adalah Yusuf Al-Nabhani,s eorang ahli hukum yang saleh dari Bairut yang menghabiskan amsa hidupnya untuk menghimpun karya-karya tentang Nabi; dia menerbitkan segenap himpunan madah untuk Nabi dalam sebuah karya empat jilid, dan dia sendiri menyusun beribu-ribu baris sajak pujian untuk Nabi. Dia memulai bunga rampainya yang besar itu dengans ebuah bab yang didalamnya dia menyatakan penolakan tradisional bahwa “penyair tidak dapat memuji Muhammad sebagaimana sepatutnya dan sebagaimana niscayanya”, sebab adalah mustahil untuk merekam derajat mulia Muhammad dengan madah-madah. Dia merekam sentimen-sentimen yang sama dalam salah satu syairnya sendiri.
Kata mereka kepadaku : “Tidakkah kamu memuji Muhammad.
Nabi Allah dari segala makhluk,
Yang paling patut di agungkan di antara manusia?”
Kataku kepada mereka : “Apa yang harus kukatakan dalam memujinya
Sebab Penciptanya telah memujinya dan tak meninggalkan apa pun untuk diucapkan?”
Dengan kata-kata lain, kenyataan bahwa Muhammad disebut-sebut di dalam Al-Qur’an dengan kata-kata pujian dan bahwa Allah Sendiri mengucapkan shalawat atasnya, membuat tidak mampu memujinya sebagaimana sepatutnya. Sebagaimana penulis Spanyol, Lisanuddinibn Al Khatib bertanya :
Ayat-ayat Kitab Suci telah memujinya – bagaimana
Bisa syair madahku memuji kemuliaanmu?”
Bagitu pula, Busiri berkata dalam sebuah penggambaran yang bagus dalam Hamziyyah-nya, bukankah mukjizat Nabi itu semacam lidah-lidah yang tidak mampu (“ijz) melukiskannya? Bukankah pujian kepadanya bagaikan samudra yang tak terukur dalamnya yang tak memiliki pantai yang tak mampu di jajaki oleh penyelam mana pun?
Dan meskipun para teolog dan penyair menyadari sekali dilema ini, mereka berkali-kali kembali ke madah-madah tentang Nabi, memujinya dalam gambar-gambar yang lembut, aneka warna, atau kata-kata yang muluk, sebab “hati rindu menyebut nama dan sifat-sifat mulianya” dan dengan demikian menjadi hubungan spiritual dengannya, “sebab hal itu merupakan bagian dari watak pencinta untuk menyebut selalu yang dicintai”. Ini adalah kata-kata editor sebuah himpunan lengkap na’t dalam bahasa Sindh, yang berkata di tempat lain :
Peran menonjol nabi dalam sejarah revolusi spiritual manusia pada umunya diakui. Dengan teori revolusioner tauhid, dia telah meletakkan fondasi bagi kesatuan manusia dan pengangkatan intelektual manusia. Bukannya “bentuk”, teteapi “ruh” yang telah dipacunya : dia telah membebaskan pikiran dan membuatnya berwawasan dunia; bukannya gagasan-gagasan fantastik dan dugaan-dugaan, tetapi jalan tindakan dan pengalaman ayng telah dicerahkannya; dan telah membuat penggunaan pendengaran dan penglihatan, pengetahuan dan akal, sebagai ciri umum telah membawa berita-berita bahagia tentang (kapasitas manusia) untuk membuat matahari dan bulan, bahkan langit dan bumi, tunduk : dan telah mengilhami manusia untuk memahami dan menangkap Realitas primordial dengan mempelajari ciptaan dan fakta-fakta psikologi. Memuji dan menyanjung pemimpin mulia dan yang berbuat bajik kepada manusia seperti itu dan juga sahabat-sahabat dan para pencintanya merupakan kebahagiaan bagi setiap orang yang memiliki tabiat baik.
Pada kira-kira waktu yang sama seorang ahli Pakistan dari Hyderabad/Sindh mengubah madah-madah Sindh tentang Nabi, seorang Muslim India, profesor sastra Persia di Universitas ‘Utsmaniyah, Hyderabad/Decca, menulis sebuah artikel panjang tentang peranan sentral puisi na’tiyyah dalam kehidupan Muslim.menurutnya, pujian kepada Nabi melangkah sedemikian jauh daripada semata-mata mengungkapan pemuliaan kepada Nabi; bahkan ia unggul berkat “daya pembentuk watak”-nya dan merangsang suatu “kerindauan kepada Insan Sempurna”.
Akhlak Nabi, seperti yang ditegaskan dalam puisi na’tiyyah, memberi dunia sebuah contoh ideal tentang kepasrahan kepada, dan keselarasan dengan, Kehendak Allah.
Sebagian besar dari puisi na’tiyyah berhubungan dengan nilai-nilai moral dan psiritual yang langsung berkenaan dengan pelatihandiri individual dan kolektif manusia.
Kekacauandan kegelisahan yang ditimbulkan oleh Perang Dunia Kedua tentu saja telah menciptakan suatu dorongan bagi suatu tatanan dunia baru. Ini tampak tercermin dalam upaya-upaya yang sedang dilakukan secara besar-besaran untuk hidup berdampingan secara damai. Na’t adalah satu cabang sastra memainkan bagian penting dalam membangun jenis akhlak yang bertujuan mematahkan ritnangan-rintangan rasial, geografik dan kelas.
Perasaan yang diungkapkan oleh para  ahli ini, dalam terminologi modern, dikenal baik oleh orang-orang Muslim di setiap bagian dunia Mulsim selama Zaman-zaman Pertengahan dan dipopulerkan melalui maddahun al-rasul (pelantun madah) yang membentuk selama berabad-abad kelompok-kelompok tetap di negeri-negeri Arab dan diseru untuk dilaskanakan pada setiap peringatan penting. Legenda-legenda sekitar Muhammad dan gambaran-gambaran yang digunakan oleh kaum sufi untuk mengungkapkannya sedemikian terpadu dalam pujian puitikal tentang Penutup Para Nabi dan Kekasih Allah, yang untuk memujinya dengan sepatutnya orang memilih ungkapan-ungkapan pilihan dan bentuk-bentuk yang sangat artistik.

T R A D I S I   A R A B

Syair-syair pujian pertama untuk Nabi ditulis selama masa kehidupan. Hasan ibn Tsabit memandangnya sebagai seorang penyair di Madinah. Tugasnya dalam arti tertentu adalah tugas seorang jurnalis yang secara puitikal mencatat peristiwwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam masyarakat Muslim yang masih muda itu. Dia berada di sana untuk menistakan musuh-musuh Nabi dan menyanjung tindakan-tindakan berani orang-orang Muslim. Karena itu syar-syairnya merupakan sumber penting bagi sejrah terawal Islam. Pada saat yang sama mengandung banyak pokok yang kemudian dielaborasi dalam teologi dan puisi terkemudian, sperti pernyataan dogmatik ini:
Dengan izin Allah aku bersaksi bahwa Muhammad
Adalah utusan yang lebih tinggi dariapda langit.
Meskipun puisi Hasan masih mengandung perujukan-perujukan tak langsung ke anggur dan cinta, dan ini lazim dalam puisi pra-Islam, “Madah-madahnya untuk Nabi, yang menyanjung-nyanjung kebajikan spiritualnya dan misi religiusnya, dan merinci karunia-karunia yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya, bernafaskan semangat Islam sejati. Hasan berkata :
Kami tahu bahwa tak ada Tuhan selain Allah,
Dan Kitab Allah sebaik-baik petunjuk.
Telah kamis ebutkan sebelumnya perujukan-perujukan tak langsung yang diulang-ulang oleh Hasan kepada cahaya memancar dari Nabi, kelahirannya yang mukjizati, dan diahrapkannya dia untuk menjadi wasilah. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam masa-masa terkemudian, setiap penyair besar yang unggul dalam puisi-puisi pujian untuk Nabi disebut “Hasannya negerinya”. Sebagaimana seorang penyair Persia dengan rendah hati berkata :
Bagaimana bisa aku, yang kacau begini, mengemban
(Peran) Hasan dalam puji-pujian?
Penyair-penyair lain di samping Hasan merupakan bagian dari pengiring Nabi, dan baris sajak mereka juga mengandung sumber tertentu yang penting bagi periode pertama Islam. Di antara mereka adalah Ka’b ibn Malik dan “Abdullah ibn Rawahah, namun nama-nama mereka hampir-hampir tidak disebut-sebut dalam tradisi non-Arab terkemudian. Bahkan dalam tradisi non-Arab, satu akrya berulang kali disebutkan, yang sungguh termasuk karya besar puisi Arab awal : sebuah qashidah oleh Ka’b ibn Zuhari, yang telah mengumpat Nabi dan lalu, karena takut, membaca syair panjang itu di hadapannya. Dimulai dengan Banat Su’ad, “Su’ad telah pergi ......” penyair ini menggambarkan dalam gaya tradisional qashidah pra-Islam tentang keterpisahan dari kekasihnya, dan kepedihan serta kelunglaian yang disebabkan oleh perjalanannya mengarungi padang pasir (suatu perjalanan yang membawanya memuji untanya yang kuat dan trengginas, dan lalu dalam suatu peralihan yang ebrani berpindah dari menggambarkan suatu siang yang panas membara di padang pasir, ke penggambaran tentang janda miskin yang mengangkat kedua belah tangannya dengan sedih setelah menerima berita tentang putranya, yaitu meninggalnya Ka’b) :
Gerak lincah unta betinanya
Bagaikan gerak tangan ibu yang ditinggal mati putranya,
Yang sikapnya dan (tanggissnya) disahuti oleh yang juga telah ditinggal mati putranya,
Kala mereka memaklumkan kematian membawa kepadanya berita kematian putra-putranya;
Dia mencakar-cakar dadanya dengan kedua belah tangannya, dan pakaiannya tercabik-cabik.
Para pengumpat menyebar (fitnah) keapdanya
Seraya berakata : “Sesungguhnya, duhai Putra Abu Salamah, engkau akan dibunuh!”
Dan setiap sahabat yang jadi harapanku berkata :
“Aku tak dapat hidup bersamamu, karena aku sibuk (dengan hal-hal lain)!”
Lalu kataku : “Pergilah --- semoga kau tak punya ayah!”
Sebab apapun yang ditakdirkan Yang Maha Pengasih pasti terjadi.
Setiap orang yang lahir dari rahim seorang Ibu – meskipun usianya panjang ---
Kelak pasti akan dibawa di dalam keranda.
Aku telah diberi tahu bahwa Nabi Allah telah mengancamku ---
Namun pengampunan didambakan dari Rasul Allah .....
Lalu penyair ini berpaling kepada Nabi, memohon maaf bagi kekeliruan-kekeliruannya, dan meminta pengampunan, Muhammad sedemikian terkesan oleh syair ini sampai-sampai dia mengenakan burdahnya ke pundak Ka’b, yang dengan demikian memberinya pengampunan.
Meskipuns ebagian kritikus menyangsikan historisitas peristiwa ini, syair pujian Ka’b – yang disebut Burdah – segera memperoleh tempat yang sangat khusus dalam puisi Arab, dan bukan saja menjadi model bagi semua syair terkemudian yang memuji-muji Nabi, tetapi juga mengandung kesuciannya sendiri. Dewasa ini ia telah diulas, ditiru dan dikembangkan, dan di lembah terpencil Indus para penyair populer yang khusus memuji-muji Nabi menurunkan pesona mereka, bhan, dalam suatu etimologi yang fantastis dari kata-kata Banat Su’ad. Dan burda-i yamani (jubah Nabi yang terbuat dari bahand ari Yaman) telah menjadi dalam bahasa puisi Persia, khususnya dalam baris sajak Jami’ lambang tabir di mana Nabi diminta untuk menyingkapkannya dari wajahnya ayng bagai mentari untuk memberi orang-orang beriman yang mencintainya suatu penglihatan akan raut wajahnya.
Ketika Nabi wafat, banyak sekali lagu sedih yang pendek digubah untuknya, sebagian oleh khalifah-khalifah pertama. Tetapi penggambaran yang terinci dan mengandung berbagai segi, atas sifat-sifat dan kebajikan-kebajikannya, dikembangkan selama abad-abad pertama dalam prosa, bukan dalam puisi. Sudah disebutkan bahwa prosa bersajak yang bagus ini, yagn didalamnya keindahan dan kekuatan bahasa Arab mengungkapkan dirinya dengan ssangat ekspresif dan yang hampir tak dapat diterjemahkan disebabkan oleh kepadatannya, mengandung banyak sekali karya tentang syama’il dan dala’il al-nubuwwah (tanda-tanda yang menunjukkan sifat-sifat khas Nabi). Dalam pergantian melinium pertama Masehi, Tsa’labi dapat menghimpun sederet panjagn ungkapan bersajak untuk Nabi yang harus digunakan bila menyebutnya, msialnya, dalam kalimat-kalimat mukadimah kesusastraan. Dalam himpunannya dijumpai pernyataan-pernyataan seperti berikut :
Dia membawa umatnya dari kegelapan ke terang benderang, dan menaungi mereka dari teriknya sinar matahari; Muhammad, utusan dan sahabat karib Allah, pilihan utama-Nya di antara makhluk-makhluk-Nya, yang terbaik yang pernah diciptakan oleh Allah dan hujah-Nya di atas bumi; dia, yang memandu ke kebenaran-Nya dan menyadarkan orang akan kearifan-Nya dan menyeru ke bimbingan-Nya; dia, yang kelahirannya diberkati dan yang kedatangannya membawa keberuntungan; berseri-seri cahaya paginya dan terang benderang diannya pada malam hari; dia, yang pertempuran-pertempurannya senantiasa menang dan yang khutbah-khutbahnya agung, .....
Kategori madah-madah puitikal untuk Nabi muncul, sejauh yang dapat diketahui, pada awal abad ke 11, dan ungkapan-ungkapan seperti yagn dihimpun oleh Tsa’labi itu mewarnai puisi.
Kalau kaum sufi terutama bertanggung jawab atas berkembangnya pemuliaan kepada Nabi menjadid sutu kategori sastra yang mendalam, seorang anggota dari suatu persaudaraan sufi menggubah syair yagn dewasa ini dianggap sebagai ungkapan pujian kepada Nabi, yang sedemikian lengkap dan sangat ebrnilai. Penulisnya, Muhammad Al-Busiri (meninggal 1298), adalah seorang penulis dari Abu Sir di Mesir yang telah memberikan Bay’ah (pernyataan setia)-nya kepada Guru Syadzili, Abu Al-‘Abbas Al-Mursi, dia menggubah, di samping baris sajak tertentu yang lebih ringan, beberapa himne yang bagus untuk memuliakan Nabi. Syair pujian yang amat bagus, puitikal dan ekspresif di antaranya adalah Hamziyyah, sebuah syair bersajak dalam (a), yang mengandung di sana-sini sebuah gambaran panjang tentang mukjizat-mukjizat Nabi yagn termasyhur. Namun bukan Hamziyyah yang mengabadikan nama Busiri, tetapi syair bersajak dalam m-nya, yang segera menjadi termasyhur sebagai Al-Burdah (dalam bahasa Turki biasanya Al-Bur’a). Menurut riwayat, penyair ini telah menderita stroke, dan dalam kesengsarannya dia berpaling kepada Nabi dan menulis sebuah syair yangmemuliakannya. Keyakinan kepada kekuatan Nabi untuk menyembuhkan senantiasa kuat, dan memang Muhammad tampak oleh Busiri dalam mimpi dan mengenakan jubahnya atas Busiri seperti yagn pernah dilakukannya terhadap Ka’b ibn Zuhair pada masa hidupnya setelah mendengar syair pujiannya, Busiri disembuhkan oleh sentuhan jubah Nabi sehingga dapat lagi berjalan-jalan keesokan pagi harinya.
Judul yang benar dari Burdah kedua ini adalah Al-Kawakib Al-Durriyyah fi Mad-h Khair Al-Bariyyah (Planet-planet yang berbinar-binar dalam Pujian kepada Sebaik-baik Insan). Banyak sekali legenda yang berakitan dengan kualitas-kualitas cemerlang syair-syair itu. Dia segeera dipuji karena barakah dan daya sembuhnya, yang mujarab bukan saja begi mereka yang membaca atau menyalinnya. Dapat ditempelkan di mata agar mata yang sakit sembuh; baris-baris sajak yang khas dianggap dapat menghidarkan kemiskinan atau penyakit sampar, atau menjauhkan musuh-musuh dan roang-orang yang iri dan dengki.

Baris-baris ke 23 dan 24, jika dibaca pada waktu subuh, membawa kedamaian bagi hati yang sedih. Karena inilah Burdah sering digunakan dalam azimat-azimat atau ditulis di dinding-dinding rumah-rumah dan bangunan-bangunan keagamaan. Salinan-salinan berharga dari syair itu diproduksi selama berabad-abad bagi negarawan atau teolog terkemuka, khususnya di Mesir Mamluk, negeri asal madah itu. Para penyair di negeri-negeri berbahasa Arab,  dan kemudian di India, memperluas Burdah dengan menyisipkan sendiri baris-baris sajak mereka sendiri di sana-sini, sehingga menciptakan syair-syair berseloka yang panjang – metode ini diberi nama Tasythir (memecah-mecah). Variasi yang sangat disukai adalah menempelkan tiga baris sendiri di depan satu baris dari Burdah dan dengan demikian untuk memperoleh takhmis, sebuah syair dengan bait-bait lima baris, suatu tehnik yang sering digunakan untuk syair-syair religius termasyhur lainnya pula. Lebih 80 teakhmis Burdah seperti itu diketahui dari Mesir saja. Para penyair yang menulis dengan bahasa Arab dari India selatan juga berlomba-lomba dengan mereka yang bahasa ibu mereka bahasa Arab dalam mempersiapkan versi-versi baru  syair pembawa keselamatan itu. Dengan amat segera Burdah diterjemahkan  ke dalam bahasa-bahasa Islam lainnya. Dalam tradisi Persia, salinan puisi yang amat piawai  dibuat pada paruh kedua abad ke-15 oleh Jami’, yang dirinya termasyhur berkata puisi na’tiyyah-nya. Menyusul penerjemahan-penerjemahan ke dalam bahasa Turki dan Urdu; bahasa Punjab dan Pashto di anak benua India memiliki pula ersi-versi mereka sendiri, dan bahasa Swahili di Afrika Timur memiliki beberapa terjemahan syair itu. Ada suatu versi bahasa Melayu untuk Burdah itu yang berasal dari abad ke-16, dan suatu penerjemahan yagn lebih belakangan ke dalam bahasa Shilha Berber. Tipikal dari keyakinan kepada kekuatan azimat dan pemberi berkat dari Burdah adalah syair doa kecil yang menyentuh hati yang ditambahkan oleh seoerang penerjemah Swahili ke dalam karyanya :
Tuhan, tolonglah istriku!
Hindarkanlah dia dari malapetaka kehidupan ini
Dan kelak, di kehidupan akhirati,
Semoga dia masuk surga tanpa dihisab atau cela!
Di negeri-negeri bukan berbahasa Arab, orang suka menulis, dan lalu mencetak, salinan Burdah dalam bahasa Arab dengan disertai satu atau dua terjemahan, sehingga kekuatan memberi berkat dari teks-teks aslinya benar-benar tersampaikan, sementara pada saat yang sama pembaca asing dapat menikmati teks yang amat rumitnya dalam suatu salinan lirikal dalam bahasanya sendiri. Versi interlinier Burdah dengan mudah dapat diperoleh di toko-toko buku di Lahore, Delhi dan di lain tempat; sebuah edisi bertuliskan indah dengan salinan-salinan baris sajak Persia dan Urdu yang interlinier baru saja diterbitkan di Huderabad/Deccan. Di Deccan bacaan-bacaan atas bagian-bagian Burdah, yagn diselang-seling dengan banyak sekali bacaan dari Al-Qur’an dan madah untuk Nabi, masih dilakukan dalam suasana perayaan, dan para sufi memiliki aturan-aturan yang sangat khusus tentang bagaimana membacanya dengan tepat.
Bukan saja orang-orang Muslim yagn telah kembali berkali-kali ke Burdah. Ahli-ahli Eropa juga berminat pada syair itu pada tahap paling awal dari studi-studi ketimuran. Syair itu dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1761 di Lieden di Nederland, dan dengan demikian marupakan salah satu teks sastra Arab paling awal yang diterbitkan di Barat. Setelah salinan puitikal Rosenzweig-Schwannau pada 1824, seorang orientalis muda Jerman C.A. Rafls, mengedit karya itu bersama dengan sebuah versi puitikal Persia dan Turki dan menerjemahkannya ke dalam Prosa Jerman yagn bagus tetapi sangat berat; sayang dia keburu meninggal dunia terkena penyakit TBC, dan orang dapat menikmati karyanya melalui media massa. Orientalis besar Prancis, Sylverstre de Sacy, menerjemahkan syair Busiri untuk Exposition de lafoi Musulmane-nya Garcin de Tassy (1822). Yang masih sering dikutip adalah terjemahannya ahli dari Prancis, Rene Basset, yang, meskipun tidak menyukai puisi mistikal, memberikan sebuah ulasan bermanfaat yang menjelaskan banyak dari penggambaran-penggambaran yagn banyak sekali terdapat dalam Burdah. Ahli dari Ingris, J. W. Rehouse, menerbitkan versinya dalam sebuah buku yang dicetak secara pribadi, terjemahan modern yagn andal dan sangat ebrmanfaat bagi pembaca yang berbahasa Ingris adalah terjemahan oleh Athur Jeffery dalam Reader in Islam-nya.
Burdah memang merupakan sebuah ikhtisar sejati tentang profetologi zaman pertengahan,d an meskipun baris-baris sajaknya yagn saksama kedengarannya agak sederhana dan tidak sedemikian memikat bila dditerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat, masing-masingnya mengandung rukun-rukun tertentu iman dan pernyataan-pernyataan tentang Nabi yang merupakan sentral bagi pandangan dunia Muslim zaman pertenggahan. Itulah sebabnya syait ini menjadi sedemikian populer sekali.
Penyair ini memulai qashidah-nya dengan gaya klasikal tradisional dengan rintihan tentang keterpisahannya dari sahabat-sahabatnya :
Sudahkah kau, karena ingat para tetangga di Dzu Sallam.
Membaurkan darah dengan air mata yagn mengalir dari bola mata?
Lalu dalam baris ke-35 dia berpaling kepada Nabi, tempat dia mengharapkan pertolongan spiritual dan yagn disanjung-sanjungnya dalam 150 baris berikut :
Muhammad, tuan dua dunia, manusia dan jin
Dua umat, Arab dan bukan Arab,
Nabi kita, yang memberikan perintah dan laranagan – dan tak satu pun
Yang lebih benar dariapda dia dalam berkata Tidak atau Ya.
Dia yagn tercinta, darinya wasilah-nya didambaakan
Dalam setiap ketakutan dan bahaya
Dia telah menyeru (kita) kepada Allah,d an yang setia kepadanya
Akan menggapai tali yang tak mungkin putus.
Dia unggiul atas para nabi dalam jasmani maupun akhlak,
Pengetahuan dan kebaikan mereka jauh dari pengetahuan dan pengetahuannya . . .
Busiri memandang Nabi sebagai pembimbing spiritual umat dan wasilah pada Hari Kiamat, pemilik mukjizat-mukjizat dan Penutup para nabi. Hanya uraian yang sangat ringkas tentang kelahirannya yang mukjizati yang dibuat, namun mukjizat-mukjizat yang lain --- seperti sujudnya pepohonan – mendapatkan perhatian yang besar.
Memenuhi seruannya, pepohonan datang, sujud,
Menuju padanya dengan satu kaki,
Seolah-olah sedang membuat garis untuk tulisan indah
Yagn ditulis cabang-cabang mereka di tengah jalan.
Bagai awan aygn ebrgulung-gulung dia pergi,
Menaunginya dan teriknya sinar mentari yang bagai relau . . . .
Perjalanan Nabi ke langit dilukiskan dalam imaji-imaji pilihan :
Pada malam hari dikau pergi dari satu ke lain temapt suci
Bagai bulan purnama di dalam gelap gulita,
Dan dikau naik hingga mencapai suatu tempat,
Yaitu “Dua busur panjangnya” – yang tak pernah dicapai atau dituju,
Dan untuk itu para rasul memberi dikau pelebihan,
Begitu pula para Nabi; suatu pelebihan (sebagaimana seharusnya)
Yang diberikan kepada seorang tuan oleh hamba-hambanya.
Dan dikau menemhus langit ke tujuh, melewatinya dalam suatu
Proses kemenangan, dikau pembawa panji-panjinya . . . .
Nabi adalah seperti dilantunkan oleh Busiri dalam sebuah baris sajak yang sering ditiru,
Lembut bagai bunga mawar, agung bagai bulan purnama.
Pemudah bagai samudera, maksud-maksudnya agung bagai waktu.
Namun pada saat yang sama Nabi yang lembut dan pemurah ini adalah juga hero dalam pertempuran, dan prestasi-prestasi militernya dielaborasi sedemikian rupa :
Tak pernah berhenti dia untuk memenuhi mereka di setiap medan perang
Hingga mereka bagai, dengan tombak-tombak mereka, daging di atas balok tukang daging
Dia pemimpin samudera tentara di atas panggung kuda-kuda yang berlari bagai terbang
Aygn melemparkan ke atas benturan gelombang-gelombang para hero,
Yagn pasrah kepada Allah danmendambakan pahala surgawi,
Menyerbu, dan berjuang keras membasmi kedurhakaan.
Sekali lagi, seperti banyak penyair sebelum dan sesudah dia, Busiri juga lebih merujuk kepada fakta bahwa dia sendiri, berkat namanya Muhammad, emmiliki hubungan sangat khusus dengan Nabi, yang merasa berkewajiban melindungi orang yang senama dengannya. Namun, dia juga memperingatkan orang-orang Muslim bahwa segala puji yang dilimpahkan kepada Nabi sedemikian rupa hendaknya jangan dikacaukan dengan pemujaan kepada Kristus oleh orang-orang Kristen,s ebagaimana mereka telah memandang Yesus sebagai Putra Tuhan. Muhamamd, meskipun mulia berkat setiap kebajikan yagn mungkin dilakukan dan unggul dalam setiap sifat mulia yang dapat diinera, adalah seorang makhluk :
Kesampingkan apa yang diklaim orang Kristen tentang nabinya
Namun tujukan kepadanya apapun yang ingin kau puji, dan bersipalah untuk itu,
Dan nisbahkanlah kepada pribadinya apapun yagn ingin kau muliakan
Dan nisbahkanlah kepada kekuatannya setiap kemuliaan yang kau inginkan,
Karena kemuliaan Rasul Allah tak ada batasnya
Siapa pun yagn berbicara dengan mulutnya dapat mengungkapkannya (dengan sepenuhnya). 
Dengan demikian, Burdah-nya Busiri meliputi semua gagasan itu yang disenangi dan diterima oleh orang-orang Muslim zaman pertengahan, dan karena itu telah menyumbang banyak pada pembentukan gambaran ideal tentang Nabi dalam puisi Arab, dan akibatnya juga dalam puisi-puisi Islam non-Arab.
Pada eprtengahan abad ke-13 terdapat banyak juga penulis di negeri-negeri Arab yang mdah-madahnya menunjukkan arah yang dituju oleh puisi religius pada umumnya di negeri-negeri berikutnya, yakni semakin meningkatnya artifisialitas yang hampir mematikan perhatian sesungguhnya dari para penyair. Para penyair saling bersaing satu salam lain seolah-olah dalam penggambaran-penggambaran yang piawai tentang kualitas-kualitas Nabi; gaya mereka sering terlalu terbebani alat-alat retorikal yang dicari-cari dan gambaran-gambaran yang dibuat-buat. Tentu saja puisi yang seperti itu dapat ditafsirkan sebagai suatu “persembahan puitikal” yang didalamnya para penyair menerapkan segenap kepiwaiannya mereka untuk menhasilkan suatu yang benar-benar patut bagi Nabi. Sebagian dari mereka menggubah abris-baris sajak yang didalamnya masing-masing baris dengan huruf bersajak syair, sebagian lagi menulis madah-madah dalam huruf-huruf yang khas tak bertitik, dan sebagian mencakup setiap kiasan yang dirinci oleh ahli-ahli retorika Arab – dalam kategori terakhir ini, Safiuddin Al-Hilli (meninggal 1349) barangkali adalah yang paling termasyhur. Sebuah contoh bagus tentang tendensi ke arah artifisialitas adalah sebuah madah oleh Al- Sarsari, yang terbunuh ketika orang-orang Mongol di bawah Hulagu menjarah Baghdad pada 1258. Sedemikian artistik masing-masing barisnya mengandung segenap huruf abjad! Seperti para pendahulu dan penerusnya, Sarsari juga menempatkan cahaya Muhammad di tengah-tengah baris sajaknya. Dia membuka satu syair, misalnya, dengan suatu sarana retorikal yang banyak digunakan, tajahul al-‘arif (kejahilan pura-pura), dan bertanya :
Wajahmu atau cahaya pagi yang terbit?
Atau bulan purnama penuh, yang menyingkiran kegelapan?
Atau mentari di sisang hari tak berawan?
Sebagian amdah untuk Nabi yang digubah oleh Al-Witri (meninggal 1264) menjadi terutama populer di kemudian hari. Di India madah-madah itu dielaborasi ke dalam bentuk-bentuk seloka dan digunakan untuk berbagai permainan retorikal.
Tampaknya para penyair dari Maroko, atau agaknya juga dari wilayah Afrika Utara yang berahasa Spanyol, khususnya banyak menghasilkan madah-madah dan doa-doa puitikal untuk Nabi. Sebagian segera menjadi klasikal, di antaranya rumusan-rumusan shalawat yang digubah oleh Ibn Masyisy dan kemudian Dala-il Al-Khairat-nya Jazuli; penyair-penyair ini muncul dalam syair-syair ibadah yang penuh semangat dan menunjukkan ciri-ciri khusus puisi na’tiyyah, seperti pujian tentang sandal Muhammad. Sering terjumpai rangkaian-rangkaian panjang anafora, yang menyeru Muhammad : “Duhai tuan ..... Duhai tuan! ... Duhai tuan!” atau “Rahmat .... Rahmat .... Rahmat!”
Duhai utusan Allah Yang Mahaesa! Aku seorang asing ---
Tolonglah daku, Duhai pelindung orang-orang asing!
Duhai utusan Allah Yang Mahaesa, sungguh miskin daku,
Tolonglah daku, Duhai penolong orang-orang miskin!
Duhai utusan Allah Yang Mahaesa, aku sakit dan lemah ---
Sembuhkanlah daku, sebab dikau yang didambakan untuk kesembuhan.
Duhai utusan Allah Yang Mahaesa, andaikata dikau tak menolong daku
Kepada siapa lagi daku berpaling?
Maka seorang penyair Arab abad ke-15 menulis dalam Mentari Terbit dalam Syair-syair Pujian untuk Nabi-nya, yang menyentuh dawai yang terkenal dalam puisi populer dari semua negeri Muslim, seperti dalam ratap tangis penyair-penyair dusun di Punjab atau Sindh. Dalam puisi Arab terkemudian ini, permainan-permainan piawai atas kata-kata, yang di dalamnya sang penulis senang menggunakan semua derivasi yang mungkind ari, dan hubungan-hubungan silang antara , akar-akar bahasa Arab, berganti-ganti dengan seruan-seruan bersahaja yang di dalamnya dia memohon pengampunan atas dosa-dosa dan sering dilengakpi dengan penggambaran-penggambaran luar biasa tentang kualitas-kualitas Nabi dan mukjizat-mukjizatnya.
Syair pra Islam yang termasyhur aeperti Qifa Nabki (Mari Kita Tinggal dan Menangis, Duhai sahabat) karya Imru Al-Qais “dipecah-pecah dan diisi dengan baris-baris sajak baru untuk diubah menjadi madah-madah berseloka yang menyanjung-nyanjung Nabi.” Yusuf Al-Nabhani telah memberikan dalam bunga rampai puisi Na’tiyyah sebuah contoh dari gaya ini dengan banyak sekali model seninya sendiri, yang di antaranya yang harus disebutkan adalah baris sajak na’tiyyah dalam enambelas mantra puisi Arab, dengan nama tehnikal dari setiap mantra (misalnya “cahaya,” “panjangJ yang dengan piawai deigarap menjadi teks yang tepat.
Bentuk klasikan madah itu tetap hidup dalam bahasa Arab. Ahmad Syauqi, penyair Istana Mesir pada awal abad ke-20, menciptakan sebuah syair religius yang mengesankan dalam qashidah-nya, Fi Nahj Al-Burdah (Dalam gaya Burdah), dan dia juga meniru Hamziyyah-nya Busiri dan menulis ebebrapa syair tentang mawlid. Tetapi bentuk-bentuk populer, bahkan  dalam puisi na’tiyyah, juga menjadi kian umum di negeri-negeri Arab. Banyak dari syair-syair ini dapat dilagukan dan mudah dihapal, semua gaya baris sajak nonklasikal digunakan, dan bahasanya mengandung bentuk-bentuk yang di dalamnya aturan-aturan klasikal tatabahasa hanya sebagian ditaati. Bentuk seloka muwasyasyah, yang tak secara khusus berada dalam jalur gaya klasikal, terutama mendapatkan popularitas, sehingga seorang pengarang sufi kenamaan seperti ‘’Abd Al-Ghani Al-Nabulusi (akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18) memilih menggunakannya untuk lagu-lagunya demi memuliakan Nabi.
Menrik untuk dicatat bahwa bentuk tradisional qashidah Arab terlestarikan bukan saja di negeri-negeri Arab sendiri tetapi juga di India Muslim. Baik di India utara maupun di Deccan terdapat penyair-penyair dan teolog-teolog yang terus menulis dalam gaya yang sama dengan yang dilakukan oleh penyair-penyair Arab zaman pertengahan, sebab bahasa Arab adalah bahasa teolog yang umum digunakan. Tak sia-sia polyhistor Azad Bilgrami (meninggal 1786 di Aurangabad) disebut-sebut untuk puisi na’t Arabnya yang artistik sebagai “sang Hasan Al-Hind”. Sebelum dia, teolog reformis besar Delhi, Shah Waliullah, menulis baris-baris sajak Arab dalam amsal tradisional tentang mukjizat-mukjizat Nabi yang juga dia bahas dalam cara yang agak lebih sederhana dalam karya-karya ilmiahnya. Di India selatan bukan saja Burdah dan syair-syair serupa yang termasyhur yang secara seloka diperluas oleh banyak sekali penyisipan. Tetapi penyair-penyair berwawasan mistikal juga memasukkan tradisi Arab klasikal itu ke dalam lingkungan bahasa mereka sendiri. Tamil, misalnya, memiliki literatur Islam yang penting, di antaranya Sira Puranam-nya Omar Pulavar (sekitar tahun 1700), sebuah syair biografikal yang panjang tentang kehidupan Nabi, khususnya patut disebutkan.

KERINDUAN  PENYAIR AKAN MADINAH

Penyair sufi Mesir, Ibn A; Farid (meninggal 1235), yang pernah tinggal bertahun-tahun di Hijaz, melantunkan kerinduan akan kota-kota suci Islam :
Kala duka cita kepedihan menimpa ruhku, aroma
Rerumputan segar Hijaz menjadi paramku .....
Tampaknya dia termasuk yang pertama mengungkapkan cinta dan kerinduannya akan tanah tumpah darah Nabi dalam baris sajak yang artistik, tetapi dalam berbagai jenis madah untuk Nabi, taopik ini menjadi umum dalam puisi setelah abad ke-13.
Terutama kerinduan akan Madinah, tempat peristirahatan terakhir Nabi, yang telah menggelorakan para penyair bahkan hingga kini. Tor Andrea dengan benar telah menunjukkan gagasan bahwa mengunjungi makam Nabi akan menjamin Nabi menjadi wasilah-nya “bergerak di dalam suatu wilayah yang pada hakikatnya sepenuhnya asing bagi Muslim ortodoks”, dan karena itu kaum Wahabi tidak menyukai kunjungan-kunjungan seperti itu, yang diantisipasi oleh Ibn Taimiyah. Seorang ahli Mesir, ‘Ali Safu Husain, beranggapan bahwa motif ini pertama kali dimaksukkan ke dalam sastra oleh penyair Mesir dan ahli hadis Ibn Daqiq Al-‘Id (meninggal 1302), tetapi hal itu kiranya kembali ke masa-masa sebelumnya.
Para penyair dapat mengelaborasi motif berkunjung ke Madinah dengan menerapkan padanya bentuk Arab klasikal qashidah dan mukadimahnya yan erotik, tasybib. Penggambaran tradisional tentang perjalanan ke tempat kekasih yang jauh dapat diubah menjadi penggambaran tentang perjalanan ke makam Nabi tercinta; bagi hati rindu seorang penyair yang berkelana, duri-duri di gurun Arabia dapat berubah menjadi sutra dan brocade 9kain sutra berlungsing emas atau perak), yang membelai-belai kakinya. Topik ini, penggambaran tentang perjalanan berat ke rumah kekasih, diambil alih ke dalam puisi rakyat juga. Dalam Sur Khanbath-nya Shah ‘Abdul Latif, sang unta (yaitu jiwa manusia yang geleisah dan tenang) digerakkan menuju Nabi tercinta, yang “lebih manis daripada madu dan yang lebih harum daripada kesturi”, dan bulan yang ebrseri-seri diminta untuk mencium kakinya guna mengungkgapkan pikiran-pikiran rindu sang musafir. Para penyair yang tidak dapat melakukan perjalanan ke Hijaz (atau setidak-tiadknya menggambarkannya menurut imajinasi mereka dalam amsal-amsal yang senantiasa baru) dapat meminta embusan angins epoi-poi pagi untuk menyampaikan salam mereka kepada Nabi dan mengatakan keapdanya tentang cinta mereka – sekali lagi suatu motif yang diambil dari puisi cinta profan, dan sering terdapat dalam ghazal-ghazal di negeri-negeri non-Arab. Karena itu, salam berkembang menjadi suatu kategori yang jelas bagi puisi religius.
Meskipun para penyair Mesir abad-abad ke-14 dan 15 khususnya suka menggambarkan negeri yang mereka rindukan untuk melihatnya sebab Nabi tinggal di sana, topik yang sama bahkan lebih nyata di negeri-negeri dunia Afrika dan Persia. Semakin jauh sang penyair berada dari Madinah, semakin fasih dia belantun tentang kerinduannya akan Raudhah (Taman Nabi). Sebuah penggambaran tentang kunjungan ke Madinah oleh seorang wanita Turki modern dan berpendidikan tinggi, Emel Esin, dalam bukunya yang bagus, Mecca the Belssed, Medina the Radiant, membuktikan bahwa kerinduan akan kehdiran Nabi ini masih tetap menjadi bagian yang amat besar dari iman yang menyala. Sungguh, para jamaah haji dari India dan Pakistan yang beru kembali dari menunaikan ibadah hadi di Makkah akan menceritakan kunjungan mereka ke Raudhah dalam kata-kata ekstatik dan sering tenggelam dalam air mata ketika mengingat saat-saat yang diberkati kala mereka berdiri di gerbang tempat peritirahatan terakhir Nabi.
Sebuah buku panduan yang diciptakan oleh seorang ahli Mesir abad ke-15, Al-Suyuthi, memberitahukan bagaimana berperilaku ketika menyampaikan salam kepada Nabi di Madinah :
Bila memasuki masjid Nabi, sebaiknya melakukan shalat sunnah dua rakat di Raudhah (ruangan ebrtiang-tiang di sebelah barat makam). Lalu mendekat ke Makam Mulia menghadap ke arah kiblatnya dan berdiri didepannya sekita 180 cm dari kepala Makam sedemikian rupa sehingga lampu berada di atas kepala dan paku di tembok pagar mulia itu menghadap ke lampu (yaitu sebuah paku perak yang dipakukan ke dalam batu pualam merah); dan barangsiapa menghadap ke paku itu, berarti berhadapan dengan wajah Nabi.
Berdiri dan pandanglah bagian bawah pagar keliling Makam yang ada di depan, niscaya mata akan menunduk dalam hormat dan memuliakannya. Lalu ucapkanlah, Damai bagi Dikau, duhai Kegembiraan makhluk Allah! Damai bagi Dikau,  Duhai kekasih Allah! Damai bagi Dikau, Duhai tuannya para utusan Allah! Damai bagi Dikau, penutup para Nabi! Damai bagai Dikau, duhai pemimpin Simfoni Pesta! Damai bagi Dikau, Duhai pembawa berita gembira! Damai bagi Dikau, Duhai pemberi peringatan, Damai bagi Dikau dan mereka yang suci, Ahlu Bayt-mu! Damai bagi Dikau dan bagi istri-istri suci Dikau, ibu-ibu kaum beriman! Damai bagi Dikau dan segenap nabi dan rasul serta orang-orang yang takwa kepada Allah!
Mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat mengunjungi kota-kota suci, tidak henti-hentinya berlantun tentang kota-kota itu. Yunus Emre (hidup sekitar 1300) mengungkapkan kerinduannya akan kota-kota suci itu dengan membayangkan secara bersemangat bagaimana dia akan merasa seandainya saja berasda di sana :
Andaikata Tuhanku berkenan menganugerahi,
Aku akan ke sana, menangis- menangis,
Dan Muhammad di Madinah
Aku akan ke sana, meangis, menangis ..
Sekitar 150 tahun kemudian, Jami’ di Herat memuji-muji Madinah dalam sebuah Na’t yang panjang di mana nama kota Nabi membentuk radif, atau sajak yang timbul tenggelam. Misalnya :
Kamilah yang, seperti tulip di gurun Madinah,
Membaa dalam kain goresan rindu akan Madinah.
Kerinduan bergelora akan surga, sirna dari kepala sang arif, namun
Mustahil kerinduan bergelora akan Madinah meninggalkannya ....
Pohon Thuba yang telah mengangkat kepalanya di puncak Tahta
Hanyalah cabang dari pohon palem penghias tamannya Madinah
Bila makan kurma, ciumlah bijinya, sebab
Biji-biji Madinah itu merjan-merjan tasbih para malaikat!
Setelah Jami’ menggambarkan bagaimana debu Madinah berubah menjadi air berkat kehadiran Nabi, sehingga Akal Universal kini menyelam dalam samudera Madidnah, sekali lagi dia berpaling ke penggambaran yang paling disukainya tentang huruf m : bukankah nama Madinah itu sendiri menganddung, seetelah “Huruf Nabi”, m, yang di tengah-tengahnya itu sendiri ada kata din (Agama)?
Pangeran Madinah, dengarkanlah seruanku ---
Perjalanan ini ada di bawah naungan dikau,
Dikau pandu para musafir ke tepi lain.

Tuan Madinah, dengarkanlah seruanku,
Harapan-harapanku tertuju kepada Dikau,
Tak terbersit penolong lain di benakku

Mempelai pria Madinah, dengarkanlah seruanku!
Muhammad, sang pendosa berharap kepada Dikau!
Inilah barisan-barisan sajak dari Risalo awal abad ke-18 berahasa Sindh karya Shah ‘Abdul Latif. Saudara senegerinya, ‘Abdur Ra’uf Bhatti, yang menulis sekitar pada waktu yang sama, mempersembahkan berlusin-lusin syair kepada Nabi tercinta dan mengungkapkan harapannya untuk lebih dekat kepadanya, dalam lagu-lagu yang sedikir berirama gembira :
Di Madinah nan bercahaya --- andai daku dapat di sana, akan selalu di sana!
Andai daku dapat mengucapkan bersama-sama segenap jamaah haji shalawat bagi sang wasilah –
Shalawat bagi sang wasilah –
Di Madinah nan bercahaya . . .
Andai daku dapat shalat dekat Ka’bah, duhai shalatku nan bersahaja!
Di Madinah nan bercahaya . . .
Andai daku si pendosa nan menjijikan, dapat mengucapkan sebenar-benar pengakuan!
Di Madinah nan bercahaya – andai daku dapat di sana, akan selalu di sana!
Bahkan mantan PM Hyderabad/Deccan yang beragama Hindu, Sir Kishan Prasad Shad (meninggal 1943), secara puitikal mengungkapkan kecintaanya kepada Pengeran Madinah dan kerinduannya akan Raudhah, dalam baris sajak Urdu yang fasih. Penyair-penyair seperti dia ingin “meninggalkan negeri kelahiran mereka dan meninggalkan taman mereka seperti seekor burung bulbul yang bebas” dan memohon kepada Tuhan “untuk menyibakkan tabir keterpisahan” antara mereka dan Nabi tercinta, sebab :
Jangan mencari di kedua dunia tempat bagi si miskin –
Gerbang Muhammad ada di sana untuk si miskin;
Angin sepoi-sepoi menerpa tempat tinggal Ahmad –
Membawa debu penyembuhan bagi si miskin . . . .pemberontakan ini terdedahkan, tak ada pelindung, tak ada tabir ---
Kemuliaan Ahmad : jubah untuk si miskin.
Penyair Hindu lainnya, Kaifi, mengambil imaji tradisional dengan membandingkan hati dan jarum kompas (yang disebut dalam bahasa Urdu “burung kompas”) dan memohon kepada Allah untuk membuat burung itu terbang ke Yatsrib, yang di sana sang pengunjung akan membaca surah Al-Nur (surah 24), sebab di sana dia merengkuh Cahaya Ilahi.
Bagi sang Mukmin, tidakkah kunjungan ke makam Nabi itu bukan perjalanan ke langit?
Debu Raudhah ini, penuh dengan cahaya, adalah surga tertinggi!”
Jauh sebelum, Jami’ telah menulis bahwa langit, yaitu iri hati kepada debu karena di dalam debu itu Nabi berbaring beristirahat, beseru : “Duhai, andaikata aku debu!” (surah 78:41). Dan hanya beberapa tahun yang lalu, penyair Mesir yagn progresif, Al-Faituri, menulis dalam “Catatan Harian Seorang Haji ke Bayt Allah”-nya baris-baris sajak yagn mengambil amsal-amsal lama cahaya, sebab di Madinah yang bercahaya, “cahaya-cahaya Thaha Al-Mushthafa” memancar dari debu.
Di sekujur tulang belulang Nabi setiap butir debu
Adalah tiang cahaya
Berdiri dari kubah makam
Ke kubah lelangit,
Dan kebesaran yang membuat dahi-dahi kami menunduk
Melukis cakrawala, dan cakrawala-cakrawala yang senantiasa semakin tinggi,
Dari tangan-tanagan dan bibir-bibir –
Jalan “Dengan nama Allah.”
Di Madinah, sang penyair – di sini seorang Muslim India – akan menemukan segala sesuatu yagn pernah diimpikan :
Pada lidah-lidah burung-burung bulbul Raudhah ini adalah kata-kata arif,
Warnanya lebih indah daripada segenap bunga, itulah bunga-bunga Madinah!
Bahkan penghancuran makam Nabi oleh kaum Wahabi pada awal abag ke-19 hanyalah suatu fase sepintas dalam sejarah panjang penghormatan kepada tempat suci. Kaum Wahabi menganggap kunjungan-kunjungan semacam itu da penghormatan kepada makam-makam sebagai suatu yang bertentangan dengan perintah-perintah Al-Qur’an dan peringatan-peringatan dalam hadis awal agar jangan menyembah makam. Namun segera saja para pengunjung berdatangan ke tampat suci bagitu mereka merasa terlindungi dari marabahayanya, dan yakin bahwa doa-doa mereka akan dikabulkan :
Tuan Madinah, Dikaulah sahabat si miskin –
Takkan dikau membuatku pulang dengan tangan hampa!
Keinginan untuk mengunjungi makam Nabi – bersama-sama dengan pembacaan shalawat  atas Nabi – terkandung pula dalam lagu-lagu bersahaja yang dilantunkan oleh pekerja-pekerja Tunisia seaktu bekerja, dan terdapat koleksi-koleksi syair tentang Madinah dan kehadiran Nabi yang diterbitkan di India dan Pakistan. Bahkan koleksi terakhir syair Iqbal, Armaghani Hijaz (Anugerah dari Hijaz), mengambil judulnya dari Deccan, Sayyid Ghiyats Matin, telah menggambarkan dalam sebuah syair Urdu yagn dramatik berkaitan dengan penglihatan batinnya akan makam Nabi, kakek moyangnya : tangan Nabi muncul dari tirai-tirai beeldu dan memegang kepalanya sehingga dia dapat “mencium kaki Nabi yang bercahaya dengan kedua belah matanya.” Bukankah itu akan luar biasa, tanyanya, kalau penglihatan batin ini menjadi kenyataan? Sebab, hanyalah harapan inilah yang membuatnya bertahan hidup, senantiasa menanti-nantikan saat-saat bertemu Nabi yang diberkati itu. Syair ini sedemikian selaras dengan kisah-kisah sufi tradisional, yang menurutnya Nabi benar-benar dapat berkata-kata dengan pengunung makamnya (sebab dia disebut-sebut oleh sebagian orang hidup di dalam makamnya) : misalnya, wali abad ke-14 dari Ucch, Makhdum Jahaniyan, yang pengakuannya sebagai sayyid diragukan oleh sebagian orang Arab, dengan demikian disalami oleh kakek moyangnya, yang menjaab salamnya di Raudhah dengan kata-kata : “Ddan kedamaian atasmu, putraku!”
Motif kerinduan akan makam Nabi mewarnai baris sajak religius yang datang dari mana-mana di dunia Muslim, dan jarang seorang penyair akan mengaku bahwa dia sedemikian dekat dengan Nabi sehingga tidak perlu bepergian ke luar negeri :
Jangan tanyakan kepadaku, sahabat : “Di mana Muhammad berada?”
Tersembunyi di dalam hatiku, itulah Muhammad1
Perlukah berkelana ke Madinah?
Di sana sini --- tampak Muhammad.
Di hati dan mataku tinggal untuk selamanya
Sejak Hari Perjanjian, Muhammad . . . .


PUISI  NA’TIYYAH DALAM TRADISI PERSIA DAN UMUM
Pesona khusus madah-madah Arab untuk nabi terkandung dalam kesempurnaan bahasanya, yang pada galibnya tidak dapat dikandung dalam terjemahan apapun, sebab tidak ada satu bahasa pun yang berhasil meniru jaringan sidniran yang piawai yang dapat disampaikan oleh bahasa Arab kepada pendengarnya yang bergairah. Pembaca yang tidak mengerti bahasa Arab barangkali akan mendapatkan akses dengan lebih mudah ke dunia puisi yang kaya warna, dan secara mistkal tingkat tinggi terjumpai dalam baris sajak na’tiyyah Turki, Persia dan Urdu. Amsal dalam tiga bahasa ini hampir identik, dan imaji-imaji yang paling disukai oleh para penyair istana dan kota di Iran telah mewarnai sastra bahasa regional India Muslim juga. Satu baris dari Mir ‘Ali Shir Qani (abad ke-18, Sindh),
Air di kanal Diwan mengalir dari sumber na’t,
Menangkap dengan tepat nilai penting yang sentral dari madah untuk Nabi dalam gubahan-gubahan penyair-penyair berbahasa Persia : topik ini sendirilah yang menghidupkan karya-karya mereka.
Tradisi puisi na’tiyyah Persia dimulai dengan Sana’i dan Ghazna di Afghanistan Timur, pada sekitar 1100. Sna’i meninggalkan aktivitas-aktivitas sebelumnya sebagai pemadah istana, dan beralih ke puisi religius, yang lebih khusus, asketik sehingga menjadi pendiri tradisi matsanawi asketik mistikal dalam lidah Persia. Tetapi pada saat yang sama dia merupakan pemadah tentang Nabi yang pertama dan, dalam hal-hal tertentu terbesar. Teknik retorikal tinggi yang dimilikinya dalam melantunkan puji-pujian kepada penguasa-penguasa duniawi kini diterapkan, bahwa dengan lebih piawai, terhadap puji-pujian untuk Nabi; kalau dahulu dia mengaharapkan imbalan-imbalan material yang menarik dari pangeran-pangeran dan bangsawan-bangsawan, kini dia mengharapkan imbalan-imbalan spiritual yang jauh lebih penting dari Rasul Alla, sang wasilah pada Hari Kiamat dan manifestasi segenap keindahan fisikal dan spiritual.
Kami berutang kepada Sana’i salah satu madah yang sangat mengesankan untuk menghormati Nabi dalam bahasa Persia, sebuah syair yang pada saat yang sama menjadi pijakan bagi segenap sastra berikutnya dalam bidang ini. Sajak ini merupakan ulasan puitikalnya mengenai surah 93, Wadh-Dhuha (Demi Cahaya Pagi). Surah ini diterjemahkan sebagai berkaitan dengan Cahaya Muhammad dan hingga kini tetap menjadi bagian amat penting dari profetologi tasawuf. Sana’i membaca syair ini tanpa persiapan sama sekali dalam pertemuan para ahli, dan baris-baris pertamanya itu sendiri segera memesonakan para pendengarnya :
Naskah jabr (takdir) dan qadar (kehendak bebas)
Tersimpan dalam raut wajah dan gerai rambutnya;
Yang ini dikenal melalui “Demi Malam” (surah 92), dan yang itu dari “Demi Cahaya Pagi” (surah 93).
Kekafiran dan Iman, masing-masing dalam kegelapan dan kesucian
Tak punya kerajaan lains elain pipi dan anyaman rambutnya.
Andai rambut dan wajahnya tak membawa kepada gurun amarah (qahr) Ilahi dan kelembutan (Luthf) Ilahi
Kekafiran senantiasa takkan tertolong, dan iman tak berdaya.
Ini berarti bahwa Nabi tersimpan dua sifat komplementer Allah, keindahan-Nya (Jamal) dan kebesaran-Nya (Jalal) termanifestasikan – sifat-sifat yang kesaling pengaruhannya satu sama lain membuat alam semesta ini tetap berjalan dengan baik. Penyair-penyair terkemudian, dari Nizami sampai Iqbal, mengambil alih teknik Sana’i, yaitu menempatkan secara berjajar sifat-sifat indah dan agung Nabi; dengan memadukan kekerasan Musa dan kelembutan ‘Isa dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, ia mampu membangkitkan ketakutan did alam hati musuh-musuhnya dan cinta di dalam jiwa sahabat-sahabatnya. Sana’i lalu melanjutkan syairnya, kini tentang Nabi sendiri :
Cahaya wajhmu orang menyebutnya “pagi”;
Keteduhan dua helai rambutmu, yang dikau sebut “sore”.
Pernyataan fajar yang ceria dengan wajah berseri-seri Muhammad, yang dengan ini cahaya iman juga dikaitkan, dan hubungan surah 92, “Demi Malam” dengan rambut pekat Nabi, dan, dalam garis pikiran yang berbeda, dengan hitamnya kekafiran, menjadi formula standar dalam puisi Persia. Gesudaraz, wali Gulbaarga di Deccan, pada awal abad ke-15, mengungkapkannya begini :
Pagi nan indah! --- itulah wajah sinar mentarimu!
Malam nan indah! --- itulah rambutmu yang bak malam!
‘Asyiq Pasha di Turki zaman perteengahan menggunakan persamaan ini, seperti dilakukan oleh penyair-penyair besar Iran; dan penguasa Moghul terakhir India, Bahadur Shah Zafar, yang menulis dalam salah satu na’t Urdunya :
“Demi malam!” – itulah pujian bagi rambutmu yang bak kesturi;
“Demi mentari!” – itulah sumpah pipi nan bercahaya!
Tradisi ini masih hidup bahkan dalam puisi na’t kiwari di Indo Pakistan.
Sebagaimana matsanawi besarnya Sana’i Hadiqah Al-Haqiqah (Kebun Buah Kebenaran), menjadi model bagi segenap puisi Persia mistiko didaktik terkemudian, himne-himnenya untuk menghormati Nabi juga memberikan gagasan-gagasan asasi yang dielaborasi dalam segenap madah mistikal berikutnya. Selain penafsirannya yang ekstensif dan sering mengejutkan tentang surah 93, Diwan mahabesarnya Sana’i mengandung banyak sekali na’t yang lain. Berdasarkan sebuah hadis, mereka menggambarkan Nabi sedemikian rupa sehingga membuat orang mencintai Nabi dan mengabdi kepada Nabi :
Di langit sahabat-sahabatnya seperti Mikail dan Jibril,
Di bumi sahabat-sahabatnya seperti ‘Umar dan Shiddiq.
Yaitu dua khalifah pertama, Abu Bakar Al-Shiddiq dan “Umar ibn Khaththab. Khalifah-khalifah ini diserut dalam syair-syair Sana’i untuk melantunkan puji-pujian kepada Nabi,s ebab keduanya disebut-sebut dalam banyak syair na’t terkemudian oleh penyair-penyair Sunni sebagai sahabat dan pendukung Nabi yang paling setia. Jalan pikiran ini bergerak dari baris sajak imajinatif Rumi dan Jami’ menuju ke puisi rakyat Pathan dan Sindh, dan bahkan dalam baris sajak penyair-penyair Urdu, Dakhni, yang hidup dalam suatu lingkungan yang mayoritas Syi’ah, khalifah-khalifah pertama sering disebut-sebut dalam hubungannya dengan na’t mukadimah syair-syair epik, meskipun kadang-kadang suatu keududkan khusus diberikan kepada ‘Ali.
Imajinasi puitikal Sana’i menunjukkan hanya perhatian yang tidak memadai terhadapa fakta sejarah dan dia menerapkan seluruh kosa kata pikiran mitikal dan mistikal pada syair-syair pujiannya. Apakah bukan Nabi yang baginya segala sesuatu diciptakan dan yang namanya merupakan kekuatan yang secara menakjubkan mearnai segala sesuatu?
Kutanya angin : “Kenapa dikau mengabdi kepada Sulaiman?”
Katanya : “Sebab nama Ahmad terpahat dalam segelnya!”
Hanya berkat kekuatan pemberi berkat dari nama Muhammad-lah, Sulaiman dapat menundukkan jin, angin, samudera dan bintang gemintang; sebab tanda kebesaran Muhammad-lah Allah bersumpah dengan namanya di dalam Al-Qur’an – nama orang yang merupakan alasan bagi adanya alam semesta ini, Mataharinya segala makhluk.
Dalam hadiqah Al-Haqiqah-nya, Sana’i menyediakan seluruh bab ketiga untuk pertanyaan kenapa Muhammad lebih dicintai daripada nabi-nabi lainnya, dan membuktikan keagungannya dalam berbagai cara yang baru :
Untuk dapat menyanjung dikau, datanglah dari kerajaan waktu Jumat,
Malam-malam putih, Malam Ketentuan (Layla Al-Qadr),
Hari Raya, dan Syab-i Barat,
Dan dari ruang datangnlah dengan menunduk
Makkah, Yatsrib (Madinah), (gua) Hira, dan Al-Haram.
Jumat adalah ahri ketika shalat bersama-sama dialgnsungkan di dalam Islam; Malam-malam Putih adalah malam-malam sebelum dan sesudah bulan purnama; Malam Ketentuan adalah malam ketika Al-Qur’an diturunakn untuk pertama kalinya, yang biasanya diperingati pada 27 Ramadhan (surah 97); Hari Raya adalah hari kurban selama penunaian Haji di Makkah; dan Syab-i Barat adalah malam bulan purnama di bulan Sya’ban, ketika Muhammad dengan penuh kemenangan memasuki Makkah dan ketika, seperti terkandung dalam keyakinan tradisional, nasib untuk tahun mendatang ditentukan di langit. Semua peristiwa ini tergambar di sini sebagai telah terjadi hanya demi Nabi. Maka abegitu pula kota-kota suci Makkah dan Madinah, gua di bukit Hira yang di dalmnya Muhammad menerima wahyu-wahyu pertama, dan tempat suci Ka’bah ada hanya disebabkan oleh Muhammad. Setia kepada tradisi tasawuf, Sana’i mengakui praeksistensi Nabi :
Bentuk lahiriah Ahmad datang dari Adam, namun pada hakikatnya Adam menjadi mewujud dari Ahmad!
Sebab bahkan manusisa pertama dan nabi pertama tidak lain hanyalah cermin Cahaya primordial Muhammad.
Latar belakang Sana’i sebagai pemadah sitana membuatnya dapat menerapkan gambaran-gambaran yang berani dan permainan kata yang retorikal yang pernah digunakan untuk memuji tokoh-tokoh duniawi dalam penghormatan kepada Nabi.
Mereka yang berkata Tidak (la) kepadanya, terjungkir seperti (huruf bengkok) la,
Namun yang terberkati oleh kenikmatan dia adalah yang berkata Ya (na’am) kepadanya.
Yang lebih penting Sana’i menekankan peran menentukan Muhammad untuk mendefinsikan keimanan dan kedurhakaan :
Andai Allah tak menyebutmu “Ampunan bagi alam semesta” –
Yang dis segenap dunia akan tahu perbedaan antara Yang Abadi (Shamad) dan berhala (Shanam)?.
Satu setengah abad kemudian, Busiri mengungkapkan gagasan yang hampir sama dalam Ha’iyyah :
Andai tak ada Nabi Muhammad dan ilmunya,
Orang takkan tahu mana yang benar mana yang salah!
Sebab Muhammad menetapkan garis batas antara mereka yang menerima Tuhan Yang Abadi dan mereka yang memuja dewa-dewa palsu yang fana; dialah Nabi yang membawa hukum Allah yang lengkap, dan :
Sepanjang angin sepoi-sepoi namamu tak berembus menerpa taman agama,
Cabang agama tak tumbuh, begitu pun akar sunnah.
Dialah yang menetapkan batas-batas yang di dalamnya orang-orang Muslim harus senantiasa tinggal, dan menanadai batas-batas Islam sebagai agama historikal. Gagasan ini muncul ke permukaan berkali-kali di dalam risalah-risalah tasawuf dan puisi terkemudian, khususnya di kalangan pemikir sufi yang “sederhana.”
Aspek lain yang menjadi sentral dalam perkembangan puisi Na’tiyyah dalam bahasa Persia selama abad-abad selanjutnya adalah tendensi Sana’i untuk mempertentangkan Nabi dan wahyu yang dibawanya dengan ajaran-ajaran filsafat. Para filosof – mereka yang mengikuti pemikiran filsafat Yunani – selalu menjadi sasaran orang-orang Muslim ortodoks, dan dalam corak pemikiran inilah Sana’i berkata :
“Ampunan bagi alam semesta” datang sebagai tabibmu, dan darinya datang kesembuhan (syifa’) –
Kenapa kau mencarinya dari pemberontakan ini atau itu?
Sebab keselamatan (najat) dan kesembuhan (syifa’), yang dicari para pengikut sunnah Nabi
Tak terkandung di dalam (dua buku Ibn Sina) Al-Najah dan Al-Syifa’.
Ibn Sina, yang aktif di Iran Timur, tepatnya satu abad sebelum Sana’i dan yang karya-karya filsafatnya dan, bahkan lagi, karya kedokterannya yang termasyhur dan banyak sekali dibaca bukan saja di negeri-negeri Islam tetapi juga di Eropa yang Kristen pada zaman pertengahan, tampil di dalam satu cabang tasawuf sebagai contoh filosof intelektualis yang tidak memiliki cinta (meskipun filsafatnya memiliki beberapa unsur mistikal juga). Satu alasan untuk gambaran seperti ini kiranya adalah teolog besar abad pertengahan, Al-Ghazali, yang dengan gencar mengkritik sistem Ibn Sina di dalam Tahaful Al-Falasifah-nya, dan saudara senegerinya, Sana’i, mencangkokkan kritiknya beberapa dasa warsa kemudian ke dalam puisi. Lalu, seabad setelah Sana’i, Majduddin Baghdadi yang sufi diberitahu oleh Nabi dalam sebuah mimpi bahwa Ibn Sina telah mencoba mencapai Kebenaran Ilahiah tanpa melaluinya, tanpa melalui Muhammad, yang hal ini telah mendorongnya terperosok ke dalam neraka. Pandangan ini tetap dominan di dalam lingkaran-lingkaran ortodoks yang bercorak mistikal, sebab hal ini menyoroti pertentangan syariat Ilahi seperti yang dinyatakan oleh Muhammad dengan upaya-upaya para filosof untuk mencapai kebenaran pada suatu jalan yang berbeda dan lebih rasionalistik. Keputusan ana’i diaambil setelah beberapa dasa warsa oleh penerusnya di dalam dunia sajak mistikal, Fariduddin “Attar, yang karya puitikalnya merupakan kekayaan profetologi tasawuf. Dalam mukadimahnya yang panjang bagi Mushibatnama-Nya, ‘Attar menulis :
Sungguh, dua ratus dunia Akal Pertama (‘Aql Kull)
Sirna di hadapan kemuliaan perintah (Al-Qur’an) (Kepada Nabi) “Katakanlah!” (Qul).
Tak seorang pun lebih jauh dari syaraiat Hasyimi daripada seorang filosof.
Syariat adalah mengikuti perintah Nabi, melemparkan debu ke kepala filosof!
Dua generasi terkemudian lainnya, Maulana Rumi memadukan gagasan ini dengan kisah mukjizat yang paling disukainya :
Filosof yang mengingkari “desah pohon palem” (Hannana)
Tak tahu makna batiniah para wali!
Dia mengungkapkan perasaan-perasaan Sana’i dan “Attar tetang para filosof dalam istilah-istilah yang bahkan lebih kuat ketika menyapa Nabi :
Duhai penunggang perkasa perintah “Katakan!” --- Duhai yang di hadapan akalnya Jiwa Semesta
Bagai bayi yang karena tak tahu apa-apa mengunyah lengan bajunya!
Pada abad ini Muhammad Iqbal-lah yang mengambil dalam baris sajaknya sekali lagi dikotomi lama antara Cinta, seperti termanifestasikan pada Muhammad, dan Akal, yang prototipnya, Ibn Sina, menghadapi kegagalan.
Puisi ‘Attar mempersatukan banyak pemikiran dan imaji Sana’i. Berkali-kali dia memberikan makna yang bahkan lebih mendalam dan menambahkan beberapa unsur baru. Beberapa dari hadis-hadis yang tidak absah yang termasyhur yang berkenaan dengan nama-nama Muhammad dan Ahmad (seperti yang mengatakan “Aku adalah Ahamd tanpa m,” yaitu Ahad, “Satu”) sesungguhnya berasal dari penglihatan batin sufi besar Persia. Harus diingat bahwa Nabi tampil sebagai pemandu mistikal tertinggi dalam empat puluh tahap perkembangan spiritual sang pencari (murid) seperti digambarkan oleh ‘Attar secara puitikal dalam empat puluh bab dalam Mushibatnama-nya. Adalah Muhammad yang menunjukkan kepada sang musafir jalan menuju “samudera jiwa” dimana dia akhirnya akan menemukan Tuhannya, yang telah dia cari dengan sia-sia di langit dan di bumi. Mukadimah bagi semua syair epiknya ‘Attar mengandung penggambaran-penggambaran yang sangat beraneka warna tentang Nabi dan perjalanannya ke langit, dan cahaya Muhammad memainkan suatu peranan yang bahkan lebih besar dalam baris sajaknya daripada dalam baris sajak Sana’i. ‘Attar mengatakan bahwa :
Apa pun cahaya kedua alam,
Adalah cermin hatinya, hati Muhammad.
‘Attar juga mengambli doktrin tiang cahaya yang sujud di hadapan Allah dalam prakeabadian. Konsep ini, pertama kali disebutkan oleh Sahl Al-Tustari pada akhir abad ke-9, muncul – seperti pernah kami lihat – dalam pasase-pasase mukadimah Manthiq Al-Thayr-nya ‘Attar :  Cahaya Muhammad, suatu pilar yang bercahaya, melakukan shalat di hadapan Allah, sebelum dunia dan seluruh penghuninya diciptakan darinya.
Dari cahayanya ada Tahta dan tumpuan Kaki,
Malaikat maupun kekuatan-kekuatan spiritual, dan juga yang suci.
Dunia dan akhirat bergantung padanya,
Dunia berseri-seri karena cahaya zatnya.
‘Attar melihat Nabi pada akhir rangkaian panjang nabi-nabi sebelumnya dan mengamati bahwa dia, yang tidak dapat membaca abjad, membaca dari Lembaran Tuhan. Sebab sebagai Ummiy (buta huruf), Muhammad “diam dalam dirinya dan berbicara melalui Tuhan”. Bahkan Akal Pertama hanyalah bagian dari cerminan jiwa Nabi, dan
Surga adalah seteguk dari gelas;
Dua dunia adalah dari dua m dari namanya.
Profetologi ‘Attar sedalam profetologi puisi, dan sudah barang tetnu patut mendapatkan suatu analisis yang mendalam, seprti profetologi penyair-penyair Persia lainnya zaman pertengahan. Sebab, meskipun bentuk-bentuk dasar pujian ada di mana-mana dan selalu sama, elaborasi-elaborasi dan perubahan-perubahan penekanan  di seputar aspek khas ini atau itu dari Nabi mengakibatkan suatu gambar yang secara mengejutkan beraneka warna.
Mengikuti Sana’i dan ‘Attar, karya Maulana Jalal al-Din Rumi juga penuh dengan penggambaran-penggambaran tentang Nabi, sang “Pemimpin kafilah Mushthafa”, dan baris sajaknya memberi para ahli sebentuk kesulitan yang bahkan lebih besar daripada yang diberikan oleh baris sajak ‘Attar, sebab profetologinya tampak hampir secara tak terpisahkan berkaitan dengan nama kekasih mistikalnya, Syamsuddin dari Tabriz, yang baginya merupakan penerjemah sejati misteri-misteri Nabi. Sebab dia, seperti disiratkan oleh Maulana, menyatu dengan prinsip Muhammad yang prakeabadian dan bersifat prototip, haqiqah Muhammadiyyah :
Katakan, siapakah kepercayaan Ahmad sang Rasul di dunia ini?
Syams-i Tabrizi, “yang teragung” (surah 74 : 38).
Sebab :
Bila kau baca “Demi Cahaya Pagi!” kau lihat mentari!.
Ini juga berati bahwa Syams “bernapas bersama-sama dengan Mushthafa dalam cinta”, sebab zat sejati Nabi adalah cinta, Cinta primordial itu, yang deminya Allah menyebut Muhammad sebagai Laulaka, “Tetapi karena engkau .......”
Baris-baris sajak tunggal yang disisipkan di dalam ghazal-gazhal-nya Rumi mengandung gambaran-gambaran yang sangat puitikal tentang sifat-sifat menakjubkan Nabi, tentang cahaya dan keagungannya :
Para darwisy menemukan kebahagiaan dari “Rahmat bagi alam semesta,”
Jubah-jubah mereka bercahaya bagaikan bulan, syal-syal mereka harum bagaikan bunga mawar!
Hijrahnya Muhammad dari Makkah ke Madinah, bagi Rumi, menjadi model perjalanan sufi, sebab dengan meninggalkan rumah dan senantiasa mengadakan perjalanan jiwa menjadi tersucikan. Dia juga menyebut “anggur Muhammad”, anggur yang halal itu yang mengilhami manusia dan dapa tditemukan pada gerbang Tabriz. Sebab Muhammad bukan saja si pembawa cangkir tetapi juga piala itu sendiri mengandung anggur Cinta Ilahi. ---- suatu penggambaran yang bagus tentag sifatnya sebagai tampat ummiy firman Allah. Dan dia adalah obat mukjizat luar biasa yang dapat mengubah watak rendah manusia yang seperti tembaga menjadi emas murni. Seperti ‘Attar, Rumi menggambarkan tentang “Ahmad tanpa m”, dan di dalam sebuah madah dalam bahasa paduan Arab – Persia, yang banyak terdapat dalam gambaran-gambaran Qur’ani, dia menyeru angin sepoi-sepoi basa dari Najd untuk menyampaikan salamnya kepada Nabi tercinta. Matsanawi-nya Rumi yang besar, syair 26.000 baris yang mengandung pelajaran merupakan suatu khazanah kisah-kisah tentang Nabi, yang dipuji (dengan anafora yang ekstensif) dalam perananannya sebagai Penutup para Nabi dan yang membuka penutup itu. Rumi memasukkan banyak sekali hadis termasyhur ke dalam puisinya dan mengaelaborasinya menjadi kisah-kisah yang panjang dan kadang-kadang sangat mengejutkan. Kepercayaannya yang hangat kepada Nabi, yang agamanya “berdiri tegak dan kukuh bahkan setelah 650 tahun berlalu”, menjadi sejelas,d ari baris sajaknya, peranan Muhammad sebagi pemimpin spiritual suatu jalan menuju suatu dunia yang lebih baik.
Banyaks ekali contoh dalam Manaqib Al-‘Arifin-nya Aflaki yang merujuk ke cint mendalamnya Rumi dan Syams kepada Nabi patut diberi pembahasan yang sistimatik. Seperti Syams, Rumi menekankan bahwa tiada seorang pun yang dapat menacapi Allah kecuali terlebih dahulu mendatangi Muhammad, sebab Nabi adalah jalan bagi orang-orang beriman untuk mencapai Allah.
Bila bentuk Mushthafa sirna,
Dunia mengambil “Allah Mahabesar!”
“Ketahuilah bahwa Muhammad adalah sang pemandu. Kalau orang telah dahulu mendatangi Muhammad, maka dia akan dapat mencapai Kami” : itulah yang diketahui oleh Rumi melalui Ilham Ilahiah, sebab karunia dicurahkan kepada Nabi terlebih dahulu, baru kemudian dibagi-bagikan darinya kepada orang lain. “maka tersadari bahwa Muhammad adalah fondasi ..... Segala seuatu yang ada , yang mulai dan rendah hati, yang berkuasa dan berderajat tinggi, semuanya adalah dari pembagiannya dan banyang-bayangnya, sebab semuanya memaujud darinya.”
Tetapi Rumi juga mengakui kesulitan-kesulitan jabatan kenabian, dan berkata tentang kenapa Nabi pernah mengeluh, “Andaikata saja Tuhannya Muhammad tidak menciptakan Muhammad!” Sebab sebagaimana Rumi membela ucapan yang kedengarannya aneh ini, sungguh berat, menyiksa, dan menderita.” Dalam pembicaraan lain, dia kembali ke cerita ini :
Dia (Allah) pertama-tama memiliki Muhammad sepenuhnya untuk Diri-Nya Sendiri; lalu Dia memerintahkan kepadanya, “Serulah orang, beritahu mereka dan perbarui mereka!” Muhammad menangis dan meratap seraya berkata “Duhai Tuhanku, dosa apakah yang telah kuperbuat? Kenapa Dikau jauhkan aku dari hdapan-Mu? Aku tak punya lagi keinginan apa pun!” Namun Allah menghiburnya : “Bahkan di tengah-tengah tuga itu kau akan besama-sama Aku. Dalam soal apa pun kau bergelut, kau akan benar-benar menyatu dengan Aku.”
Di sini rahasia “sifat ugahari kedua” dari jalan Nabi dengan indah terlukiskan.
Siapa pun yang pernah mendengar Sa’t-i Syarif yang diagukan, dalam nada yang melodius, pada permulaan tarian mistikal para darwisy, Mevlevi, akan merasa betapa mendalam kecintaan Rumi kepada  Nabi, yang disapanya :
Ya habib Allah rasul Allah ki yakta tu’i ....
Duhai kekasih Allah, Duhai utusan Allah ---- satu-satunya dikau!
Duhai, yang dipilih Tuhan Mahamulia – sedemikian suci dikau!
Dia lalu menyerunya “cahaya mata para nabi”, dia yang menginjakkan kakinya di sembilan lingkungan hijau selama mi’raj-nya, dan memohon kasih sayangnya :
Duhai Rasul Allah dikau tahu betapa tak berdaya umatmu ---
Dikaulah pemandu mereka yang lemah tanpa kepala dan kaki!
Namun Nabi juga adalah,
Cypress di taman kenabian, musim semi ahli makrifat,
Kuncup mawar di padang rumput hukum Ilahi dan burung bulbul nan mulia,
Dan pada akhirnya, Syams-i Tabriz diseru, yang “hapal na’t Nabi”, sebab dia adalah orang yang telah dipilih tuan paling mulia ini.
Salah satu tokoh semasa Rumi pada abad ke-13 adalah Fakhruddin “Iraqi, yang telah menghabiskan dua puluh lima tahun hidupnya di Multhan daerah Punjab Selatan, di ambang pintu wali Suhrawardi, Bahauddin Zakaria Multani. Dia mendapatkan ilham untuk menulis puisi na’tiyyah selama tinggal di Madinah, dengan menggambarkan dalam kata-kata yang muluk
Rahmat bagi alam semesta, Rasul Allah,
Diam yang digerbangnya makhluk-makhluk samawi berkata :
“Untuk melayani dikau, Allah mewahyukan apa yang Dia wahyukan!” (surah 53:10) ...
Karena dalam prakeabadian gaya menyapanya ditentukan sebagai “Demi Cahaya Pagi!” (surah 93:1)
Waktu yang telah ditetapkan tiba, berlangsunglah pemukulan gederang yang seremonial (naubah) dari “Mahassuci Dia
Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari.” (surah 17:1).
‘Iraqi memaksudkan dengan permainan kata yang piawai ini bahwa karena sumpah Allah “Demi Cahaya Pagi” merujuk ke Muhammad dari waktu cahaya itu diciptakan, maka genderang dan seruling-seruling surah 17:1 (ayat yang melukiskan perjalanannya pada malam hari) dimainkan untuknya selam dia hidup di bumi. Sekali lagi, seperti penyair lainnya, dia menyebut kekontrasan siang hari dan malam sebagai termanifestasikan dalam Nabi, yang berada di antara siang hari  Ilahiah dan kegelapan dunia materi, yang merupakan Mentari Keberadaan namun “melakukan perjalanan pada malam hari.”
Madah-madah “Irawi merupakan contoh-contoh tipikal gaya Persia, yang penuh dengan penggambaran dan paham-paham yang canggih. Gaya ini telah mencapai titik puncaknya yang pertama di antara para penyair nonmistikal Iran, dalam karya Khaqani. Penyair abad ke 12 Kaukasia ini sangat ahli dan memiliki kecakapan yang hampir tidak dapat dipercaya dalam penggunaan sarana-sarana retorikal dan telah menyanjung Nabi dalam himne-himne yang luhur. Baginya, Nabi adalah “agama yang terpersonifikasikan”. Pemujaannya terhadap Nabi membuat dia diberi julukan “Hasan Al-‘Ajam” (Hasannya orang-orang bukan Arab), dan penggambarannya tentang kepergiannya berhaji dan kunjungannya ke Madinah sungguh-sungguh termasuk qashidah Persia yang paling bergelora dan jgua paling sulit yang pernah ditulis orang. Khaqani menciptakan banyak sekali pemaduan-pemaduan istilah yang kaya makna dan baru, yang di antaranya penyamaan antara Muhammad dan Ka’bah, dan antara tahi lalat hitam Nabi dan batu hitam Ka’bah (hajar al-aswad). Yang setiap Muslim bercita-cita ingin menciumnya selama melakukan ibadah haji ke Makkah. Sejak dialah, pemaduan ini tampak sebagai salah satu topik yang paling disukai oleh para penyair berbahasa Persia. Maulana Qasim Kahi, di India abad ke-16, misalnya, berlantun :
Ahmad, itulah Ka’bah yang ke sana kita semua berupaya,
Batu hitam tentulah tahi lalat hitamnya.
Di antara para penyair pada Zaman-zaman Pertengahan Islam yang bukan semata-mata pemadah atau sufi, Sa’di (meninggal 1292) selalu menjadi orang yang paling disukai oleh para pembaca Persia disebabkan oleh bahasanya yang anggun, lugas dan bening. Meskipun jumlah syair na’tiyyah-nya secara komparatif kecil, tapi sastra Persia berutang kepadanya untuk salah satu syair yang paling sering dibaca, yang khususnya amat dicintai di India. Hal ini terjumpai dalam bagian mukadimah matsanawi-nya yang ebrjudul Bustam (Taman), dan memuji Nabi dalam kata-kata yang bersahaja namun manis dalam irama sajak mutaqarib yang sangat bersahaja dan mudah diingat. Di sini Nabi tampil sebagai
Nasimun qasim jasimun wasim
Sempurna bentuknya, indah, elegan, luhur
Kata-kata yang, seperti ktia lihat, juga mempengaruhi  khazanah istilah Islami. Pada paruh pertama bait yang sama, Sa’di menyebut Nabi sebagai
Syafi’un mutha’un rasulun karim
Perantara, yang ditaati, rasul yang mulia.
Mutha’ (yang ditaati) (surah 81:21) adalah sebuah sebutan yang benar-benar fitri bagi Muhammad bila orang mengingat ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk “taat kepada Allah dan rasul-Nya.” Tetapi sekitar 150 tahuns ebelum Sa’di, istilah ini sendiri telah digunakan oleh Al-Ghazali dalam risalah tasawuf-nya, Misykat Al-Anwar, yang di dalamnya tampaknya dia menunjukkan, seperti telah ktia lihat sebelumnya, suatu daya misterius yang baisanya diidentifikasiakn dengan Muhammad sang prototip. Penggunaan Sa’di akan istilah itu membuktikan bahwa kata mutha’ sebagai julukan Nabi tentutelah menjadi sangat umum, apa pun implikasi-implikasi tambahannya, dan sangat biasa terjadi dalam puisi na’tiyyah para penulis lain, seperti Jami’.
Penyair yang mengambil istilah aitu adalah Amir Khusrau. Meskipun dia dianggap terutama sebagai penyair istana, hubungan denkatnya dengan guru tasawuf besar India utara, Nizamuddin Auliya dari Delhi, telah mengenalkan dia dengan bahasa tasawuf, dan dalam pasase-pasase mukadimah syair-syair epiknya dia menggunakan banyak nama kehormatan yang mulai untuk Nabi Muhammad. Dia mengatakan dalam eprmulaan Majnun Layla, misalnya, bahwa Muhammad adalah
Raja kerajaan-kerajaan kerasulan
Thaughra halaman Yang Mulia.
Menurut Amir Khusrau yang imajinatif, bulan di langit memberikan kesaksian tentang keagungan Muhammad : pertama-tama dia menajdi setengah bundaran Nun, dan lalu lingkaran (m) untuk memuliakan Nabi, sehingga membentuk kata Persia nam (embun) yang membuktikan bahwa bulan tidak lain hanyalah “seteitik embun samudera Muhammad”; dan sayap-sayap para malaikat bertindak menaungi jalan menuju ke tempat sucinya. Amir Khusrau juga memainkan kata Ilahi “Aku adalah Ahmad tanpa m,” sebuah tema yang diulang-ulang selam hidupnya dan pada abad-abad berikutnya di seluruh kerajaan timur Islam. Sekali lagi dia meliaht m yang bundar sebagai Penutup Kenabian dan mengklaim bahwa orang yang mengalungkan m yang suci ini pada lehernya akan berjalan dengan penuh kepercayaan bagai kalung burung dara. “Kalung burung dara” dalam amsal Arab – Perisa berarti suatu hubungan yang amat dekat dengan sesuatu, yang tidak dapat dipisahkan atau diputuskan (seperti bulu-buku di seputar leher burung dara merupakan bagian dari bulu-bulu burung dara).
Namun Amir Khusrau tidak emncapai puncak-puncak ekstasi yang telah diapai oleh modelnya dalam puisi epik, Nizami “ sebab Nizami adalah salah saru pemadah terbesar tentang Nabi di antara para penulis ninmistikal Iran dan kiranya telah menciptakan pemaduan “kreasi” (afrinish) Nabi dengan “pujian” (afrin) yang kemudian emnajdi sangat populer dalam na’tiyyah Persia.
Barangkali penulis yang paling produktif dalam bidang puisi na’tiyyah adalah Jami’, penyair dan higiografer abad ke-15 yang menyelidiki dengan saksama misteri-misteri haqiqah Muhammadiyah dan memadukan kepiwaian teknikal yang luar biasa dengan perasaan religius yang dalam. Kami sudah mengutipnya beberapa kali untuk definisi-definisi yang baru dan tajam, puisi na’tiyyah-nya, yang sangat dipuji oleh Iqbal, mencakup qashidah-qashidah yang agung, ghazal-gazhal yang lembut, dan bab-bab mukadimah yang panjang dalam tujuh syair epik besarnya. Dalam salah satu di antaranya, dia membuat suatu rangkaian lima na’t, belum lagi penggambaran-penggambaran verbal dan bergelora tentang perjalanan Nabi ke langit. Tetapi satu syairinya lagi terutama patutu mendapat perhatian mendalam di sini. Itu merupakan suatu tarji’band, sebuah syair berseloka yang terdiri atas dua belas ghazal, yang masing-masing memiliki kata Muhammad sebagai radif – hampir sudah barang tentu diilhami oleh qashidah Sa’di yang jauh lebih sedehana dengan sajak yang sama :
Bulan tak mencapai keindahan Muhammad,
Cypress tak memiliki sosok sesempurna Muhammad ....
Band, yaitu baris sajak yang diulang-ulang yang mengaitkan ghazal-ghazal dalam syair Jami’, adalah kuplet Arab,
Kata-kataku tak mungkin mencapai penggamabaran tentang kesempurnaan
Duhai Tuanku, limpahkanlah berkat atas Nabi dan keluarganya!
Bagian eprtama syair itu diawali dengan pertanyaan yang retorikal
Apa itu sumber mata air? Debu kaki Muhammad!
Dan “tali yang kuat”? Jerat pengabdian kepada Muhammad!
Kemudian diikuti pernyataan tradisional :
Batas-batas pujian kepadanya – yang tahu mereka hanyalah Allah?
Siapa aku ini berani menyanjung –nyanjung Muhammad?
Dalam ghazal kedua, Jami’ berpaling kepada keagungan primordial Nabi :
Apapun yang sudah dituliskan pada halaman keberadaan,
Hanyalah pilihan dari kitab Muhammad.
Kemudian penyair ini menggunakan amsal catur :
Jangan sebut dia raja (syah), sebab setiap orang yang ter-skak mati oleh Muhammad,
Dalam arena ini (papan catur), berjalan membungkuk bagai ratu (dalam catur).
Tetapi dia kembali ke keagungan kosmik Nabi dan memulai ghazal keempat :
Langit, yang terkeluk karena sujud di hadapan Muhammad,
Hanyalah gelombang dari samudera kemurahan Muhammad.
Begitu pula, seperti dinyatakan dalam ghazal ketujuh,
Bulan adalah cerminan keindahan Muhammad.
Kesturi adalah angin sepoi-poi basa kecil dari tahi lalat dan rambut Muhammad.
Di taman “Bangkitlah!” tak ada Cypress yang berjalan
Menapakkan langkah, (yang akan) sebanding dengan sosok sempurna Muhammad!
Karena Jami’ percaya bahwa “tiada melebih-lebihkan yang tak patut tentang kemuliaan Muhammad,” dia dapat menutup madahnya yang panjang dengan kata-kata :
Rangkaian maujud tak punya sumber lain
Kecuali rambut beraroma kesturi Muhammad!
Sebagaimana dalam tradisi bahasa Arab, dalam bahasa Persias juga berkembang suatu bahasa yang semakin canggih yang di dalamnya Muhammad dipuja dan dimohon dengan sangat. Madah-madah yang digubah oleh beberapa penyair terkemudian menjadi hampir tidak terpahami karena telah mengambil dan menggunakan sebagai miliknya sendiri segenap terminologi teknikal tasawuf teologik sebagaimana berkembang setelah Ibn “Arabi. Terminologi abstrak ini, yang  tidak mudah dipahami bahkan dalam risalah-risalah teologi, membuat beberapa himne Persia tampak seperti beanr-benar suatu teka-teki. Contoh yang bagus adalah sebuah syair oleh “Urfi akhir abad ke-16, yang di dalamnya sang penyair – yang telah imigrasi dari Syiraz ke istana Moghul di India : dia masih diperingati sebagai salah satu pemadah terkemuka dalam bahasa Persia – berupaya menjelaskan bahwa karena pra keberadaan (cahaya primordial yang diciptakan sebelum segala sesuatu yang lain) dan keberadaan temporal secara misterius bersatu dalam Muhammad, maka Nabi benar-benar unik. Gagasan itu sendiri tak sama sekali tidak dikenal oleh para penulis sebelumnya, sebab Jami’ telah mengungkapkan dalam beberapa na’t-nya, namun “Urfi menggunakan kosa kata puisi Arab klasikal untuk menjelaskan misteri ini dan memasukkan nama tradisional Salmah dan Laila ke dalam amsalnya.
Dia menulis, diantaranya :
Hari kala mereka memperhitungkan siapa di antara yang mustahil dapat menandingi dikau,
Mereka menulis “ketakberadaan” sebagai tanggal kelahiran bagi siapa pun seperti dikau.
Sampai mereka menulis keberadaan dikau sebagai saling pengaruh atau kebergantungan dan keniscayaan,
Objek bagi nama kehormatan yang umum tak dapat ditetapkan.
Takdir menempatkan dua tandu pada satu unta.
Satu untuk Salmahnya keterciptaanmu dalam waktu, dan satu lagi untuk lailanya prakeberadaanmu ....
Dan pembaca yang membaca empat puluh delapan baris dari jenis ini terpesona pada bait terakhir madah tersebut, yang di dalamnya ‘Urfi mengklain :
Kupuji dikau lewat ketulusan, bukan dengan bantuan ketahuan ---
Bagaimana bisa aku bawa rusa betina Ka’bah dari puri berhala?
Puisi ‘Urfi sangat dikagumi di India Moghul dan juga, untuktidak lama setelah meninggalnya, di Turki ‘Utsmaniyah, dimana dia mengilhami juga baris sajak yang rumit. Naziri, yang semasa dengannya, mengikutinya dalam penggunaan kosa kata teologik yang penuh dalam puisi na’tiyyah-nya, yang berpuncak dalam sebuah qashidah yang sangat panjang yang dapat dianggap sebuah ulasan tasawuf tentang pengakuan sang mukmin. Penggabaran Naziri tentang Nabi, yang dikembangkan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, mengadung keindahan puisi yang sedemikian, yakni keselarasan sempurna aksi-aksi dan kualitas-kualitas batin dan lahir Muhammad, mengandung kesahajaan dan kekuatannya, “kemiskinan” dan keagungannya :
Kepada sang keras kepala dia lontarkan gagasan “Tak ada nabi setelahku”,;
Bagi sahabat-sahabat tercintanya, kata “Aku hanyalah manusia” diturunkan ...
Yang sama mengesankan dengan na’t-na’t Naziri adalah sebuah syair oleh penyair lain Indo Persia yang jauh lebih dihargai oleh orang-orang kebanyakan : sebuah lagu yang agak sederhana namun indah oleh Qudsi Masyhadi, masih merupakan kesukaan qawwal-qawwal anak benua India. Mengambil lagi formulasi yang pertama-tama digunakan oleh Jami’, Qudsi berkata kepada Nabi tercinta :
Marhaban sayyid-i makki-yi madini’l-‘arabi ...
Selamat datang, Duhai orang Makkah, Orang Madinah, tuan Arab –
Semoga hati dan jiwaku dikorbankan untuk dikau – sungguh luar baisa nama-nama dikau!
Bukalah mata rahmat, pandanglah daku,
Duhai yang bernama kehrmatan Quraosyi, Hasyimi, dam Muththalibi ..
Penekanan pada atribut-atribut kearaban Nabi merupakan tipikal dari banyak penyair Persia, dan khususnya Indo Muslim, sebab segmen besar kaum Muslimin di India telah lama cenderung menyoroti elemen Arab dalam urusan Islami mereka. Mereka selalu tetap sadar bahwa Arabia adalah negeri sejatinya agama dan kultur mereka dan bahwa bapak-bapak mereka – seperti Shah Waliullah dari Delhi mengungkapkan yang sama untuk menekankah warisan Arab Nabi dapat dirasakan, bahkan barangkali lebihd aripada dalam sastra yang tinggi, dalam puisi populer orang-orang Muslim India, yang di sini ia bergantung di mana-mana. Dalam salah satu syair pertama untuk memuliakan Nabi yang ditulis dalam bahasa Sindh oleh Shah Mian ‘Inat pada sekitar 1700, “sahabat, Quraisyi, Arab” diulang-ulang :
Bersamalah kami, Arab!
Tolonglah kami, pangeran Madinah!
Adapun Qudsi, dia meneruskan na’t-nya dengan julukan-julukan tradisional dan kiasan-kiasan, dan menyebut dirinya, menjelang akhirnya, anjing dan ambang pintu Nabi. Namun bahkan klaim ini kedengaran baginya terlalu berani :
Kukaitkan diriku dengan anjing, namun aku sangat sedih
Sebab mengaitkan diri dengan anjing jalanmu adalah tak tahu diri.
Klaim sebagai anjing di pintu Nabi atau agaknya sebagai lebih rendah daripada anjing yang beruntung seperti itu sering sekali terjadi dalam puisi Persia. Khususnya dalam karya para pengganti Jami’, sebab Jami; terkenal karena sering menggunakan perbandingan dengan anjing dan bahkan mengklaim sebagai budak terhinanya anjing Nabi. Istilah ini digunakan dalam puisi populer seperti dalam baris sajak kota, dan seorang pencinta Nabi berlantun :
Aku ini anjing keluarga Nabi
Dan selalu memandang pintu mereka.
Kata-kata ini, yang di dalamnya para penyair berpretensi sebagai anjing di ambang pintu Nabi, kiranya muncul dari gagasan bahwa bahkan anjing kotor sekalipun – yang tidak boleh masuk ke dalam rumah dan yang kehadirannya membatalkan shalat – dapat disucikan dengan mengupayakan kehadiran insan mulia. Orang-orang Muslim tahu legenda Tujuh orang yang tidur (surat 18:17 – 21) bahwa anjing yang bersama tujuh pemuda itu di gua selama 309 tahun menjadi mulia karena kesetiannya; para penyair itu dengan demikian kiranya telah memasukkan, dalam mengidentikkan diri mereka dengan anjing, bukan saja ungkapan kerendahan hati tetapi juga harapan tersirat agar disucikan dengan terus menerus duduk di ambang pintu Nabi.
Qudsi menutup syairnya dengan permohonan dalam campuran bahasa Arab-Persia kepada Nabi yang , sebagaimana dalam baris sajak tradisional, adalah yang tercinta (habib) dan dokter (thabib) hatinya.
Na’t dalam Indo-Persia terkemudian dan puisi Urdu awal menunjukkan, sejauh  yang dapat diketahui, dua garis utama perkembangan. Yang pertama adalah penggunaan yang senantiasa kian meningkat akan kosnep-konsep esoterik yang di dalamnya keseluruhan teosofi abad pertengahan terpadatkan dalam istilah-istilah yang canggih dan imaji-imaji yang eksotik, seperti misalnya dalam kuatrain ini yang dipersembahkan bagi Nabi pada abad ke-18 :
Duhai, yang cahayanya adalah basmalah-nya Al_Qur’an yang nyata :
Tubuhmu chaya, pipimu surah Nur.
Inilah pimpinan umat, perantara mereka,
Dhhai tempat perwujudan nama-nama (Ilahi) “Pembimbing” dan “Pengampun”!,
Perkembangan ini juga tampak dalam sastra Turki “Utsmaniyah, yang banyak diilhami oleh model-model Persia, dan syair-syair panjang dengan judul-judul yang tinggi digubah di Turki dan India – seperti misalnya “Madah untuk Bintang Langit ‘Dia mendeakt turun’ (surah 53:8), dan Konstelasi dalam Rumah Zodiak, ‘Dan dia adalah panjang atau lebih dekat dua busur’ (surah 53:9), di dalam Hadirat Yang Cahaya-Nya Mentari dan Bulan Setiap Pagi dan Malam lebih kecil daripada (bintang kecil) Suha.” Digubah oleh seorang penyair sufi India Selatan pada abad ke-19. Melalui syair-syair seperti itu konsep-konsep mistikal yang dikaitkan dengan Nabi dibawa ke dalam lingkaran-lingkaran yang lebih luas,s ebab meskipun orang-orang kebanyakan tidak mengetahui bahsa Persia, puisi yang beruara tinggi cukup sangat mengesankan mereka dan membuat mereka takjub, bersemangat dan sdar akan keberedaan di dalam kehadiran sesuatu yang sangat agung dan penuh misteri.
Di lain pihak, namun --- inilah garis lain perkembangan itu --- ungkapan cinta kepada Nabi selalu menjadi lebih kuat dalam puisi Persia dan bahkan lagi Urdu. Ini barangkali disebabkan oleh pengaruh puisi dalam bahasa-bahasa regional, yang khususnya menekankan segi-segi lembut dan hangat dari hubungan orang beriman dengan Nabi. Dalam himpunan kanonikal hadis terdapat kata-kata Nabi. “Orang belum beriman sebelum aku lebih dicintai olehnya dibandign ayahnya, putranya, dan semua manusia.”  Hubungan orang beriman dengan Nabi sungguh, seperti disebutkan oleh bagaikan hubungan anak dan ayah, yang paling dicintai, dan karena itu kakak yang patut di contoh dalam keluarga. Tetapi para penyair kemudian menggunakan suatu istilah yang lebih kuat untuk cinta kepada Nabi, yaitu ‘isyq, yang dapat mengandung nada kuat kerinduan yang sedikit erotik. Banyak sekali buku ditulis yang di dalamnya para pecinta Nabi menyebut diri mereka sendiri ‘asyiq (pencinta, atau yang lebih sessuai dengan penggunaan di barat “bergairah” atau “dalam kecintaan spiritual”), seperti Mi’raj Al-Asyiqin (Tangga Samawi bagi Para Pencinta) atau Qut Al-Asyiqin (Makanan bagi para Pencinta), sebuah buku bahasa Sindh pada awal abad ke 18 yang berisi legenda-legenda tentang Nabi yang menyejukkan Ima dan pengabdian para pencintanya.
Sejak Hari Perjanjian primordial aku menjadi pencinta Muhammad yang bingung ...
Allah akan bertanya kepadaku pada Hari Kebangkitan : “Pencinta siapa kau?”
Ku ‘kan berkata : “Pencinta Muhammad, Pencinta Muhammad, Pencinta Muhammad!”
Maka penyair Urdu, Sheftar, pada abad ke-19, berlantun; sedikit sebelumnya, pangeran Rohilla, Mahabbat Khan, mengupayakan tema itu dalam suatu corak yang lebih romantik :
Muhammad Mushthafa adalah warna mawar Cinta.
Dan rambutnya nan ikal musim semi bunga-bunga Cinta.
Sungguh dia sajalah mentari Cinta nan paling terang.
Dan melaluinya terterangi binta-bintang Cinta nan bercahaya.
Baris-baris sajak semacam itu, yang ditulis oleh orang yang bahasa ibunya bukan bahasa Urdu tetapi Pashto, sangat dekat dengan puisi popler yang ditulis dalam bahasa Pashto dan idiom-idiom lain, dengan penekanan pada Cinta. Sedikit penjelasan dari satu sisi : dalam sebuah syair Pashto yang digubah oleh seorang Hindu, Sukya, penggubahnya berkata betapa putri musuh besar Nabi, Abi Jahl, serta merta jatuh cinta kepada Muhammad ketiak Muhammad menyapanya!
Suatu pemaduan manis gaya populer dan tinggi dalam puisi na’tiyyah ddiciptakan oleh Muhsin Kakorawi (meninggal 1905), yang dipandang sebagai tokoh na’tiyyah dalam bahasa Urdu pramodern. Dia menulis na’t-nya yang sangat termasyhur dalam istilah-istlah Hind yang sederhana :
Dari Benares terbang awan ke Mathura,
Dan angin menaruh tempayan berisi air Gangga di atas pundak halilintar.
Setelah mengambil dalam tasybib, mukadimah erotik syairnya, amsal tradisional tentang musim hujan (yang di dalamnya para pencinta mengeluh karena terpisah dan rindu akan persatuan) dan tentang kisah-kisah mengenai Krishna dan permainan gilanya dengan pacar-pacarnya yang mabuk cinta, penulis tiba-tiba beralih ke pujian tentang Nabi yang bagai mentari dan mengubah bahasanya ke dalam bahasa Urdu yang canggih dengan campuran berat ungkapan-ungkapan Arab dan Persia.
Ketika mempelajari perkembangan na;t dalam Indo-Pakistan juga mesti diingat bahwa di dalam wilayah ini tradisi musik religius sangat hidup sekali. Karena itu, kebanyakan syair yang emmuliakan Nabi dapat dilagukan, yakni memiliki kualitas ritmikal yang kuat dan sajak-sajak yang secara komparatif sederhana, yang sering diulang-ulang dlam litani. Banyakdi antaranya menggunakan aliterasi dalam refrain-nya, yang di dalamnya huruf m, huruf pertama Muhammad, tampil memainkan peranan yang secara khusus penting.
Mittha Mir Muhammad, madad marr kar,
Manis pangeran Muhammad, tolonglah dan bantulah!
Lantun seorang penyair Sindh; dan mittha Muhammad (Muhammad nan manis) sering juga dikaitkan dengan sebutan-sebutan Makki dan Madini dan istilah-istilah terkait.
Ungkapan-ungkapan tertnetu yang sangat disukai diulang-ulang dalam banyak dari syair-syair ini, seperti ungkapan Faran, daerah dekat Makkah, atau penggambaran Nabi sebagai Durr-i yaitm atau yatima, “mutiara yang unik” (Yatim, “Yatim” tentu merujuk ke masa kanak-kanak Muhammad yang yatim). Sesungguhnya paduan ini muncul berbarengan dengan munculnya paduan seperti ini dalam baris sajak Sana’i, dan Jami’, sumber tetap inspirasi bagi para penyair terkemudian, menyukainya, namun para pelantun di anak benua India tampak lebih menarik bila terus menggunakannya. Dapat diaktakan bahwa pada umumnya puisi na’tiyyah dalam bahasa Urdu, seperti telah berkembang pada empat abad terakhir, kurang mengandung ketinggian-ketinggian teologik dan termonologi yang tinggi ketimbang syair-syair Persia dari jenis ini dari periode yang sama.
Kata-kata Jan Knappert bahwa “sastra saleh Swahili bernapaskan semangat cinta dan pengabdian yang besar kepada Nabi, ketaatan yang tulus kepada makhluk Allah sendiri yang peling dicintai” berlaku bagi puisi populer dalam – secara praktis – semua bahasa Islam; karena, seperti dikatakan oleh seorang Muslim terpusat kepada wakil nan bercahaya Allah”. Karena itu. Pembacaan madah-madah untuk Nabi biasanya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa besar kehidupan personal. Di Sindh dan Kasymir, dan tentu saja di banyak daerah lain, na’t dibaca atau dilantunkan pada saat perkawinan, pada perayaan kelahiran, pada saat sunatan,d ans eterusnya, dan para wanita Indo Pakistan yang Muslim menikmati pertemuan-perteemuan khusus yang didalamnya puisi yang memuji-muji Nabi dibaca.
Baris-baris sajak dari banyak siharfis (Abjad-abjad Keemasan) dalam bahasa-bahasa anak benua itu dimulai dengan kutipan-kutipan dari Al-Qur’an atau hadis  yang emnggambarkan kedudukan khas Muhammad. Huruf m kiranya mengingatkan sang penyair akan mazagha (pandangan tidak ke mana-mana) (surah 53 : 17); q kadang-kadang membangkitkan qalbi la yanam, hadis “hatiku tak pernah tidur”, tetapi lebih sering qaba qawsayn (jarak dua busur) (Surah 53:9); b mengingatkan akan hadis qudsi “(Aku Ahmad) bila mim (tanpa m), Ahad (Esa).”
Sebuah tipe Abjad Keemasan yang lain lagi ditemukan dalam tradisi bahasa Arab. Satu contoh, sebuah mukhammas oleh ‘Utsman Mirghani, yang disebut Al-Nur Al- Barraq fi Mad-h Al- Nabi Al-Mishdaq (Cahaya Benderang dalam Puji-pujian kepada Nabi Terpercaya), adalah sebuah syair berseloka yang bersajak pada setiap baris kelima dalam sebuah huruf menurut rangkaian abjad.
Syair-syair barahmasa India, yang berkenaan dengan keistimewaan-keistimewaan dua belas bulan dalam satu tahun seperti terlihat oleh seorang wanita yang penuh cinta dan sayang, adalah kategori yang digunakan di seluruh anak benua itu. Masing-masing syair menggambarkan melalui mulut seorang gadis yang mabuk cinta perasaan-perasaannya yang berbeda selama mempelai pria atau suaminya tidak ada di sisinya. Dalam konteks orang Muslim, sang gadis sering menjadi jiwa manusiawi yang merindukan Muhammad yang tercinta. Dalam kasus-kasus seperti itu, barahmasa itu mengikuti rangkaian bukan bulan-bulan India tetapi bulan-bulan Islam, dan jiwa pengantin mencapai kedekatan dengan Allah di Makkah dan di hadapan Nabi di Raudhah-nya di Madinah pada bulan terakhir komariyah, Dzul Hijjah, bulan haji. Di sini lalu berkembang mood yang agak sebanding dengan “mistikisme pengantin” tradisi Judaeo – Kristen, yang pada dasarnya tidak ada alam pendekatan Muslim kepada Nabi tetapi tampak terasimilasi dari motif-motif Hindu seperti kerinduan Radha akan Krishna dan segenap terminologi sastra itu. Itulah sebabnya dalam kategori puisi ini, yang umum dalam bahasa Sindh dan Punjab, penyair menggambarkan dirinya teman wanita imajiner seolah-olah dia sendiri adalah pria yang dirindukan :
Hidup! Hidup! Pengantin pria, Muhammad sang Arab!
Rahmatilah, Duhai yang paling memberi rahmat!
“Mempelai pria dari Madinah” merupakan suatu topik standar dan puisi saleh dalam bahasa Sindh (bermula setidak-tidaknya sejak masa ‘Abduua’uf Bhatti pada awal abad ke-18) yang bahkan penyair dapat menggunakan hal itu selama perjalanan ke langit itu.
Jibril berjalan kaki di depan mempelai pria yang duduk di atas kudanya.
Amsal ini tampaknya terbatas pada puisi orang-orang Muslim India, dan lagi terutama pada dataran-dataran Lembah India dan Punjab, yang di sana penyair-penyair mistikal itu juga suka membandingkan jiwa mereka dengan tokoh-tokoh dalam kisah-kisah rakyat Sindh, seperti Sassui atau Sohni, yang keduanya mengorbankan diri untuk mencari sang kekasih – yang dalam kasus ini melambangkan Nabi nun jauh di sana.
Kadang-kadang sajak-sajak dalam bahasa populer itu menunjukkan rahasia-rahasia mistikal yang tidak dapat diterangkan. Hal ini khususnya akan terjadi jika syair itu digubah dalam lingkungan suatu pusat religius lokal penting, yang mungkin telah mengakumulasikan pengetahuan adat isitiadat lama yang berasal dari ligkungan tradisionalnya sendiri. Di Gulbarga, yang di sana dimakamkan wali Chisthi yang besar, Gesudaraz, orang melantunkan selama perayaan-perayaan ualgn tahun kematiannya sebuah lagu Hind sangat lama yang di dalamnya dikatakan :
Taruhlah dalam air garam ---
Bila larut, mesti ddisebut apa?
Begitu pula, Mushthafa meleburkan dirinya ke dalam Tuhan.
Bila diri lebur, kepada siapa orang dapat menyebut Tuhan?”
Imaji seperti itu tentu saja tidak dengan mudah sesuai dengan penafsiran ortodoks tentang peranan Nabi, tetapi baris sajak itu dengan jelas disukai orang-orang beriman setempat.
Di mana-mana para penyair itu berharap dapat melihat Nabi tercinta dalam mimpi mereka, supaya diberkati olehnya seperti telah dialami oleh Busiri. Yunus Emre di Anatolia merekam keberuntungannya sendiri :
Dalam sebuah mimpi tadi malam
Klihat Muhammad
Dalam cermin bening hari
Kulihat Muhammad

Para malaikat berdiri dalam barisan,
Mengenakan pakaian hijau indah
Seraya berseru : “Muhammad!” – Maka
Aku melihat Muhammad,

Muhammad memberiku mangkuk,
Lalu aku mabuk –
Tuhan memberiku anugerah itu :
Aku melihat Muhammad.

Bak setets air dalam samudera
Kutemukan obat bagi deritaku;
Hari ini amat diberkati aku ---
Kulihat Muhammad!

Penyair-penyair rakyat lainnya melukiskan betapa bangga dan bahagianya mereka menjadi bagian dari umat yang telah dipilih oleh Allah dan yang atasnya rahmat-Nya tercurahkan :
Dalam umat Muhammad kukenakan celana iman
Dan datang dengan bangga bak burung merak jantan.
Maka berlantunlah Eshrefoughlu Rumi di Turki pada abad ke-15; tiga abad kemudian salah satu saudara segenerasinya, Sayazi, menulis, dalam baris-baris yang lebih canggih :
Dikau mentari kebenaran, di hadapan seluruh dunia hanyalah setitik debu,
Kemaujudanmu motif bagi ruang dan waktu, Duhai utusan Allah!
Mereka yang mereguk piala cintamu, tak peduli dengan air kehidupan khidhr –
Karena cintamu adalah kehidupan abadi, Duhai utusan Allah!
Dewasa ini para pelantun rakyat Mesir berkata dengan maksud-maksud serupa namun dalam gaya yang kurang artistik :
Segenap cinta (membara) haram,
Namun bagi Nabi, halal,
Dan mereguk anggur, haram,
Namun halal (mereguk dari) air liur Nabi.
Bagi penatun-pelantun populer, mencintai Nabi adalah jantung iman. Bahkan lagi, pusat kehidupan, bukan saja kehidupan manusia tetapi juga segala makhluk, sebab batu dan pohon, binatang dan dinding telah menyatakan keagungannya. Itulah sebabnya seorang penyair Sindh berlantun :
Teratai melihat mentari dalam mimpi kerinduan,
Ngengat terberahikan oleh sorot lili,
Burung bulbul mengulang-ulang tema bunga mawar,
Dengan penuh cinta kaudengar kokok ayam hutan –
Namun semuanya mencintai pangeran mulia ini!
Para penyair populer ini maupun ahli sastra tinggi dan klasikal tahu bahwa karena Nabi adalah makna dan akhir ciptaan, dia juga akan menjadi pembimbing mereka menuju ke kehidupan abadi. Sebab dia adalah pemimpin kafilah “yang pertama-tama melangkah dari ketersembunyian nonmaujud, dan memandu segenap kafilah ciptaan ke luar menuju dataran maujud,” seperti dikatakan oleh Najmuddin Razi Daya. Dan di “dataran maujud” ini dia adalaha pemandu mistikal yang – seperti pada akhir Mushibatnama-nya ‘Attar – memandu pencari menuju ke “samudera jiwanya sendiri”, yang di sana dia akan mendapatkan Tuhannya.
Kala Maulana Rumi dengan bangga berkata bahwa
Pemimpimpin kafilah kami kebanggan dunia, Mushthafa,
Dia senada dengan para penyair di Lembah Indus dan di Anatolia, yang memuji pemimpin besar kafilah yang memandu mereka dengan aman menuju ke tempat suci sentral di Makkah, yang merupakan cerminan Ka’bah samawi. Dan jika para penair itu kebetulan hidup di lembah-lembah sungai-sungai besar, atau dekat dengan samudera, mereka memujinya sebagai nahkoda yang mengemudikan kapal ke kehidupan yang rentan megnarungi perairan yang dalam, antara beting dan elokan air, menuju ke pantai kedamaian yang jauh, seperti digambarkan oleh Shah ‘Abdul Latif di Sindh dalam Sur Sariraq. Begitu pula, penyair rakyat Bengali menggunakan imaji-imaji yang diambil dari kehidpan nelayan dan pelaut, yang tahu bahwa mereka bergantung pada pengalaman dan kearifan nahkida untuk dapat mencapai pantai lain :
Takkan pernah kutemukan lagi
Sahabat penuh kasih sayang seperti dikau.
Dikau tunjukkan dirimu ---
Jangan tinggalkan, Duhai Nabinya iman.
Dikau sahabat Allah,
Nahkoda ke pantai kebenaran nun jauh di sana –
Tanpa dikau, takkan pernah lagi
Kami lihat dunia itu di pantai lain


T A M A T
12-06-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar